TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
Diajaukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH: RUDI YANA NIM: 1110043200002
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015 M
ABSTRAK Seiring dengan perkembangan zaman yang membawa dampak di berbagai bidang, Banyak terjadi kasus pelanggaran hukum yang berlaku. Seperti terjadi pencurian, pemerkosaan maupun penganiayaan, yang merupakan perbuatan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Upaya yang dilakukan agar seseorang tidak mudah menumpahkan darah terhadap orang lain dalam rangka melindungi jiwa, kehormatan maupun harta benda yaitu dengan melakukan pembelaan ketika seseorang diserang atau dirampas haknya. Dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak diatur secara jelas bagaimana ketentuan pembelaan yang diperbolehkan. Sedangkan dalam hukum Islam selain ditentukan syarat pembelaan yang sah oleh para fuqaha, juga diatur upaya prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar yang bertujuan untuk mengurangi adanya tindak kriminal di dunia ini. Pada dasarnya hukum berfungsi untuk mengatur hak hidup seseorang, demi terciptanya kemaslahatan umat manusia (maqasidussyari’ah). Berawal dari Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa maka penulis ingin mengetahui sanksi pembelaan yang melampaui batas dalam hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist, maka harus diketahui syarat dan dasar hukumnya. Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai bagaimana pengertian dan jenis tindak pidana penganiayaan dalam KUHP dan hukum pidana Islam?, bagaimana syarat pembelaan yang diperbolehkan dalam KUHP maupun hukum pidana Islam? dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan? Penelitian menggunakan metode kualitatif, dengan sumber primer dan sekunder, data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content analysis.
Rudi Yana,1110043200002. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Penganiayaan. Perbandingan Hukum, Perbandingan mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kata kunci: noodweer exces. Di bawah bimbingan Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘alamin, berkat rahmat Allah SWT yang senantiasa memberikan taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta Keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis merasa sangat perlu untuk mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA, selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA, selaku sekretaris prodi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 5. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif hidayatullah Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
vi
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya. 6. Seluruh dosen fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. 7. Ayahanda tercinta Alm. Bapak Unus dan ibunda tercinta Ibu Ecih yang selalu mendukung dan memberikan segalanya kepada saya, dan suatu motivasi agar saya dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman berkeluh kesah Somya Rupianthi Praywalita, yang selalu memberikan semangat dan dukungan. 9. Saudara-saudara saya Udin, Ucen, Ubay, Yaya Zakaria, Yayah Siti Sofiah, yang selalu memotivasi dan memberi dukungan. 10. Sahabat tercinta Rani Putri Larasati, Bagas Nur Ikhlas, Yuda Prayitno, yang tak hentihenti memberikan dukungan serta menemani dalam kondisi suka dan duka juga menjadi teman diskusi yang baik dalam untuk penulis menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu per satu Perbandingan hukum angkatan 2010 dan kostan pesanggrahan yang selalu memberikan motivasi dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Februari 2015
Rudi Yana
vii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Batasan dan Perumusan Masalah
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu
10
E. Metode Penelitian
10
F. Sistematika Penulisan
12
BAB II TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Ketentuan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
13
B. Macam-Macam Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam
15
C. Kategorinisasi Penganiayaan dalam Hukum Pidana
21
BAB III MELAMPAUI BATAS MEMBELA DIRI (NOODWEER EXCES) A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam
28
2. Pembelaan umum (Amar Ma’ruf Nahi Munkar)
35
B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP viii
1. Pengertian pembelaan Terpaksa (noodweer)
41
2. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweer exces)
46
C. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam
50
2. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
58
BAB IV ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN A. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa
61
B. Analisis Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana Penganiayaan
70
1. Kronologi Kasus
73
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim
75
3. Analisis
79
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN
94
B. SARAN
. 95
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bahwa UUD 1945 menetapkan Indonesia suatu negara hukum (Rechistaat) dan dapat dibuktikan dari ketentuan dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD 1945. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk dapat memberikan perlindungan dan ketertiban di dalam masyarakat supaya terciptanya keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran serta penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan hukum itu sendiri, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sudah semestinya peran penegak hukum melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.1 Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingenrecht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa
1
Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di Indonesia, (Jakarta Ghia Indonesia, cetakan pertama, Maret 1985), h. 11.
1
2
hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Pada hakekatnya tindak pidana atau strafbaar feit adalah prilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturanperaturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.2 Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.3 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan seperti Hukum Barat, konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkunganya. Indonesia membagi hukum menjadi bebrapa bagian. Menurut isinya, hukum dibedakan menjadi dua yaitu hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum 2
Jan Remmelink,Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari KitabUndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 61. 3 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. ke-2, 1995, h. 48-49.
3
privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan, sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya. Dalam ajaran Islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan dalam fiqh jinayah.4 Islam, seperti halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan. Islam melarang bunuh diri dan melakukan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia di ibaratkan memelihara manusia seluruhnya.5 Jika pembunuhan atau penganiayaan itu terjadi juga, maka seseorang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan tersebut. Permasalahanya adalah bagaimana jika pembunuhan dan penganiayaan sengaja tersebut dilakukan karena dalam upaya membela jiwa, kehormatan maupun harta benda baik untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain? Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah daf’u as-sail (pembelaan diri). Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena: Pertama, hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau sebab diperbolehkannya perbuatan 4
Lihat H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, h. 1. 5 Topo santoso, Membumikn Hukum Pidana Islam, Cetakan ke-1 (Jakarta : Gema Insani Perss, 2003). h. 71-72.
4
yang dilarang, diantaranya yaitu: pembelaan yang sah, mendidik, pengobatan, halalnya jiwa, anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban penguasa. Kedua, hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku atau perbuatan yang dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman, diantaranya yaitu: paksaan, mabuk, gila dan anak kecil (di bawah umur).6 Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi Prancis, setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa dibebani pertanggungjawaban apabila menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang dari pemeriksaan pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. Baru setelah revolusi Prancis dengan timbulnya aliran tradisionalisme dan lain-lainnya, pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan dan pilihan.7 Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi:
6 7
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Cetakan ke-4 ( Jakarta : Kencana, 2008), h. 436-464. http://kbbi.web.id.wikipedia.
5
“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan untuk jiwa, kehormatan atau harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Sedangkan pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”8 Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”. Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.9 Alasan penghapus pidana diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa), meskipun terhadap
8
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Agustus 2003, h. 83. 9 Prof. Moeljanto, S.H,. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-5 ( Jakarta, PT Rineka Cipta, 1993), h. 147-148.
6
semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana, alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi : 1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit). 2. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan masalah terdakwa yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.10 Ada beberapa hal yang menjadaikan kenapa penulis tertarik untuk membahas kasus tersebut, yang pertama adalah
bahwa belum banyak yang
meneliti dari kasus tersebut dari segi hukum islam maupun hukum positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik penganiayaan atau delik pembunuhaan saja, yang kedua adalah selama ini sering terjadi tindaktindak
kekerasan
yang
menimbulkan
berbagai
akibat,
beberapa
kasus
penganiayaan seperti yang dikemukakan dalam peneltian ini yaitu pada kasus terhadap tindak penganiayaan yang dilakukan oleh Grace dan keluarga terhadap Robby Lesmana dengan nomor Putusan Mahkamah Agung No.416 K/Pid/2009 dimana Grace dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah menjalani proses perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle yang pengasuhannya dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby. Ketika Robby bersama Kuasa hukumnya bernama Adardam yang datang kerumah Grace dengan
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, h. 137-138.
7
maksud menjemput anaknya Richelle berdasarkan perjanjian hak asuh yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh grace dan Robby dimana saat itu tiba gilirannya Robby untuk mengasuh Richelle, pada saat Robby menghampiri Grace yang sedang menggendong Richelle yang berada didepan pintu rumah, Richelle menangis ketika akan dibawa pergi oleh Robby, mendengar tangisan Richelle tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang langsung menghampiri serta mendorong dan memukul Robby, kemudian diikuti dengan tindakan Grace yang juga melakukan pemukulan terhadap Robby dengan maksud mengambil kembali anaknya Richelle yang menangis dalam gendongan Robby. Kuasa hukum yang berada diluar pagar kemudian menghampiri dengan maksud melerai peristiwa pemukulan tersebut tetapi beliau juga dipukul oleh Winarno Sarkawi dan Grace, Melihat keadaan yang tidak kondusif itu kedua korban akhirnya langsung naik ke mobil dan pergi. Setelah peristiwa pemukulan tersebut kemudian Robby ditemani Kuasa hukumnya Adardam melaporkannya kepada pihak kepolisian yang akhirnya sampai pada tingkat pengadilan. Di Pengadilan Negeri Bandung, setelah bukti-bukti dihadirkan dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kemudian Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan kepada terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace. Setelah putusan hakim diberikan, para terdakwa melakukan upaya hukum banding yang kemudian pada
8
tingkat banding Hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum. Jaksa Penuntut Umum yang keberatan terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian melakukan upaya hukum kasasi dengan disertai alasan-alasan yang pada pokoknya bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena perbuataannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP adalah telah salah dalam penerapan hukumnya. Akhirnya pada Putusan Mahkamah Agung permohonan kasasi Jaksa Penuntut ditolak dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi sehingga menyatakan terdakwa Winarno Sarkawi bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana dan dipidana penjara selama 10 bulan dan kepada terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat noodweer melepaskannya
dari semua tuntutan.
Berdasarkan uraian
sehingga
diatas,
maka
permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini berjudul: TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKASA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN.
9
B. Batasan dan Rumusan Masalah Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari tujuan, maka penulis akan melakukan pembatasan masalah. Dalam skripsi ini penulis akan menganalisis Putusan M.A 416 K/Pid/2009. Terhadap penganiayaan terhadap suami oleh isteri dan keluarganya, serta penulis akan mengkaji pandangan hukum islam terhadap noodweer-exces. Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas didalam skripsi ini: 1. Mengapa alasan noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009, kemudian apakah putusan tersebut telah sesuai dengan konsep noodweer? 2. Bagaimana ketentuan syarat yang terdapat di dalam pembelaan terpaksa dalam Hukum Islam dan Hukum Positif? 3. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam tindak pidana penganiayaan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai noodweer exces, untuk mengetahui dasar hukum tindak pidana penganiaayaan dalam Hukum Islam dan KUHP, serta untuk mengetahui alasan noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009 dimana terdakwa dalam kasus tersebut
10
diputus bebas, kemudian kegunaan penelitian ini secara khusus merupakan suatu studi dibidang hukum pidana di mana penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas perihal bagaimana seharusnya suatu tindakan yang dihadapi seseorang dalam suatu keadaan dapat digolongkan kedalam suatu yang melampaui batas (noodweer). D. Review ( Kajian ) Studi Terdahulu Dalam skripsi ini, penulis menggunakan studi review terdahulu yaitu dengan melihat skripsi yang sebelumnya mengenai tindak pidana pembunuhan guna menjadikan acuan dan rujukan bagi penulis dalam melakukan penelitian, yang penulis pelajari yaitu skripsi yang berjudul, “ Alasan Pemaaf Atas Tindak Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam Dan Hukum Positif, (Studi Kasus : Analisis Putusan mahkamah Agung No. 1445K/Pid/2011). Yang meneliti adalah Khusnul Hotimah, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta/2013. E. Metode Penelitian Para peneliiti dapat memilih berjenis-jenis metode dalam melaksanakan penelitiannya. Sudah terang, metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat, serta desain yang dipilih. Prosedur serta alat yang digunakan dalam penlitian harus cocok dengan metode penelitian. Prosedur memberikan kepada peneliti urutan-urutan pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu penelitian.
11
Teknik penlitian mengatakan alat-alat pengukur apa yang diperlukan dalam suatu penelitian, sedangkan metode penelitian memandu si peneliti tentang urutanurutan bagaimana penelitian dilakukan.11 Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder.12 Data sekunder adalah data tidak langsung yang di peroleh dari kepustakaan, yang dibedakan atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Salinan Putusan M.A 416 K/Pid/2009. 2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukuman yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan buku primer berupa buku/literatur, hasil karya sarjana yang berhubungan dengan penulis skripsi. 3. Bahan Hukum Tertier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya, berupa: Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
11
Moh. Nazir, Ph. D, Metode Penelitian, Bogor, Oktober 2005, h. 44. Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta, Ghana Indonesia, 1990), h. 52. 12
12
Pendekatan Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.13 Dalam teknik penulisan, penulis menggunakan acuan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh fakultas Sayriah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012. F. Sistematika Penulisan Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut : Bab I adalah bab yang berisikan Pendahuluan, Bab II adalah kerangka teoritis yang memberi gambaran secara sederhana tentang penganiayaan dalam ruang lingkup Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif. Bab III adalah pandangan noodweer dalam Hukum Islam. Bab IV adalah analisis kasus, pada bab ini penulis membahas data hasil penelitian yaitu kronologi kasus penganiayaan dalam Putusan M.A 416 K/Pid/2009. Bab V adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
13
Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, cetakan-4, (Jakarta Kencana. 2008), h. 94.
BAB II TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Ketentuan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam Menurut para fukaha, tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Kejahatan ini bisa dikategorikan ke dalam melukai, memukul, mendorong, menarik, memeras, menekan, memotong rambut, dan mencabutnya.1 Tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu ditinjau berdasarkan niatnya: yang disengaja dan tidak disengaja. Kedua, ditinjau dari segi objek (sasarannya) yang dibagi menjadi lima yang akan penulis jelaskan satu persatu. Tindak pidana penganiayaan disengaja adalah kesengajaan pelaku melakukan perbuatan yang menyentuh tubuh korban atau mempengaruhi keselamatannya. Rukun dalam tindak pidana ini ada dua: (1) perbuatan yang terjadi pada tubuh korban atau mempengaruhi keselamatannya, (2) perbuatan pelaku dilakukan secara sengaja. Pada rukun yang pertama dimaksudkan agar menjadi tindak pidana, pelaku disyaratkan harus melakukan perbuatan yang menyentuh korban atau mempengaruhi keselamatan tubuhnya dalam kondisi apapun. Perbuatan tidak disyaratkan harus berupa pukulan atau melukai, tetapi
1
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu. h. 19. 13
14
cukup berupa perbuatan yang membahayakan atau tindakan melawan hukum dengan segala bentuknya, seperti memukul, melukai, mencekik, menarik, mendorong, menekan, atau memelintir. Pelaku tidak harus menggunakan alat tertentu untuk menyiksa korbannya. Karena tindak pidana penganiayaan tidak dimaksudkan untuk membunuh dengan alat tertentu, karena semua alat hukumnya sama. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa sengaja di dalam perbuatan penganiayaan, adakalanya murni disengaja atau menyerupai sengaja. Murni disengaja adalah perbuatan yang biasanya menimbulkan akibat. Adapun menyerupai sengaja adalah perbuatan yang biasanya tidak menimbulkan akibat. Misalnya seseorang yang menampar kepala orang lain kemudian kepala itu bengkak sampai terbelah dan terlihat tulangnya, maka perbuatan tersebut dianggap tindak pidana menyerupai sengaja. Dikatakan
menyerupai
sengaja
karena
biasanya
tamparan
tidak
mengakibatkan luka sampai terlihat tulangnya.2 Syarat yang kedua, sengaja melakukan perbuatan yaitu perbuatan harus berasal dari kehendak pelaku dan dilakukan dengan maksud melawan hukum. Jika pelaku tidak menghendaki perbuatan, atau menghendaki tetapi tidak bertujuan melawan hukum, perbuatan tersebut tidak dianggap perbuatan yang disengaja tetapi tidak disengaja (tersalah). 3
Selanjutnya, tindak pidana penganiayaan tidak disengaja adalah jika suatu
perbuatan 2
mengakibatkan
tidak
kematian,
perbuatan
tersebut
dianggap
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu., h. 23. 3 Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu., h. 24.
15
penganiayaan. Dalam Hukum Islam perbuatan penganiayaan yang tidak disengaja dengan melihat dan menyesuaikan akibat perbuatan yang ditimbulkan, perbuatan yang terjadi akibat kelalaian pelaku tanpa ada maksud melakukan perbuatan tersebut. Misalnya orang yang membalikkan badan dan menimpa orang yang sedang tidur di sampingnya sehingga tulang rusuknya patah. B. Macam-Macam Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam Para fukaha membagi tindak pidana atas selain jiwa baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja menjadi lima bagian menurut objeknya. Pembagian ini didasarkan pada akibat perbuatan pelaku. Pembagian tersebut adalah: 1. Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya, adalah memotong anggota badan dan sesuatu yang mempunyai manfaat serupa. Termasuk dalam bagian ini adalah memotong tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung, telinga, bibir, mencungkil
mata,
memotong
pelupuk
mata,
mencabut
gigi,
dan
memecahkannya, mencukur dan mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis dan kumis. 2. Menghilangkan manfaat anggota badan, tetapi anggota badannya tetap ada, artinya menghilangkan manfaat dari anggota badan tersebut. Termasuk di dalamnya pendengaran, penciuman penglihatan, perasa, manfaat bicara
16
kemampuan bersetubuh. Termasuk di dalamnya berubah warna gigi menjadi hitam, merah dan warna lainnya. Juga termasuk menghilangan akal.4 3. Melukai kepala dan muka (asy-syijaj), adalah melukai kepala dan muka secara khusus. Menurut Imam Abu Hanifah, asy-syijaj ada sebelas jenis yaitu, alkharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan pendarahan, ad-damiah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai mengalir seperti air mata, ad-damiyah yaitu luka yang mengalirkan darah, albadi’ah, yaitu luka yang memotong daging, al-mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging lebih banyak dari daging yang hilang pada al-badi’ah, as-samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan antara daging dan tulang, al-mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan menampakkan tulang walaupun hanya seujung jarum, al-hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang, al-munqilah, yaitu luka dengan pindahnya tulang setelah pecah, al-amah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu lapisan di bawah tulang di atas otak, addagimah, yaitu luka yang menembus lapisan (di bawah tulang) sampai ke otak. 4. Melukai selain kepala dan muka (al-jirah), yaitu luka pada badan. Luka ini dibagi menjadai dua: al-ja’ifah adalah luka yang sampai rongga dada dan perut, baik luka tersebut di dada, perut, punggung, dan dua lambung, antara
4
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 20.
17
dua buah pelir, dubur, maupun tenggorokan, dan gairu ja’ifah adalah luka yang tidak sampai ke rongga tersebut.5 5. Luka yang tidak termasuk empat jenis sebelumnya, maksudnya adalah semua bentuk kejahatan atau bahaya yang tidak mengakibatkan hilangnya anggota badan atau manfaatnya dan tidak mengakibatkan luka di kepala ataupun muka, juga badan.6 Hukuman tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Kedua, hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa yang menyerupai sengaja. Ketiga, hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa karena kesalahan. Hukuman untuk tindak pidana atas jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas kelima jenis tindak pidana menurut subjeknya tersebut., baik perbuatan yang dilaukan dengan sengaja, maupun tidak sengaja (kekeliruan). Perbedaan yang mencolok dalam tindak pidana sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan untuk kasus tindak pidana atas selain jiwa ini adalah dalam hukuman pokok. Dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, sepanjang kondisinya memungkinkan, hukuman pokonya adalah qisas. Sedangkan untuk menyerupai sengaja dan kekeliruan, hukuman pokoknya adalah diat atau irsy.7 Akan tetapi, diat dan irsy juga diberlakukan untuk tindak pidana sengaja sebagai hukuman pengganti. Oleh
5
Asadullah Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia Indonesia, oktober 2009, h. 52. 6 Asadullah Al Faruq, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia Indonesia, oktober 2009, h. 21. 7 Ahmad wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: sInar Grafika, cet-pertama, 2005, h. 184.
18
karena itu, dalam membicarakan hukuman diat atau irsy, tidak ada perbedaan oleh sengaja, dan kekeliruan.8 Untuk athraf (anggota badan) dan sejenisnya menurut para fukaha adalah tangan dan kaki. Pengertian tersebut kemudian diperluas kepada anggota badan yang lain: jari, kuku, bulu mata, gigi, rambut, jenggot, alis, kumis, hidung, lidah, zakar, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan bibir kemaluan perempuan. Sedangkan ibanah (perusakan) anggota badan meliputi tindakan pemotongan seperti pada tangan dan kaki, pencongkelan seperti pada mata, serta pencabutan seperti pada gigi. Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qisas, sedangan hukuman penggatinya adalah diat dan takzir. Adapun hukuman pokok untuk perusakan anggota badan yang menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah diat, sedangkan hukuman penggantinya adalah takzir. 1. Hukuman Qisas Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut:9 Pelaku berakal, sudah mencapai umur balig10, motivasi kejahatan disengaja, hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai. Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka 8
Ahmad wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: sInar Grafika, cet-pertama, h. 185. As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38. 10 Balig adakalanya karena mimpi bersenggama atau karena factor umur. Batas maksimal kebaligan seseorang berdasarkan umur adalah delapan belas tahun, dan batas minimalnya adalah lima belas tahun, ini berdasarkan hadis riwayat sahabat Ibnu 'Umar. Ada pun mengenai tumbuhnya bulu kemaluan para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. 9
19
yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya. Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan anggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka.11 Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban. Syarat-syarat qisas dalam pelukaan : a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas, b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan diyat, c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan, d. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong
11
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 425.
20
tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta, e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut. Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah SWT :12 2. Diyat Menurut As-Sayyid Sabiq, diyat adalah :
أووليه, وتؤدىإلىالمجنىعليه,المااللذىيجببسببالجناية Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul atraf, pelaksanaan diyat dibagi menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya setengahnya saja.13 Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal melukai :14 Satu buah mata, Satu daun telinga, Satu buah kaki, Satu buah bibir, Satu buah pantat, Satu buah alis, dan Satu buah payudara wanita.
12
Al-Baqarah (2) : 194. Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 428. 14 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 428-429. 13
21
Kemudian pelukaan yang mewajibkan diyat kurang dari setengahnya adalah memotong sebuah jari, yaitu diyatnya sepuluh ekor unta.15 Kemudian wajib dalam mematahkan gigi diyat sebanyak lima ekor unta, berdasarkan sabda Rasul dalam kitabnya Amr Ibn Hazm.16 Sedangkan sanksi dalam hal al-jirah, sesuai dengan ketetapan syara‟ yang telah ada.17 Adapun mengenai hukuman dari pelukaan yang bersifat al-jirah.18 C. Kategorinisasi Penganiayaan dalam Hukum Pidana Pengertian penganiayaan pada point sebelumnya telah dijelaskan menurut Hukum Islam yaitu tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Demikian pula dalam hukum positif, penganiayaan merupakan tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.19 Penganiayaan mempunyai rumusan menurut yurisprudensi yaitu: 1. Pengadilan Tertinggi tanggal 10 Desember 1902 merumuskan “penganiayaan” ialah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai akal untuk mencapai suatu maksud yang 15
Lihat, At-Turmuzi, al-Jami‟ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah „an Rasulillah, Bab Ma Ja‟a fi Diyat al-Asabi‟ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311. Riwayat Ikrimah dari ibn Abbas. 16 Lihat, Jalaluddin as-Suyuti, Sunan an-Nasa‟i, Kitab al-Qasamah, Bab Zikru Hadis „Umar Ibn Hazm fi „Uqul wa Ikhtilaf an-Naqilaini (Beirut: Dar al-Fikr, 1930). Hadis Nomor 4774. Riwayat Ibn Hazm dari Bapaknya. 17 Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 429-430. 18 Lihat, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 430. 19 Tongat, Hukum pidana materil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 67.
22
diperbolehkan, seperti memukul anak dan lain-lain. Batas-batas yang dianggap perlu ialah yang dilakukan oleh orang tua anak itu atau gurunya. 2. Pengadilan Tertinggi tanggal 20 April 1925 menyatakan penganiayaan ialah dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak dianggap penganiayaan jika maksudnya hendak mencapai suatu tujuan, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar. 3. Pengadilan Tertinggi tanggal 11 Februari 1929 menyatakan penganiayaan bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga menimbulkan penderitaan lain pada tubuh. Menyebabkan rasa tidak enak pada tubuh atau bagian-bagian dalam dari tubuh dapat menjadikan penganiayaan.20 Dapat disimpulkan bahwa untuk penganiayaan harus ada unsur kesengajaan yaitu maksud untuk melukai atau penyebab rasa sakit sebagai tujuan. Apabila diuraikan lebih terperinci, maka rumusan penganiayaan di atas memuat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur kesengajaan, dalam tindak pidana penganiayaan secara prinsip unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan haruslah ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet als ogmerk). Dengan penafsiran yang demikian, maka seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang tersebut mempunyai maksud melakuakan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh.
20
M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung: Remadja Karya , 1986, h. 133.
23
b. Unsur perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan dalam konteks pasal 351 KUHP adalah perbuatan dalam arti positif. Yang artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktifitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun aktifitas itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak, yaitu penganiayaan dapat berupa berbagai macam dan bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, mencubit, mengiris, dan membacok.21 c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh, rasa sakit dalam konteks pasal 351 KUHP mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih tidak enak, atau penderitaan tanpa mempersyaratkan adanya perubahan rupa pada tubuh. Sementara yang dimaksud denngan luka adalah terjadinya perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa tubuh ini misalnya, lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan , bengkak-bengkak pada anggota tubuh. d. Akibat mana menjadi tujuan satu-satunya, unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka 21
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 75.
24
dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukan. Jadi untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh menjadi tujuan dari pelaku.22 Ada beberapa macam penganiayaan, yaitu, penganiayaan biasa (pasal 351KUHP), penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu (pasal 353KUHP), penganiayaan yang disengaja untuk melukai berat (pasal 354KUHP), penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu (pasal 355KHP), penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan orang (pasal 356KUHP), penyerangan atau perkelahian (pasal 358KUHP). Penganiayaan biasa diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, atau denda paling banyak 4500 rupiah. Perbuatan ini semuanya harus dilakukan dengan sengaja, dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Umpamanya, seorang bapak dengan tangan memukul anaknya pada bagian pipinya karena anak itu nakal. Perbuatan ini memang menimbulkan rasa sakit namun tidak termasuk bagian dari penganiayaan sebab ada maksud baik yaitu mengajarkan anaknya. Namun apabila si bapak memukul anaknnya menggunakan sebuah besi di bagian kepalanya, maka terdapat unsur penganiayaan. Penganiayaan ringan, tindak pidana ini termasuk pada bagian kejahatan ringan, ancamannya pun yaitu hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda paling besar 4.500 rupiah. Yang dimaksud penganiayaan ringan ialah: yang 22
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h.76.
25
mengakibatkan sakit atau menyebaban terhalangnya orang menjalankan jabatannya atau mata pencahariannya, yang tidak direncanakan terlebih dahulu, yang tidak menggunakan benda yang membahayakan nyata atau kesehatan oranng, yang tidak dilakukan terhadap orangtuanya , isterinya, atau suaminya, anak-anaknya,
atau
pegwainya
yang
sedang
atau
karena
melaukan
kewajibannya.23 Penganiayaan berencana, penganiayaan jenis ini diatur dalam pasal 353 KUHP yang menyatakan: (1) penganiayaan dengan rencana lebih dahlu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, (2) jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan penjara paling lama tujuh tahun, (3) jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Dari rumusan pasal 353 KUHP di atas maka tersimpul pendapat, bahwa penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk. Penganiayaan berencana pada dasarnya adalah penganiayaan biasa dalam pasal 351 KUHP yang ditambahkan dengan unsur rencana terlebih dahulu.24 Peganiayaan berat, jenis tindak pidana ini diatur dalam psal 354 KUHP. Tindak pidana penganiayaan berat terdiri dari dua macam yaitu: tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam pasal 354 (1). Dan tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam pasal 354 (2). Tindak pidana penganiayaan dalam pasal ini diancam
23
M. Sudrajat Basaar, S.H. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung: Remadja Karya , 1986, h. 136. 24 Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 89.
26
dengan pidana penjara delapan tahun dan apabila mengakibatkan kematian maka dikenakan pidana sepuluh tahun. Dalam tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam pasal 354 KUHP akibat luka berat itu merupakan maksud atau tujuan pelaku, dalam arti bahwa pelau memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban.25 Penganiayaan berat berencana, jenis pidana ini diatur dalam pasal 355 KUHP. Penganiayaan ini pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana. Jenis penganiayaan ini pada dasarnya merupakan gabungan antara penganiayaan berat (pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan berencana (pasal 353 ayat 1). Menurut kententuan pasal 355 KUHP penganiayaan berat berencana mendapatkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Serta lima belas tahun untuk perbuatan yang mengakibatkan kematian dan direncanakan terlebih dahulu.26 Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan orang, diatur dalam pasal 35 KUHP, ancaman hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya apabila, kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya atau suaminya, atau anaknya. Apabila kejahatan dilakukan terhadap seoranng pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah, apabila kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
25
Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 97. 26 Tongat, Hukum pidana materiil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Jakarta: Djambatan, 2003, h. 102.
27
bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.27 Penyerangan atau perkelahian, istilah penyerangan mempunyai konotasi adanya dua pihak, di mana pihak orang yang melakukan penyerangan bersifat aktif. Sementara pihak yang lain dalam posisi sebagai pihak yang diserang atau dalam posisi pasif. Sementara istilah perkelahiann menunjuk pada pengertian ada dua pihak yang saling berhadapan secara aktif untuk saling menyerang. Ancaman hukumannya dengan hukuman paling lama dua tahun delapan bulan, jikalau penyerangan atau perkelahian itu hanya mengakibatkan luka berat saja. Dengan hukuman paling lama empat tahun penjara, jikalau penyerangan atau perkelahian itu mengakibatkan matinya orang.
28
Tindak pidana terhadap tubuh dengan tidak
sengaja atau karena kealpaan. Hal ini diatur dalam pasal 359-361 KUHP. Pada pasal 359 mengancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun, karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain. Akibat dari perbuatan ini disebabkan kurangnya hati-hati dan adanya kelalaian. Isi pada pasal 360 hampir sama dengan pasal 359, akan tetapi bedanya, yaitu bahwa akibat dari pasal 359 adalah mati sedangkan akibat dari pasal 360 adalah: luka berat, luka yang menyebabkan jatuh sakit, dan terhalangnya pekerjaan sehari-hari.
27
M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung: Remadja Karya , 1986, h. 138. 28 M. Sudrajat Basaar, S.H, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung: Remadja Karya , 1986, h. 139.
BAB III MELAMPAUI BATAS MEMBELA DIRI (NOODWEER EXCES) A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam a.
Pengertian dif’a asy-syar’i (pembelaan syar’i khusus) Menurut istilah yang dinamakan pembelaan diri adalah kewajiban manusia
untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.1 b.
Hukum pebelaan diri Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu
jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah
1
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 138.
28
29
satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya.2 Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan tersebut wajib membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan. Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i serta pendapat yang rajih (kuat) di dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.3 c.
Serangan anak-anak orang gila dan hewan Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika
seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan 2
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211. Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang wanita tidak sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B) hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita itukecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib adalah suatu h dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 88. 3
30
mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya.4 Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak pidana karena binatang tidak berakal. Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang hanya bertanggungjawab atas harga hewan karena perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan darurat yang memaksa.5 Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya 4
Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 168. Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 141, dharurat adalah situasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain memelihara jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta. Lihat dalam Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma‟a al Qanun al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995, h. 65. 5
31
dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.6 d.
Syarat-syarat pembelaan
1) Adanya serangan atau tindakan melawan hukum Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman potong tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan 6
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 213.
32
jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.7 Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.8 2) Penyerangan harus terjadi seketika Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara
7
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 479-480. 8 A. Wardi Mushlich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h. 90.
33
yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.9 3) Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri.10 4) Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya11
9
A. Wardi Mushlich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
91. 10
Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 168-
169. 11
Ukuran kekuatan seperlunya memang relatif, dan itu didasarkan atas dugaan orang yang diserang disesuaikan dengan perkiraan yang benar-benar terjadi atau dengan perbuatan yang diniatkan oleh orang yang melakukan perbuatan. Jika penyerang tidak menggunakan senjata maka untuk penolakannya tidak perlu memakai senjata. Apabila orang yang diserang menggunakan kekuatan yang Melebihi batas yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas kelebihan perbuatanya itu. Lihat dalam A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h. 91.
34
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat. Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan, bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya. e.
Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan) Jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu. Salah satu contohnya adalah: Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pemukulan tersebut.12 Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka
12
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 151.
35
perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri.13 2. Pembelaan umum (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) Pembelaan umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau menganjurkan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut syara’ dan mencegah apa yang seharusnya ditinggalkan.14 a.
Dasar hukum pembelaan umum
)QS. Al Imran (3): 110.( . . . “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Al Imran (3): 110.) Para fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelaan umum diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri diatas kebajikan dan pada individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan sifat keutamaan sehingga dengan demikian kapasitas jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang. Akan tetapi, para fuqaha masih berbeda pendapat tentang ketentuan atau batas
13 14
Lihat, Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 152. Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, h. 16.
36
wajib tersebut dalam 2 hal yaitu sifat dari kewajiban tersebut, apakah wajib ain atua wajib kifayah dan tentang orang yang terkena kewajiban tersebut. Menurut sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada setiap muslim, bahkan menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari pada kewajiban haji, karena untuk kewajiban haji disyaratkan adanya kesanggupan (istitha’ah), sedangkan untuk pembelaan umum tidak disyaratkan kesanggupan.15 Para fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum pembelaan umum hukumnya wajib kifayah berdasarkan atas firman Allah SWT )QS. Al Imran 3: 104( “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yangmenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al Imran (3): 104) Jihad atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban menjadi terhapus jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat tersebut terdapat kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah ada diantara kamu, konotasinya adalah tidak menunjukkan keseluruhan umat.16 Tentang orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum, menurut sebagian
15
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 219-230. Abul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 494, lihat juga dalam Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 220 dan A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h. 95. 16
37
fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya yaitu hanya orang yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau ulama, dengan alasan dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang, sedangkan orang tersebut tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa terjadi keadaan sebaliknya yaitu melarang kebaikan dan memerintahkan keonaran. b.
Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum Ma’ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu
diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari’at Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut syari’at Islam.17 Menyuruh kebaikan (amar ma’ruf) bisa berupa perkataan seperti ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang lain minum minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan adalah menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang
Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009, h. 252-253. 17
38
seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.18 c.
Syarat-syarat pembelaan umum Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaannya
diperlukan
syarat-syarat
tertentu
yang
berkaitan
dengan
orang
yang
melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat: Dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya kesanggupan, adil, izin (persetujuan).19 d.
Syarat melarang keburukan Untuk melaksanakan amar ma’ruf tidak diperlukan syarat khusus, karena
amar ma’ruf berupa nasihat, petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa dilakukan setiap saat dan kesempatan. Adapaun untuk mencegah kemungkaran maka diperlukan syarat tertentu, yaitu: Adanya perbuatan buruk atau munkar, keburukan atau kemunkaran terjadi seketika, kemunkaran itu diketahui dengan jelas. e.
Cara memberantas kemungkaran Apabila seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak
tahu perbuatannya adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah dengan memberi penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut bahwa perbuataanya itu adalah suatu perbuatan yang buruk. 18
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
19
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 220-221.
95.
39
1) Penjelasan Jika seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu bahwa perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk mencegahnya adalah memberi penjelasan kepadanya bahwa perbuatannya adalah suatu perbuatan mungkar 2) Memberi nasihat dan petunjuk Ditunjukan
kepada
orang
yang
memulai
suatu
perbuatan
dan
menyadarinya bahwa perbuatan itu adalah perbuatan munkar. Jika dengan nasihat dan petunjuk bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan meninggalkan kemungkaran tersebut. 3) Menggunakan kekerasan Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus, orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar, sopan serta sesuai dengan kebutuhan20 4) Mengadakan tindakan dengan tangan Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya dapat mengalami perubahan materil dan tidak berlaku pada maksiat yang berkaitan dengan lisan dan hati. Ada 2 syarat yang diperlukan: Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan tangannya sendiri, selama
20
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h. 506.
40
pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri, tindakan dengan tangan harus disesuaikan dengan kadarnya.21 5) Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan Cara ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh diwujudkan. Misalnya nanti kamu saya dera atau saya pukuli dengan perkataan yang lebih keras. 6) Menggunakan pemukulan dan pembunuhan Cara ini boleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara bertahap sesuai dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi. 7) Minta bantuan orang lain Apabila
dengan
dirinya
sendiri
seseorang
tidak
mampu
untuk
memberantas kemungkaran dan memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat meminta
bantuan
orang
lain
untuk
memberantas
kemungkaran
tidak
diperbolehkan karena cara tersebut dikhawatirkan bertambah luasnya keributan dan ketidaktenteraman sebab orang yang diberantas juga akan mendatangkan temannya
sehingga
dapat
menimbulkan
peperangan.
Perorangan
boleh
menggunakan cara ini jika mendapat izin dari penguasa.
21
98-100.
A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h.
41
Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa memerlukan izin dari penguasa sebab cara tersebut pada hakikatnya sama dengan cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap orang tua, suami dan pihak penguasa. B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP 1. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) a.
Pengertian Pembelaan Terpaksa Dari segi bahasa, noodweer terdiri dari kata “nood”dan “weer”. “Nood”
yang artinya (keadaan) darurat.”Darurat” berarti: Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera, kemudian dalam keadaan terpaksa. “Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela, menolong, melepaskan dari bahaya22. Jika digabungakan kedua kata tersebut maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong dalam keadaan sukar (sulit).23 Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tibatiba serta mengancam dan melawan hukum.24 Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), 22
maka
alasan
menghilangkan
sifat
tindak
pidana
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h.
156. 23
Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada “noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP. 24 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.
42
(strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigingsgrond) disebut fait justificatief.25 Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa (lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan (aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum (wederrechtelijk) pada ketika itu juga.” Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika: Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga belum memenuhi syarat onmiddelijk dreigende (dikhawatirkan akan segera menimpa), kemudian apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai. Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada dalam pasal tersebut dari KUHP Belanda tetapi hanya disebut serangan ogenblikkelijk (seketika itu). Van Hattum menceritakan bahwa dari rancangan KUHP belanda tersebut, yang dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi onmiddelijk dreigende, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Perlemen Belanda pada tahun 1900 karena dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan. Tetapi dalam KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918 kata onmiddelijk dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan. Dengan alasan bahwa keadaan khusus di Indonesia karena sering terjadi perampokan dalam suatu rumah. 25
Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, h. 78.
43
Apabila dalam hal ini para perampok itu baru mendekati rumah yang akan dirampok, maka dianggap layak apabila penghuni rumah melakukan tembakan kepada para perampok, setelah para perampok dari jauh mendekati rumah dalam kasus tersebut sudah merupakan pelaku serangan yang onmiddelijk dreigende atau dikhawatirkan akan segera menimpa.26 b. Doktrin membuat syarat / unsur noodweer yaitu: 1) Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat: a) Serangan itu harus datang mengancam27dengan tiba-tiba Pembolehan pembelaan terpaksa bukan saja pada saat serangan sedang berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan pada saat adanya ancaman serangan. Artinya serangan itu secara obyektif belum diwujudkan namun baru adanya ancaman serangan.28 b) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk) Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari undang-undang (melawa hukum formil) maupun dari sudut masyarakat (melawan hukum materil). 2) Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri29 harus memenuhi syarat: Harus merupakan pembelaan yang terpaksa30, kemudian pembelaan itu harus dengan serangan yang setimpal.31
26
Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, h. 79. Serangan mengancam adalah serangan yang sedang berlangsung, artinya telah dimulai dan belum berakhir. 28 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1, 2002, h. 47. 29 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991, h. 73-74. 27
44
3) Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan sendiri atau orang lain.32 Diri berarti badan, kehormatan adalah kekhususan dari penyerangan terhadap badan, yaitu penyerangan badan dalam lapangan seksual. 4) Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan seketika, berarti ada 3 syarat: Serangan seketika, ancaman serangan seketika itu, bersifat melawan hukum33 c.
Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen security/ keamanan 1) Serangan binatang Serangan mengancam dengan tiba-tiba tetapi serangan itu tidak melawan
hukum, karena binatang tidak tunduk pada hukum dan tidak mengerti hukum. Karenanya tidak dapat dimasukkan kepada pengertian noodweer. Hoge Raad (H. R) pada tanggal 3 Mei 1915 (N. J. 1915 Nr. 9820) tentang anjing-anjing polisi yang dikenal dengan “politie-honden arrest”. H.R mengatakan: “penggunaan anjing-anjing polisi untuk menangkap tersangka adalah alat yang wajar digunakan dan oleh sebab itu, melawan penangkapan dengan perantaraan anjing bukan suatu noodweer”. 30
Yang dimaksud adalah jika tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghindarkan serangan itu atau juga disebut asas subsidiaritas. 31 Yang berarti bahwa ada keseimbangan kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dikorbankan atau juga disebut asas keseimbangan (proposionaliteit). 32 Apa yang dibela secara limitatif dicantumkan oleh pasal 49 ayat (1) KUHP. 33 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987, h. 76.
45
2) Serangan orang gila Orang gila adalah yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak sempurna akalnya berdasarkan pasal 44 KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh orang gila adalah wedwerrechtelijk. Hanya karena keadaan jiwanya, tidak dapat dihukum, jadi dapat mengadakan ”noodweer”. Menurut VOS, terhadap suatu serangan yang datang dari seorang yang berpenyakit jiwa yang tidak dapat mengetahui lagi tentang apa yang dilakukan itu, orang tidak dapat melakukan suatu noodweer karena dalam peristiwa tersebut orang tidak dapat lagi mengatakan tentang adanya suatu serangan. Hazewinckel-Suringa berpendapat bahwa “Perbuatan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, akan tetapi hal tersebut tidak menghapuskan sifatnya yang melanggar hukum dari perbuatannya yaitu apabila perbuatannya itu merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.” Maka suatu serangan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa itu tetap bersifat melanggar hukum.34 Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa “Selama pencuri menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka pemilik barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh kembali miliknya.” Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti serangan sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus dianggap selesai. Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen “Bahwa noodweer tidak dapat 34
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghia Indonesia, 2006, h. 196.
46
dilakukan di dalam 2 peristiwa,” yaitu: Pertama, peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu baru akan terjadi di masa yang yang akan datang. Kedua, peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu telah berakhir.35 Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).36 Jika peristiwa pengroyokan seorang pencuri oleh banyak orang dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang mengeroyok tidak dapat dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri (noodweer) terhadap pengroyokan sehingga mungkin melukai salah seorang dari pengroyokan tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum karena penganiayaan (mishandeling) dari pasal 351 KUHP. 2. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweer exces) a.
Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau
tidak tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu
35
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987, h. 77. Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam h pembelaan terpaksa seolah-olah suatu eigenriching yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam h seranganseketika yang melawan hukum ini, negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi penduduknya, maka orang yang menerima serangan seketika yang melawan hukum, diperkenakan melakukan perbuatan sepanjang memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau orang lain. Lihat dalam Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1, 2002, h. 41. 36
47
tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam. Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjaawaban pidana terhapus.37 Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Dalam Teks aslinya: “Niet strafbaar is de overschrijding van de grenzen van noodzakelikjke verdediging,
indien
zij
het
onmiddelijkgeloig
is
gewest
van
hevigegemoedsbeweging, door de aanranding veroorzaakt” Penafsiran
dan
terjemahan
yang
berbeda
khususnya
mengenai
”hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid Kartanegara diterjemahkan dengan, keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau secara hebat (tekanan jiwa yang hebat), sedang Tiraamidjaja menerjemahkan dengan “gerak jiwa yang sangat”, Utrecht menerjemahkan ”perasaan sangat panas hati”. Karena terjadi perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut, maka harus diuraikan komponen “nooodweer exces”, yaitu: 1) Melampaui batas pembelaan yang perlu. Dapat disebabkan karena alat yang dipilih untuk membela diri atau cara membela diri adalah terlalu keras. Misalnya menyerang dengan sebatang kayu, dipukul kembali dengan sepotong besi. Kemudian yang diserang sebetulnya bisa melarikan diri atau mengelakan ancaman 37
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.
48
kelak akan dilakukan serangan, tetapi masih juga memilih membela diri. Prof. Pompe berpendapat bahwa “Perbuatan melampaui batas keperluan dan dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri, batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan cara membunuh si penyerang padahal dengan sebuah pukulan saja, orang sudah dapat membuat penyerang tersebut tidak berdaya. Apabila orang sebenarnya
tidak
perlu
melakukan
pembelaan,
misalnya
karena
dapat
menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri. Batas dari pembelaan itu telah terlampaui yaitu apabila setelah pembelaannya sudah selesai/ berakhir, orang itu masih menyerang si penyerang.” Sedangkan menurut Hoge Raad,”hebatnya kegoncangan hati itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga”.38 2) Tekanan jiwa hebat/terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati “Hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid diartikan keadaan jiwa yang menekan secara hebat yang menurut Utrecht, karena ketakutan putus asa, kemarahan besar, kebencian, dapat dipahami bahwa pertimbangan waras akan lenyap, jika dalam keadaan emosi kemarahan besar.
38
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991, h. 80-81.
49
3) Hubungan kausal antara “serangan” dengan perasaan sangat panas hati Pelampauan batas ini terjadi apabila serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan. Kemudian tidak ada imbangan antara kepentingan yang diserang dan kepentingan lawan yang menyerang. Karena pelampauan batas ini tidak diperbolehkan, maka seseorang berdasarkan pasal ini tidak dapat dihukum, tetap melakukan perbuatan melanggar hukum. Perbuatannya tidak halal, tetapi si pelaku tidak dihukum.39 Dalam pasal ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan menyebabkan goncangan jiwa yang hebat sehingga orang yang terancam melakukan tindak pidana yang lebih berat dari ancaman serangan yang menimpanya, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Schravendik memberikan contoh ada seorang laki-laki secara diam-diam masuk ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak menyetubuhi gadis tersebut. Pada saat laki-laki merabaraba tubuh si gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah jiwa antara amarah, bingung, ketakutan yang hebat40 sehingga dengan tiba-tiba gadis itu mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga mati.41 Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar
39
Wirjono, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, h. 81. Perasaan takut adakalanya hanya berupa meringankan hukuman seperti tindak pidana mempersilakan anak di bawah umur 7 tahun agar ditemukan dan dipiara oleh orang lain (to vondelingleggen) dari pasal 305 KUHP, menurut pasal 308 KUHP hukuman yang diancamkan dalam pasal 305 KUHP dikurangi separuh apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu pada waktu dekat anak itu dilahirkan olehnya dan merasa ketakutan oleh khayak ramai bahwa ia sudah melahirkan. H tersebut biasanya terjadi di luar pernikahan. 41 Jonkers J.E, Handboek van het Nederladsch Indische Strafrech, dalam Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 1, 2002, h. 53. 40
50
hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat. C. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam a.
Pengertian
dan
sebab-sebab
penghapus
tindak
pidana
dalam
pertanggungjawaban pidana Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun hubungan sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang dilarang oleh syari’at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. Salah satu prinsip dalam syari’at Islam adalah seseorang tidak bertanggung jawab42 kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas perbuatan jarimah orang lain. Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang. Suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut
berakibat
pada
pelaku
tindak
pidana
untuk
diminta
pertanggungjawabannya.
42
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan ia Sadar akibat dari perbuatannya itu. Lihat dalam, Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987, h. 45.
51
Pertanggungjawaban pidana (al-Mas’uliyyah al-Jināiyyah) ditegakkan atas 3 hal, yaitu:43 Pelaku melakukan perbuatan yang dilarang, pelaku mengerjakan dengan kemauan sendiri (mukhtar), pelaku mengetahui akibat perbuatannya (mudrik). Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan
kesadaran
yang
penuh.44
Sedangkan
menurut
syari’at
Islam
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan kesadaran penuh. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilalui hidupnya. Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:45 Adanya nas yang melarang dan mengancam
43
Ahmad Hanafi,Asas-asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h.154. Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987, h. 4. 45 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, 1991, h. 6. 44
52
perbuatan itu, adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, si pembuat adalah mukallaf. Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa. Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara. b. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak. Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.46 Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si 46
Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991, h. 63.
53
pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik.47 Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua perbuatan
tersebut
tetap dilarang tapi tidak dijatuhi
hukuman ketika
melakukannya.48 Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit saraf. a. Pembolehan perbuatan yang dilarang. Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan
untuk
melakukan
perbuatan
yang
dilarang
sebenarnya
melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Contohnya membunuh. Perbuatan ini diharamkan bagi setiap orang. Hukuman
47
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000, h. 177. Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu, h.135. 48
54
bagi pembunuh sengaja adalah qishash yaitu hukuman mati. Tetapi hukum Islam memberikan hak dalam pelaksanaan hukuman mati kepada wali korban. b. Hak dan kewajiban Antara hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda. Melakukan hak hanya bersifat boleh, sedangkan melakukan kewajiban bersifat harus secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya, keduanya sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya baik menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan yang diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan dianggap sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi orang lain. Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi wali korban tapi qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk menjalankannya. 1) Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya, sedangkan
kewajiban
ada
kemungkinan
dijatuhi
hukuman
karena
meninggalkannya, ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha. 2) Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak terikat dengan syarat keselamatan. Maksudnya, orang yang menggunakan haknya senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan objek karena dia dapat memilih antara melakukan perbuatan yang menjadi haknya atau meninggalkannya. 3) Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana Apabila pertanggungjawaban pidana tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat maka
55
pertanggungjawaban juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya: Sengaja (Al-amdu), menyerupai sengaja (Syibhu al Amd), keliru (al Khata). 4) Yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana a. Pengaruh tidak tahu Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka setiap mukallaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang walaupun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui. Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak bisa diterima sebagai alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian ini disebut sebagai salah tafsir. b. Pengaruh lupa Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat Islam, lupa disejajarkan dengan keliru. Para fuqaha terbagi dua kelompok dalam membahas hukum dan pengaruh lupa. Pertama, lupa adalah alasan yang umum baik dalam urusan ibadah maupun pidana. Berdasarkan prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian tetap dikenakan
56
pertanggungjawaban perdata apabila perbuatannya menimbulkan kerugian orang lain. Kedua, lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali kecuali hal yang berhubungan dengan hak Allah dengan syarat adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali. Meskipun demikian pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman sebab pelaku harus dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan. c. Pengaruh keliru Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Dalam segi pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Sebenarnya pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan. Dengan adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Jadi apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena
57
kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.49 Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana ada 3: 1) Perbuatan langsung (mubasyaroh) Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti penembakan seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang mengakibatkan kematian. 2) Perbuatan sebab Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti persaksian palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah melakukan pembunuhan. 3) Perbuatan syarat Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illat nya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang ketiga sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi syarat kematian korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung. Bagi pembuat syarat, tidak ada pertanggungjawaban pidana selama dengan perbuatannya itu tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk terlaksananya 49
A. Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, h.78-80.
58
jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena keduanya merupakan illat (sebab) adanaya jarimah.50 2. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:51 a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum. b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan. Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo, unsur-unsur pertanggungjawaban, adalah :52 a. Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya b. Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya c. Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat) Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, 50
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, 1991, h. 84. 51 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2 Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, h. 31.
59
sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat. Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana sebagai berikut:53 a. Alasan
yang
membenarkan
atau
menghalalkan
perbuatan
pidana,54adalah: 1) Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP) 2) Melaksanakan ketentuan undangundang (Pasal 50 KUHP) 3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan. b. Alasan yang memaafkan pelaku55, hal ini termuat dalam :
53
Andi Hamzah, op. cit, hlm. 143. Dasar peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana, Lihat dalam, Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 138 54 Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak pidananya terdakwa karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Lihat dalam, Moeljatno, op. cit, hlm. 137. 55 Yaitu alasan yang menghapuskan kesalaahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa bersifat melawan hukum, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. .Perbuatan tersebut walaupun terbukti melanggar undang-undang (bersifat melawan hukum), namun karena hapusnya kesalahan pada diri terdakwa, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.lihat dalam, Adami Chazawi, op. Cit, hlm. 19.
60
1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapatvdipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) 2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana 3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. 4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya. Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa. Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut hukum positif yaitu : Suatu perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman,
dan
Perbuatan
dipertanggungjawabkan.56
56
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 4.
itu
dilakukan
oleh
orang
yang
dapat
BAB IV ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN A. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak ditemukan dalam Hukum Pidana Islam. Pengertian yang lebih spesifik dalam hukum pidana Islam lebih dikenal dengan istilah dif’a asy-syar’i al-khass (pembelaan syar’i khusus atau pembelaan yang sah) atau daf’u as-sail (menolak penyerang). Meskipun demikian, secara subtantif pengertian tersebut penulis analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum positif. Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya menjadi dua yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha’il) dan Pembelaan umum atau (dif’a asysyar’i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.1 Tetapi di dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan terpaksa (noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti darurat (keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan, menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 dikenal pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces). Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang dimaksud dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang berarti pelampauan batas. Jadi, terdapat perbedaan
1
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 138.
61
62
istilah dalam pengertian antara hukum pidana Islam dan KUHP. Tetapi terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya, yaitu objek atau sasaran yang dilindungi. Dalam KUHP maupun hukum Islam, dalam pembelaan terpaksa, sama-sama bertujuan melindungi jiwa, kehormatan, harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dalam KUHP tidak ditentukan atau dijelaskan pengertian maupun syarat pembelaan terpaksa, dan apakah pembelaan merupakan hak atau kewajiban seseorang. Tetapi oleh ahli hukum, dijelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud pembelaan terpaksa ini. Karena dalam pasal tersebut hanya disebutkan tidak dipidana, barang siapa “yang melakukan pembelaan terpaksa”, hal ini berarti kalimat aktif, dalam keadaan seketika itu juga terpaksa atau terdorong oleh situasi yang darurat atau mendesak, bukan merupakan anjuran atau perintah. Tetapi dalam hukum pidana Islam diperselisihkan apakah termasuk hak atau kewajiban dalam pembelaan yang sah.2 Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara
2
Drs.H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Singa Grafika, 2004, h. 93.
63
meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalkannya.3 Melakukan pembelaan terhadap serangan didasarkan pada Firman Allah SWT:
(QS2. Al Baqarah: 194)
“Bulan Haram dengan Bulan Haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah 2: 194).4 Jadi, dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa hukum pembelaan diri sangat penting karena dalam hukum pidana Islam maupun positif mempunyai satu tujuan yang sama dalam pembentukan hukum yaitu perlindungan HAM. Hukum Islam dalam pembentukan hukum mempunyai tujuan utama yaitu untuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun akhirat, yang sering dikenal Al-Maqasidu Khamsah (Panca Tujuan: hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-aql (menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl (menjaga
3 4
Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211. Al Baqarah (2): 194.
64
keturunan)5 terbukti dalam ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa begitu pentingnya pembelaan diri karena dalam Islam juga melindungi hak-hak manusia walaupun umat Islam diserang di bulan Haram6, yang sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, Maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga. Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan
untuk
melakukan
perbuatan
yang
dilarang
sebenarnya
melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Seperti melindungi jiwa, menjaga kehormatan dan mempertahankan harta baik diri sendiri maupun orang lain. Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang baik dalam hukum pidana Islam maupun dalam KUHP yang tidak dipidana yaitu melakukan pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum pidana Islam dan hukum positif mengatur tentang syarat maupun unsur. Dalam menetapkan syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat tersebut yaitu antara lain: Pertama, pembelaan terpaksa dilakukan karena sangat terpaksa atau tidak ada jalan lain 5 6
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, h. 65-67. Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah haram (Mekah) dan ihram.
65
untuk mengelakan serangan, harus benar-benar dalam keadaan terpaksa. Kedua untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum. Jadi, disini dalam melakukan pembelaan tidak boleh adanya praduga / prasangka dan rasa takut yang berlebihan akan diserang sehingga dia menyerang dulu sebagai bentuk pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan. Maka pembelaan dilakukan harus terjadi serangan seketika itu terjadi. Ketiga serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan hukum atas: badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda sendiri atau orang lain. Keempat harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam. Kelima perbuatan pembelaan harus seimbang7 dengan serangan yang mengancam. Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum pidana Islam dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan diri (yang diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab atas tindakannya itu. Kedua, Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jerat atau perangkap yang dipasang 7
Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi harus pada akal pikiran bagi orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat dalam Zainal Abidin Farid, op. cit h. 199.
66
dibelakang pintu, pagar atau di jalan dengan maksud membunuh atau melukai penyerang hukumnya boleh. Orang yang mempunyai tempat tersebut tidak bertanggungjawab apabila bertujuan untuk membela diri karena orang yang memasukinya berarti membunuh dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang lain secara ilegal (tanpa hak). Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang yang melakukan hal tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya bertujuan untuk melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah tanpa izin. Dengan alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri atas dasar untuk menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan.8 Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa yang sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi si pelaku noodweer exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater, kedua mengenai pemasangan alat atau perangkap di depan rumah sebagai bentuk pembelaan diri, tidak diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1 yang menjadi syarat pembelaan terpaksa salah satunya adalah serangan yang dilakukan harus sedang dijalankan. Jika pemasangan alat atau perangkap yang mematikan sebagai pembelaan diri diperbolehkan atau “dikhawatirkan akan segera menimpa” (onmiddelijk dreigende), dengan alasan sebagai perlindungan diri karena di Indonesia sering
8
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 152.
67
terjadi perampokan jadi sebagai alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan karena dikhawatirkan dalam hal ini tidak ada faktor seimbang antara dua kepentingan yang dirugikan ada peranan penting.9 Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda), sama-sama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum. Kedua, pada keduanya pembelaan ditujukan
untuk
mempertahankan
dan
melindungi
kepentingan
hukum
(rechsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.10 Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan karena adanya kegoncangan
9
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung: 2003, h. 85-87. 10 Drs. Adami Chazawi.S.H. Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002, h. 51.
68
jiwa yang hebat.11 Kedua, pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam pembelaan yang melampaui batas, perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti. Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri pelaku.12 Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai dan kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak semua alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. Karena terdapat pembelaan yang dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat melawan hukum, sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa karena tidak ada jalan lain. Jadi, dalam pembuktian suatu kasus, hakim harus benar-benar memperhatikan asas tersebut apakah merupakan alasan dalam noodweer atau bukan. Selain pembelaan diri (pembelaan khusus), hukum pidana Islam juga mengatur adanya pembelaan umum (amar ma’ruf nahi munkar) karena dengan adanya pembelaan umum, maka dapat mencegah
11
Drs. Adami Chazawi.S.H. Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002,
h. 51. 12
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 146.
69
terjadinya jarimah dan mengurangi terjadinya penyelewengan yang tidak diinginkan (upaya prefentif). Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum hukumnya wajib. Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam melaksanakannya. Ada beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum, salah satunya yaitu adanya kesanggupan dan berakal sehat.13 Dari segi hukum dan dasar tujuan tidak ada perbedaan antara pembelaan khusus dan pembelaaan umum tersebut. Tetapi dalam segi objek terdapat perbedaan yaitu: Objek pembelaan khusus adalah setiap serangan yang mengenai keselamatan orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang objek pembelaan umum adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan dan ketertibannya yang bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya serangan dari seseorang, sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada serangan. Contoh: Jika ada seorang laki-laki mendatangi seorang prempuan dengan maksud memperkosa, maka disini terdapat pembelaan khusus. Tetapi jika lelaki itu mendatanginya dengan persetujuan seorang perempuan tersebut, maka terjadi pembelaan umum yaitu menolak (menggagalkan) perbuatan munkar.14 Ciri khas syari’at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif adalah “amar ma’ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan agar setiap orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta sesama manusia
13 14
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 153. Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 175.
70
saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk menjauhkan diri perbuatan munkar dan ma’siat, menjaga keamanan dan ketertiban, memberantas jarimah dan menjunjung akhlak yang tinggi. Sistem amar ma’ruf nahi munkar tidak dikenal oleh hukum positif kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut mulai mengakui adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa (perorangan), serta memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap basah waktu melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib. Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan masyarakat seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan menghancurkan bangunan umum. Tetapi sistem amar ma’ruf nahi munkar hanya diterapkan oleh hukum positif dalam keadaan tertentu saja sedang dalam syari’at Islam dijalankan dengan seluas-luasnya.15 B. Analisis Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana Penganiayaan Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan pidana yang di dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya terdakwa karena perbuatan 15
Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 225-226.
71
tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang yang melakukan perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa melampaui batas yang sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong oleh suatu tekanan batin atau tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya menjadi tidak normal. Oleh karena itu seseorang yang melakukan penganiayaan karena dalam keadaan terpaksa dan dalam pembuktian di persidangan benar-benar terbukti adanya syarat dan unsur pembelaan terpaksa yang melampaui batas, maka terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur pembelaan
terpaksa
dalam
tindak
pidana
penganiayaan,
dengan
mempertimbangkan kaidah terdapat dalam pasal 49 ayat 2 KUHP, maka pelaku dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP.16 Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan korban melindungi dan mempertahankan kepentingannya atau kepentingan hukum orang lain. Inilah dasar filosofi pembelaan terpaksa. Suatu 16
Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat melawan hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika melalui cara yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan tidak dapat dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal yang patut walaupun bertentangan dengan ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian demikian masih dibuktikan apa yang sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat melawan hukum, hilang pula hal yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari tuntutan hukum, bukan bebas dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, op. cit, h. 6.
72
perbuatan dianggap sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut bisa merugikan terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam masyarakat, kepercayaankepercayaan, merugikan anggota-anggota masyarakat, harta benda, nama baik, perasaan-perasaannya dan pertimbangan-pertimbangan baik yang harus dihormati dan dipelihara. Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak melampaui batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak untuk hidup selama ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia melampaui batas tersebut dan membuat kekacauan serta penindasan dalam masyarakat atau menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya, maka ia kehilangan hak hidupnya. Jadi, dalam menentukan sanksi hukuman atas pembelaan yang melampaui batas dalam hukum Islam penulis berdasarkan penjelasan diatas berpendapat bahwa terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (diperbolehkan) dan tidak ada hukuman baginya. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Jika sampai mengakibatkan kematian maka tidak terdapat pertanggungjawaban baginya baik secara perdata maupun pidana. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah
73
yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat pertanggungjawaban secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban secara perdata yaitu dengan membayar diat.17 Terdapat contoh yaitu : 1. Kronologi kasus Kasus penganiayaan dalam perkara Nomor: 416 K/Pid/2009 merupakan salah satu kasus yang melibatkan 4 (empat) terdakwa yang masih memiliki hubungan keluarga diantaranya yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana yang telah melakukan penganiayaan terhadap Robby Lesmana. Grace dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah menjalani proses perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle yang pengasuhannya dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby. Ketika Robby bersama Kuasa 17
h. 90.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta: 2006,
74
hukumnya bernama Adardam yang datang kerumah Grace dengan maksud menjemput anaknya Richelle berdasarkan perjanjian hak asuh yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh grace dan Robby dimana saat itu tiba gilirannya Robby untuk mengasuh Richelle, pada saat Robby menghampiri Grace yang sedang menggendong Richelle yang berada didepan pintu rumah, Richelle menangis ketika akan dibawa pergi oleh Robby, mendengar tangisan Richelle tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang langsung menghampiri serta mendorong dan memukul Robby.18 Kuasa hukum yang berada diluar pagar kemudian menghampiri dengan maksud melerai peristiwa pemukulan tersebut tetapi beliau juga dipukul oleh Winarno Sarkawi dan Grace19, Melihat keadaan yang tidak kondusif itu kedua korban akhirnya langsung naik ke mobil dan pergi. Setelah peristiwa pemukulan tersebut kemudian Robby ditemani Kuasa hukumnya Adardam melaporkannya kepada pihak kepolisian yang akhirnya sampai pada tingkat pengadilan. Akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar, menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah bahu kanan 18
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
h. 3-8. 19
h. 4.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
75
bagian belakang, bercak kemerahan di bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007.20 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para perbuatan perbuatan para terdakwa dalam dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 (1) KUHP, dakwaan kedua diancam pidana dalam Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP dan dakwaan ketiga sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP. 2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim a. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Nomor 845/Pid/B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008, setelah bukti-bukti dihadirkan dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kemudian Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan kepada
20
h. 5.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
76
terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace.21 Setelah putusan hakim diberikan, para terdakwa melakukan upaya hukum banding. b. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Putusan
Pengadilan
Tinggi
Bandung
dengan
Nomor
registrasi
127/PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 menerima permohonan banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum dan para terdakwa (kuasanya) tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg. yang dimohonkan banding tersebut. Pengadilan Tinggi Bandung mengadili sendiri menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum.22 Jaksa Penuntut Umum yang keberatan terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian melakukan upaya hukum kasasi. c. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Mengingat
akan
akta
tentang
permohonan
kasasi
Nomor
37/Akta.Pid/2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli 2008 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Pada pertimbangan hukumnya 21
Lihat, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009, h. 9. 22 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009, h. 16.
77
menimbang,
bahwa
alasan-alasan
yang
diajukan
oleh
Pemohon
Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum yang pada pokoknya bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena perbuataannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP adalah telah salah dalam penerapan hukumnya. Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari segala dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) adalah putusan bebas yang tidak murni sifatnya karena Judex Facti dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut semata-mata didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang di dakwakan.23 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi
23
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009, h. 11-15.
78
(Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum, namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor : 127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April 2008 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg harus diperbaiki yaitu perihal pidana terhadap terdakwa I (Winarno Sarkawi) dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri) terhadap terdakwa I Winarno Sarkawi menurut pendapat Mahkamah Agung sudah tepat dan benar; b. Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai pertimbangan oleh Mahkamah Agung.24 Selanjutnya berdasarkan pertimbangan, lagi pula putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Winarno Sarkawi dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan menangani perkara ini memutuskan dan mengadili
24
h. 15.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
79
menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat
No.127/PID/2008/PT.Bdg
yang telah membatalkan
putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.25 3. Analisis Tidak semua perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana si pelakunya dapat dijatuhi pidana, tetapi hakim dapat memberikan putusan bebas atau putusan lepas. Kemungkinan hakim memberikan putusan bebas kepada pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukan merupakan bagian dari prinsip di dalam sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia. Persoalannya, adakah alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum pidana bagi seorang hakim memberikan putusan bebas atau si pelaku itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Persoalan tersebut di atas, dapat dilihat dari ketentuan khusus yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang yang memungkinkan si pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Artinya, undang-undang menerima keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan seseorang yang telah memenuhi
25
Lihat, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009, h. 16-17.
80
keadaan-keadaan tertentu tersebut memungkinkan ketentuan hukum pidana tidak dapat diberlakukan, baik ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun lainlain peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Perihal tidak dapat diberlakukannya ketentuan hukum pidana kepada pelaku tindak pidana berkaitan erat dengan dua hal yaitu dasar yang meniadakan penuntutan adalah hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dan dasar yang meniadakan pidana atau hukuman, adalah hal-hal tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, atau di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut hal-hal yang memaafkan kepada pelaku tindak pidana sehingga dirinya tidak dipidana.26 Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap berkas perkara kasus tindak pidana penganiayaan pada kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, dengan para terdakwa yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 351 ayat (2) jo 55 ke-1 KUHP, dan Pasal 335 ayat (1) KUHP karena telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap Robby Lesmana. 26
126.
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012, h.
81
Putusan
Hakim
Mahkamah
Agung
dalam
kasus
putusan
M.A
416K/PID/2009 menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang dengan menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan.27 Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa. Untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, untuk itu terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan dari semua dakwaan (vrijspraak) dan menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer) dengan menyatakan melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Untuk menjawab permasalahan mengapa alasan noodweer dijadikan dasar pertimbangan Hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, maka pada analisis skripsi ini terlebih dahulu diuraikan unsur-unsur
27
h. 16.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor : 416 K / Pid / 2009,
82
pasal yang dituduhkan, dimana para terdakwa didakwa dengan Pasal 170 ayat (1)28, Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 5529, dan Pasal 355 ayat (1) KUHP. Ketiga pasal yang dituduhkan para terdakwa kesemuanya mengandung unsur adanya kekerasan dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herlina secara fisik tidak melakukan apa-apa kepada Adardam Achyar maupun kepada Robby Lasmana, sehingga salah satu unsur dari dakwaan kesatu atau kedua tidak terpenuhi. Namun untuk terdakwa I Winarno Sarkawi yang telah menarik rambut dan baju Robby Lesmana dan juga mendorong Adardam Achyar dan terdakwa III Grace binti Winarno yang telah memukul pipi dan telinga korban Robby Lesmana, semua unsur dari pasal yang didakwakan telah terbukti. Selanjutnya terdakwa III Grace binti Winarno sebagai ibunya sangat mungkin untuk melakukan tindakan guna melindungi anaknya karena Richelle pada saat itu dalam kondisi ketakutan dan histeris. Setiap orang apabila mengalami keadaan yang demikian juga akan melakukan yang sama pada saat melihat anaknya dalam keadan terancam atau anaknya dalam keadaan ketakutan. Berdasarkan uraian di atas, apabila dihubungkan dengan keterangan dapat dianalisis bahwa meskipun terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa III Grace binti Winarno melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, perbuatan itu
28 29
Lihat, R. Soenarto Soedibroto,S.H. KUHP dan KUHAP. PT Raja Grafindo Persada, h. 105. R. Soenarto Soedibroto,S.H. KUHP dan KUHAP. PT Raja Grafindo Persada, h. 50.
83
termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yaitu perbuatan itu dengan seketika itu juga dilakukan karena perasaan tergoncang, dengan segera, pada saat itu juga, terdakwa III setelah mendengar anaknya Richelle menangis menjerit-jerit selain berusaha mempertahankan anaknya dengan menepis saksi 2 Robby Lasmana (yang adalah suaminya, yang masih dalam proses perceraian). Begitu juga terdakwa I mendengar tangisan dan jeritan cucunya, yang semula ia berada di dalam rumah dan begitu keluar rumah melihat cucunya sedang diperebutkan oleh anak dan menantunya, para terdakwa berusaha membantu anaknya (terdakwa III) untuk mempertahankan cucunya (Richelle) dengan cara menarik rambut dan baju Robby Lasmana saksi 2, adalah perbuatan seperti apa yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tersebut.30 Begitu juga perbuatan terdakwa I yang mendorong saksi 1 Adardam Achyar, yang dilihatnya tiba-tiba masuk ke pekarangan tanpa ijin darinya sebagai pemilik rumah, adalah merupakan tindakan yang wajar yaitu untuk mencegah terjadinya keterlibatan orang lain yang dapat memperkeruh suasana. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka perbuatan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno adalah merupakan pembelaan darurat (noodweer), dan perbuatan seperti itu tidak boleh dihukum dan untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana, karena tidak terbukti 30
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung: 2003, h. 83.
84
melakukan perbuatan sebagaimana didakwaan dalam dakwaan kesatu atau kedua atau ketiga, maka mereka (terdakwa II dan terdakwa IV) harus dibebaskan dari semua dakwaan. Terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno meskipun terbukti melakukan perbuatan seperti yang disebutkan di atas, perbuatan tersebut adalah merupakan pembelaan terpaksa, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP, terdakwa I dan terdakwa III harus dilepaskan dari tuntutan hukum.31 Berdasarkan uraian di atas, penulis kurang sependapat dengan hakim Mahkamah Agung yang telah memutus perkara membebaskan Terdakwa III Grace binti Winarno dengan alasan noodweer (noodwer exces), karena noodwer maupun nodweer exces mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Perbuatan dapat dikatakan sebagai noodweer exces harus adanya serangan dan apabila serangan itu mengakibatkan terjadinya goncangan jiwa dan untuk mengetahui adanya goncangan jiwa, perlu adanya pemeriksaan secara psikologis oleh dokter atau psikiater. Pemeriksaan tersebut nantinya akan diketahui seseorang mengalami kegoncangan jiwa ada atau tidak.32 Pada analisis ini diperoleh fakta persidangan bahwa tidak terlihat adanya serangan yang bersifat melawan hukum dan seketika dan yang mengancam jiwa, 31
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung: 2003, h. 84. 32 Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 48.
85
kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer. Apa yang dilaukkuan oleh terdakwa Grace dengan melakukan pemukulan sebagai maksud mengadakan pembelaan dinilai kurang tepat sebab pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodsakelijk) yakni pembelaan itu bersifat sekali dimana tidak ada jalan lain dan mengenai perasaan33 yang dialami oleh terdakwa Grace yang melihat anaknya menangis saat akan dibawa pergi oleh Robby yang juga merupakan ayah kandung dari anaknya dinilai terlalu berlebihan jika dikatakan menimbulkan goncangan jiwa yang hebat. Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Pada kasus ini tidak ada sama sekali serangan melawan hak dan mengancam dengan seketika itu juga atau pada ketika itu juga. Melawan hak artinya penyerang melakukan serangan itu melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu.34 Sebagaimana diketahui bahwa noodweer exces merupakan pembelaan darurat yang melampaui
33
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 147. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung: 2003, h. 87. 34
86
batas karena pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan berdasarkan bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Baik di Putusan Pengadilan Tinggi Bandung maupun Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno apa yang dilakukan dinyatakan sebagai noodweer exces. Berarti disini hakim Mahkamah Agung kurang memperhatikan unsur-unsur dari pembelaan terpaksa (noodweer), salah satunya yaitu adanya serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.35 Pada saat Richelle hendak di bawa pergi oleh ayahnya Robby Lesmana terjadi perebutan anak yang disertai pemukulan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno. Saat itu pula meskipun telah dipukul dan ditampar, namun Robby Lesmana tidak melakukan upaya perlawanan. Berarti di sini tidak ada serangan yang bersifat melawan hukum, maka syarat noodweer exces tidak terpenuhi. Apabila melihat syarat-syarat noodweer, maka jelas disini tidak ada serangan yang membahayakan bagi terdakwa III Grace binti Winarno baik diri sendiri dan anaknya, harta benda, kehormatan maupun kesusilaannya. Dengan demikian seharusnya terdakwa III Grace Winarno tidak dapat dikenai noodweer 35
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 148.
87
dan sudah selayaknya dikenakan Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang dengan ancaman hukuman 10 (sepuluh) bulan sebagaimana yang menjadi tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung. Seperti halnya pembelaan darurat, disinipun harus ada serangan yang seketika itu juga dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya seseorang yang diserang dengan tangan kosong oleh orang lain, membela diri menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu saja sudah cukup. Melampaui batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan asal saja disebabkan perasaan tergoncang hebat yang timbul karena serangan itu, perasaan tergoncang hebat misalnya karena jengkel atau marah sekali yang biasa disebut dengan mata gelap.36 Pertahanan atau pembelaan itu harus noodzakelijk (perlu sekali, terpaksa, dalam keadaan darurat). Boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Sebenarnya hampir tidak ada suatu pembelaan yang terpaksa. Kebanyakan pembelaan itu dapat dihindarkan dengan jalan melarikan diri atau menyerah pada nasib yang dideritanya, bukan itu yang dimaksud. Disini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan seranganya. Untuk membela
36
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, h. 145-146.
88
kepentingan yang tidak berarti misalnya orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.37 Pembelaan atau pertahanan itu dilakukan hanya terhadap kepentingankepentingan yang tersebut di atas yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain. Badan ialah tubuh. Kehormatan ialah kehormatan seksual yang biasanya diserang dengan perbuatan-perbuatan tidak senonoh atau cabul, memegang bagian-bagian tubuh yang menurut kesusilaan tidak boleh dilakukan, misalnya kemaluan, buah dada, dan lain-lain. Kehormatan dalam arti nama baik tidak termasuk disini. Barang ialah segala sesuatu yang berwujud, termasuk juga binatang. Alasan
Majelis
Hakim
Mahkamah
Agung
memberikan
putusan
pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena unsur-unsur noodweer exces tidak terpenuhi, karena syarat noodweer harus adanya suatu serangan, serangan itu diadakan seketika itu juga atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan, serangan itu melawan hukum, serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain serta pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan ( noodzakelijk ) yakni pembelaan itu bersifat darurat dan harus adanya alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. Fakta
37
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung: 2003, h. 87.
89
di persidangan tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer exces sehingga alasan Hakim Mahkamah Agung yang membebaskan terdakwa III Grace binti Winarno dinilai kurang tepat.38 Agar setiap orang dapat terjamin kehidupannya maka harus berlaku adil. Dengan demikian, orang-orang kuat harus melindungi orang lemah, orang-orang kaya harus memberikan makan kepada orang-orang fakir, dan sebagainya. Dalam hal ini banyak sekali Nas-nas al-Qur'an yang menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
(QS4. An-Nisâ': 58) “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisâ' 4: 58).39 Allah memerintahkan kaum Muslimin agar berlaku adil dalam menghukum dan memutuskan perkara. Keadilan dalam bidang pengadilan itu
38 39
Prof. Moeljanto,S.H. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta: 2002 h. 14. An-Nisâ' (4) : 58.
90
dianggap sebagai menunaikan amanah Allah. Al-Qur'an sendiri memerintahkan keadilan secara umum, tanpa menentukan dalam bidang apa dan terhadap golongan mana, melainkan dalam segala urusan dan terhadap semua golongan yang melakukan pelanggaran, karena keadilan itu hukum Allah dan aturan-Nya sedang manusia seluruhnya hamba Allah. Dalam hal ini Islam mombolehkan adanya pembelaan yaitu adanya unsur keadilan sebagai akibat adanya serangan tersebut. Yang menjadi asas yang terpenting dalam hukum Islam adalah keadilan mutlak. Syari’at Islam sangat menginginkan penegasan asas ketetapan hukum yang sangat penting ini yaitu keadilan mutlak disetiap ketentuan hukumnya. Islam menetapkan keadilan yang sama dalam ketentuan hukum duniawi antar manusia secara keseluruhan, namun ketentuan ukhrawi dibatasi pada orang yang beriman pada-Nya dan tunduk terhadap ketentuan hukum-Nya. Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman adalah rasa keadilan40 dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum
40
Sikap keadilan itu adalah kerelaan untuk mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia yang mengatasi kesukaan individual. Aturan yang obyektif ini adalah aturan yang seharusnya (Ordnung des Gehorens), aturan ini merupakan dasar dan ukuran bagi aturan yang ditentukan (Ordnung des Setzen). Sikap keadilan tidak hanya ditemukan pada orang yang beriman, artinya pada orang yang menerima wahyu Allah. Allah mewujudkan aturan semesta alam, termasuk alam manusia. hal ini dimungkinkan melalui akal budi yang diberikan Allah kepadanya.
91
sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu. Alasan manusia menerima prinsip keadilan dalam ajaran Islam adalah karena persamaan dan kebebasan diantaranya yaitu manusia berasal dari keturunan yang sama dan semua makhluk tidak dapat melampui batas-batas dan hukum yang ditetapkan. Tetapi lingkungan yang rusak dan tamak meruntuhkan fondasi tersebut. Jadi, untuk menghindari adanya kejahatan yang datang dalam diri seseorang, maka dianjurkan untuk membela diri ketika diserang. Jadi dalam suatu peristiwa serangan yang terjadi dalam pembelaan terpaksa, maka harus dilihat dengan cermat dan teliti, apakah peristiwa tersebut merupakan suatu pembelaan atau bukan. Terlihatlah disini bahwa rasa keadilanlah yang harus menentukan sampai dimanakah keperluan noodweer dibutuhkan yang menghalalkan perbuatan yang bersangkutan terhadap seorang penyerang. Dalam hukum Islam antara pembelaan terpaksa dan dharurah terdapat persamaan syarat sedangkan dalam hukum positif terdapat persamaan syarat dengan keadaan darurat (noodtoestand). Diantaranya adalah pertama Keadaan dharurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain kekhawatiran akan kematian itu benar-benar ada dalam kenyataan. Kedua, orang yang terpaksa tidak punya
92
pilihan lain kecuali melanggar perintah atau larangan syar’i atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudharatan selain melanggar hukum. Dalam dharurah terdapat kekhawatiran akan timbulnya kematian. Ketiga, Dalam menghindari keadaan darurat hanya dipakai tindakan seperlunya dan tidak berlebihan. Sedangkan perbedaannya adalah tidak boleh melanggar prinsipprinsip syar’i (maqasid al-syari’ah) seperti diharamkannya zina, pembunuhan, dalam kondisi bagaimanapun.41 Keadaan darurat (noodtoestand) adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, untuk menghindari ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan hukum yang lain. Dalam noodtoestand bersifat lebih umum, suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan hukum yang lain. Perbedaan antara noodweer dengan noodtoestand, dalam pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu: Pertama, kepentingan hukum yang ada pada noodtoestand tidak dibatasi sedangkan dalam noodweer terdapat batasan hanya untuk tubuh, kesusilaan dan harta benda. Kedua, dalam noodweer mengenal noodweer exces sedangkan dalam
41
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al- Fikr, Cet. ke-3, 1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995, h. 73-74.
93
noodtoestand tidak ada. Ketiga, noodweer untuk memebla kepentingan hukum bagi diri sendiri atau orang lain sedangkan dalam noodtoestand tidak.42
42
S.R. Sianturi, S.H. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1989. h. 283-284.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Tindak pidana penganiayaan diatur dalam Pasal 351 – 358 KUHP dengan ancaman hukuman paling berat yaitu Pasal 355 penganiayaan berat, sedangkan penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP. Dalam hukum Islam, tindak pidana atas selain jiwa disebut pembelaan yang sah (daf’u as-sail), dan upaya prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hukum positif dikenal pembelaan terpaksa (noodweer) ketentuan dalam KUHP dalam pasal 49 ayat 1 sebagai alasan pembenar, sedangkan dalam ayat 2 dikenal istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan pemaaf untuk dasar penghapus hukuman. 2. Berdasarkan uraian analisis Putusan M.A 416 K/Pid/2009 di atas, dapat diambil kesimpulan: Alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan putusan pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena unsur-unsur noodweer exces tidak terpenuhi. Fakta di persidangan tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer exces.
94
95
B. SARAN Setelah melalui proses pembahasan dan kajian yang telah dibahas, maka kiranya penulis perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan kemajuan bersifat kajian akademik terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia dalam hukum Islam yaitu, perlunya penelitian yang lebih mendalam tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam penulisan ini penulis mengandung
maksud:
Pertama,
kepada
pembaca
untuk
dapat
menginterpretasikan dan merenungkan kembali konsepsi pembelaan diri dalam perspektif hukum pidana Islam maupun dalam KUHP karena maraknya kejahatan terhadap tubuh seperti penganiayaan. Kedua, Dalam tindak pidana penganiayaan memang perlu dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah demi terciptanya realitas hukum di Indonesia yang adil. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum. Ketiga, Perlu ada kejelasan tentang batasan kegoncangan jiwa secara tepat agar seseorang mendapat alasan pemaaf sebagai dasar penghapus hukuman, kemudian pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam dalam tindak pidana penganiayaan memang perlu dipertimbangkan maslahahnya oleh penegak hukum demi terwujudnya prinsip Maqasid asy-Syari’ah dan terciptanya nuansa hukum di Indonesia yang adil.
DAFTAR PUSTAKA Al Faruq, Asadullah, Hukum pidana dalam sistem hukum islam, penerbit Ghia Indonesia, oktober, 2009. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Arief, Abd. Salam, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Audah, Abdul Qadir, At-Tasri Al-Jina’i Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy, Penerbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit : PT Charisma Ilmu. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar alFikr, Cet. ke-3, 1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995. Basaar , Sudrajat, Tindak-tindak pidana tertentu di dalam KUHPidana, Bandung: Remadja Karya, 1989. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 2002. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Syaamil Cipta Media, 1984. Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, cet. ke-1 1989. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Hutabarat, Ramly. Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Kansil, C.S.T, Pokok-pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana untuk Tiap Orang, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007. Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986. Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. Marjuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008. Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, 1991. Moeljanto, S.H, Prof, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Nazir, Ph. D, Moh, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2006. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012
Prodjodikoro, Wirjono, Prof. Dr. S.H. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, 2003. Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997. Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari KitabUndang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet. ke-2, 1990. Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987. Samosir, Djisman, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990. Santoso, Topo, Membumikn Hukum Pidana Islam, Penerbit Gema Insani Perss, Jakarta, 2003. Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1989. Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991. Soemitro,Hantijo, Roni, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Penerbit Ghana Indonesia, Jakarta, 1990. Soerodibroto, Soenarto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995. Syah, Ismail Muhammad , Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Tongat, Hukum pidana materil, tinjauan atas tindak pidana terhadap subjek hukum dalam KUHPidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003. Washil, Nashr Farid Muhammad, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Http://kbbi.web.id.wikipedia.
R ep ub
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia PUTUSAN
Nomor : 416 K / Pid / 2009
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH
AGUNG
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
do
A gu
memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara para Terdakwa : Nama
: Dr. WINARNO SARKAWI, Sp.OG ;
In
1.
Tempat lahir : Indramayu ;
Umur/tanggal : 57 tahun/25 Desember 1950 ;
lik
ah
Jenis kelamin : Indonesia ; Tempat tinggal
Bandung ; : Katholik ;
ep
: Dokter ;
Kebangsaan
ub
m
Kebangsaan : Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel. Sukarasa, Kec. Suk
Agama
ah
ka
: Laki-laki ;
lahir
In lik ub
: ANDREAS SUHARTOYO ;
Tempat lahir
: Bandung ;
Umur/tanggal lahir
: 22 tahun/14 Desember 1985 ;
Jenis kelamin
: Laki-laki ;
Kebangsaan
: Indonesia ;
In
do
Hal. 1 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
ne
s
R
ng gu A
ep
Nama
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
A gu
do
ng
ne
si
R
Pekerjaan
Halaman 1
R ep ub
: Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel. Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
ng
: Katholik ;
Pekerjaan
: Mahasiswa ;
ub
ka
m
lik
ah
In
A gu
2.
ep
Nama
: GRACE binti WINARNO ; : Medan ;
Umur/tanggal lahir
: 24 tahun/19 Januari 1983 ;
Jenis kelamin
: Perempuan ;
Kebangsaan
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel.
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga ;
ne
: YUNIARSIH HERLIANA ;
In
A
gu
2
do
ng
Nama
s
R
ep
ub
lik
3.
ka m ah
do
: Kristen ;
In
A gu
Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
Agama
ne
si
R
Tempat lahir
ng
ah
ne si a
Tempat tinggal
do
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
Agama
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 2
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id Tempat lahir
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia : Bogor ;
Umur/tanggal lahir
: Perempuan ;
ng
Jenis kelamin
: 55 tahun/16 Oktober 1952 ;
: Indonesia ;
Tempat tinggal
: Jl. Setra Sari Indah No. 17 Rt 05 Rw 02 Kel.
do
Kebangsaan
Agama
: Katholik ;
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga ;
In
A gu
Sukarasa, Kec. Sukasari Kota Bandung ;
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
4.
Para Terdakwa berada di luar tahanan ;
do
A gu
Pertama :
ng
didakwa :
ne
yang diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Bandung karena
Bahwa mereka, terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II. Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV. Yuniarsih Herliana pada hari
In
Minggu tanggal 21 Januari 2007 sekitar pukul 16.15 WIB atau pada waktu
lik
rumah Jl. Setrasari Indah No. 17 Rt. 05/02 Kelurahan Sukarasa Kecamatan Sukasari Kota Bandung atau di tempat lainnya yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Klas IA Bandung, secara terbuka dan secara
ub
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang, yang dilakukan oleh para terdakwa dengan cara sebagai berikut :
ep
- Bermula saksi Adardam Achyar,SH.MH datang ke Jl. Setrasari Indah No. 17 Rt 05/02 Kel. Sukarasa Kec. Sukasari Kota Bandung selaku kuasa hukum dengan
maksud
mendampingi
saksi
Robby
Lasmana
dalam
rangka
s
R
menjemput anaknya yang bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut
do In
ng gu A
Hal. 3 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
ne
hak asuhnya berada pada saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
lainnya di dalam bulan Januari tahun 2007, bertempat di depan halaman sebuah
Halaman 3
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
kesepakatan antara saksi Robby Lasmana dengan isterinya (terdakwa III Grace) yang dibuat di bawah tangan tertanggal 19 Oktober 2006 ;
- Bahwa setelah pintu pagar rumah Jl. Setrasari Indah No.17 tersebut dibuka,
ng
langsung saksi Robby Lasmana masuk menghampiri terdakwa III Grace yang
berada di pintu depan rumah sedang menggendong anaknya Richelle,
A gu
do
kemudian oleh karena anaknya Richelle menangis ketika akan dibawa oleh
saksi Robby Lasmana, lalu terdakwa III Grace berusaha mengambil kembali
In
anaknya sehingga terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba dari dalam rumah keluar
terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi.Sp.OG menghampiri saksi Robby Lasmana langsung mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby
lik
ah
Lasmana sebanyak 2 kali sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras, lalu datang terdakwa IV Yuniarsih Herliana berusaha
ub
m
mengambil kembali Richelle dalam gendongan saksi Robby Lasmana diikuti tindakan terdakwa III Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau
ka
kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali ;
ep
- Bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH., yang ketika itu berada di luar halaman
ah
melihat keadaan tersebut masuk halaman rumah dengan maksud melerai dan
R
menyelamatkan saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Dr.
si
Winamo Sarkawi Sp.OG menghampiri saksi Adardam Achyar,SH., MH., dan
ng
ne
dengan keras tangan kirinya memegang krah baju dan tangan kanannya menampar dan mendorong saksi Adardam Achyar,SH.,MH., sampai keluar
halaman rumah sambil terus memukuli bagian belakang kepala atau leher
A gu
do
saksi Adardam Achyar,SH.,MH., lebih dari 5 kali dengan mengatakan "Dasar pengacara goblog, babi, tolol" dan ketika saksi Adardam Achyar, SH.,MH.,
In
berada di pinggir pintu pagar atau di belakang mobil, terdakwa III Grace
memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam Achyar, SH.,MH., masingmasing 1 kali, diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana dengan telapak tangan
lik
ka m ah
terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi Adardam Achyar,SH.,MH., sebanyak 1 kali dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar bagian leher
ub
saksi Adardam Achyar, SH.,MH. sebanyak 1 kali, demikian halnya ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH. akan naik mobil dari sebelah kiri diikuti dari belakang oleh terdakwa IV Yuniarsih Herliana dan terdakwa II Andreas
ep
Suhartoyo lalu terdakwa IV Yuniarsih kembali memukul pundak kiri belakang sebanyak 1 kali diikuti terdakwa II Andreas Suhartoyo kembali memukul
ah
R
pangkal leher belakang saksi Adardam Achyar, SH.,MH. sebanyak 2 kali,
ne
In
A
gu
4
do
ng
berhasil membawa anaknya Richelle masuk dalam mobil, hendak menutup
s
demikian halnya ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 4
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
pintu, kembali terdakwa III Grace memukuli wajah dan mencaci maki saksi
Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr. Winamo Sarkawi memukuli kepala dan
pinggang saksi Robby Lasmana berkali kali setidaknya lebih dari sekali
ng
ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu ;
- Bahwa akibat perbuatan para Terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,
A gu
do
SH.,MH. menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007
In
tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di
lik
ah
bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari
ub
m
2007 ;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
ka
KUPidana ;
ep
atau Kedua :
ah
170 (1)
R
Bahwa mereka terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas
si
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana pada waktu
ng
ne
dan tempat seperti yang telah diuraikan dalam dakwaan pertama primair, secara bersama-sama sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut melakukan perbuatan penganiayaan kepada saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan
A gu
do
saksi Robby Lasmana, perbuatan tersebut mereka terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut :
In
- Bermula saksi Adardam Achyar,SH.,MH selaku kuasa hukum bersama dengan
saksi Robby Lasmana datang ke Jl.Setrasari Indah No.17 Rt. 05/02
lik
anak saksi Robby bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut hak asuhnya berada pada saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau
ub
kesepakatan antara saksi Robby Lasmana dengan isterinya (terdakwa III Grace) yang dibuat di bawah tangan tertanggal 19 Oktober 2006 ; - Bahwa setelah pintu pagar rumah dibuka, saksi Robby Lasmana langsung masuk menghampiri terdakwa III Grace yang berada di depan pintu untuk
ep
ka m ah
Kel.Sukarasa Kec.Sukasari Kota Bandung dengan maksud untuk membawa
mengambil anaknya Richelle dalam gendongan terdakwa III Grace dan
R
karena anaknya Richelle berteriak menangis maka terjadi tarik-menarik, tiba-
ne
do
Hal. 5 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
mendorong atau menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby
s
tiba dari dalam rumah keluar terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi.Sp.OG langsung
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 5
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
Lasmana sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras diikuti tindakan terdakwa Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali ;
ng
- Bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH dengan maksud melerai dan menyelamatkan saksi Robby Lasmana, masuk ke halaman rumah bermaksud
A gu
do
menghampiri saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Dr. Winarno
Sarkawi Sp.OG mencegat saksi Adardam Achyar,SH., MH., dan dengan keras
In
tangan kirinya memegang krah baju sedangkan tangan kanannya menampar
dengan mendorong saksi Adardam Achyar,SH.,MH., sampai keluar halaman rumah sambil terus memukuli bagian belakang kepala atau leher saksi
lik
ah
Adardam Achyat,SH.,MH beberapa kali sambil mengatakan "Dasar pengacara goblog, babi, tolol" dan ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH berada di pinggir
ub
m
pintu pagar/di belakang mobil, terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam Achyar,SH.,MH., diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana
ka
dengan telapak tangan terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi
ep
Adardam Achyar,SH.,MH dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar
ah
bagian leher saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan ketika saksi Adardam
R
Achyar,SH.,MH akan naik mobil dari sebelah kiri, tiba-tiba terdakwa IV
si
Yuniarsih Herliana kembali memukul pundak kiri belakang diikuti terdakwa II
ng
ne
Andreas Suhartoyo kembali memukul pangkal leher belakang saksi Adardam Achyar,SH.,MH ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu, demikian halnya ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil mengambil
A gu
do
anaknya Richelle, hendak menutup pintu mobil, kembali terdakwa III Grace memukuli wajah dan mencaci maki saksi Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr.
In
Winarno Sarkawi memukuli kepala dan pinggang saksi Robby Lasmana berkali-kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan cara-cara lainnya
lik
- Bahwa akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,SH., MH menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan
ub
punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di
ep
ka m ah
seperti itu ;
bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan
ah
ne In
A
gu
6
do
ng
2007 ;
s
R
sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 6
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 (1) KUH Pidana jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana ; Ketiga :
ng
atau :
Bahwa mereka, terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas
A gu
do
Suhartoyo, terdakwa III Grace dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana pada hari
Minggu tanggal 21 Januari 2007 sekitar pukul 16.15 WIB atau pada waktu
In
lainnya di dalam bulan Januari tahun 2007, bertempat di halaman di depan rumah Jl. Setrasari Indah No.17 Rt.05/02 Kelurahan Sukarasa Kecamatan Sukasari Kota Bandung atau di tempat lainnya yang masih termasuk dalam
lik
ah
daerah hukum Pengadilan Negeri Klas. IA Bandung, secara bersama-sama sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut melakukan perbuatan
ub
m
dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan yang lain atau dengan suatu tindakan yang tidak menyenangkan ataupun dengan ancaman kekerasan,
ka
dengan ancaman akan melakukan sesuatu tindakan yang lain atau dengan
ep
ancaman akan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan, yang ditujukan
ah
terhadap orang itu sendiri atau terhadap pihak ketiga, memaksa orang lain untuk
R
melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu secara
ne
ng
sebagai berikut :
si
melawan hukum, perbuatan tersebut mereka terdakwa lakukan dengan cara - Bermula saksi Adardam Achyar,SH.,MH datang ke Jl. Setrasari Indah No. 17
Rt.05/02 Kel.Sukarasa Kec.Sukasari Kota Bandung mengantar saksi Robby
A gu
do
Lasmana dengan maksud untuk membawa anak saksi Robby Lasmana
bernama Richelle yang pada hari/Minggu tersebut hak asuhnya berada pada
In
saksi Robby Lasmana sesuai perjanjian atau kesepakatan antara saksi Robby
Lasmana dengan isterinya (terdakwa III Grace) yang dibuat di bawah tangan
lik
- Bahwa setelah pintu pagar dibuka, saksi Robby Lasmana langsung masuk menghampiri terdakwa III Grace yang berada di depan pintu untuk membawa
ub
anaknya Richelle dalam gendongan terdakwa III Grace, namun karena anaknya Richelle berteriak menangis maka terjadi tarik menarik, tiba-tiba dari dalam rumah keluar terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG langsung mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby Lasmana
ep
ka m ah
tertanggal 19 Oktober 2006 ;
sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras, lalu datang
R
terdakwa Yuniarsih Herliana berusaha mengambil kembali Richelle dalam
ne
do
Hal. 7 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
belakang/samping memukul kepala bagian pipi atau kuping dari saksi Robby
s
gendongan saksi Robby Lasmana diikuti tindakan terdakwa Grace dari arah
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
R ep ub
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 7
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
Lasmana, kemudian saksi Adardam Achyar,SH.,MH dengan maksud melerai
dan menyelamatkan saksi Robby Lasmana, masuk ke halaman rumah, namun terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG mencegat Adardam Achyar, SH.,MH
ng
dan dengan keras tangan kirinya memegang krah baju saksi Adardam Achyar,
SH.,MH sedangkan tangan kanannya menampar dengan mendorong saksi
A gu
do
Adardam Achyar, SH., MH., keluar dari halaman rumah sambil terus memukuli
bagian belakang kepala atau leher saksi Adardam Achyar,SH.,MH beberapa
In
kali sambil mengatakan "Dasar pengacara goblog, babi, tolol", dan ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH berada di pinggir pintu pagar/di belakang mobil, terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam
lik
ah
Achyar,SH.,MH diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana dengan telapak tangan terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi Adardam Achyar,SH.,MH
ub
m
dan terdakwa II Andreas Suhartoyo menampar bagian leher saksi Adardam Achyar,SH.,MH lalu ketika saksi Adardam Achyar,SH.,MH akan naik mobil dari
ka
sebelah kiri, tiba-tiba terdakwa IV Yuniarsih Herliana kembali memukul pundak
ep
kiri belakang diikuti terdakwa Andreas Suhartoyo kembali memukul pangkal
ah
leher belakang saksi Adardam Achyar,SH.,MH demikian halnya ketika saksi
R
Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil membawa anaknya
si
Richelle hendak menutup pintu mobil, kembali terdakwa III Grace memukuli
ng
ne
wajah dan mencaci maki saksi Robby Lasmana diikuti terdakwa Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG memukuli kepala dan pinggang saksi Robby Lasmana berkali-
kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu,
do
A gu
sehingga akibat perbuatan para Terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar, SH.,MH dan saksi Robby Lasmana merasa tidak senang ;
In
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke 1
KUHPidana ;
lik
Membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung tanggal 3 Desember 2007 sebagai berikut :
ub
1. Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG, terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana bersalah melakukan tindak pidana secara terbuka dan bersama-
ep
sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1) KUH Pidana dalam dakwaan Pertama Jaksa Penuntut Umum ;
R
ka m ah
Mahkamah Agung tersebut ;
ah
ne
In
A
gu
8
do
ng
terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan
s
2. Menjatuhkan pidana terhadap : terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG,
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 8
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terdakwa IV Yuniarsih Herliana, masing-masing dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; •
ng
3. Menyatakan barang bukti berupa :
1 (satu) buah kemeja merk Nautica motif kotak-kotak yang kencing no. 2 lepas dikembalikan kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH ;
do
1 (satu) buah handycam merk Panasonic dikembalikan kepada terdakwa
A gu
•
Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG ;
Cassete rekaman peristiwa/kejadian penganiayaan an. Adardam dan 1
In
•
(satu) album foto berisikan peristiwa foto-foto kejadian pada tanggal 21
lik
ah
Januari 2007 yang diserahkan pelapor Adardam Achyar, SH., MH tetap terlampir dalam berkas perkara ;
4. Menetapkan supaya para terpidana dibebani biaya perkara masing-
ub
m
masing sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) ;
Membaca putusan Pengadilan Negeri Klas IA Bandung Nomor 845/Pid/
ep
ka
B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
ah
1. Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG., terdakwa II
si
R
Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno, dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan
ne
ng
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang ;
A gu
do
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dan terdakwa III oleh karena itu
dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan, dan kepada terdakwa II dan terdakwa IV dengan pidana penjara masing-
In
masing selama 4 (empat) bulan ;
lik
hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum masa percobaan selama I (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa I dan terdakwa III dan masa percobaan selama 8 (delapan)
ub
bulan berakhir bagi terdakwa II dan terdakwa IV, para terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan suatu tindak pidana ; 4. Menetapkan barang bukti berupa :
ep
ah
ka m ah
3. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian
a. 1 (satu) buah kemeja merk Nautica motif kotak-kotak, dikembalikan kepada saksi Adardam Achyar,SH.,MH ;
s
R
b. 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
ne
do
Hal. 9 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
M
Panasonic, dikembalikan kepada saksi Anthony Sugiharto ;
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 9
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
5. Membebankan biaya perkara kepada para terdakwa masing-masing sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ;
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 127/ •
ng
PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
Menerima permohonan banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum
•
do
A gu
dan para terdakwa (kuasanya) tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari
In
2008
•
MENGADILI SENDIRI
Menyatakan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
lik
ah
Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.yang dimohonkan banding tersebut ;
m
perbuatan yang didakwakan ;
ka
•
ub
Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
•
ep
Herliana dari semua dakwaan (vrijspraak) ;
Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi. Sp.OG. dan terdakwa III
R
ah
Grace
si
binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi
ng
ne
perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer) ; •
Melepaskan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi. Sp.OG. dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
A gu
do
rechtsvervolging). ;
•
Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
In
Memerintahkan agar barang bukti berupa :
•
1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar, SH.,MH ;
1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
ub
•
lik
•
Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto ; •
Membebankan biaya perkara kepada Negara ;
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor 37/Akta.Pid/
ep
ka m ah
harkat serta martabat mereka ;
2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Klas IA
R
Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli 2008 Jaksa/Penuntut
s
Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan permohonan kasasi
In
A
gu
10
do
ng
ne
terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut ;
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 10
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Memperhatikan memori kasasi tanggal 18 Juli 2008 dari Jaksa/Penuntut
Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Klas IA Bandung pada tanggal 18 Juli 2008 ;
ng
Membaca surat-surat yang bersangkutan ; Menimbang,
bahwa
putusan
Pengadilan
Tinggi
tersebut
telah
A gu
do
diberitahukan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 27 Juni 2008 dan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Juli
In
2008 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Klas IA Bandung pada tanggal 18 Juli 2008, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu
lik
ah
dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
ub
m
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut :
ka
Bahwa putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam
ep
mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana yang
ah
dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah membebaskan
R
terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari segala
si
dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi,Sp.OG
ng
ne
dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) adalah PUTUSAN BEBAS YANG TIDAK MURNI sifatnya karena Judex Facti dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut semata-
A gu
do
mata didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya
In
unsur-unsur perbuatan yang dakwakan yaitu :
a. Bahwa Judex Faxti Vide / Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya
lik
Yuniarsih Herliana bukan karena tidak terbuktinya unsur kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP namun karena Judex Facti telah MENGABAIKAN
ub
alat bukti keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti yang sah dan sematamata hanya mempertimbangkan keterangan para terdakwa, sehingga Judex Facti/PengadiIan Tinggi Bandung telah salah dalam penerapan hukum pembuktian vide Pasal 183 jo Pasal 184 jo Pasal 185 KUHAP ;
ep
ah
ka m ah
telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV
- Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi I Adardam Achyar,SH., MH,
R
saksi 2 Robby Lasmana, saksi 3 Burhanudin als. Ahmad bin M. Khoerudin
ne
do
Hal. 11 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
M
Repertum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim
s
di bawah sumpah dihubungkan dengan alat bukti Surat berupa Visum Et
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 11
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
Pengadilan Negeri Bandung dalam putusannya di mana alat bukti
dimaksud telah saling bersesuaian dengan alat bukti lainnya, sehingga telah memunuhi syarat mininal alat bukti dalam membuktikan tentang
ng
kesalahan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana sebagai pelaku yang bersama-sama melakukan tindak pidana
A gu
do
sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan pertama vide putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/
In
2007/PN.Bdg ;
- Bahwa demikian halnya keterangan saksi Jason Sastra Jaya yang
merupakan saksi fakta sebagai alat bukti sah yang terungkap di
lik
ah
persidangan, yang walaupun tidak disumpah karena usia masih di bawah umur vide Pasal 171 (a) KUHAP, namun karena keterangan saksi Jason
ub
m
Sastra Jaya tersebut saling bersesuaian dengan keterangan saksi lainnya yang di bawah sumpah, maka sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP
ka
keterangannya tersebut dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah
ep
yang Iainnya ;
ah
- Bahwa walaupun para terdakwa khususnya terdakwa II Andreas Suhartoyo
R
dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana di persidangan telah tidak mengakui
si
perbuatannya tersebut, selain keterangan terdakwa tersebut hanya dapat
ng
ne
dipergunakan terhadap dirinya sendiri vide Pasal 189 ayat (3) KUHAP, sehingga Judex Facti yaitu Pengadilan Tinggi Bandung tidak dapat
mengesampingkan keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti sah yang
A gu
do
terungkap di persidangan tersebut hanya berlandaskan kepada keterangan para terdakwa tersebut ;
In
- Bahwa kekeliruan Judex Facti semakin jelas setelah salah menafsirkan
fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dalam peristiwa tersebut dianggap melakukan pengambilan
lik
ka m ah
gambar yang kemudian menjadi barang bukti dalam perkara ini, karena yang sebenarnya mengambil gambar dalam peristiwa tersebut adalah
ub
saudara kembar dari terdakwa II Andreas Suhartoyo, yaitu Antonhy Sugiharto untuk kepentingan perkara perdata ;
- Bahwa apabila Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tidak salah atau
ep
keliru mempertimbangkan alat bukti sah tersebut (dan “yang seharusnya dipertimbangkan oleh Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung”) maka
ah
R
Judex Facti dalam putusannya tidak akan membebaskan terdakwa II
In
A
gu
12
do
ng
ne
pertama Jaksa/Penuntut Umum ;
s
Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari surat dakwaan
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 12
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia b. Bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya yang telah melepaskan terdakwa I Dr.Winarno Sarkawi,Sp.OG dan terdakwa
III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
ng
rechtsvervolging) karena perbuatannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP adalah telah salah dalam penerapan
A gu
do
hukumnya, yaitu ;
Bahwa untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces
In
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut
dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian
lik
ah
rupa yang disebabkan oleh SERANGAN tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah TIDAK ADA serangan bersifat
ub
m
melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda, karena :
ka
- Para terdakwa mengetahui bahwa kedatangan saksi Robby Lasmana dan
ep
saksi Adardam Achyar, SH., MH adalah BUKAN UNTUK MELAKUKAN
ah
SERANGAN, namun dalam kepentingan saksi Robby Lasmana (sebagai
R
seorang ayah) untuk menjemput anak kandungnya bernama Richelle
si
sesuai surat pernyataan tertanggal 19 Oktober 2006 tentang pengasuhan
ng
ne
anak, di mana pada waktu itu adalah bagian saksi Robby untuk mengasuh Richelle, dan kedatangan saksi Adardam Achyar,SH.,MH dan saksi Robby
Lasmana pada waktu itu, sebelumnya TELAH DIKONFIRMASI (melalui
A gu
do
sms kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH) kepada terdakwa III Grace binti Winarno dan TELAH DISETUJUI oleh terdakwa III Grace binti
In
Winarno,Sp.OG untuk menjemput Richelle (Richelle yang selalu menangis
bila dibawa oleh saksi Robby Lasmana) sehingga tidak mungkin dan tidak
lik
merupakan ayah kandungnya Richelle tersebut akan mengancam jiwa anaknya Richelle maupun harta benda para terdakwa ;
ub
- Bahwa para terdakwa mengetahui kedatangan saksi Adardam Achyar, SH., MH selaku Advokad dan kuasa hukum saksi Robby Lasmana dalam menjalankan tugas mendampingi klien untuk menjemput anak saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar,SH.,MH TIDAK MEMPUNYAI
ep
ah
ka m ah
masuk akal bahwa apabila kedatangan saksi Robby Lasmana yang
HUBUNGAN EMOSIONAL dalam peristiwa hukum yang menyangkut
R
antara saksi Robby Lasmana dengan pihak para terdakwa, sehingga oleh
ne
do
Hal. 13 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
M
rumah adalah semata-mata untuk melerai dan menengahi keributan antara
s
karenanya maksud saksi Adardam Achyar,SH.,MH masuk ke halaman
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 13
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
pihak para terdakwa dengan saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam
Achyar, SH.,MH hal tersebut terlihat dalam gambar rekaman bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH tidak melakukan perbuatan perlawanan atas
ng
tindakan dari para terdakwa setelah saksi Robby Lasmana telah berhasil
membawa Richelle, namun hanya bersikap atau berposisi berjaga-jaga
A gu
do
menangkis dari serangan para terdakwa di belakang mobil di luar halaman rumah para terdakwa, dan tidak masuk akal apabila kedatangan saksi
In
Adardam Achyar,SH.,MH masuk ke halaman rumah tersebut dalam merupakan perbuatan melawan hukum karena pintu pagar sudah dalam keadaan terbuka ; Robby
Lasmana
juga
dilakukan
lik
ah
- Bahwa perbuatan pemukulan terdakwa III Grace binti Winarno kepada saksi BUKAN
TERJADI
SEKETIKA
ub
m
TERJADINYA PERISTIWA dimana TERDAKWA III BERUSAHA MEREBUT KEMBALI ANAK/RICHELLE dari gendongan saksi Robby Lasmana, namun
ka
terdakwa III Grace melakukan pemukulan ("BUKAN MENEPIS") ketika
ah
menuju
ke
ep
saksi Robby Lasmana sedang berjalan meninggalkan halaman rumah mobil
dan
bersama-sama
terdakwa
I
Dr.
Winarno
R
Sarkawi,Sp.OG melakukan pemukulan kembali kepada saksi Robby
si
Lasmana adalah setelah saksi Robby Lasmana berada dalam mobil dalam
ne
ng
keadaan sedang menggendong Richelle, dan adalah tidak masuk akal apabila saksi Robby Lasmana sebagai ayah kandung Richelle bermaksud untuk menyakiti anak kandungnya sendiri yang selama
ini
oleh saksi
hak asuh terhadap anaknya Richelle tersebut
do
A gu
Robby Lasmana
dipertahankan sampai dalam sengketa perkara perdata di pengadilan ;
In
- Bahwa selain peristiwa sengketa perceraian (masih dalam proses di persidangan) yang menyangkut antara terdakwa III Grace binti Winarno, Sp.OG dengan saksi Robby Lasmana, namun ada latar belakang perkara
lik
ka m ah
pidana lainnya yang saling melaporkan antara kedua belah pihak yang dianggap telah merugikan pihak para terdakwa, yang mana telah pula
ub
memicu emosional para terdakwa kepada saksi Robby Lasmana dan kepada saksi Adardam Achyar, SH., MH ;
- Bahwa secara kasat mata setelah melihat rekaman dan foto-foto kejadian
ep
tersebut, jelas terlihat bahwa tindakan para terdakwa telah menggunakan tenaga yang keras secara bersama-sama bukan hanya memegang rambut
ah
R
dan menggelitik perut saksi Robby Lasmana sebagaimana dikatakan oleh
ne In
do
ng
A
gu
14
s
terdakwa Dr.Winarno Sarkawi, Sp.OG atau hanya menepis kepala atau pipi
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 14
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
saksi Robby Lasmana sebagaimana yang dikatakan oleh terdakwa Grace binti Winarno dalam persidangan ;
- Bahwa sebagai referensi, dengan ini disampaikan beberapa putusan HR •
ng
yang berkaitan dengan Pasal 49 KUHP, sebagai berikut :
H.R. tanggal 8 Pebruari 1932 yang menyatakan "suatu perasaan takut
A gu
do
bahwa dirinya akan diserang oleh orang Iain yang bersikap mengancam, tidak menyebabkan perbuatannya menyerang orang itu
•
In
menjadi sah menurut hukum'' ;
H.R. tanggal 29 Desember 1913 yang menyatakan "membalas
ah
serangan dengan serangan bukanlah tindakan yang bersifat membela
•
lik
diri" ;
H.R. tanggal 4 Mei 1936 yang menyatakan "dengan tidak adanya
ub
m
serangan secara melawan hak ketika itu juga, tidak dibenarkan tentang adanya suatu pembelaan seperlunya yang diizinkan" ;
ep
ka
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
ah
Bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon
si
R
Kasasi (Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum ;
ng
ne
Menimbang, bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor : 127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April 2008 yang membatalkan
do
A gu
putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg tanggal 3 Januari 2008 harus diperbaiki yaitu mengenai pidana terhadap terdakwa I (Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG) dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan
In
•
•
lik
pendapat Mahkamah Agung sudah tepat dan benar ;
Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai
ub
pertimbangan oleh Mahkamah Agung ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan
ep
ka m ah
Negeri) terhadap terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG menurut
memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ;
R
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Dr.
s
Winarno Sarkawi, Sp.OG dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya
ne
do
Hal. 15 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
In
A
gu
ng
perkara dalam tingkat kasasi ini ;
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 15
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
Memperhatikan Undang-Undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
ng
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
do
A gu
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut
In
Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung tersebut ;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No. 127/
PID/2008/PT.Bdg, tanggal 22 April 2008 yang telah membatalkan putusan
lik
ah
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg tanggal 3 Januari 2008 sehingga berbunyi sebagai berikut :
Menyatakan terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG., telah terbukti
ub
m
•
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan
ka
terang-terangan dan
ah
•
tenaga bersama menggunakan kekekerasan
ep
terhadap orang ;
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I Dr. Winarno Sarkawi, Sp.OG.,
si
•
R
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 bulan ; Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian
ng
ne
hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa
sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
A gu
do
berakhir bagi terdakwa I ; •
Menyatakan II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
Membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
ka m ah
Herliana dari semua dakwaan (vrijspraak) ; •
lik
•
In
yang didakwakan ;
Menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan pembelaan darurat (noodweer) ;
Melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum
ep
•
ub
perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan
(ontslag van alle rechtsvervolging) ; •
ah
Memulihkan hak para terdakwa II Andreas Suhartoyo, III Grace binti
R
Winarno, dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dalam kemampuan,
ne
Memerintahkan agar barang bukti berupa :
In
A
gu
16
do
ng
•
s
kedudukan dan harkat serta martabatnya ;
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 16
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia - 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar, SH.,MH ;
- 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
ng
Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto ;
Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa I tersebut untuk membayar
A gu
do
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus Rupiah) ;
In
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis tanggal 04 Februari 2010 oleh Prof. Dr. H.MUCHSIN, S.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
lik
ah
Ketua Majelis, Prof. Dr. HM. HAKIM NYAK PHA, S.H.,DEA., dan Prof. Dr. VALERINE J.L. KRIEKHOFF, S.H.,M.A., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota,
ub
m
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh RITA ELSY,
ka
S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi : Jaksa/
ep
Penuntut Umum dan para terdakwa.
ah
Hakim-Hakim Anggota :
K etua,
si
R
ttd/.Prof.Dr.HM.HAKIM NYAK PHA,S.H.,DEA.,
ne do
Panitera Pengganti ,
lik
In
ttd/. RITA ELSY, S.H., M.H.
Oleh karena Ketua Majelis/Pembaca III, Prof. Dr. H. Muchsin, S.H., telah meninggal dunia pada hari Minggu tanggal 4 September 2011, maka putusan
ub
ini ditandatangani oleh Hakim-Hakim Anggota/Pembaca I dan II, Prof. Dr. HM. HAKIM NYAK PHA, S.H.,DEA., dan Prof.Dr. VALERINE J.L. KRIEKHOFF,
ep
S.H.,M.A.
Jakarta, ...... September 2011 Ketua Muda Perdata,
s do
Hal. 17 dari 18 hal. Put. No. 416 K/Pid/2009
ne
ATJA SONDJAJA, S.H.
In
A
gu
ng
M
R
ah
ka m ah
A gu
ng
ttd/.Prof.Dr. VALERINE J.L. KRIEKHOFF, S.H.,M.A.
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 17
R ep ub
Tim F
do In
A gu
UNTUK SALINAN MAHKAMAH AGUNG RI. a.n. Panitera Panitera Muda Pidana,
ep
ub
lik
ka m ah
In
A gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
MACMUD RACHIMI, S.H., M.H. NIP. 040 018 310
In
A
gu
18
do
ng
ne
s
R
ah
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
M
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
ng
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 18