TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MUHAYATI NIM. 072211012
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH IAIN WALISONGO SEMARANG 2011
Drs. H. Maksun,M.Ag Perum Griya Indo Permai A.22 Tambakaji Ngaliyan Semarang Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum Jl. Bukit Agung E.41 Semarang PERSET UJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi A.n. Sdri. Muhayati
Kpd Yth. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama : Muhayati Nomor Induk : 072211012 Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, 13 Muharam 1433 9 Desember 2011 Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Maksun, M.Ag NIP. 19680515 199303 1 002
Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum NIP. 19631219 199903 2 001
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH Jl.Prof. Dr. Hamka KM 2 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN Skripsi Saudara NIM Judul
: Muhayati : 072211012 :Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/baik/cukup, pada tanggal : dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012. Semarang,
Ketua Sidang,
Anthin Lathifah, M.Ag. NIP. 19751107 200112 2 002
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Maksun, M.Ag NIP. 19680515 199303 1 002
Penguji I,
Rustam DKAH, M. Ag NIP:19690723 199803 1 005
Penguji II,
M. Khasan, M.Ag NIP: 19741212 200312 1 004
Pembimbing I,
Drs. H. Maksun, M.Ag
NIP. 19680515 199303 1 002
Pembimbing II,
Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum NIP. 19631219 199903 2 001
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.
Semarang, 5 Desember 2011 Deklarator,
Muhayati NIM. 072211012
iv
MOTTO
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Al- Imran: 134) 1
1
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV Toha Putra, 1989,
hlm.538
v
ABSTRAK Seiring dengan perkembangan zaman yang membawa dampak di berbagai bidang, Banyak terjadi kasus pelanggaran hukum yang berlaku. Seperti terjadi pencurian, pemerkosaan maupun pembunuhan, yang merupakan perbuatan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Upaya yang dilakukan agar seseorang tidak mudah menumpahkan darah terhadap orang lain dalam rangka melindungi jiwa, kehormatan maupun harta benda yaitu dengan melakukan pembelaan ketika seseorang diserang atau dirampas haknya. Dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak diatur secara jelas bagaimana ketentuan pembelaan yang diperbolehkan. Sedangkan dalam hukum Islam selain ditentukan syarat pembelaan yang sah oleh para fuqaha, juga diatur upaya prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar yang bertujuan untuk mengurangi adanya tindak kriminal di dunia ini. Pada dasarnya hukum berfungsi untuk mengatur hak hidup seseorang, demi terciptanya kemaslahatan umat manusia (maqasidussyari’ah). Berawal dari Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa maka penulis ingin mengetahui sanksi pembelaan yang melampaui batas dalam hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist, maka harus diketahui syarat dan dasar hukumnya. Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai bagaimana pengertian dan jenis tindak pidana pembunuhan dalam KUHP dan hukum pidana Islam?, bagaimana syarat pembelaan yang diperbolehkan dalam KUHP maupun hukum pidana Islam? dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan? Penelitian menggunakan metode kualitatif, dengan sumber primer dan sekunder, data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content analysis. Kesimpulan akhir dari skripsi ini adalah terdapat persamaan dan perbedaan syarat pembelaan terpaksa dalam hukum pidana Islam dan hukum positif. Persamaan syarat tersebut yaitu objek yang dilindungi (jiwa, kehormatan dan harta benda sendiri maupun orang lain). Perbedaan yang mendasar yaitu melebihi batas pembelaan yang diperbolehkan. Jika dalam hukum positif diperbolehkan melampaui batas pembelaan terpaksa dengan syarat harus terdapat penyebab kegoncangan jiwa yang hebat (Pasal 49 ayat 2) yang bersifat kasuistik dan ditentukan oleh psikiater. Sedangkan pandangan hukum Islam dalam melakukan perbuatan pembelaan tidak boleh melebihi batas yang ditentukan, jika itu terjadi maka kelebihan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh seorang yang melakukan perbuatan tersebut. Tetapi dalam pembelaan jika sampai mengakibatkan kematian atau pembunuhan dalam melakukan pembelaan diri karena tidak ada cara lain, maka perbuatan itu diperbolehkan (asbab al-ibahah). Sedangkan dalam KUHP Pasal 49 ayat 1 dikenal pembelaan terpaksa (noodweer) sebagai alasan pembenar dan dalam ayat 2 dikenal istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan pemaaf untuk dasar penghapus hukuman. vi
PERSEMBAHAN Saya persembahkan untuk : Ibunda (Hj.Khasanah) dan Ayahanda (H.Soderi) tercinta dan tersayang Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putrimu. Para Kiai, Dosen dan Pembimbing Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti. Kakek Nenek yang penulis ta’dzimi Nasehat dan do’amu mengobarkan semangat cucumu. Kakak, Adik dan Seluruh keluarga Dukungan kalian tak akan pernah penulis sia-siakan. Dan untuk teman-teman yang selalu menemani Bersama dalam meraih cita-cita . Triwur, Fahmi, Himam, Farid, Kholek, Mustofa, Iqbal, Zani, Tegar, Habib, Yana dan Kayis Teman-teman senasib seperjuangan khususnya teman Justisia, teman JQH (Jami’atul Qura’ wal Huffadz), dan teman KKN desa Trayu posko 57 Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., yang telah menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga dengan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad SAW., beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orangorang yang mengikuti ajarannya. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. DR. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan para pembantu Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar dari awal hingga akhir. 2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya.
3. Drs. H. Maksun, M.Ag. dan Brilian Erna Wati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 4. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.
viii
5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian katakata. 6. Sahabat-sahabat penulis yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi ini 7. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan do’a semoga Allah SWT, membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada penulis. Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang semaksimal pula. Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 30 Desember 2011 Penulis
Muhayati NIM. 072211012
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………………...i PERSETUJUAN PEMBEIMBING………………………………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………………...iii HALAMAN DEKLARASI………………………………………………………………..………..iv HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………………….......v ABSTRAK PENELITIAN…………………………………………………………………………vi PERSEMBAHAN……………………………………………………………………………………vii KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..……...x BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………..1 B. Rumusan Masalah …………………………………………………………..11 C. Tujuan dan Manfaat ……………………………………………………......12 D. Telaah Pustaka ……………………………………………………………...13 E. Kerangka Teoriti …………………………………………………………….16 F. Metode Penelitian ………………………………………………………….21 G. Sistematika Pembahasan ………………………………………………..25
BAB II
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam…………………………………………………………………..26 B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP……………...………48 BAB III
PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP
x
A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam.............................................................................................................61 B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP …..75 C. Pertanggungjawaban Pidana.............................................................99 BAB IV
ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Tindak Pidana Pembunuhan………………………….…103 B. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa……………...106
C. Analisis Sanksi Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan………………………………………...116 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………...…131 B. Saran …………………………………………………………………………...133 C. Penutup……………………………………………………………………..….135
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I
A. Latar Belakang Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri. Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan laranganlarangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau ta‟zir . 1 Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut hanya
1
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1997, hlm. 89. Lihat juga dalam Abu Zahra, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr alArabi, tt, hlm.2. Had merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas hukuman qishash dan ta‟zir. Ta'zir dalam konteks bahasa adalah menolak dan mencegah kejahatan, Ta‟zir juga berarti memberi pelajaran. Para ulama mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh nas dan berkaitan dengan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar tidak mengulangi kejahatan serupa. Untuk lebih jelas lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 260.
untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. 2 Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan3 tersendiri yaitu, untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut al-dharuriyat al-khamsah yaitu yang terdiri dari hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql (menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl (menjaga keturunan).4 Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam. 5 Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur
2
Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.2. Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam adalah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahdzib), karena Islam sangat memeperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti. Sedangkan dalam hukum positif walaupun bertentangan dengan akhlak, tidak dianggap sebagai tindak pidana kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan dan ketentraman masyarakat. Lihat dalam A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 20006, hlm. 15. 4 Secara global, tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya yang biasa disebut Al Maqashidu Khamsah (Panca Tujuan). Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT QS. Al Anbiya: 107, QS. Al Imran: 159, QS. Al Baqarah: 201202, dalam Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Syaamil Cipta Media, 1984. Untuk lebih jelasnya lihat dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 65-67, lihat juga dalam Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1996, hlm. 7172, Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM (Human Right) yang bersifat primer (Daruriyyah) yang meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari‟ah. Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. 5 Satria Effendi M. Zein, Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif Hukum Islam, dalam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 107. 3
(relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat. Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubiius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat. 6 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat, konsepsi hukum Islam yaitu dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkunganya. Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Hukum Privat (Munakahat, Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al ahkam 6
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. ke-2, 1995, hlm. 48-49. Hukum merupakan peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat dan ditegakkan oleh penguasa. Lihat dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 43.
al sulthaniyah, Siyar, Mukhashamat).7 Di dalam ajaran Islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan dalam fiqh jinayah.8 Islam, seperti halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri maupun melakukan pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan memelihara manusia seluruhnya. 9 Jika pembunuhan itu terjadi juga, maka seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Permasalahanya adalah bagaimana jika pembunuhan sengaja tersebut dilakukan karena dalam upaya membela jiwa, kehormatan maupun harta benda baik untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain. Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah daf‟u as-sail. Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena: Pertama, hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu: 7
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007, hlm.9-10. Istilah Jinayah (crime, felony) adalah tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang dan anggota tubuh yang mengaharuskan adanya hukuman langsung di dunia atau yang berorientasi pada hasil perbuatan seseorang yang dilarang oleh syara', para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya terbatas pada perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Lihat H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1. 9 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2003, hlm. 71-72. 8
Pembelaan yang sah, Mendidik, Pengobatan, Permainan kesatrian, Halalnya jiwa, anggota badan dan harta seseorang, Hak dan kewajiban penguasa.. Kedua, hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku atau perbuatan yang dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman. Diantaranya yaitu: Paksaan, Mabuk, Gila dan Anak kecil (di bawah umur). Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi Prancis, setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa dibebani pertanggungjawaban apabila menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang dari pemeriksaan pengadilan
dan
hukuman.
Demikian
juga
seseorang
harus
mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. Baru setelah revolusi Prancis
dengan
timbulnya
aliran
tradisionalisme
dan
lain-lainnya,
pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan dan pilihan. 10 Maka tidak ada pertanggungjawaban pidana selama perbuatannya itu tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab
10
Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 156-158.
dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya, karena keduanya merupakan illat (sebab) adanya jarimah. Dalam hukum pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi: “Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan untuk jiwa, kehormatan atau harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Sedangkan pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”11 Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”. Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sedangakan dalam hukum Islam tidak diatur secara jelas pembelaan yang diperbolehkan dan juga sanksi bagi pelaku pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya berdasarkan firman Allah SWT.
11
Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hlm. 26.
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” 12 Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran menyerang balik ketika diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan sanksi bagi penyerang jika melebihi batas serangan. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa), meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran daaddader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi : a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon. b) Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan
terdakwa,
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon. 13 Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk membahas judul tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan,
12 13
QS. Al Baqarah (2): 194 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 137-138.
yang pertama adalah bahwa Islam sangat melindungi hak hidup seseorang. Hal ini terbukti dalam tujuan syara’ atau yang lebih dikenal dengan istilah AlMaqasidul Khamsah (panca tujuan) salah satunya memelihara jiwa dan AlQur'an telah banyak menjelaskan tentang sanksi berkenaan dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Di antara jenis-jenis hukum qishash disebutkan dalam al-Qur'an ialah: qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash dari luka. Semua kejahatan yang menimpa seseorang, hukumannya adalah dianalogikan dengan qishash yakni berdasar atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman qishash.14 Begitupun dalam hukum positif juga diatur masalah sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang terberat. Yang kedua karena dalam KUHP pasal 29 ayat 1 tentang pembelaan terpaksa, dan juga dalam Hukum Pidana Islam diatur tentang pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya, maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal tersebut dan bagaimana ketentuan pembelaan terpaksa dalam hukum Islam, karena dalam Pasal tersebut tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaaan yang diperbolehkan. Begitu juga dalam pasal 49 ayat 2 tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas yang diperbolehkan dalam melakukan suatu pembelaan. Terdapat kasus di
14
A. Wardi Muslich, op.cit, hlm. 18. Lihat dalam QS. Al Baqarah: 178-179. Qishash adalah pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaya kalau ia menganiaya. Hukuman qishash dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
Jakarta Pembelaan diri mahasiswi Universitas Paramadina, Leni (21) dari serangan pacarnya, Anjas, (27) yang justru berujung di pengadilan. Padahal tindakan Leni merupakan bentuk perlawanan yang dilakukan untuk mempertahankan dirinya dari serangan Anjas. Kronologis ceritanya yaitu Anjas bertemu Leni di rumah Leni di Kemayoran pada 22 November 2010. Awalnya Anjas meminta proses putus pacaran diselesaikan dengan baik-baik. Tidak berapa lama, Anjas mulai menunjukan hal aneh. Tiba-tiba saja Anjas memaksa Leni menciumnya. Lalu Anjas juga memegang-megang tubuh Leni. Leni pun membela diri dengan menyiram Anjas dengan air panas dalam gelas. Dalam konsep hukum pidana, penganiyaan dilakukan oleh orang yang mempunyai peran dominan terhadap orang lain. Unsur dominan bisa ditandakan dengan adanya senjata, jumlah orang yang tidak seimbang, atau unsur jenis kelamin. Keduanya melakukan dengan tangan kosong. Tapi yang satu laki-laki dan satu perempuan. Maka unsur dominan ada di laki-laki. Sehingga wajar saja perempuan melawan laki-laki dengan perlawanan yang tidak seimbang. Seharusnya dakwaan jaksa harus dilihat ke belakang lebih jauh. Yaitu Anjas yang akan melakukan pelecehan seksual terhadap Leni. Meski keduanya terikat dalam hubungan pacaran, tapi bukan lisensi untuk menyentuh perempuan tanpa izin. Jangankan dalam hubungan pacaran, dokter saja harus minta izin apabila mau menyentuh pasien. Setiap pasangan harus menghormati pasangan, tidak boleh memaksa.
Jadi, Kedua belah pihak seharusnya sama-sama dipidana. Tetapi jika dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi syarat pembelaan terpaksa, seharusnya Leni bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam kasus Leni, jika Leni dijadikan terdakwa maka Anjas pun harus dijadikan terdakwa pula. Tetapi
di
sini
jaksa malah menetapkan Leni sebagai terdakwa dengan ancaman 2,5 tahun penjara. 15 Berarti di sini seorang wanita yang melakukan pembelaan diri yang melampaui batas tetapi pada dasarnya tidak menginginkan akibat hukum terhadap seseorang karena dia dalam keadaan darurat16 sehingga terpaksa melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan kehormatannya. Dari uraian tersebut maka dalam skripsi ini penulis juga akan menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai pembelaan baik dalam hukum positif maupun hukum Islam agar pasal tersebut tetap berfungsi/ tidak menjadi pasal mati, karena sulit dalam pembuktiannya. Secara mendalam masalah ini akan penulis jelaskan dalam skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum
15
http://www.detiknews.blogspot.com/read/2011/06/17/ahli-hukum-leni-bela-diri-anjas-yang-harusnya-terdakwa., diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011, 09.00 16 Keadaan darurat tidak dapat mempengaruhi tindak pidana pembunuhan, pelukaan dan pemotongan anggota badan. Orang yang berada dalam keadaan darurat tidak boleh membunuh, melukai, atau memotong orang lain dalam upaya menyelamatkan dirinya dari kematian. Dicontohkan suatu kelompok orang berada dalam sampan yang hampir tenggelam karena beratnya muatan, penumpang tidak boleh melemparkan penumpang yang lain ke dalam air untuk meringankan beban sampan dan dalam upaya menyelamatkan diri dari kematian. Lihat dalam Ali Yafie, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma ilmu, 2009, hlm. 236. Dari contoh tersebut menurut hukum pidana Indonesia, walaupun perbuatan tersebut pada kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, namun dalam keadaan darurat dalam hukum pidana Indonesia ini berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk dalam tindak pidana pembunuhan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Untuk lebih jelas lihat dalam Rahman Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm. 86.
Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.
B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka munculah berbagai permasalahan
yang
menarik
untuk
dibahas.
Untuk
memfokuskan
permasalahan agar sesuai dengan kajian skripsi ini, penulis berusaha mencari titik temu point permasalahan yang dikehendaki, antara lain: 1. Bagaimana perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang tindak pidana pembunuhan ? 2. Bagaimana ketentuan syarat yang terdapat di dalam pembelaan terpaksa dalam Hukum Islam dan Hukum Positif? 3. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang mengakibatkan pembunuhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan karya tulis ini pada umumnya untuk mengetahui jawaban dari perumusan masalah diatas, lebih spesifik lagi diantaranya yaitu: 1. Untuk mengetahui dasar hukum tindak pidana pembunuhan dalam Hukum Islam dan KUHP 2. Untuk menjelaskan unsur atau syarat yang terdapat di dalam Pembelaan Terpaksa yang melampui Batas dalam Hukum Islam dan Hukum positif.
3. Untuk mengetahui sanksi pelaku Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas Sehingga Mengakibatkan Pembunuhan dalam Hukum Islam. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: Manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif tentang pembelaan terpaksa melapaui batas yang mengakibatkan pembunuhan. Dalam penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat menggali nilai hukum yang hidup secara alami tumbuh untuk kepentingan sosial, agar dapat membedakan antara pembelaan yang sah dan yang melampaui batas, dan memberi manfaat secara teoritik dan fakta hukum dalam perkembangan permasalahan yang luas terhadap pembelaan terpaksa yang mengakibatkan pembunuhan
D. Telaah Pustaka Hukum Islam merupakan salah satu substansi ajaran agama Islam yang diyakini kebenaran dan kesempurnaannya yang bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, hukum tersebut hidup dalam masyarakat Islam, sehingga menjadi pedoman umat dalam berbagai bidang diantaranya masalah Jinayat. Secara teoretis hukum Islam atau yang dikenal dengann fiqh bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi para fuqaha (jama’ dari faqih) sering berbeda pendapat dalam memahami konsep dari dua sumber tersebut.
Perbedaan ini di pengaruhi oleh kurun waktu dan lingkungan dimana para fuqaha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan. Penelitian mengenai pembelaan terpaksa ini dalam hukum pidana telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dengan pendekatan yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan beberapa literatur yang akan penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian maupun penemuan sebelumya). Disamping itu juga banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis dalam membahas masalah pembelaan terpaksa, tetapi karya pemikiran yang menggunakan sudut pandang hukum Islam masih begitu sedikit. Sepanjang pelacakan dan penelaahan yang penulis lakukan, baik di kalangan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang maupun sacara umum, belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pembelaan Terpaksa melampaui batas sehingga mengakibatkan pembunuhan. Terdapat skripsi di IAIN Walisongo Semarang karya M. Eko Wahyudi (NIM: 2199184) tahun 2004 dengan judul: Analisis Atas Pemikiran Muhammad Abu Zahrah tentang Pembunuhan sebagai Upaya dalam Mempertahankan Harta. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini bahwa menurut Imam Abu Zahrah seseorang yang membunuh dengan alasan mempertahankan harta dibolehkan, pelakunya digugurkan dari perbuatannya dan tidak ada hukuman baginya.
Skripsi buah karya oleh Syarifudin (NIM: 2198007) tahun 2003 dengan judul: Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena Mempertahankan Diri dari Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i). Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang wanita yang membunuh dengan sengaja karena mempertahankan diri menurut pandangan madzhab Syafi’i pelakunya digugurkan dari perbuatanya dan tidak ada hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun kafarat. Adapun pembahasan mengenai Hukuman (sanksi) pembelaan terpaksa pernah ada yang membahas dalam bentuk skripsi, yaitu "Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 961/Pid.B/2008/PN.Jr) oleh Siti Anisa, Universitas Hukum Fakultas Hukum yang menjelaskan bahwa seorang terdakwa yang berkeyakinan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan pembelaan terpaksa tetapi dapat diabaikan karena sebagian atau beberapa unsur mengenai pembelaan terpaksa melampui batas tidak terpenuhi dalam pembuktian. Jadi, perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan. Tetapi agar menjadi dasar untuk memperingan hukuman terdakwa yang dalam hal ini, menyerahkan dirinya dan mengakui kesalahannya, karena terdakwa berkeyakinan bahwa perbuatannya merupakan pembelaan terpaksa pasal 49 ayat 2. Sedangkan yang membedakan penelitian sebelumnya dengan skripsi ini adalah skripsi ini tidak bersifat spesifik hanya membahas tentang mempertahankan harta, kehormatan tetapi lebih bersifat umum yaitu upaya
perlindungan terhadap jiwa, kehormatan maupun harta yang berupa pembelaan diri ketika akan diserang atau dirampas haknya. Skripsi ini juga bukan merupakan studi tokoh maupun analisis Putusan pengadilan tapi lebih kepada sudut pandang Islam. Maka untuk membedakan skripsi ini dengan bahasan yang sudah ada, penulis ingin membahas tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pembunuhan dengan harapan pembahasan ini akan menjadi bahasan yang lebih lengkap dan seimbang.
E. Kerangka Teori Mengenai manusia sebagai makhluk, Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Oleh karenanya tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Tiap hubungan tentu menimbulkan hak dan kewajiban. 17 Pandangan tentang hukum selama Abad Pertengahan, tidak pernah lepas dari keyakinan orang-orang sebagai orang beragama. Baik dalam agama Kristiani maupun dalam agama Islam, aturan hukum ditanggapi sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Namun terdapat perbedaan juga dalam pandangan orang-orang terhadap hukum yakni mengenai hubungannya dengan Tuhan. Dalam kalangan umat Islam, aturan hukum ditanggapi sebagai suatu
17
Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.49.
gejala yang langsung bertalian denga wahyu. Aturan hukum diciptakan berazaskan wahyu dan karenanya harus dipikirkan dalam rangka wahyu itu. 18 Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayah) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang
diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan
adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan yang membawa hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan. 19 Ada dua dimensi dalam memahami hukum Islam. 1. Hukum Islam berdimensi Ilahiyyah, Diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari Mahabenar. Pengertian ini dipahami sebagi syari’at yang cakupannya sangat luas tidak hanya terbatas pada fiqih dalam artian terminologi. 2 Hukum yang berdimensi insaniyyah. Dimensi ini mengakomodasi upaya manusia secara sungguhsungguh untuk memahami ajaran yang bernilai suci dengan melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqasid. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai produk pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal
18
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Bandung: Nusa media, 2004, hlm. 48. 19 Topo Santoso, op.cit, hlm. 20.
dengan sebutan ijtihad atau pada tingkat yang lebih teknis disebut istinbath al-ahkam20 Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya dalam memahami kaidah hukum yang fundamental yang terdapat pada al-Qur’an. Kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat pada Sunnah Nabi dapat dirumuskan oleh akal menjadi garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu atau berusaha merumuskan garis atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam. 21 Banyaknya masalah dan problema hukum yang muncul kemudian, akhirnya menimbulkan pemikiran dan menyita perhatian di kalangan ulama, karena masalah-masalah tersebut tidak terdapat dalam nas. Dengan demikian peran ijtihad sangat penting dalam menggali hukum Islam. Adapun penerapan metode-metode ijtihad dalam prakteknya juga didasarkan atas Maqasid asySyari'ah. Dalam menentukan sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan, maka penulis menggunakan metode Ijtihad dengan pendekatan Maqasid asy-Syari'ah karena akan terjadi madharat yang lebih besar terhadap diri sendiri maupun orang lain jika masalah pembelaan diri tidak diatur secara rinci. Seseorang akan merasa takut akan dihukum jika melakukan pembelaan tetapi melampaui batas. Penulis menggunakan ijtihad dalam skripsi ini agar Maqasid asy-Syari'ah dalam Islam tercapai. Dengan 20
Jaih Mubarrok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-3, 2003, hlm. 7. 21 Muhammad Daud Ali, op.cit, hlm. 114.
mempertimbangkan masalah maslahat yang lebih besar dari pada madharat. Ijtihad hukum ini juga berfungsi sebagai upaya prefentif, agar seseorang tidak mudah dalam menyerang orang lain bahkan sampai menumpahkan darah. Maqasid jamak dari kata maqsid yang berarti tuntutan, kesengajaan atau tujuan. Menurut istilah maqasid asy-Syari'ah adalah al-Ma'anni Allati Syuri'at Laha al ahKam (kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum). Jadi, Maqasid asy-Syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Kajian terhadap Maqasid asy-Syari'ah itu sangat penting dalam upaya ijtihad hukum. Karena Maqasid asy-Syari'ah dapat menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini menjadi suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam nas. Peran dominan dari al-Qur’an dan Sunnah tidak berhenti hanya dengan wafatnya Nabi, walaupun ini berarti berhentinya proses pewahyuan. Namun karena permasalahan hukum semakin komplek dengan semakin meluasnya wilayah Islam, umat Islam memerlukan metodologi yang mapan yang dapat memecahkan permasalahan mereka. Para ahli hukum Islam merespon kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur Ijma’ dan Qiyas yang keduanya merupakan sumber sekunder hukum Islam yang esensinya menekankan kepada pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum. 22 Dalam hukum Islam, pembelaan diri tidak diatur secara jelas mengenai syarat maupun sanksi jika melakukan pembelaan dengan melampaui batas.
22
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2008, hlm. 96.
Tetapi para fuqaha bersandar atas firman Allah SWT: QS. Al Baqarah (2): 194. Menetapkan syarat yang diperbolehkan dalam hokum Islam. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku di dalam masyarakat,
bahkan dapat
dikatakan bahwa
hukum itu
merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.23 Di manapun juga hukum tidak akan dapat mengikuti setiap perkembangan
yang
terjadi
perkembangan yang terjadi
dalam
masyarakat.
Ini
berarti
bahwa
di dalam masyarakat lebih cepat dari pada
perubahan hukum. 24 Hal ini mengakibatkan bahwa hukum selalu ketinggalan atau dengan perkataan lain, hukum tidak pernah mendahului untuk mengatur hal-hal yang akan terjadi atau yang belum pernah terjadi, sehingga sangat memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas oleh para ahli hukum Islam adalah hudud, qishash, dan ta‟zir. Kategori qishash jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta‟zir dalam hal beratnya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya
23
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1976, hlm. 10. 24 Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. 13. Lihat juga CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 8.
(ta‟zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini. Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang dilarang keras oleh agama karena akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain dan mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup dan mati. Maka dalam menentukan sanksi dalam pembelaan terpaksa yang sudah diatur dalam KUHP dan hukum Islam, harus dilihat seberapa jauh pembelaan melampaui batas dilakukan, apakah unsur syarat pembelaan terpenuhi. Jika tidak, maka harus dilihat dampak yang terjadi.
F. Metode Penelitian Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian
adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. 25 Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach). Sudut pandang yang digunakan bersifat kualitatif dengan pola deskriptif, 26 Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah membahas dan memahami dasar hukum pembelaan terpaksa yang melampaui batas melalui kajian pustaka. 2. Sumber Data Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 27 Antara lain: a. Data Primer Merupakan karya yang langsung diperoleh dari tangan pertama (langsung dari sumbernya) yang terkait dengan thema penting ini. Jadi, merupakan data pokok untuk mengumpulkan data kajian.
25
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-4, 2000, hlm. 9. 26 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.105, secara harfiah penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam cara deskriptif, peneliti tidak perlu mencari dan menerangkan saling hubungan akumulasi data kasar, mentes hipotesis, membuat ramalan, walaupun hal-hal tersebut dapat juga menjadi cakupan dalam metode deskriptif, dengan kata lain, laporan penelitian berisi kutipan data untuk memberi gambaran penyajian dengan menganalisis data tersebut. Lihat dalam Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: Grafindo Persada, Cet. ke-4, 1995, hlm. 10. 27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 102.
Seperti: Kitab at-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamy karya Abdul Qadir Audah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku yang berhubungan dengan objek penelitian, skripsi, buku-buku, artikel, jurnal penelitian, tesis dan peraturan perundang-undangan atau data yang berasal dari orang kedua artinya data merupakan interpretasi dari seorang penulis terhadap karya seseorang. Seperti: Asas-Asas Hukum Pidana Islam oleh Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia oleh Moeljatno, Hukum Pidana Islam, karya Ahmad Wardi Muslih dan buku-buku lain yang relevan. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sesuai dengan penelitian ilmiah menggunakan teknik tertentu. Teknik pengumpulan data dalam kajian ini diistilahkan dengan instrumen penelitian antara lain dengan cara: Dokumentasi (Documentation),dilakukan dengan cara pengumpulan beberapa informasi pengetahuan, fakta dan data. Sebagai bahan tambahan informasi mengenai Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembelaan terpaksa melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, website, publikasi, dan hasil penelitian.28 Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer
28
Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 106
maupun skunder akan diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat. 4. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang ada mengenai delik pembunuhan maupun tentang pembelaan terpaksa yang bersumber dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menjelaskan teks-teks yang memerlukan penjelasan, terutama dalam hukum pidana Islam 5. Metode Analisis Data Adalah upaya yang dilakukan untuk mencari dan menata secara sistematis hasil dari data yang sudah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman penulis tentang kasus yang diteliti. Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis data yang berhasil dihimpun, karena kajian ini bersifat literatur murni, maka analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analisis) dengan pendekatan Induktif yang merupakan pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum29, metode ini penulis gunakan untuk menganalisis pasal 49 ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang melebihi batas dan delik pembunuhan ditinjau dalam hukum Islam.
29
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, Bandung: Remaja Roesda Karya, 2006, hlm.10
G. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika pembahasan dalam skripsi ini, dibagi menjadi lima bab, sebagai berikut :: BAB I
Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Kerangka Teori, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika penulisan. BAB II Memberi gambaran secara sederhana tentang pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam dan hukum Positif. Pembahasan ini akan dimulai dengan pendefisian mengenai delik pembunuhan dilanjutkan dengan pemaparan tentang pembagian atau ruang lingkup delik pembunuhan juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan. BAB III
Penulis menguraikan tentang Pembelaan terpaksa melampaui
batas dalam hukum pidana Islam dan hukum positif. Pembahasan ini juga meliputi Pengertian Pembelaan Melampui Batas dan Batasannya, MacamMacam Pembelaan, Syarat Pembelaan, Alasan penghapus hukuman dalam Pertanggung Jawaban Pidana. BAB IV Merupakan bab yang berisi kajian Analisis masalah Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak pidana Pembunuhan. BAB V merupakan penutup yang terdiri dari; kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, serta saran-saran sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dan lampiran-lampiran.
BAB II
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan dalam Islam Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar madhi
, dari fi‟il
yang artinya membunuh. Dalam Bahasa Arab ألقتلberasal dari kata
يقتل – قتلyang artinya membunuh.1 Adapun secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu
perbuatan
mematikan
atau
perbuatan
seseorang
yang
dapat
menghancurkan bangunan kemanusiaan. 2 Sedangkan menurut Abdul Qadir „Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa orang lain. 3 Definisi lain yang dinyatakan oleh Amir Syaifuddin, bahwa yang dimaksud pembunuhan adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Nabi karena merupakan satu sendi kehidupan.4
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989, hlm.
331. 2
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. ke-3, 1989, hlm. 217. 3 Abdul Qadir „Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, t.t., hlm.6, Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang atau beberapa orang meninggal dunia. Lihat dalam Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 24. 4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.258.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim qihsash (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishash), yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya. 5 Manusia selalu memiliki hak-hak dasar (basic rights) yaitu: hak untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak kebebasan, hak untuk memilih agama (kepercayaan) dan lain-lain. 6 Membunuh merupakan unsur utama dari unsur-unsur kejahatan, yaitu mengambil hak hidup. Jadi, dapat disimpulkan pengertian pembunuhan adalah,
"menghilangkan
nyawa,
dilakukan
oleh
manusia
yang
bertanggungjawab atas perbuatannya". Itulah definisi yang dianggap suatu kejahatan yang mewajibkan untuk menerapkan sanksi qishash.7 2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu:
5
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet. ke-2, 1990, hlm. 263. 6 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan; Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, tim penyusun, A. Ubaidilla (et al.), Jakarta: IAIN Press, 2000, hlm. 207. 7 Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari‟ah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980, hlm. 356. Oleh karena itu Mahmud Syaltut menjelaskan tidak termasuk kriteria pembunuhan apabila pembunuhan itu dilakukan bukan pada nyawa manusia, membunuh yang belum jelas hidupnya, menghilangkan nyawa orang yang pasti hidup, akan tetapi belum tentu hidup, seperti orang yang sedang sekarat karena pembunuhan sebelumnya, hilang nyawa manusia karena bukan perbuatan manusia sama sekali (mati sampai ajal), hilangnya nyawa manusia, sebab bukan perbuatan manusia dan tidak ada campur tangan, membunuh manusia oleh orang yang tidak bisa bertanggung jawab, seperti anakanak dan orang gila, sampai anak itu dewasa dan orang gila itu sembuh, kemudian menghilangkan nyawa manusia dengan suatu tindakan yang biasanya tidak membunuh, seperti meremas dengan jari dan lain-lain. Apabila seseorang membunuh di luar dari kriteria tersebut, maka pelaku pembunuhan tersebut wajib di kenakan qishash, apabila tidak mendapatkan maaf dari keluarga korban. Pembunuhan merupakan unsur dari kejahatan yang harus diberikan sanksi agar pelaku tidak mengulanginya dan hak-hak manusia terlindungi
1. Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena ada unsur permusuhan dan penganiayaan. 2. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang tidak dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qishash. 8 Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Pembunuhan sengaja (qatl al- „amd) Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah. 9
8
Wahbah az-Zuhaili, op.cit , hlm. 220. Zainudin Ali, op. cit, hlm. 24. Adapun Amir Syaifudin mengemukakan bahwa pembunuhan sengaja “qatl al amd” adalah pembunuhan yang terdapat unsur kesengajaan baik dalam sasaran ataupun kesengajaan dalam alat yang digunakan. Dalam ajaran Islam, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang yang dilindungi jiwanya, disamping dianggap 9
Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur‟an :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu : a) Korban adalah orang yang hidup. b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban. c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Dan unsur yang terpenting diantara ketiganya ialah pada unsur yang ketiga, yaitu adanya niat si pelaku. Hal ini sangat penting karena niat pelaku itu merupakan syarat utama dalam pembunuhan sengaja. 11 Dan masalah tersebut menjadi perbincangan para ulama karena niat itu terletak dalam hati, sehingga tidak dapat diketahui. Dengan demikian akan ada kesulitan dalam membuktikan bahwa seseorang melakukan pembunuhan itu apakah dengan sengaja atau tidak. Oleh karena itu para fuqaha sebagai suatu jarimah, juga merupakan dosa paling besar, Lihat dalam Syaifudin, op.cit, hlm. 259 10 QS. Al Isra (17): 33, Anak Nabi Adam yang pertama adalah Qabil. Orang pertama yang menumpahkan darah yaitu dengan membunuh Habil. Menurut Imam Nawawi”Barang siapa yang menciptakan keburukan, lalu diikuti oleh orang lain, maka ia turut mendapat dosa pelaku setelahnya hingga hari Kiamat” 11 H.A. Djazuli, op.cit, hlm. 128-129, ”Setiap perbuatan adalah karena niatnyadan bagi seseorang adalah apa yang diniatkannya”. Karena itu harus dibedakan antara melawan hukum (al-ishyan), yang biasa terdapat pada jarimah kesengajaan (amdiyah) dan jarimah al khata’ (al-khata’) dengan kasad (maksud) melawan hukum (qasdulishyan) yang hanya terdapat pada jarimah kesengajaaan. Lihat juga dalam Ahmad hanafi, op. cit, hlm. 159.
mencoba mengatasi kesulitan ini dengan cara melihat alat yang digunakan dalam pembunuhan itu.12 Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat menyebabkan mati. 13 Sedangkan menurut Abdul Qodir „Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak bermaksud membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka tidak dinamakan dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati (masuk dalam katagori syibh „amd).14 Menurut Imam syafi‟i dan pendapat yang kuat dikalangan mazhab Hambali, dianggap sebagai pembunuhan sengaja, selama ia dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan menghendaki pila hilangnya nyawa si korban. 15 2)
Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al„amd) Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul
12
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 10. As-Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 435. 14 Abdul Qadir „Audah, op. cit, Jilid II, hlm.10. 15 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 171. 13
dengan batu kecil, tangan, pensil, atau tongkat yang ringan, dan antara pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu, pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian, maka tidak dinamakan qatl al-„amd, karena umumnya keadaan seperti itu dapat mematikan. Atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang
kepada
orang
lain
dengan
tujuan
mendidik,
misalnya: seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul meninggal, maka perbuatan tersebut dinamakan syibhu al amdi.16 Dalam pembunuhan semi sengaja ini17, ada 2 (dua) unsur yang berlainan, yaitu kesengajaan di satu sisi dan kesalahan disisi lain. Perbuatan si pelaku untuk memukul si korban adalah disengaja, namun akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut sama sekali tidak diinginkan pelaku. Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi sengaja, yaitu ; a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian. 16
Zainudin Ali, op. cit, hlm. 24. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa “Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang pada ghalibnya tidak mematikan”, lihat dalam, Jaih Mubarok, op. cit, hlm. 15. 17 Menurut Imam Syafi‟i, jika ia dengan sengaja mengadakan perbuatan dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa korban tapi ternyata hilangnya nyawa tetap terjadi meskipun pada dasarnya perbuatan tersebut tidak membawa kematian, maka disebut pembunuhan semi sengaja.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan. c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.18 3) Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata‟) Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang lain), kemudian mati.19 Menurut Sayid Sabiq, pembunuhan tidak sengaja adalah ketidaksengajaan dalam kedua unsur, yaitu perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya, dalam pembunuhan tidak sengaja, perbuatan tersebut tidak diniati dan akibat yang terjadipun sama sekali tidak dikehendaki. 20 Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu ; a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.21 Dengan adanya pembunuhan, berarti ia telah melakukan pelanggaran tindak pidana, dan apabila seseorang melakukan tindak pidana, maka ia akan menerima konsekuensi (akibat) logis atas perbuatannya. Dalam mengartikan pembunuhan, macam-macam pembunuhan dan lain-lainnya, 18
H.A. Djazuli, op.cit,. hlm. 132. Zainudin Ali, loc. cit. 20 Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 , hlm. 152-153. 21 H.A. Djazuli, op.cit, hlm. 134-135. 19
para ulama banyak yang berselisih pendapat. Adapun macam-macam pembunuhan menurut Ibnu Hazm22 dan Imam Maliki itu hanya terbagi kedalam dua macam yaitu, pembunuhan sengaja (Qatl 'Amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya, dan pembunuhan tidak sengaja (Qatl alKhata'), yaitu pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan. Dalam jenis pembunuhan ini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan tanpa maksud melakukan kejahatan, tetapi mengakibatkan kematian seseorang; kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error in Concrito). 2. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja menembak musuh yang harus ditembak dalam peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri; kesalahan demikian disebut salah dalam maksud (error in objecto).
22
Ibnu Hazm menolak pembunuhan sengaja salah (Qatl al-Khata'), seperti yang diungkapkan oleh ulama lain, lebih lanjut Ibnu Hazm berpendapat, bahwa pembunuhan sengaja salah adalah pendapat fasid yang menyalahi Nas al-Qur'an dan sunnah, karena dalam al-Qur'an dan sunnah sendiri tidak menerangkan sama sekali. Seperti macam pembunuhan yang dianut oleh Mazhab Hanafi, Hambali dan Syafi'i, yang menambahkan adanya pembunuhan semi sengaja) syibhu al amdi), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Adapun dalam pembunuhan salah Ibnu Hazm mengatakan, bahwa pembunuhan tersebut bukan suatu dosa, sebab suatu dosa itu yang dilarang Allah, sedang kesalahan itu tidak dilarang Allah Karena kesalahan itu di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, segala kesalahan diampuni Allah dan tidak berdosa bagi orang yang tersalah.
3. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati.23 Pendapat Ibnu Hazm di atas berdasar atas Firman Allah SWT:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)”24 “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”25 Dalam ayat diatas Allah tidak menempatkan pembunuhan bagian ketiga, yang terletak antara pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Macam-macam pembunuhan menurut Mahmud Syaltut, pembunuhan itu hanya terbagi kedalam dua macam yaitu, pembunuhan sengaja (pembunuhan yang dilakukan karena unsur kesengajaan), dan pembunuhan salah (Pembunuhan yang dilakukan karena unsur ketidaksengajaan yang mengakibatkan kematian), adapun mengenai alat pembunuhan tidak dapat diterapkan dalam pembunuhan karena dalam al-Qur'an dan hadis sahih pun
23
Ibid, hlm.123-124. QS. An Nisa‟(4): 92. 25 QS. An Nisa‟ (4): 93. 24
tidak menjelaskan alat yang digunakan dalam pembunuhan, akan tetapi hanya menjelaskan macam-macam pembunuhan saja. Sedangkan mengenai alat pembunuhan diserahkan kepada ketentuan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. 26 Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pembunuhan yaitu 27 : a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat yang tajam, melukai, dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan. Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja haruslah alat yang dapat melukai (Tajam) seperti pisau, pedang, panah, tombak kayu dan lain-lain yang dapat menghilangkan nyawa tanpa ada keraguan. Hal ini didasarkan atas keharusan adanya keyakinan yang nyata bahwa hilangnya nyawa atau kematian korban adalah suatu yang dikehendaki. b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishash atau syibh „amd yang sengaja mewajibkan diat. c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan pistol, dan lain-lain. 26
Mahmud Syaltut, op. cit, hlm. 359. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. ke-2, 1981, hlm. 232. 27
d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan perantara atau sebab kematian. Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam, 28 yaitu : 1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh. 2) Sebab Syar‟iy, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena keadilan) untuk menganiaya secara sengaja. 3) Sebab „Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang lain yang sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya sehingga ada orang terperosok dan mati. e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan, seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala, harimau, ular dan lain sebagainya. f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar. g. Pembunuhan dengan cara mencekik. h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa memberinya makanan dan minuman. i.
Pembunuhan dengan cara
menakut-nakuti
atau
mengintimidasi.
Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena
28
Ibid, hlm. 233.
terjadi juga melalui perbuatan ma‟nawi yang berpengaruh pada psikis seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan lain sebagainya. 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang berasal dari kata عقب, yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya. 29 Maksud adanya hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah karena Islam itu sebagai Rahmat-an lil‟alamin,untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum pidana Islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qishash, kedua, sanksi pengganti, berupa diat dan ta‟zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat. 30 a. Sanksi Asli/Pokok
29
Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hm. 6. Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat, Lihat dalam Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 55. Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya, Lihat dalam, H.A. Jazuli, op.cit, hlm. 26-27. 30 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, Jilid VI, hlm. 261.
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam alQur‟an dan al-Hadis adalah qishash. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqishash (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi‟iyah menambahkan bahwa di samping qishash, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah. Qishash diakui keberadaannya oleh al-Qur‟an, as-Sunnah, Ijma‟ ulama, demikian pula akal memandang bahwa disyari‟atkannya qishash adalah demi keadilan dan kemaslahatan. 31 Hal ini ditegaskan al-Qur‟an dalam sebuah ayat; “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”32 Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan qishash33, yaitu : a. Syarat-syarat bagi pembunuh Ada 3 syarat, yaitu : 1. pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah diqishash apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif. Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat atau maksud yang sah. 31
Ibid, hlm. 264. QS. Al Baqarah (2): 179. 33 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, Jilid VI, hlm. 297.
32
2. Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya. 3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqishash, tetapi menurut Jumhur tetap diqishash walaupun dipaksa. b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban) Juga ada 3, yaitu : 1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun orang yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan, dan pemberontak, jika orang muslim atau zimmy membunuh mereka, maka hukum qishash tidak berlaku. 2. Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak), tidak diqishash ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat ke bawah 3. Korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam islam dan kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur (selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqishash seorang Islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak dll. c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishash, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya dikenakan hukuman membayar diat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan langsung atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qishash, karena keduanya berakibat sama.34 d. Syarat-syarat bagi wali korban Menurut
Hanafiyah,
wali
korban
yang
berhak
untuk
mengqishash haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika tidak, maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qishash adalah pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Qishash wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qishash. 35 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” 36
34
Abdul Qodir „Audah, op.cit, hlm.132. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hlm. 276. 36 QS. Al Baqarah (2): 178. 35
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak hanya qishash, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka menghendaki qishash, maka dilaksanakan hukum qishash, tapi jika menginginkan diat, maka wajiblah pelaku membayar diat. Hukum qishash menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut: a. Matinya pelaku kejahatan Kalau orang yang akan menjalani qishash telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qishash atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diat yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali korban si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam asy-Syafi‟i. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya. b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz. c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dengan wali korban d. Adanya penuntutan qishash b. Sanksi Pengganti 1) Diat
Diat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diat untuk anggota badan disebut „Irsy.37 Dalil disyari‟atkannya diat adalah: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat.”38 Pada mulanya pembayaran diat menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan unta. Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.39 Sedangkan diat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diat mugallazah dan diat mukhaffafah. Adapun diat mugallazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai pembunuhan sengaja. 37
Abdul Qodir „Audah, op. cit, hlm. 298. QS. An Nisa‟ (4): 92. 39 As-Sayyid Sabiq, op. cit, 552-553.
38
Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya. 40 Jumlah diat mugallazah apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah sebagai berikut : a. 30 ekor unta hiqqah (unta berumur 4 tahun) b. 30 ekor unta jad‟ah (unta berumur 5 tahun) c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung) Adapun
diat
mukhaffafah
itu
dibebankan
kepada
„aqilah
(wali/keluarga pembunuh) pelaku pembunuhan kesalahan dan dibayarkan dengan diangsur selama kurun waktu tiga tahun, dengan jumlah diat 100 ekor unta, yaitu : a. 20 ekor unta bintu ma‟khad (unta betina berumur 2 tahun) b. 20 ekor unta ibnu ma‟khad (unta jantan berumur 2 tahun) c. 20 ekor bintu labin (unta betina berumur 3 tahun) d. 20 ekor unta hiqqah dan, e. 20 ekor unta jad‟ah. Jadi diat pembunuhan sengaja adalah diat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diat pembunuhan syibh „amd adalah diat yang pembayarannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kepada „aqilah, dan dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun. 40
Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 304.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diat pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diat merupakan pengganti qishash. Jika qishash dilakukan sekaligus maka diat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal „amid41 pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya „amid membayar diat dengan hartanya sendiri bukan dari „aqilah, karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi „aqilah.42 Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya sendiri. „Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. “tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”43 2) Ta’zir Hukuman ini dijatuhkan apabila korban mamaafkan pembunuh secara mutlak. Artinya seorang hakim dalam pengadilan berhak untuk memutuskan pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan. Karena qishash itu di samping haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, dan hak masyarakat
41
Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 307. 43 QS. At Tur (52): 21. 42
secara umum. Adapun bentuk ta‟zirannya sesuai dengan kebijaksananaan hakim. c. Sanksi Penyerta/Tambahan Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara‟i; agar seseorang tidak tamak terhadap harta pewaris sehingga menyegerakannya dengan cara membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu‟min. Jika tidak bisa, maka diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt., “Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah”44 Adapun hukuman yang dikenakan untuk masing-masing pembunuhan sebagaimana yang telah ditetapkan ; 1)
Pembunuhan Sengaja Dalam hukum Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja
adalah qishash, yaitu dibunuh kembali. Hal ini berdasarkan firman Allah:
44
QS. An Nisa‟(4): 92.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”45 Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini, qishash pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diat.46 Diat pun jika seandainya dima‟afkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim menjatuhkan hukuman ta‟zir. Jadi, qishash sebagai hukuman pokok mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diat dan ta‟zir. 2)
Pembunuhan tidak sengaja Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan
kesalahan adalah diat ringan dan kaffarah. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‟zir dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat warisan.47 3)
Pebunuhan semi sengaja Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat,
sedang hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‟zir dan hukuman tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat. Hukuman qishash gugur kecuali dengan penyebab yang jelas. Karena secara realitas,
45
QS. al-Baqarah (2): 178. Diat yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban, jika keluarga memaafkan maka harus ditentukan apakah dengan syarat atau tanpa syarat, lihat dalam Zainudin Ali, hlm. 35. dan Muhammad Amin Suma, dkk, hlm. 95 47 Pelaku pembunuhan tidak sengaja, pihak keluarga diberika pilihan yaitu antara membayar diat, membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin), atau jika tidak mampu maka pelaku pembunuhan diberi hukuman moral yaitu berpuasa selama dua bulan berurut-urut, lihat dalam Zainudin Ali, op. cit, hlm. 35. 46
pelaku sengaja memukul tetapi tidak sengaja membunuh sehingga diwajibkan untuk membayar diat mugalladzah.48
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP 1. Pengertian dan macam-macam pembunuhan Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh, perbuatan membunuh.49
Sedangkan
dalam
istilah
KUHP
pembunuhan
adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. 50 Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. 2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Kesengajaan (dolus) adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa itu adalah adanya ”niat” yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai 48
As-Sayyid Sabiq, op. cit, hlm.400, atau membayar denda berupa unta yang sudah dewasa. Lihat juga dalam Muhammad Amin Suma, dkk, op. cit, hlm. 95 49 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-5, 1982, hlm. 169. 50 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986, hlm. 1.
selesai. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi: 1). Pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja. a) Pembunuhan Biasa Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsurunsurnya. 51 Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di sini disebutkan “paling lama” jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara.52 Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut : 51
Ibid, hlm. 17. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 209-210. Lihat juga dalam Muhahammad Amin Suma, op. cit, hlm.144-145 52
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja “Dengan sengaja” (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte rade).53 b.
Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun
pembunuhan itu dilakukan
terhadap bapak/ibu
sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang
53
P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 30-31.
mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku. 54 Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.55 b) Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan”. Kata “diikuti” (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Misalnya : Seorang yang sakit hati ingin melakukan pembunuhan terhadap Bupati; tetapi karena Bupati dikawal oleh seorang bodyguard/ pengawal, maka orang yang sakit hati tadi lebih dahulu menembak pengawalnya, baru kemudian membunuh Bupati.
54
Ibid, hlm. 35. M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-2, 1986, hlm. 122. 55
Kata “disertai” (vergezeld) dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu. Misalnya : Seorang pencuri ingin melakukan kejahatan dengan cara membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka pencuri tersebut lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata “didahului” (voorafgegaan) dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan. Misalnya : Seorang perampok melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka perampok tersebut menembak polisi yang mengejarnya. 56 Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut : a. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja 2) dengan maksud b. Unsur obyektif : 1) menghilangkan nyawa orang lain 2) diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain 3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan
56
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hlm. 30. Lihat juga dalam Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm.152-153
4) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan 5) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/ mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana.57 Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaranpelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak
57
P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 37.
pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).58 Jika
unsur-unsur
subyektif
atau
obyektif
yang
menyebabkan
pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman. Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP merupakan suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam pembunuhan yang diperberat ini terdapat 2 (dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dan tindak pidana lain. Dalam Pasal 339 KUHP ini, ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Sanksi pidana pada pembunuhan ini termasuk relatif berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP, karena dalam perbuatan ini terdapat dua delik sekaligus. c) Pembunuhan Berencana (Moord) Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan sebagai berikut : “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur 58
Ibid, hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985, hlm. 9.
hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.” Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut : a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. 59 Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. d) Pembunuhan yang Dilakukan dengan Permintaan yang Sangat dan Tegas oleh Korban Sendiri. Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh /nyata (ernstig).60 Tidak cukup 59
P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 44.
hanya dengan persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP: “barangsiapa yang merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sangat tegas dan sungguh-sungguh, orang itu dipidana dengan penjara paling tinggi dua belas tahun ” 2) Pembunuhan tidak sengaja. Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.” Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap seseorang yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas dia tidak menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabraknya mobil yang sedang melintas. Bentuk kealpaan penjaga palang pintu ini berupa perbuatan yang pasif karena tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif misalnya seseorang yang sedang menebang pohon
60
Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 153
ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang itu karena tertimpa pohon. Bentuk kealpaan dari penebang pohon berupa perbuatan yang aktif.
61
3. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif Dalam
perilaku
sosial,
tindak
kejahatan
merupakan
prilaku
menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. 62 Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana. Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tujuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat. 63 Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari : a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen). 1) Hukuman mati. 2) Hukuman penjara.
61
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1977, hlm. 35. 63 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, Cet. ke-1 1989, hlm. 16. 62
3) Hukuman kurungan. 4) Hukuman denda. 5) Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946) b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen) 1) Pencabutan beberapa hak tertentu. 2) Perampasan barang-barang tertentu. 3) Pengumuman putusan Hakim. Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan tersebut sederhana
sekali.
Tetapi
kalau
diperhatikan
benar-benar,
maka
kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para ahli hukum. Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut : a.
Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun
b. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
c. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun d. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun e. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun f. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun g. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selamalamanya empat tahun h. Pengguguran kandungan 1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun 2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya : (1) dua belas tahun (2) lima belas tahun, jika perempuan itu mati 3.
Pengguguran
kandungan
dengan
izin
perempuan
yang
mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selamalamanya : (1) lima tahun enam bulan dan (2) tujuh tahun, jika perempuan itu mati
BAB III
PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam a. Pengertian dif‟a asy-syar‟i (pembelaan syar‟i khusus) atau daf‟u as-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri) Menurut istilah yang dinamakan daf‟u as-sail (menolak penyerang/ pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.1 Dasar pembelaan diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” 2 b. Hukum pembelaan diri
1 2
Abdul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 138 QS. Al Baqarah (2): 194
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya. 3 Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya tidak ada
lagi
kecuali
membunuhnya
maka
perempuan
tersebut
wajib
membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan. Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh(lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib. 4
3
Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 211. Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang wanita tidak sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B) hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita itu kecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib adalah suatu hal dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam Abul Qadir „Audah, op.cit, hlm. 88. 4
c. Serangan anak-anak orang gila dan hewan Imam Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya. 5 Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak pidana karena binatang tidak berakal. Abu Yusuf berpendapat
bahwa orang yang diserang hanya
bertanggungjawab atas harga hewan karena perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya
dihapuskan karena keduanya tidak
memiliki pengetahuan
(kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan darurat yang memaksa.6 Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri
5
Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, hlm.
168. 6
Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 141, dharurat adalah situasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah
dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan. 7 d. Syarat-syarat pembelaan 1) Adanya serangan atau tindakan melawan hukum Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara‟ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman potong tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain memelihara jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta. Lihat dalam Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar‟iyah ma‟a al Qanun al-Wad‟i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995, hlm. 65. 7 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 213
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah
yaitu perbuatan diisyaratkan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. 8 Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan. 9 2) Penyerangan harus terjadi seketika Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka
8 9
Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 479-480. A. Wardi Mushlich, op. cit, hlm. 90.
penolakannya harus dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang. 10 3) Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai
atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang
menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri. 11 4) Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya 12 Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan 10
Ibid, hlm. 91. Marsum, op.cit, hlm. 168-169. 12 Ukuran kekuatan seperlunya memang relatif, dan itu didasarkan atas dugaan orang yang diserang disesuaikan dengan perkiraan yang benar-benar terjadi atau dengan perbuatan yang diniatkan oleh orang yang melakukan perbuatan. Jika penyerang tidak menggunakan senjata maka untuk penolakannya tidak perlu memakai senjata. Apabila orang yang diserang menggunakan kekuatan yang melebihi batas yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas kelebihan perbuatanya itu. Lihat dalam A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 91 11
mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat. Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan, bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya. e. Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan) Jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu. Contoh: 1. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pemukulan tersebut. 2. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu. 3. Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu. 4. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
5. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu13 Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya, apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu
adalah
perbuatan
yang
diperbolehkan
tapi
pemburu
tetap
bertanggungjawab atas penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.14 2. Pembelaan umum (Amar Ma‟ruf Nahi Munkar) Pembelaan umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau menganjurkan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut syara‟ dan mencegah apa yang seharusnya ditinggalkan. 15 a. Dasar hukum pembelaan umum
13
Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 151 Ibid, hlm. 152 15 Marsum, op. cit, hlm. 169 14
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.16 Para fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma‟ruf nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan umum diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri diatas kebajikan dan pada individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan sifat
keutamaan
sehingga
dengan demikian
kapasitas
jarimah dan
penyelewengan akan menjadi berkurang. Akan tetapi, para fuqaha masih berbeda pendapat tentang ketentuan atau batas wajib tersebut dalam 2 hal yaitu sifat dari kewajiban tersebut, apakah wajib ain atua wajib kifayah dan tentang orang yang terkena kewajiban tersebut. Menurut sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada setiap muslim, bahkan menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari pada kewajiban haji, karena untuk kewajiban haji disyaratkan adanya kesanggupan
(istitha‟ah),
sedangkan
untuk
pembelaan
umum
tidak
disyaratkan kesanggupan. 17 Para fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum pembelaan umum hukumnya wajib kifayah berdasarkan atas firman Allah SWT
16 17
QS. Al Imran (3): 110 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.219-230
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”18 Jihad atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban menjadi tehapus jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat tersebut terdapat kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah ada diantara kamu, konotasinya adalah tidak menunjukan keseluruhan umat.19 Tentang orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum, menurut sebagian fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya yaitu hanya orang yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau ulama‟, dengan alasan dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang, sedangkan orang tersebut tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa terjadi keadaan sebaliknya yaitu melarang kebaikan dan memerintahkan keonaran. b. Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum Ma‟ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari‟at Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan
18
QS. Al Imran (3): 104 Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 494, lihat juga dalam Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 220 dan A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 95. 19
sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut syari‟at Islam. 20 Menyuruh kebaikan (amar ma‟ruf) bisa berupa perkataan seperti ajakan untuk membeantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang lain minum minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan adalah menganjurakan untuk mengerjakan atau mengucpkan apa yang seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan. 21 c. Syarat-syarat pembelaan umum Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat. 1) Dewasa dan berakal sehat (mukalaf) 2) Beriman 3) Adanya kesanggupan 4) Adil 5) Izin (persetujuan) 22
20
Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 252-253. 21 A. Wardi Muslich, op.cit, hlm. 95 22 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 220-221
d. Syarat melarang keburukan Untuk melaksanakan amar ma‟ruf tidak diperlukan syarat khusus, karena amar ma‟ruf berupa nasihat, petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa dilakukan
setiap
saat
dan
kesempatan.
Adapaun
untuk
mencegah
kemungkaran maka diperlukan syarat tertentu, yaitu: 1) Adanya perbuatan buruk atau munkar 2) Keburukan atau kemunkaran terjadi seketika 3) Kemunkaran itu diketahui dengan jelas Dalam firman Allah SWT dijelaskan;
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Pemberantasan kemungkaran harus dengan cara seringan mungkin.23 e. Cara memberantas kemungkaran Apabila seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak tahu perbuatannya adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah dengan meberi penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut bahwa perbuataanya itu adalah suatu perbuatan yang buruk. 1)
Penjelasan
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu bahwa perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk
23
QS. Al Hujurat (49): 12
mencegahnya
adalah
memberi
penjelasan
kepadanya
bahwa
perbuatannya adalah suatu perbuatan mungkar 2)
Memberi nasihat dan petunjuk
Ditunjukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan menyadarinya bahwa perbuatan itu adalah perbuatan munkar. Jika dengan nasihat dan petunjuk bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan meninggalkan kemungkaran tersebut. 3)
Menggunakan kekerasan
a. Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus b. Orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar, sopan serta sesuai dengan kebutuhan24 4) Mengadakan tindakan dengan tangan Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya dapat mengalami perubahan materiil dan tiak berlaku pada maksiat yang berkaitan dengan lisan dan hati. Ada 2 syarat yang diperlukan: a. Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan tangannya sendiri, selama pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri b. Tindakan dengan tangan harus disesuaikan dengan kadarnya. 25
24
Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 506.
5) Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan Cara ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh diwujudkan. Misalnya,nanti kamu saya dera atau saya pukuli dengan perkataan yang lebih keras. 6)
Menggunakan pemukulan dan pembunuhan
Cara ini beleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara bertahap sesuai dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi. 7)
Minta bantuan orang lain
Apabila dengan dirinya sendiri seseorang tidak mampu untuk memberantas kemungkaran dan memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat meminta bantuan orang lain untuk memberantas kemungkaran tidak diperbolehkan karan cara tersebut dikhawatirkan bertambah luasnya keributan dan ketidaktentraman sebab orang yang diberantas
juga
akan
mendatangkan temannya
sehingga
dapat
menimbulkan peperangan. Perorangan boleh menggunakan cara ini jika mendapat izin dari penguasa. Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa memerlukan izin dari penguasa sebab cara tersebut pada hakikatnya sama
25
A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 98-100
dengan cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap orang tua, suami dan pihak penguasa. Dalam firman Allah SWT.26 “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”27 B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP 1. Pembelaan Terpaksa (noodweer) a. Pengertian Pembelaan Terpaksa Dari segi bahasa, noodweer terdiri dari kata “nood”dan “weer”. “Nood” yang artinya (keadaan) darurat.”Darurat” berarti: 1) Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera 2) Dalam keadaan terpaksa “Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela, menolong, melepaskan dari bahaya28 Jika digabungakan kedua kata tersebut maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong
26
Ibid, hlm. 101 QS. Al Isra‟ (17): 23 28 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 156. 27
dalam keadaan sukar (sulit).29 Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. 30 Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar hukum
(wederrechtelijkheid
atau
onrechtmatigheid),
maka
alasan
menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait justificatief 31 Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut: “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa (lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan (aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum (wederrechtelijk) pada ketika itu juga.” Contoh : a. Serangan terhadap badan: seseorang yang ingin balas dendam mendatangi orang lain dengan memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka orangyang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat dan memukul si orang yang ingin membalas dendam tersebut. b. Serangan terhadap barang/ harta benda adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat hak kebendaan, sama dengan
29
Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada “noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP. 30 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 200. 31 Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hlm. 75.
pengertian benda pada pencurian (pasal 362) 32: budi mencuri barang milik ani. Sedangkan ani melihat dan meminta untuk dikembalikan barang miliknya tetapi budi menolak, maka ani berusaha merebut barangnya dari si budi. dalam perebutan ini ani terpaksa memukul budi agar barang miliknya dikembalikan. c. Serangan terhadap kehormatan adalah serangan yang berkaitan erat dengan masalah seksual: seorang laki-lakihidung belang meraba buah dada seorang prempuan yang duduk disebuah taman, maka dibenarkan jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetpi sudah tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut sudah pergi, kemudian prempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya, karena bahaya yang mengancam telah berakhir. 33 Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika: a. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga belum memenuhi syarat onmiddelijk dreigende (dikhawatirkan akan segera menimpa) b. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada dalam pasal tersebut dari KUHP belanda tetapi hanya disebut serangan ogenblikkelijk (seketika itu). Van hattum menceritakan bahwa dari rancangan KUHP belanda tersebut, yang dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi onmiddelijk dreigende, tetapi
32
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke1, 2002, hlm. 42. 33 Ibid, hlm. 43
usulan tersebut ditolak oleh Perlemen belanda pada tahun 1900 karena dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan. Tetapi dalam KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918 kata onmiddelijk dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan. Denagn alasan bahwa keadaan khusus di Indonesia karean sering terjadi perampokan dalam suatu rumah. Apabila dalam hal ini para perampok itu baru mendekati rumah yang akan dirampok, maka dianggap layak apabila penghuni rumah melakukan tembakan kepada para perampok, setelah para perampok dari jauh mendekati rumah.dalam kasus tersebut sudah merupakan pelaku serangan yang onmiddelijk dreigende atau dikhawatirkan akan segera menimpa.34 b. Doktrin membuat syarat / unsur noodweer yaitu: 1. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat: a) Serangan itu harus datang mengancam35 dengan tiba-tiba Pembolehan pembelaan terpaksa bukan saja pada saat serangan sedang berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan pada saat adanya ancaman serangan. Artinya serangan itu secara obyektif belum diwujudkan namun baru adanya ancaman serangan. 36 b) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk) Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari undag-undang (melawa hukum formil) maupun dari sudut masyarakat (melawan hukum materiil)
34
Wirjono Prodjodikoro, op. cit, hlm. 79 Serangan mengancam adalah serangan yang sedang berlangsung, artinya telah dimulai dan belum berakhir. 36 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 47 35
2. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri37 harus memenuhi syarat: a) Harus merupakan pembelaan yang terpaksa38 Benar-benar sangat terpaksa artinya tidak ada alternative perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak ketika adaancaman serangan
atau
serangan
sedang
mengancam.
Apabila
seseorang
mengancam dengan memegang golok akan melukai atau membunuh orang lain, maka menurut akal masih memungkinkan untuk lari, maka orang yangv terancam itu harus lari. Tetapi apabila kemungkinan untuk lari itu tidak ada atau sudah mengambil pilihan lari tetapi masih dikejarnya, maka disini aada keadaan yang terpaksa. Maka dari itu, pembelaan boleh dilakukan jika sudah tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha membeladan mempertahankan kepentinganhukumnya yang terancam b) Pembelaan itu dengan serangan setimpal39 Tindakan pembelaan terpaksa dilakukan sepanjang perlu dan sudah cukup untuk pembelaan kepentingan hukumnya yang terancam atau diserang, artinya harus seimbang dengan bahaya serangan yang mengancam 3. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan sendiri atau orang lain. 40
37
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 73-74 Yang dimaksud adalah jika tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghindarkan serangan itu atau juga disebut asas subsidiaritas. 39 Yang berarti bahwa ada keseimbangan kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dikorbankan atau juga disebut asas keseimbangan (proposionaliteit). 40 Apa yang dibela secara limitatif dicantumkan oleh pasal 49 ayat (1) KUHP. 38
Diri berarti badan, kehormatan adalah kekhususan dari penyerangan terhadap badan, yaitu penyerangan badan dalam lapangan seksuil. 4. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan seketika, berarti ada 3 syarat: a) Serangan seketika b) Ancaman serangan seketika itu c) Bersifat melawan hukum41 c. Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen security/ keamanan 1) Serangan binatang Serangan mengancam dengan tiba-tiba tetapi serangan itu tidak melawan hukum, karena binatang tidak tunduk pada hukum dan tidak mengerti hukum. Karenanya tidak dapat dimasukkan kepada pengertian noodweer. Hoge Raad (H. R) pada tanggal 3 Mei 1915 (N. J. 1915 Nr. 9820) tentang anjing-anjing polisi yang dikenal dengan “polite-honden arrest”. H.R mengatakan: “penggunaan anjing-anjing polisi untuk menangkap tersangka adalah alat yang wajar digunakan da oleh sebab itu, melawan penangkapan denagn perantaraan anjing bukan suatu noodweer”. 2) Serangan orang gila Orang gila adalah yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak sempurna akalnya berdasarkan pasal 44 KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh orang
41
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987, hlm. 76.
gila adalah wedwerrechtelijk. Hanya karena keadaan jiwanya, tidak dapat dihukum, jadi dapat mengadakan ”noodweer”. Menurut VOS, terhadap suatu serangan yang datang dari seorang yang berpenyakit jiwa yang tidak dapat mengetahui lagi tentang apa yang dilakukan itu, orang tidak dapat melakukan suatu noodweer karena dalam peristiwa tersebut orang tidak dapat lagi mengatakan tentang adanya suatu serangan. Hazewinckel-Suringa berpendapat bahwa “Perbuatan yang dilakukan oleh
seorang
yang
mempunyai
penyakit
jiwa
itu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, akan tetapi hal tersebut tidak menghapuskan sifatnya yang melanggar hukum dari perbuatannya yaitu apabila perbuatannya itu merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.” Maka suatu serangan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa itu tetap bersifat melanggar hukum. 42 b. Instrumen (Alat) keamanan Alat keamanan adalah pemasangan alat-alat untuk menangkal serangan yang akan terjadi. Misalnya memasang aliran listrik pada keliling rumah. Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa “Selama pencuri menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka pemilik barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh kembali miliknya.” Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti
42
196.
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2006, hlm
serangan sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus dianggap selesai. Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen “Bahwa noodweer tidak dapat dilakukan di dalam 2 peristiwa,” yaitu: 1) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu baru akan terjadi di masa yang yang akan datang 2) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu telah berakhir.43 Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).44 Jika peristiwa pengroyokan seorang pencuri oleh bayak orang dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang mengeroyok tidak dapat dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri (noodweer) terhadap pengroyokan sehingga mungkin melukai salah seorang dari pengroyokan tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum karena penganiayaan (mishandeling) dari pasal 351 KUHP. 2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) a. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas 43
Roeslan Saleh, op. cit, hlm. 77. Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam hal pembelaan terpaksa seolah-olah suatu eigenriching yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam hal serangan seketika yang melawan hukum ini, negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi penduduknya, maka orang yang menerima serangan seketika yang melawan hukum, diperkenakan melakukan perbuatan sepanjang memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau orang lain. Lihat dalam Adami Chazawi, op. cit, hlm. 41 44
Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau tidak tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam.Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjaawaban pidana terhapus45 Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Dalam Teks aslinya: “Niet strafbaar is de overschrijding van de grenzen van noodzakelikjke verdediging, indien zij het onmiddelijkgeloig is gewest van hevigegemoedsbeweging, door de aanranding veroorzaakt” Penafsiran dan terjemahan yang berbeda khususnya mengenai ”hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid Kartanegara SH diterjemahkan dengan, Keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau secara hebat (tekanan jiwa yang hebat), sedang Tiraamidjaja menerjemahkan dengan “gerak jiwa yang sangat”, Utrecht menerjemahkan ”perasaan sangat panas hati”. Karena terjadi perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut, maka harus diuraikan komponen “nooodweer exes”, yaitu: 1) Melampaui batas pembelaan yang perlu. Dapat disebabkan karena: a. Alat yang dipilih untuk membela diri atau cara membela diri adalah terlalu keras. Misalnya menyerang dengan sebatang kayu, dipukul kembali dengan sepotong besi
45
Zainal Abidin Farid, op. cit, hlm. 200.
b. Yang diserang sebetulnya bisa melarikan diri atau mengelakan ancaman kelak akan dilakukan serangan, tetapi masih juga memilih membela diri. Prof. Pompe berpendapat bahwa “Perbuatan melampaui batas keperluan dan dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya tiu sendiri, batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan cara membunuh si peneyerang padahal dengan sebuah pukulan saja, orang sudah dapat membuat penyerang tersebut tidak berdaya. Apabila orang sebenarnya tidak perlu melakukan pembelaan, misalnya karena dapat menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri. Batas dari pembelaan itu telah terlampaui yaitu apabila setelah pembelaannya sudah selesai/ berakhir, orang itu masih menyerang si penyerang.” Sedangkan menurut Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi deketika itu juga”. 46 2) Tekanan jiwa hebat/ terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati “Hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid diartikan keadaan jiwa yang menekan secara hebat yang menurut Utrecht, karena ketakutan putus
46
Leden Marpaung, op. cit, hlm 80-81.
asa, kemarahan besar, kebencian, dapat dipahami bahwa pertimbangan waras akan lenyap, jika dalam keadaan emosi kemarahan besar. 3) Hubungan kausal antara “serangan” dengan perasaan sangat panas hati Pelampauan batas ini terjadi apabila: a. Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan b. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang diserang dan kepentingan lawan yang menyerang. Karena pelampauan batas ini tidak diperbolehkan, maka seseorang berdasarkan pasal ini tidak dapat dihukum, tetap melakukan perbuatan melanggar hukum. Perbuatannya tidak halal, tetapi si pelaku tidak dihukum. 47 Dalam pasal ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan menyebabkan goncangan jiwa yang hebat sehingga orang yang terancam melakukan tindak pidana yang lebih berat dari ancaman serangan yang menimpanya, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Schravendik memberikan contoh ada seorang laki-laki secara diamdiam masuk ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak menyetubuhi gadis tersebut. Pada saat laki-laki meraba-raba tubuh si gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah jiwa antara amarah, bingung, ketakutan yang hebat 48 sehingga dengan tiba-tiba gadis itu mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga mati. 49
47
Wirjono, op. cit, hlm. 81. Perasaan takut adakalanya hanya berupa meringankan hukuman seperti tindak pidana mempersilakan anak di bawah umur 7 tahun agar ditemukan dan dipiara oleh orang lain (to vondelingleggen) dari pasal 305 KUHP, menurut pasal 308 KUHP hukuman yang diancamkan 48
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat. C. Pertanggungjawaban Pidana A. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam a.
Pengertian
dan
sebab-sebab
penghapus
tindak
pidana
dalam
pertanggungjawaban pidana Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun hubungan sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syari‟at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. Salah satu prinsip dalam syari‟at Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab50 kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas perbuatan jarimah orang lain. Prinsip tersebut berkali-kali ditandaskan dalam al-Qur‟an dalam beberapa ayatnya yaitu sebagai berikut :
dalam pasal 305 KUHP dikurangi separuh apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu pada waktu dekat anak itu dilahirkan olehnya dan merasa ketakutan oleh khalayak ramai bahwa ia sudah melahirkan. Hal tersebut biasanya terjadi di luar pernikahan. Lihat dalam Ibid, hlm. 81-82 49 Jonkers J.E, Handboek van het Nederladsch Indische Strafrech, dalam Adami Chazawi, op. cit, hlm.53. 50 Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari‟at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia sadar akibat dari perbuatannya itu. Lihat dalam, Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987, hlm. 45.
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" 51 “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”52 “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabbmu Menganiaya hamba-hambaNya.” 53 “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”54
Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang. Suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban pidana (al-Mas‟uliyyah al-Jināiyyah) ditegakkan atas 3 hal, yaitu: 55
51
QS. Al-An‟am (6) : 164. QS. An-Najm (53) : 39. 53 QS. Al-Fussilat (41) : 46. 54 QS. An-Nisa‟ (4) : 123 52
a. pelaku melakukan perbuatan yang dilarang b. pelaku mengerjakan dengan kemauan sendiri (mukhtar) c. pelaku mengetahui akibat perbuatannya (mudrik) Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. 56 Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan kesadaran yang penuh57 Sedangkan menurut syari‟at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya. 58 Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:59 a. Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu 55
Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.154. Haliman, op. cit, hlm. 66. 57 Abd. Salam Arief, op. cit, hlm. 4. 58 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 280. 59 Marsum, op. cit, hlm. 6. 56
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah c. Si perbuat adalah mukallaf Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.60 Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur‟an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara. b. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak. Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. .61
60 61
Ibid, hlm.174. Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 63.
Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik.62 Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua perbuatan tersebut tetap dilarang tapi tidak dijatuhi hukuman ketika melakukannya. 63 Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit saraf. a. Pembolehan perbuatan yang dilarang. Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi terdapat pengecualian
yaitu pembolehan sebagaian
perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu 62
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000, hlm.
177. 63
Abdul Qadir „Audah, op. cit, hlm.135
tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Contohnya membunuh. Perbuatan ini diharamkan bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh sengaja adalah qishash yaitu hukuman mati. Tetapi hukum Islam meberikan hak dalam pelaksanaan hukuman mati kepada wali korban. b. Hak dan kewajiban Antara hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda. Melakukan hak hanya bersifat boleh, sedangkan melakukan kewajiban bersifat harus secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya, keduanya sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya baik menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan yang diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan dianggap sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi orang lain. Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi wali korban tapi qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk menjalankannya. Pendidikan dalam mazhab hanafi adalah hak bagi suami dan ayah, namun merupakan kewajiban bagi guru dan pengajar. 1) Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya, sedangkan kewajiban ada kemungkinan dijatuhi hukuman karena meninggalkannya. Ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha 2) Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak terikat
dengan
syarat
keselamatan.
Maksudnya,
orang
yang
menggunakan haknya senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan
objek karena dia dapat memilih antara melakukan perbuatan yang menjadi haknya atau meninggalkannya. Orang yang memiliki kewajiban dia tidak bertanggung jawab atas keselamatan si objek karena keharusan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan tidak bisa dittinggalkannya (menurut Imam Abu Hanifah dan Iman Asy- Syafi‟i). Adapun Iman Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hak sama seperti kewajiban yaitu tidak terikat oleh syarat keselamatan karena menggunakan hak dalam batasan yang telah ditetapkan
merupakan
perbuatan
yang
mubah
dimana
tidak
adapertanggungjaawaban terhadap sesuatu yang diperbolehkan. 64 Pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian dengan pebuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan pelaku. Sebabsebab yang berkaitan dengan perbuatan yang diperbolehkan disebut asbab al –ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf‟i al-uqubah. Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich menngemukakan bahwa sebab diperolehkannya perbuatan yang terlarang terdapat enam macam yaitu:65 a. difa‟ asy-syar‟i (pembelaan yang sah) b. ta‟dib (mendidik) c. pengobatan d. permainan kesatriaan e. halalnya jiwa, anggota badan dan harta (ihdar) seseorang 64 65
Ibid, hlm. 136-137. A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 85.
f. hak dan kewajiban penguasa Asbab raf‟i al uqubah terbagi menjadi empat yaitu: a. Paksaan b. Mabuk c. Gila d. Anak di bawah umur 3) Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana Apabila pertanggungjawaban pidana tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat maka pertanggungjawaban juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya. a. sengaja (al Amdu) b. menyerupai sengaja (Syibhu al „Amd) c. keliru (al Khata‟)66 4) Yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana a. Pengaruh tidak tahu Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka setiap mukallaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-
66
Ibid, hlm. 77-78.
undang walaupun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui. Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak bisa diterima sebagai alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian ini disebut sebagai salah tafsir. Salah satu contoh yang terkenal dalam syari‟at Islam tentang salah tafsir adalah bahwa kelompok kaum muslimin di negeri Syam, minum minuman keras karena menganggap minuman tersebut dihalalkan, dengan beralasan firman Allah SWT “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”67 Tetapi meskipun mereka salah menafsirkan ayat tersebut, mereka tetap
dijatuhi hukuman juga. b. Pengaruh lupa Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syari‟at Islam, lupa disejajarkan dengan keliru. Para fuqaha terbagi dua kelompok dalam membahas hukum dan pengaruh lupa: 67
QS. Al Maidah (5): 93.
a) Lupa adalah alasan yang umum baik dalam urusan ibadah maupun pidana. Berdasarkan prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata apabila perbuatannya menimbulkan kerugian orang lain. b) Lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukumna akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali kecuali hal yang berhubungan dengan hak Allah dengan syarat adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali. Meskipun demikian pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman sebab pelaku harus dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan. c. Pengaruh keliru Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Dalam segi pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara‟.
Sebenarnya pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara‟ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan. Dengan adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara‟. Jadi apabila syara‟ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman. 68 Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana ada 3: 1. Perbuatan langsung (mubasyaroh) Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti penembakan seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang mengakibatkan kematian 2. Perbuatan sebab Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti persaksian palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah melakukan pembunuhan 3. Perbuatan syarat
68
A. Wardi, op. cit, hlm.78-80
Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illatnya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang ketiga sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi syarat kematian korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung. Bagi pembuat syarat, tidak ada pertanggungjawaban pidana selama dengan perbuatannya itu tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena keduanya merupakan illat (sebab) adanaya jarimah.69 B. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu: 70 a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum. b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan. Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo, unsur-unsur toerekenbaarheid (pertanggungjawaban), adalah : 71
69
Marsum, op. cit, hlm. 84 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, hlm. 31. 71 Ibid., hlm. 32. 70
a.
Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
b.
Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
c.
Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat)
Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan
toerekenbaarheid
(pertanggungjawaban)
adalah
mengenai
perbuatan yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat. Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana sebagai berikut:72 a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, 73 adalah: 1)
Keperluan
membela
diri
atau
noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP) 2)
Melaksanakan ketentuan undangundang (Pasal 50 KUHP)
72
Andi Hamzah, op. cit, hlm. 143. Dasar peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana, Lihat dalam, Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 138 73 Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak pidananya terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Lihat dalam, Moeljatno, op. cit, hlm. 137.
3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan. b. Alasan yang memaafkan pelaku 74, hal ini termuat dalam : 1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) 2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana 3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. 4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
74
Yaitu alasan yang menghapuskan kesalaahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa bersifat melawan hukum, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. 74 Perbuatan tersebut walaupun terbukti melanggar undang-undang (bersifat melawan hukum), namun karena hapusnya kesalahan pada diri terdakwa, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.lihat dalam, Adami Chazawi, op. Cit, hlm. 19.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa. Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut hukum positif yaitu : Suatu perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman, dan Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan75
75
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 4.
BAB IV
ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Tindak Pidana Pembunuhan Demi untuk memelihara tubuh manusia, Islam menetapkan prinsip keadilan untuk seluruh umat manusia. Al-Qur'an baik dalam surat-surat Makiyah atau Madaniyah, mengutamakan dan menganjurkan agar keadilan itu menjadi perhatian umat. Seterusnya menegur dan menjauhkan umat manusia dari sifat aniaya yang akan merusak manusia itu sendiri. Maka dari itu Al-Qur'an memerintahkan keadilan secara umum dan khusus, baik terhadap musuh yang menyerang ataupun sebaliknya, terhadap mereka, kaum Muslimin diperintahkan agar tetap berlaku adil kepada sesamanya. 1 Islam sebagai Agama Universal mengandung prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya, perbedaan antara satu individu dengan individu lain terjadi bukan karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimanan dan ketaqwaannya. Adanya perbedaan itu tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam kedudukan sosial. Dari apa yang telah diuraikan di atas, teranglah bahwa tujuan Syari'at di sekitar sanksi, adalah untuk memperbaiki jiwa dan mendidiknya serta berusaha menuju ketentraman dan keberuntungan manusia. Sanksi dalam
1
Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 164-165.
hukum pidana Islam beraneka rupa. Selain hukuman had dan qishash terdapat pula macam uqubah lain, yang bersesuaian dengan jiwa manusia seperti, hukuman ta'zir, kafarat dan lain-lain. Hal ini membantu para hakim dalam melaksanakan sanksi pidana dan memberi kepada tiap-tiap keadaan sanksi yang sepadan. Kemudian dalam penerapan hukuman mati syari'at Islam tidak menghalanginya sama sekali, tetapi di samping itu, Islam mengadakan aneka rupa syarat untuk menyempitkan pelaksanaan hukuman tersebut dan memberikan keringanan apabila ada maaf dari pihak terbunuh. 2 Berbeda dengan hukum pidana Indonesia yang menggolongkan kejahatan pembunuhan sebagai tindak pidana murni. Sedangkan dalam formulasi
hukum
pidana
Islam,
kejahatan
pembunuhan
disamping
memasukkan aspek pidana juga memasukkan aspek hukum perdata. Ketentuan ini jelas berbeda dengan ketentuan perundangan pidana positif yang hanya menggolongkan pidana pembunuhan dalam wilayah hukum publik, sehingga wewenang penjatuhan hukuman berada sepenuhnya pada tangan penguasa atau negara, tanpa campur tangan dari pihak korban untuk menuntut balas atau membebaskan pelaku dengan mengganti hukuman lainnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang di larang keras oleh agama karena akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain 2
Hasbi Shiddiqi, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998, hlm. 52-53.
dan mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup dan mati. Allah mengharamkan manusia melakukan pembunuhan kecuali dengan alasan yang benar yaitu kafir setelah iman (murtad), berzina setelah ihshan, dan membunuh sesama muslim yang terpelihara jiwanya. 3 Manusia tidak bisa merealisasikan semua keinginan dan tujuan hidup mereka kecuali jika seluruh unsur dan faktor tersebut terpenuhi dan memperoleh haknya secara penuh. Salah satu hak yang paling asasi dan diusung tinggi oleh Islam adalah hak hidup, maka tidak seorangpun diperbolehkan untuk menggugat kehormatan orang lain dan melanggar apa yang telah digariskan oleh Allah SWT, hak memiliki, hak menjaga kehormatan diri, hak kebebasan, hak persamaan, dan hak memperoleh pengajaran. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat menggugurkan apa yang telah Allah ciptakan, merampas hak hidup korban karena menghapus kebahagiaan keluarga korban yang bangga akan keberadaan korban karena bermanfaat bagi orang lain. Dengan kematian korban, maka terputuslah semua bentuk pertolongan yang biasa datang dari korban. Islam tidak membedakan antara satu jiwa dan jiwa lain. Oleh karena itu tidak diperbolehkan merampas hak hidup orang lain yang dapat menghancurkan hidup mereka dengan cara bagaimanapun. 3
Lihat M. Quraish Shihab, op. cit, Jilid VII, hal 266. Pengecualian dalam pembunuhan menyangkut tiga hal. Pertama, atas dasar qishash. Kedua, membendung keburukan akibat tersebarnya kekejian (zina). Ketiga, membendung kejahatan yang mengakibatkan kekacauan dan mengganggu keamanannya, yakni terhadap orang murtad meninggalkan agama Islam, karena ia telah mengetahui rahasia-rahasia (jamaah)Islam dan keluarnya dapat mengancam (jamaah) Islam.
األصل فى المضار التحريم “Prinsip dasar pada masalah mudarat adalah Haram.”4 Kaidah fiqih tersebut menjelaskan bahwa hukum asal yang menyangkut masalah mudarat adalah diharamkan. Termasuk perbuatan membunuh yang lebih besar madaratnya daripada manfaat yang terjadi. Jika pembunuhan itu terjadi juga dengan tidak sengaja, dalam Islam juga mengatur masalah sanksi, meskipun sebenarnya dalam Islam seseorang yang tidak sengaja berbuat maka menjadi dasar penghapus hukuman, tapi tidak berpengaruh dalam tindak pidana pembunuhan. Islam juga mewajibkan denda dalam pembunuhan tidak sengaja sebagai penghormatan kepada nyawa seseorang. Tujuannya adalah agar seseorang tidak pernah sama sekali terpikir untuk menyepelekan nyawa seseorang dan juga agar setiap orang berhati-hati ketika berinteraksi dengan nyawa dan jiwa orang lain, juga untuk menutup pintu mafsadah sehingga tidak seorangpun yang boleh membunuh dengan alasan bahwa pembunuhan itu tidak sengaja. B. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak ditemukan dalam Hukum Pidana Islam. Pengertian yang lebih spesifik dalam hukum pidana Islam lebih dikenal dengan istilah dif‟a asy-syar‟i al-khass (pembelaan syar‟i khusus atau pembelaan yang sah) atau daf‟u as-sail (menolak penyerang). Meskipun demikian, secara subtantif pengertian
4
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit, hlm. 88
tersebut penulis analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum positif. Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya menjadi dua yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha‟il) dan Pembelaan umum atau (dif‟a asy-syar‟i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar Ma‟ruf Nahi Munkar. Amar adalah fi‟il amar yang berarti perintah atau anjuran dan Ma‟ruf (kebaikan) yaitu semua perkataan atau perbuatan yang perlu diucapkan atau dilakukan sesuai dengan nas, dasar umum (aturan pokok) dan jiwa hukum Islam, bisa dengan perkataan dan perbuatan. Sedangkan Nahi yaitu Fi‟il nahi yang berarti larangan untuk mengerjakan dan Munkar yaitu setiap perbuatan yang dilarang terjadinya oleh syara‟. Tetapi di dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa (noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti darurat (keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan, menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 dikenal pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces). Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang berarti pelampauan batas. Jadi, terdapat perbedaan istilah dalam pengertian antara hukum pidana Islam dan KUHP. Tetapi terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya, yaitu objek atau sasaran yang dilindungi. Dalam KUHP maupun hukum
Islam, dalam pembelaan terpaksa, sama-sama bertujuan melindungi jiwa, kehormatan, harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dalam KUHP tidak ditentukan atau dijelaskan pengertian maupun syarat pembelaan terpaksa, dan apakah pembelaan merupakan hak atau kewajiban seseorang. Tetapi oleh ahli hukum, dijelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud pembelaan terpaksa ini. Karena dalam pasal tersebut hanya disebutkan tidak dipidana, barang siapa “yang melakukan pembelaan terpaksa”, hal ini berarti kalimat aktif, dalam keadaan seketika itu juga terpaksa atau terdorong oleh situasi yang darurat atau mendesak, bukan merupakan anjuran atau perintah.
Tetapi dalam hukum pidana Islam
diperselisihkan apakah termasuk hak atau kewajiban dalam pembelaan yang sah. Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya,
apakah
merupakan
suatu
kewajiban
atau
hak.
Jadi,
konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalkannya.5 Melakukan pembelaan terhadap serangan didasarkan pada Firman Allah SWT:
5
Ahmad hanafi, op. cit, hlm. 211
“Bulan Haram dengan Bulan Haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”6 Jadi, dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa hukum pembelaan diri sangat penting karena dalam hukum pidana Islam maupun positif mempunyai satu tujuan yang sama dalam pembentukan hukum yaitu perlindungan HAM. Hukum Islam dalam pembentukan hukum mempunyai tujuan utama yaitu untuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun akhirat, yang sering dikenal Al-Maqasidu Khamsah (Panca Tujuan: hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql (menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl (menjaga keturunan)) terbukti dalam ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa Begitu pentingnya pembelaan diri karena dalam Islam juga melindungi hak-hak manusia walaupun umat Islam diserang di bulan Haram7, yang Sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, Maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga. Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan 6 7
QS. Al Baqarah (2): 194 Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah haram (Mekah) dan ihram.
perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Seperti melindungi jiwa, menjaga kehormatan dan mempertahankan harta baik diri sendiri maupun orang lain.
األصل فى الدماء واألعراض واألموال الحرمة “Prinsip dasar pada maslah darah, kehormatan dan harta adalah haram.”
8
Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang baik dalam hukum pidana Islam maupun dalam KUHP yang tidak dipidana yaitu melakukan pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum pidana Islam dan hukum positif mengatur tentang syarat maupun unsur. Dalam menetapkan syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat tersebut yaitu antara lain: Pertama, pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa atau tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan, harus benar-benar dalam keadaan terpaksa Kedua untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum. Jadi, disini dalam melakukan pembelaan tidak boleh adanya praduga / prasangka dan rasa takut yang berlebihan akan diserang sehingga dia menyerang dulu sebagai bentuk pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan. Maka pembelaan dilakukan harus terjadi serangan seketika itu terjadi, ketiga serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda sendiri atau orang lain, 8
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit, hlm. 5
keempat
harus
dilakukan
ketika
adanya
ancaman
serangan
dan
berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam, kelima perbuatan pembelaan harus seimbang 9 dengan serangan yang mengancam. Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum pidana Islam dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan diri (yang diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab atas tindakannya itu. Kedua, Imam Abu Hanifah, asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jerat atu perangkap yang dipasang dibelakang pintu, pagar atau di jalan dengan maksud membunuh atau melukai penyerang hukumnya boleh. Orang yang mempunyai tempat tersebut tidak bertanggungjawab apabila bertujuan untuk membela diri karena orang yang memasukinya berarti membunuh dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang lain secara ilegal (tanpa hak). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang yang melakukan hal tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya bertujuan untuk melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah tanpa izin. Dengan
9
Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi harus pada akal pikiran bagi orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat dalam Zainal Abidin Farid, op. cit hlm. 199
alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri atas dasar untuk menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan. 10 Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa yang sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi si pelaku noodweer exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater. kedua Mengenai pemasangan alat atau perangkap di depan rumah sebagai bentuk pembelaan diri, tidak diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1 yang menjadi syarat pembelaan terpaksa salah satunya adalah serangan yang dilakukan harus sedang dijalankan. Jika pemasangan alat atau perangkap yang mematikan sebagai pembelaan diri diperbolehkan atau “dikhawatirkan akan segera menimpa” (onmiddelijk dreigende), dengan alasan sebagai perlindungan diri karena di Indonesia sering terjadi perampokan jadi sebagai alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan karena dikhawatirkan dalam hal ini tidak ada faktor seimbang antara dua kepentingan yang dirugikan ada peranan penting. Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusialaan dan harta benda), samasama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha
10
Abdul Qadir Audah, op. cit, hlm. 152
mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, kedua, pada
keduanya,
pembelaan ditujukan untuk
mempertahankan daan
melindungi kepentingan hukum (rechsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain. Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan karena adanya keguncangan jiwa yang hebat 11 misalnya seseorang menyerang lawannya dengan pecahan botol yang sebenarnya dapat dilawan dengan sebatang kayu (noodweer) tapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan cara menembaknya (noodweer exces), kedua, pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang melampaui batas, perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti. Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas
11
Adami Chazawi, op. cit, hlm. 51
merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri pelaku. Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai dan kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak semua alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. karena terdapat pembelaan yang dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa karena tidak ada jalan lain. Jadi, dalam pembuktian suatu kasus, hakim harus benar-benar memperhatikan asas tersebut apakah merupakan alasan dalam noodweer atau bukan. Selain pembelaan diri (pembelaan khusus), hukum pidana Islam juga mengatur adanya pembelaan umum (amar ma‟ruf nahi munkar) karena dengan adanya pembelaan umum, maka dapat mencegah terjadinya jarimah dan mengurangi terjadinya penyelewengan yang tidak diinginkan (upaya prefentif). Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum hukumnya wajib. Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam melaksanakannya. Ada beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum, salah satunya yaitu adanya kesanggupan dan berakal sehat. Dari segi hukum dan dasar tujuan tidak ada perbedaan antara pembelaan khusus dan pembelaaan umum tersebut. Tetapi dalam segi objek terdapat perbedaan yaitu: Objek pembelaan khusus adalah setiap serangan yang mengenai keselamatan orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang
objek pembelaan umum adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan dan ketertibannya yang bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya serangan dari seseorang, sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada serangan. Contoh: jika ada seorang laki-laki mendatangi seorang prempuan dengan maksud memperkosa, maka disini terdapat pembelaan khusus. Tetapi jika lelaki itu mendatanginya dengan persetujuan seorang perempuan tersebut, maka terjadi pembelaan umum yaitu menolak (menggagalkan) perbuatan munkar. Begitu juga dengan peristiwa pembunuhan terhadap orang lain terdapat pembelaan khusus tetapi pada percobaan membunuh terdapat pembelaan umum. Ciri khas syari‟at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif adalah “amar ma‟ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan agar setiap orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta sesama manusia saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk menjauhkan diri dari perbuatan munkar dan ma‟siat, menjaga keamanan dan ketertiban, memberantas jarimah dan menjunjung akhlak yang tinggi. Sistem amar ma‟ruf nahi munkar tidak dikenal oleh hukum positif kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut mulai mengakui adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa (perorangan), serta memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap basah waktu melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib. Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk
menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan masyarakat seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan menghancurkan bangunan umum. Tetapi sistem amar ma‟ruf nahi munkar hanya diterapkan oleh hukum positif dalam keadaan tertentu saja sedang dalam syari‟at Islam dijalankan dengan seluas-luasnya. 12 A. Analisis
Sanksi Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak
Pidana Pembunuhan Sengaja membunuh dalam hal ini pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan membunuh, meskipun diketahui bahwa perbuatan tersebut dilarang. Akan tetapi masalah kehendak menjadi permasalahan ketika orang yang membunuh dalam kondisi terpaksa. Pelaku melakukan pembunuhan bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena adanya ancaman. Jika tidak membunuh maka orang yang diserang akan dibunuh. Sementara itu unsur penting yang menjadi dasar penentuan hukuman menurut syari‟at Islam adalah maksud atau niatan yang menyertai perbuatan jarimah.13 Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan pidana yang di dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan hapusnya
sifat
melawan hukum perbuatan14, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi
12
Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 225-226 Niat dalam tindak pidana pembunuhan sangat menentukan terhadap penerapan sanksi atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam tindak pidana pembunuhan, Islam membedakan jenis tingkatan hukuman pembunuhan sengaja, semi sengaja dan tidak sengaja didasarkan pada niatan pembunuh. Niat tersebut sangat mempengaruhi terhadap berat-ringannya hukuman. 14 Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat melawan hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika melalui cara yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum 13
perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang yang melakukan perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa melampaui batas yang sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong oleh suatu tekanan batin atau tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya menjadi tidak normal. Oleh karena itu seseorang yang melakukan pembunuhan karena dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di persidangan benar-benar terbukti adanya syarat dan unsur pembelaan terpaksa, maka terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur pembelaan
terpaksa
dalam
tindak
pidana
pembunuhan,
dengan
mempertimbangkan kaidah terdapat dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP, maka pelaku dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP mengenai kejahatan terhadap nyawa khususnya pasal 338 KUHP. Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan mempertahankan kepentingannya atau kepentingan hukum orang lain. Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa. berdasarkan tidak dapat dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal yang patut walaupun bertentangan dengan ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian demikian masih dibuktikan apa yang sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat melawan hukum, hilang pula hal yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari tuntutan hukum, bukan bebas dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, op. cit, hlm.6
Suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut bisa merugikan terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam masyarakat,
kepercayaan-kepercayaan,
merugikan
anggota-anggota
masyarakat, harta benda, nama baik, perasaan-perasaannya dan pertimbanganpertimbangan baik yang harus dihormati dan dipelihara. Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam tidak terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan alternatif baik pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak disengaja. Bahkan Islam memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh dalam memberikan sanksi terhadap pelaku antara qishash atau memaafkan dan disuruh memilih disekitar memberikan maaf dengan tidak memberikan ganti apa-apa. Dengam demikian, maka dapat di fahami bahwa dalam hukum Islam, tujuan diadakannya hukum qishash adalah, untuk melindungi hak Allah atas hamba dalam masyarakat, terutama menyangkut hak hidup seseorang. “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”15 Dari ayat ini maka dapat dilihat bahwa qishash merupakan akibat dari kejahatan terhadap manusia. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian artinya, jika qishash itu dilaksanakan maka kelangsungan hidup manusia di dunia akan terjamin. Dari ayat diatas jelas menunjukan bahwa hukuman merupakan sarana sebagai sebuah jaminan terhadap hak-hak dan kelangsungan hidup manusia.
15
QS. Al Baqarah (2): 179
Secara umum si korban tidak memiliki hak untuk memaafkan hukuman, akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi tindak pidana pembunuhan. Pemaafan pada hukuman qishash oleh si korban tidak dikhawatirkan akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian, jenis hukuman qishash dalam hukum pidana Islam tidak sematamata diorientasikan pada perlindungan atau pemberantasan kejahatan, tetapi lebih dari itu ditujukan pada pemberian jaminan rehabilitasi pada si korban untuk tetap mendapatkan haknya untuk mendapatkan kembali posisi sosialnya yang setara dengan orang lain. Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak melampaui batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak untuk hidup selama ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia melampaui batas tersebut dan membuat kekacauan serta penindasan dalam masyarakat atau menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya, maka ia kehilangan hak hidupnya. Jadi, dalam menentukan sanksi hukuman atas pembelaan yang melampaui batas dalam hukum Islam penulis berdasarkan penjelasan diatas berpendapat bahwa terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (diperbolehkan) dan tidak ada hukuman baginya.
األمور بمقاصدها “Tiap perkara tergantung maksudnya”16
16
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit.hlm. 5
Namun jika sampai melewati batas dan mengenai orang lain dengan tersalah, maka perbuatannya bukan mubah melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Firman Allah SWT “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolaholah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”17 Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Jika sampai mengakibatkan kematian maka tidak terdapat pertanggungjawaban baginya baik secara perdata maupun pidana. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya 17
Q.S Al Maidah (5): 32
perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah
yaitu perbuatan
diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat pertanggungjawaban secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban secara perdata yaitu dengan membayar diat.18 Terdapat contoh yaitu beberapa waktu yang lalu digemparkan dengan kasus Darsem, seorang TKW asal Subang yang akan dihukum pancung karena tuduhan membunuh di Arab Saudi. Dalam pembelaannya Darsem terpaksa membunuh, karena akan diperkosa oleh majikannya. Vonis pengadilan menyatakan, bahwa Darsem terbukti bersalah telah membunuh majikannya, seorang warga negara Yaman pada Desember 2007. Sidang pengadilan di Riyadh pada 6 Mei 2009, menjatuhkan hukuman pancung bagi Darsem. Namun, Darsem akhirnya lolos dari eksekusi mati setelah mendapat pengampunan dari keluarga korban dengan syarat yang cukup berat untuk ditanggung terpidana. Pada 7 Januari 2011, ahli waris korban diwakili Asim bin Sali Assegaf bersedia memberikan maaf (tanazul) kepada Darsem, dengan kompensasi uang diyat sebesar SAR 2 juta, atau sekitar Rp 4,7 miliar.
18
Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 90
a. Apabila yang dilakukan Darsem dalam rangka menghindarkan pemerkosaan yang sedang terjadi maka ditafsil : 1) Apabila
terkait
dengan
hal-hal
yang
mengarah
kepada
pemerkosaan (seperti meraba, mencium dll) pembunuhan dalam rangka membela diri dibenarkan setelah melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan seperti membentak, berteriak, memukul dll. 2) Apabila pelaku sudah memasukkan mr ‟p‟ kedalam miss ‟v‟ maka pembunuhan bisa langsung dilakukan tanpa melalui tahapantahapan menurut qaul dloif. b. Apabila tindakan Darsem termasuk pembunuhan yang tidak dibenarkan syara‟ maka maksimal diat yang harus dibayarkan adalah 100 onta. Apabila yang dilakukan darsem itu tidak pada saat kejadian pemerkosaan maka termasuk pembunuhan yang tidak dibenarkan syara‟. 19 Agar setiap orang dapat terjamin kehidupannya maka harus berlaku adil. Dengan demikian, orang-orang kuat harus melindungi orang lemah, orang-orang kaya harus memberikan makan kepada orang-orang fakir, dan sebagainya.
Dalam
hal
ini
banyak
sekali
Nas-nas
al-Qur'an yang
menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
19
http://solusinahdliyin.net/satta/394-membunuh-untuk-menghindariperkosaan.html,diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011, 09.30 20
An-Nisâ' (4) : 58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” Allah memerintahkan kaum Muslimin, agar berlaku adil dalam menghukum dan memutuskan perkara. Keadilan dalam bidang pengadilan itu dianggap
sebagai
menunaikan
amanah
Allah.
Al-Qur'an
sendiri
memerintahkan keadilan secara umum, tanpa menentukan dalam bidang apa dan terhadap golongan mana, melainkan dalam segala urusan dan terhadap semua golongan yang melakukan pelanggaran, karena keadilan itu hukum Allah dan aturan-Nya sedang manusia seluruhnya hamba Allah. Seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, orang tersebut
wajib
dikenakan sanksi qishash,
dengan alasan ia telah
menghilangkan nyawa manusia yang harus dijaga, penerapan sanksi qishas ini dilaksanakan agar manusia tidak mudah untuk menumpahkan darah antar sesamanya dan mencegah balas dendam dari pihak korban. Sanksi qishash dilaksanakan apabila dari pihak korban tidak memberikan maaf, adapun apabila ia mendapatkan maaf ia tetap diwajibkan untuk membayar diat.21 Disyari‟atkannya pembelaan yang sah dalam hukum Islam yaitu agar seseorang tidak mudah dalam melukai, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain. Dalam hal ini Islam mombolehkan adanya pembelaan yaitu adanya unsur keadilan sebagai akibat adanya serangan tersebut.
األصل فى المنافع اإلباحة
21
Ibid., hlm. 374-375.
“Prinsip dasar masalah manfaat adalah boleh.”22 Yang menjadi asas yang terpenting dalam hukum Islam adalah keadilan mutlak. Syari‟at Islam sangat menginginkan penegasan asas ketetapan hukum yang sangat penting ini yaitu keadilan mutlak disetiap ketentuan hukumnya. Islam menetapkan keadilan yang sama dalam ketentuan hukum duniawi antarmanusia secara keseluruhan, namun ketentuan ukhrawi dibatasi pada orang yang beriman pada-Nya dan tunduk terhadap ketentuan hukum-Nya. Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman adalah rasa keadilan23 dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lainlain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
22
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam 23 Sikap keadilan itu adalah kerelaan untuk mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia yang mengatasi kesukaan individual. Aturan
yang obyektif ini adalah aturan yang seharusnya (Ordnung des Gehorens), aturan ini merupakan dasar dan ukuran bagi aturan yang ditentukan (Ordnung des Setzen). Sikap keadilan tidak hanya ditemukan pada orang yang beriman, artinya pada orang yang menerima wahyu Allah. Allah mewujudkan aturan semesta alam, termasuk alam manusia. hal ini dimungkinkan melalui akal budi yang diberikan Allah kepadanya.
Alasan manusia menerima prinsip keadilan dalam ajaran Islam adalah karena persamaan dan kebebasan diantaranya yaitu manusia berasal dari keturunan yang sama dan semua makhluk tidak dapat melampui batas-batas dan hukum yang ditetapkan. Tetapi lingkungan yang rusak dan tamak meruntuhkan fondasi tersebut.24 Jadi, untuk menghindari adanya kejahatan yang datang dalam diri seseorang, maka dianjurkan untuk membela diri ketika diserang. Pandangan hukum positif tentang hukum pembelaan diri mengalami berbagai perubahan. pada masa dahulu pembelaan diri merupakan hak yang diambil dari hukum alami atau dengan sendirinya, bukan dari hukum positif. Pada abad pertengahan pembelaan diri tidak dianggap sebagai suatu keadaan yang menghindarkan hukuman tapi hanya sebagai dasar pembebasan hukuman. Pada abad ke-18 pembelaan dianggap sebagai keadaan terpaksa yang membolehkan seseorang untuk membela dirinya sendiri. Keadaan terpaksa tersebut timbul sebagai akibat tidak adanya perlindungan dari masyarakat (negara). Pada abad ke-19 keadaan diri dianggap sebagai keadaan terpaksa karena bahaya yang telaah mengepung korban menyebabkan dia tidak memiliki pilihan lain dan nalurinya mendorong dia untuk memelihara hidupnya. Pembelaan diri merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang dan merupakan tugas kewajiban untuk mempertahankan dari atau hartanya dan masyarakat tidak memperoleh keuntungan atau tidak ada kemaslahatan
24
Ibid, hlm. 70-72
dalam menjatuhkan hukuman atas orang yang membela diri karena ia bukan pembuat kejahatan. Jadi dalam suatu peristiwa serangan yang terjadi dalam pembelaan terpaksa, maka harus dilihat dengan cermat dan teliti, apakah peristiwa tersebut merupakan suatu pembelaan atau bukan. Terlihatlah disini bahwa rasa keadilanlah yang harus menentukan sampai dimanakah keperluan noodweer dibutuhkan yang menghalalkan perbuatan yang bersangkutan terhadap seorang penyerang. Dalam hukum Islam antara pembelaan terpaksa dan dharurah terdapat persamaan syarat sedangkan dalam hukum positif terdapat persamaan syarat dengan keadaan darurat (noodtoestand). Diantaranya adalah pertama Keadaan dharurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain kekhawatiran akan kematian itu benar-benar ada dalam kenyataan. Kedua, orang yang terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah atau larangan syar‟i atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudharatan
selain
melanggar
hukum.
Dalam
dharurah
terdapat
kekhawatiran akan timbulnya kematian. Ketiga, Dalam menghindari keadaan darurat hanya dipakai tindakan seperlunya dan tidak berlebihan. Sedangkan perbedaannya adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syar‟i (maqasid al-syari‟ah) seperti diharamkannya zina, pembunuhan, dalam kondisi bagaimanapun.25
الضرر ال يزال بالضرر
25
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 73-74
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.”26 Kaidah ini menuntut manusia untuk tidak menolak suatu bahaya (kepentingan hukum) dengan bahaya yang lain atau semisalnya. Keadaan darurat (noodtoestand) adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, untuk menghindari ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan hukum yang lain. Dalam noodtoestand bersifat lebih umum, suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan hukum yang lain. Perbedaan antara noodweer dengan noodtoestand, dalam pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu: Pertama, kepentingan hukum yang ada pada noodtoestand tidak dibatasi sedangkan dalam noodweer terdapat batasan hanya untuk tubuh, kesusilaan dan harta benda. Kedua, dalam noodweer mengenal noodweer exces sedangkan dalam noodtoestand tidak ada. Ketiga, noodweer untuk memebla kepentingan hukum bagi diri sendiri atau orang lain sedangkan dalam noodtoestand tidak. Sedangkan perbedaan daya paksa dan pembelaan terpaksa 1. Pada daya paksa: a. Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang dimaksudkan dan diinginkan 26
Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Daar al-Kutub al-„Alamiyah, tt, hlm. 86.
sipenyerang. Misalnya: seseorang mendatangi orang lain dengan todongan pistol memaksa untuk menandatangani akta palsu, kemudian korban menandatanganinya b. Orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki karena dia tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu c. Tidak ditentukan bidang kepentingan hukum dalam hal penyerangan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa d. Pada daya paksa dapat terjadi dalam keadaan darurat yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum. b. Pada pembelaan terpaksa: a. Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud penyerang. Misalnya: seorang majikan laki-laki hidung belang sedang berusaha memeperkosa pembantu rumah tangganya, setelah menindih tubuh prempuan tersebut, kepergok oleh suami si pembenatu dan sengan kuat si suami menendang kepala majikannya. Pilihan perbuatan suami pembantu berupa menendang kepala majikan adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak dikehendaki si majikan. b. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melawan serangan oleh si penyerang
c. Pembelaan terpaksa hanya dilakukan terhadap serangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga bidang: tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda. d. Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaaan darurat. Jadi, dalam pembahasan diatas yang sudah diuraikan meskipun dalam melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam hukum positif dan hukum Islam, tidak dipidana atau lepas dari tuntutan hukum tetapi terdapat persamaan unsur dalam pembunuhan semi sengaja yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian dan terdapat hubungan sebab akibat yang dalam ini terjadi sengaja-dengan-sadarkemungkinan-akibat.27
Sama
halnya
dengan
pembelaan
yang
tidak
menginginkan akibat tertentu bagi orang lain tapi dia dituntut untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Begitupun dalam dharurah tidak diperbolehkan melanggar tujuan syari‟at (maqasidus syari‟ah). Tetapi pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana. Tetapi jika ia dengan sengaja mengadakan perbuatan dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa korban tapi ternyata hilangnya nyawa tetap terjadi meskipun pada dasarnya perbuatan tersebut tidak membawa kematian, maka disebut pembunuhan semi sengaja yaitu kesengajaan di satu sisi dan kesalahan disisi lain. Pertanggungjawaban pidananya lebih ringan daripada pertanggungjawaban karena kesengajaannya
27
Artinya pertanggungjawaban dalam tindak pidana ini, bukan karena kelalaiannya maupun kesengajaanya melainkan karena akibat perbuatannya. Karena pada dasarnya akibat yang terjadi tidak dikehendaki, tetapi dengan sengaja melakukan perbuatan. Lihat dalam Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 174
tetapi lebih berat daripada pertanggungjawaban karena kelalaian yaitu tidak dapat di qishash. Dalam hal ini pelaku tidak dapat dikenakan hukuman qishash.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Melindungi jiwa merupakan salah satu bagian dari al-dharuriya alkhamsah. Pembunuhan merupakan suatu proses perampasan, peniadaan atau menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan oleh orang lain. Dalam hukum pidana Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja adalah qishash sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178. Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan kesalahan adalah diat dan kafarah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa ayat 92. Hukuman penggantinya adalah ta’zir dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat warisan. Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diat dan kafarah, sedang hukuman penggantinya adalah ta’zir. Sedangkan dalam hukum pidana Indonesia, tindak pidana pembunuhan diatur dalam pasal 338 sampai pasal 550 KUHP dengan ancaman hukuman paling berat yaitu penjara seumur hidup yaitu Pasal 339 tentang pembunuhan dengan pemberatan dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja dalam Pasal 359 diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam KUHP, pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana. 2. Dalam hukum Islam ditentukan syarat pembelaan yang sah yaitu objek yang dilindungi (jiwa, kehormatan dan harta benda sendiri maupun orang lain),
harus ada serangan seketika, pembelaan dilakukan dengan seimbang atas serangan yang terjadi, dan serangan harus melawan hukum. Sedangkan dalam hukum posistif terdapat syarat melebihi batas pembelaan yang diperbolehkan dengan syarat harus terdapat penyebab kegoncangan jiwa yang hebat dalam pasal 49 ayat 2. Terdapat hubungan kausal (causal verband) antara serangan atau ancaman serangan dengan kegoncangan jiwa yang hebat yang bersifat kasuistik apakah dari peristiwa konkrit menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya dapat langsung menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat atau tidak. Sedangkan pandangan hukum Islam dalam melakukan perbuatan pembelaan tidak boleh melebihi batas yang ditentukan, jika itu terjadi maka kelebihan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh seorang yang melakukan perbuatan tersebut. Tetapi jika tidak ada jalan lain atau dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan harta, kehormatan maupun jiwa selain membunuh, maka diperbolehkan karena tujuan hukum dalam Islam (maqasidus syari’ah) harus terpenuhi demi terciptanya kemaslahatan umat manusia. 3. Dalam hukum Islam, upaya yang dilakukan seseorang dalam melindungi jiwa, kehormatan dan harta dari suatu ancaman dan serangan seseorang disebut pembelaan yang sah (daf’u as-sail), dan upaya prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar. Tetapi dalam pembelaan jika sampai mengakibatkan kematian atau pembunuhan dalam melakukan pembelaan diri karena tidak ada cara lain, maka perbuatan itu diperbolehkan (asbab
al-ibahah) dan tidak dijatuhi hukuman atau sebagai alasan pembenar. Tetapi harus sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam hukum Islam. Hal ini bertujuan agar antara penyerang dan pembela berhati-hati dengan nyawa seseorang. Jika salah satu syarat pembelaan tersebut tidak terpenuhi maka bisa dikatakan pembunuhan semi sengaja karena terdapat kesengajaan dan kesalahan tetapi pada dasarnya hilangnya nyawa tidak diinginkan
(sengaja-dengan-sadar-kemungkinan-akibat),
pertanggungjawaban dalam hal ini lebih ringan dari qishash.
Sedangkan
dalam hukum positif dikenal pembelaan terpaksa (noodweer) ketentuan dalam KUHP Dalam pasal 49 ayat 1 sebagai alasan pembenar, sedangkan dalam ayat 2 dikenal istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan pemaaf untuk dasar penghapus hukuman.
B. Saran-saran Setelah melalui proses pembahasan dan kajian yang telah dibahas, maka kiranya penulis perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan kemajuan bersifat kajian akademik terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia dalam hukum Islam yaitu, perlunya penelitian yang lebih mendalam tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Tidak api tanpa ada asap, bukan tanpa alasan penulis melakukan penelitian ini. Tetapi ada semangat dalam diri penulis untuk lebih mengetahui sejauh mana konsepsi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan sebagai wacana bahan bacaan bagi pembaca untuk
bisa dijadikan bahan kajian dan diskusi yang memang perlu untuk lebih dipahami. Dalam penulisan ini penulis mengandung maksud: Pertama, kepada pembaca untuk dapat
memikirkan maupun menginterpretasikan dan
merenungkan kembali konsepsi pembelaan diri dalam perspektif hukum pidana Islam maupun dalam KUHP karena maraknya kejahatan terhadap tubuh seperti pembunuhan. Selain itu seharusnya ada upaya prefentif yang lebih dari pada hanya sebuah peraturan saja. Seperti yang telah diatur dalam hukum Islam yang merupakan kewajiban setiap orang yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, Dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah demi terciptanya realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan adanya undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia. Dan yang Ketiga, pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam
dalam tindak pidana
pembunuhan memang perlu dipertimbangkan maslahahnya oleh penegak hukum demi terwujudnya prinsip Maqasid asy-Syari’ah dan terciptanya nuansa hukum di Indonesia yang adil. A. Penutup Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah. Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dan tentunya tidak ada kebenaran kecuali dari
petunjuknya dan hanya Allah lah segala kebenaran yang hakiki. Serta dengan terselesaikannya karya ilmiah ini juga adalah tidak lepas dari kehendaknya. Shalawat dan salam penulis juga haturkan pada Nabi agung Muhammad saw. Dengan perbuatan, ucapan dan tindakan beliau sebagai penjelas akan firman Allah yang merupakan rahmatan lilalamiin untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan segala kerendahan hati,
permohonan maaf penulis
sampaikan kepada beberapa pihak. Kritik dan saran konstruktif penulis nantikan dalam rangka perbaikan penulisan skripsi ini. karena penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini dan tentunya tidak lepas dari keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, dimana tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanya milik Allah swt. Dan akhirnya penulis hanya bisa berharap mudah-mudahan penulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Untuk bisa mendiskusikan kembali mengambil nilai positif dan menghilangkan yang negatifnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok al-Qur'an Dahlan, Zaini, dan Azharuddin Sahil, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya, Yogyakarta: UII Press, 2000. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Syaamil Cipta Media, 1984. Isma'il Ibrahim, Muhammad, Al-Qur'ân Wa I'jaz at-Tasyrî', Beirut: Dar al-Fikr alArabi, 1978. B. Jinayah dan Fiqih Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Arief, Abd. Salam, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987. ‘Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami Jilid II, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t., Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar alFikr, Cet. ke-3, 1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995. Bakri, Asfri Jaya , Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1, Jakarta: G Sudarsono, Raja, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Cristine S.T. Kansil, Latihan Ujian: Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Djalil, Maman Abd (ed), Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Djazuli, H.A., Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet. III, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2000 Effendi M. zein, Satria, Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif Hukum Islam, dalam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, 1991. Mubarrok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003. Muslich, Ahmad Wardi , Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 20006. Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet. ke-2, 1990. Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Shiddiqi, Hasbi, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998. Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1997. Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Syah, Ismail Muhammad , Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Syaltut, Mahmud, Islam Aqidah Wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. ke-2, 1981. Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007. Washil, Nashr Farid Muhammad, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009
a. Hukum / Ilmu Hukum Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985. Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-2, 1986. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 2002. Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Bandung: Nusa media, 2004. Hartono, Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Binacipta, 1982. Himawan, Charles, The Foreign Investment Process in Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1980. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, cet. ke-1 1989. Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1976. Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986. Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2008. Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2006. Prodjodikoro, Wirjono, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989. Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1977. Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987. Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991. Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. Soerodibroto, Soenarto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan; Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, tim penyusun, A. Ubaidilla (et al.), Jakarta: IAIN Press, 2000. Wahjono, Padmo, Pembangunan hukum di Indonesia, Jakarta: In Mill Co, 2009. b. Kamus Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989, hlm.331. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-5, 1982. c. Lain-Lain Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, Bandung: Remaja Roesda Karya, 2006. Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-4, 2000. Suryabrata, Sumardi, Metode Penelitian, Jakarta: Grafindo Persada, Cet.IX, 1995.
1
BIOGRAFI ULAMA Imam asy-Syafi'i Nama lengkap tokoh besar ini adalah Muhammad Ibnu Idris Ibnu 'Abbās Ibnu 'Usmān Ibnu Syāfi'ī Ibnu Syā'ib Ibnu Ubāid Ibnu Abdul Yāzid Ibnu Hākim Ibn alMuthāllib Ibnu 'Abdί Manaf Ibnu Qusay; kakek Rasulullah SAW. Dilahirkan di Gaza Palestina (riwayat lain mengatakan beliau lahir di Asqalan), pada tahun 150 Hijriyah. Ibunya bernama Fātimah Ibnu Abdullāh al-Azdiyāh dari keturunan al-'Azd bukan Qurais. Syāfi'ī
berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya.
Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Semasa kecil beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan cerdas, sehingga pada usia yang sangat belia beliau telah hafal alQur'an dan banyak hadis. Beliau pernah mengembara ke Irak, disana beliau berguru kepada Muhammad al-Hāsan. Beberapa tahun kemudian beliau pindah kekota Madinah dan berguru kepada Muslim Ibnu Khālid al-Zinjī, beliau juga pernah datang ke Madinah dan berguru kepada Imam Mālik, serta masih banyak lagi guru-guru beliau yang lainnya. Sedangkan murid-murid beliau di antaranya adalah Ahmad Ibnu Hānbāl, Abū Bākār al-Humadi, Ibrāhim Ibnu Muhammad al-'Abbās, al-Hāsan asSabāh az-Zā'fārāni. Karya-karya Ilmiyah Imam asy-Syāfi'ī yang sangat fenomenal adalah kitab "ar-Risâlah" dan "al-Umm". Beliau berhasil menjembatani antara ahl al-hadis dan ahl al-ra'yi, beliau berhasil menetapkan kaidah-kaidah hukum Islam, oleh karena itu beliau diberi julukan sebagai bapak Ilmu Ushūl al-Fiqh. Imam asy-Syāfi'ī menjadikan al-Qur'an, Sunah, Ijma' dan Qiyās sebagai sumber hukum. Imam asy-Syāfi'ī meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 204 Hijriyah 819 Masehi di kota Mesir.
2
Imam Ahmad Ibnu Hanbal Ahhmad Ibnu Muhammad Ibnu Hânbâl Ibnu Hilal Ibnu 'Usd Ibnu Idris Ibnu 'Abdillah Ibnu Hayyan Ibnu 'Abdullah Ibnu 'Anas Ibnu 'Auf Ibnu Qasit Ibnu Mazin Ibnu Syaiban. Beliau dilahirkan di kota Bagdad pada tahun Rabi'ul Awal tahun 164 Hijriyah/780 Masehi. Ayahnya menjabat sebagai Walikota Skhas dan pendukung Pemerintah 'Abbasiyah. Ibunya bernama Syâfiyah binti Maimunah binti Abdul Mâlik asy-Syaibani dari suku Âmir. Imām Hânbâl sejak kecil gemar membaca al-Qur'an dan bahasa, namun setelah dewasa beliau lebih semangat mempelajari hadis. Beliau berusaha mencari dan mengumpulkan banyak hadis, meskipun harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga beliau mempunyai banyak guru. Diantara guru-guru beliau adalah 'Ali Yusuf Yā'qub Ibnu Ibrāhim al-Qidi, Hisyam bin Busyâir, Umair Ibnu Abdullah, Abdurrahman Ibnu Mahdi, Abû Bakar Ibnu Qiyisi dan Imâm Syafi'ī, sedangkan murid-murid beliau diantaranya Yahya Ibnu Adam, Yazid Ibnu Hârun, 'Ali Ibnu al-Mâdani, al-Bukhâri, Muslim, Abu Dâud, Abu Zahrah, ar-Râzi, adDimasyqi, Ibrâhim al-Harbi, Abu Bakar Ibnu Hani'. Imâm Ahmad Ibnu Hânbâl dalam Istinbat hukum menjadikan al-Qur'an sebagai dasar hukum pertama, kemudian Sunah, perkataan sahabat dan fatwanya, kadangkala beliau menggunakan Ijma' dan Qiyas jika dianggap perlu. Selain sumber hukum di atas beliau juga menggunakan alMaslâhah al-Mursâlah dan Sa'dud az-Zâri'ah jika tidak terdapat nas yang menyatakan kehalalan atau keharaman sesuatu. Karya-karya ilmiyah Imam Ahmad bin Hanbal yang monumental diantaranya adalah kitab Musnad yang memuat 30 ribu hadis Nabi SAW, al-Tafsir di dalamnya memuat 120 ribu hadis, al-Manâsik al-Kâbir dan al-Manâsik al-Sâgir, serta kitabkitab yang lainnya. Imâm Ahmad Ibnu Hânbâl menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Jum'at, 12 Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyah/855 Masehi dan di makamkan di kota Bagdad.
3
Imâm Malik Ibnu Anas Abu Abdullah Malik Ibnu Anas Ibnu Abi Âmar al-Asbâhi al-Yamâni. Ibunya benama 'Aisyah putri dari Syarik al-Azdiyah, dari Yaman yang berketurunan merdeka. Imâm Mâlik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah (718 M) dan wafat pada tahun 179 Hijriyah (795 M). Mâlik dilahirkan dalam keluarga ilmuwan yang tekun mempelajari hadis dan atsar. Mâlik telah menghafal al-Qur'an di usia masih sangat muda. Anas Ibnu Mâlik tidak begitu memperhatikan hadis. Walaupun ayah Mâlik tidak terkenal sebagai ahli ilmu, namun kakeknya dan paman-pamannya semuanya terkenal sebagai ahli ilmu. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila Mâlik yang tumbuh dalam keluarga hadis, punya kecenderungan mempelajari hadis. Sejak dari mudanya Mâlik sangat menghargai hadis Rasul. Dia tidak mau menerima sesuatu hadis buat dipelajarinya melainkan dalam keadaan yang penuh kesegaran dan ketenangan. ia tidak mau menulis hadis sambil berdiri. Mâlik dalam masa belajar berkonsentrasi kepada empat macam ilmu. Pertama: cara membantah pengikut-pengikut hawa nafsu, kedua, Fatwa-fatwa sahabat dan tâbi'in. ketiga, fiqh Ijtihad, dan yang keempat, yaitu hadis-hadis Rasûlullah. Beliau menerima ilmu dari 100 orang ulama asar dari berbagai aliran,adapun guru-guru beliau terbagi dua: guru yang mengajarkan fiqh dan ijtihad dan guru-guru yang mengajarkan hadis. Karya besarnya beliau berjudul al-Muwatta', Imâm Mâlik mengakui empat sumber hukum: Pertama al-Qur'an dan Sunah, kemudian, jika diperlukan, praktek kaum Muslimin di Madinah dalam mengikuti Sunah, dan akhirnya interpretasi personal, (ra'yu) dalam bentuk konsesus (ijma') para ulama Madinah terhadap pertanyaan yang timbul. Imâm Mâlik memiliki murid yang banyak. Tak ada seorang imâm yang mempunyai murid sebanyak Mâlik. Murid-murid yang mendapat pelayanan istimewa dari Mâlik ialah: Abdullah Ibnu Wahab, Abdur Rahman Ibnu al-Qâsim, Asyab Ibnu Abdul Âziz, Asan Ibnu Fûnud dan Ibnu Majisun.
4
Imam Abu Hanifah Abu Hânifah adalah putera sabit Ibnu Nu'man Ibnu Marzûban. Menurut riwayat lain, Abu Hânifah adalah putrea Tsâbit Ibnu Zuthi, seorang keturunan Persia. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 Hijriyah (699 M) dimasa Abdul Mâlik bin Marwan al-Amâwi, dan wafat pada tahun 150 Hijriyah (767 M). Ayahnya adalah seorang pedagang besar, karenanya Abu Hânifah sebelum memusatkan perhatiannya terhadap ilmu, turut berdagang di pasar, menjual kain sutra. Di samping berniaga, ia tekun pula menghafal al-Qur'an dan amat gemar membacanya. Beliau adalah tokoh mazhab Rasional-Liberal, dan terkenal dengan nama Abu Hanifah, karena beliau mempunyai putra yang bernama Hanifah. Alasan lain disebut demikian adalah karena kerajinannya beribadah kepada Allah, selain itu juga karena beliau selalu akrab dengan tinta untuk mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya dan para ulama-ulama lainnya. Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimilki di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Dalam kehidupan sehari-hari Abu Hânifah adalah orang yang hidup berkecukupan. Sebagai pedagang ia tidak tamak, tidak takut kehabisan harta,sangat memelihara âmanah orang yang dititipkan kepadanya, murah hati, yang mempergunakan kekayaan untuk kehidupan orang lain, amat kuat agamanya, amat banyak ibadatnya, berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalâtul lail di malamnya. Mâlik menerangkan jalan yang ditempuh Abu Hânifah dalam membentuk Mazhab-mazhabnya dn mempelajari aneka masalah, ialah mendiskusikan sesuatu masalah dengan para muridnya. Imâm Abu Hânifah tidak menerbitkan kitab dengan ditulisnya sendiri. Ini wajar karena di masa Abu Hânifah belum berkembang usaha pembukuan. Di waktu usaha pembukuan telah mulai berkembang, ia telah berusia lanjut. Muridmuridnyalah yang membukukan pendapat-pendapatnya, mungkin sebagian yang
5
dicatat itu adalah hasil diktenya sendiri, akan tetapi walaupun Abu Hânifah tidak mempunyai kitab yang dapat kita katakana hasil karyanya sendiri, namun para ulama mengatakan Abu Hânifah mempunyai Kitab Musnad yang mengandung hadis yang diriwayatkan olehnya. Menurut penelitian para ulama, kitab Musnad itu bukan hasil karya Abu Hânifah sendiri. Kitab itu dikumpulkan oleh murid-muridnya. Di antara yang mengumpulkannya ialah Muhammad Ibnu Hasan. Kitab itu dinamakan al-Atsar oleh Abu Yûsuf.
Wahbah az-Zuhaili Nama lengkapnya adalah Wahbah Mustafa az-Zuhailī. Dilahirkan di kota Dar'atiyah bagian Damaskus pada tahun 1932. beliau belajar di Fakultas Syari'ah di Universitas al-Azhar Kairo dengan memperoleh ijazah tertimggi pada peringkat pertama pada tahun 1956. beliau mendapat gelar Lc dari Universitas Ain asy-Syâms dengan predikat jayyid pada tahun 1957. beliau mendapat gelar ' MA' di Diploma Mazhab Syari'ah pada tahun 1959 dari Fakultas hukum Universitas al-Qâhirah, kemudian gelar Doktor dalam hukum 'asy-Syari'ah al-Islamiyah' dicapai pada tahun 1963. pada tahun 1963 beliau donobatkan sebagi dosen 'Mudarris' di Universitas Damaskus. Spesipikasi keilmuan Wahbah Zuhailī adalah Fiqh dan Ushul Fiqh. Adapun karya-karyanya Wahbah Zuhailī antara lain: al-Wasil Fi Ushul al-Fiqh alIslami, al-Fiqh al-Islami Fi Uslûbihi al-Jadid, al-Fiqh al-Islami Wa 'Adilatuhu, Tafsir al-Munir Fi al-'Aqīdah Wa asy-Syari'ah Wa al-Manhaj. Abdul Qadir ‘Audah Beliau adalah seorang ulama terkenal Alumnus Fakultas Hukum Universitas lAzhar Cairo pada tahun 1930 sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh utama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau juga turut ambil bagian dalam merumuskan Revolusi Mesir yang berhasil gemilang pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M. Najib dan Letkol Gamal Abdul Naser. Ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan
6
polotiknya pada tanggal 8 Desember 1954 bersama lima kawannya. Hasil karyanya antara lain adalah kitab at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami dan al-Islam wa Awda’ana alIslami.
As-Sayyid Sabiq Beliau adalah ulama terkenal di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman sejawat dengan Hasan al-Banna pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau termasuk salah seorang yang menganjurkan ijtihad, dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah, Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah Islam. Ibn Rusyd Nama lengkap beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Maroko pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan tokoh filsafat yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam. Hasil karyanya antara lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma Baina asySyari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal. Ibn Hazm Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm azZahiri ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn Madam ibn Yazid, gelarnya adalah Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di Andalusia dan pembela mazhab Zahiri, lahir di Cordova tahun 344 H. Pada mulanya
beliiau adalah penganut mazhab
Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau mendalaminya lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping sebagai pengajar, beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400 buah, salat satunya adalah al-Muhalla.
7
Ibn Quddamah Nama lengkap beliau adalah Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau merupakan seorang ulama besar dan penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab Hambali. Beliau hidup pada masa perang salib berlangsung, khususnya di daerah Syam. Hasil karyanya antara lain adalah, alMugni, al-Kafi, al-Umdah fi al-Fiqh, dan lain-lain. P.A.F. Lamintang Beliau adalah dosen Koordinator dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II serta sebagi pengajar mata kuliah hukum Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan Djisman Samosir telah menulis buku Hukum Pidana dan Delik-delik Khusus Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI: Nama Lengkap
: Muhayati
Tempat, Tanggal Lahir
: Semarang, 11 Juni 1988
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Hasanuddin RT 06/ RW 02 Bandarharjo-Semarang Utara, Semarang 50175
No. HP
: 085290151631
PENDIDIKAN FORMAL :
MI Hasanuddin Bandarharjo, Semarang
Tahun 2000
MTS Al Fattah Sayung, Demak
Tahun 2003
MAN Demak
Tahun 2006
PENDIDIKAN NON FORMAL :
Al-Ma’had Manba’ul Qur’an, Sayung Demak
Tahun 2003
Al-Ma’had Al-Falah, Jogoloyo Demak
Tahun 2006
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
Tahun 2010
Anggota Justisia Fakultas Syari’ah
Tahun 2007
Anggota JQH Fakultas Syari’ah
Tahun 2007
Anggota PMII Fakultas Syari’ah
Tahun 2007
Semarang, 7 Desember 2011 Yang menyatakan;
Muhyati NIM. 072211012