BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGAKA BERPIKIR, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini tediri dari beberapa subbab, yang pertama adalah tinjauan pustaka yang mengemukakan mengenai penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam tinjauan pustaka ini juga berisi teori, konsep dan pendekatan lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Subbab kedua merupakan kerangka berpikir yang merupakan hasil abstraksi dan sintesis teori dari kajian pustaka yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi serta untuk menjawab dan memecahkan masalah. Subbab ketiga adalah konsep yang berisi tentang terminologi teknis yang merupakan komponen-komponen dari kerangka teori. Subbab keempat adalah landasan teori yang merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang sering dibutuhkan sebagai penuntun dalam pemecahan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penelitian. Subbab kelima adalah model penelitian yang merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk diagram.
2. 1. Tinjauan Pustaka Berbagai
penelitian
mengenai
konsolidasi
tanah
(LC)
maupun
perkembangan permukiman telah dilakukan. Ada yang melihat dari aspek fenomena pelaksanaan LC beserta dampak yang ditimbulkan, contohnya 10
11
penelitian oleh Bakri (1996) yang berjudul “Dampak Konsolidasi Lahan Terhadap Pengembangan Kawasan di Jalan Padang By Pass” dan penelitian Sumantra (2014) yang berjudul “Dampak Program Konsolidasi Lahan di Kelurahan Bitera Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar”. Dilihat dari aspek perkembangan permukiman beserta faktor-faktor penyebabnya misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Zuriati (2004) yang berjudul “Kajian Perkembangan Fisik Kawasan Permukiman yang Dilalui Jalur Lintas Sumatera di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung” dan penelitian oleh Ajeng (2005) yang berjudul “Kajian Perubahan Spasial Permukiman Masyarakat di Desa Anjir Serapat Timur Kabupaten Kapuas”. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan ini lebih cenderung mengacu pada penelitian yang dilakukan Zuriati (2004) dan Ajeng (2005) karena fokus terhadap perkembangan permukiman di suatu wilayah. Penelitian ini meneliti tentang dampak fisik perkembangan permukiman pasca LC, di mana berbeda dengan penelitian Bakri (1996) dan Sumantra (2014) yang fokus meneliti berbagai dampak yang ditimbulkan pasca pelaksanaan LC. Metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu tersebut juga beragam, misalnya Bakri (1996), Ajeng (2005) dan Sumantra (2014), menggunakan metode kualitatif. Sedangkan penelitian yang dilakukan Zuriati (2004) menggunakan metode kuantitatif. Metode penelitian ini hampir mirip dengan penelitian Ajeng (2005) yaitu menggunakan analisis geografi spasial dengan teknik overlay peta time series dan analisis kualitatif. Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian Ajeng (2005) yang hanya menggunakan metode penelitian kuantitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif.
12 Hasil penelitian Bakri (1996) menunjukkan dampak dan pengaruh konsolidasi tanah terhadap pola pemilikan lahan yaitu terjadinya perubahan status kepemilikan lahan dan perubahan penggunaan serta pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian. Hasil penelitian Sumantra (2014) menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan pasca LC di Kelurahan Bitera Gianyar adalah terjadi ketidakteraturan kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak produktif serta terjadi pula perpetakan lahan dan aksesibilitas kawasan Kota Gianyar yang lebih teratur. Sedangkan hasil penelitian Zuriati (2004) dan Ajeng (2005) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan spasial kawasan permukiman yang dilalui jalur lintas Sumatra dan Trans Kalimantan antara lain sebagai berikut: adanya faktor sosial kependudukan meliputi pertumbuhan
penduduk;
faktor
sosial
ekonomi
meliputi
meningkatnya
perekonomian penduduk; faktor aksesibiltas yaitu dengan terbangunnya sarana dan prasarana transportasi di wilayah tersebut dan faktor posisi kawasan permukiman dalam konstalasi regional yang kedekatannya dengan pusat-pusat pelayanan kota. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Bakri (1996) dan Sumantra (2014) terletak pada tujuan penelitiannya, yaitu salah satunya untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan pasca LC. Penelitian yang dilakukan oleh Zuriati (2004) dan Ajeng (2005) juga mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti mengenai perkembangan fisik dan pola yang
13
terbentuk dalam kawasan permukiman beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan permukiman tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumantra (2014) yaitu dari segi fokus penelitiannya. Fokus penelitian yang dilakukan Sumantra (2014) berupa kajian terhadap fenomena yang terjadi pasca LC, serta dampak fisik dan non fisik yang ditimbulkan pasca pelaksanaan LC. Penelitian ini fokus terhadap perkembangan permukiman pasca LC, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dampak fisik yang ditimbulkannya. Penelitian Bakri (1996) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan LC beserta sejauh mana efektivitas pelaksanaan LC tersebut terhadap upaya-upaya pengembangan kawasan dan penataan tata ruang kota. Penelitian ini hanya mereview sejarah pelaksanaan LC tanpa mengkaji lebih jauh mengenai faktorfaktor yang berpengaruh dalam keberhasilan pelaksanaan LC tersebut. Penelitian Zuriati (2004) dan Ajeng (2005) berbeda dengan penelitian ini dalam hal obyek penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti perkembangan permukiman di lokasi yang pernah dijadikan obyek LC. Sedangkan penelitian Zuriati (2004) dan Ajeng (2005) meneliti perkembangan permukiman di jalur lintas Sumatra dan Trans Kalimantan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui Tabel 2.1. mengenai rangkuman tinjauan pustaka penelitian terdahulu.
Tabel 2.1. Rangkuman hasil penelitian terdahulu No. 1 1.
2.
Aspek Bahasan 2 Judul
Tujuan penelitian
Bakri (1996)
Zuriati (2004)
Ajeng (2005)
Sumantra (2014)
3 - Dampak Konsolidasi Lahan Perkotaan Terhadap Pengembangan Kawasan di Jalan Padang By Pass
5 - Kajian Perkembangan Fisik Kawasan Permukiman yang Dilalui Jalur Lintas Sumatera di Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung
6 - Kajian Perubahan Spasial Permukiman Masyarakat di Desa Anjir Serapat Timur Kabupaten Kapuas
7 - Dampak Program Konsolidasi Lahan di Kelurahan Bitera Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar
- Mengetahui proses pelaksanaan LC di Padang, sejauh mana prinsip-prinsip LC diterapkan dalam pelaksanaan LC di Padang dan seberapa jauh efektivitas LC dikaitkan dengan upaya-upaya pengembangan kawasan dan penataan kota. - Mengetahui dampak dan pengaruh LC terhadap pola pemilikan lahan, spekulasi lahan dan sosial budaya.
- Mengetahui perkembangan fisik dan pola yang terbentuk dalam kawasan permukiman yang dilalui jalur lintas Sumatera dalam kurun waktu 1991-2001. - Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan permukiman tersebut.
- Mengetahui perubahan spasial permukiman masyarakat di Desa Anjir Serapat Timur dengan adanya perkembangan transportasi darat. - Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan spasial permukiman masyarakat di desa tersebut setelah adanya perkembangan transportasi darat.
- Mengetahui fenomena yang terjadi dalam hal pemanfaatan lahan sawah menjadi perumahan yang diwujudkan setelah LC di Kelurahan Bitera Gianyar. - Mengetahui faktor penyebab terjadinya fenomena tersebut. - Mengetahui dampak yang ditimbulkan pasca LC tersebut.
14
- Mengetahui perubahan yang dapat diusulkan untuk memperbaiki konsepsi dan pelaksanaan LC 3.
4.
Metode penelitian
- Kualitatif pendekatan dan empiris.
dengan konseptual
- Deskriptif dengan pendekatan kuantitatif .
- Kualitatif. - Analisis geografi spasial dengan teknik overlay peta time series dan analisis kualitatif.
- Kuantitatif - Analisis data kualitatif deskripsi.
Hasil penelitian
- LC dan pembangunan jalan Padang By Pass mengakibatkan perubahan lokasi permukiman penduduk dari pinggiran kota. - Terjadi perubahan status kepemilikan lahan, perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian. - Peningkatan nilai tanah di lokasi tersebut dan perubahan mata pencaharian sebagian penduduk dari sektor
- Perkembangan permukiman yang dilalui jalur tersebut cenderung mengikuti bentuk fisik wilayah dan perkembangannya di seputar pusat kegiatan. - Perkembangan tersebut terjadi karena diiringi kelengkapan sarana transportasi yang memadai dan kemudahan jangkauan. - Faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman tersebut adalah: sosial
- Adanya perkembangan dan perubahan spasial permukiman di pusat Desa Anjir yang cukup pesat. - Perkembangan dan perubahan tersebut dipengaruhi adanya Jalan Trans Kalimantan yang mempunyai aksesibilitas tinggi, adanya akses terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi di luar Desa Anjir. Adanya perkembangan kegiatan perekonomian
- Dampak yang ditimbulkan pasca LC adalah terjadi ketidakteraturan kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak produktif serta terjadinya perpetakan lahan dan aksesibilitas kawasan Kota Gianyar yang lebih teratur. - Pasca LC terjadi status legal lahan yang belum selesai. - Pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan peraturan tata ruang. - Terjadi peningkatan nilai produktivitas lahan.
secara
15
pertanian pertanian.
ke
non
kependudukan (pertumbuhan penduduk), sosial ekonomi (pertumbuhan ekonomi penduduk), posisi kawasan permukiman dalam konstalasi regional yang kedekatannya dengan kota pada propinsi tetangga mempengaruhi perekonomian permukiman tersebut.
yang terkait dengan keberadaan Jalan Trans Kalimantan. - Faktor yang mempengaruhi perubahan spasial permukiman adalah pertumbuhan penduduk, perekonomian yang meningkat dan akses yang meningkat.
- Faktor penyebab fenomena tersebut adalah tidak adanya kejelasan pemahaman prosedur LC oleh masyarakat pemilik lahan dan realisasi pelaksanaan LC yang tidak dijalankan sesuai tahapan LC yang sudah ditetapkan.
Sumber: Bakri, 1996; Sarifudin, 1998; Zuriati, 2004; Ajeng, 2005; Sumantra, 2014.
16
17 2. 2. Kerangka Berpikir Kegiatan konsolidasi tanah (LC) di Desa Sumerta Kelod dimulai tahun 1982-1993 yang terbagi dalam empat tahap. Kawasan obyek LC tersebut sebelumnya merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Sesuai dengan rencana pembangunan Pemerintah Provinsi Bali (waktu itu melalui Pemerintah Daerah TK. II Kabupaten Badung), bahwa kawasan tersebut dirubah peruntukannya menjadi kawasan permukiman untuk menunjang kegiatan di civic centre
Renon
serta
mencegah
terjadinya
permukiman
yang
tidak
teratur/cenderung kumuh di wilayah tersebut. Pasca pelaksanaan kegiatan LC terjadi perubahan fisik terhadap bidang-bidang tanah di kawasan tersebut, yaitu berubah menjadi kawasan yang teratur dengan disertai pembangunan fasilitas umum berupa jalan, saluran drainase dan penyediaan tanah untuk bale banjar. Hal itu memicu penduduk setempat maupun migran untuk memanfaatkan kawasan tersebut menjadi perumahan dan tempat perdagangan/jasa, sehingga terjadi alih fungsi areal pertanian ke non pertanian yang sangat cepat, terutama untuk permukiman. Permukiman di kawasan obyek LC tersebut berkembang secara intensif dari waktu ke waktu, yang mencakup aspek fisik maupun non fisik. Hal itu sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Yunus (2001:107) bahwa permukiman berkembang dengan melibatkan aspek fisik dan non fisik yang berubah dari waktu ke waktu. Berawal dari kondisi tersebut maka penulis berupaya untuk melihat dan mengidentifikasi perubahan-perubahan penggunaan dan pemanfatan tanah serta perkembangan permukiman di kawasan tersebut dari waktu ke waktu
18
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan
permukiman serta dampak fisik yang ditimbulkannya. Agar lebih jelas dalam memahami kerangka berpikir pada penelitian ini maka dibuat sintesis melalui Gambar 2.1. berikut. Pasca kegiatan konsolidasi tanah (LC)
Perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah di lokasi LC
Identifikasi perkembangan permukiman di lokasi LC
Perubahan luas, bentuk dan letak bidang-bidang tanah dan tersedianya fasilitas umum di lokasi LC
Perkembangan permukiman di lokasi LC
Analisis perkembangan permukiman di lokasi LC
Aspek fisik: arsitektur bangunan, pola permukiman, struktur ruang dan infrastruktur
Kajian terhadap perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah di lokasi LC
Aspek non fisik: sosial, ekonomi, budaya, kebijakan pemerintah
Kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman di lokasi LC
Hasil Studi/Kesimpulan dan Saran Gambar 2.1. Diagram kerangka berpikir Sumber: Penulis, 2015
Kajian dampak fisik perkembangan permukiman di lokasi LC
19 2. 3. Konsep Penelitian Pada bagian ini akan diuraikan tentang definisi operasional dari judul penelitian dan batasan-batasan penelitian yang akan dilaksanakan berkaitan dengan perkembangan permukiman pada lokasi kegiatan konsolidasi tanah di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar.
2.3.1. Perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, dalam Pasal 1 (3) mendefinisikan penggunaan tanah sebagai wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Sedangkan pada Pasal 1 (4) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambahan tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, menyebutkan bahwa pemanfaatan tanah adalah penggunaan tanah untuk aktivitas/kegiatan orang atau badan hukum yang dapat ditunjukkan secara nyata. Perubahan pemanfaatan tanah adalah pemanfaatan baru atas tanah yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Perubahan pemanfaatan tanah dapat dilakukan dengan berazaskan keterbukaan, persamaan, keadilan, pelestarian lingkungan dan perlindungan hukum. Perubahan pemanfaatan tanah tersebut mengacu
pada
RDTR
kabupaten/kota
dengan
tetap
memperhatikan
keberlangsungan fungsi kawasan, daya dukung dan kesesuaian tanah secara
20
terpadu. Sedangkan perubahan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RDTR hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pertimbangan keselarasan kebutuhan tanah untuk kegiatan ekonomi dengan keberlangsungan lingkungan Perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan dan pemanfaatan baru atas tanah pada lokasi kegiatan konsolidasi tanah di Desa Sumerta Kelod yang sesuai maupun tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat. Sebagai contoh adalah perubahan penggunaan tanah dari areal pertanian menjadi areal permukiman dan perubahan pemanfaatan tanah dari areal permukiman menjadi areal pertokoan.
2.3.2. Permukiman Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dalam Pasal 1 (5) mendefinisikan permukiman sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dari kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan pada Pasal 1 (3) mendefinisikan kawasan permukiman sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
21
Budiharjo (2004:61) mengemukakan bahwa permukiman merupakan suatu wadah kehidupan manusia bukan hanya menyangkut aspek teknis dan fisik saja tetapi juga menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan budaya dari penghuninya. Tidak hanya menyangkut kuantitas melainkan juga kualitas, serta tidak hanya menyangkut tempat hunian/rumah, tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersantai dan wahana untuk kepergian. Rindarjono (2012;21) mendefinisikan permukiman sebagai kelompok bangunan rumah dengan segala perlengkapannya yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal secara menetap maupun sementara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Sebagai akibat keterbatasan data yang ada dan sumber datanya berbeda-beda, maka dalam penelitian ini diberikan batasan permukiman yang dimaksud adalah penggunaan tanah yang berbentuk kelompok bangunan rumah
yang dimanfaatkan untuk tempat
tinggal,
perdagangan, jasa, perkantoran, industri, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.
2.3.3. Perkembangan Permukiman Perumahan selalu tumbuh sebagai proses organis, bagaikan jasad hidup. Rumah berkembang sejalan dengan siklus biologis dan perubahan sosial ekonomi penghuninya (Budihardjo, 1998:39). Lebih jauh Yunus (2001:107) berpendapat bahwa perkembangan kota yang berarti perkembangan permukiman melibatkan berbagai aspek seperti aspek non fisik (aspek politik, sosial, budaya, teknologi dan ekonomi) dan aspek fisik. Menurutnya perkembangan tersebut berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan menurut Kuswartojo, dkk (2005:75) perumahan dan
22
perkembangan permukiman sangat berkaitan dengan dinamika kependudukan yang
mencakup
pertumbuhan,
persebaran,
mobilitas
penduduk
dan
perkembangan rumah tangga. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perkembangan permukiman dalam penelitian ini merupakan proses perubahan areal terbangun yang terjadi dari waktu ke waktu di dalam lokasi konsolidasi tanah yang dipergunakan untuk permukiman tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perkembangan permukiman pada lokasi konsolidasi tanah di Desa Sumerta Kelod ini bersifat intensif, artinya hanya mencakup perkembangan permukiman di dalam kawasan konsolidasi tanah di desa tersebut. Berikut disajikan Gambar 2.2. mengenai skema perkembangan permukiman secara intensif yang dimaksud pada penelitian ini. Wilayah LC Desa Sumerta Kelod
Perkembangan permukiman di dalam wilayah LC Desa Sumerta Kelod
Perkembangan permukiman di luar wilayah LC Desa Sumerta Kelod
Gambar 2.2. Diagram perkembangan permukiman secara intensif
Sumber: Penulis, 2015
23
2.3.4. Konsolidasi Tanah Pengertian konsolidasi tanah sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah Pasal 1 (1) adalah suatu kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan,
untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dalam Pasal 1 (18) menyebutkan bahwa konsolidasi tanah merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat. Kegiatan konsolidasi tanah tersebut meliputi penataan kembali bidangbidang tanah termasuk hak atas tanah dan atau penggunaan tanahnya dengan dilengkapi prasarana jalan, saluran irigasi, fasilitas lingkungan dan atau serta fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah dan atau penggarap tanah. Tujuan konsolidasi tanah adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah. Sasaran Konsolidasi Tanah adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur. Dari pengertian tersebut, maka prinsip-prinsip umum pelaksanaan konsolidasi tanah sesuai yang tercantum dalam Pasal 108-113 Undang-Undang
24
No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah sebagai berikut: 1.
Konsolidasi tanah dapat dilakukan di atas tanah milik pemegang hak atas tanah dan/atau di atas tanah negara yang digarap oleh masyarakat;
2.
Konsolidasi tanah dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antar pemegang hak atas tanah, antar penggarap tanah negara, atau antara penggarap tanah negara dan pemegang hak atas tanah;
3.
Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya. Kesepakatan paling sedikit 60% tidak mengurangi hak masyarakat sebesar 40% untuk mendapatkan aksesibilitas.
4.
Konsolidasi
tanah
dapat
dilaksanakan
bagi
pembangunan
rumah
tunggal, rumah deret, atau rumah susun; 5.
Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati/walikota;
6.
Khusus untuk DKI Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur;
7.
Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud tidak memerlukan izin lokasi.
8.
Pembangunan rumah umum dan rumah swadaya yang didirikan di atas tanah hasil konsolidasi, pemerintah wajib memberikan kemudahan berupa, untuk biaya sertifikasi: terhadap pemilik tanah hasil konsolidasi tidak dikenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
25
9.
Sertifikasi terhadap penggarap tanah negara hasil konsolidasi dikenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
10.
Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan badan hukum, berdasarkan
perjanjian
tertulis
antara
penggarap
tanah
negara dan/atau pemegang hak atas tanah dan badan hukum dengan prinsip kesetaraan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Dasar hukum pelaksanaan konsolidasi tanah adalah sebagai berikut: 1.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
2.
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
3.
UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Pemukiman;
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah;
5.
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 1991 Tentang Konsolidasi Tanah;
6.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Keputusan Penegasan Tanah sebagai Obyek Konsolidasi Tanah;
7.
Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-4245 tanggal 7 Desember 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah;
8.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 410-1078 tanggal 18 April 1996 tentang Petunjuk Teknis Konsolidasi Tanah;
26
9.
Surat Deputi Bidang Pengaturan, Penguasaan dan Penatagunaan Tanah nomor 410-1078 tanggal 15 Mei 1996 tentang Petunjuk Kerjasama Pelaksanaan Konsolidasi Tanah;
10.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, No. 410-555 tanggal 8 Januari 1997 tentang Organisasi Peserta Konsolidasi Tanah;
11.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, No. 462-3872 tanggal 22 Desember 1997 tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah;
12.
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, No. 410-2084 tanggal 30 Juni 1998 tentang Peningkatan Pelayanan Konsolidasi Tanah. Menurut Setiawan (2009:8), konsolidasi tanah perkotaan yang berlokasi di
pinggiran perkotaan dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: 1.
Mengantisipasi semakin mekarnya daerah-daerah kumuh (slums) akibat urbanisasi;
2.
Kawasan pinggiran kota lebih mudah diatur karena harga tanahnya belum tinggi, tidak ada atau belum ada perumahan di atas hak tanahnya dan kepemilikan hak atas tanahnya umumnya masih relatif luas. Adapun jenis-jenis konsolidasi tanah dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Konsolidasi tanah non pertanian, dapat dilaksanakan dalam rangka: a. Pengembangan Wilayah, b. Pembangunan pemukiman/perumahan baru; c. Penataan kembali kawasan perumahan/pemukiman yang tidak teratur; d. Penataan kawasan dalam rangka pengembangan/penyediaan/penambahan sarana dan prasarana perkotaan;
27
e. Pengadaan jalan, pelebaran jalan, pembuatan saluran drainase, dan lainlain; f. Peremajaan Kota; g. Kawasan Lingkungan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun; h. Pemukiman kembali; i. Proyek-proyek pembangunan perkotaan lainnya; j. Rekontruksi daerah bencana dan daerah bekas konflik. 2. Konsolidasi tanah pertanian dapat dilaksanakan dalam rangka: a. Pembangunan kawasan perkebunan pola plasma; b. Pengembangan dan perluasan perkebunan rakyat; c. Pembukaan areal pertanian baru; d. Penataan, pengadaan, peningkatan sistim pengairan usaha pertanian; e. Penataan kembali kawasan permukiman dan tanah pertanian di Pedesaan; f.
Penataan
tanah
pertanian
skala
kecil
untuk
optimalisasi
pengusahaannya; g. Penataan kawasan dalam rangka pengembangan/penyediaan/penambahan sarana dan prasarana pertanian; h. Rekontruksi daerah bencana dan daerah bekas konflik. Jadi jenis konsolidasi tanah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konsolidasi tanah perkotaan/non pertanian, yaitu kegiatan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan
28
pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat. Jayadinata (1999:166-168) menjelaskan mengenai tata cara pelaksanaan konsolidasi tanah sebagai berikut, bahwa konsolidasi tanah perkotaan berarti mengusahakan peningkatan kualitas lingkungan dan pencapaian efisiensi melalui pemetakan dan pengaturan kembali tanah yang tersebar dan tidak teratur dan selanjutnya membagikannya kembali kepada para pemiliknya dalam bentuk yang teratur dan dilengkapi prasarana. Pemetakan kembali secara wajib adalah pembagian tanah dalam petak-petak dengan bentuk yang teratur dan luas petak yang sesuai dengan lokasi. Hal tersebut dilakukan dengan menyesuaikan bentuk dan luas petak dengan rencana lokal dan aturan pembangunan, serta menyediakan tanah untuk prasarana (jalan lokal, tempat bermain, sekolah, tempat peribadatan, pola hijau). Menurutnya bahwa di beberapa kota besar dan kota menengah pemetakan kembali yang diwajibkan meliputi lebih dari 50% dari pengaturan tanah, sedangkan di kota kecil dan pedesaan hal itu kurang perlu. Pengaturan kembali petak tanah hanya boleh digunakan untuk tempat tinggal dengan prasarananya, kompleks industri dan perdagangan. Berikut disajikan Gambar 2.3. ilustrasi proses penataan bidang tanah dalam kegiatan konsolidasi tanah perkotaan.
29
Gambar 2.3. Ilustrasi Proses Penataan Bidang Tanah dalam Kegiatan Konsolidasi Tanah. Sumber: Pusdiklat BPN RI, 2014 Peran serta masyarakat dalam keberhasilan kegiatan konsolidasi tanah sangat besar, hal itu terkait pula dengan sumbangan tanah untuk pembangunan yang diberikan oleh masyarakat. Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 Tentang Konsolidasi Tanah dalam Pasal 6 ayat 1-3, dalam rangka pelaksanaan penataan penguasaan dan penggunaan tanah obyek konsolidasi tanah, para peserta menyerahkan sebagian tanahnya sebagai sumbangan tanah untuk pembangunan (STUP) yang akan dipergunakan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya dan sebagai tanah pengganti biaya pelaksanaan (TPBP). Besaran STUP tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama peserta konsolidasi tanah dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang Daerah. Peserta yang persil tanahnya terlalu kecil
30
sehingga tidak mungkin menyerahkan sebagian tanahnya sebagai sumbangan tanah untuk pembangunan dapat mengganti sumbangan tersebut dengan uang atau bentuk lainnya yang disetujui bersama oleh para peserta konsolidasi tanah. Menurut Jayadinata (1999:174), kontribusi tanah dari pemilik tanah dalam bentuk STUP dapat digunakan untuk menyediakan prasarana dan sebagian dijual sebagai tanah matang untuk pembangunan. Dengan adanya kontribusi tanah tersebut semua kegiatan konsolidasi tanah dan pematangan tanah dibiayai, sehingga tanah siap untuk dibangun bagi perumahan. Lingkungan permukiman dapat memenuhi syarat perencanaan yaitu dengan pembagian petak yang teratur, jalan yang cukup, serta dilengkapi dengan prasarana bagi aspek penyehatan lingkungan (yaitu sistem drainase, jaringan air minum dan sistem bangunan) dan prasarana sosial ekonomi lainnya. Apabila kegiatan konsolidasi tanah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib maka masyarakat akan mendapatkan berbagai keuntungan. Menurut
Jayadinata
(1999:171-172),
keuntungan
yang
diperoleh
dari
penyelenggaraan konsolidasi tanah dalam bidang sosial dan ekonomi. Keuntungan konsolidasi tanah dari segi sosial yaitu: 1.
Pemilik tanah akan memperoleh kembali tanah berupa petak tanah yang bentuknya teratur dan dekat dengan prasarana lingkungan;
2. Konflik dalam penggunaan tanah dapat dihindari dengan tertibnya kualitas lingkungan; 3. Taraf kehidupan penduduk dapat ditingkatkan dengan mengatur pemukiman sehingga menjadi sehat, tertib dan masalah tunawisma dapat diatasi;
31
4. Beban pusat kota yang berlebihan dapat dikurangi karena tersedianya prasarana sosial ekonomi yang memadai di sekitar pemukiman; 5. Pengendalian pengembangan tanah lebih mudah dilakukan; 6. Perkembangan perumahan liar dapat dicegah. Dari segi ekonomi, konsolidasi tanah dapat merupakan alat pembantu dalam: 1.
Meringankan pembiayaan pemerintah dalam pengembangan kota;
2.
Usaha untuk tidak mengeluarkan biaya dalam mematangkan tanah secara khusus bagi pemilik tanah;
3.
Memberikan kemungkinan kepada penduduk kota dari berbagai lapisan untuk dapat membangun menurut kemampuan masing-masing;
4.
Meningkatkan frekuensi kegiatan perekonomian rakyat, karena tersedianya jalan dan sarana perangkutan;
5.
Mengumpulkan dana pembangunan dan meningkatkan modal pemerintah dalam bentuk tanah, serta membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah;
6.
Memudahkan tata usaha pajak tanah bagi Ipeda;
7.
Memudahkan pemerintah melakukan investasi maupun menghadapi investor swasta atau investor asing dalam penyediaan lokasi industri;
8.
Menghambat
terjadinya
spekulasi
tanah
di
wilayah
yang
akan
dikembangkan oleh golongan orang yang perekonomiannya kuat, melalui pengendalian penyediaan tanah menurut luas, lokasi, kualitas, harga serta waktu yang sesuai dengan pentahapan perencanaan kota.
32
Menurut Sujarto (1985:76), dengan adanya kegiatan konsolidasi tanah diharapkan dapat mengembangkan penggunaan tanah secara optimal dengan menyertakan hakekat swadaya masyarakat pemilik tanah sehingga akan diperoleh esensi dan manfaat konsolidasi tanah perkotaan antara lain sebagai berikut: 1.
Sebagai suatu model pembangunan kota yang dapat mempercepat penyelesaian pembangunan prasarana dan fasilitas kota sesuai rencana kota;
2.
Meningkatkan efisiensi lahan dengan cara mengatur bentuk persil dan mengatur jaringan jalan serta prasarana utilitas umum;
3.
Pengurangan luas lahan milik akan diganti oleh nilai tanah yang dimiliki sesudah konsolidasi tanah;
4.
Mencegah kemungkinan spekulasi lahan karena kenaikan nilai harga lahan dinikmati secara langsung oleh pemilik.
2.3.5. Dampak Fisik Perkembangan Permukiman Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dampak diartikan sebagai benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat positif maupun negatif (KBBI Online, 2015). Soemarwoto (2001:67-69) berpendapat bahwa untuk dapat melihat dan menjelaskan suatu dampak atau perubahan yang telah terjadi pada suatu kawasan, maka harus mempunyai bahan perbandingan sebagai acuan. Salah satunya adalah mengenai keadaan sebelum terjadi perubahan. Sandy (1995) dalam Utoyo (2012:143) menyatakan bahwa penggunaan lahan dimaknai sebagai dampak dari segala kegiatan manusia diatas muka bumi yang dipengaruhi oleh
33
keadaan alam (fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah. Merembetnya lahan kekotaan kearah daerah-daerah pertanian di sekitarnya telah menimbulkan beberapa dampak terhadap kehidupan petanipetani atau pemilik lahan yang ada. Petani-petani bersifat mendua antara mempertahankan lahan pertanian dan mengubah lahan pertanian menjadi non pertanian atau menjual lahannya karena terdapat gangguan terhadap usaha-usaha pertaniannya; terdapat development pressure terhadap lahan pertaniannya; dan terdapat teror harga dalam urban land value assessment yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan agricultural land value assessment (Yunus, 2012:86). Dampak pengelompokan kegiatan di suatu kota besar akan menyebabkan terpusatnya berbagai pusat kegiatan seperti pusat perkantoran, pusat perdagangan, kampus dan lain sebagainya. Hal itu menyebabkan terjadinya gejala persaingan untuk memperebutkan lokasi-lokasi strategis di sekitar pusat kegiatan/paling dekat dengan pusat-pusat kegiatan tersebut, sehingga mempengaruhi kenaikan nilai tanah di wilayah tersebut (Budihardjo, 1998:36). Dampak fisik perkembangan permukiman yang dimaksud pada penelitian ini mencakup berbagai akibat positif maupun negatif yang ditimbulkan dari adanya perkembangan permukiman pasca konsolidasi tanah di Desa Sumerta Kelod. Dampak tersebut ditinjau dari aspek fisik akibat perubahan spasial permukiman yang terjadi di lokasi penelitian. Karena keterbatasan data dan informasi, maka pada penelitian ini hanya mengkaji aspek fisik berupa saluran irigasi, citra kota dan pemanfaatan tanah.
34
2. 4. Landasan Teori 2.4.1. Perubahan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Yunus (2012:86) menyebutkan bahwa adanya perembetan lahan kekotaan ke arah daerah-daerah pertanian di sekitarnya telah menimbulkan beberapa dampak terhadap kehidupan para petani. Para petani tersebut menjadi bimbang untuk tetap mempertahankan lahan pertanian atau menjual lahannya. Menurut Sargent (1976) dalam Yunus (2012:86-87) hal tersebut disebabkan adanya gangguan terhadap usaha-usaha pertanian antara lain berupa: a) terjadinya polusi air dan tanah dari kegiatan-kegiatan industri yang mencemari lahan pertanian; b) gangguan terhadap orang yang membangun permukiman di sekitar lahan pertanian; c) terjadinya gangguan terhadap saluran irigasi akibat pembangunan perumahan dan bangunan lain yang mengganggu kegiatan pertanian; d) adanya kecenderungan meningkatnya pajak karena nilai lahannya meningkat; e) adanya desakan dari anak-anak petani yang tidak suka meneruskan kegiatan bertani. Menurut Soemarwoto (1994:188-189), perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial budaya masyarakat akan menimbulkan tekanan penduduk terhadap kebutuhan akan lahan. Tekanan penduduk yang besar terhadap lahan ini diperbesar oleh bertambahnya luas lahan pertanian yang digunakan untuk keperluan lain, misalnya permukiman, jalan dan pabrik. Winoto dkk. (1996) mendefinisikan perubahan penggunaan lahan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lainnya yang bisa bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur
35
sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian tersebut berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Cullingswoth (1997) dalam Priambada dan Pigawati (2014:577-578) menyatakan bahwa perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni: 1)
Adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya;
2)
Aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota;
3)
Jaringan jalan dan sarana transportasi;
4)
Orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah dengan pusatpusat pelayanan yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan menurut
Yuniarto dan Woro (1991:35) meliputi faktor alamiah dan faktor sosial. Faktor alamiah tersebut berupa kondisi iklim, tanah, topografi dan morfologi wilayah. Sedangkan faktor sosial meliputi tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian, mata pencaharian, penggunaan teknologi dan adat istiadat yang berlaku di wilayah tersebut. Menurut Lee (dalam Yunus, 2001) dalam Yuliawati (2003:22) menyebutkan bahwa perubahan pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh 6 faktor penting yaitu karakteristik fisikal dari lahan, peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristik personal pemilik lahan, banyak sedikitnya utilitas umum, derajat aksesibilitas lahan dan inisiatif para pembangun.
36
Menurut Colby (1933) dalam Yunus (2012:177-178) berpendapat bahwa kota bersifat dinamis dalam artian selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu termasuk pula pola penggunaan lahannya. Hal itu disebabkan oleh kekuatankekuatan dinamis kota seperti penambahan dan pengurangan bangunan, pengubahan bangunan-bangunan, penambahan maupun pengurangan fungsifungsi, perubahan jumlah penduduk, perubahan struktur penduduk, perubahan tuntutan masyarakat, perubahan nilai-nilai kehidupan serta aspek-aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, psikologi, religious dan fisikal). Sedyohutomo (2008:49) menyebutkan bahwa perubahan pemanfaatan ruang dapat mengacu pada dua hal yang berbeda, yaitu pemanfaatan ruang sebelumnya dan pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang. Perubahan yang mengacu pada pemanfaatan lahan sebelumnya adalah suatu pemanfaatan baru atas lahan yang berbeda dengan pemanfaatan lahan sebelumnya. Sedangkan perubahan yang mengacu pada rencana tata ruang adalah pemanfaatan baru atas lahan yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam rencana tata ruang wilayah yang telah disahkan. Jenis perubahan pemanfaatan ruang dapat dibagi menjadi tiga cakupan yaitu: a) perubahan fungsi, merupakan perubahan jenis kegiatan; b) perubahan intensitas, mencakup perubahan KDB, KLB, kepadatan bangunan dan lain-lain; c) perubahan teknis bangunan, mencakup antara lain perubahan GSB, tinggi bangunan dan perubahan minor lainnya tanpa mengubah fungsi dan intensitasnya.
37
2.4.2. Perkembangan Permukiman Menurut Budihardjo (1998:39), perumahan selalu tumbuh sebagai proses organis bagaikan jasad hidup. Rumah berkembang sejalan dengan siklus biologis dan perubahan sosial ekonomi penghuninya. Lebih jauh Bintarto (1979) berpendapat bahwa permukiman tidak dengan sendirinya berkembang, melainkan manusia yang mengembangkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kebutuhan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Hal ini diperkuat oleh Gallion dan Eisner (1994) yang menyatakan bahwa perkembangan permukiman dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Hal tersebut secara fisik diwujudkan dengan perkembangan luas areal terbangun untuk permukiman. Menurut
pendapat
Sumaatmadja
(1993:23)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perkembangan permukiman antara lain: 1)
Faktor fisik alamiah: mempengaruhi perkembangan permukiman karena keberadaan rumah dan permukiman tidak akan lepas dari kondisi lahan yang ditempatinya, meliputi keadaan tanah, hidrografi, iklim, morfologi, sumber daya alam. Faktor tersebut membentuk pola perluasan permukiman dan bentuk permukimannya.
2)
Faktor sosial: karakter dan kondisi sosial penduduk dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
3)
Faktor budaya: pola hidup yang menjadi kebiasaan di kampung-kampung yang masih terbawa dalam lingkungan kota adalah menjaga kesehatan lingkungan dan kebersihan.
38
4)
Faktor ekonomi: kemampuan penduduk untuk memiliki tempat tinggal dipengaruhi oleh harga lahan, kemampuan daya beli, lapangan penghidupan dan transportasi.
5)
Faktor politis: kondisi politik suatu negara mempengaruhi pertumbuhan permukiman karena keadaan pemerintahan dan kenegaraan yang stabil dilengkapi peraturan dan kebijaksanaan pemerintahnya akan menciptakan suasana yang aman dan situasi yang menguntungkan untuk membangun. Kebanyakan rumah penduduk kota di Indonesia berfungsi ganda guna
menambah penghasilan. Kegiatan usaha non formal antara lain berupa warung, kios, tempat menjahit, panti pijat, cukur dan lain sebagainya sering disebut sebagai emper depan (front-porch business). Menurut Budihardjo (1998:39-40), dalam zoning tata ruang kota dan pola tata guna bangunan campuran semacam itu wajib diperhitungkan dan diabsahkan kehadirannya. Gallion dan Eisner (1994: 168) berpendapat yang sama dengan Budihardjo (1998), bahwa tidak sedikit peraturan zoning klasik secara konsisten telah menganjurkan perlindungan atas kawasan perumahan satu keluarga dari perembesan oleh penggunaan-penggunaan perumahan dengan intensitas yang lebih tinggi dan lebih lagi dari penggunaan komersial dan industri. Namun dilain pihak, bila penggunaan-penggunaan tadi direncanakan dengan hubungan timbal balik yang baik dan masalah yang berkaitan dengan spot-zoning dan penyimpangan-penyimpangan yang memberikan keistimewaan telah ditangani sebelumnya. Maka bisa diciptakan suatu kesempatan perencanaan kota yang sangat baik bagi pencampuran penggunaan-penggunaan secara seksama untuk
39
mewujudkan
kebutuhan
penghuni
tanpa
mengganggu
keleluasaan
dan
keselamatan mereka.
2.4.3. Migrasi dan Urbanisasi BPS (1995) dalam Rustiadi dkk. (2009:296) mendefinisikan migrasi sebagai proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain yang melewati
batas
wilayah
tertentu.
Perpindahan
yang
melewati
batas
desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan. Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut migrasi antar kecamatan, yang melewati batas kabupaten/kota disebut migrasi antar kabupaten/kota dan yang melewati batas provinsi disebut sebagai migrasi antar provinsi. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut disebut dengan migran. Migrasi tersebut disebabkan oleh adanya proses urbanisasi. Menurut Rustiadi dkk. (2009:296-297), urbanisasi merupakan proses berkembangnya penduduk di kawasan urban. Ada tiga macam bentuk migrasi kaitannya dengan urbanisasi, yaitu: perpindahan penduduk perdesaan menuju ke kota-kota (ruralurban migration); perpindahan penduduk dari kota menuju pinggiran kota atau disebut suburbanisasi dan ; perpindahan penduduk dari kota menuju ke perdesaan atau disebut kontra urbanisasi. Fenomena urbanisasi akibat migrasi penduduk desa ke kota telah memberikan dampak yang luar biasa pada peningkatan penduduk kota, bahkan pada tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk kota di seluruh dunia sudah mencapai sekitar 40% dari seluruh jumlah penduduk di dunia.
40
Urbanisasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain daya tarik kota yang kuat seperti adanya ketersediaan fasilitas umum yang lengkap serta ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal tersebut seperti yang disebutkan oleh Charles Whynne-Hammond (1979) dalam Rustiadi dkk. (2009:297-298) bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi adalah: 1.
Kemajuan di bidang pertanian Adanya mekanisasi di bidang pertanian mendorong dua hal yaitu bertambahnya hasil pertanian dan kedua sebagai tenaga kerja agraris pindah ke kota untuk menjadi buruh.
2.
Industrialisasi Pertimbangan pemilihan lokasi pabrik dengan mempertimbangkan kedekatan terhadap bahan baku menjadikan pekerja buruh pindah ke sekitar pabrik sehingga menumbuhkan kota-kota baru.
3.
Potensi pasar Berkembangnya industri ringan melahirkan kota-kota yang menawarkan diri sebagai pasar, sehingga kota-kota perdagangan menarik pekerja-pekerja baru dari perdesaan.
4.
Peningkatan kegiatan pelayanan Berbagai jenis jasa tumbuh di perkotaan seperti hiburan, katering dan sebagainya.
5.
Kemajuan transportasi Bersama dengan kemajuan komunikasi, transportasi mendorong mobilitas penduduk, khususnya dari perdesaan ke kota terdekat.
41
6.
Tarikan sosial dan kultural Fasilitas kota yang sangat lengkap dan menarik seperti bioskop, museum dan tempat-tempat rekreasi dapat mendorong penduduk perdesaan ke kota.
7.
Kemajuan pendidikan Menjamurnya sekolah-sekolah maupun tempat-tempat kursus di perkotaan mendorong penduduk perdesaan terpacu untuk meningkatkan pendidikannya dan tinggal di perkotaan.
8.
Pertumbuhan penduduk alami Angka kelahiran kota lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, hal ini disebabkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di perkotaan semakin lebih baik. Dengan adanya migrasi dalam proses urbanisasi tersebut, maka akan
menimbulkan berbagai dampak. Masih menurut Rustiadi dkk. (2009:300) dampak migrasi ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran yaitu akan memperburuk keseimbangan stuktural desa dan kota. Dari sisi penawaran kehadiran para pendatang tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga kerja yang terampil di perdesaan semakin menipis. Di sisi permintaan, tersedianya teknologi produksi yang canggih akan menghemat jumlah tenaga kerja, hal itu berarti permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan justru cenderung menurun. Sebagai akibat cepatnya laju peningkatan penawaran tenaga kerja dan semakin tertinggalnya tingkat pertumbuhan permintaan tenaga kerja, maka dalam jangka panjang akan menimbulkan permasalahan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan.
42
Menurut Bintarto (1986:35), urbanisasi ini menyebabkan beberapa masalah dan problema-problema bagi kota-kota yang jumlahnya tidak sedikit yaitu; 1.
Kepadatan penduduk kota menimbulkan masalah kesehatan lingkungan, masalah perumahan;
2.
Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan gelandangan;
3.
Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan industri dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus membanjiri kota- kota di negara berkembang;
4.
Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat kelancaran kota;
5.
Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi kebisingan.
43
D
D E
S
Keterangan:
I M
I: Pusat atau inti wilayah
P
D: Daerah tepi E: Aktivitas ekonomi
D
D
S: Potensi sosial budaya P: Kekuatan politik M: Migrasi
Gambar 2.4. Diagram paradigma urbanisasi Sumber: Bintarto (1986:63)
Berdasarkan Gambar 2.4. dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Banyaknya kegiatan di bidang ekonomi dan perdagangan serta kemungkinan penanaman modal di pusat wilayah banyak menarik modal daerah tepi untuk dikembangkan di kota atau di pusat wilayah. Arusnya akan lebih besar arus ke pusat wilayah dibanding arus dari pusat wilayah ke daerah tepi; 2. Kemampuan inovasi di berbagai bidang yang dimiliki oleh pusat wilayah banyak yang mengalir mempengaruhi daerah pedesaan atau daerah tepi; 3. Demikian pula halnya pengaruh pemerintahan pusat banyak yang mengarah ke pedesaan baik berupa berbagai anjuran dan informasi pembangunan dan pengembangan daerah pedesaaan dan daerah tepi; 4. Kemudian mengenai daya dorong-tarik migrasi yang dapat mempengaruhi pola pemukiman dipusat wilayah maupun di daerah tepi banyak dipengaruhi
44
oleh daya tarik kota, karena adanya berbagai potensi pengembangan yang tersimpan dipusat wilayah. Daya tarik inilah yang menyebabkan tingkat urbanisasi menjadi semakin membesar.
2. 5. Model Penelitian Model penelitian adalah abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar, bagan, grafik dan lain sebagainya. Model penelitian yang berjudul Perkembangan Permukiman Pasca Kegiatan Konsolidasi Tanah (LC) di Desa Sumerta Kelod Kota Denpasar ini dapat diuraikan sebagai berikut: Sebelum dilaksanakan kegiatan LC, sebagian besar wilayah Desa Sumerta Kelod merupakan areal persawahan yang subur, sedangkan areal permukimannya masih sedikit. Pada saat itu sarana dan prasarana umum di wilayah ini masih minim, akses jalan belum memadai, kondisi kapling tanah belum teratur serta tidak seluruh bidang tanah memperoleh akses jalan. Setelah dilaksanakan kegiatan LC maka terjadi perubahan bentuk, luas dan letak bidang-bidang tanah serta terjadi perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Di samping itu dengan adanya prasarana jalan yang terbangun dengan baik, maka seluruh bidang tanah pada kawasan pelaksanaan kegiatan LC tersebut bisa menghadap ke jalan dan fasilitas umum serta fasilitas sosial terpenuhi dengan baik. Keteraturan kapling-kapling tanah serta tersedianya fasilitas umum dan sosial dengan baik mendorong masyarakat di Desa Sumerta Kelod maupun masyarakat luar wilayah desa untuk membangun permukiman. Sehingga dari
45
waktu ke waktu terjadi perubahan penggunaan tanah dari kawasan pertanian menjadi kawasan permukiman. Kondisi permukiman di kawasan tersebut cukup padat dan pada umumnya teratur, tertib dan asri, namun muncul pula permukiman yang tidak teratur (kumuh). Perkembangan permukiman tersebut dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk (alami maupun akibat adanya migrasi), tingkat ekonomi penduduk dan aksesibilitas penduduk terhadap mata pencaharian mereka maupun lokasi kegiatan lainnya. Perkembangan permukiman tersebut juga berdampak positif maupun negatif terhadap citra kota, sehingga perlu dilakukan suatu kajian yang merujuk pada berbagai teori terkait dengan rumusan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Selanjutnya diharapkan dapat diperoleh rekomendasi yang tepat sasaran terhadap pengendalian perkembangan permukiman khususnya di Kota Denpasar. Untuk lebih jelasnya model penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.5. berikut.
46
EVALUASI SUMMATIF PROGRAM KONSOLI DASI TANAH (LC) DI DESA SUMERTA KELOD, KOTA DENPASAR
1. Terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang 2. Muncul titik-titik kumuh
Bagaimana perubahan penggunaan dan pemanfaatan bidangbidang tanah pasca konsolidasi tanah di Desa Sumerta kelod?
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman pasca konsolidasi tanah di Desa Sumerta kelod?
Masalah penelitian
Pertanyaan penelitian
Bagaimana dampak fisik perkembangan permukiman pasca konsolidasi tanah di Desa Sumerta kelod?
Teori perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah Teori perkembangan permukiman Teori Teori migrasi dan urbanisasi
Gambar 2.5. Diagram model penelitian Sumber: Penulis, 2015