OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh : NITA JUWITA C 100 110 223
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016
ABSTRAK Nita Juwita, NIM C100110223, OVERMACHT DALAM TINDAKPIDA PEMBUNUHAN (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dengan Hukum Pidana Positif), FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA, 2016. Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang dimaksudkan sebagai usaha mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang normatif, penulis menggunakan analisis deskritif dan komparatif yakni menjelaskan tentang bagaimana dasar hukum overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut hukum pidana Islam dan menurut hukum Pidana Positif, serta bagaimana implementasi sanksi pidananya ditinjau dari hukum pidana Islam dan Hukum Pidana Positif. Overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut hukum islam tidak dapat menghapus hukuman, para ulama menyepakati bahwa bagi siapa saja yang telah melakukan pembunuhan dengan alasan terpaksa (Ikrah) maka tetapdijatuhi hukuman diyat atau ta’zir. Sedangkan overmacht dalam tindak pembunuhan menurut hukum pidana positif menyatakan bahwa apabila pelaku melakukan pembunuhan dengan alasan terpaksa (Overmacht) maka pelaku tersebut didapat dijatuhi hukuman pidana, karena dalam hukum pidana positif overmacht adalah salah satu alasan penghapusan pidana. Kata kunci : overmacht, tindak pidana pembunuhan, hukuman ABSTRACT The method used in the conduct of this study is the use of normative law research, which is intended as an attempt to bring the issues examined by the legal nature of the normative, the author uses descriptive analysis and comparative which describes how the basic law of coercion in the criminal act of murder under Islamic criminal law and according to the criminal law Positive, as well as how the implementation of criminal sanctions in terms of Islamic criminal law and the criminal law Positive. Coercion in the criminal act of murder under Islamic law can not remove the penalty, the scholars agreed that for anyone who has committed a murder on the grounds forced (Ikrah) then still getdiyat or ta'zir punishment. While coercion in the murder according to positive criminal law states that if the perpetrators of murder by reason of forced (coercion) the offender is obtained sentenced criminal, because of the positive criminal law coercion is one reason for removal of criminal.
Keywords:coercion, the crime of murder, punishment
1
PENDAHULUAN Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.1Setiap orang Islam harus mengikuti syari‟at Islam, Segala yang telah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul harus di taati dan segala yang dilarangNya harus dihindari. Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Menurut Abu Ishq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara: (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu didalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari‟ah (tujuan hukum Islam).2 Berkaitan dengan yang telah dipaparkan di atas, maka masing-masing telah memiliki norma atau aturan yang mengaturnya, seperti dalam Islam ketentuan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana maka telah diatur dalam Hukum Pidana Islam (Jinayah), dan di Indonesia peraturan yang mengatur tentang segala tindak pidana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Maka
telah
timbul
suatu
permasalahan
yaitu
bagaimana
jika
pembunuhanpaksaan atau Overmacht dari orang lain? seperti dalam contoh sebagai berikut : Contoh dalam hal pembunuhan adalah sebagai berikut : Dua orang, D dan E, bersama-sama memanjat gunung dengan menggunakan tali dadung yang dipegang oleh kedua orang itu. Pada suatu waktu terjadi keadaan, bahwa bagi si D hanya ada dua alternatif, yaitu melepaskan talinya dengan akibat bahwa si E akan jatuh ke dalam jurang, atau tetap memegang tali dengan 1
Syaidus Syahar, 1983, Asas-asas Hukum Islam, Bandung; Penerbit Alumni, hal. 6. Muhammad Daud, Ali, 1990, Hukum Islam, Jakarta; Penerbit Rajawali Pers Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi, hal. 42 2
2
kepastian bahwa keduanya akan jatuh ke dalam jurang. Apabila si D melepaskan talinya dengan akibat bahwa E jatuh ke dalam jurang
dan mungkin akan
meninggal dunia, maka bisa dikatakan, bahwa D berbuat terdorong oleh hal memaksa berupa keadaan gawat (noodtoestand).3 Dari contoh tersebut menurut hukum pidana Islam tidak memberlakukan overmacht pada tindak pidana pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan penganiayaan berat. Berbeda dengan hukum pidana Indonesia, walaupun perbuatan tersebut pada kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, namun dalam konsep overmacht dalam hukum pidana Indonesi ini berlaku untuk semua tindak pidan, termasuk dalam tindak pidana pembunuhan. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: (1) Bagaimana dasar hukum Overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia? (2) Bagaimana Implementasi sanksi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum pidana Islam dan Hukum pidana Indonesia? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dasar hukum dan alasan tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum Islam dan Hukum pidana Indonesia, serta mengetahaui norma hukum mengenai sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum Islam dalam hukum pidana Indonesia.
3
Wirjono Prodjodikoro, 1981 Asas-asas Hukum pidana di Indonesia, Jakarta:
Eresco 3
Manfaat
teoritis
hasil
penelitian
ini
penulis
berharap
dapat
mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum islam dan dijadikan bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang pasti lebih mendalam khususnya mengenai permasalahan overmacht dalam tindak pidana pembunuhan baik perspektif hukum pidana Islam maupun perspektif hukum pidana Indonesia, serta dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya. Adapun manfaat praktis hasil dari penelitian ini penulis berharap akan memberikan wawasan pengetahuan yang nyata dan dapat memberikan informasi mengenai permasalahan overmach dalam tindak pidana pembunuhan baik perspektif hukum pidana Islam maupun perpsektif hukum pidana Indonesia. Kerangka Pemikiran Dalam aturan Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif sudah sangat jelas bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang sangat dilarang, dan bagi yang melanggarnya maka akan dikenai
sanksi
pidana sesuai dengan
yang
diberlakukannya. Namun untuk pembunuhan karena sebab overmacht dalam aturan hukum yang diberlakukan didalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif memiliki beberapa perbedaan, dan mengenai sanksi yang diterapkannya pun berbeda. Dalam penentuan bahwa kasus pembunuhan itu karena sebab overmacht atau bukan tentu harus melewati syarat-syaratnya yang sudah ditentukan. Seperti dalam hukum Islam yaitu sebagai berikut: (1) Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat, (2) Apa yang diancamkan adalah seketika yang mesti (hampir) terjadi, (3) Orang yang memaksa mempunyai kesanggupan (kemampuan) untuk melaksanakan ancamannya, meskipun dia bukan penguasa atau petugas tertentu, sebab yang menjadi ukuran ialah kesanggupan nyata, (4) Pada orang yang
4
menghadapi paksaan timbul dugaan kuat bahwa apa yang diancamkan padanya benar-benar akan terjadi, (5) Perkara yang diancamkan adalah perbuatan yang dilarang. Sedangkan untuk persyaratan dalam hukum pidana Indonesia menentukan batas pertanmggung jawaban pidana dari pembuatannya semua penentuan ini harus berdasarkan ukuran-unuran obyektif. hakim harus melakukan pembuktian yang sangat ketat dan mendalam untuk membuktikan bahwa ada unsur overmacht atau tidak dalam tindak pidana. Apabila terbukti ada unsur paksaan (Overmacht) maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pada sipelaku, akan tetapi jika tidak terbukti, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai dengan apa yang dilakukannya. Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut : (1)Jenis Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, (2) Sumber data : Data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif, (3) Sumber data primer (a) Sumber data primer ialah data dasar, data asli yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan oranglain.4 Data primer merupakan literatur yang langsung berhubungan dengan permasalahan penelitian, meliputi Al-Qur‟an, Al-hadist, dan Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) (b) Sumber data sekunderadalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain,yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan, milik pribadi peneliti. Untuk melakukan analisa terhadap konsep yang sudah ada sebagaimana dideskripsikan oleh penulis, penulis mencari sumber dari buku-buku 4
Hilma Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung; CV Mandar Maju, Hal. 65 5
yang mempunyai keterkaitan, meliputi literatur-literatur yang berkaitan dengan skripsi, buku-buku mata kuliah, jurnal, dan buku-buku lainnya. PEMBAHASAN Pembunuhan adalah salah satu tindak pidana atau jarimah yang dilarang dalam hukum Islam maupun hukum di Indonesia, karena dalam hukum pembunuhan merupakan pembuatan yang sangat keji dan haram sehingga dilarang dalam hukum Islam, dalam hukum pidana positif pun melarangnya karena itu adalah sudah termauk pada pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi timbul suatu pertanyaan bagaimana jika terjadi pembunuhan tapi karena adanya dorongan overmacht(Paksaan)? Paksaan (Ikrah) suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain,dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Adapun fuqaha yang mendefinisikan paksaan ialah apa yang ditimpakan
kepada
orang
lain,
yaitu
yang
membahayakannya
atau
menyakitkannya.5Overmacht dalam hukum pidana Positif adalah suatu tekanan atau ancaman yang tidak dapat dihindari. Jika ancaman itu dirasa berat dirasa tidak dapat unuk mengelaknya. Overmachttelah diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong keadaaan atau daya paksa, tidak dipidana”. Pada hakikatnya keadaan Overmacht atau Ikrah suatu perbuatan yang bukan karena keinginnannya sendiri melainkan datang dari tekanan orang lain. Macam-macam Daya Paksa (a) Vis absoluta (daya paksa mutlak) (b) Vis compulsiva (daya paksa relatif), dan 5
Ahmad Hanafi, 1967, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Penerbit Bulan Bintang, hal 354 6
(c) Noodtoestand (keadaan darurat)6 Di bawah ini disajikan pokok-pokok pikiran Jonkers tentang ketiga macam daya paksa tersebut di atas : (1) Daya paksa absolut (overmacht absolute) Dalam pengertian tersebut termasuk hal-hal, yang pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah. Misalnya daya paksa rohaniah : Seseorang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, shingga terjadi perusakan barang. (2) Daya Paksa Relatif (Overmacht Relatif) Kekuasaan, kekuatan, dorongan atau paksaan phsyiek atau psyichisch terhadap orang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. Misalnya : pada perampokan sebuah bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan uang. Bilamana tidak dilakukannya, maka pistol itu akan ditembakkan oleh perampok dan pelurunya mengenai dirinya. Teoritis, bankier itu dapat melawan dengan risiko mati ditembak. Bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak perampok, maka ia tidak dapat dipidana, sekalipun ia telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. (3) Keadaan Darurat (noodtoestend) Keadaan darurat adalah alasan pembenar, yaitu kalau seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih diantar melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar. Dalam keadaan demikian dibenarkan oleh hukum
6
Op.cit Hal. 192 7
kalau orang melakukan delik agar kepentingan yang lebih besar tadi diamankan. Karena itu delik tersebut dalam keadaan yang demikian tidak dapat dipidana.7 Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Indonesia a.
Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam Pertama, diantara perbuatan-perbuatan jarimah ada perbuatan yang orang
boleh melakukannya,karena ada paksaan misalkan dipaksa makan bangkai, daging babi, minum khomar, ganja, dan sebagainya. Yang termasuk dalam golongan ini ialah perbuatan-perbuatan jarimah yang mengenai makanan dan minuman. Pada dasarnya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, tapi karena adanya overmacht, sehingga tidak dijatuhi hukuman atas perbuatannya tersebut, dengan catatan karena dharurat dan tidak boleh berlebih-lebihan. Kedua, diantara perbuatan-perbuatan jarimah yang orang tidak boleh melakukan jarimah itu meskipun dipaksa dengan paksaan absolut, misalkan dipaksa untuk membunuh, menganiaya berat. Para fuqoha pada umumnya sepakat atas pendirian tersebut di atas, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap siberbuat. Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa si berbuat harus dihukum qisas; Ulama-ulama dari madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa ia dihukum diyat; sedangkan Imam Hanafi dan Imam Muhammad hanya menetapkan hukuman ta‟zir. Adapun hukuman tambahan bagi sipelaku adalah hilangnya hak berwasiat dan hak mendapat warisan. Pada dasarnya sikorban atau walinya tidak mempunyai hak mengampuni dalam soal pidana, akan tetapi untuk jarimah qisas diyat ini ia diberi hak mengampuni sebagai pengecualian. Ia diberi hak mengampuni karena jarimah ini 7
Op.cit Hal. 193 8
erat hubungannya dengan sikorban. Mungkin sikorban atau walinya memikirkan nasib keluarganya yang ditinggalkan, kemudian ia memaafkan dan meminta diyat. Atau sikorban/walinya orang yang bermurah hati, kemudian memaafkan tanpa minta diyat. Atau sikorban/walinya orang yang bermurah hati, kemudian memaafkan tanpa minta diyat. Dan pembunuhan semi sengaja dan karena khilaf, dihukum wajib bayar diyat 100 ekor unta, atau 200 lembu atau 1000 dinar, diberikan kepada wali sikorban. Ketiga, ada juga perbuatan-perbuatan jarimah yang boleh melakukannya karena darurat. Keadaan darurat dipersamakan dengan paksaan; perbedaan antara keduanya terletak pada sebab timbulnya. Dalam paksaan siberbuat dipaksa oleh orang lain dan dalam darurat si berbuat dipaksa oleh keadaan. Misalnya orang terlalu lapar kemudian mencuri makanan atau minuman sekedar untuk menjaga hidupnya. b.
Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif Menurut hukum pidana Indonesia paksaan (Overmacht) merupakan alasan
yang menghapuskan tindak pidana, yang dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP. Hapusnya hukuman ini berlaku secara umum tanpa membedakan jenis-jenis tindak pidana, termasuk dalam pidana pembunuhan. Dalam hukum pidana positif , tindak pidana pembunuhan sengaja dalam bentuk umum diatur dalam Pasal 338 KUHP dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, Pasal 339 dengan ancaman pidana penjara maksimal dua puluh tahun, dan Pasal 340 KUHP dengan ancaman mati. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja diatur dalam Pasal 359 dengan penjara maksimal lima tahun. Penentuan adanya Overmacht bergantung pada penilaian hakim yang berdasarkan ukuran-ukuran obyektif dan subyektif.
9
Menurut pendapat penulis, dalam hal ini hakim harus melakukan pembuktian yang sangat ketat dan mendalam untuk membuktikan bahwa ada unsur overmacht atau tidak dalam tindak pidana. Apabila terbukti ada unsur paksaan (Overmacht) maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pada sipelaku, akan tetapi jika tidak terbukti, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai dengan apa yang dilakukannya. Implementasi Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Karena Overmacht Menurut Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Indonesia a.
Implementasi Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Karena Overmacht Menurut Hukum Pidana Islam Dalam hukum Islam sangatlah melarang manusia untuk bunuh diri, dan
membunuh orang lain. Ketika terjadi suatu pemaksaan untuk memilih diantara dua pilihan yang mana pilihan tersebut mengakibatkan bahaya terhadap dirinya sendiri atau membahayakan orang lain. Tentu Islam telah mengaturnya dalam kaidah untuk mengatur hal atau keadaan seperti ini, bahwa“Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi”8. Kaidah tersebut menegaskan kepada setiap manusia untuk tidak menghindari bahaya dengan bahaya yang lain atau mengorbankan orang lain demi menyelamatkan diri atau sebaliknya. Tapi apabila manusia berada dalam kondisi diantara dua pilihan yang mengakibatkan bahaya, terdapat
alternatif
lain
seperti
kaidah
berikut:“Apabila
dua
mafsadah
bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudharatnya”. Dalam kaidah diatas menegaskan kepada manusia apabila dihadapkan dua pilihan yang mana kedua pilihan tersebut mengandung kerusakan, keburukan
Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Daar al-Kutub al-„Alamiyah, tt, hlm. 86. 8
10
atau bahaya yang bertentangan, maka pilihlah yang lebih besar kebaikanna serta pilihlah yang ringan ketidak manfaatannya (Mudharat). Dalam hukum Islam jarimah yang diperbolehkan dengan alasan adanya paksaan (Ikrah) hanyalah memakan bangkai, meminum khomar, dipaksa untuk Murtad, dan dipaksa berzina. Dalam hukum Islam tidaklah memberlakukan pembunuhan, mutilasi, atau penganiayaan berat. Bagi seseorang yang lebih memilih tindak pidana yang lebih berat, dibanding menolak bahaya yang lebih ringan, maka sipelaku tersebut tetap dikanai hukuman. Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam tidak terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan alternatif baik pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak disengaja. Bahkan Islam memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh dalam memberikan sanksi terhadap pelaku antara qisas atau memaafkan dan disuruh pilih pula memberikan maaf dengan tidak memberikan ganti apa-apa. Sanksi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam beraneka ragam. Selain hukuman qisas terdapat pula hukuman yang lain seperti, hukuman diyat, ta'zir, kafarat. Hal ini membantu para hakim dalam melaksanakan sanksi pidana sesuai dengan jarimah yang dilakukan. Adapun tujuan penerapan sanksi adalah untuk memperbaiki jiwa dan mendidiknya serta berusaha menuju ketentraman dan keberuntungan masyarakat manusia. Kemudian dalam penerapan hukuman mati syari'at Islam tidak menghalanginya sama sekali, tetapi Islam mengadakan aneka rupa syarat untuk menyempitkan pelaksanaan hukuman tersebut dan memberikan keringanan apabila ada maaf dari pihak terbunuh.Contoh kasus : Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:
11
Siti sering mengalami penyiksaan dari majikan perempuannya. Kondisi ini diceritakan Siti kepada keluarga melalui surat yang dikirim ke keluarga di Bangkalan. Siti mengatakan tidak kerasan bekerja di Arab Saudi dan ingin pulang pada Hari Raya Idul Fitri pada 1998.Lantas terjadilah kejadian itu, Siti bercerita saat hendak salat Subuh, dia memasak air di dapur.Lalu, majikan perempuannya memukul kepala, menjambak dan mencekik lehernya.Kemudian, dalam keadaan kesusahan dan kesakitan, Siti mencari pisau dan menusuk perut majikannya. Kemudian pelaku di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999. Setelah melalui rangkaian proses hukum, pada 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah menjatuhkan hukuman mati atau qishash kepada Siti Zaenab. Dengan jatuhnya keputusan qishash tersebut hanya pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris korban.Namun, pelaksanaan hukumna mati tersebut ditunda untuk menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin Al-Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia akil balig. Pada tahun 2013, setelah dinyatakan akil baligh Walid bin Abdullah bin Muhsin Al-Ahmadi menyampaikan kepada pengadilan perihal penolakannya untuk memberikan pemaafan kepada Siti Zaenab dan tetap menuntut pelaksanaan hukuman mati. Hal ini kemudian dicatat dalam keputusan pengadilan pada tahun 2013. Akhirnya Siti Zaenab di eksekusi hukuman mati pada hari selasa, 14 Maret 2015.9 b.
Analisis ImplementasiSanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam Tindak Pidana Positif. Implementasi sanksi bagi pelaku Overmacht dalam hukum pidana positif
adalah diatur dalam Pasal 48 KUHP yang pada intinya tidak dapat dihukum pidana, dan ini berlaku juga untuk tindak pidana pembunuhan yang 9
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150415074100-20-46707/kronologi-sitizaenab-hingga-dihukum-mati-di-arab-saudi/. Pukul 17.41
12
mengakibatkan hapusnya sifat melawan hukum, tapi dengan syarat ada bukti yang kuat dan alasan pembenar. Menurut pendapat penulis, hukum pidana Indonesia cenderung memanjakan pelaku dengan adanya overmacht sebagai alasan menghapuskan hukuman. Tindak pidana pembunuhan digolongkan sebagai tindak pidana murni dan hanya termasuk dalam wilayah hukum publik, sehingga wewenang penjatuhan hukuman berada sepenuhnya pada penguasa atau negara, tanpa campur tangan dari pihak keluarga korban untuk menuntut ganti rugi terhadap pelaku dengan mengganti hukuman lainnya. Dari pemaparan di atas, terdapat persamaan dalam hukum Islam dan hukum pidana Indonesia yaitu keduanya mengkategorikan overmacht dalam tindak pidana pembunuhan sebagai pembunuhan sengaja. Adapun perbedaan baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia yaitu dari segi penerapan hukum terhadap overmacht dalam hukum Islam dapat dilihat dahulu dari sebab-sebabnya misalkan sebab diperbolehkannya suatu jarimah, sebab yang dapat yang dapat menhapus hukuman atas tindak pidana, dan perbuatan yang dilarang tidaklah berpengaruh terhadap tindak pidana. Dalam hukum Islam Overmacht hanya berlaku untuk makanan, minuman saja, dan untuk tindak pidana pembunuhan (sengaja) tidak berlaku, sehingga pelaku tetap harus dijatuhi sanksi pidana (seperti, qisas, diyat, dan ta’zir). Sedangkan menurut hukum pidana Positif Overmacht adalah salah satu dari alasan penghapusan pidana kartena adanya alasan pemaaf dan pembenar, dan pelaku dapat dinyatakan lolos dari segala tuntutan hukum termasuk pelaku pembunuhan. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:
13
Terdakwa yang bernama Sudir pekerjaannya adalah seorang pengemudi Truk (bukan Mobil untuk membawa penumpang). Pada hari Minggu tanggal 4 November 1979 TRUK AE 1253 XX yang dikemudikannya diperintahkan untuk membawa penumpang 35 orang Polisi. Di perjalanan yaitu bertempat di kilometer 36-37 jurusan Pacitan-Ponorogo desa Tegalombo, wilayah hukum Pengadilan Negeri Pacitan, telah terguling dan mengakibatkan 12 orang penumpang (Polisi) menderita luka-luka. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam hal ini pelaku didakwa berdasarkan Pasal 360 ayat (2) KUHP, “karena menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa hingga timbul, penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu”. Berdasarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas, Pengadilan
Negeri
Pacitan
menjatuhkan
putusannya
sebagai
berikut:
Putusan Pengadilan Negeri Menyatakan bahwa kesalahan tertuduh: karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan selama waktu tertentu” telah terbukti secara sah dan meyakinkan; Menyatakan pula bahwa perbuatan pidana yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan itu dilakukan oleh tertuduh karena adanya daya paksa (Pasal 48 KUHP) Melepaskan oleh karena itu tertuduh dari segala tuntutan hukum; Memerintahkan supaya ia segeradimerdekakan, kecuali kalau ia tertuduh karena alasan lain tetap ditahan penjara; Memerintahkan pula supaya barang bukti.........”10 Majelis Hakim menegaskan bahwa tindakan terdakwa tersebut adalah 10
Hamdan, 2012, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus, Jakarta: Refika Aditama, hal. 187-188 14
karena pengaruh overmacht. Maka dari itu, terdakwa tidak memenuhi unsur Pasal 360 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim sepakat bahwa perbuatan terdakwa termasuk melanggar
Pasal 48 KUHP. Oleh karena itu, terdakwa tidak dapat dituntut,
Karena yang dilakukan oleh terdakwa adalah benar dan terdakwa memiliki bukti, walaupun hal ini menyebabkan penumpang luka-luka, tapi karena dalam keadaan terpak (overmacht), maka terdakwa dinyatakan tidak dapat dituntut. PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : Pertama, dalam hukum Islam Overmacht hanya dibolehkan pada perbuatan-perbuatan jarimah yang berkaitan dengan makanan dan minuman, berdasarkan Q.S Al-Baqarah ayat (173) yang pada intinya tidak ada hukuman bagi siapa saja yang memakan bangkai, darah, daging babi, dan makanan apa saja yang di haramkan jika memang dalam keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas. Tapi apabila memang makanan dan minuman tersebut adalah hasil curian maka si terpaksa wajib memberikan ganti rugi kepada korban yang dicuri. Sedangkan untuk overmacht membunuh dan menganiaya berat dalam hukum Islam tidak boleh atau dilarang keras, terkecuali jika ada alasan atau sebab yang benar, berdasarkan pada Q.S Al-an‟am : 151 yang mengandung makna bahwa Allah telah mengharamkan membunuh jiwa seseorang, jika tidak ada sebab yang benar, misalnya murtad, dan berzina. Berbeda lagi dalam hukum pidana positif overmacht merupakan dasar peniadaan hukuman dari suatu tindak pidana dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, berdasarkan pasal 48 KUHP yang pada intinya bahwa bagi siapapun yang melakukan tindak pidana karena terpaksa maka tidak ada hukuman atas tindak pidana tersebut.
15
Kedua, implementasi sanksi untuk pelaku tindak pidana pembunuhan karena adanya overmacht hukuman yang dijatuhkan dalam
hukum Islam
terhadap si pelaku adalah dengan hukuman qisas, diyat, dan ta’zir. Sedangkan dalam hukum pidana positif sebaliknya yaitu pidana yang dilakukan karena overmacht maka tidak dipidana, karena adanya alasan pembenar yang mengakibatkan hapusnya sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan sipelaku menjadi perbuatan yang benar. Walaupun dalam kenyataannya perbuatan sipelaku telah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan oleh penulis, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: Pertama, bagi Mahasiswa supaya dapat mengetahui, menela‟ah, dan mengkaji tentang penafsiran dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana Positif. Kedua, bagi pemerintah sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat banyak keresahan terhadap moral bangsa yang semakin meresahkan khususnya tentang pembunuhan, Pemerintah yang diamanahi untuk membentuk hukum yang tegas dan adil dalam menangani segala macam tindak pidana, guna menyelamatkan moral bangsa ini.
16
DAFTAR PUSTAKA Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung; CV Mandar Maju Hanafi, Ahmad, 1967, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Penerbit Bulan Bintang Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, tt Ali, Daud, Muhammad, 1990, Hukum Islam, Jakarta; Penerbit Rajawali Pers Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi, hal. 42 Syahar, Syaidus, 1983, Asas-asas Hukum Islam, Bandung; Penerbit Alumni Moeljatno, 2008, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta; Bumi Aksara Departemen Agama RI, 2005, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Jumanatul’Ali-Art (J-ART) http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150415074100-20-46707/kronologi-sitizaenab-hingga-dihukum-mati-di-arab-saudi/. Pukul 17.41