KATEGORISASI TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh : THAUFIK RACHMAN 052211009
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
i
Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I Ds. Tlogorejo RT 02 RW 12 Kec. Karangawen Kab. Demak 59566
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 Naskah eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdri. Thaufik Rachman Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudari : Nama
: THAUFIK RACHMAN
Nim
: 052211009
Jurusan
: Siyasah Jinayah
Judul Skripsi
: KATEGORISASI TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunagosalikan. Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb Semarang, 14 Desember 2011 Pembimbing Skripsi,
Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I. NIP: 19520805 198303 1 002
ii
iii
MOTTO
Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka ketjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah : 38)
iv
PERSEMBAHAN
Dengan segenap hormat dan kerendahan hati, skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan kepada: 1.
Ayahku tercinta Misrun Thamrin, SHI dan Ibunda Murni. Terima kasih atas segalanya (doa dan kerja keras kalian). Dan mohon maaf jika penulis mengecewakan kalian. Kakakku mbk Eni Sulastri, mas Edi Suwito[mas Eet], Mbk Novi Rachmawati, SE dan adikku Ninda Kumalasari dan Nova Diaciara. Serta segenap keluarga dan kerabat yang memberi kasih sayang kepada Penulis.
2.
Yth. Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I (Pembimbing skripsi).
Semua pihak yang telah menyumbangkan ide, saran, kritik bagi penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang tak mungkin untuk ditampung di halaman kertas ini.
Semarang, 14 Desember 2011 Deklarator,
Thaufik Rachman NIM. 052211009
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Desember 2011 Deklarator,
Thaufik Rachman NIM. 052211009
vi
ABSTRAK Pencurian merupakan tindak pidana yang wajib dikenai hadd berupa potong tangan, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama mujtahidin) tidak ada ikhtilaf padanya. Memang Dengan tegas al-Qur'an menerangkan bahwa hukuman pencuri baik laki-laki maupun perempuan adalah hukuman potong tangan. Sejalan dengan itu mengenai persyaratan terhadap sifat-sifat yang bisa dianggap sebagai barang curian untuk dikenai hukuman potong tangan, diantaranya barang curian tersebut berharga, bisa dipindah milik kepada orang lain dan halal dijual, serta barang curian itu mencapai satu nisab. Dengan demikian pencuri arak dan babi tidak dikenai hukuman potong tangan karena diharamkan dan juga barang itu najis. Padahal kenyataan yang berkembang selama mi telah berlangsung jual beli terhadap sejumlah barang yang dikategorikan najis seperti kotoran ternak yang dijadikan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanaman, demikian pula tersebar di pasaran sejumlah minyak yang terkena najis. Dari permasalahan tersebut, maka ada dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah kategorisasi tindak pidana pencurian dalam hukum Islam? Bagaimanakah signifikansi hukum pidana Islam dalam tindak pidana pencurian dilihat dan hukum positif. Jenis Penelitian adalah kepustakaan, adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, deskriptif analisis, konten analisis dengan pendekatan sosiohistoris dan hermeneutika. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut penulis bila dibandingkan pendapat Mazhab Zhahiri, mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, Abu Hanifah. Melihat kenyataan yang berkembang bahwa selama ini banyak terjadi tindak pidana pencurian yang dilakukan karena masalah ekonomi, maka daripada itu penulis lebih condong dengan ijtihad Umar bin Khatab yang di mana beliau tidak menerapkan hukum potong tangan bagi si pelaku tindak pidana pencurian karena anak dan istrinya sedang kelaparan akibat honornya tidak dibayar oleh majikannya. Oleh Khalifah Umar si pencuri tidak dipotong tangan. Umar bin Khattab tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu karena memang ada nash lain yang menjelaskannya. Umar ra. tidak meninggalkan nash Al-Qur'an yang sudah jelas maknanya yaitu QS. Al-Maidah ayat 3 di mana di situ sudah disebutkan: "Tetapi barangsiapa yang terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".
vii
KATA PENGANTAR
Bismillah al-Rahman al-Rahim
Puji syukur alhamdulillah. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga, para sahabat, dan pengikutnya. Amin. Tidak terasa proses menuntut ilmu di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo sampai pada dermaga akhir. Penulis menyadari bahwa selama proses menuntut ilmu dari awal sampai pada penyelesaian skripsi ini, tidak akan berhasil tanpa dorongan semangat dan dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Yth. Prof. Dr. H. Muhibbin, MA. (Rektor IAIN Walisongo) yang telah memberikan segala kebijakan dalam menjalankan institusi tercinta ini 2. Yth. Drs. H. Imam Yahya, M, Ag. (Dekan Fakultas Syari'ah) atas segala kebijakan teknis di tingkat fakultas. 3. Yth. Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.SI. sebagai Pembimbing yang sabar menghadapi penulis ketika bimbingan. merasa senang karena keseriusan bapak dalam membimbing penulis. Terima kasih atas ketulusannya dalam membimbing penulisan skripsi ini. 4. Yth. Kajur (Pak Solek), Sekjur (Pak Rustam), dan Pak Harun. Dan tak lupa segenap dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang yang telah membagi ilmunya kepada penulis. Dan tidak lupa, segenap pegawai Fakultas Syari ' ah.
viii
5. Ayahku tercinta Misrun Thamrin, SHI dan Ibunda Mumi. Terima kasih atas segalanya (doa dan kerja keras kalian). Dan mohon maaf jika penulis mengecewakan kalian. Kakakku mbk Eni Sulastri, mas Edi Suwito[mas Eet], Mbk Novi Rachmawati, SE dan adikku Ninda Kumalasari dan Nova Diadara . Serta segenap keluarga dan kerabat yang memberi kasih sayang kepada Penulis. 6. Teman-teman angkatan 2005 Jurusan Jinayah Siyasah Zaenal Arifin, Miftahul Khoir, Fuad Hasan, Kholil Said Nashikin, Hamdani, Achmad Rifa'i, Ali Muhlison, Ali Masykur, Imron Mashadi, Retno, Wilujeng, Zaenal Arifin, Mukhibi, Muanif, Farid Nurul Iman, Faizin, Malik Habiburahman, Mujamil, Ali Mustofa, Ismail. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini. 7. Serta tak lupa teman jurusan AS, MU, EI, D3 Perbankan, yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan bantuannya Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dan kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Karena itu, penulis berharap saran dan kritikan yang bersifat membangun dan pembaca. Terima kasih.
Semarang, 14 Desember 2011 Penulis
Thaufik Rachman
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI...............................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK...................................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. viii HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... xiv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
6
D. Telaah Pustaka ...........................................................................
7
E. Metode Penelitian ......................................................................
9
F. Sistematika Penulisan .................................................................
11
BAB II TIPOLOGI PENCURIAN BESAR DAN KECIL A. Tinjauan Umum Tentang Pencurian ............................................
14
1. Definisi dan Unsur-unsur Pencurian Besar dan Kecil Menurut Hukum Positif ........................................................
14
2. Pengertian dan unsur-unsur pencurian besar dan kecil menurut Hukum pidana Islam ...............................................
23
BAB III KETENTUAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM A. Deskriptif Tindak Pencurian dalam Hukum Islam ...................... x
34
B. Ketentuan Hukum Bagi Tinslak Pidana Pencurian Besar Dalam Hukum Islam ....................................................................
37
C. Ketentuan Hukum Bagi Tindak Pidana Pencurian Kecil Dalam Hukum Islam ....................................................................
BAB IV ANALISA
HUKUM
PIDANA
ISLAM
39
TERHADAP
PELAKU PENCURIAN BESAR DAN KECIL A. Analisa Penelitian.........................................................................
42
B. Pendapat Pam Ulama Tentang Hukum Islam Bagi Pam Pencuri Besar ..............................................................................
44
C. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Islam Bagi Para Pencuri Besar ...............................................................................
46
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................
58
B. Saran-Saran .................................................................................
59
C. Penutup.........................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
62
LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dalam kehidupan dalam bermasyarakat yang terdiri atas berbagai jenis manusia, ada manusia yang berbuat baik dan ada pula yang berbuat buruk. Wajar bila selalu terjadi perbuatan-perbuatan yang baik dan perbuatan yang merugikan masyarakat. Di dalam masyarakat selalu saja terjadi perbuatan jahat atau pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan undangundang maupun norma-norma yang dianggap baik oleh masyarakat. Setiap pelanggar peraturan hukum yang ada, akan dikenakan sangsi yang berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar peraturan hukum yang dilakukannya.1 Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang aturan umum hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif atau positif maupun pasif atau negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sangsi berupa pidana bagi yang melanggar larangan itu, syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkan sangsi pidana yang diancam pada larangan pada perbuatan yang dilanggar, dan tindakan, upaya-upaya yang dilakukan negara melalui alat penegak hukumnya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim) untuk
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 38.
1
2
melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum tersebut.2 Di dalam hukum pidana Islam tindak pidana disebut jarimah,3 pengertian jarimah dalam hukum pidana Islam hampir bersesuaian dengan pengertian hukum pidana Indonesia, yang diartikan dengan istilah peristiwa pidana, ini adalah rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang lainnya, terhadap mana diadakan penghukuman.4 Pencurian didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan itikad tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur.5 Pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf6 yang balig dan berakal terhadap harta milik orang lain secara diam-diam, apabila barang tersebut mencapai nisab (batas minimal) dari tempat simpanannya tanpa ada subhat barang-barang yang diambil tersebut.7 Menurut pendapat Sayyid Sabiq:
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-I, 2002, hlm. 2. 3 Jarimah menurut arti bahasa adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, lurus (agama). Lihat H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 9. 4 Ibid., hlm. 10. 5 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-I, 2003, hlm. 28. 6 Mukallaf ialah orang yang dibebani melaksanakan ajaran Islam, karena telah dewasa, berakal sehat, telah sampai kepadanya ajaran Islam serta merdeka/bukan budak, berakal sehat. Lihat Abdul Mujib, et.al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 220. 7 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 82.
2
3
: !"# : : 8 . $% &' ( ) $% !* + Artinya: “Pencurian adalah mengambil barang orang lain secara sembunyisembunyi. Misalnya mencuri suara, karena mencuri suara itu dengan sembunyi-sembunyi dan dikatakan pula mencuri pandang karena memandang dengan sembunyi-sembunyi ketika yang dipandang lengah.”
Dalam Al-Qur'an surat Al-Hijr ayat 18 disebutkan: ☺ ()*+ "#$%&' ! Artinya: “Kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Q.S. Al-Hijr: 18)9
Menurut pendapat Sayyid Sabiq, pencurian harus memenuhi syaratsyarat antara lain:
8&9 1+ : ;+< ; :./ !0 10 *(2 34 5 67 ;A+ BC D%E E !# F G&2 H I/ : %2 =+> >? @ G&2 S& & ?T ? J KLM .<& NC O ;PQ R 80 ./ *D0 W%< T+> : V S.& 6T !*# G&2 H M 8A U+ ;+ S./ Y ># ;+Z( F . >? @ 8& 1+ : X 10 .T]Z& H 6.( .([ T+\+ .# ] H ]2 .@ F Artinya: “Adapun tentang sifat-sifat barang yang bisa dianggap sebagai barang curian untuk dikenai hukuman potong tangan, yang pertama adalah barang curian itu berharga, bisa dipindah milikkan kepada orang lain dan halal dijual. Dengan demikian maka pencuri arak 8 9
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1968, Juz 9, hlm. 146. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Nala Dana, 2007,
hlm. 392. 10
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 247.
3
4
dan babi tidak bisa dikenakan hukuman potong tangan, meskipun arak dan babi tersebut milik kafir dzimi. Karena memiliki dan memanfaatkan arak dan babi baik oleh muslim dan kafir dzimi adalah diharamkan oleh Allah. Begitu pula tidak dipotong tangannya orang yang mencuri alat musik, seperti seruling, gitar, piano. Karena alat-alat tersebut tidak berharga karena tidak halal dijual. Adapun ulama yang membolehkan menggunakan alat-alat musik telah sepakat dengan pendapat di atas yakni pencurinya tidak dikenai hukuman potong tangan. Alasannya karena ada syubhat, sedangkan syubhat itu dapat menggugurkan adat.”
LP ?7L !0 ^&( ; !0 0 _/+` 34 aV b 11 .T]c P d?e >4 [ F ]?M Artinya: “Yang kedua, tentang sifat-sifat yang bisa dianggap barang curian yang dikenai had yaitu barang curian yang mencapai satu nisab. Jadi satu nisab itulah yang harus dijadikan standar minimal untuk menegakkan had.”
Di dalam hukum Islam ada dua pencurian: pencurian yang mewajibkan jatuhnya hukum hudud, pencurian yang mewajibkan jatuhnya hukuman takzir. Pencurian yang mewajibkan jatuhnya hukuman hudud ada dua macam: pencurian kecil (sariqah sugra) dan pencurian besar (sariqah kubra). Pencurian yang hukumannya takzir: pertama, setiap pencurian kecil atau besar yang seharusnya dijatuhi hukuman hudud, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau gugur karena ada syubhat. Misalnya, mengambil harta anak sendiri atau harta milik bersama. Kedua, mengambil harta orang lain dengan terang-terangan atau sepengetahuan korban, tanpa kekerasan atau kerelaan korban.
11
Ibid., hlm. 252.
4
5
Pencurian kecil adalah mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, sedangkan pencurian besar adalah mengambil harta orang lain dengan cara memaksa. Pencurian besar ini disebut hirabah (merampok atau melakukan gangguan keamanan).12 Tentang tindak pidana pencurian, hukum Islam memandangnya sebagai tindak pidana yang berbahaya dan oleh karenanya maka hukumannya sudah ditetapkan oleh syara’ yaitu hukuman potong tangan, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:13 $ /. , . ☺567897; 012 4/ ! H8I D⌧E FG A⌧C ☺@ <,=>? "MN&F L>7+ K= F J= Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Maidah: 38)
Dalam
menjatuhkan
hukuman
potong
tangan,
para
ulama
mempertimbangkan harta yang dicuri bernilai secara hukum, harus tersimpan di tempat penyimpanan yang biasa dan mencapai nisab. Jika tidak mencapai nisab, maka tidak ada hukuman potong tangan tetapi diganti dengan ta’zir (hukuman).14 Akan tetapi di dalam hukum positif (KUHP) hanya menghukum pelaku tindak pidana pencurian dengan hukuman penjara maksimal lima tahun 12
Umar Shihab, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm.
77-78. 13
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 151. Abdur Rohman I Doi, Shahri’ah the Islamic Law / Tindak Pidana, Terj. Wardi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 65. 14
5
6
atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Hal ini tercantum dalam pasal 362 KUH Pidana. Mengenai hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum positif bukan hukum Islam, meskipun sebagian besar warga Indonesia beragama Islam, tetapi negara berlandaskan kepada Pancasila. Dalam hukum publik tidak ada pilihan lain selain harus dipatuhi dan sangsi dalam hukum publik merupakan suatu alat utama untuk memaksa orang atau seseorang mematuhi ketentuan undang-undang lebih-lebih hukum pidana yang memberikan kewajiban kepada warga negara untuk mematuhi hukum. Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Tegasnya, mereka merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal 362 KUH Pidana pertama-tama harus ada perbuatan “mengambil” dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh karena di dalam kata “mengambil” sudah tersimpul pengertian “sengaja”, maka undang-undang tidak menyebutkan “dengan sengaja mengambil”, apabila terdapat kata “mengambil” maka pertama-tama yang terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain.
6
7
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimanakah kategorisasi tindak pidana pencurian dalam hukum Islam? 2. Bagaimanakah signifikansi hukum Islam dalam tindak pidana pencurian?
C. Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui kategori tindak pidana pencurian dalam hukum Islam ditinjau dari KUHP dan Fiqih Jinayah. 2. Untuk mengetahui kategori tindak pidana pencurian dalam hukum Islam ditinjau dari KUHP dan Fiqih Jinayah.
D. Telaah Pusaka Peneliti telah melakukan kajian pustaka, dengan membaca skripsi-skripsi yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis teltiti. Ahmad Mustain dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Putusan No. 17/Pid. B/2007/PN. Kendala Tentang Pencurian Dengan Ancaman Kekerasan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif Indonesia”, mahasiswa falkutas syari’ah IAIN Walisongo Semarang jurusan siyasah jinayah angkatan 2003. Skripsi tersebut menjelaskan menurut hukum pidana Islam, kasus tersebut di atas masuk dalam kategori pencurian yang tidak sempurna artinya terdakwa tidak bisa di hukum
7
8
potong tangan akan tetapi masuk pada klasifikasi jarimah takzir, karena syaratsyarat hukum handd tidak dipenuhi, seperti barang yang diambil harus dari tempat penyimpanannya, serta barang yang diambil harus mencapai hisab. Sedangkan bila dilihat dari hukum positif kasus ini tergolong pada pasal 368 KUHP Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana pemerasan dan pengancaman, seperti yang didakwa oleh hakim. Dengan demikian berarti pelaku tindak pidana pencurian dengan ancaman kekerasan ini karena tidak terbukti dalam dakwahan pasal 365 KHHP, karena pemerasan dan pengacaman posisinya sama dengan tindak kejahatan yang lain, yang harus dihukum semaksimal mungkin agar terdakwa dikemudian hari jera tidak melakukan perbuatannya serta masyarakat lain takut tidak akan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh terdakwa. 15 Numun dari berbagai referensi yang penulis dapatkan sejauh ini belum ada yang menjelaskan tentang berbagai macam tindak pidana pencurian besar dan pencurian kecil. Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas persoalan tersebut dalam sebuah skripsi yang berjudul Kategori Tindak Pidana Pencuiran dalam Hukum Islam. Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar benar15
Ahmad Mustain, Studi Analisis Putusan Nomor 17/Pid.B/2007/PN, Skripsi IAIN Walisongo, 2007.
8
9
benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau prekondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yang disebut sebagai 'illat (sebab, rasio-logis tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Pentingnya perhitungan atas pemberatan pidana harus sudah diperhatikan sejak pelaku disidik (apakah ada alasan pemberat), dituntut (berapakah maksimum lamanya tuntutan pidana), dan dipidana (berapakah lamanya pidana yang dapat dijatuhkan). Seorang penyidik hams mampu menilai apakah dalam fakta hukum ditemukan adanya alasan yang dapat memberatkan tersangka. Apabila ada, maka hal tersebut akan dituangkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Kemudian diteruskan sebagai dasar lamanya tuntutan pidana dalam surat tuntutan serta sebagai dasar lamanya pemidanaan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian, seorang penyidik hams mampu mengidentifikasi ada atau tidaknya alasan pemberat pidana dalam suatu tindak pidana tertentu. Seorang jaksa dan hakim harus mampu menghitung aneaman dan penjatuhan pidana maksimal yang dapat diberikan pada terdakwa. Dari urian diatas, dapat disimpulkan bahwa, beberapa tulisan yang ada di atas sudah banyak mengkaji tentang tindak pidana pencurian baik menurut hukum pidana islam maupun hukum pidana positif di Indonesia yang ada di KUHP. Namun belum ada sebuah penulisan skripsi yang membahas tindak pidana pencurian besar dan kecil dalam hukum Islam. Oleh karena itu penulis ingin mengangkat masalah tersebut dalam sebuah skripsi.
9
10
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif Library Research (peneliti pustaka). Dimana penelitian yang akan penulis lakukan berdasarkan pada data-data kepustakaan yang berkaitan pokok persoalan yang dibahas. 2. Sumber Data Untuk memudahkan pengidentifikasian sumber data, maka penulis mengklasifikasikan sumber data tersebut menjadi dua jenis sumber data yaitu : a. Sumber Data Primer Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti.16 Adapun sumber data dalam penelitian skripsi ini adalah KUHP pasal 362 dan Fiqih Jinayah. b. Sumber Data Sekunder Yakni data yang mendukung atau data tambahan bagi data primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian.
17
Sebagai data sekunder dalam penelitian ini
adalah tentang kategori tindak pindana pencurian dalam hukum islam dan buku-buku lainnya yang berhubungan denga pokok pembahasan.
16 17
Saifuddin Azwar, Metode Penelitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91. Ibid, hal. 36
10
11
F. Analisis Data Setalah data-data terkumpul, kemudian penulis menggunakan analisis deskriptif (descriptive analisya) yang bertujuan memberikan deskriptif mengenai subyek penelitian berdasarkan data yang diperoleh dari subyek yang diteliti.
18
Muhammad Musa dan Adian Husaini (Dosen STID Mohammad
Natsir, Jakarta) dalam wawancara di Rubrik Islam Digest Republika (1/2/ 2009), Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq M.A., guru besar IAIN Semarang, mengatakan bahwa dalil qath'i masih juga diperdebatkan oleh ulama. ''Salah satu contoh dalil qath'i yang kemudian diperdebatkan kembali hukumnya adalah kasus potong tangan bagi pencuri,'' kata Ahmad Rofiq yang juga sekretaris MUI Jawa Tengah. Menurut Prof. Rofiq, ketika itu ada pembantu yang mengambil barang majikannya. Tapi, ia mencuri karena terpaksa, karena anak dan istrinya sedang kelaparan akibat honornya tidak dibayar oleh majikannya. Oleh khalifah Umar, si pencuri tidak dihukum potong tangan. Cerita ini tidak disebutkan sumbernya. Tapi, penjelasan Prof. Ahmad Rofiq itu menyimpulkan bahwa Umar bin Khathab telah mengubah hukum yang qath'i, yakni hukum potong tangan. Argumentasi semacam ini sudah berulang-ulang diungkapkan oleh berbagai kalangan. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Al-Quran. Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul
18
Saifuddin Azwar, Op.cop., , hlm. 126.
11
12
Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab. Padahal, fakta sebenarnya tidaklah demikian. Umar bin Khatab r.a. sama sekali tidak mengubah status hukum potong tangan bagi pencuri. Tetapi, yang sebenarnya, penerapan hukum itu sendiri harus memenuhi sejumlah syarat. Ada beberapa dalil untuk itu. Pertama, hadis riwayat As-Sarkhasi dari Mahkul bahwa Nabi SAW telah berkata: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. Jadi, Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu karena memang ada nash lain yang menjelaskan.
G. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi beberapa bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub bab antara lain: Bab I Pendahuluan Pada bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistimatika penelitian skripsi. Bab II Tipologi Pencurian Besar dan Kecil Menjelaskan tujuan umum tentang pencurian besar dan pencurian kecil serta alasan-alasan keharaman pencurian besar dan pencurian kecil. Bab III Ketentuan Hukum Tindak Pidana Pencurian Dalam Hukum Islam Meliputi batasan pengertian pencurian besar dan pencurian kecil, jenis-jenis pencurian besar dan pencurian kecil, ketentua tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian menurut hukum pidana Islam. 12
13
Bab IV Analisa Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaku Pencurian Besar dan Kecil Dimulai dengan menganalisis bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang tindakan pidana pencurian besar dan pencurian kecil yang selanjutnya menganalisis bagaimana pandangan hukum pidana Islam dalam menggolongkan ke dalam Jarimah Hadd. Bab V Penutup Pada bagian ini merupakan bab penutup yang memberikan deskripsi secara singkat yang berupa kesimpulan dan penelitian ini serta saransaran yang sifatnya membangun serta diakhiri dengan penutup dan daftar pustaka sebagai tanggung jawab akademik.
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURIAN BESAR DAN KECIL
A. Tinjauan Umum Tentang Pencurian Besar Dan Kecil 1. Definisi dan Unsur-unsur Pencurian Besar dan Kecil Menurut Hukum Positif a. Pencurian Besar Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, larseni, penjarahan, perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi tertentu, pencurian dianggap sama dengan larseni; sementara yang lain menyebutkan pencurian telah menggantikan larseni. Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian disebut pencuri, dan tindakannya disebut mencuri. pencurian besar diartikan
kejahatan
mengambil harta orang lain terhadap kehendak mereka dengan maksud secara permanen merampas properti.19 Dalam agar dapat dipertimbangkan besar pencurian, nilai total dari apa yang diambil harus melebihi jumlah dolar tertentu. Nilai dari properti curian merupakan kejahatan sebagai pencurian besar bervariasi oleh locale dan spesifik lainnya. 19
properti dalam definisi
Suharto.R.M, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2002), hlm.
37.
14
15
pencurian besar dapat meliputi uang, tenaga, nyata, atau properti pribadi yang secara sah menjadi milik orang lain individu atau sekelompok individu. Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doctrinal disebut sebagai “pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang dikualifikasikan diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP.20 Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsure-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP. Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dirumuskan sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: pencurian ternak, pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah
20
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, cet24, 2005, hlm. 128.
15
16
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu. b. Pencurian kecil Pencurian ringan yaitu pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian
di dalam bentuknya yang pokok, yang karena di
tambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan.21 Dalam kebanyakan kasus, pencurian kecil adalah pelanggaran kejahatan yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari satu tahun di penjara dan denda maksimal.22 Kebanyakan negara menganggap pencurian besar kejahatan yang membawa kemungkinan hukuman yang lebih keras. menurut KUHP dirumuskan
Sedangkan
dalam pasal 362 KUHP yang
menyatakan : “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (sembilan ratus rupiah)” 22
Ridwan halim, Tindak Pidana Pendidikan (Dalam Asas Hukum Pidana Indonesia Tinjauan Yuridis Edukatif), Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 244
16
17
c. Unsur-unsur pencurian Apabila dirinci rumusan diatas
terdiri dari unsur - unsur
objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif (adanya maksud yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum). Berdasarkan rumusan pasal 362-363 KUHP diatas, maka unsur-unsur objektif dan subyektif.23 1) Unsur Objektif Unsur - Unsur Objektif berupa :Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya.24 Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari - jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok 23
R, Sugandhi, KUHP, dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hlm.
376. 24
P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Bandung: Sinar Baru, 1989, cet.-1, hlm. 11.
17
18
dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".25 Unsur benda. Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda - benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, 25
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan. Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Bandung: Tarsito, 1990, hlm. 50
18
19
misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan
mengambil.
Benda
yang
kekuasaannya
dapat
dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.26 Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi
26
Ibid hlm. 70
19
20
terhadap benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup lama di Indonesia.27 2) Unsur subjektif Unsur subjektif terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.28 Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini 27
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, cet-3, 2006, hlm. 18. 28 Lamintang dan Djisman Samosir, op.cit., hlm. 84.
20
21
adalah maksudnya (subjektif) saja.29 Sebagai suatu unsur subjektif,30 memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per buatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya.31 Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah
29
H.A.K Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KHHP Buku II), Bandung: Citra Aditya Bakti, cet.-5, 1989, hlm. 19. 30 Tongat, op.cit., hlm. 19-23. 31 Ibid hlm. 30
21
22
Agung yang tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983).32 Dimana Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (yang menghukum) dan membebaskan terdakwa dengan dasar dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan pertimbangan hukum "tidak terbukti adanya unsur melawan hukum". Sebab pada saat terdakwa mengambil barangbarang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya. Sebagai seorang ahli waris, terdakwa berhak mengambil barang-barang tersebut. Pada bagian kalimat yang berbunyi "dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya" adalah merupakan penerapan pengertian tentang melawan hukum subyektif pencurian pada kasus konkrit dalam putusan pengadilan. Walaupun sesungguhnya tidak berhak mengambil sebab barang bukan milik suaminya, tetapi karena dia beranggapan bahwa barang adalah milik suaminya, maka sikap batin terhadap perbuatan mengambil yang demikian, adalah merupakan tiadanya sifat melawan hukum subyektif sebagaimana yang dimaksud pasal 362 KUHP.33 Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan 32 33
Putusannya Mahkamah Agung (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983) Moeljatno, op.cit., hlm. 129.
22
23
hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dart mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil.34 Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang. Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam melawan hukum mate rill ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan.
2. Pengertian dan unsur-unsur pencurian besar dan kecil menurut Hukum pidana islam
34
Tongat, op.cit., hlm. 41.
23
24
a. Pencurian kecil Adapun yang dimaksud dengan pencurian kecil secara terminologis adalah: Menurut Abd al Qadir Audah Pencurian kecil adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi sedangkan menurut al Sayid Sabiq yaitu, pencurian kecil adalah pencurian yang wajib divonis dengan potongan tangan dan dimaksud dengan pencurian besar secara terminologis menurut Abd al Qadir Audah dan al Sayid Sabiq yaitu,pencurian besar adalah mengambil harta orang lain dengan kekerasan dan ini disebut juga dengan merampok atau begal.35 Dalam uraian-uraian selanjutnya yang dimaksud dengan pencurian dalam tulisan ini adalah pencurian kecil.36 Syarat-syarat Pencuri Menurut al Sayid Sabiq, bahwa syaratsyarat pencuri yang divonis dengan sanksi potong tangan adalah sebagai berikut: 1) Taklif (cakap hukum) Yaitu, pencuri tersebut sudah balig dan berakal maka tidak divonis potong tangan pencuri gila, anak kecil, karena keduanya tidak mukalaf, tapi anak kecil yang mencuri dapat sanksi yang bersifat mendidik (ta’zir). Dan Islam tidak menjadi syarat bagi pencuri karena apabila kafir dzimi atau orang murtad mencuri, maka divonis potong tangan begitu sebaliknya. 35 36
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 247. Moeljanto, op.cit., hal.130
24
25
2) Kehendak sendiri atau Ikhtiar Yaitu, bahwa pencuri tersebut mempunyai kehendak sendiri. Seandainya ia terpaksa untuk mencuri, maka tidak dianggap sebagai pencuri, karena paksaan meniadakan ikhtiar tidak adanya ikhtiar menggugurkan taklif.37 3) Sesuatu yang dicuri itu bukan barang Syubhat Yaitu sesuatu yang dicuri itu bukan barang Syubhat, jika barang tersebut syubhat, maka pencuri itu tidak divonis potong tangan, oleh karena itu orang tua (Bapak-Ibu) yang mencuri harta anaknya, tidak divonis potong tangan, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW: kamu dan hartamu milik Bapakmu. b. Pencurian besar Terminologis menurut Abd al Qadir Audah dan al Sayid Sabiq yaitu, pencurian besar adalah mengambil harta orang lain dengan kekerasan dan ini disebut juga dengan merampok atau begal. Walaupun tindak pidana hirabah dinamakan pencurian besar (sariqah kubra), ia tidak benar-benar mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan hirabah adalah keluar (rumah) untuk mengambil harta secara paksa.38 Seorang dikatakan pencuri jika ia mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan dikatakan muharib (perampok/ pengganggu
37
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. Ke-5, 1993, hlm. 1. 38 Umar Shihab, Dkk, Enslklopedia Hukum Pidana Islam, Bogor: Karisma Ilmu. Hlm. 77
25
26
keamanan) jika ia berada dalam kondisi ; 1) Jika keluar ia mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh. 2) Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak membunuh. 3) Jika ia keluar mengambil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh tetapi tidak mengambil harta. 4) Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan membunuh. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan hirabah adalah keluarnya seseorang untuk mengambil harta dengan cara kekerasan jika keluarnya menimbulkan ketakutan pengguna jalan, mengambil harta, atau membunuh seseorang . Sebagian ulama mendefinisikan hirabah adalah upaya menakuti-nakuti orang di jalan untuk mengambil hartanya. Dari sekian banyak definisi, disini pemakalah mencoba memahami bahwa yang dikatakan hirabah itu adalah upaya seseorang atau kelompok yang mengambil harta secara paksa (terang-terangan, atau menakut-nakuti, membunuh, dan mengambil harta) yang menimbulkan kondisi tertentu (terganggunya keamanan). Dapat kita contohkan di Aceh, seperti terjadinya perampokan di SPBU di Blang Malu Kabupaten Pidie (banyak di tempat lainnya).
26
27
Akibat kejadian ini banyak masyarakat yang terganggu (terganggunya keamanan).39
c. Unsur-unsur Pencurian Dalam hukum Islam hukuman potong tangan mengenai pencurian hanya dijatuhi unsur-unsur tertentu, apabila salah satu rukun itu tidak ada, maka pencurian itu tidak dianggap pencurian. Unsurunsur pencurian di bagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:40 1) Pengambilan secara diam-diam atau sembunyi Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya barang tersebut dan ia tidak merelakannya. Contohnya, mengambil barang-barang milik orang lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika ia (pemilik) sedang tidur. 2) Barang yang diambil berupa harta Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal (harta) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan hukuman potong tangan, syarat-syarat tersebut adalah: 39 40
www.detik.com diunduh pada tanggal 3 November 2011 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 20.
27
28
a) Barang yang dicuri harus Mal Muttaqawin, Yaitu barang yang dianggap bernilai menurut syara'. Menurut imam Syafi'i, Maliki' dan Hambali bahwa yang dimaksud dengan benda berharga adalah benda yang dimuliakan syara', yaitu bukan benda yang di haramkan oleh syara' seperti khamr, babi, anjing, bangkai, dan seterusnya, kareana benda-benda tersebut menurut Islam dan kaum Muslimin tidak ada harganya. Karena mencuri benda yang diharamkan oleh syara', tidak dikenakan sanksi potong tangan.hal ini diungkapkan oleh Abdul Qodir Audah bahwa tidak divonis potong tangan kepada pencuri anjing terdidik (halder) maupun anjing tidak terdidik, meskipun harganya mahal karena haram menjual belinya41. b) Barang tersebut harus barang yang bergerak. Untuk dikenakan hukuman had bagi pencuri maka disyaratkan barang yang dicuri harus barang atau benda yang bergerak. Suatu benda dapat dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. c) Barang tersebut harus barang yang tersimpan. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah suatu syarat untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya. Sedangkan
41
Abdul Qodir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’y al-islami, Beirut: Dar Al-Kitab alArabi,tt,hlm, 67.
28
29
zahiriyyah dan muhaditsin tetap memberlakukan hukuman had walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai nishab yang dicuri. d) Barang tersebut mencapai nishab pencurian. Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang dicuri mencapai nishab pencurian. Nishab harta pencurian yang dapat mengakibatkan hukuman had ialah ¼ Dinar (kurang lebih seharga emas 1,62 gram), dengan demikian harta yang tidak mencapai nishab tidak dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi pada suatu tempat.42
3) Harta tersebut milik orang lain Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan barang orang lain. Dalam kaitannya dengan unsur ini yang terpenting adalah barang tersebut ada pemiliknya dan pemiliknya itu bukan si pencuri melainkan orang lain dengan demikian apabila barang tersebut tidak ada pemiliknya seperti benda-benda yang ubah maka pengambilannya tidak dianggap sebagai pencurian, walaupun dilakukan secara diam-diam. Demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman 42
Umar Shihab, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, PT. Kharisma Ilmu Bogor, hlm. 77-
78.
29
30
apabila terdapat subhat (ketidak jelasan). Dalam barang yang dicuri. Dalam hal ini pelakunya hanya dikenai hukuman ta'zir contohnya seperti pencurian yang dilakukan oleh orang tua terhadap harta anaknya. Dalam kasus ini, orang tua dianggap memiliki bagian harta anaknya , sehingga terhadap syubhat dalam hak milik.43 Dengan demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had apabila ia mencuri harta yang dimiliki bersama sama dengan orang yang menjadi korban, karena hal itu dipandang sebagai syubhat pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan golongan Syi'ah akan tetapi menurut Imam Malik dalam kasus pencurian harta milik bersama, pencuri tetap dikenai hukuman hadd apabila pengambilannya itu mencapai nisab pencurian yang jumlahnya lebih besar daripada hak miliknya. Pencurian hak milik umum menurut imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan golongan Syi,ah Zaidiyah, sama hukumannya dengan pencurian hak milik bersama karena dalam hal ini pencuri dianggap mempunyai hak sehingga hal inin juga dianggap syubhat. Akan tetapi menurut Imam Malik pencuri tetap dikenai hukuman had.44 Adanya niat yang melawan hukum (mencuri) unsur yang keempat dari pencurian yang harus dikenai hukuman hadd adalah adanya niat melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku 43 44
Ibid hlm.123 Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri’ Al-Jina’y Al-Islami, Beirut: Muassasash al Risalah, Juz I, hlm. 79.
30
31
pencurian mengambil suatu barang bahwa ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karena haramnya untuk diambil. Dengan demikian dan karenanya dalam hal ini tidak ada maksud untuk melawan hukum. Demikian pula halnya pelaku pencurian tidak dikenai hukuman apabila pencurian tersebut dilakukan karena terpaksa (darurat) atau dipaksa orang lain hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-baqorah ayat 173;
STUVWXY PQR ☺OG P[= $ZN☺ R7\>]8^ HS c8@ _`8ab; = ☺ ! 0 J= dR8 g f@ dR⌧L QR,4e h 8VWX HSM ⌧ ! N MN8Q. ⌦.2Tl⌧L j= _i en\o …...tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkanya dan tidak (pula)melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang. (qs.al-Baqaroh; 173).
d. Hukuman Untuk Tindak Pidana Pencurian Apabila tindak pidana pencurian dapat dibuktikan dan melengkapi segala unsur dan syarat-syarat maka pencurian itu akan dijatuhi dua hukuman yaitu: 1) Pengganti kerugian (Dhaman) Menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, hukuman potong tangan dan penggantian kerugian dapat dilaksanakan bersamasama. Alasan mereka adalah bahwa dalam perbuatan mencuri terdapat dua hak, yaitu hak Allah sedangkan penggantian kerugian 31
32
dikenakan sebagai imbangan dari hak manusia.45 Menurut
Imam
Abu
Hanifah
dan
murid-muridnya
penggantian kerugian dapat dikenakan terhadap pencurian apabila ia tidak dikenakan hukuman potong tangan. Akan tetapi apabila hukuman potong tangan dilaksanakan maka pencuri tidak dikenakan hukuman untuk pengganti kerugian. Dengan demikian menurut mereka, hukum potong tangan dan penggantian kerugian tidak dapat dilaksanakan sekaligus bersama-sama.46Alasan bahwa Al-quran hanya menyebutkan hukuman potong tangan untuk tindak pidana pencurian, sebagaimana tercantum dalam surat AlMaidah ayat 38, dan tidak menyebutkan penggantian kerugian. 2) Hukuman potong tangan Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok, sebagaimana tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 38:
, . $ /. 012 4/ ! <,=>? ☺567897; D⌧E FG A⌧C ☺@ K= F J= H8I \o "MN&F L>7+ Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa-apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. (QS. Al-Maidah:38)
Aisyah menerangkan hadis Nabi katanya: “ bahwa Nabi memotong tangan
45 46
Ahmad Hanafi, op.cit., hlm. 7-8 Abu Hanifah,Op.cit., hlm. 170
32
33
pencuri yang mencuri seharga ¼ dinar atau lebih dari padanya. “demikian menurut jumhur kecuali Ibnu Majah. Menurut Ahmad, Muslim, Nisa'i, dan Ibnu Majah, Nabi bersabda: tidak dipotong tangan untuk mencuri kecuali apabila barang curianya seharga ¼ dinar, atau lebih dari padanya. “demikian menurut Jumhur kecuali Ibnu Majah, Nabi bersabda: “tidak dipotong tangan pencuri kecuali apabila barang curian itu seharga ¼ dinar lebih. Rasulullah sendiri seperti dikemukakan oleh Ibnu Abdulbar, pernak mengeksekusi potong tangan terhadap wanita bernama Fatimah binti Al-Aswad bin Abdul As'ad Al-Mahzumi yang mencuri harta seseorang.47 Hukuman potong tangan dikenakan terhadap pencurian dengan teknis ulama' madzhab empat berbeda-beda. Cara yang pertama, memotong tangan kanan pencuri pada pergelangan tanganya. Apabila ia mencuri untuk kedua kalinya maka ia dikenakan hukum potong kaki kirinya. Apabila ia mencuri untuk tiga kalinya maka para ulama' berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, pencurian tersebut dikenai hukuman ta'zir dan dipenjarakan, sedangkan Imam yang lainnya, yaitu menurut Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi'i pencuri tersebut dikenakan potong tangan kirinya, apabila pencuri itu masih mencuri yang keempat kalinya maka dikenai hukuman Ta'zir dan penjara seumur hidup (sampai mati) atau sampai ia bertaubat.48
47 48
Ahmad Hanafi, op.cit., hlm. 78. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005, hlm. 248-249.
33
BAB III KETENTUAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Deskriptif Tindak Pencurian dalam Hukum Islam Perbedaan pencurian ringan dengan pencurian berat adalah bahwa pencurian ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik dan tanpa persetujuannya. Sedangkan dalam pencurian berat, pengambilan harta tersebut dengan sepengetahuan pemilik harta tetapi tanpa kerelaannya, disamping terdapat unsur kekerasan. Dengan istilah lain, pencurian berat ini disebut jarimah hirobah (perampokan), ke dalam kelompok pencurian ini, sebabnya adalah karena dalam perampokan terdapat segi persamaan dengan pencurian, yaitu sekalipun jika dikaitkan dengan pemilik barang, perampokan itu dilakukan dengan terangterangan, namun jika dikaitkan dengan pihak penguasa atau petugas keamanan, perampokan tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang mencuri dikenakan hukum potong tangan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Mâidat (05) ayat 38. Dalam pelaksanaan hukuman potong tangan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: barang yang dicuri merupakan barang berharga (yang mempunyai nilai), tidak ada keraguan dalam kepemilikan barang tersebut, barang tersebut mencapai harga minimal yang telah ditentukan49, tidak ada syubhat (keraguan)
49
Ulama berselisih pendapat tentang nilai barang yang pencurinya berhak mendapat hukuman potong tangan. Imam Malik mengukur nishab sebesar ¼ dinar atau lebih, sedang imam Abu Hanifah menyatakan bahwa nishab pencurian itu senilai 10 dirham atau 1 dinar.
34
35
bahwa barang tersebut benar-benar bukan barang milik pencuri, ketika dicuri barang tersebut harus berada di tempat yang aman. 50 Dalam undang-undang pidana di Mesir sebagaimana undang-undang perdata disesuaikan dengan enam bahasan yang muncul dalam khazanah fiqh: pencurian (al-sariqat), menuduh berbuat nista (al-qadzaf), perampokan (qath’ altharîq), perzinahan (al-zinâ), minuman keras (al-khamr) dan kemurtadan (alriddat). Bahkan sebagian ulama mensyaratkan adanya pengulangan dalam pencurian. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa pencurian itu terjadi bukan karena terpaksa, jika terpaksa maka ia tidak berhak untuk dikenakan hukuman potong tangan. Sebagaimana yang terjadi pada masa ‘Umar yang menolak menerapkan hukum potong tangan pada pencuri unta, karena beliau mengetahui bahwa mereka mencuri karena terpaksa dan sekedar menutupi kebutuhan perut mereka. 51 Karena itu, dalam hukum Islam, sanksi atas pencurian (potong tangan), tidak berlaku bagi orang yang kelaparan, tuna sandang, ataupun mereka yang justru butuh bantuan. Sebenarnya definisi pencurian yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah tersebut terlampau singkat dan kurang lengkap. Definisi yang lebih lengkap adalah definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Syahbah. Pencurian ringan menurut rumusan yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah sebagai berikut: pencurian ringan (As-sirqatush shughra) adalah
50
Al-‘Asymâwi, “Syarî’at: Kodifikasi Hukum Islam” dalam Charles Kurzman (et. al.), Islam Liberal, terj. Bahrul ‘Ulûm (et. al.), Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 39 51 Al-‘Asymâwî, al-Syarî’at al-Islâmiyyat wa al-Qânûn al-Masry, Kairo: Madbuli, 1996, hlm.118
35
36
mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam, yaitu dengan jalan sembunyi-sembunyi dan
pencurian berat (As-sirqatul kubra) pengertian
pencurian berat adalah mengambil harta milik orang lain dengan cara kekerasan. Ada beberapa alat bukti dalam tindak pidana pencurian menurut hukum Islam, yaitu: a. Saksi, dalam hal ini cukup dengan dua orang saksi b. Pengakuan, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad cukup satu kali, meskipun demikian ulama lain ada yang mensyaratkan dua kali. c. Sumpah, di kalangan mazhab Syafi’i ada pendapat yang menyatakan bahwa pencurian dapat dibuktikan dengan sumpah, namun pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa alat bukti dalam tindak pidana pencurian hanya saksi dan pengakuan. d. Qari’nah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah mencuri Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pencurian. Menurut al-Asymawi, ketetapan sanksi hukum (hudud) dalam Islam tersebut, disyaratkan dengan menyiapkan dan mendidik masyarakat terlebih dahulu agar menjadi manusia yang terpercaya, adil dan bertakwa. Pendidikan itu penting untuk menjamin agar sanksi-sanksi tersebut tidak diterapkan secara salah, dengan kesaksian yang bohong, ataupun sistem peradilan yang bobrok.52 ‘Asymâwî menyebutkan bahwa ajaran Islam sebenarnya lebih dari sekedar penerapan sanksi-sanksi. Nabi sendiri pernah bersabda:
52
Al-Asymawi, Syari’at: Ushul al-Syari’at, Kairo: Madbuli, 1983 hlm.15
36
37
$ & % $ "# : (& & * ) ( '" "
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saling bermaaf-maaflah kamu dalam menjatuhkan sanksi”. B. Ketentuan Hukum Bagi Tindak Pidana Pencurian Besar Dalam Hukum Islam Dalam hukum pidana Pencurian besar karena adanya pemberatan dalam pidana pencurian kecil/biasa ini disebut juga pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde deifstal) atau pencurian khusus dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 KUHP dan hal ini diatur didalam buku II KUHP pada bab XXII dan perumusannya sebagaimana
disebut dalam Pasal 363. Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa (gequalificeerde deifstal) adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan lainlain unsur, sehingga ancaman hukuman menjadi berat. 53 Peraturan tentang qishâsh diambil dari dalil yang tertera di surat alBaqarat (2) ayat 178-179, sebagaimana ayat Alquran juga menerangkan tentang hukuman qishâsh yang berlaku pada bani Israil yaitu firman Allah dalam Alquran surat al-Mâidat (05) ayat 45. Maka qishâsh berarti membalas perbuatan pelaku kejahatan yang sengaja sehingga dibalas antara nyawa dengan nyawa, atau bagian tubuh dengan anggota tubuh yang sama, luka 53
Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri’ Al-Jina’y Al-Islami, Beirut: Muassasash al Risalah, Juz I, hlm. 79.
37
38
dengan luka. Yang berhak menuntut diterapkannya qishâsh adalah korban kejahatan tersebut atau wali al-amri jika korban meninggal dunia. Sebagaimana hukuman qishâsh ini bisa tidak diberlakukan jika pelaku membayar diyat dan korban atau walinya memaafkan perbuatan pelaku tersebut. 54 Diberlakukannya diyat pada awal munculnya agama Islam karena kaum muslimin masih sedikit dan hidup dikelilingi kaum kafir, sehingga menjaga nyawa seseorang pada masa itu sangat ditekankan untuk menciptakan kebersamaan. Maka pembayaran diyat dilakukan sebagai pengganti nyawa seseorang atau untuk menahan terjadinya pembunuhan, sehingga yang berkurang dari jama’ah muslim cuma satu orang, dan pelaku diajari untuk selalu berbuat kebaikan agar tidak berbuat kejahatan lagi, sehingga jama’ah tersebut selalu hidup rukun, damai, dan sejahtera. Namun pada masa selanjutnya, terutama pada masa ini, karena melemahnya keimanan, semakin banyak orang yang meremehkan nyawa seseorang karena keberadaan harta kekayaan, sehingga ia mudah mengganti nyawa seseorang dengan rela membayar diyat. Dan kemungkinan harta tersebut ia dapatkan melalui cara yang tidak halal seperti korupsi dan sebagainya. Yang dengan keberadaan uang tersebut, ia berusaha meneror pejabat pemerintahan atau musuhnya dengan membunuh kemudian ia merayu hakim atau keluarganya untuk menerima diyat sehingga ia terbebas dari jerat hukuman qishâsh.
54
Al-‘Asymâwî, al-Syarî’at al-Islâmiyyat wa 1996),hlm. 131 55 Al-‘Asymâwî, al-Syarî’at al-Islâmiyyat wa 1996),hlm. 131
38
55
Atau
al-Qânûn al-Masry,
(Kairo:
Madbuli,
al-Qânûn al-Masry,
(Kairo:
Madbuli,
39
karena ketika seseorang membayar diyat ia terbebas dari hukuman qishâsh, maka keluarga korban sengaja menerima diyat tersebut demi hawa nafsu mereka.
C. Ketentuan Hukum Bagi Tindak Pidana Pencurian Kecil Dalam Hukum Islam Ketegasan aturan mengenai 'mencuri' ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertical mencuri itu juga termasuk men-dholimi Allah SWT. Hukuman potong tangan, yang sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks56. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa khalifah kedua Umar bin Khaththab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri. Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati
56
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2,2005.hlm. 82
39
40
kelaparan57. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar. Pidana penjara dapat diganti dengan penahanan akhir pekan. Jika hakim mempertimbankan tentanng kepribadian dan keadaan pribadi, tingkah laku sebelum dan sesudah delik dilakukan dan keadaan pada waktu delik dilakukan, penjatuhan pidana akhir pekan akan memperlihatkan pengutukan yang efektif terhadap delik itu dan mencegah residivisme. Berbeda halnya dengan Pasal pencurian dalam KUHP Indonesia yang tidak dikenal adanya penahanan akhir pekan yang dapat menkonversi pidana penjara kedalam pidana akhir pekan, dalam stelsel pidana pada pasal 362 KUHP Indonesia juga mengenal minimum umum dan maksimum umum. Dasar hukum atau ketentuan hukum dari tindak pidana pencurian menurut hukum positif telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu terdapat pada pasal 362-367 KUHP
yang berbunyi:
Pasal 362: ”Barang siapa mengambil sebagian kepunyaan orang secara melawan hukum, pidana penjara paling lama enam puluh rupiah”.58
barang sesuatu, yang seluruhnya atau lain, dengan maksud untuk dimiliki diancam karena pencurian, dengan lima tahun atau denda paling banyak
Sebagaimana yang telah diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka pengertian tindak pidana pencurian adalah mengambil 57
DR. Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani. Hlm.228 58 R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasanya, Surabaya: Usaha Nasonal, 1980, hlm. 376
40
41
sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Selain itu, setiap sanksi-sanksi yang disebutkan tadi, memiliki berbagai persyaratan yang sulit untuk tidak mengatakan mustahil diwujudkan. Karena sanksi-sanksi tersebut hanya menyangkut sebagian tindak kriminal saja, batal ketika ada kesamaran dan pema’afan, syarat-syaratnya juga mustahil diwujudkan, dan juga butuh persiapan masyarakat yang relatif lama, khususnya di zaman sekarang, maka undang-undang kriminal Mesir menganggap semuanya merupakan bagian dari ta’zîr saja. 59 ‘Asymâwi menyatakan bahwa untuk menerapkan hukuman Islam dalam sebuah kehidupan bernegara, ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu masyarakat di negeri itu harus beriman dulu, sehingga hukuman itu bisa diterapkan bagi yang melakukan sebuah pelanggaran. Sebab, di dalam Islam sendiri syarat itu menjadi syarat utama, sesuai dengan Sabda Nabi s.a.w.:
. "- , /3 2 /32 "-1 ' / 0 4 < ; 9 8 -1 7 56 5 , /32 "- 4 : - 7 56 5 , 9 8 - 4 9 8 (>< * ) 7 56 5 , = " : -
Artinya: “Dari Abu Huraira RA berkata bahwa Rasullah bersabda tidaklah seseorang itu disebut berzina ketika ia berbuat zina sehingga ia menjadi mukmin, dan tidaklah seseorang itu disebut mencuri sehingga sudah beriman dan tidaklah seorang itu minum khamr sehingga ia beriman.”
59
Al-‘Asymâwi, “Syarî’at: Kodifikasi Hukum Islam” dalam Charles Kurzman (et. al.), Islam Liberal,terj. Bahrul ‘Ulûm (et. al.), (Jakarta: Paramadina, 2001)
41
BAB IV ANALISA HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKU PENCURIAN BESAR DAN KECIL
A. ANALISA PENELITIAN Namun jika yang dimaksud adalah penerapan fikih, ia menganjurkan para penuntut syaria’t Islam untuk mempelajari dan membandingkan antara hukum Islam dalam fikih dengan undang-undang Negara yang ada. Salah satunya adalah masalah pidana60 karena penerapan syariat Islam identik dengan menerapkan hukum pidana Islam61. Menurutnya, tidak semua hukum pidana Islam saat ini dapat diterapkan karena ada beberapa bagian yang sudah tidak relevan lagi akibat perubahan zaman, namun ta’zir dapat diterapkan karena merupakan kebijakan hakim yang dapat memutuskan masalah pidana dengan hukuman yang sesuai tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Syari’at Islam menurut al-‘Asymâwî adalah manhaj (metode), yang dalam Islam, syari’at Islam adalah rahmat. Maka, penerapan syari’at Islam berarti membumikan nilai rahmat ke setiap insan. Sedangkan penerapan hukum syari’at harus didahului dengan rahmat dan landasan keimanan, yang hukum syari’at tidak dapat diterapkan sebelum keimanan membumi di masyarakat. Pendapatnya tersebut berdasarkan dari hasil penelitiannya tentang sejarah turunnya Al-Qur’an yang ayat awalnya mengajarkan tentang keimanan, surga dan neraka, sedangkan ayat yang berkenaan dengan hukum 60 61
‘Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’î al-Islâmî, (Beirut: al-Risâlat, 1998), hlm. 5-10 Khalid Muhammad Khalid, al-Dimuqratiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar-Al-Tsabit, 1985),
hal: 265
42
43
diturunkan ketika kaum muslimin telah memahami dan menjalankan aqidah Islam. Keragaman pemikiran itu disebabkan oleh perbedaan persepsi di antara kelompok umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau Hadits. 62 Maka
menerapkannya
berarti
mengaplikasikan
rahmat
dalam
kehidupan sehari-hari bukan dengan penerapan fikih dalam suatu Negara untuk dijadikan undang-undang. ‘Asymâwi menyatakan bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan hukum pidana Mesir saat ini telah memenuhi kriteria nilai dan norma syari’at Islam. Sebab hukum itu telah menampung dua unsur penting dari syari’at, yakni unsur ketahanan dan hukuman.
63
Tidak heran jika kemudian ‘Asymâwi menganggap penerapan
syari’at untuk menggantikan hukum pidana yang telah ada tidak lagi diperlukan. Menurutnya, hukum pidana Mesir sekarang ini tidak jauh berbeda dengan hukum syari’at dan fiqh Islam, kecuali dalam sejumlah poin kecil yang memang tidak mungkin diaplikasikan tanpa penyesuaian dan ijtihad yang matang. 64 Pasal-pasal tersebut dibedakan menurut jenis pencuriannya. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: a. Pencurian dalam bentuk pokok (biasa) diatur dalam pasal 362 b. Pencurian dalam bentuk pemberatan (gagualifiseerd) diatur dalam pasal 363 c. Pencurian dalam bentuk ringan (geprivilageerd) diatur dalam pasal 364 62
Amien Rais, “Pengantar” dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Trjih Muhammadiyyah, Jakarta: Logos, 1995, hlm. VII 63 Al-‘Atsqalânî, Fath al-Bârî, (Kairo: Dâr Abî Hayyan, 1996), jld. 12, hlm. 556 64 Al-‘Asymâwi, “Syarî’at: Kodifikasi Hukum Islam” dalam Charles Kurzman (et. al.), Islam Liberal, terj. Bahrul ‘Ulûm (et. al.), Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 211-212
43
44
d. Pencurian dengan kekerasan diatur dalam pasal 365 e. Pencurian dalam keluarga diatur dalam pasal 367 Maksud dari pemberat pidana yang bersifat sekunder adalah perumusan hal-hal yang memberatkan pidana dalam surat tuntutan (requisitoir) dan putusan pengadilan. Hal ini sama dengan perumusan hal-hal yang meringankan pidana dalam surat tuntutan (requisitoir) dan putusan pengadilan yang harus disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab III tentang prinsip-prinsip peringan pidana. Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa pemberat pidana yang bersifat sekunder ini diterapkan pada proses mengadili, yaitu pada tahap penyusunan surat tuntutan (requisitoir) dan pada tahap penyusunan putusan pengadilan.
B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM ISLAM BAGI PARA PENCURI BESAR Para ahli ilmu (ulama) telah berbeda pendapat dalam penggandaan denda dua kali lipat ini. Diantara yang berpendapat demikian adalah Ahmad dan yang lainnya. Telah berkata Raafi’ bin Khadiij : ”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
VAM f HM ”Tidak ada (hukum) potong tangan dalam (pencurian) tsamar dan katsar (tandan kurma)” [Diriwayatkan oleh Ahlus-Sunan].
44
45
Dari ’Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ’anhu ia berkata :
”Aku mendengar seorang laki-laki dari Muzainah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Ia berkata : ’Wahai Rasulullah, aku bertanya kepada engkau mengenai unta yang tersesat’. Beliau menjawab : ’Onta itu membawa sepatunya, membawa tempat minumnya, memakan pepohonan, dan meminum air. Maka biarkanlah ia hingga ada orang yang mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia bertanya kembali : ’Bagaimana halnya dengan kambing yang tersesat ?’. Maka beliau menjawab : ’Ia adalah untukmu, untuk saudaramu, dan untuk serigala. Kumpulkanlah kambingkambing itu hingga ada orang yang mencarinya (yaitu pemiliknya) datang’. Ia kembali bertanya : ’Bagaimana halnya dengan kambing yang diambil dari tempat gembalaannya ?’. Beliau menjawab : ’Ia dikenakan denda dua kali lipat dari harga kambing itu dan dihukum cambuk. Dan apa-apa yang diambil dari tempat menderum unta, maka hukumannya adalah dipotong apabila yang diambil itu mencapai dengan harga perisai (yaitu seperempat dinar)’. Ia bertanya kembali : ’Wahai Rasulullah, bagaimana dengan buahbuahan dan apa saja yang diambil dari tangkainya ?’. Maka beliau menjawab : ’Barangsiapa yang mengambil dengan mulutnya (yaitu ia makan) tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya, maka baginya denda dua kali lipat dari harganya dan hukum cambuk. Dan apa saja yang diambil dari tempat penjemurannya, maka baginya hukum potong apabila yang diambil itu mencapai harga perisai. Dan apa saja (yang diambil) yang tidak mencapai harga perisai, maka baginya hukuman denda dua kali lipat dan dihukum beberapa kali cambukan” [Diriwayatkan oleh Ahlus-Sunan, akan tetapi ini merupakan redaksi An-Nasa’i]. 45
46
Oleh karena itu lah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
ب َ َعلَى لَ ْي ِ س َوال ا ْل ُم ْنتَ ِھ ِ ِس قَ ْط ٌع ا ْل َخائِ ِن َوال َعلَى ا ْل ُم ْختَل ”Tidak ada hukum potong tangan pada muntahib (perampas), mukhtalis (pencopet), dan khaain (pengkhianat)”.
Muntahib adalah orang yang merampas sesuatu (milik orang lain) sedangkan
orang-orang
melihatnya.
Mukhtalis
adalah
orang
yang
menarik/mengambil sesuatu (milik orang lain), dan ia mengetahui barang tersebut sebelum mengambilnya. Adapun tharaar - ia adalah orang yang merobek kantong, sapu tangan, tempat simpanan, dan sejenisnya – maka ia dipotong tangannya menurut pendapat yang shahih. Yaitu tidak sesuai dengan harapan dan tidak membawa maslahat atas dirinya. Ini merupakan pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.
C. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM ISLAM BAGI PARA PENCURI BESAR Para ulama berbeda pendapat mengenai kategorisasi syariqah kubro dalam hukumanya ketika menentukan hukumannya. para ulama Kuffah, dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain. Dan pencurian itu hanyalah dipotong apabila memenuhi nishab pencurian yaitu ¼ (seperempat) dinar atau 3 (tiga) dirham
sedangkan menurut jumhur ulama dari kalangan ahli hijaaz, ahli
hadits, dan selain mereka seperti Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Sebagian mereka ada yang mengatakan (bahwa nishab pencurian itu) adalah 1 (satu) dinar atau 10 (sepuluh) dirham. Barangsiapa yang mencuri senilai satu nishab,
46
47
maka ia dipotong berdasarkan kesepakatan. Dalam Shahihain dari shahabat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
صلﱠى ﷲُ َعلَي ِه َو َسلﱠ َم قَطَ َع فِي ِم َج ٍن ثَ َمنُهُ ثَالَثَةُ َد َرا ِھ َم َ ﷲ ِ أَ ﱠن َرسُو َل Artinya:”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memotong (tangan seorang pencuri) yang mencuri perisai yang harganya tiga dirham”. Dalam lafadh Muslim disebutkan :
َ َارقا ً فِي ِم َج ٍن قِ ْي َمتُهُ ثَال ث ُ◌ َد َرا ِھ َم ِ قَطَ َع َس Artinya: ”Dipotong (tangan) seorang pencuri yang mencuri perisai seharga tiga dirham” Dalam Shahihain dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa, ia berkata : Telah berkata Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
ً صا ِعدا َ َار ف ٍ َتُ ْقطَ ُع ْاليَ ُد فِي ُرب ُِع ِد ْين Artinya: ”Dipotong tangan (seorang pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih” Dalam lafadh Muslim disebutkan :
ًصا ِعدا َ َار ف ٍ َق إِ ﱠال فِي ُرب ُِع ِد ْين ِ ﱠار ِ الَ تُ ْقطَ ُع يَ ُد الس Artinya: ”Tidaklah dipotong tangan seorang pencuri kecuali (jika ia telah mencuri sesuatu) senilai seperempat dinar atau lebih”
Dalam riwayat Al-Bukhari, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
َ َوالَ تَ ْق،ار طعُوا فِي َما ھُ َو أَ ْدنَى ِم ْن َذلِك ٍ َا ْقطَعُوا فِي ُرب ُِع ِدين Artinya: “Potonglah karena (mencuri sesuatu senilai) seperempat dinar, dan jangan dipotong karena (mencuri) sesuatu yang kurang dari itu”
47
48
Seperempat dinar pada waktu itu adalah senilai tiga dirham; dan satu dinar itu senilai dengan duabelas dirham. Dan tidaklah seseorang itu disebut pencuri hingga ia mengambil harta dari tempat simpanannya. Adapun harta yang hilang dari pemiliknya, buah-buahan yang berada di pohon di padang pasir tanpa pagar, binatang ternak tanpa penggembala di sisinya, atau yang semisalnya; maka (orang yang mengambilnya) tidaklah dipotong. Akan tetapi baginya hukum ta’zir, yaitu digandakan (dua kali lipat) baginya denda, sebagaimana terdapat dalam hadits. Adapun pendapat madzhab Hanafiyyah adalah tidak dianjurkan untuk menggantungnya. Hal itu diserahkan pada imam. Jika ia melihat padanya ada kemaslahatan, maka hal itu dilakukan. Jika tidak, maka tidak dilakukan. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha dan ahli ilmu dari empat madzhab. Ibnu ’Abdil-Barr berkata :
”Telah tetap dari para shahabat radliyallaahu ’anhu bahwasannya mereka memotong kaki setelah (memotong) tangan dimana waktu itu mereka membaca ayat : ”Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [Dinukil melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 4/131].
Dari ’Amru bin Dinar bahwasannya Najdah bin ’Aamir pernah menulis surat kepada Ibnu ’Abbas : ”Seorang pencuri yang mencuri, maka ia dipotong tangannya. Kemudian jika ia mengulanginya, apakah ia dipotong tangannya yang lain ?. Allah ta’ala telah berfirman (yang artinya) : ”Dan laki-laki yang
48
49
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. Maka Ibnu ’Abbas menjawab :
”Benar apa yang yang kamu katakan tentang ayat tersebut, akan tetapi jika ia mengulanginya maka yang dipotong adalah kakinya yang sebelah kiri” [Dikeluarkan oleh ’Abdurrazzaq 10/185 dan Ibnu Hazm dalam AlMuhallaa 11/354 dengan sanad shahih]. Kami lebih condong pada pendapat pertama yang merupakan pendapat jumhur ’ulama. Namun mereka berbeda pendapat pada pencurian yang kelima. Jumhur ahli ilmu yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa ia dihukum ta’zir dan dipenjara. Sebagian yang lain mengatakan ia dibunuh pada kali yang kelima berdasarkan hadits:
h g g hO ]( h 2 Fh ? h h?\ F2 q : +s g jg/ ."s_+s&jsji" : 1 g g jg/ S &2 O G&k mn l h% og hp !*h g h? gU\ : 1 g i g ig h h h h ."s_+s&jsji" : 1 g g jg/ ggLgV h? gU\ nst g H s jg/ : 1 g g ."s_+s>gHi" : 1 g g jg/ ."!g g#g gQnhp hO 1g +i #s *g g" : 1 g g jg/ ggVhnV hh? gU\h nst g Hh s jg/ : 1 g g ."s_+s>gHi" : 1 g g jg/ ."!g g#g gQnhp hO 1+ g #s *g g" : +s g jg/ ."s_+s&jsji" : 1 g g jg/ g >g h?n hh? gush nst ."s_+>s gHi" : 1 g g jg/ ."!g g#g gQnhp hO 1+ g #s *g g" : +s g jg/ ."s_+s&jsji" wh?xg 1 i hh? gushvg/ ."s_+s>gHi" : 1 g g ."s_+s&jsji" : 1 g g jg/ gg h gE g g jg/ ."!g g#g gQnhp hO 1+ g #s *g g" : +s g jg/ h yg*g zg hc i h ig&2g g%jig*gg q {ih? h s_g%ji g igvg/ s_gL*igjg\ i nst s_g%&i jg g jg/ h? g% i g&gHiLg/ : Dari Jaabir bin ’Abdillah ia berkata: ”Didatangkan seorang pencuri kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (tangannya kanan)-nya’. Jabir berkata: ”Maka dia pun dipotong tangannya. Kemudian orang itu dibawa untuk yang kedua kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (kaki kiri)nya’. Jabir berkata: ”Maka dia pun dipotong (kakinya). Kemudian ia dibawa untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (tangan)-nya’. Kemudian ia dibawa untuk yang keempat kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Para shahabat berkata: ’Wahai
49
50
Rasulullah, ia hanya mencuri’. Maka beliau bersabda: ’Potonglah (kaki)-nya’. Kemudian ia dibawa untuk yang kelima kalinya, maka beliau bersabda: ’Bunuhlah ia’. Jabir berkata : ”Maka kami pun membawanya dan membunuhnya. Lalu melemparkannya ke dalam sebuah sumur dan melemparinya dengan batu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4410, AnNasa’i no. 4993, dan Al-Baihaqi 8/272] Para ulama berbeda pendapat mengenai penerimaan hadits ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini dla’if sebagaimana dikatakan oleh An-Nasa’i, Ibnu ’Abdil-Barr, dan yang lainnya. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan hasan dengan syawahidnya – dan memang diahir sanad hadits ini adalah dla’if - ; sebagaimana pendapat Asy-Syafi’i, Al-Albani (Irwaaul-Ghaliil 8/86-88), Al-Hilaly (Iiqaadhul-Himaam hal. 200). Jikalau hadits ini maqbul (diterima – karena berderajat shahih/hasan), maka pendapat yang menyatakan dibunuhnya seseorang pada pencurian yang kelima adalah pendapat yang kuat. Lain halnya jika hadits ini ghairu maqbul. Wallaahu a’lam bish-shawwab. Madzhab Dhahiriyyah menyelisihi ketetapan ini dimana mereka berpendapat tidak ada nishab dalam pencurian. Sedikit atau banyak barang yang diambil harus ditegakkan hukum potong tangan. Mereka berdalil dengan firman Allah (yang artinya) : ” Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. Di sini tidak ada batasannya, baik yang dicuri itu sedikit atau banyak. Mereka berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
50
51
”Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur kemudian tangannya dipotong, dan mencuri seutas tali kemudian tangannya dipotong” [HR. AlBukhari no. 6783 dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu]. Namun pendapat ini lemah karena bertentangan dengan dalil-dalil yang begitu banyak yang menetapkan nishab pencurian. QS. Al-Maaidah ayat 38 adalah dalil yang bersifat muthlaq yang harus dibawa kepada dalil muqayyad jika berkesesuaian sebab dan hukum. Dan dalil-dalil yang bersifat muqayyad ini ada (banyak) sebagaimana dibawakan oleh Syaikhul-Islam selanjutnya. Adapun hadits Abu Hurairah radloyallaahu ’anhu di atas, AsySyaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Ali Bassam menjawab :
?@A *- B<- 3$ #?3& C8D 98 EF G0 G< HI &
$ =$C . F%
“Maksudnya adalah sebagai penjelasan kelemahan akal pencuri dan kehinaannya karena dia menjerusmuskan tangannya kepada sesuatu yang hina dan rendah. Ungkapan ini termasuk jenis balaghah, yang di dalamnya ada istilah tanfir, tabsyi’, penggambaran perbuatan orang durhaka dengan suatu gambaran yang buruk dan hina” [Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam 2/483 no. 351 – Daar Ibnil-Haitsam, Cet. Th. 1425].
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dinyatakan:
Q , & JKLK ' K M N 5 /$ O P
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memotong (tangan seorang pencuri) yang mencuri perisai yang harganya tiga dirham”. Dalam lafadh Muslim disebutkan :
, & R LK C M N 5 /$ S O P
”Dipotong (tangan) seorang pencuri yang mencuri perisai seharga tiga dirham”65
65
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Huduud (no. 6796) dan Muslim dalam Al-Huduud (1686/6)
51
52
Hadits ini men-takhshish hadits sebelumnya (yaitu hadits Raafi’ bin Khaadiij), dimana seseorang yang mencuri tsamar yang sudah tersimpan dalam tempat pengeringan (jariin) tetap dipotong tangannya jika telah mencapai nishab harga perisai (seperempat dinar). Senada dengan keterangan Ibnu Taimiyyah sebelumnya. Ath-Thahawi berpendapat bahwa “Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan dengan buah yang belum disimpan yaitu yang masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum disimpan, maka sanksinya adalah denda dan hukuman” [Syarh Ma’anil-Aatsaar 3/173].
1. Ijtihad Umar bin Khattab Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman” (HR al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
Menurut riwayat, sejumlah budak mencuri seekor unta betina, menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini disampaikan pada Umar, seketika ia memerintahkan agar dilakukan pemotongan tangan terhadap mereka, tetapi setelah termenung sesaat ia
52
53
berkata pada pemilik budak-budak itu: “Kuduga, kamu pasti telah membuat budak-budak ini kelaparan”. Karena itu, ia memerintahkan pemilik budakbudak itu agar mengganti unta betina itu dengan dua kali harganya dan mencabut
perintah
sebelumnya,
yaitu
pemotongan
tangan
terhadap
pencurinya. Dalam kasus ini tampaknya Umar melanggar ayat Al-Qur’an yang memerintahkan supaya memotong tangan pencuri. Tetapi bahwa Al-Qur’an bungkam atas perincian penjatuhan hukuman potong tangan. Umar bin Khathab telah mengubah hukum yang qath'i, yakni hukum potong tangan. DalAm hal ini Sunnah atau ra’yi untuk memutuskan kapan pemotongan tangan dilaksanakan atau tidak.
66
menyitir dalam hadis ”Maka hendaklah
kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “ (Musnad Ahmad bin Hanbal) Umar bin Khatab ra sama sekali tidak mengubah status hukum potong tangan bagi pencuri. Tetapi, yang sebenarnya, penerapan hukum itu sendiri harus memenuhi sejumlah syarat. Ada beberapa dalil untuk itu. Pertama, hadis riwayat As-Sarkhasi dari Mahkul bahwa Nabi SAW telah berkata: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat.67 Jadi, Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu karena memang ada nash lain yang menjelaskan. Umar ra tidak meninggalkan nash Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya. Kedua, selain hadis yang sangat jelas itu, Allah menjelaskan dalam AlQur’an: 66
Jaiz Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam , (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm.
67
Syamsuddin As- Sarkhasi, Al-Mabsuth (Mesir: As-Sa'adah, 1324), jild. 10, hal. 104
107-109
53
54
S,FVWXY q\rR P[= $ZN☺ = R7\>]87s Ss c8@ J= dR8 _`8ab; $ 8t^t5☺ ,u v2/d2☺ $78wN 5☺ g`⌧C; = $ V84_t <,xNjC v 5 zX{|.t yW ⌧@v 025☺&} i; dS,F8 v h zME ~}@ Q7 Pd2V F L8! 8 0R⌧l⌧C )8/j= dSad2
7 g⌧ ! dS,F8t78N Pd2V h oid2
H dS,Fu]78N dS,F Tq!X☺C; dS,FVWXY Tq☺ul; S,F TqN&e. z<☺8G ☺ ! h ]]78N HSEWXq dR⌧L #$A|7⌧ y) QR,4e j= _i ! MMi 8GZ \o "MV8Q. ⌦.2Tl⌧L “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS AlMaidah:3)
Dari sini jelas bahwa ijtihad Umar menggugurkan had potong tangan dalam beberapa kasus pencurian di bawah pemerintahannya adalah karena
54
55
tunduk di bawah aturan syariat Al Qur’an dan hadist. Dan, bukan disandarkan pada logika dan kemaslahatan semata. Adalah tidak masuk akal, Umar bin Khathab berani melanggar atau mengubah nash-nash yang qath'i, sedangkan ketika itu para sahabat begitu kritisnya dalam setiap masalah agama. Tindakan Umar ra dalam masalah hukuman bagi pencuri pun sudah disetujui oleh para sahabat karena tidak menyalahi Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Hal tersebut terkait dengan ijtihad. Begitu juga dalam menganalisis pemikiran al-’Asymawi yang tidak bisa lepas dari ijtihadnya. Al-’Asymawi dalam melakukan ijtihad bersandarkan pada nash Al-Qur’an, Hadits dengan berpedoman pada asbab nuzul dan asbab wurud kedua nash tersebut. Dan ketika terdapat hal yang bertentangan antara nash dan mashlahat ia cenderung mendahulukan mashlahat. Dengan demikian, al-‘Asymâwi lebih cenderung menggunakan kaidah: العبرة بخصوص السبب ال بعموم اللفظ “Ungkapan itu berdasarkan sebab yang khusus daripada berdasarkan lafadz yang umum”
daripada menggunakan kaidah العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب “Ungkapan itu berdasarkan lafadz yang umum daripada penggunaan sebab yang khusus” Kaidah yang pertama merupakan kaidah yang disepakati ulama minoritas sedangkan mayoritas ulama menggunakan kaidah yang kedua.
68
68
Muhammad Sulaiman al-‘Asyqar, al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqh, (Kuwait: Dâr alSalafiyah, t.th.), hlm. 199.
55
56
Karena tujuan dari diturunkannya Al-Quran dan Hadits adalah sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia secara umum. Jika lafadz umum tersebut dikhususkan pada sebab yang khusus akan menghilangkan tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an dan Hadits. Hasil pemikiran yang dia lakukan sering bertentangan dengan pendapat ulama mayoritas, sehingga ia mendapat kritikan dan kecaman dari pihak yang menentangnya. Hal tersebut karena metode yang digunakan al’Asymawi lebih menggunakan pendekatan lughawi, teks dalam nash, dan kaidah mashlahah. Bahkan, ia berani melakukan ijtihad pada nash yang sudah dianggap qath’i oleh para ulama—dalam hal ini ulama ushul sepakat bahwa nash
yang
qath’i
bukan
lapangan
ijtihad—seperti
keberaniannya
mempertanyakan kembali hukum khamr.69 Atas keberaniannya tersebut secara terang-terangan
Yusuf
al-Qardlawi
mengkritik
al-’Asymawi
dalam
kitabnya al-Ijtihâd al-Mu’âshir baina al-Indhibâth wa al-Infirâth, dan menganggapnya telah menyalahi aturan ijtihad.70 Berkenaan dengan pendapat al-‘Asymawi bahwa hukum syari’at Islam bisa diterapkan setelah iman, penulis sepakat dengan hal tersebut, karena dalam fiqh Islam, yang menjadi syarat utama sah ibadah seseorang adalah ketika ia telah menjadi muslim. Dalam kitab fiqh yang ada, muslim merupakan salah satu syarat sah ketika beribadah, seperti shalat jika yang shalat adalah non muslim maka ia dianggap tidak shalat begitu juga dengan
69 70
Al-‘Asymâwi, “Syarî’at: Ushûl al-Syarî’at, , (Kairo: Madbuli, 1983), Hal. 123 Yusuf al-Qardlawi, , hlm. 79-80
56
57
ibadah yang lainnya.
71
Selain itu, syarat utama seorang muslim menjadi
mukallaf adalah ia mengetahui perintah atau larangan dari perbuatan yang ia kerjakan.
72
Hal tersebut sesuai dengan Hadits Rasulullah s.a.w. yang
menerangkan tentang iman, islam, dan ihsan. bahwa iman, islam, ihsan adalah hal yang saling berkaitan dalam menjalankan ibadah. 73 Namun, ketika hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan hukum pidana, baru bisa diterapkan dengan menunggu sampai masyarakat membutuhkannya atau setelah landasan iman sudah kokoh dan kehidupan sosial benar-benar telah membutuhkan hukum Islam itu, tentunya penerapan hukum tersebut kurang relevan, karena ketika semua masyarakat telah benarbenar beriman dan bertakwa, tentunya mereka tidak akan melakukan kejahatan tersebut karena tahu bahwa hal itu dilarang dalam Islam dan ketakwaan mereka telah menjaganya dari perbuatan maksiat, 74 padahal salah satu fungsi dari adanya hukuman adalah sebagai salah satu cara agar orang menghindari perbuatan maksiat dan kejahatan.
71
Syarat ini tidak hanya terdapat dalam shalat, namun juga pada pelaksanaan ibadah dalam Islam secara umum. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnat, (Kairo: al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, 1996). 72 Seperti dalam shalat, seorang muslim yang meninggalkan shalat padahal ia tahu bahwa hukumnya wajib maka ia dianggap kafir, jika ia meninggalkan shalat karena malas maka hendaknya ia bertaubat, namun seandainya ia meninggalkan shalat karena tidak tahu kalau shalat itu wajib maka hal tersebut bias dimaklumi. Lihat buku daras al-Fiqh li al-Mustawâ alTsâlits, (Saudi Arabiyah: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibnu Su’ûd, 1422 H), hlm. 15 73 Abd al-Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirâsat al-Syari’at al-Islâmiyyat, (Baghdad: alQuds, 1989), hlm. 159 74 Menurut M. Imarah, Terwujudnya suatu masyarakat yang seluruhnya beriman dan bertakwa adalah sama saja dengan menciptakan negeri utopia. Lihat M. Imarah, Op. Cit, hlm. 222
57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, selain harus memperhatikan alasan-alasan dan dasar-dasarnya harus memuat ketentuanketentuan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang dijadikan untuk mengadili. Maksud dari pemberat pidana yang bersifat sekunder adalah perumusan hal-hal yang memberatkan pidana dalam surat tuntutan (requisitoir) dan putusan pengadilan. Putusan merupakan suatu produk hukum, dimana mengenai keadilannya tergantung dari mana seseorang memandang. Dari bab ini, penulis akan menyimpulkan dari beberapa pokok yang sudah penulis sampaikan, diantaranya: 1. Dalam hukum positif dikategorikan pencurian besar karena adanya pemberatan dalam pidana pencurian kecil (biasa), ini disebut juga dengan pencurian kualifiasi atau pencurian khusus dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan bersifat lebih berat dan diancam dengan hukuman penjara 5 tahun dalam pasal 362 KUHP dan hal ini diatur dalam buku 2 KUHP yang perumusannya sebagaimana disebut dalam pasal 363. Menurut P.A.F Lamintang,dikategorikan pencurian kalau terdapat unsur-unsur perbuatan pencurian dalam bentuknya yang pokok, yang jika di tambah dengan unsur-unsur lain ancaraman hukumannya menjadi berat.
58
59
2. Bahwa ijtihad Umar Bin Khattab menggugurkan had potong tangan dalam beberapa kasus pencurian dibawah pemerintahan adalah karena tunduk dibawah aturan syari’at Al Qur’an dan hadits dan bukan di sandarkan pada logika semata. Adalah tidak masuk akal Umar Bin Khattab melanggar atau mengubah nash-nash yang sudah qat’i, sedang pada saat itu para sahabat sedang kritisnya dalam permasalahan agama. Hukum potong tangan bagi pelaku pencuri telah diterapkan pada masa Rusulullah SAW. Dan juga Abu Bakar r.a., Umar pun menetapakan hukuman potong tangan terhadap Samurah yang kedapatan mencuri. Tetapi dimusim paceklik Umar tidak menerapakan hukuman potong tangan karena karena memang ada hadits Rusulullah SAW, yang mengajurkan. Sejumlah ulama Ibnul Qayyim dan Al-auzai juga berpendapat bahwa dalam keadaan paceklik hukum potong tangan dapat digugurkan.
B. Saran Keadilan bagi masyarakat banyak sangatlah berguna dan bermanfaat, demi mencapai suatu keadilan, maka hakim sebagai penegak hukum dalam memutuskan suatu perkara harus memperhatikan hal-hal yang buruk dan halhal yang terbaik yang terdapat pada diri terdakwa dan jangan sampai pengaruh oleh siapapun, serta berjalan sesuai dengan peraturan hukum dan undangundang yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Seseorang yang melakukan tindak pidana hukumanya harus setimpal dengan apa yang
59
60
dilakukannya agar seseorang itu tidak mengulangi kesalahannya dan tindak pidana akan sedikit demi sedikit akan berkurang.
C. Penutup Alhamdulillahi Robbil Alamin, rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang telah memberi rahmat, taufiq, petunjuk, dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir studinya. Penulis menyadari bahwa dalam hasil karya yang sederhana ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dalam penyusunan, penulisanya, maupun dalam analisisnya, maka penulis mengharapkan saran dan kritik demi terciptanya karya ini lebih sempurna. Teriring doa yang tiada henti, akhirnya penulis mengucapkan rasa syuktur dan terima kasih kepada Allah SWT, kedua orang tua dan keluarga, Bapak-bapak pemimpin Fakultas, pembimbing, Bapak Ibu dosen, Temanteman seperjuangan, dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Semoga hasil karya ini dapat menjadikan manfaat bagi penulis sendiri, dan semua pihak. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya bagi kita semua. Amin.
60
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asymawi, "Syari'at: Kodifikasi Hukum Islam" dalam Charles Kurzman (et. al.), Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2001.
Al-‘Asymawi, "Syari’ at: Ushul al-Syarrat, Kairo: Madbuli, 1983. Al-‘Asymawi, al-Syari'at al-Islamiyyat wa al-Masry, Kairo: Madbuli, 1996.
Al-‘Asyqar, Muhammad Sulaiman, al-Wadhih fi Ushul al-Figh, Kuwait: Dar al-Salafiyah, 2001. Al-Qadir, Abd, ‘Audah, al-Tasyri'al-Jina’i al-Islami, Beirut: al-Risalat, 1998. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke2, 2005.hlm. 82
Anwar, H.A.K Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus, (KUHP Buku II), Bandung: Citra Aditya Bakti, cet.-5, 1989. As Sarkhasi, Syamsuddin, Al-Mabsuth, Mesir: As-Sa'adah, 1999. Awdah, Abdul Qodir, Al-Tasyri' Al-Jina'y Al-Islami, Beirut: Muassasash al Risalah, Juz 1. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-I, 2002. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Nala Dana, 2007, hlm. 151. DR. Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani. Hlm. 228
61
62
H.R Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, VH Press, 2003.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. Ke-5, 1993. Khalid, Khalid Muhammad, al-Dimuqratiyah .fi al-Islam, (Kairo: Dar-AlTsabit, 1985 hal: 265. Lamintang, P.A.F dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Bandung: Tarsito, 1990.
Lamintang, P.A.F, Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, cet-24, 2005.
Mubarok, Jaiz, Metodologi Ijtihad Hukum Islam , Yogyakarta: UII Press, 2002. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005. Mustain, Ahmad, Studi Analisis Putusan No. 17/Pid/b/2007/PN, Skripsi IAIN Walisongo, 2007 R.M, Suharto, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2002. Rais, Amien, "Pengantar" dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Trjih Muhammadiyyah, Jakarta: Logos, 1995.
62
63
Sabiq, Sayyid, Figh al-Sunnat. Kairo: al-Fath li al-I'lam al-`Arabi 1996. Sabiq, Sayyid, Fiqih Al-Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1968. Santoso, Topo, Membumikan Hakum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1, 2003. Sugandhi, R, KUHP, dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980. Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, cet-3, 2006. Zaidan, Abd al-Karim, al-Madkhal li Dirasat al-Syari'at al-Islamiyyat, Baghdad: al-Quds, 1989.
63
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Thaufik Rachman
Tempat/ Tgl Lahir : Magelang, 6 Maret 1985 Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat Rumah
: Punduhsari RT 01 RW 02 NO: 16 Kecamatan Tempuran Kelurahan Tempurejo Kabupaten Magelang
Jenjang Pendidikan : 1. MI ABDUSSALAM lulus tahun 1999
2. SLTP BINA SISWA lulus tahun 2002 3. MA AL-IMAN lulus tahun 2006
4. Fakultas Syariah IAIN WALISONGO angkatan tahun 2005
Demikian daftar riwayat hidup yang says buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 14 Desember 2011 Penulis
Thaufik Rachman NIM. 052211009
64