23
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Informasi tentang raja dan kerajaan-kerajaan Minangkabau di kawasan darek dan rantau dapat ditelusuri dalam beberapa literatur, baik yang ditulis oleh ahli Barat maupun oleh orang Indonesia sendiri. P. E. de Josselin de Jong (1960), Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia, merupakan studi yang mendeskripsikan sistem sosial-politik Minangkabau dan Negeri Sembilan, dan mengomparasikan kedua negeri itu. Penelitian de Jong menjelaskan pola ideal organisasi sosial Minangkabau berdasarkan sistem double descent, yaitu Koto-Piliang (KP) dan Bodi Caniago (BC) dengan penekanan pada sistem matrilineal. Organisasi sosial Minangkabau terwujud dalam suatu keluarga besar, tidak saja di tingkat keluarga tetapi juga dalam lingkup yang dinamakan Alam Minangkabau. Struktur (pemerintahan adat) masyarakat Minangkabau bersifat “triumvirat” di bawah pengaruh dewan raja, yaitu Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat, dikenal dengan sebutan rajo tigo selo (raja tiga kedudukan). Penelitian de Jong relevan sebagai sebuah penulisan sejarah sistem sosial dan menjadi ukuran terjadinya kontinuitas keberlakuan sistem itu dewasa ini. Integrasi Minangkabau berada di bawah kelembagaa raja tersebut, dengan Raja Alam (dari Pagaruyung) sebagai equilibrium- nya. Realitas sosial yang berfungsi integratif dihadirkan kembali oleh blok historis Istana Pagaruyung dan pemerintah sehingga memperkuat posisi kerajaan ”budaya” Pagaruyung pada abad globalisasi. 23
24
Jeffrey Hadler (2010), Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau, merupakan studi reaksi terhadap rezimrezim represif dan suatu upaya mencari contoh-contoh terbalik terhadap monolitmonolit yang disokong negara. Buku yang merupakan hasil terjemahan dari disertasi Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (Cornell University Press) ini memperlihatkan dinamika politik bertentangan dan komitmen ideologis. Bagi Hadler, reformasi paderi dan kebertahanan matriarkat sebenarnya hasil dari perlawanan terhadap kolonialisme, sekaligus menunjukkan keberhasilan Minangkabau menyelesaikan konflik internalnya. Penelitian Hadler penting dan relevan untuk membahas gejala “keMinangkabau-an” dalam berbagai dimensi untuk bisa memahami dengan mendalam struktur dan dinamika Minangkabau. Christine Dobbin (2008), Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847 merupakan studi yang dinilai terbaik tentang perang (jihad muslim Minangkabau) pertama di Asia Tenggara. Reformisreformis Islam banyak berasal dari kampung-kampung kaya (sentra-sentra perdagangan) pinggiran Minangkabau, yang membuat sistem perdagangan tradisional terganggu. Salah satunya adalah semakin merosotnya pengaruh kerajaan, sebagai akibat munculnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat. Kemerosotan itu tidak terlepas dari dikuasainya sentra-sentra ekonomi oleh para pembaharu yang dipelopori oleh para ulama terdidik. Kondisi demikian sejalan dengan tekad kuat Eropa untuk menguasai daerah pedalaman Minangkabau. Pihak keluarga kerajaan Minangkabau kemudian melakukan perjanjian dengan Eropa,
25
baik pada masa Raffles (1818) maupun pada masa Belanda (1821). Keterlibatan pihak keluarga kerajaan dalam ”penyerahan” Minangkabau kepada pihak kolonial dan dijadikannya mereka sebagai pegawai yang digaji Pemerintah Kolonial, – misalnya Belanda mengangkat Alam Bagagarsyah sebagai Hoofdregent van Minangkabau - membuat kelompok sosial mereka sejak tahun 1830-an sulit bangkit kembali. Ditambah lagi sikap kaum paderi yang kurang bersahabat pada tahun-tahun terjadinya perang (1821-1837). Kajian Dobbin penting untuk melihat praktik-praktik politik pihak kerajaan dalam hubungannya dengan penguasa, sekaligus posisinya dalam budaya nagari, termasuk nilai-nilai ekonominya. Situasi kemajemukan Minangkabau tampak ditandai oleh prinsip yang saling bertentangan, misalnya hukum Islam yang lebih menekankan hak-hak individu dan pengutamaan kedudukan laki-laki berhadapan dengan adat, yang berprinsip matrilineal (garis keturunan melalui ibu), kedudukan ekonomi perempuan, serta ikatan kelompok yang kuat. Pertentangan ini bersua lagi dengan hukum negara yang memberi tekanan pada individu dan proses pembuatan keputusan yang terkadang bertentangan dengan adat. Bagaimana rakyat menanggulangi kehidupan kesehariannya di dalam konstelasi hukum yang tampak saling berkontradiksi tersebut adalah fokus dari penelitian Keebet von BendaBeckmann (2000), Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Penelitian Benda-Beckmann memperkaya cakrawala pengetahuan dan pemahaman tentang praktik hukum adat dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di Minangkabau, khususnya dalam berhubungan dengan pengadilan negeri dan pengadilan negara. Persoalan
26
eksistensi lembaga raja dan kerajaan di Minangkabau pun tidak lepas dari konflik kelembagaan dan individu, sehingga tentu saja berguna dalam memberi sumbangan terhadap perdebatan akhir-akhir ini tentang penanganan sengketa alternatif. Jane Drakard (1998), A Kingdom of Words Language and Power in Sumatra, menginvestigasi mengenai otoritas kekuasaan Kerajaan Minangkabau dan menguji ulang kekerabatannya sebagai sesuatu yang disucikan tetapi tidak mempunyai kuasa (powerless). Bagi Drakard, lembaga kerajaan yang disimbolkan sebagai kesatuan Minangkabau bukanlah lembaga yang aktif, tetapi lebih sebagai lembaga yang mengambil jalan pasif (tidak bersifat militer), atau kerajaan dalam ciptaan “kata-kata” (produksi teks) yang dituangkan dalam sumber-sumber tertulis. Sumbangan Drakard dalam penelitian disertasi ini terutama terletak dalam studinya yang bersifat cross-cultural. Dari penelitiannya diperoleh bahwa warna (representasi) realitas masa lalu Minangkabau banyak ditentukan oleh pemakaian sumber-sumber Eropa yang digunakan dalam mempersepsikan masa lalu Minangkabau. Hasanuddin (2009), Wacana Identitas Etnik Masyarakat Minangkabau di Bali, merupakan disertasi yang membahas representasi wacana identitas, praktik kewacanaan, praktik sosial, serta makna ideologis wacana identitas etnik masyarakat Minangkabau. Kebertahanan etnis Minangkabau di rantau berelasi kuat dengan tradisi adat dan budaya sebagai sebuah keluarga, salah satu wujudnya berupa organisasi sosial-ekonomi dan adat berbangsa. Meskipun masyarakat Minangkabau yang diteliti adalah perantau Minang di Bali tetapi tentu saja
27
berguna dalam melihat Minangkabau
dalam konstelasi kebangsaan melalui
pendekatan multikulturalisme dan memaknai multikulturalisme itu. Eksistensi Kerajaan Pagaruyung pernah pula dianalisis oleh M. Sudarso Salih (1985), dalam bukunya berjudul Sejarah Ketatanegaraan Kerajaan Pagaruyung Ditinjau dari Segi Arkeologi dan Sosiologi. Salih menjelaskan mulai dari asal usul dan perkembangan penduduk pulau Sumatera bagian tengah ini. Sebagian besar bersandarkan pada tambo (historiografi tradisional) dengan mengaitkannya kepada bukti-bukti tinggalan arkeologi. Keterkaitan tulisan Salih dengan disertasi ini terutama persepsinya tentang landasan fundamental dan landasan struktural serta peraturan-peraturan di sekitar pemerintahan kerajaan tradisional Pagaruyung, termasuk juga hubungannya dengan dunia luar Minangkabau. Persepsi Salih tentang peran dan posisi kerajaan memperlihatkan proses representasi. Berbagai tinggalan arkeologis dalam arti tertentu dijadikan tanda untuk membangun simbol sosial, yang terkait dengan kelas, status, kuasa dan juga resistensi. Begitu pula tulisan praktisi adat H.A.Dt. Rajo Mangkuto (2010), Kesulthanan Minangkabau Pagaruyuang Darul Quorar Sejarah dan Tambo Adatnya, membicarakan sistem-sistem yang berlaku dalam pemerintahan Minangkabau, dan ”Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah”. Haji Asbir Datuk Rajo Mangkuto membagi pemerintahan Minangkabau itu dalam 12 periode, mulai dari kehidupan yang bersifat nomaden (Minangkabau tua), sampai pada periode Minangkabau di bawah Orde Reformasi (bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebagai praktisi adat dan berpengalaman sebagai
28
wali nagari, buku ini tentu saja memperkaya referensi bagi pemerhati masalah Minangkabau dan yang ingin mendalami adat dan sejarah. Relevansi dengan permasalahan disertasi adalah kemunculan buku ini menjadi penguat poses politik representasi kelembagaan raja dan kerajaan Pagaruyung di era kontemporer, khususnya kuasa-kuasa terkait publikasi. Keterkaitan Pagaruyung dengan dunia luar Minangkabau, dapat juga ditelisik dalam karya R. Pitono Hardjowardojo (1966), Adityarman Sebuah Studi Tentang Tokoh Nasional dari abad XIV. Hardjowardojo menyebut Adityawarman sebagai tokoh nasional, karena ia termasuk salah seorang dari tritunggal Majapahit, yaitu Gajah Mada, Mahasenapati Mpu Nala, dan Wredhamantri Arrya Adityawarman. Kesimpulan itu diperoleh atas dasar analisisnya berdasarkan tinggalan arkeologi. Hardjowardojo menyebut mereka sebagai tokoh yang berhasil menegakkan dan mengembangkan kejayaan negara, khususnya dalam kaitannya dengan kerajaan Majapahit. Adityawarman adalah seorang raja Pagaruyung yang memberi warna kiprah kerajaan dan bahkan dianggap tokoh bagi diterimanya keberadaan sistem faternalistik di Minangkabau. Siasat penghadiran lembaga raja dan Kerajaan Pagaruyung baru dalam era globalisasi bertolak dari kebesaran Raja Adityawarman ini. Penelitian yang terkait dengan relasi raja-raja Majapahit dapat diikuti dalam Muljana (2008), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara. Buku ini menggambarkan Majapahit sebagai ikon dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sekaligus pergulatan politik di tengah perkembangan Islamisasi. Adapun cerita Adityawarman dimulai dari
29
peristiwa pamalayu tahun 1275, yaitu dibawanya putri Melayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa. Adityawarman merupakan anak Dara Jingga, yang kawin dengan Pembesar Majapahit. Pada umur 45 tahun (1339) diutus ke Sumatera mendirikan Kerajaan Minangkabau. Oleh sebab itu, penelitian Muljana ini berharga dalam memperterang siapa Adityawarman, khususnya dalam pembahasan gambaran umum sejarah Kerajaan Pagaruyung. Karya Rusli Amran (1981) yang berudul Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang dan M.D. Mansoer dan kawan-kawan (1970) yang berjudul Sedjarah Minangkabau termasuk karya yang monumental dalam menjelaskan tentang masyarakat Minangkabau dalam berbagai bidang. Buku Amran malahan menjadi sumber utama tentang Sumatera Barat yang mengambil bahan utamanya dari dokumen-dokumen Belanda. Mansoer dan kawan-kawan memperpanjang penelusuran sejarah Minangkabau, bahkan sampai revolusi kemerdekaan. Dari kedua karya ini diperoleh informasi bahwa Belanda berhasil menciptakan semacam aristokrasi di Sumatera Barat yang memegang pemerintahan langsung ke bawah sampai selesainya Perang Pasifik. Proyek aristokrasi - semacam kelas tanpa raja -diumumkan oleh Van den Bosch dengan dikeluarkannya ”Plakat Panjang” bulan Oktober 1833 dan dipaksakan pada masyarakat Minangkabau yang pada dasarnya berjiwa demokratis Gusti Asnan (2006) dalam bukunya yang berjudul Pemerintahan Sumatra Barat dari VOC Hinga Reformasi menjelaskan bagaimana masyarakat diikat oleh Belanda dengan berbagai perjanjian untuk mempertahankan kekuasaannya di Minangkabau. Awal dari ”malapetaka” itu terjadi ketika ditandatanganinya
30
perjanjian antara Belanda dengan para penghulu Minangkabau, yang dipimpin oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagarsyah pada tanggal 10 Februari 1821. Perjanjian itu berisi penyerahan Alam Minangkabau kepada Belanda, sehubungan dengan bantuannya kepada penghulu dan raja untuk melawan gerakan sosial paderi di Minangkabau. Meskipun salah satu isi perjanjian itu menyatakan bahwa ”adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu dengan penduduk akan dipertahankan”, tetapi dalam prakteknya kekuatan luar tersebut secara nyata mulai mengintervensi kehidupan nagari-nagari Minangkabau. Karya Gusti Asnan tersebut, penting dalam memperjelas betapa faktor ekonomi dan politik memengaruhi jalannya sejarah anak negeri Minangkabau. Salah satunya adalah terakomodasinya budaya politik kolonial dalam budaya pemerintahan tradisional Minangkabau. Gaya politik kepentingan itu membantu penulis dalam mengkomprehensifkan pemahaman dunia Minangkabau dalam perspektif kesejarahan dan budaya politik, sekaligus dunia kekiniannya. Tradisi kolonialisme yang menghidupkan nilai-nilai aristokrasi di Minangkabau ternyata tetap berlanjut pada zaman kemerdekaan, khususnya sejak Orde Baru berkuasa. Pemerintah menghadirkan kembali simbol feodal, tidak terlepas dari usahanya menggerakkan partisipasi masyarakat dalam membangun kembali daerah Sumatera Barat. Oleh karena dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau ada raja yang dilambangkan sebagai penyelaras dan penyeimbang Alam, maka dibangunlah Istana Basa Pagaruyung. Djafri Datuk Bandaro Lubuk Sati (t.th) kemudian mensinkronkan bangunan istana itu dalam ”Naskah Uraian Menurut Sepanjang Adat Bangunan
Istana Pagaruyung
Dalam Logat
31
Minangkabau”. Naskah ini relevan dalam penelitian disertasi ini mengingat sifat penulisannya yang bersandarkan filsafat adat yang melekat pada Istana Basa Pagaruyung. Artinya, istana yang dibangun Pemerintah Orde Baru itu dicitrakan sedemikian rupa sebagai kehendak bersama. Naskah ini terkait langsung dengan soal-soal proses dan produksi pencitraaan dalam politik representasi istana, yang kemudian berkembang menjadi ikon pariwisata. Istana menjadi pusat informasi memperkenalkan Minangkabau sehinga relevan bagi disertasi ini. Selain itu, Anthonyswan (2007) dalam tulisannya yang berjudul Pembangunan Kembali Istano Basa Pagaruyung Pasca Kebakaran 27 Februari 2007 menjelaskan bahwa kontroversi pembangunan kembali replika istana itu dilatarbelakangi oleh persepsi masyarakat, yang lebih banyak melihat istana sebagai sebuah peninggalan raja dan objek poin kepariwisataan daerah. Sifat sebuah persepsi mengacu pada kepentingan ideologis, politis, dan bahkan ekonomis. Polemik yang terjadi di sekitar perlu tidaknya pembangunan kembali istana berkaitan dengan faktor kepentingan dan kekuasaan. Anthonyswan tidak meneruskan dan membahas soal pergulatan politik kepentingan atas wacana keberadaan Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas Minangkabau, sekaligus ikon pariwisata Sumatera Barat. Meskipun demikian, karya Anthonyswan berharga dalam memperjelas di mana posisi Istana Basa Pagaruyung, khususnya tentang seluk beluk adat beristana. Azwar Anas (2006) membuat naskah dengan judul ”Sekitar Keberadaan Istana Silindung Bulan dan Rajo Tigo Selo Alam Melayu Minangkabau Pagaruyung dan Sri Maha Raja Diraja Adityawarman Raja Alam Melayu
32
Minangkabau XIX Tahun 1347-1375”. Naskah ini memuat gambaran tentang kalangan istana Pagaruyung yang berhubungan dengan geneologi raja-rajanya (riwayat keberadaan istana), tentang Lembaga Tertinggi Pucuk Adat Alam Minangkabau (LTPAM), tentang ahli waris dan pewaris raja, tentang kehadiran anggota Dewan Pertimbangan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), keberadaan LKAAM dan pembangunan dua istana, yaitu Istana Basa Pagaruyung dan Istana Silindung Bulan. Keseluruhan penjelasan Anas menjadi penting untuk eksistensi keturunan kerajaan Pagaruyung, di tengah kontroversi adanya kelompok lain yang meragukan dirinya sebagai pewaris yang sah dari Pagaruyung. Salah satu alat legitimasi itu adalah dikukuhkannya Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman sebagai sesepuh para pratisentana (keturunan) Adityawarman se-Nusantara. Azwar Anas menyebut dirinya sebagai ”Waris Kanan Daulat Yang Dipertuan Sakti Tuanku Sultan Raja Alam Bagagarsyah Johan Berdaulat Fil Alam”. Azwar Anas sebagai ahli waris Pagaruyung ikut memberikan sambutan pelantikan Ida Cokorde Ngurah Jambe Pemecutan, Raja Badung Lama, Penglingsir Puri Agung Denpasar, Ida Cokorde Ngurah Mayun Samirana. Dengan demikian, naskah yang ditulis Anas terkait dengan soal pencitraan, dan berguna untuk semua permasalahan (bentuk, faktor, dampak, dan makna) yang diajukan dalam penelitian ini. Sebagai sebuah model dan komparasi terhadap pencarian identitas, penting kiranya tulisan Jeff Lewis dan Belida Lewis (2009) yang berjudul Bali’s Silent Crisis Desire, Tragedy, and Transition. Di dalam buku ini diuraikan bagaimana usaha Bali menyikapi bayangan
krisis dan kekerasan dalam perjalanan
33
sejarahnya, salah satunya adalah ”Proyek Mengembalikan Citra Bali”. Caranya adalah dengan penggalian lapisan-lapisan stereotip dari beberapa zaman untuk memamerkan sebuah arkeologi kekuasaan yang secara selektif dipilih dari sejarah. Hal itu berarti menciptakan image dalam menggambarkan Bali sebagai pulau damai, kebal dari sejarah kekerasannya sendiri. Image Bali yang harmonious paradise
berhubungan dengan ekonomi kapitalis, dalam aura yang disebut
modernisasi. Penciptaan image membawa Bali pada partisipasi global dan bentukbentuk interaksi budaya baru. Fokus buku Lewis & Lewis ini dimulai dari masa modernisasi di Bali, khususnya sejak tragedi 1965/1966. Tahun itu menandai kedatangan masyarakat turis secara simultan ke pulau Bali atas citra yang diciptakan penguasa, citra yang identik dengan kesenangan (seniman, penari) yang dirumuskan dalam "mantra sapta pesona" sebagai manusia yang ramah, damai, indah, rapi, bersih, lestari, dan terkenang. Citra itu terusik ketika terjadi serangan militan Islam tahun 2002 dan 2005, yang dikenal dengan peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2. Meskipun demikian,
peristiwa
itu
justru
melahirkan
pergerakan
sosial
dalam
memformulasikan masyarakat Bali baru, yang kemudian dikenal dengan ajeg Bali. Buku Bali’s Silent Crisis tersebut mencoba membongkar makna-makna yang terjadi sehubungan dengan terjadinya pertukaran komoditas dalam bentukbentuk budaya baru, yang didasari oleh consumer capitalism. Relevansi terbesar karya Lewis bagi penelitian disertasi ini, tidak saja dalam soal model politik representasi identitas, tetapi juga terletak dalam penerapan berbagai disiplin dan
34
pendekatan yang digunakan dari berbagai sumber seperti sejarah, antropologi, sastra, studi politik, laporan berita, interview (wawancara) formal, dan beberapa catatan dari perspektif luar Bali. Keistimewaan karya Jeff Lewis (2005) lainnya dapat diikuti dalam bukunya Language Wars The Role of Media and Culture in Global Terror and Political Violence. Dikatakan istimewa mengingat tulisanya itu merupakan kombinasi dari pengalaman hidupnya, termasuk ketika bekerja di Bali, sehingga ia menjadi leading sebagai seorang professor yang mempunyai reputasi dalam culture studies. Dalam Bab 5 bukunya itu, Lewis memberi judul tulisannya “Globalizing Jihad: The Bali Bombings at the End of Paradise”. Lewis menjelaskan beberapa alasan terjadinya aktivitas terroris di Bali. Pertama, realitas Indonesia yang penganut muslim memberi peluang meluasnya kaum radikal dan revolusioner Islam. Kedua, adanya kelompok garis keras, seperti Jamaah Islamiyah, dan Lasyar Jihad, yang bereaksi terhadap kondisi lokal sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi, khususnya akibat dari propaganda media tentang tempat-tempat yang menyenangkan (surga dunia). Ketiga, Bali dan Indonesia umumnya telah menjadi representasi dari ”perang bahasa” mengenai masyarakat sipil dan demokrasi. Bom tidak terlepas dari wacana yang meissukan terjadinya transformasi ke dunia moderen, dan membawa konflik dengan tradisi dan bayangan pra-moderen, sehingga berbenturan dengan sistem nilai dan kepercayaan. Relevansi studi Lewis dengan penelitian disertasi ini terutama dalam metode pemanfaatan cara-cara pemroduksian sistem makna, khususnya relasi teks dan konteks yang disebut representasi.
35
Dengan demikian, secara ontologis tulisan-tulisan Dt. Rajo Mangkuto (2010), Muljana (2008), Anas (2006), Sudarso (1985), M.D. Mansoer dan kawankawan (1970), Hardjowardojo (1966), telah memberikan informasi kesejarahan dan adat di sekitar asal usul penduduk, keberlakuan adat, dan posisi kerajaan tradisional Minangkabau dan kebesaran raja Pagaruyung. Begitu juga penelitian Dobbin (2008) mengungkap kelemahan kalangan istana terkait faktor-faktor internal dan eksternal. Begitu juga Penelitian Asnan (2006) mengungkap dinamika posisi pihak istana di tengah arus sejarah ketika berhadapan dengan penguasa. Secara aksiologis, Sati (t.th) berguna dalam memperjelas makna istana sebagai identitas dan pemersatu Minangkabau dari keseluruhan perangkat dan bangunan istananya. Begitu juga Anthonyswan (2007) membahas makna filosofi dan arsitektur Istana Basa Pagaruyung. Secara epistemologis, penelitian Jeffrey Hadler (2010) tentang kebertahanan sistem matrilineal Minangkabau dan kepiawaian Minangkabau menyelesaikan konflik internal dan berhadapan dengan kekuasaan. Drakard (1998) mengeksplorasi tradisi politik Asia Teggara, khususnya Minangkabau berguna sebagai model dalam pendekatan atau studi interaksi cross-cultural. P.E. de Josselin de Jong (1960), memberi pengetahuan tentang kebertahanan sistem sosial Minangkabau sepanjang sejarah (sejarah sistem). Jeff Lewis & Belida Lewis (2009) dan Jeff Lewis (2005) menggunakan pendekatan
perspektif
kajian
budaya
(cultural
studies)
dengan
mengkombinasikan aplikasi teori secara ekletik, sehingga dapat menambah ketajaman analisis permasalahan disertasi ini. Begitu juga Hasanuddin (2009)
36
membantu dalam memberikan makna representasi dalam wacana identitas etnik Minangkabau dalam konteks kajian budaya. Berdasarkan sumber kajian pustaka tersebut di atas, maka penelitian disertasi ini jelas memberikan perbedaan atau variasi terhadap berbagai sumber yang telah tersedia. Apalagi bila dikaitkan dalam konteks kajian budaya (cultural studies) yang mempertimbangkan kombinasi berbagai teori dan metode secara ekletik.
2.2 Konsep Konsep sebagai alat analisis merupakan konstruksi mental terhadap gejala sesuatu sehingga bisa dibedakan konsepsi yang satu dengan konsepsi yang lain atau konsep merupakan gambaran pikiran tentang sesuatu. Konsepsi adanya terdapat pada orang perorangan. Bagaimana orang memikirkan sesuatu, itulah konsepsi. Oleh karena banyaknya pemikiran-pemikiran manusia, maka abstraksi dari konsepsi-konsepsi inilah yang disebut konsep. Konsep merupakan proses atau upaya akal budi untuk memahami sesuatu objek, keadaan, atau pun benda (KBBI, 2002: 588). Dengan demikian, konsep adalah semacam konstruksi pikiran (ide) tentang segala sesuatu. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah Politik Representasi Istana Basa Pagaruyung, dan Identitas Minangkabau di Sumatera Barat.
37
2.2.1 Politik Representasi Istana Basa Pagaruyung Konsep politik, sekurangnya telah berkembang dalam lima pandangan, yaitu (1) sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama; (2) segala hal yang menyangkut penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasan dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum; dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting (Ramlan, 1992: 1-2). Pemikiran tentang politik dimulai dari fase tradisionalisme, behavioralisme, dan post-behavioralisme (Varma, 2003: passim), sehingga pembicaraan tentang politik selalu menyangkut perilaku yang berkaitan dengan kekuasaan, wewenang, dan kelembagaan. Politik dalam kaitan penulisan disertasi ini adalah upaya atau cara untuk mencapai tujuan, yang menyangkut tujuan kemasyarakatan dan tindakan kelompok (termasuk individu). Representasi merupakan perbuatan mewakili, keadaan diwakili, dan apa yang mewakili; perwakilan (KBBI, 2002: 950). Konsep representasi dalam The American Heritage Dictionary of the English Language (1978: 599) berasal dari kata represent dan representation, yang berakar dari Bahasa Latin repraesentare berarti gambaran atau potret, simbol, atau citra. Barker (2005: 10) mengatakan bahwa representasi, menyangkut soal bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi ini. Representasi juga berarti mewakili atau agen untuk sesuatu. Sebagai perwakilan,
38
representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda, dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti objek faktual. Kalau dilihat dari sifatnya, maka representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis (Ratna, 2008: 123). Stuart Hall menyebut representasi sebagai salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Bagi Hall, ada dua proses representasi, pertama representasi mental dan kedua representrasi bahasa. Representasi mental masih bersifat abstrak, dan masih berada di benak individu dan masyarakat. Representasi bahasa sebagai penerjemah dari representasi abstrak (peta konseptual) dalam menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbolsimbol tertentu. Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna (Juliastuti, 2000 dalam Newsletter Kunci.//kunci.or.id/esai /nws/04/representasi. htm: 2). Makna yang diproduksi melalui representasi tidaklah tetap, bisa berubah sesuai konteks dan waktunya. Makna tidak inheren karena selalu dikonstruksikan dan diproduksi lewat poses representasi. Durkheim menggunakan istilah representasi untuk mengacu konsep kolektif dan daya sosial, seperti simbol, agama, mitos, dan legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah cara-cara masyarakat merefleksikan dirinya (Ritzer, 2008: 86). Selanjutnya, Ritzer menyatakan logika representasional yang terjadi di ”atas panggung” mewakili yang terjadi di ”dunia nyata” (Ritzer, 2008: 650). Moscovici mengambil konsep Durkheim tersebut untuk menjelaskan berfungsinya pemikiran yang lebih bersifat pluralisme, peka terhadap perubahan, pergerakan sosial, otonomisasi aktor-aktor sosial dalam hubungannya dengan
39
kendala sosial, penetrasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, dan pentingnya komunikasi. Representasi sebagai fenomena memperlihatkan ciri simbolis yang menggantikan objek (Jodelet, 2006: 3). Istilah politik representasi (politics of representation) merupakan konsep kajian budaya yang pada awalnya digunakan oleh media massa dalam menghadirkan realitas. Politik representasi menurut Barker (2005: 481), yaitu mengakui sifat arbitrer (semaunya) dari pemaknaan (signifikasi) dan mencoba memunculkan keinginan untuk hidup dalam perbedaan. Politik representasi menyangkut investigasi produksi makna sosial dan ideologis, sehingga kebudayaan akan dilihat sebagai efek representasi (Hutcheon, t.t.: 10). Suatu politik representasi tidak sekedar menuntut citra yang positif. Politik representasi mengeksplorasi berbagai representasi yang menunjuk pada hubungan-hubungan kekuasaan dan mendekonstruksi biner hitam-putih. Bagi Barker, suatu politik representasi selalu bersifat terkodekan secara ganda (double-coded). Di satu sisi, politik representasi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang wacana, citra, bahasa, relitas, dan makna. Di sisi lain, pertanyaan tentang representasi adalah bagian dari wacana demokrasi, kewargaan, dan ruang publik (Barker, 2005: 481). Politik representasi adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2006b: 24). Berdasarkan konsep tersebut, politik representasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tindakan menghadirkan realitas yang berlangsung dalam suasana dan cara tertentu, sehingga dapat dimaknai sebagai suatu tindakan
40
dalam memberi gambaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adanya siasat penghadiran dalam politik representasi menjadi sangat mungkin objek yang dihadirkan tidak menunjukkan realitas yang sebenarnya. Politik representasi mengkonvensi pemaknaan yang cendrung tunggal. Artinya ada proses seleksi dari realitas sosial, sehingga menjurus pada penonjolan aspek tertentu, dan pengabaian aspek lainnya, hal ini menyangkut strategi kekuasaan yang mengandung pesan ideologi tertentu (Ratna, 2008: 123; Lubis, 2004: 162; Eriyanto, 2009: 130). Fenomena yang direpresentasi selama Orde Baru dan sesudahnya berkisar di sekitar posisi istana dan citra uniknya di Minangkabau. Secara etimologis, istana adalah kata yang menunjuk kepada rumah kediaman resmi raja (kepala negara, presiden) dan keluarganya (KBBI, 2002: 445). Di dalam Bahasa Minangkabau disebut dengan istano yang berarti tempat berkuasa (Anthonyswan, 2007: 32). Di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bali, bangunan-bangunan istana itu disebut puri (Bahasa Bali), di Jawa dikenal dengan kraton, sekaligus menjadi simbol hidup golongan bangsawannya. Oleh sebab itu puri atau istana merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya (Agung, 2009: 146; Munandar, 2005: xii). Istana raja di Sumatera Barat (kadang kala) disebut dengan rumah raja, rumah adat raja, dan rumah gadang. Ada beberapa rumah raja yang dianggap bersinonim dengan istana, misalnya rumah Raja Daulat di Sungai Pagu (Kabupaten Solok Selatan); rumah Raja Sontang di Kabupaten Pasaman; dan rumah raja Kerajaan Pulau Punjung, rumah raja Kerajaan Sei Kambut, rumah gadang Kerajaan Padang Lawas, rumah gadang Kerajaan Koto Besar di
41
Kabupaten Dharmasraya. Perbedaan pokok rumah adat raja dengan rumah adat kaum dapat dilihat dari kelompok keluarga yang tinggal. Istana hanya dihuni oleh keluarga raja, sedangkan rumah adat dihuni oleh keluarga besar kaum sepesukuan. Perbedaan lainnya, lantai rumah gadang raja di kedua belah sisi dalamnya diberi tingkeh (tingkat), atau dalam istilah lain baanjuang. Istana Basa merupakan Istana Raja Alam di Kabupaten Tanah Datar yang dibangun dengan melibatkan banyak pihak (termasuk pengusaha) pada masa Orde Baru (Gubernur Harun Zein) dan bangunannya besar dan megah. Penempatan kata basa (dalam Bahasa Minangkabau berarti besar) sekaligus dimaksudkan bahwa istana itu sekaligus sebagai kebutuhan ninik mamak, raja-raja, dan engku-engku, akan sebuah ruang yang besar untuk kebutuhan berkumpul. Pelekatan nama Pagaruyung pada istana itu menunjuk tidak saja pada nama kerajaan pada pertengahan abad ke-14 yang pernah ada di Minangkabau (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 84-85), tetapi juga menunjuk kepada sebuah nagari tua di Kabupaten Tanah Datar dalam Laras Koto-Piliang (Syuib, dkk., 1995: 26). Istana Basa Pagaruyung tidak difungsikan sebagai rumah tinggal raja, sehingga kerabat kerajaan Pagaruyung membangun pula kembali istana untuk keluarga, yang dikenal dengan Linduang Bulan. Dengan demikian, kelahiran dua istana pada zaman kontemporer bermula dari era Orde Baru (”Dua Istana di Pagaruyung Melongok Istano Silindung Bulan”, dalam Singgalang, 2 Maret 2007), sekaligus menjadi pertanda kebangkitan lembaga raja dan Kerajaan Pagaruyung pada abad globalisasi.
42
Secara historis, Istana Pagaruyung produksi Orde Baru itu telah mengalami perubahan total, dan jelas tidak sesuai lagi dengan realitas masa lalunya, mulai dari ukurannya sampai kepada bentuk bangunan istana tersebut. Nahuijs menggambarkan bahwa istana raja di Minangkabau amat sederhana, tidak berlapis kemewahan, dan penghormatan masyarakat terhadap raja dan keturunannya sama saja dengan masyarakat kebanyakan. Sang kolonel bahkan mengatakan bahwa “...apa yang disebut istana raja tidak lain dari gudang kayu yang jelek...” (Nahuijs 1827, dalam Asnan, 2008a: 6; Hadler, 2011: 81). Puti Reno Raudha Thaib sebagai keturunan istana tampaknya menyadari itu, sehingga dalam sebuah buku ”Seri Alam Minangkabau” yang dinarasikan sebagai dialog dan tuturan dirinya dengan cucunya (Bram), ia menulis: ”Ukuran Istano Basa ko dibuek labiah gadang dari ukuran nan sabananyo. Dibuek gadang-gadang supayo katuju dek urang, datang ka mari. Supayo kagum urang” (Ukuran Istana Basa ini dibuat lebih besar dari ukuran yang sebenarnya. Dibuat besar-besar supaya disetujui oleh orang, datang kemari. Supaya kagum orang) (Thaib, 2002: 24). Keluarga keturunan raja tidak pula tinggal di Istana Basa. Mereka tinggal di lingkungan Istano Si Lindung Bulan, yang berjarak kurang lebih 2 km dari Istano Basa. Dua istana, tapi dalam pengukuhan yang satu, yaitu Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung. Berdasarkan konsep tersebut, maka yang dimaksudkan dengan Politik Representasi Istana Basa Pagaruyung adalah strategi atau siasat penghadiran social image (imej sosial), persepsi, opini atas Minangkabau dalam kerangka kelembagaan raja dan kerajaan Pagaruyung dan peran-perannya menjadi payung
43
adat Minangkabau. Kekuatan utama dari politik representasi terletak pada kekuatan atau kemampuan membangun kuasa pengetahuan yang hegemonis (ideologi hegemonis).
2.2.2 Identitas Minangkabau Secara esensial suatu identitas dapat ditandakan (signified) dengan tandatanda selera, keyakinan, sikap, dan gaya hidup dalam praktik keseharian masyarakat. Oleh sebab itu, identitas terkadang bersifat personal, sekaligus sosial, dan menandakan perbedaan (different) dengan macam orang yang lain. Di dalam pandangan antiessensialisme, identitas bersifat sepenuhnya budaya, yang memiliki kekhasan di setiap tempat dan pada setiap zaman, sehingga ia bersifat lentur dan bisa berubah makna (Barker, 2005: 219). Cara untuk berpikir, merasa, dan mempercayai sesuatu merupakan kebudayaan dalam konteks pengetahuan budaya baru (Fasya, 2006: ix). Tony Bennet (1981, dalam Tester, 2009: 7) mengartikan culture/budaya sebagai semua aktifitas atau praktik-praktik yang menghasilkan pemahaman atau makna (Thwaites, Davis, dan Mules, 2009: 1), sekaligus sebagai identitas komunitas. Identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri, dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambungan biografis. Identitas sebagai proyek merupakan ciptaan (misalnya proyek pembangunan Istana Pagaruyung), sesuatu yang selalu berproses berdasarkan situasi masa lalu, dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang diinginkan. Identitas menjadi penting tidak hanya penggambaran diri, tetapi
44
juga ciri-ciri sosial (Barker, 2005: 219-220). Menurut Gidden, sebagaimana yang dikutip Barker (2005: 221) mengatakan di bawah ini. ”Identitas sosial ... terkait dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang, dalam masyarakat tertentu, menjadi dasar penentuan peran. Penggunaan ciri-ciri baku, terutama berkaitan dengan ciri umur dan gender tubuh, bersifat mendasar dalam semua masyarakat, dan masih sangat banyak lagi ragam lintas-budaya yang bisa kita catat”. Menurut Liliweri, sekurang-kurangnya dalam masyarakat ada tiga bentuk identitas, seperti tercantum di bawah ini. ”(1) Identitas Budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. ... (2) Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayaan kita. Tipe kelompok itu antara lain, umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat. Identitas sosial merupakan identitas yang diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan dalam jangka waktu yang lama. .. (3) Identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seseorang. Anda mempunyai sesuatu yang berbeda dengan orang lain, seperti kemampuan, bakat, dan pilihan” (Liliweri, 2003: 96-97). Ketiga bentuk identitas itu dalam penelitian ini tidak dipisahkan secara tegas, karena praktik budaya yang dilakukan blok historis Istana Pagaruyung dan pemerintah, khususnya sejak Orde Baru hingga masa terakhir menunjukkan cerminan, representasi budaya, sosial, dan personal dari pribadi-pribadi Minangkabau dalam merespon kehidupan dan proses modernisasi dalam negara Republik Indonesia. Lagi pula identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Struktur sosial tertentu melahirkan tipe-tipe identitas. Ia menjadi suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat (Berger, dan Luckman. 1990:
249). Di dalam pandangan politik representasi (politics of
representation) Istana Basa Pagaruyung yang dihadirkan oleh Pemerintah Orde
45
Baru sebagai simbol identitas Minangkabau tidak terlepas dari proses-proses sosial historis dan praktik-praktik kehidupan budaya orang Minangkabau. Hal ini sesuai dengan pendapat Joel S. Kahn (dalam Maunati, 2004: 25) yang menyatakan identitas budaya tidak hanya constructed, tetapi juga menemukan konteksnya (dan sejarah) dengan construct. Oleh sebab itu, identitas sifatnya selalu situasional dan bisa berubah. Konsep Minangkabau mengacu kepada sebuah etnis yang mendiami wilayah budaya yang disebut masyarakatnya dengan Alam Minangkabau. Masyarakat Minangkabau menganut stelsel matrilineal yang menjadi penghuni utama Provinsi Sumatera Barat. Seringkali konsep Minangkabau diidentikkan dengan Sumatera Barat, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak terlepas dari digunakannya simbol atau lambang-lambang budaya etnis Minangkabau sebagai lambang Provinsi Sumatera Barat. Padahal secara kewilayahan etnis, daerah Minangkabau meliputi sebagian Riau, Jambi, dan Bengkulu (Zuhro, 2009: 98). Dengan demikian, yang dimaksud dengan Identitas Minangkabau dalam penelitian ini lebih khusus adalah ciri, tipe atau keunikan karakteristik budaya, sosial,
dan
personal
dalam
kehidupan
masyarakat
Minangkabau
yang
membedakannya dengan kelompok sosial lainnya melalui penampilan lembaga raja dan kerajaan Pagaruyung. Munculnya Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas dapat dikatakan sebagai bagian dari sebuah strategi untuk mendapatkan kekuasaan (baca pengaruh). Secara
keseluruhan,
konsep
operasional
penelitian
ini
adalah
pengejawantahan gagasan dari blok historis (pemerintah dan ahli waris istana)
46
dalam imaji sosial dalam nilai-nilai kelembagaan raja dan Kerajaan Pagaruyung sebagai payung adat Minangkabau. Adapun indikatornya adalah (1) strategi pemerintah dan pewaris istana; (2) dilakukan secara individu/kelompok dan kelembagaan; (3) dalam upaya penaikan pamor lembaga raja dan kerajaan; (4) dipraktikkan dalam kehidupan kontemporer; (5) yang bersifat kontroversi; dan (6) menjadi representasi identitas Minangkabau.
2.3 Landasan Teori Landasan teori yang diperlakukan sebagai tuntunan untuk memecahkan permasalahan adalah teori representasi, teori praktik, teori hegemoni, teori diskursus
kekuasaan/pengetahuan,
dan
teori
dekonstruksi.
Semua
teori
dipergunakan secara ekletik atau berkombinasi dalam konteksnya yang utuh.
2.3.1 Teori Representasi Teori representasi berkembang di Eropa dan dipopulerkan oleh Moscovici dalam psikologi sosial untuk melihat pikiran dalam pengalaman keseharian (Jodelet, 2006: 1). Teori representasi selalu terkait dengan ideologi sepanjang sejarah manusia, yang digunakan untuk menggambarkan institusi sosial, misalnya Istana Pagaruyung merepresentasikan Minangkabau. Adanya ideologi dalam pencitraan memungkinkan lahirnya gagasan membuat benda-benda bersifat cemerlang dan menjolok sehingga merangsang imajinasi audiens (Calvaro, 2004: 79-83).
47
Teori
representasi
bekerja
melalui
kode-kode
simbolik
yang
merepresentasikan realitas sosial, kultural, dan politik. Di dalam studi-studi pascastrukturalis representasi dipandang sebagai konstruksi budaya dan bukan sebagai refleksi dari sebuah dunia nyata. Kaum nonrepresentasionalis berpendapat bahwa pengetahuan bukan soal menggambarkan realitas dengan tepat. Kebenaran pada dasarnya kebenaran menurut kita. Perhatian utamanya terpusat pada pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial (Barker, 2005: 328). Menurut Denise Jodelet, teori representasi memiliki beberapa tujuan, yakni (1) mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan; (2) menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; (3) pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman akan kebaruan berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial (Jodelet, 2006: 4). Secara epistemologis, teori representasi digunakan untuk membongkar sesuatu yang tunggal dan mengacu kepada keberagaman. Secara axiologis, teori ini digunakan untuk melihat perpindahan dari pengetahuan (aturan rasionalitas) kepada penafsiran. Posrepresentasionalis mempertahankan pluralisme budaya dan melepaskan diri dari pemujaan terhadap apa pun. Oleh sebab itu, Istana Basa Pagaruyung yang direpresentasikan sebagai perwakilan Minangkabau (proses menjadi tunggal) harus dibongkar. Citra atas Istana Pagaruyung tidak terlepas dari produk historis dan budaya yang bisa saja berubah sesuai konteksnya, bangun struktur kekuasaan dan kerangka kepentingan yang bermain. Keberadaan lembaga
48
raja Pagaruyung dewasa ini, dapat dilihat dari representasi, yaitu dari apa yang dijalankan oleh orang Minangkabau menjadi adat dan budayanya, dan dari struktur kerajaan melalui Lembaga Pucuk Adat Alam Minangkabau (LPAAM) yang berhasil diaktualisasi oleh ahli waris atau kerabat istana. Dengan demikian, cara kerja teori representasi tersebut berhubungan dengan cara-cara mengonstruksi dan merepresentasikan dunia secara sosial, budaya, dan politis sehingga menghasilkan makna sesuai konteks dan waktu. Hal itu berarti teori representasi dalam penelitian berguna untuk
menjelaskan
permasalahan bentuk (permasalahan pertama) dan menguraikan dampak dan makna (permasalahan tiga) dari keseluruhan praktik-praktik budaya (ide), sebagai hasil dari interaksi sosial dan kultural.
2.3.2 Teori Praktik Teoretis utama dalam kajian-kajian kritis tentang praktik-praktik budaya adalah Pierre Felix-Bourdieu. Bourdieu dalam bukunya The Logic of Practice (1990) menawarkan cara berpikir relasional, yang melihat bahwa struktur objektif dan representasi-representasi subjektif, agen, dan pelaku, terjalin berkelindan secara dialektis (Mutahir, 2011: 51-52). Pertemuan keduanya (objektif dan subjektif) disebut Bourdieu dengan praktik. Model bangunan teoretis tentang praktik sosial dipahami sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior (struktur objektif di luar pelaku sosial) dan interior (segala sesuatu yang melekat pada diri pada diri pelaku sosial).
49
Menurut Bourdieu, praktik terdapat dalam (1) ruang dan waktu; dan (2) diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar (Mutahir, 2011: 57-58). Tindakan sosial cendrung merupakan hasil proses improvisasi sosial dan kemampuan untuk berperan dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu dunia sosial merupakan praktik sosial, yang dirumuskan Bourdieu dengan rumus generatif (Habitus x Modal) + Arena = Praktik (Mutahir, 2011: 61; Takwin, 2009: 9). Habitus beroperasi dalam suatu arena dan menunjuk pada suatu sistem disposisi yang tahan lama dan juga dapat berubah-ubah di dunia sosial. Arena adalah suatu jaringan hubungan-hubungan objektif berbagai posisi. Arena merupakan sistem dan hubungan-hubungan (relasi). Setiap arena memiliki struktur dan kekuatankekuatannya sendiri. Di dalam arena terjadi perebutan sumber daya (modal) dan juga upaya memperebutkan akses terhadap kekuasaan (Johnson, dalam Bourdieu, 2010: xv-xii). Teori praktik sosial dari Bourdieu digunakan dalam penelitian untuk menganalisis suatu energi sosial (hubungan sosial) yang terakumulasi melalui investasi, warisan, dan keuntungan-keuntungan yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh ahli waris istana dan pemerintah dalam pelaksanaan politik representasi. Posisi dan prestise Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dalam arena tergantung dari jumlah kepemilikan modal (modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolis) dari waktu ke waktu. Dengan demikian, teori ini relevan untuk menganalisis permasalahan bentuk dan faktor yang memengaruhi politik representasi kelembagaan Istana Pagaruyung.
50
2.3.3 Teori Hegemoni Apabila terdapat dominasi kelas terhadap kelas yang lain dan kelas yang didominasi menyepakati kepemimpinan kelas tersebut secara alamiah, maka sesungguhnya hegemoni sudah berlangsung (Simon, 2004: 22). Gagasan mengenai hegemoni telah diperkenalkan oleh para Marxis Rusia pada tahun 1885, terutama Plekhanov (Bocock, 2007: 23). Gramsci kemudian menjadikan hegemoni sebagai pokok bahasan yang paling sentral dalam pemikirannya, khususnya bagaimana pemerintahan terselenggara dan dipertahankan dalam negara moderen. Tokoh Gramsci, - jebolan Universitas Turin (1911) lahir di Ales, Sardinia (Italia) tanggal 22 Januari 1891, dan meninggal di Roma 27 April 1937 menuangkan pokok bahasannya yang sentral itu dalam karyanya The Prison Notebooks (1929-1935). Ia tertarik untuk melihat cara-cara negara moderen mendidik mayoritas masyarakat untuk menyetujui kekuasaannya. Bagi Gramsci, politik berlangsung dalam level ideologi yang berpijak pada organisasi-organisasi sosial. Politik bukanlah sekedar cara untuk memperoleh kekuasaan, tetapi lebih dari itu, yaitu cara mengakomodasi semua kepentingan diri kelompok-kelompok masyarakat dalam sebuah aktivitas yang mempunyai sinergisitas (Pramono, dalam Santoso, dkk., 2007: 82; Simon, 2004: 83-91). Secara leksikografis, hegemoni berasal dari bahasa Yunani ”hegeisthai” yang berarti ’kepemimpinan’. Pemimpin terkait langsung dengan kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Secara teoritis masyarakat dipersatukan oleh ideologi atau mufakat. Pemufakatan itu hasil tugas kaum intelektual yang disebut Gramsci dengan intelektual hegemonik dan kontra hegemonik. Sebelum
51
pemufakatan tercapai, maka sesungguhnya masyarakat selalu berada dalam perang posisi (hegemoni yang menang dalam ranah masyarakat sipil) dan perang manuver (serangan terhadap kekuasaan negara). Kesuksesan di level perang manuver tergantung dari pencapaian di level perang posisi (Putranto, dalam Sutrisno, dkk. (2007): 21). Hegemoni sebagaimana yang dijelaskan oleh tokoh utamanya, Antonio Gramsci tersebut merupakan kesepakatan tanpa paksaan atau paksaan halus, dan pihak yang terhegemoni dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran. Jadi, kepemimpinan hegemonik mencakup tindakan mengembangkan persetujuan intelektual, religi, moral, cita rasa, dan filosofis dari semua kelompok utama dalam suatu bangsa (Bocock, 2007: 40). Dalam hegemoni terkandung ideologi untuk melakukan perubahan sosial melalui unsur kepemimpinan dan persetujuan kelompok yang dihegemoni (Ratna, 2007: 175). Barker (2005: 11 dan 62) mengatakan hegemoni menyangkut proses penciptaan, perawatan dan reproduksi makna dan praktik-praktik keseharian dalam kehidupan masyarakat. Di dalam hegemoni terdapat blok historis kelompok-kelompok
berkuasa
dengan
otoritas
sosial
kepemimpinan
menghegemoni kelompok-kelompok sub-ordinat lewat kemenangan konsensus. Hegemoni kelas yang berkuasa, sesungguhnya dibangun oleh mekanisme konsensus tersebut (Patria dan Arief, 2003: 123). Hegemoni sekaligus berfungsi sebagai salah satu aspek kontrol sosial untuk meminimalisir perlawanan fisik pihak yang terpinggirkan oleh sebuah konflik sosial.
52
Secara politis hegemoni di sekitar praktik kelembagaan raja dan kerajaan di Sumatera Barat, datang dari pemerintah, atau pemegang otoritas (misalnya melalui kebijakan), sebagian lagi datang dari kalangan pengusaha (ekonomi) yang terkait dalam dunia pariwisata, dan juga tidak ketinggalan elite kepentingan lainnya, yang memang ingin memanfaatkan setiap momen-momen politiknya untuk mempopulerkan diri dan memperkuat status sosial, dan menarik partisipasi masyarakat. Kelompok-kelompok historis ini bergerak dalam bidang-bidang yang berbeda, tetapi saling berhubungan, dalam suatu formasi sosial. Perekonomian, negara dan masyarakat membentuk landasan bagi konseptualisasi hegemoni. Istilah perekonomian terkait dengan sarana teknis produksi dan hubunganhubungan sosial produksi. Negara terdiri atas sarana kekerasan (polisi dan militer) bersama dengan pelbagai birokrasinya, sedangkan masyarakat sipil mengandung arti organisasi-organisasi lain dalam formasi sosial di luar kedua bidang tersebut (Bocock, 2007: 40). Teori hegemoni dari Gramsci menjadi berguna dalam menelusuri bentukbentuk hegemoni pemegang kekuasaan (politis), sosial, dan budaya. Dalam istilah Louis Althusser disebut Ideological State Apparatur (ISA) atau ideologi (Althusser, 2008: 19-20). Konsep ideologi sebenarnya sudah ada sejak Antoine Destutt de Tracy menyebarkan gagasan-gagasan pencerahan. Di dalam penggunaannya, ideologi berkembang dalam dua arus utama. Pertama, aliran yang tetap menekankan karakterisitik konsensus masyarakat sejak de Tracy hingga Durkheim. Kedua, aliran yang menggunakan penjelasan kontemplatif terhadap kekuasaan. Bila yang pertama menekankan pengamatan, maka aliran yang kedua
53
menekankan penciptaan kebenaran, seperti tergambar dalam pemikiran Hegel, Marx, Hokheimer, hingga Habermas (McLelland, 2005: 15). Kedua arus ini ditampilkan dalam tradisi Marxis. Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok yang lain. Dengan demikian, Raymond William berpendapat bahwa ideologi dan budaya merupakan dua saluran tempat hegemoni itu bekerja (Eriyanto, 2009: 104). Ideologi dalam pengertian Gramsci berkaitan dengan gejala material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi mengasumsikan pluralitas kepentingan dan keanekaragama tujuan, dengan blok hegemoni sebagai pemimpin dari aliansi kelompok-kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan bersama itu (Putranto, dalam Sutrisno, dkk. (Eds.), 2007: 19-20). Perjuangan hegemoni berlangsung dari berbagai bentuk argumen moral dan filosofis dalam media dan pendidikan, dari tindakan-tindakan yang berlangsung dalam partai-partai politik, dalam organisasi sukarela, organisasi religius, kelompok penekan, dan serikat pekerja. Kesemuanya menyangkut usaha intelektual tingkat tinggi. Ada tiga sarana untuk membentuk gagasan dalam perjuangan hegemoni, yaitu bahasa, pendapat umum, dan foklor. Bahasa merupakan sarana utama untuk penyebaran ideologi. Pendapat umum yang bersifat kolektif menjadi sarana ampuh untuk membangun ideologi dan berfungsi untuk melawan ideologi. Foklor (termasuk sejarah pengetahuan masyarakat) menjadi sarana penopang hegemoni yang berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan (Ratna, 2007: 183184). Keterkaitan hegemoni, ideologi, dan negara mempersatukan suatu blok
54
historis di seputar sejumlah prinsip artikulasi dasar. Mereka bersatu dalam suatu tujuan tunggal, yang merepresentasikan kehendak-kehendak kolektif. Kehendak kolektif, menurut pandangan Gramsci, merupakan suatu hasil dari artikulasi politiko-ideologis dari kekuatan-kekuatan historis yang terpencar-pencar dan terfragmentasi. Di dalam konteks inilah aspek kebudayaan menjadi penting (Laclau dan Mouffe, 2008: 98). Seiring dengan perkembangan otonomi daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah dengan giat mencari berbagai potensi yang mungkin bisa dikembangkan untuk menambah pemasukan daerah. Kata aset daerah menjadi semacam magnit yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung dan menerima kebijakan-kebijakan yang ditelurkan. Salah satu caranya adalah melalui pendidikan, seperti bimbingan dan penyuluhan, kursus, terkadang juga lewat kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat. Tanpa disadari mereka menjadi perpanjangan tangan pemerintah di tengah realitas sosial mereka sendiri. Pemerintah berkuasa dengan persetujuan, dan sekaligus meningkatkan konsensus bagi sentimen yang berkuasa melalui kehidupan budaya sehari-hari, termasuk representasi atas dunia Minangkabau. Commonsense yang diproduksi pada dasarnya merupakan ideologi yang bekerja melalui kode-kode simbolik dalam merepresentasikan realitas sosial, budaya, dan politik. Istana Basa Pagaruyung muncul sebagai penopang ideologi dan merupakan konsensus masyarakat Minangkabau dan pemerintah. Padahal sesungguhnya tidak semua masyarakat bersepakat dijadikannya istana itu sebagai representasi budaya. Buktinya, ketika istana itu terbakar tahun 2007, terjadi ”gempa pemikiran” di
55
Minangkabau, agar supaya istana itu tidak dijadikan sebagai simbol Minangkabau. Implikasinya istana sebagai hasil konsensus itu hanyalah bersifat semu, karena tidak ada pilihan lain, sebagai akibat kuatnya pengaruh penguasa. Berangkat dari prinsip dasar teori hegemoni tersebut, yaitu realitas sebagai tersubordinasi oleh realitas yang lain, maka hegemoni dari Gramsci digunakan untuk menganalisis bahwa representasi istana diduga akibat suatu praktik hegemoni. Hal itu berarti punya relevansi kuat pada persoalan bentuk dan persoalan faktor yang memengaruhi politik representasi Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas Minangkabau.
2.3.4 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan Setiap relasi selalu merupakan usaha saling menguasai, usaha saling menekan, dan hubungan kuasa ini menghasilkan cerita yang oleh Foucault disebut discourse atau wacana. Diskursus digunakan oleh Michel Foucault (1926-1984) sebagai pengganti ideologi. Tokoh teoresasi diskursus selain Foucault yang juga penting adalah Barry Hindes, Michael Pecheux, Paul Hirst, Louis Althusser, dan Valentin Voloshinow/Mikhail Bakhtin (Mills, 2007: 14; Takwin, 2009: 109-110). Meskipun teori diskursus bukan saja milik Foucault, tapi persoalan diskursus kekuasaan yang bertumpang tindih dengan pengetahuan memang lebih populer melekat pada diri Michel Foucault. Bagi Foucault (2002a), semua pengetahuan tidak bisa lepas dari perjuangan kekuasaan, yang populer dengan istilah power/knowledge. Relasi kekuasaan menjadikan pengetahuan sebagai situs bagi
56
strategi pergulatan dan konflik demi kekuasaan itu sendiri (Harrison, dalam Beilharz, 2005: 128). Mengikut kepada pemikiran Michel Foucault - kelahiran Poitiers, Prancis, 1926 itu, - sesungguhnya ada kekuasaan di dalam praktik-praktik sosial. Pihak berkepentingan
menyampaikan
wacana
atau
pengetahuan,
tetapi dalam
pengetahuan itu ada kuasa-kuasa yang halus (tidak bersifat fisik). Dengan demikian, Foucault memperlihatkan realitas bahwa kekuasaan itu tersebar di mana-mana (omnipresent), yang selalu dinyatakan lewat hubungan dan diciptakan dalam hubungan yang menunjangnya. Kekuasaan selalu beroperasi melalui konstruksi berbagai pengetahuan (Eriyanto, 2009: 71). Bagi Foucault, masa lampau pada hakikatnya merupakan suatu lautan manusia yang berkata-kata dan berbicara, lautan kata dan bahasa dalam keadaan yang beraneka ragam. Diskursus menjadi bidang (domain) dan bahasa dipakai dalam tata cara tertentu yang berakar dalam praktik-praktik kehidupan, dalam lembaga-lembaga, dan tindakan manusia pada umumnya. Di dalam pengertian luas, diskursus merupakan segala sesuatu yang dituliskan atau diucapkan atau yang dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Diskursus atau wacana adalah kumpulan pernyataan-pernyataan (Lubis, 2004: 148-149; Arivia, dalam Macdonell, 2005: xii). Foucault yang menyelesaikan pendidikan di Ecole Normale Superiore (ENS) pada tahun 1946 memakai konsep episteme (sistem) dalam menentukan, bagaimana kita melihat dan menyelami kenyataan. Kemudian melalui penalaran dan episteme mengatur dan mengontrol pengetahuan kita mengenai kenyataan (melalui negativitas); dan dalam episteme pula bagaimana diungkapkan suatu
57
hubungan tertentu bahasa dan kenyataan (Foucault, 2009: 157-66; F.R. Ankersmit, 1987: 309-315). Hal itu berarti, Foucault mengingatkan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus itu sesungguhnya telah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya (Lubis, 2004: 150). Ringkasnya, diskursus adalah keseluruhan aktivitas pelahiran makna yang essensinya ada dalam interaksi manusia atau dialog kekuasaan dalam praktik sehari-hari. Suatu epistem memuat berbagai struktur diskursus berbentuk siklus dan memiliki otoritas di titik historis tertentu (Mills, 2007: 77). Struktur diskursif merupakan bangunan besar yang batas-batasnya berbentuk sebuah episteme. Melalui episteme dapat dimengerti dan dipahami suatu objek dengan pernyataan dan pandangan tertentu, misalnya pandangan Orde Baru. Power is not a stick, kekuasaan bukan sesuatu benda yang bisa didiamkan, sehingga tidak ada yang disebut pemegang kekuasan. Tiap individu bagi Foucault punya power, dan power itu merupakan being self. Individu menjadi sumber pokok makna atau tindakan, dan tidak ada pemisahan antara peristiwa dengan penggambaran atau sejarah dengan naskah. Semua gagasan yang muncul ditata melalui medium material. Penataan itu menerapkan suatu pola yang disebut dengan wacana. Tata wacana (diskursus) merupakan keseluruhan wilayah konseptual yang di dalamnya pengetahuan dibentuk dan dihasilkan (Loomba. 2003: 51). Ketika Foucault menemukan keterkaitan erat antara kekuasaan dan pengetahuan, maka peran diskursus dalam pembentukan pengetahuan manusia menjadi penting. Semua bentuk dan kategori kehidupan budaya, termasuk usaha
58
Foucault dalam memasuki kehidupan ini dengan kritik terhadap apa yang dibayangkan atau dipertimbangkan berada dalam istilah diskursus itu. Bukunya yang berjudul Archeology of Knoweldge (1969) menunjukkan hal tersebut (Foucault, 2009: 116-116-177; White, dalam Foucault, 2007: vi). Dalam tulisannya yang lain Madness and Civilization (1961) tentang kegilaan, ”yang lain” itu muncul dalam istilah abnormal. Perlakuan diskriminatif terhadap yang abnormal datang dari kuasa yang normal, dengan jalan disingkirkannya mereka yang secara sosial ke dalam kelompok orang-orang sinting. seperti itu
Foucault
kemudian menganggap
Atas pemikiran
discourse=knowledge=power
(Foucault, 2009: 103-115). Istilah knowledge is power dipinjam Foucault dari Francois Bacon. Perbedaan kedua tokoh ini terletak dalam cara penerapan pengetahuan. Bacon berpandangan knowledge is power sebagai penguasaan manusia atas alam, yaitu dengan menyibak rahasia alam semesta seluas-luasnya. Manusia dengan pengetahuannya menguasai dunia (Pramono, dalam Santoso, dkk., 2007: 71; Greenz, 2001: 9). Foucault menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, sekaligus mengendalikan dan memengaruhi putusan orang lain. Artinya, ilmu (pengetahuan) menguasai manusia, yang bentuknya ada dalam informasi (Lubis, 2004: 168). Bagi Foucault, pengetahuankekuasaan merupakan suatu pasangan yang secara dramatis terikatnya diskursus pada kekuatan dan kekuasaan atau pun mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk menciptakan diskursus (Harrison, dalam Beilharz, 2005: 132).
59
Sejalan dengan pandangan atas pengetahuan/kekuasaan, Edwar W. Said menunjukkan bahwa pengetahuan tentang dunia Timur sebagai sebuah diskursus tidak terlepas dari konstruk kekuasaan, dalam hal ini adalah produk dunia Barat. Ada persoalan pihak berkepentingan di sana dan kepentingan itu, terkait pula dengan konteks zaman dan budaya saat diskursus diciptakan. Pengetahuan sistematis yang tumbuh di Barat (Eropa) mengenai dunia Timur diibaratkan sebagai hubungan antara yang berkedudukan kuat dengan sekutu yang lemah. Untuk menyatukan hubungan itu lahirlah berbagai istilah seperti orang Timur dikatakan irasional, bejat moral, kekanak-kanakan, berbeda. Sebaliknya, orang Eropa bersifat rasional, berbudi luhur, dewasa, normal. Dengan demikian, makna sebuah diskursus harus diletakkan dalam situasi sosial-kultural dan jiwa zaman yang melahirkan atau yang melekat pada diskursus itu (Said, 1985: 51) Jurgen Habermas salah seorang tokoh Mashab Frankfurt mencoba mengkritisi keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Bagi Habermas, ideologi semacam bentuk komunikasi yang secara sistematis didistorsi oleh kekuasaan. Habermas berpendapat sebuah makna diskursus terlahir setelah prinsip kebenaran diterapkan. Diskursus memuat persoalan norma-norma dan opini-opini. Di dalam konteks diskursus interaksi hanya sebagai tindakan komunikatif, dan bahasa berfungsi sebagai sarana dan konteks yang dengannya hubungan sosial diciptakan. Norma menjelma menjadi kebenaran apabila telah melalui proses konsensus. Oleh sebab itu tidak ada kriteria yang menetapkan konsensus sebagai sebuah kebenaran, atau sebaliknya salah (Takwin, 2009: 94-99).
60
Menurut Habermas (Rundel, dalam Beilharz, 2005: 206), sementara subjek-subjek berpartisipasi terus menerus dalam interaksi sosial yang dijalankan dan diperantarai bahasa, penggunaan bahasa itu sendiri diarahkan menuju klaimklaim validitas. Habermas menunjukkan bahwa terdapat relasi yang disengaja antara makna, penggunaan dan validitas. Setiap orang dalam diskursus praktis rasional dapat mengambil posisi setuju atau tidak setuju terhadap berbagai pernyataan tentang dunia atau bagaimana cara dunia ini dipahami. Dengan demikian, komunikasi adalah kunci konsensus-konsensus dihasilkan, sekaligus berfungsi sebagai sarana pencerahan manusia. Dalam persoalan publik inilah peran bahasa menjadi penting (Takwin, 2009: 96). Penempatan teori diskursus kekuasaan/pengetahuan tidak terlepas dari sifat kritis tentang kebenaran. Diskursus kebenaran tidak berasal dari satu sudut, tetapi ”berada di mana-mana”. Teori diskursus diklasifikasikan masuk dalam teori postrukturalisme. Kajian budaya menggunakan teori posstrukturalisme untuk melawan kemapanan strukturalisme yang bersifat positivis dan menolak oposisi biner yang telah melahirkan kebenaran universal. Postrukturalisme menghargai language games, permainan bahasa atau tanda yang dilakukan para intelektual. Sifat dekonstruktif menjadi salah satu ciri dari karya-karya Foucault. Bagi Foucault kekuasaan tidak mengacu suatu sistem umum, yang didominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Kekuasaan dan pengetahuan saling mengandaikan dan saling bertautan, ada hubungan resiprositas antara keduanya, karena menyangkut pratik-praktik yang terjadi dalam suatu ruang tertentu (Foucault, 2002: 377-397).
61
Sebagai salah seorang tokoh posstrukturalisme, Foucault dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang menempatkan pengetahuan sebagai alat strategis untuk memenuhi hasrat kekuasaan manusia (Lubis, 2004: 162). Soal kehendak akan pengetahuan itu termuat dalam pidato inaugurasinya yang diterbitkan dengan judul Discourse on Language (1971) dan dalam studinya yang terkenal tahun 1970-an, yaitu Discipline and Punish (1975). Nietzsche (Ratna, 2009: 282) berpendapat bahwa kebenaran yang ingin ditemukan sebagai metafora, ilmu pengetahuan hanyalah fiksi, yang di dalamnya berbagai kepentingan disembunyikan. Foucault kemudian menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, diskursus akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia, dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan. Dalam kerja geneologisnya, Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya kehidupan sosial. Konsepsi kekuasaan Foucault merupakan daya yang produktif sekaligus membelenggu. Pengawinan kekuasaan dengan pengetahuan menunjukkan bahwa kekuasaan itu secara erat dikaitkan dengan diskursus. Diskursus terutama memberikan kontribusi terhadap subjek siapa kita dan objek-objek yang kita ketahui. Bagi Foucault, formasi diskursif merupakan suatu kerangka kerja konseptual yang membuat beberapa mode pemikiran, baik yang diterima maupun yang ditolak. Konsep diskursif ini digunakan Foucault dalam menjelaskan tentang praktik kebahasaan dengan cara mendialogkan suatu mode bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Di dalam konteks penggunaan bahasa inilah, sebuah diskursus tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Sebuah formasi diskursif tertentu
62
memungkinkan lahirnya otoritas untuk menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini bisa terjadi karena sebuah diskursif, pada hakikatnya adalah aturan-aturan tidak tertulis yang dapat membahas tindakan penggunaan bahasa. Pemahaman posmodernisme dan posstrukturalisme tentang bahasa dan wacana berkenaan dengan pengabaian dominasi gramatika dan sebagai titik tolak analisis. Titik berat pemahaman lebih menekankan konstelasi kekuatan apa yang ada dalam proses pembentukan dan reproduksi makna. (Hikam, dalam Latif dan Ibrahim, 1996: 83). Foucault berpandangan bahwa apa yang bermakna dari sesuatu yang dikatakan orang, tidaklah senantiasa tergantung dari apa yang menyistematisasi mereka sejak semula (Hikam, dalam Latif dan Ibrahim, 1996: 86). Teori diskursus memungkinkan lahirnya makna-makna baru dan menghadirkan teks-teks yang lain yang selama ini termarginalkan oleh sistem berpikir oposisi biner. Penerapan diskursus untuk kepentingan analisis bahasa (lingusitik) dan diskursus sebagai piranti analisis dalam kajian ilmu sosial relatif berbeda. Akan tetapi di Indonesia, arti diskursus itu sering kali disejalankan dengan wacana. Padahal pembahasan wacana terutama menyangkut soal pernyataan, baik lisan maupun tulisan, sehingga soal yang menyangkut tataran praksis terabaikan.
Diskursus berisi tataran praksis itu, di samping berbagai
ekspresi metaforis (ungkapan, kiasan). Fenomena sosial budaya selalu terkait dengan praktik-praktik diskursus, karena menyangkut berbagai gagasan, pengetahuan, pernyataan, kata-kata, tulisan, teks-teks, aturan-aturan, paktik-praktik sosial, serta kekuasaan/kepentingan yang
63
menyertai atau tersembuyi. Diskursus yang non-language ”stuff” dalam pandangan James Paul Gee, dalam Hamad (2004: 34) menyangkut ”cara beraksi, interaksi, perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara tertentu”. Di dalam diskursus sesungguhnya juga tersembunyi subjektivitas atau pihak-pihak di balik diskursus. Ideologi apa yang bermain di dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingan apa yang bersembunyi di baliknya. Teori diskursus dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan praktikpraktik kekuasaan yang berelasi dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat saja berupa teks-teks tulisan yang termuat dalam lembaran-lembaran, iklan, potret, media elektronik, buku sekolah, dan sebagainya. Di dalam implikasinya, pengetahuan digunakan untuk menguasai secara aplikatif, misalnya informasi iklan. Pemerintah dan kalangan Istana Pagaruyung, serta
pengusaha sebagai
pihak yang berkepentingan membuat suatu informasi dunia Minangkabau melalui gambar, potret (ikon), pernyataan-pernyataan di media, badan atau lembaga dan lain-lain, untuk menguasai masyarakat Minangkabau. Penguasa kemudian menciptakan pengetahuan tentang lembaga raja dan kerajaan sehingga masyarakat tidak bisa lepas dari dunia istana, yang merepresentasikan kehidupan aristokratis dalam pemerintahan. Pengetahuan hegemonik yang bersifat ideologis sebagai produk dari kekuasaan tanpa kekerasan tersebut, terjadi atas representasi Istana Pagaruyung, sehingga teori ini menjadi relevan dalam menganalisis ketiga permasalahan pokok dalam disertasi ini.
64
2.3.5 Teori Dekontruksi Istilah dekontruksi yang digunakan oleh Jacques Derrida, seorang tokoh pos-struktural keturunan Aljazair, sebenarnya sudah digunakan oleh para ahli tata bahasa Prancis dalam mengungkap kaidah-kaidah konstruksi kalimat, khususnya tentang keberlakuan kalimat dalam keadaan yang berbeda-beda (difference). Menurut Stuart Sim (1999: 26-27), ada tiga asumsi dasar dekonstruksi, yaitu (1) menyangkut ketidakstabilan dan ketidaktetapan makna bahasa; (2) oleh sebab itu tidak ada metode analisis yang memiliki klaim istimewa atas otoritas tafsir tekstual; dan (3) asumsi bahwa tafsir lebih merupakan kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis. Asumsi-asumsi seperti itu, kata Stuart Sim, dekonstruksi amat peduli pada pengujian ulang dasar-dasar metode penafsiran, misalnya soal asumsi-asumsi yang tersembunyi dan soal-soal kesenjangan. Bertolak dari asumsi tersebut, jelas dekonstruksi mementingkan pencarian makna baru, daripada pencarian makna objektif. Untuk mencapai maksud itu, maka dekonstruksi menangguhkan semua yang sebelumnya sudah mapan, sudah diterima sebagai taken for granted dari bahasa. Bagi Derrida, relasi signifier (penanda) dengan signified (petanda) tidak statis. Pemaknaan tanda merupakan suatu proses membongkar dan menganalisis secara kritis, sehingga tidak percaya pada adanya makna yang monolitik (Lubis, 2004: 103). Sifat relasi yang tidak tetap atau tidak stabil menyebabkan relasi signified-signifier itu dapat ditunda untuk memperoleh relasi yang baru. Derrida menunjukkan bahwa dalam proses pemahaman makna tanda bukan sekedar karena ada proses oposisi atau
65
differensiasi (difference), tetapi karena ada proses ”penundaan” hubungan antara penanda (bentuk tanda) dan petanda (makna) untuk menemukan makna lain atau makna baru (Hoed, 2008: 68; Norris, 2008: 69). Proses dalam hubungan yang baru ini disebut differance oleh Derrida. Derrida memberi logika baru pada kata difference (bahasa Prancis) menjadi differance yang juga berarti ”pembedaan” sekaligus ”penundaan”. Menurut Derrida, kedua kata ini tidak bisa dibedakan berdasarkan ucapan, melainkan hanya bisa dibedakan dalam tulisan sehingga terdapat ketidakstabilan makna. Derrida mengatakan, ”huruf a dari differance tidak terdengar, hanya bisu, rahasia, bijaksana, seperti makam”, dan tidak dapat diekspos (Derrida dalam Badmington dan Julia Thomas, 2008: 128). Kata ini senantiasa ”terbedakan” sekaligus ”tertunda”. Kata kerja differer dalam bahasa Prancis bisa berarti untuk membedakan (to differ) atau menunda (to defer). ”Di satu sisi, kata ’to differ’ mengindikasikan perbedaan sebagai ketidaksamaan atau kemampuan mengenali , di sisi lain kata itu menunjukkan penundaan serta interval jarak dan waktu yang menunda hingga nanti, hal-hal yang saat ini diingkari, kemungkinan yang saat ini tidak mungkin. Kadang-kadang different (berbeda) dan kadang-kadang differed (ditunda) memiliki arti yang berhubungan dengan ’to differ’ (berbeda)” (Derrida dalam Badmington dan Julia Thomas, 2008: 126). Differance menunjukkan sebuah perbedaan pasif yang sudah ada sebagai kondisi dari penandaan serta sebuah tindakan membedakan atau menunda yang menghasilkan perbedaan (Culler, dalam Sturrock, 2004: 267). Hal ini juga berarti sebuah manuver Derrida untuk menunjukkan adanya kerumitan permasalahan di
66
sekitar penandaan. Kemudian Derrida memperlihatkan gagasan-gagasannya bahwa differance itu berlangsung dalam taraf fenomenal (tulisan biasa) dan dalam taraf transedental (sebagai syarat bagi komunikasi lisan, dan tulisan). Dalam taraf transedental inilah, menurut Derrida, pengertian differance tidak dapat dilukiskan dan tidak terkatakan. Di dalam bukunya yang berjudul Positions, Derrida menyebut bahwa differance merupakan
sebuah struktur dan gerakan yang tidak dapat lagi
dibayangkan berdasarkan oposisi ada/tiada. ”Differance adalah permainan secara sistematis perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan, penjarakan (spacing) yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Penjarakan ini adalah pembuatan aktif dan pasif secara simultan (huruf a dalam differance menandakan ketidakpastian ini, yang merepresentasikan keaktifan dan kepasifan, yang tidak dapat ditentukan oleh atau didistribusikan di antara istilah-istilah dalam oposisi ini) interval-interval yang tanpanya istilah-istilah yang utuh tidak akan menandakan sesuatu, tidak akan berfungsi” (dalam Piliang, 1999: 79). Etos dekonstruktif Derrida lainnya adalah gagasannya tentang sous rature, yaitu menulis sebuah kata, mencoretnya, dan kemudian mencetaknya/membiarkan kata atau pun tanda silang tersebut (Spivak, 2003: 19; Sarup, 2008: 46). Melalui sous rature, Derrida menunjukkan bahwa ia dapat menggunakan istilah-istilah yang sama dengan lawan-lawannya, tetapi dalam makna atau arti yang berbeda, seolah-olah istilah itu dibubuhi tanda silang (Sim, 1999: 29). Alat yang secara strategis diadopsi Derrida dari Martin Heidegger itu, yang sering menyilang kata XmengXadaX (Dasein). Dasein penting untuk menandai arti eksistensi manusia ”yang berada di sana”. ”Saya berada, jadi saya berpikir”, kata Heidegger untuk menunjukkan pembalikannya terhadap sejarah filsafat masa lampau, khususnya
67
Descartes dengan ”cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada). Kata ’mengada’ disilang karena makna kata itu kurang penting atau ditunda atau diputarbalikkan tetapi tetap membiarkannya karena meskipun tidak memadai kata tersebut masih memiliki makna penting, sehingga masih tetap dipertahankan (Sarup, 2008: 46). Derrida menggunakan model penyilangan itu sebagai jejak (trace). Bagi Derrida struktur tanda selalu ditentukan oleh jejak dari sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak akan pernah hadir dalam bentuk mengada secara penuh (Derrida dalam Badmington dan Julia Thomas (Ed.), 2008: 143-144). Meskipun secara fisikal ’bekas’ dan ’jejak’ tersebut sudah dianggap tidak hadir tetapi maknanya masih melekat dalam ingatan. Dengan demikian, secara historis Derrida memberikan gerak pada struktur sehingga struktur tidak pernah ada, tetapi selalu ”menjadi”. Suatu konsep, kata Derrida, selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Derrida tidak terikat dengan aturan-aturan dan argumen yang berlaku umum atau yang telah menjadi tradisi dalam pemikiran filsafat Barat sebelumnya, yang umumnya telah berhenti di tahapan konsep (Hoed, 2008: 71-72). Pengritik keras terhadap konsep sous rature dari Derrida adalah Mayne C. Booth (dalam Lubis, 2004: 113), dengan mengatakan ”segala yang saya tulis tentang Derrida, maka seperti yang ia anjurkan sous rature saja”. Istilah Derrida yang paling penting lainnya adalah soal penentangannya terhadap ”metafisika kehadiran” (sesuatu yang transenden dalam realitas). Menurut Derrida, konsep ini telah dimulai oleh konsep Plato yang
lebih
mengutamakan penuturan daripada penulisan. Derrida berpandangan bahwa
68
percaya kepada metafisika kehadiran (sinonim positivisme) berarti dikuasai ’logosentrisme’, yaitu suatu pengistimewaan tuturan oral atas tulisan (Agger, 2007: 114). Logosentrisme merupakan faham yang menekankan logos atau rasio. Dalam bahasa Latin, logos berarti kata, dan katalah yang menghadirkan dunia dengan segala isinya. Dari sudut ini, maka ciri logosentrisme adalah fonosentrisme (berpusat pada ujaran). Padahal menurut Derrida (Ratna, 2009: 230), konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Tradisi logosentrisme berpikir secara oposisi biner yang bersifat hirarkis, seperti
esensi/eksistensi,
substansi/aksiden,
jiwa/badan,
makna/bentuk,
transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan, konsep/metafor, dan seterusnya. Kata yang tersebut pertama dianggap sebagai pusat, sedangkan yang kedua hanyalah derivasi dalam kaitan dengan yang pertama. Logosentrisme dicirikan dominannya konsep totalitas dan konsep esensi (Santoso, 2007: 250). Perlawanan Derrida terhadap Saussure, Levi-Strauss, Husserl, dan tokoh-tokoh filsafat strukturalis lainnya dominan pada model tradisi yang dianggap oleh mereka sudah mapan ini. Persfektif logosentrisme mempercayai kemampuan katakata mempertukarkan makna yang pasti tanpa masalah. Asumsi dasar kebudayaan Barat
inilah
yang
dilawan
Jacques
Derrida
melalui
metode
filsafat
dekonstruksinya (Grenz, 2001: 220-225). Di dalam tradisi Amerika, Derrida merupakan tokoh yang paling berpengaruh di antara tokoh-tokoh dekontruksi Amerika Pul de Man, J. Hillis Miller, Geoffery Hortman, dan Harold Bloom (Ratna, 2009: 232).
69
Penerapan teori dekonstruksi kepada realitas terlihat, misalnya dalam pembacaan realitas oleh setiap orang secara berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak ada makna tunggal, karena makna realitas (teks) amat bergantung pada sudut pandang setiap penafsir yang berbeda-beda. Foucault memberi warna dimensi moral dengan cara menegaskan bahwa setiap usaha menafsir realitas adalah usaha untuk menguasai (Grenz, 2001: 14-15). Berdasarkan prinsip yang digunakan Jacques Derrida tersebut, maka realitas Istana Basa Pagaruyung yang muncul sebagai identitas Minangkabau adalah hasil dari sudut pandang siapa yang menjadi penafsir fenemona istana sepanjang sejarahnya. Teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar ideologi dan praktik-praktik budaya yang bermain dalam pencitraan istana, dan mengkritisi faktor-faktor yang memengaruhi politik representasi Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas Minangkabau secara eksteren (diskursif pusat) dan secara interen (diskursif Minangkabau). Adanya
hubungan saling memengaruhi antara
pemerintah, pariwisata, dan masyarakat Minangkabau menimbulkan terjadinya polarisasi publik terhadap istana sebagai identitas Minangkabau. Jadi, teori dekonstruksi digunakan untuk mengkritisi praktik politik representasi istana yang hegemoni (Gramsci) melalui pengetahuan kekuasaan (Foucault), seperti dekonstruksi terhadap nostalgia kegemilangan kerajaan Pagaruyung, dekonstruksi ekonomi developmentalis berkenaan dengan gagasan-gagasan di sekitar lembaga istana raja dan kerajaan, serta dekonstruksi sosial budaya dan politik, khususnya persoalan dua (faktor yang memengaruhi), dan persoalan tiga (dampak dan makna).
70
2.4 Model Penelitian Penelitian Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas Minangkabau dapat digambarkan dalam model penelitian berikut ini (Gambar 2.1). GLOBALISASI
PEMBANGUNAN PARIWISATA
-
PEMERINTAH
MASYARAKAT MINANGKABAU
STRATEGI HARGA DIRI MINANGKABAU Politik Ekonomi Budaya Sejarah Keamanan
PENGUATAN (POLITIK) IDENTITAS - Pengungkapan Kepahlawanan Istana - Praktik budaya - Penguatan lembaga raja dan kerajaan
POLITIK REPRESENTASI ISTANA BASA PAGARUYUNG SEBAGAI IDENTITAS MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT
BENTUK POLITIK REPRESENTASI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI POLITIK REPRESENTASI
APRESIASI TERHADAP KEBERAGAMAN IDENTITAS MINANGKABAU Hubungan saling memengaruhi Hubungan langsung
DAMPAK DAN MAKNA POLITIK REPRESENTASI
71
Gambar model penelitian 2.1, menjelaskan bahwa era globalisasi mengarah pada terjadinya pengerutan dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia, yang berarti pula meningkatnya koneksi global dan pemahaman mengenai dunia itu sendiri. Globalisasi melalui pariwisata melahirkan dimensi pergerakan manusia, uang, teknologi, media, dan ideologi yang memengaruhi politik representasi atas Minangkabau. Pengerutan dunia dipahami dalam konteks institusi modernitas, sedangkan meningkatnya intensitas kesadaran tentang dunia dilihat dalam konteks kultural. Pada masa globalisasi terjadi dialektis dan dialog yang intens antara berbagai sumber pemikiran atau gagasan dan perubahan dunia di sekelilingnya. Di dalam penelitian ini dialog itu terjadi antara pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah), pengusaha (kapitalisme) dan masyarakat Minangkabau, khususnya kerabat Istana Pagaruyung. Ketiga pilar itu di era globalisasi ekonomi, informasi, dan kultural berada dalam sebuah kondisi yang tarik-menarik. Di satu sisi, globalisasi dilihat sebagai sebuah peluang bagi pengembangan potensi daerah dan masyarakat. Di pihak lain globalisasi menjadi semacam ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan budaya daerah. Di Sumatera Barat, respon terhadap modernisasi melahirkan strategi kekuasaan pemerintah untuk menghadirkan Istana Basa Pagaruyung sebagai identitas
Minangkabau. Ideologi yang dikembangkan adalah istana sebagai
perwakilan Minangkabau yang satu (keseragaman). Strategi harga diri Minangkabau berada dalam bingkai ideologi pembangunan di segala bidang, seperti politik, ekonomi, budaya, sejarah, dan keamanan. Sejalan dengan ideologi itu, kerabat Istana Pagaruyung berkepentingan pula terhadap penguatan identitas.
72
Adanya hubungan resiprositas yang saling memengaruhi dalam perjalanan istana itu menjadikan Istana Pagaruyung tidak saja sebagai daya tarik wisatawan untuk berkunjung, lebih dari itu, membawa kecendrungan pada pengukuhan kerabat Istana Pagaruyung dan penguatan lembaga raja dan kerajaan sebagai identitas Minangkabau. Tiap-tiap praktik budaya dan tindakan politik pencitraan istana oleh para aktor dilakukan analisis bentuk, faktor, dampak, dan makna melalui kerangka teori yang terintegrasi satu sama lain. Secara ringkas dapat dikatakan, yang akan didekonstruksi adalah praktik politik representasi (teori praktik dan teori representasi) yang hegemonik (teori hegemoni) melalui pengetahuan yang bersifat ideologis (teori diskursus kekuasaan/pengetahuan dan teori dekonstruksi). Pada akhirnya diharapkan akan lahir apresiasi terhadap keberagaman identitas masyarakat Minangkabau.