BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Bantuan Hukum 1. Bantuan Hukum Zaman Penjajah Belanda (1848-1942) Istilah bantuan hukum tidak dikenal dalam sisten hukum tradisionalIndonesia, ini baru dikenal sejak masuknya/diberlakukannya sistem hukumbarat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 di Negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan azas konkordasi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia yang kedudukannya sebagai Negara jajahan Belanda, antara lain peraturan tentangsusunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan (Reglement op deRechterlijke Organisatie en bet belied der Justice) yang lazim disingkat dengan R. O.1 Bagi masyarakat Indonesia pada saat itu istilah advokat masih menjadihal yang asing, tetapi apabila kita menilik pada istilah gotongroyong yangdilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu kala, hal ini dapat diartikanpemberian bantuan hukum dalam konteks informal, sebagai contoh bila salahseorang warga mengalami persengketaan dengan warga yang lain danmenimbulkan ketidak harmonisan suasana, maka dengan sikap saling tolong-menolong itu dimanfaatkan dengan saling mendamaikan. Mengingat sistem kepercayaan masyarakat pada saat itu
1
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 23.
57
58
masih bersifat vertikal, maka permasalahan yang ada diserahkan kepada tokoh masyarakat yang dianggapsebagai pemimpin/kepala suku/adat, dan pemuka
Agama
yang
dalampenyelesaiannya
berdasarkan
sudut
pandangnya masing-masing, hal ini dapatmenimbulkan adanya pembelaan pada salah satu pihak. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa istilah bantuan hukumdalam arti formal baru mulai di Indonesia pada tahun 1848, hal itu pun baruterbatas dikalangan orang-orang Eropa saja dalam peradilan Raad van Justice. Namun secara informal istilah tersebut telah ada sejak zaman dahulu denganadanya tradisi gotong-royong. Sementara itu advokat pertama Bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Mertokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.2 Dengan sistem kolonial yang diterapkan Belanda, di Indonesia terdapat2 sistem peradilan yang terpisah satu sama lain, yaitu untuk orangorang Belanda (Eropa pada umumnya) terdapat peradilan tingkat pertama (Residentiegerecht), tingkat banding (Raad van Justice), dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof),3untuk masyarakat pribumi terdapat peradilan (Districtsgerecht, Regentschaps-gerecht dan Landraad). Kedua pengadilan yang terpisah itu tentunya memiliki sistem peradilan yang berbeda, hukum Acara yang mengatur masing-masing sistem peradilanpun berbeda pula baik hukum acara untuk acara pidana 2
Ibid, hlm. 24. Frans Hendra Wiranata, BAntuan Hukum (Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas KAsihan), PT Elex Media Computindo: Jakarta, 2000, hlm. 2 3
59
maupun perdata. Untuk orang Eropa atau peradilan Eropa berlaku Reglement op derechtsvordering atau disingkat Rv. Untuk acara perdatanya dan Reglement opde strafvordering atau disingkat Sv. Untuk acara pidananya. Bagi orang Indonesia, berlaku Herziene Indonesisch Reglement atau disingkat HIR yang digunakan untuk acara pidana dan perdata sekaligus. Perbedaan tersebut, ternyata berakibat terhadap tempat dan peranbantuan hukum yang berimbas pada profesi Advokat di Indonesia. Bagi orang Eropa dengan pertimbangan mereka telah mengenal istilah bantuan hukum lebih dulu dan berasal dari negara yang lebih maju diatur tentang kewajiban legal representation by a lawyer baik dalam perkara pidana maupun perdata. Dengan keadaan yang demikian maka tidak mengherankan jika profesi advokat untuk beracara di pengadilan di kalangan bangsa Belanda dapat tumbuh dan berkembang maju. Orang-orang Indonesia yang lekat dengan istilah tradisional, danmasyarakat yang berpendidikan rendah, umumnya bangsa Indonesia dianggap masih sederhana, sehingga hukum acara yang diberlakukan juga sangat sederhana sekali dan sangat kurang dalam mengatur ketentuanketentuan yangmenjmin kebutuhan bantuan hukum, sebagai bukti dalam HIR tidak dikenal kewajiban legal representation by a lawyer dalam beracara di pengadilan, namun hakim diberikannya untuk memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang berperkara, sebagai contoh pelaksanaan kewenangan hakim mendamaikan para pihak dilakukan di
60
luar persidangan. Dalam perkara pidana orang Indonesia, terdakwa dibolehkan membela dirinya sendiri atau menunjuk keluarganya atau siapa saja dan tidak perlu seorang lawyer untuk membantunya, dan itupun baru diberikan ketika di muka persidangan. Dengan keadaan yang demikian, maka tidak ada kebutuhan bantuan hukum, sehingga keberadaan advokat bagi bangsa Indonesia tidak berkembang. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa sampai tahun 1940 dengan jumlah penduduk 70 juta jiwa hanya ada 274 traid lawyer (lawgraduates) bangsa Indonesia dan hanya sekitar 50 yang berprofesi sebagai advokat (lawyer).4 Keadaan ini bertolak belakang dengan yang terjadi pada perkembangan profesi advokat dikalangan bangsa Belanda yang maju. 2. Bantuan Hukum setelah Kemerdekaan Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia perkembangan bantuan hukum masih belum beranjak dari kondisinya seperti sebelum kemerdekaan,
sampai
kemudian
bangsa
Indonesia
mendapatkan
kedaulatan pada tahun 1950 saat Soekarno mengambil alih kekuasaan yang menggantikan konstitusi lama. Soekarno selaku presiden menghapuskan pluralisme yang ada pada sistem peradilan peninggalan bangsa penjajah, dengan demikian hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan memilih sistem
4
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hlm. 27.
61
peradilan Landraad yang lebih sederhana, untuk hukum acaranya dipilih HIR. Dengan memilih sistem peradilan Landraad, dan hukum acara HIR, maka akan berakibat terhadap kondisi perkembangan bantuan hukum yang ada mengingat keduanya masih sangat sederhana dan tidak menjamin adanya bantuan hukum bagi masyarakat Indonesia, karena sedikit sekali ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum. Dapat dikatakan pemilihan tersebut merupakan kesalahan karena mengapa harus memilih yang lebih sederhana daripada yang lebih maju, namun pada periode 1950-1959 diakui lebih baik daripada periode-periode berikutnya di dalam hal bantuan hukum. Hal ini disebabkan terutama pada kenyataan bahwa peradilan masih tinggi integritasnya. Para hakim, jaksa, dan advokat umumnya masih orang-orang sama , dan tidak banyak advokat muda baru. Pada periode 1959-1965 atau sering disebut sebagai Orde Lama periode Soekarno, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi pada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan pihak kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang yang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum, juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang-orang lebih suka
62
meminta pertolongan kepada jaksa, hakim, atau jika ada kepada orang yang lebih berkuasa. Keadaan seperti itu mengakibatkan banyak advokat yang meninggalkan profesinya. Keberadaan pihak eksekutif yang turut campur tangan sampai lahirlah Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memuat ketentuan yang bertentangan dengan asas-asas negara hukum atau Rule of law, yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan.5Dengan keadaan yang demikian dapat dikatakan pada masa itu peran advokat lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali, meskipun tidak ada perubahan dalam hukum acara yang berlaku. Periode 1966-1998 yang sering disebut sebagai Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto mengalami perkembangan tatanan hukum, dengan dicabutnya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman lama dan diganti Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru No. 14 tahun 1970. Dalam Undang-undang yang baru telah dicantumkan secara tegas tentang jaminan hak mendapatkan bantuan hukum dalam pasal-pasal antara lain disebutkan dalam pasal 35, bahwa “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”, bunyi pasal ini juga dijadikan sebagai asas dalam beracara di pengadilan, sebagai wujud persamaan dan keadilan dihadapan hukum. Keberadaan bantuan hukum dan kedudukannya sebagai salah satu pembela keadilan diharapkan mampu melindungi masyarakat yang
5
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hlm. 29.
63
mengalami masalah hukum, sebagai contoh konkrit yaitu mencegah perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi terhadap tersangka/terdakwa kasus pidana, dan memperjuangkan hak-hak klien yang merasakan ketidakadilan dalam perkara-perkara perdata. Namun tidak demikian kondisinya pada masa orde baru, karena pada masa itu banyak sekali kasus-kasus yang luput dari keikutsertaan advokat sebagai pembela yang disebabkan
oleh
otoritas
pemerintah
dalam
mempertahankan
kekuasaannya. Suasana
institusi
peradilan
yang
tidak
teratur
dalam
pelaksanaannya menciptakan proses de profesionalisasi dengan beralihnya konsentrasi aktivitas advokat dari institusi yudisial bergerak ke bidangbidang lain. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian bangsa yang banyak memberikan alternatif menjauhkan orientasi profesi dari isu-isu kepentingan publik. Intervensi kekuasaan dengan berbagai kepentingannya yang terus memecah belah juga memberi kontribusi tersendiri bagi lemahnya peran advokat secara eksternal maupun internal, serta menghalangi pembentukan komunitas pada kesamaan visi.6 Dalam
kondisi
yang
memprihatinkan
tersebut
maka
dikembangkanlah pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang diprakarsai oleh masyarakat, organisasi profesi hukum dan negara, yang bertujuan memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan menegakkan 6
BinziadKadafi, dkk.,Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijaksanaan Indenesia (PSHK), cet. Ke-3, 2002, hlm. 53.
64
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Tetapi keberadaannya bagi pemerintah lambat laun kurang berkenan dan dianggap menghambat pemerintahan dengan terungkapnya kasus-kasus kecurangan yang dilakukan oleh oknum pemerintah dan penyalahgunaan kekuasaan yang berimbas pada penegakkan demokrasi, yang semuanya merupakan hasil kerja LBH. Pada masa Orde
Baru
ini,
keberadaan
advokat
sangat
memprihatinkan, terutama organisasi-organisasi advokat, atas bentuk penyimpangan yang dilakukan advokat. Hingga tahun 1996 para advokat yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) berusaha untuk mengangkat citra advokat mulai tumbuh dengan lahirnya Kode Etik Advokat yang mengatur tentang tugas, fungsi dan peran advokat, walaupun ini terbatas bagi ketiga organisasi advokat tersebut.7 3. Bantuan Hukum setelah UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Sebelum diundangkannya UU No. 18 Tahun2003 tentang profesi advokat,
banyak
pakar,
advokat,
dan
pengamat
hukum
yang
mengungkapkankeprihatinan mengingat belum adanya hukum yang mengatur pekerjaanadvokat di Indonesia, padahal profesi advokat merupakan salah satu unsurpenegak hukum (law enforcement), namun
7
Muhammad Saifullah,Op. Cit., hlm. 36.
65
belum pernah diatur dengan suatuundang-undang , sementara kedudukan polisi, jaksa, dan hakim telah diaturdengan undang-undang.8 Dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Advokat ini merupakan wujud pengakuan atas penegakan reformasi hukum yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia atas persamaan di hadapan hukum sebagai pemenuhankebutuhan bantuan hukum dan pemenuhan janji pemerintah terhadap nasibpara advokat yang selama ini berjuang tanpa ada aturan-aturan dan pengakuansecara yuridis. Keberadaan bantuan hukum dengan adanya UU tentang profesi advokat mendapatkan tempat yang terhormat, advokat sebagai pemberi jasa bantuanhukum statusnya menjadi jelas sebagai mana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1)UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat sebagai penegakhukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturanperundang-undangan”.9 Sebagai profesi yang terhormat (officium nobile), advokat harusmengabdi kepada bangsa dan negara melalui kegiatan pemberian bantuan danpelayanan hukum demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan dankebenaran berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula dalam menjalankan profesinya advokat dituntut menunjukkan watak jujur, berani, perwira, bertanggung jawab, dan
8
Muhibbin, dkk.,Relasi Hukum dan Politik (Kajian Historis Tentang Pergulatan Politik Seputar Masuknya Sarjana Syari’ah dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Profesi Advokat), Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2004, hlm. 33 9 UU RI No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke. 2, 2005, hlm. 7.
66
objektif ilmiah demi tegaknyahukum dan keadilan, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.10 B. Profil LBH Jateng Bahwa sesungguhnya sebagian masyarakat kita adalah masyarakat yang tingkat pendidikan dan sosial ekonominya relatif rendah, tidak mampu dan buta hukum, sehingga sebagian besar diantara mereka tidak mengetahui dan tidak menyadari hak-haknya sebagai subyek hukum juga tidak mempunyai keberanian untuk memperjuangkan dan membela hak-haknya serta tidak tahu kemana mereka harus mengadu apabila terjadi pelanggaranpelanggaran terhadap hak-hak hukumnya. Menyadari bahwa kondisi obyektif dari masyarakat kita yang sedemikian itu, maka penegakan dan pembudayaan hukum dalam setiap aspek kehidupan masyarakat mutlak diperlukan karena diharapkan pada akhirnya akan ikut melahirkan adanya keadilan dan ketertiban. Hukum sebagai alat penegak keadilan dan ketertiban perlu senantiasa ditingkatkan, sebab tanpa keadilan dan ketertiban serta kepastian hukum, kehidupan masyarakat yang teratur tidak mungkin terlaksana. Oleh karena itu, keadilan dan ketertiban hukum merupakan prasyarat bagi segala usaha dan kegiatan masyarakat dalam rangka menyadari dan menghayati peranan hukum yang harus dipelihara dan diberdayakan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
10
Taufik CH., (Sarjana Syari’ah dan Profesi Advokat: Sejarah Perjuangan), dalam Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat Implikasi dan Tantangan bagi Fakultas Syari’ah/ M. Mudzharet. al., Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005, hlm. 159-160.
67
Dalam usaha pemeliharaan dan pembudayaan hukum itulah perlu dihidup kembangkan tertib hukum dalam masyarakat agar meresap dihati setiap insan Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka untuk menghidup kembangkan hukum dan tertib hukum dalam masyarakat tersebut maka dibentuklah Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah. Pada proses pendirian atau pembentukan lembaga ini, berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Utama LBH Jateng Bapak Drs. HM. Faishal SH. MH.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jawa Tengah didirikan di
Semarang pada tanggal 1 Desember 1991 oleh beberapa aktifis LSM, Lawyer, Wartawan dan Dosen.11 Pada saat itu, LBH Jawa Tengah hanya sebagai suatu LSM yang menjadi forum diskusi, konsultasi, mediasi & advokasi yang sudah dirintis oleh para Pemrakarsa/Pendirinya sejak pertengahan tahun 1983. Secara formal LBH Jawa Tengah didirikan di Semarang dalam bentuk Yayasan yang bernama : YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAWA TENGAH, berkedudukan dan berkantor Pusat di Semarang yang anggaran dasarnya untuk pertama kalinya dibuat dihadapan Notaris Syafran Sarjana Hukum pada tanggal 19 Januari 1999 dengan Akta Nomor : 6, dan telah dirubah untuk pertama kalinya dihadapan Notaris Muhammad Hafidh Sarjana Hukum pada tanggal 29 April 2000 dengan Akta Nomor : 53, serta telah dirubah untuk terakhir kalinya dihadapan Notaris Niken Puspitarini Sarjana Hukum pada tanggal 29 Desember 2003 dengan Akta Nomor : 1.
11
M. Faishal, Wawancara, 13
68
LBH JAWA TENGAH telah terdaftar dalam Register Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dibawah Nomor : 40 / LBH / 1999 tanggal 29 Mei 1999 serta untuk terakhir kalinya telah mendapatkan Pengesahan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : C-HT. 01.09.120
tanggal 11
Nopember 2004. LBH JAWA TENGAH sebagai Badan Hukum Publik pada saat ini berkedudukan di : Jl. Kanguru Raya No. 11 Semarang, 50161 ; dan telah memiliki Kantor-Kantor Cabang di Kota / Kabupaten se Jawa Tengah serta beberapa Pos Bantuan Hukum ( POSBAKUM ) di Kecamatan-Kecamatan Kota / Kabupaten se Jawa Tengah. Adapun perkara-perkara perdata yang berhasil didamaikan oleh para advokat Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah selain perkara pembatalan pernikahan, antara lain: perkara pertanahan, gugatan PMH, gugatan wanprestasi, gugatan ahli waris, penetapan dan pembagian waris. Namun, disini penulis hanya memfokuskan kepada perkara pembatalan pernikahan yang berhasil didamaikan oleh mediator di LBH Jateng. Kasus-kasus yang terjadi dalam pembatalan perkawinan tidak hanya dalam satu hal permasalahan yang terjadi, akan tetapi dalam kasus batalnya suatu pernikahan dapat disebabkan adanya pemalsuan identitas, qobla-dhuhul, dan memalsukan wali nikah. Disini penulis mengambil Perkara dalam kasus pembatalan perkawinan di LBH Jateng tentang kasus Pemalsuan Identitas. Duduk perkara kasus pembatalan perkawinan tersebut terjadi di PA Kudus tahun 2009. Yang
69
perkaranya sebagai berikut: P adalah seorang Pria pekerja yang bekerja di rumah T, T adalah seorang wanita pengusaha di Kota Kudus. Lambat laun karena melihat ketampanan P, T jatuh cinta kepada P dan kemudian mereka pun menikah dan belum dikaruniai seorang anak. Permasalahan timbul ketika P dan T melakukan hubungan suami istri, dan P bercerita kepada kakaknya, kemudian P mempertanyakannya kepada T. Akhirnya P mengajukan pembatalan perkawinan karena merasa ditipu dengan keadaan T yang ternyata adalah seorang janda beranak satu. Setelah mengajukan pembatalan di Pengadilan Agama akhirnya perbuatan T terbongkar juga yang ternyata wali dari pernikahan T yang seharusnya adalah wali mujbir atau ayah kandung akan tetapi walinya adalah seorang supir pribadinya yang dijadikan ayah kandung. Jadi menurut hukum Islam perkawinan tersebut Fasakh atau rusak atau batal. Jadi secara yuridis, para advokat sudah melakukan berbagai macam upaya damai, salah satunya yang sering digunakan olehnya adalah mediasi. Sebab seringkali berhasil ketika menggunakan metode tersebut. Melihat implementasi itu, maka advokat sudah menjalankan hukum-hukum positif, terutama undang-undang keadvokatan dan kode etik hubungannya dengan klien.12 1. Visi, Misi, dan Tujuan Bantuan Hukum a. Visi Memperjuangkan Keadilan, Ketertiban, pelaksanaan HAM dalam arti seluas-luasnya dengan selalu melaksanakan fungsi kontrol 12
Wawancara dengan Drs. HM. Faishal, SH., MH. (Direktur LBH Jateng) pada tanggal 13 September 2013 yang bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah, Jl. Kanguru Raya No. 11 Semarang
70
sosial serta memperkuat eksistensi & posisi Kelembagaan, sebagai salah satu komponen infra struktur sistem politik. b. Misi 1) Misi dan Fungsi Lembaga a) Sebagai Lembaga Advokasi (lembaga pembelaan bagi masyarakat luas). b) Sebagai Lembaga Konsultasi (masalah hukum dalam arti seluas-luasnya). c) Sebagai Lembaga Investigasi (untuk melakukan penyelidikan secara mendalam). d) Sebagai Lembaga Arbitrase (berfungsi mendamaikan pihak yang bersengketa/Mediasi). e) Sebagai Lembaga Somasi (berfungsi untuk melakukan perlawanan hukum). f) Sebagai Lembaga Koreksi (untuk memberikan pernyataan koreksi kepada pihak lain). g) Sebagai Lembaga Proteksi (melindungi pencari keadilan yang membutuhkan perlindungan hukum). h) Sebagai Lembaga Oposisi (untuk melawan setiap kebijakan publik
yang
nyata-nyata
menyimpang
HAM
maupun
kepentingan masyarakat). i) Sebagai
Lembaga
Edukasi
(sarana
penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan profesi dan ke-ilmu-an).
71
j) Sebagai Lembaga Sinergi (sebagai lembaga studi dan pengkajian masalah : hukum politik, HAM, LSM, dll). k) Sebagai Lembaga Komunikasi (sarana dan media khususnya untuk meningkatkan intensitas komunikasi diantara penegak hukum / catur wangsa : Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Advokasi). l) Sebagai
Lembaga
Penyuluhan
(untuk
meningkatkan
pemerataan informasi hukum). m) Sebagai Lembaga Sosial (lembaga yang lebih mengutamakan bantuan). 2) Misi Sosial dan Ekonomi a) Lembaga ini dapat membantu peningkatan pelayanan dengan adanya jasa pelayanan / pengurusan surat dan dokumen, seperti sertifikat tanah, paspor, akta kelahiran, IMB, ijin lokasi, dll. b) Sebagai lembaga yang dapat membantu menyelesaikan kesulitan penagihan terhadap debitur bermasalah bagi : Bank, BPR, lembaga keuangan non – bank ( leasing, multi finance, asuransi ), Koperasi, dll. 3) Misi Pengembangan Sumberdaya Manusia Lembaga yang membuka kesempatan kerja ( secara luas ) bagi sarjana-sarjana hukum yang ingin mendalami profesi advokat, pengacara praktek, dan konsultan hukum.
72
4) Misi Pengabdian Masyarakat a) Sebagai ”pintu gerbang” bagi pelayanan pencari keadilan. b) Sebagai lembaga advokasi, LBH adalah alat perjuangan untuk menegakkan
keadilan
bagi
seluruh
lapisan
masyarakat
(khususnya & teristimewa bagi masyarakat miskin yang buta hukum maupun teraniaya hak-hak hukumnya). 5) Misi Lainnya a) Sebagai media & sarana pengembangan minat Diskusi, Seminar, Penelitian, Studi & Kajian, dll. b) Khususnya dalam menghadapi situasi tertentu ( seperti dalam kegiatan Pemilu, Pilkada, dll ), LBH dapat dijadikan sarana untuk membantu masyarakat dari segala kepentingan / keperluan. c. Tujuan Bantuan Hukum a. Mencegah timbulnya atau membantu menyelesaikan permasalahan hukum. b. Melakukan desiminasi hukum dan nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia. c. Menumbuh kembangkan kesadaran Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat. d. Membantu mendorong pemerintah dalam pelaksanaan penegakan Hukum dan HAM.
73
e. Memberikan kesempatan kepada civitas Akademika Fakultas Hukum untuk mengaplikasikan pengetahuan hukum dalam rangka memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. 2. Susunan Organisasi LBH Jateng YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAWA TENGAH TIM ADVOKAT DAN KONAULTAN HUKUM
MAJELIS PEMBINA: PROFESI ADVOKAT ETIKA PROFESI
DIREKTUR
DIREKTUR PELAKSANA
WAKIL DIREKTUR BIDANG LITIGASI DIVISI-DIVISI Perlindungan Pembelaan Penyelidikan Pemberkasan
KOMISI ADVOKASI SEKTOR NON FORMAL
KOMISI HAK ASASI MANUSIA
SEKRETARIS PELAKSANA
WAKIL DIREKTUR BIDANG NON LITIGASI DIVISI-DIVISI Penyuluhan dan Konsultasi Pelayanan dan Pengembangan Jasa Umum, Pertanahan, Tenaga Kerja, Hukum Bisnis, dll.
KOMISI PERLINDUNGAN WANITA DAN ANAK
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
WAKIL DIREKTUR BIDANG ORTALA DIVISI-DIVISI Sekretariat Keuangan Hubungan Masyarakat Pembinaan Kantor Cabang
KOMISI PERTANAHAN DAN LINGKUNGAN
KANTOR CABANG-CABANG
KOMISI PERLINDUNGAN BURUH DAN PEKERJA
WAKIL DIREKTUR BIDANG LITBANG DIVISI-DIVISI Pengembangan SDM Koordinasi Lintas Komisi Pelatihan Profesi Hubungan Luar Negeri
KOMISI ADVOKASI LINTAS LSM
KOMISI POLITIK DAN PEMERINTAHAN
74
C. ANALISIS PASAL 10 HURUF D DAN E UU NO.16 TAHUN 2011 TENTANG KEWAJIBAN BANTUAN HUKUM DALAM MENJAGA KERAHASIAAN DATA KLIEN (Studi Kasus Pembatalan Perkawinan di LBH Jateng) Undang-Undang perkawinan menjelaskan mengenai batalnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 22 yang menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak tidak memenuhi syarat yang ditentukan, pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 22-28 UndangUndang Perkawinan. Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga membahas permasalahan pembatalan perkawinan, hal ini dijelaskan dalam Bab XI tentang batalnya perkawinan dalam Pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terperinci. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan itu dilangsungkan. Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Didalam bab ini penulis akan membahas tentang penerapan dari Pasal 10 huruf d dan e UU Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 tentang Kewajiban Pemberi Bantuan Hukum bunyi pasalnya, adalah sebagi berikut:
75
Pasal 10 huruf d berbunyi: Menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undangundang. Dan Pasal 10 huruf e berbunyi: Memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Dalam menerapkan pasal tersebut diatas LBH Jateng harus menjaga Kerahasiaan data/informasi yang dilaksanakan dengan “sangat prima” karena Tim Advokat ( T.A ) LBH Jateng meminta kepada Ketua Majelis Hakim agar Sidang Pemeriksaan Pokok Perkara dilaksanakan secara tertutup. Adapun syarat-syarat untuk mengajukan pembatalan nikah yang bersifat prodeo murni di LBH Jateng, yaitu surat keterangan RT/RW dan Lurah setempat, selanjutnya memerlukan persetujuan dari PA setempat kemudian Pengadilan Tinggi serta memerlukan prosedur yang sulit dan lama, dalam hal ini paling cepat 2 Bulan dan paling lama tak terbatas. Untuk membantu dalam menyelesaikan perkara tersebut Tim Advokat harus mendampingi orang yang berperkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan keadvokatan No. 18 Tahun 2003 bahwa tugas advokat
76
ialah melakukan pendampingan terhadap orang yang berperkara baik secara litigasi maupun non litigasi.13 Melihat regulasi tersebut, tentunya advokat yang memiliki gelar terhormat “officium nobile” karena profesinya, sudah seharusnya memiliki integritas dan profesionalitas dalam melakukan pekerjaannya. Organisasi profesi advokat memiliki kode etik tersendiri yang memang wajib dipatuhi oleh para advokat dalam menjalankan tugasnya. Jika melanggar, maka akan dikenai sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan pidana yang ada dalam regulasi tersebut, selain sanksi kode etik. Etika profesi advokat yang wajib dijunjung tinggi oleh mereka yang menyandang gelar “officium nobile” mempunyai beberapa hubungan ketika menjalankan profesinya. Hubungan tersebut antara lain hubungannya dengan teman sesama profesi dan hubungannya dengan klien. Hubungannya dengan klien tentang pemberian bantuan dalam hal pembatalan nikah sesuai dengan bunyi dari pasal kode etik yang dimaksud ialah: Pasal 4 huruf h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.14
13
Undang-Undang Advokat Tahun 2003 Dan Kenotarisan, Cet. I Jakarta, Sinar Grafika, Tahun 2003.hlm. 10 14 Sukri Sarmadi, Advokat Litigasi Dan Non Litigasi Pengadilan, Cet. 1 Pustaka Prisma, Yogyakarta, tahun 2007, hlm. 176
77
Berpijak kepada pasal kode etik tersebut di atas, maka menjaga kerahasiaan data atau informasi maupun keteranganyang harus dilakukan tim advokat LBH Jawa Tengah menggunakan tigacara, yaitu:15 1. Konsiliasi Konsiliasi yaitu upaya perdamaian antara dua pihak yang secara langsung dilakukan oleh para pihak, sementara posisi mediator/advokat bersifat pasif. 2. Mediasi Mediasi yaitu upaya perdamaian antara dua pihak yang secara tidaklangsung dilakukan oleh para pihak, karena para pihak harus memberikankepercayaan (menunjuk mediator secara tertulis), oleh karena itumediator/advokat bersifat aktif. 3. Arbitrase Arbitrase adalah upaya perdamaian antara dua pihak yang secara tidak langsung dilakukan oleh para pihak, karena para pihak diberi kesempatan untuk menunjuk arbitter sehingga posisi mediator/advokat bersifat aktif. Di Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah, peran yang diambil para advokat di institusi tersebut dalam menyelesaikan perkara pembatalan perkawinan dengan bentukmediasi, mendapat prioritas yang utama. Adapun strategi perdamaian yang dilakukan tim Advokat LBH Jawa tengah agar mediasi itu berhasil yaitu dengan cara:
15
Wawancara dengan wakil Direktur LBH Jateng pada tanggal 13 September 2013 yang bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah, Jl. Kanguru Raya No. 11 Semarang.
78
1. Pendekatan Agamis. Pendekatan agamis yaitu menjelaskan prinsip-prinsip agama tentang perceraian, karena pada hakekatnya setiap agama membenci dan melarang perceraian. 2. Pendekatan Psikologis dan Sosiologis Pendekatan psikologis dan sosiologis yaitu bahwa setiap perceraian pastimemiliki dampak negatif yaitu adanya keberadaan anak-anak sebagaiakibat adanya perceraian masalah harta gono gini (harta bersama), statusduda/janda, adanya pandangan negatif masyarakat di lingkungannya danlain-lain. Dari berbagai upaya perdamaian di atas, yang paling dikenal dan familiar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ialah mediasi. Susanti Adi Nugroho menjelaskan bahwa proses mediasi sebenarnya bukanlah suatu fenomena baru baik untuk dunia Barat dan Timur. Kelompok masyarakat Yahudi,
China
terbukti
menggunakan
mekanisme
mediasi
untuk
menyelesaikan masalah mereka, termasuk sebagai cara untuk menangkis penetrasi sistim hukum asing. Mediasi tidak lain ialah perpanjangan dari proses negosiasi. Para pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan masalah memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu. Tidak seperti peradilan yang sifatnya memberlakukan undangundang yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa, maka dalam proses mediasi yang digunakan oleh mediator adalah nilai-nilai (values) dan fakta untuk mendapatkan penyelesaian akhir. Nilai-nilai dimaksud dapat berarti hukum, kejujuran, dasar agama, moral dan etika. Mediator dapat dikatakan
79
hanya bertindak sebagai penengah dan bersifat netral, serta bertugas hanya untuk mengakomodasikan kebutuhan pihak yang bertikai. Mediasi adalah tugas jangka pendek dimana dalam prosesnya memungkinkan pihak ketiga untuk berpartisipasi secara netral. Dalam hal ini advokat mediasi di LBH Jawa Tengah sudah mendapat lisensi dan sertifikat mediator dari Mahkamah Agung.Beberapa alasan yang dapatdikemukakan disini adalah16: 1. Mediasi merupakan proses perdamaian yang dilakukan oleh para mediator,karena proses mediasi itu para pihak bersifat aktif sedangkan mediatorbersifat pasif. 2. Bahwa yang mengetahui persoalan secara jelas adalah para pihak. 3. Dan mediator LBH Jateng hanya mengarahkan dalam penyelesaian perkara. Jadi, perlu adanya strategi dalam melakukan pengarahanpengarahan yang bersifat mendukung untuk damai. Mediasi berorientasi pada dua hal, yaitu sebagai proses yang bertujuanserta berorientasi pada hak para pihak atau kepentingan para pihak. Kalauberorientasi pada hak, maka gambaran yang diberikan adalah hak apa kiranyayang didapat apabila sengketa ini di bawa ke pengadilan. Orientasi inisebenarnya
tidak
begitu
disarankan
karena
tidak
menyelesaikan
masalahsampai ke akarnya. Sementara kalau berorientasi pada kepentingan, makasifatnya lebih condong kepada perbaikan keadaan yang berusaha
16
Wawancara dengan Ahmad Reza Fahrudin (Advokat LBH Jateng) pada tanggal 5 September 2013, yang bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah, Jl. Kanguru Raya No. 11 Semarang.
80
untukmengakomodasikan keinginan para pihak dengan memecahkan inti permasalahannya.17 Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah mempunyai tahapan di dalammelakukan mediasi yang dilakukan oleh advokat terhadap para pihak yangbermasalah, khususnya perkara pembatalan perkawinan. Beberapa tahapan tersebut antara lain: 1. Tahap Awal Adapun pada tahap awal yang dilakukan adalah: a. Memperkenalkan dirinya, yang dilanjutkan dengan perkenalan diripara pihak yang bersengketa b. Menjelaskan kedudukannya sebagai mediator, adalah membantu parapihak mencari solusi yang terbaik bagi mereka. c. Menjelaskan peran dan wewenangnya d. Menjelaskan aturan dasar tentang proses, aturan kerahasiaan, danketentuan rapat. e. Menjawab pertanyaan para pihak. f. Bila
para
pihak
sepakat
untuk
melanjutkan
perundingan,
memintakomitmen para pihak untuk mengikuti semua aturan yang berlaku. 2. Sambutan Mediator Mediasi dibuka dengan sambutan mediator. Sambutan pembuka tersebut berguna untuk: 17
M. Yahya Harahap, et.all., Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, Jakarta: BPHN, 1996, hlm. 57.
81
a. Menerangkan urutan kejadian b. Meyakinkan para pihak yang masih ragu c. Menerangkan peran mediator dan para pihak d. Menegaskan bahwa para pihak tersebut mempunyai kewenangan untukmengambil keputusan e. Memberi kesempatan mediator untuk membentuk kepercayaan dan menunjukkan control f. Menyusun aturan-aturan dasar untuk langkah berikutnya. 3. Presentasi Para Pihak Mediator mengadakan pertemuan atau rapat bersama, dengan meminta penjelasan pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa dan masing-masing pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk berbicara. Pada Waktu pihak menyampaikan fakta dan posisi menurut versinya masing-masing, mediator bertindak sebagai pendengar yang
aktif
dan
jika
perlu
dapat
mengajukan
pertanyaan-
pertanyaan.Padakesempatan ini mediator menerapkan aturan kepantasan dan sebaliknyamengontrol interaksi para pihak yang bersengketa. 4. Identifikasi Masalah yang Sudah Disepakati Satu peran penting mediator adalah mengidentifikasi masalah/ halyang sudah disepakati bersama diantara para pihak. Hal ini akanmembantu para pihak melihat aspek positif pada permasalahan, danmengalihkan perhatian dari Masalah-masalah yang tidak perlu dan
82
tidakdibutuhkan
lagi
sebagai
dasar
bagi
persetujuan
untuk
pengambilankeputusan yang berikutnya. 5. Mendefinisikan dan Mengurutkan Permasalahan Mediator membuat agenda untuk pertemuan mediasi.Mengenai masalah-masalah
yang
diperselisihkan,
masalah
yang
kemudian
berkembang dan yang sedang dikonsultasikan oleh para pihak, yang tersusun suatu daftar masalah yang diagendakan untuk diselesaikan. 6. Negosiasi dan Pembuatan Keputusan Selanjutnya, proses mediasi beralih ke tahap negosiasi yang biasanya merupakan waktu alokasi terbesar. Ada beberapa variasi disini.Dalam model klasik, mediator menerapkan beberapa strategi sehingga parapihak dan wakil-wakilnya akan berbicara langsung satu sama lain. Dalammodel ini, mediator berperan untuk menjaga urutan struktur, mencatatkesaepahaman,
reframe,
dan
meringkas
dan
sesekali
mengintervensimembantu peran komunikasi. 7. Pertemuan Terpisah (Separate Meeting) Pertemuan terpisah merupakan suatu aspek penting dalam proses mediasi. Bila diperlukan, mediator akan bertemu secara terpisah dengan masing-masing pihak secara confidential. Biasanya penasehat hukumnya (legal representative) akan hadir bersama dengan kliennya, tetapi bisa saja mediator bertemu hanya dengan para pihak secara privat tanpa kehadiran pengacaranya, atau hanya dengan para pengacara tanpa kehadiran para pihak.
83
8. Pembuatan Keputusan Akhir Lalu para pihak akan dikumpulkan lagi guna diskusi selanjutnya, mengadakan negosiasi akhir dan menyelesaikan beberapa hal secara lebih detail. Mediator berperan untuk mengawasi/ memastikan bahwa seluruh isu yang dipermasalahkan telah dibahas, ketidaksepakatan telah diatasi, para pihak merasa puas dengan hasil akhir, dan mereka melaluinya secara realistis dengan segala keterbatasannya. 9. Pengambilan Keputusan Para pihak yang telah saling bekerjasama dengan bantuan mediator mengevaluasi pilihan, menetapkan trade off dan menawarkan solusi yang memperkecil perbedaan-perbedaan dan mencari basis yang lebih adil bagi kepentingan bersama, dan akhirnya ara pihak telah bersepakat, membuat keputusan bersama. 10. Kata Penutup Mediator biasanya
memberikan
ucapan
penutup
sebelum
mengakhiri mediasi. Pemberian kata penutup dengan tujuan agar para pihak merasa bahwa mediator telah bertindak secara adil (fair) dan agar mediator juga mengetahui bahwa apa yang sudah disampaikan benar-benar diketahui atau dipahami para pihak. Tujuannya lebih ke arah membuat para pihak merasa nyaman dan agar para pihak tidak berpikiran bahwa dalam proses mediasi tersebut mereka dirugikan atau ditipu. Jadi,
84
penutupan yang baik, juga merupakan salah satu faktor untuk membuat proses implementasi dari hal-hal yang disepakati itu menjadi lebih baik.18 Semua perkara perdata (pembatalan perkawinan) yang masuk di LBH Jateng selalu di usahakan untuk diselesaikan dengan cara damai (non litigasi) begitu jugapada perkara cerai gugat, jika tidak berhasil maka perkara tersebutdiselesaikan melalui jalur litigasi. Adapun data perkara pembatalan perkawinan yang masuk pada LBH Jateng tahun 2009 sampai 2014 adalah sebagai berikut:
1.
2009
Data Perkara Pembatalan Perkawinan yang diatasi TA LBH Jateng yang sampai selesai 1
2.
2010
1
-
3.
2012
-
1
Tahun No
Data Perkara Pembatalan Perkawinan yang belum selesai -
Berdasarkan Kode Etik Advokat LBH Jawa Tengah, maka penulis tidak diperkenankan menulis nama-nama para klien (Principal) yang menjadi pemohon (Penggugat) dan atau termohon (tergugat) tesebut. Karena LBH harus merahasiakannya sehingga tidak dapat dipublikasikan kecuali Nomor Surat Kuasa dan tanggal serta nomor register perkaranya dari Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat.
18
Wawancara dengan Drs. HM. Faishal SH. MH (Direktur Yayasan di LBH Jateng) pada tanggal 5 September 2013,yang bertempat di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah, Jl. Kanguru Raya No. 11 Semarang
