BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Informasi yang berhubungan dengan penelitian sastra di Kabupaten Teluk Wondama secara keseluruhan belum banyak. Sastra lisan Teluk Wondama juga masih sulit ditemukan, sehingga sastra lisan ini masih memerlukan penelitian mendalam dari berbagai segi. Beberapa hasil penelitian di Papua juga belum banyak mengungkap aspek-aspek sastra untuk memberikan latar belakang kepustakaan. Demikian juga kajian tentang mitos Kuri dan Pasai ini. Sepanjang diketahui belum ada kajian tentang mitos Kuri dan Pasai ini secara khusus. Akan tetapi, ada beberapa kajian, baik tentang Papua maupun Indonesia yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Berikut ini ada beberapa kajian dan studi yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang terkait dengan sastra lisan di Indonesia dan di Papua diuraikan secara singkat. Disertasi yang ditulis oleh Hutomo (1993) merupakan hasil penelitian mengenai Kentrung di Tuban. Dalam penelitian ini diungkapkan bagaimana kegunaan dan fungsi cerita rakyat Kentrung. Pada umumnya kegunaan cerita rakyat ini dihubungkan dengan pendidikan, yaitu penilai budaya yang terdapat pada cerita itu yang ditujukan kepada pendengar. Penelitian ini menggunakan telaah folklor humanistis, yaitu folklor yang berlatar belakang sastra. Konsep dan peralatan folklor seperti motif hipogram dan tema, konsep indeks tipe dijadikan dasar analisis. Selain itu, juga dibandingkan antara Kentrung lisan dan tulis.
13
14
Penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian yang dilakukan peneliti dari sisi garapannya, yaitu fungsi dari cerita rakyat tersebut, sedangkan perbedaannya adalah dalam penulisan Kentrung dibuat perbandingan antara Kentrung lisan dan tertulis. Sebaliknya, dalam penulisan mitos Kuri dan Pasai ini ditemukan, baik wacana yang ada di dalam cerita ini maupun makna dalam mitos Kuri dan Pasai ini. Penelitian berupa disertasi yang ditulis oleh Nani Tuloli (1991) merupakan hasil penelitian tentang Tanggomo sastra lisan di Gorontalo. Dalam penelitian itu penulis mengungkap satuan, variasi, nilai, dan fungsi Tanggomo. Penelitian ini menggunakan telaah dari segi sosiologi sastra, yaitu menganalisis sebuah teks sastra tanpa mengabaikan konteksnya sebab munculnya sebuah karya sastra memiliki hubungan dengan faktor luar, yaitu masyarakat dan budaya. Komposisi atau kerangka Tanggomo dianalisis dengan menggunakan konsep formula A.B Lord. Apakah formula dapat digunakan sebagai tolak ukur pada ragam Tanggomo. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara formula yang dikembangkan oleh Lord dan formula yang terdapat dalam Tanggomo. Relevansi dengan penulisan Tanggomo ini adalah dari sisi garapannya, penulis mengungkapkan hal yang sama dengan penelitian Kuri dan Pasai, yakni tentang satuan, nilai/makna, dan fungsi, tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Penelitian Tanggomo menggunakan telaah dari sosiologi sastra. Sebaliknya, penenelitian Kuri dan Pasai menggunakan semiotik sebagai teori pembedah.
15
Penelitian yang ditulis oleh Sunaryo H.S. dkk. (1997) merupakan hasil penelitian tentang ’Perkembangan Ludruk di Jawa Timur’ yang meneliti Ludruk dari sisi wacana. Penelitian meliputi bentuk, fungsi, dan nilainya dari suatu periode ke periode berikutnya. Aspek-aspek kewacanaan Ludruk diuraikan berdasarkan pendekatan kewacanaan dan teori semantik sosial. Kedua teori ini digunakan untuk meneliti aspek-aspek kewacanaan dalam Ludruk
meliputi
medan wacana, pelibat wacana, sarana wacana, dan pragmatika sebagai sistem interpretasi dalam wacana Ludruk. Penelitian ini memiliki jangkauan masalah yang mencakup perkembangan semua unsur wacana Ludruk pada berbagai konteks komunitasnya. Adapun relevansi penelitian ini adalah dari segi garapannya, yaitu tentang wacana.
Penelitian wacana tersebut meliputi bentuk, fungsi, dan nilainya.
Persamaan antara penulisan mitos Kuri dan Pasai dan mitos ini adalah sama-sama menelaah, baik dari sisi wacana, bentuk, fungsi, maupun makna yang terdapat di dalam mitos tersebut. Penelitian lain dalam bentuk tesis oleh Sartini (1998) yang berjudul ’Wacana Tenganan Pegringsingan: Sebuah Analisis Semiotik Sosial’. Teori yang digunakan dalam menganalisis wacana ritual adalah teori kohesi dan semiotik sosial oleh Halliday & Hasan. Teori ini membahas kekohesifan sebuah teks dan satuan serta mencari ciri khusus wacana ritual masyarakat Tenganan berdasarkan pemakaian bahasa sehari-hari. Semiotik sosial digunakan untuk menganalisis fungsi dan makna ritual tersebut dalam konteks budaya dan konteks situasi yang dibingkai dengan tiga fitur, yaitu field, mod, dan tenor. Hasil penelitian ini
16
menunjukkan bahwa wacana ritual masyarakat Tenganan terdiri atas pembukaan, isi, dan penutup. Fungsi wacana ritual adalah berhubungan dengan tujuan dilaksanakannya upacara-upacara tertentu, sedangkan makna ritual adalah kebermaknaan wacana secara semiotik sosial merupakan kebermaknaan wacanawacana ritual tersebut, baik untuk individu, pelibat, maupun masyarakat Tenganan Pegringsingan itu sendiri. Dalam tesis ini, Sartini lebih menegaskan bahwa wacana ritual yang terdapat di dalamnya dianalisis berdasarkan teori semiotik sosial. Teori itu digunakan untuk menganalisis fungsi dan makna ritual dalam konteks budaya. Relevansi penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada fokus kajiannya, yaitu fungsi dan makna suatu wacana dalam suatu komunitas. Dalam kajian di atas teori semiotik sosial merupakan teori pembedah, berbeda dengan mitos Kuri dan Pasai walaupun sama-sama meneliti fungsi dan makna suatu bahasa. Namun, teori semiotik hanya merupakan teori acuan dan didukung oleh teori-teori lainnya, yaitu teori satuan naratif, teori fungsi, dan teori makna. Argawa (2005), hasil penelitiannya berupa tesis berjudul ”Fungsi dan Makna Mitos Dewi Anjani dalam Kehidupan Masyarakat Sasak”. Hasil analisisnya mengungkapkan bahwa mitos Dewi Anjani mencerminkan nilai budaya yang berfungsi atau berpengaruh dalam kehidupan religius masyarakat Sasak sebagaimana tampak dalam upacara (ritual) Ziarah Makam, Metulak, Membangar, Ngayu-ayu, dan Perang Topat. Ritual Ziarah Makam, Metulak, dan Membangar dilandasi oleh konsep kepercayaan akan adanya leluhur atau nenek moyang yang memberikan berkah atau keselamatan bagi kehidupan. Sebaliknya,
17
ritual Ngayu-ayu dan Perang Topat dilandasi oleh konsep tentang air sebagai sumber kehidupan dan sumber kesuburan. Relevansi dengan penelitian ini adalah dari sisi garapannya, yaitu satuan, fungsi dan makna mitos. Isi kajian sama, yaitu nilai budaya yang sedikit banyak berfungsi dalam kehidupan religius. Penelitian ini juga mengungkapkan maknamakna yang terdapat di dalam cerita yang kemudian dihubungkan dengan kehidupan sosial masyarakat pemilik mitos tersebut. Kusuma (2005) dalam buku berjudul Kakawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Konsep-Konsep Keagamaan membahas bentuk Kakawin Usana Bali. Di dalamnya dibahas bentuk formal juga satuan naratif dan tokoh-tokoh dalam KUB tersebut. Satuan naratif penelitian tersebut dianalisis menurut seorang ahi sastra India (Kawya) yang berrnama Dandin dalam karyanya yang berjudul Kawyadarsana yang mengatakan bahwa karya sastra yang besar harus memiliki kriteria satuan naratif yang mengandung kategori isi, yaitu
(1) pujaan pembukaan (manggala), (2)
memaparkan suatu wilayah (nagara), (3) utusan (dǔta), (4) keberangkatan pasukan (prȃnanya), (5) pertempuran (aji), (6) pujaan pada pahlawan (nȃyaka), (7) kemenangan sang pahlawan
(nȃyakabyudaya), (8) melukiskan keindahan alam
tentang lautan (arnawa), pegunungan (saila), hutan (wana), musim (rtu), dan bulan purnama (candradaya), (9) melukiskan permainan: permainan di taman (udaynakrida), permainan di air (salikăkrida), (10) melukiskan pesta (madhupana natapwara), (11) melukiskan percintaan: kasih sayang (srngăkrida) , penuh kesenangan (sambhogasrngara), cinta ditolak (vivralamba), (12) melukiskan rasa
18
sentimen dan emosi (rasabawanirantara), (13) akhir yang menyenangkan (rdhimat) dan masih banyak kategori isi satuan naratif yang belum dapat diidentifikasikan. Buku itu mempunyai relevansi dengan penelitian mitos Kuri dan Pasai ini karena mengungkapkan satuan naratif bentuk dan telaah mengenai tokoh-tokoh dalam Kakawin Usana Bali. Penelitian mitos Kuri dan Pasai ini juga mengungkapkan bentuk satuan naratif dan analisis mengenai tokoh-tokoh dalam mitos Kuri dan Pasai. Kajian kepustakaan berikut ini dilihat dari hasil penelitian sastra lisan dari Papua.
Perbandingan
ini
diperlukan
untuk
mengetahui
perbedaan
dan
persamaannya dengan penelitian ilmiah yang lain tentang sastra lisan, khususnya sastra lisan yang berada di Papua. Kamma (1974) menulis dalam buku Ajaib di Mata Kita. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bertujuan mendeskripsikan ragam sastra lisan Woor di Biak. Dari hasil penelitian tersebut telah diungkapkan empat belas ragam Woor, yang meliputi syair yang berhubungan dengan kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan kematian, manusia dengan alam, manusia dengan kekuatan gaib, manusia dengan perjuangan atau peperangan, manusia dengan roh, dan sebagainya. Deskripsi jenis-jenis woor tersebut diungkapkan secara garis besar dan fungsi-fungsinya. Upacara-upacara ritual pada masyarakat ini menjadi pusat kehidupan etnik bangsa Biak-Numfor. Kamma memperoleh asumsi dan kesan bahwa seolah-olah masyarakat selalu sibuk mengadakan upacara-upacara atau pesta-pesta adat yang lazimnya disebut “fararur beba” atau pesta/karya
19
besar. Hal ini disebabkan oleh pesta (Munara) masyarakat Biak-Numfor merupakan peristiwa yang menyangkut dua pihak, yakni orang yang bertalian dengan darah atau saudara dalam satu kekerabatan dan berdasarkan hubungan perkawinan. Relevansi penelitian ini adalah Woor dan Kuri dan Pasai sama-sama merupakan sastra lisan dari Papua. Woor merupakan sastra lisan yang berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungannya, dengan kata lain Woor juga merupakan sastra lisan yang berhubungan dengan kepercayaan sama halnya dengan Kuri dan Pasai. Perbedaan penelitian ini terletak pada fokus penelitian, yaitu penelitian Woor fokus kepada deskripsi dan jenis-jenis Woor dan fungsi-fungsinya. Sementara kajian mitos Kuri dan Pasai fokus, baik kepada wacana yang terdapat dalam mitos ini maupun fungsi dan makna mitos ini kepada generasi penerus etnik Wamesa pemilik mitos. Wompere (1991) dengan hasil penelitian yang berjudul ”Penghargaan yang Terkandung dalam Nyanyian Asli Woor Berbahasa Biak”. Penelitian ini mengkaji nilai-nilai dan falsafah hidup orang Biak yang terdapat dalam Woor. Kajian ini juga mendeskripsikan organisasi sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat Biak, yaitu keret sebagai kesatuan sosial yang bersifat eksogam dan patrilokal. Organisasi dan perencanaan masyarakat Biak dahulu diatur di dalam kampung atau mnu oleh seorang pemimpin yang disebut Mananwir. Dalam siklus hidup etnik Biak Numfor ditandai dengan upacara adat (Munara/Wor) yang dapat mengikat hubungan-hubungan sosial, baik secara umum maupun khusus dalam hubungan kekerabatan berdasarkan status perkawinan dan kepemilikan tanah.
20
Relevansi penelitian tersebut dengan mitos Kuri dan Pasai, yaitu keduanya merupakan sastra lisan dari Papua dan keduanya menggarap nilai-nilai yang ada dalam sastra lisan. Penelitian tersebut mengarah kepada kehidupan sosial masyarakat Biak dalam suatu orgnisasi terkecil, Sementara penelitian Kuri dan Pasai lebih mengarah kepada satuan naratif dan wacana yang terkandung dalam cerita tersebut serta fungsi dan makna yang terdapat di dalamnya. Hasil penelitian lain diadakan Mawene dkk. (1995) yang berjudul ”Struktur Sastra Lisan Waropen”. Penelitian ini mengkaji satuan sastra lisan yang di dalamnya diungkapkan unsur-unsur cerita rakyat, seperti tema, amanat, latar, penokohan, dan alur. Analisis ini hanya mengungkapkan unsur intrinsik pada sastra lisan Waropen tersebut. Relevansi dengan penelitian ini sebatas pengungkapan tokoh-tokoh dalam sstra lisan. Sementara, kelebihan penelitian Kuri dan Pasai terletak pada fokus analisis. Analisis mitos Kuri dan Pasai selain membahas satuan naratifnya, juga melihat wacana yang terdapat di dalam satuan naratif serta fungsi dan makna yang terdapat di dalam mitos bagi masyarakat Teluk Wondama khususnya etnik Wamesa. Penelitian juga dilaksanakan oleh Raymond Fatubun dkk. (1998) berjudul ”Struktur Sastra Lisan Biak”. Dalam penelitian ini diungkapkan unsur-unsur cerita rakyat, seperti tema, amanat, latar, penokohan, dan alur. Sama halnya seperti penelitian Struktur Sastra Lisan Waropen di atas dalam penelitin ini juga diungkapkan unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra ini. Jadi, pembahasannya mencakup tokoh dan penokohan, plot, tema, dan amanat.
21
Relevansi dengan penelitian ini yaitu sama-sama merupakan sastra lisan Papua, tetapi penelitian tersebut hanya sebatas mengkaji dari segi struktur. Sebaliknya, penelitian ini mengkaji lebih dalam tentang wacana serta fungsi dan makna di dalam cerita Kuri dan Pasai juga manfaatnya bagi masyarakat. Penelitian tentang struktur juga dilakukan oleh Raymond Fatubun dkk. (2000) berjudul ”Struktur Sastra Lisan Sentani”. Penelitian itu mendeskripsikan struktur dalam sastra lisan Sentani, terutama tentang unsur intrinsik cerita, seperti plot cerita, penokohan dan tokoh, setting baik setting fisik maupun setting spiritual, kemudian tema. Dalam analisis tersebut ada analisis arketipe, ada tokoh arketipe, situasi arketipe, dan simbol arketipe. Dari data yang terkumpul, ada sepuluh cerita memiliki plot maju datar dan enam belas cerita memiliki plot maju menanjak. Di samping itu terdapat enam subplot. Bentuk plot berdasarkan nasib tokoh cerita dan karakter, cerita itu dapat digolongkan menjadi lima buah cerita yang memiliki the degeneration plot; satu buah cerita reform plot; enam buah cerita tragic plot; tujuh buah cerita pathetic plot; enam buah cerita memiliki punitive plot; satu cerita sentimental plot; satu buah cerita admiration plot. Dari cerita terdapat tiga belas tokoh sederhana/statif dan tiga puluh lima tokoh rumit/dinamik. Dari latar (setting), cerita dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu latar fisik (physical setting) dan latar spiritual (spiritual setting). Relevansi penelitian ini hanya terkait pada pembahasan unsur intrinsik dalam mitos Kuri dan Pasai. Dalam penelitian ini mitos dikaji wacana dan fungsi mitos Kuri dan Pasai serta makna yang terkandung di dalamnya.
22
Dharmojo (2005) dalam hasil penelitian disertasi berupa buku yang berjudul ”Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua”.
Kajian ini
mengungkapkan Munaba menghadirkan konstruksi realitas kebudayaan Waropen Papua yang dipandang berharga dan dinilai oleh masyarakat Waropen. Munaba dapat dipandang sebagai wacana dan sekaligus inskripsi yang merepresentasikan konstruksi realitas budaya Waropen. Munaba merupakan sarana komunikasi sosial untuk menyampaikan ajaran, pendidikan, nasihat, informasi, dan sebagainya kepada generasi penerus. Kajian ini berfokus pada pengidentifikasian dan menginterpretasi bentuk simbol, makna simbol, dan fungsi simbol dalam Munaba. Kajian ini juga mengulas secara mendetail konsep Munaba yang dipandang sebagai suatu ritual yang diperuntukkan bagi keturunan Sera 'raja' atau orang yang memiliki status sosial tinggi. Dalam Munaba ini dituturkan atau dinyanyikan syair-syair nyanyian besar yang melibatkan para aktor atau pelaku. Wacana ini berisi cerita yang menggambarkan kehormatan, keteladanan, kebesaran, kebaikan, dan kearifan dalam kehidupan masyarakat Waropen. Munaba Waropen merupakan tradisi lisan yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Waropen karena digunakan sebagai media komunikasi sosial untuk penyampaian ajaran, nasihat, informasi, dan sebagainya kepada generasi penerusnya. Fokus kajian ini adalah mengidentifikasikan dan menginterpretasikan bentuk simbol, makna simbol, dan fungsi simbol dalam Munaba. Relevansi penelitian ini dengan penelitian Mitos Kuri dan Pasai dalam Etnik Wamesa adalah sama-sama melihat simbol yang terdapat di dalam cerita/syair yang kemudian dari simbol tersebut dilihat apa fungsinya bagi
23
masyarakat pemiliknya. Seperti halnya Munaba yang merupakan suatu ritual hanya boleh dinyanyikan oleh seorang sera atau keturunan raja, mitos Kuri dan Pasai juga merupakan salah satu mitos yang bagian dalam ceritanya hanya boleh diceritakan oleh suatu garis keturunan tertentu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Warami dan Mora (2005) yang berjudul ”Sastra Lisan Arfak”. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang mendeskripsikan cerita rakyat Arfak dan mengidentifikasi bentuk cerita. Berdasarkan klasifikasinya, penelitian sastra lisan Arfak mencakup empat etnik, yakni etnik Sough, Hattam, Meyah, dan Moskona. Keempat etnik ini kemudian berhimpun menjadi etnik besar yang dikenal dengan etnik Arfak yang mendiami Pegunungan Arfak dan sekitarnya. Berdasarkan jenisnya, sastra lisan Arfak (cerita rakyat) tergolong dalam jenis cerita mite, legenda, dan dongeng. Relevansi dengan penelitian ini terletak pada fokus penelitian, yaitu mendeskripsikan cerita dan bentuk sastra lisan tersebut. Kelebihan penelitian Kuri dan Pasai, yaitu menganalisis wacana yang terdapat di dalamnya dan fungsi serta makna mitos Kuri dan Pasai bagi masyarakat pendukungnya. Handayani (2000) dengan hasil penelitiannya berupa tesis, dengan judul ”Wacana Kayob dalam Masyarakat Biak”. Kajian ini mengungkapkan satuan naratif Kayob sebagai sastra lisan Biak serta fungsi dan makna yang terkandung dalam Kayob. Selain itu cara masyarakat Biak merefleksikan makna-makna tersebut dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian tentang Kayob ini merupakan bentuk sastra lisan yang diciptakan secara spontan tanpa terikat oleh kerangka atau konvensi tertentu. Kayob berbentuk puisi terikat yang bersifat beyuser
24
‘pengisahan’. Syairnya merupakan cerita sedih dan filosofi yang banyak mengungkapkan aspek sosial budaya dan merupakan refleksi kehidupan masyarakat Biak pada masa lampau dan masa kini. Kayob dalam hubungannya dengan masa lampau dapat dilihat melalui pemaknaan tuturan, yaitu berisi konsep dasar tentang kematian bagi masyarakat Biak. Ada relevansi antara penelitian Handayani dan penelitian ini, yaitu pada fokus keduanya sama, yaitu fungsi dan makna yang terkandung di dalam sastra lisan tersebut. Akan tetapi, salah satu di antaranya berupa syair dan satunya prosa. Namun, sama memiliki satuan di dalamnya dan fungsi serta makna tersendiri . Penelitian lain dilakukan oleh Griapon dkk. (2009) berupa buku kumpulan cerita berjudul ”Cerita Rakyat Papua dari Jayapura yang Terhempas dalam Goncangan Peradaban”. Buku ini hanya berisikan kumpulan cerita sastra lisan terpilih di Jayapura. Di dalamnya terdapat dua puluh empat cerita yang berasal dari Jayapura. Enam orang penulis buku ini bertindak sebagai pencerita ulang, Penerbitan buku ini sebagai upaya ‘mengonsepkan” tulisan dari orang-orang asli Papua di Kabupaten Jayapura yang pada waktu lalu hanya disampaikan dalam bentuk penuturan lisan ketika mereka mentransfer informasi dan pesan kepada pendengar cerita. Penulisan buku ini dilakukan di tengah-tengah guncangnya cerita lokal Papua akibat masuknya cerita-cerita luar Papua, baik dalam bentuk buku-buku maupun film-film. Banyak generasi penerus saat ini yang terkontaminasi oleh budaya luar, maka usaha penerbitan buku ini dilakukan.
25
Tujuannya adalah agar kearifan budaya asli tidak terguncang dan terhempas oleh perubahan peradaban. Buku tersebut berisi tentang kumpulan cerita sastra lisan dari Jayapura. Relevansi dengan penelitian ini, yaitu salah ada cerita dalam buku tersebut tentang Maruway, yaitu laki-laki yang perkasa yang memiliki kebiasaan berburu sama halnya dengan Kuri tokoh dalam cerita. Dia adalah gambaran laki-laki yang perkasa dan memiliki kebiasaan berburu. Isi buku tersebut hanya merupakan kumpulan cerita sastra lisan, tetapi
tidak mengkaji/menganalisis, baik sisi
intrinsik maupun ektrinsik cerita lisan tersebut. Penelitian-penelitian di atas hanya merupakan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian mitos Kuri dan Pasai ini yang dilihat dari dalam Papua maupun luar Papua. Mitos Kuri dan Pasai ini seperti telah dijelaskan pada awal bahwa sepanjang diketahui belum ada penelitian yang pernah dilakukan untuk mengkaji mitos ini. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti mitos ini, yaitu baik wacana di dalam satuan naratif mitos ini maupun fungsi dan makna mitos ini dalam etnik Wamesa. Dari segi satuan, kajian ini melihat bagaimana satuan naratif dalam mitos ini. Hal tersebut meliputi unsur intrinsik mitos ini. Kemudian mengenai fungsi, dalam kajian ini dilihat bagaimana fungsi mitos Kuri dan Pasai ini bagi masyarakat asli atau etnik Wamesa itu sendiri. Selain itu, makna-makna apa yang terkandung di dalam mitos Kuri dan Pasai ini dalam etnik Wamesa di Kabupaten Teluk Wondama. Penelitian ini menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Barthes sebagai payung teori. Satuan naratif mengarah kepada satuan naratif dan wacana, kemudian fungsi menurut teori fungsi Teeuw,
26
sedangkan makna menurut teori Shipley yang terkandung di dalam mitos Kuri dan Pasai. Beberapa konsep dan teori mengenai kajian ini dijelaskan di dalam penjelasan berikut.
2.2 Konsep 2.2.1
Konsep Wacana Wacana merupakan satu unsur dalam kebahasaan dan kajian wacana
merupakan kajian yang berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal). Ada banyak definisi mengenai wacana. Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno – Indonesia karangan Wojowasito (1989:651 dalam Mulyana, 2005:3) terdapat kata ’waca’ yang berarti ’baca’, kata u/maca yang artinya ’membaca’, pamacam (pembacaan), ang/mawacana (berkata) , wacaka (mengungkapkan), dan wacana yang artinya ’perkataan’. Dapat diasumsikan menurut Wojowasito wacana berarti perkataan. Jadi, wacana merupakan perkataan-perkataan yang diungkapkan seseorang tentang apa yang dilihat, didengar, dan dipahaminya. Dalam bahasa Inggris wacana disebut discourse. Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ’discursus’ yang berarti ’lari ke sana kemari, ’lari bolakbalik’. Kata ini diturunkan dari ’dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus berarti ’lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal usul kata adalah : dis
+
currere
discursus
discourse
27
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tertulis. Webster dalam Mulyana ( 2005:4) memperluas makna discourse sebagai (1) komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, (3) risalah tulis, ceramah, dan sebagainya. Dalam Eriyanto dinyatakan bahwa wacana adalah (1) sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya, sebuah unit yang dihubungkan dengan ucapan dan tulisan ( Longman Dictionary of the English Language, 1984). Analisis ini memfokuskan pada satuan naratif yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana, seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan (Crystal:1987). Sementara Ratna (2007:246) menekankan bahwa setiap unit wacana, baik besar maupun kecil ,jelas memiliki bentuk, sebagai satuan tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, positif, negatif, sebagai fungsi. Akhirnya, wacana akan menampilkan makna, hasil-hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan fungsi. Dalam penelitian ini konsep wacana lebih mengarah kepada konsep wacana Ratna seperti dalam penjelasan di atas.
2.2.2 Konsep Sastra Lisan Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan(dari/untuk/ke mulut) kepada generasi berikutnya (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan ini milik masyarakat yang mempunyai cerita tersebut, dapat dikatakan juga
28
sastra daerah yang disebarkan dari mulut ke mulut dengan menggunakan bahasa daerah. Sastra daerah ini merupakan intuisi dan kreasi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media seperti yang diuraikan Robson ( dalam Udin, 1984/1985:21) bahwa tradisi lisan adalah ide satu orang, tetapi mungkin berasal dari masyarakat yang diangkat oleh seseorang berkat ketajaman penghayatannya. Sastra lisan memegang peranan aktif untuk jangka waktu yang lama sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi masyarakat. Ini memiliki pengaruh yang sangat kuat kepada masyarakat sehingga di samping memberikan pikiran juga membentuk norma pada orang sezamannya serta generasi berikutnya. Penyebaran sastra lisan sangat terbatas, bahkan bisa berangsur-angsur hilang karena penuturnya yang semakin lama semakin berkurang disebabkan oleh kematian ataupun asimilasi dengan budaya lain. Sastra lisan tidak hanya dibentuk, tetapi juga membentuk kebudayaan lisan dengan the oral state of mind-nya, yang oleh Teeuw (1988:446) dikelompokkan dalam kebudayaan tradisional. Di dalamnya dipentingkan aspek mimesis, yakni reprensentasi, meniru, meneladan, dan membayangkan kenyataan. Dalam konsep penciptaan sastra lisan, tukang cerita meneladan kenyataan dan/atau konvensikonvensi penciptaan sebelumnya lewat pemakaian bahasa formulaik dan konvensional yang tersedia dan siap pakai. Wacana kebudayaan lisan sangat tergantung kepada ungkapan-ungkapan baku, dalam bentuk bergaya, misalnya dalam peribahasa dan kata-kata adat (Sweeny, 1987:96--97) yang berakar dalam kehidupan sosial serta mempengaruhi seluruh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.
29
Dari penguraian di atas diketahui, bahwa sastra lisan diturunkan secara lisan turun-temurun, maka sastra lisan sangat sulit dipertahankan keasliannya. Artinya, bisa terjadi perubahan akibat perkembangan zaman ataupun perubahan bahasa yang berkembang. Akan tetapi sastra lisan juga sekaligus bisa mempersatukan suatu daerah, baik lewat bahasa daerah yang digunakan maupun pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam penceritaan tersebut.
2.2.3 Konsep Mitos Mitos sebagai sarana informasi terkadang dipandang sebelah mata oleh para ahli, terlebih setelah mengakarnya zaman modern. Mitos sebagai hasil karya masyarakat asli seakan-akan sudah kehilangan esensinya. Posisi mitos sebagai hasil cipta sastra seolah-olah digantikan oleh teknologi yang sifatnya rasional. Nilai guna yang diusung oleh mitos tergantikan oleh nilai lebih yang ditawarkan ilmu pengetahuan modern (Yunis, 2010:1). Selanjutnya, mitos juga sebagai pengikat emosional masyarakat dengan lingkungannya memberikan peluang dan pilihan terhadap rakyatnya. Artinya, pelaksanaan perintahnya tanpa paksaan, tetapi memberikan tawaran kearifan budi pekerti dan menyuruh individu berhenti sejenak dan menentukan sikap (Yunis, 2010:8). Mitos merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan (Barthes, 2004: 151- 152). Ini membenarkan seseorang untuk berprasangka bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara pemaknaan, sebuah bentuk. Wellek dan Warren (1989:243) memberikan pengertian yang lebih luas, yaitu mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai asal mula alam semesta dan
30
nasib serta tujuan hidup: penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citra alam, dan tujuan hidup manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik. Dari penjelasan di atas dapat diasumsikan bahwa mitos merupakan suatu bentuk komunikasi yang mengandung pesan yang bersifat mendidik tanpa paksaan kepada penerima mitos tersebut.
2.2.4 Konsep Kuri dan Pasai Kuri dan Pasai adalah salah satu sastra lisan yang berasal dari Kabupaten Teluk Wondama. Kuri dan Pasai merupakan nama tokoh utama dari cerita ini. Keduanya merupakan sosok manusia raksasa yang begitu dipercaya pernah hidup di Kabupaten Teluk Wondama. Sastra lisan ini cukup dikenal dan dipercayai sampai saat ini, bahkan ada lagu yang dibuat berdasarkan cerita ini. Seperti telah diceritakan bahwa cerita ini berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Teluk Wondama. Di akhir mitos ini disebutkan bahwa setelah pertengkaran kedua kakak-beradik tokoh utama dari cerita ini. Kuri berjalan ke arah timur dan Pasai pergi ke arah barat dan keduanya berjanji bahwa suatu saat akan kembali. Sebagian etnik Wamesa percaya bahwa hal itu akan terjadi, apalagi para tetua di Kabupaten Teluk Wondama ini. Kuri merupakan nama tokoh dalam mitos ini, Kuri adalah seorang raksasa yang kuat dan perkasa, tetapi memiliki sifat yang kurang baik. Di kalangan etnik Wamesa tokoh Kuri juga dikenal dengan tokoh yang suka menipu juga suka manantang manusia biasa untuk berperang. Sementara, tokoh Pasai adalah tokoh
31
yang baik. Pasai kurang menyukai sifat kakaknya, yaitu Kuri yang kurang baik. Pasai merupakan tokoh yang dianggap pahlawan yang memiliki sifat positif dan lebih dipuji karena sifatnya yang baik dibandingkan dengan tokoh Kuri di mata etnik Wamesa. Sebagai sastra lisan Kuri dan Pasai memiliki banyak versi. Hal itu akibat dari berkembangnya mitos dari mulut ke mulut dan juga disebabkan oleh tidak adanya dokumen tentang cerita asli. Meskipun demikian masyarakat masih menghargai dan percaya tentang kebenaran mitos tersebut. Hal ini diperkuat dengan beberapa bukti peninggalan yang masih ada sampai saat ini. Peninggalanpeninggalan tersebut merupakan tempat keramat saat ini.
2.3 Landasan Teori Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mencari bentuk, fungsi, dan makna mitos Kuri dan Pasai, maka penelitian ini menggunakan teori semiotik ranah Barthes sebagai teori pijakan utama. Selain itu, didukung pula oleh beberapa teori lain sebagai acuan analisis satuan naratif, fungsi, dan makna, yaitu teori satuan naratif, teori fungsi (Teeuw), dan teori makna (Shipley).
2.3.1 Teori Semiotik Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna yang terkandung di dalam mitos Kuri dan Pasai yang mencerminkan kehidupan budaya masyarakat Teluk Wondama. Untuk kepentingan ini teori semiotik merupakan salah satu cabang penelitian sastra yang mengungkap sistem
32
tanda (Endraswara; 2008:64). Sistem-sistem tanda ini terkandung di dalam karya sastra, dan menganut sistem yang ada di dalam masyarakat pemilik karya sastra itu dihasilkan. Karya sastra yang murni lahir dari masyarakat akan lebih banyak menyimpan sejuta tanda yang mengandung makna yang dalam bagi masyarakat pemiliknya. Ilmu yang mempelajari tanda-tanda adalah semiotik. Semiotic is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain, seperti words, images, sounds, gesture, dan object. Sementara de Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi, yakni sebuah studi tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotic was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign. Hoed (2011:44) menyatakan bahwa semiotik melihat berbagai gejala dalam suatu kebudayaan sebagai tanda yang dimaknai masyarakatnya. Secara garis besar, teori-teori semiotik dapat dibedakan teori tentang tanda yang bersifat dikotomis dan trikotomis (atau diatik dan triadik). Yunus (1985:74) juga menyatakan sebagai tanda, setiap aktivitas manusia dilihat dalam sistem dyatic, yaitu significant (=sa) dan signifié (=se) dikembangkan oleh de Saussure.
sesuai dengan sistematik yang
33
Ferdinand de Saussure (1916) melihat tanda terdiri atas signifiant (bentuk) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penanda dan signifié (makna) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai istilah petanda. Selain itu, dapat juga dilihat dalam hubungan sistem tryadic; sign, referent, dan interpretant sesuai dengan sistematik yang dikembangkan Peirce (bdk. Eco, 1977a:30). Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda, yaitu ikonik, indeksikal, dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik dan tidak memiliki ciri-ciri satuanal sama sekali. Penelitian ini menggunakan teori model dikotonomis de Saussure yang dikembangkan oleh Barthes yang pada dasarnya bertujuan sama
dengan
trikotomis
Barthes
menurut
Barthes
(dalam
Hoed
2011:158--159).
mengemukakan bahwa ditinjau dari segi pemakai tanda, hubungan penanda (disebut expression ‘ungkapan’; lambang E) dan petanda (disebut contenu ‘isi’; lambang C) juga tidak hanya terjadi satu kali, tetapi berlanjut. Ia mengemukakan bahwa hubungan atau relasi ( R) dalam konteks E1-R1-C1, yang merupakan hubungan dalam yang disebutnya sistem primer akan mengalami perluasan ke arah suatu sistem sekunder yang mengandung relasi baru (E2-R2-C2). Sistem
34
sekunder ini terdiri atas dua jenis, yaitu yang berorientsi pada E (ungkapan) dan yang berorientasi pada C (isi). Berikut ini gambar konotasi menurut Barthes (1964) (Konotasi) Makna Sekunder (Denotasi) Makna Primer
Expressions 2 (Bentuk) Expression 1 Contenu 1 (Bentuk) (Isi) (Sumber, Hoed: 159)
Contenu 2 (Isi)
Sistem Sekunder
Sistem Primer
Penelitian ini bertujuan meneliti wacana Kuri dan Pasai dalam masyarakat Kabupaten Teluk Wondama serta tanda-tanda dan makna yang terkandung di dalam mitos tersebut. Artinya, menelusuri mitos Kuri dan Pasai serta kandungan maknanya. Telah dijelaskan di atas bahwa proses pemaknaan yang dilakukan di sini adalah melihat bagaimana bentuk satuan naratif, fungsi, dan makna mitos Kuri dan Pasai.
2.3.2 Teori Satuan Naratif Tiap satuan naratif atau satuan cerita juga disebut sekuen. Satuan naratif dapat terdiri atas sejumlah motif (satuan makna, biasa berisi satu peristiwa). Dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberikan simbol-simbol atau notasi tertentu (Nurgiyantoro, 2010:46). Satuan naratif berupa kumpulan episode yang ada di dalam mitos Kuri dan Pasai ini. Dalam Stanton (2007:92) dinyatakan bahwa episode naratif bercerita kepada kita bahwa sesuatu telah terjadi. Dalam episode ini, adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi sebagian besar melalui perantaraan dialog. Panjang pendek suatu adegan tergantung pada peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya. Dalam penelitian ini satuan naratif
35
mengarah kepada satuan naratif dalam Nurgiyantoro (2010: 46). Menurut Barthes (Zaimar, 1991:16), satuan cerita mempunyai dua fungsi yaitu fungsi utama dan fungsi katalisator. Fungsi utama satuan cerita adalah menentukan jalan cerita (plot), sedangkan fungsi katalisator menghubungkan fungsi-fungsi utama itu.
2.3.3 Teori Fungsi Mitos Kuri dan Pasai memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakatnya. Fungsi ini muncul karena mitos merupakan salah satu sastra lisan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakatnya. Wellek dan Warren (dalam Ratna, 2005: 124), mengatakan bahwa setiap benda berfungsi secara efisien sesuai dengan hakikatnya masing-masing. Dengan hakikat imajinasi atau kreativitas, maka fungsi utama karya sastra adalah untuk mengevokasi kemampuan manusia dalam membangkitkan citra mengenai kehidupan. Hutomo (1991:18) mengatakan bahwa fungsi sastra lisan adalah untuk kontrol sosial dan mendidik. Bronislaw-Malinowski penganut teori fungsi mengatakan bahwa cerita suci berfungsi sebagai pedoman untuk upacara keagamaan, kesusilaan, dan aktivitas masyarakat. Lebih lanjut Malinowski (dalam Hutomo, 1991:18) menyebutkan bahwa fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia. Halliday (1994:23) mengatakan bahwa fungsi harus ditafsirkan bukan saja sebagai penggunaan bahasa semata-mata, melainkan sebagai khazanah yang mendasar, sesuatu yang menjadi dasar perkembangan sistem makna. Selanjutnya Ratna (2005:130), dinyatakan bahwa fungsi antar hubungan bermakna di antara
36
unit-unit yang terlibat. Dalam hubungan inilah Merton (Kaplan, 2002 dalam Ratna, 2005:130) membedakan dua jenis fungsi, yaitu (a) fungsi manifest (nyata) dan (b) fungsi latent (tersembunyi). Manifest adalah fungsi tampak, fungsi yang dikehendaki dan disadari oleh participant sistem tersebut, sedangkan fungsi latent adalah fungsi terselubung yang tidak dikehendaki dan tidak disadari oleh masyarakat yang bersangkutan, sebagai hasil sampingan. Fanannie (2002:67) juga menyebutkan bahwa fungsi spesifik telaah adalah (1) fungsi informatif, yaitu penelaah sastra tentu akan menginformasikan eksistensi suatu karya sastra yang dikaji; (2) fungsi intelektual, yaitu hasil telaah sastra dapat memberikan pengetahuan yang bersifat keilmuan, seperti aspek pemahaman, penghayatan terhadap karya sastra, baik karya sastra yang bersifat universal maupun yang bersifat unkonvensional; (3) fungsi edukatif, yaitu hasil telaah sastra tidak saja memberikan bekal keilmuaan, tetapi diharapkan juga memberikan nilai pembentukan moral, kemanusiaan, estetika, filsafat, dan sebagainya; (4) fungsi persuasif, apresiasif, dan promotif, yaitu hasil telaah sastra mampu memberikan motivasi kepada pembaca untuk mendalami karya-karya sastra yang ditelaah. Dari pengertian-pengertian di atas dapat dikatakan bahwa setiap sesuatu (benda) memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Berkaitan dengan karya sastra fungsi tak akan lepas dari fungsi estetis dan fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Dalam karya sastra media yang digunakan untuk menggambarkan suatu fungsi adalah bahasa. Bahasa tersebut bukan bahasa yang
37
biasa, melainkan bahasa yang menyelubungi/menyimpan sesuatu yang disebut sebagai makna. Analisis fungsi mitos Kuri dan Pasai ini mengarah kepada teori fungsi bahasa menurut Teeuw (1984: 151), yang menyebutkan bahwa fungsi sastra dalam masyarakat berhubungan dengan fungsi estetik dan fungsi lain (seperti agama dan sosial). Segi sosial biasanya menekankan aspek mimetik,
yaitu
kerterkaitan antara kenyataan dan karya seni
2.3.3 Teori Makna Mitos Kuri dan Pasai merupakan salah jenis sastra lisan. Menurut Handayani (2000:21), karya sastra, baik lisan maupun yang dibuat dalam bentuk tulisan, merupakan kumpulan simbol yang berupa kata, objek, tempat dan merujuk kepada sebuah makna. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch (Juhl, 1980:27, dalam Ratna, 2004:307—308) dibedakan antara arti (meaning) dan makna (singnificance). Arti adalah nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang disebut sebagai pesan penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada situasi pembaca. Terdapat tujuh tipe makna yang dikemukakan Leech (dalam Ratna 2007: 282), yaitu (a) makna konseptual, makna denotatif atau kognitif, sebagai makna utama bahasa,. (b) makna konotatif, apa yang diacu melebihi maknanya secara konseptual, sebagai ciri-ciri umum bahasa sastra, (c) makna stilistik, apa yang
38
dikomunikasikan secara sosial, (d) makna afektif, apa yang dikomunikasikan dari sikap penulis, (e) makna reflektif, apa yang diasosikan dari ekspresi yang sama, (f) makna kolokatif, asosiasi yang telah diperoleh melalui kata-kata yang muncul dalam lingkungannya, dan (g) makna tematik, makna menurut cara penulis menata pesannya. Dalam bidang bahasa Shipley (dalam Ratna, 2005: 134) makna dibedakan menjadi makna emotif dan makna kognitif (deskriptif, referensial). Makna emotif merupakan jarak emosi, sebagai respons diperoleh melalui sudut pandang pendengar. Sebaliknya, sebagai makna kognitif respons tersebut dianggap sebagai kondisi dan proses, tampak misalnya dalam memikirkan, mempercayai, memperkirakan, meragukan, dan sebagainya. Analisis makna dalam penelitian ini mengarah kepada teori makna menurut Shipley (dalam Ratna, 2005:135) dalam kaitan dengan sastra besar, khususnya pada Abad Pertengahan. Makna dibedakan atas empat tingkatan dalam teori makna, yaitu (a) makna historis (kesejarahan) sebagai makna harfiah, (b) makna alegoris (kiasan), suatu kebenaran dikaitkan dengan kemanusian secara keseluruhan, (c) makna tropologis (bahasa figuratif), makna sebagai pengajaran moral, dan (d) kebenaran abadi.
makna anagosis (mistik), visi spiritual atau mistis sebagai
39
2.4 Model Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
model
yang
dihubungkan
dengan
permasalahan dan teori yang dijadikan landasan dalam mengkaji permasalahan, seperti yang tergambar di bawah ini: Etnik Wamesa
Teori Semiotik ( Barthes)
Satuan Naratif Mitos Kuri dan Pasai
Mitos Kuri dan Pasai
Fungsi Mitos Kuri dan Pasai (Teeuw)
Makna Mitos Kuri dan Pasai (Shipley)
Hasil Temuan Keterangan Model : Kerangka model penelitian tersebut dimulai dengan etnik Wamesa yang merupakan etnik asli di Kabupaten Teluk Wondama. Mitos Kuri dan Pasai merupakan cerita lisan yang kemudian ditranskrip dalam bentuk tertulis (teks). Secara keseluruhan yang menjadi teori payung adalah teori mitos Roland Barthes, kemudian dikaji bentuk satuan naratif dan wacana yang terdapat di dalam cerita. Selain itu juga dikaji fungsi berdasarkan analisis Teeuw dan makna menurut Shipley.