BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Semua masyarakat yang mempunyai bahasa menginginkan bahasanya terpelihara, digunakan dalam komunikasi, serta mampu beradaptasi dengan semua perubahan sosial, budaya, dan lingkungan. (Lihat Fishman, 1972: 24). Hampir semua masyarakat tutur di seluruh belahan bumi ini peduli terhadap bahasa ibu (daerah) mereka. Mereka berkeinginan untuk memberdayakan dan memperkuat bahasa mereka serta membuatnya menjadi lebih baik. Penutur suatu bahasa senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: perubahan sosial, perubahan budaya, dan perubahan lingkungan penutur bahasa itu sendiri. Edwards, (1985:49) mengatakan bahwa tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bertahan atau mati sama sekali. Nasib bahasa-bahasa yang ada di dunia ini terkait erat dengan sikap dan konsistensi prilaku penuturnya. Jika sebuah bahasa mengalami pergeseran, penyusutan atau punah, itu hanya semata-mata karena keadaan penuturnya telah berubah. Perubahan sosial dalam bidang pertanian seperti gotong royung dalam mengelola ladang atau sawah dan kerapkali berinteraksi dengan bahasa lokal mereka kini telah berganti dengan berdirinya pabrik-pabrik
di daerah Serdang dan Serdang Bedagai
mengakibatkan sejumlah leksikal yang berhubungan dengan ladang atau sawah pun
berganti bahkan hilang. Misalnya: ditugal yakni membuat lubang dengan menggunakan kayu yang diruncingi untuk memasukkan bibit padi, diketam yakni memotong padi satu demi satu untuk dipanen, ani-ani sebagai nama sejenis alat untuk memotong padi, dan emping padi merupakan nama sejenis makanan yang dibuat dari padi muda. Masa memanen ini diikuti oleh seluruh keluarga termasuk muda-mudi sambil mencari jodoh.
2.1.1 Beberapa Penelitian Pergeseran dan Kebertahanan Bahasa Telaah mengenai pergeseran dan kebertahanan bahasa telah banyak dilakukan terutama
keterancaman bahasa minoritas karena dominasi bahasa mayoritas.
Keterancaman bahasa minoritas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: adanya kontak bahasa, faktor perubahan lingkungan kebahasaan masyarakat tutur yang bilingual atau multilingual, migrasi maupun ekologi. Para ahli yang telah melakukan penelitian mengenai kebertahanan dan pergeseran bahasa antara lain: Coetzee (1993), Fasold, (1984), Parasher (1980), Gal (1979), Dorian (1973) dan Greenfield (1972). Hasil penelitian Coetzee (dalam De Bot, ed 1993) menunjukkan bahwa bahasa Afrikaans adalah satu-satunya bahasa ibu di Afrika Selatan yang pemakaiannya sangat luas, baik di kalangan penutur kulit putih maupun penutur kulit berwarna. Keberadaan bahasa Afrikaans pada awalnya bernama Cape Dutch karena pertama kali diprakarsai oleh bangsa Belanda. Bahasa Afrikaans disejajarkan dengan bahasa Inggris. Beberapa faktor yang menyebabkan bahasa Afrikaans bertahan yaitu: (1) fungsinya sebagai lingua franca antarmulti ras; (2) kepentingan politik karena Afrika Selatan adalah salah satu negara di dunia yang dihuni oleh banyak suku bangsa. Untuk menghindari rasa paling berkuasa dari segi bahasa, maka bahasa Afrikaans dipakai
dalam media komunikasi bagi mereka, (3) peran penulis dari ras kulit putih, kulit hitam, dan kulit berwarna untuk memperjuangkan pemakaian bahasa ini untuk menghindari dominasi dari ras tertentu dari segi bahasa; (4) satu-satunya bahasa (selain bahasa Inggris) yang dimengerti dan dipakai oleh sebahagian besar penduduk Afrika Selatan (5) keterpakaiannya dalam karya-karya sastra penting; dan (6) adanya tradisi tulis. Terkait dengan penelitian penulis, maka faktor-faktor penyebab kebertahanan bahasa Afrikaans ini dijadikan pembanding untuk mengkaji pergeseran dan kebertahanan BMS dari segi leksikal. Fasold (1984:231-239) melakukan penelitian mengenai komunitas Indian di Tiwa, New Mexico dengan menyebarkan kuesioner tentang pengakuan diri (self report). Hasil penelitian yang dilakukan Fasold menunjukkan bahwa pada generasi pertama
(usia 50
– 75) ditemukan indikasi adanya penutur yang sebahagian besar masih merupakan dwibahawan Tiwa- Spanyol, beberapa orang telah mengenal bahasa Inggris dan beberapa orang lagi ekabahasawan Tiwa. Pada generasi kedua (usia 30 – 45), bahasa Spanyol sudah mulai kehilangan penuturnya. Jumlah dwibahasawan Tiwa- Inggris hampir lima kali lipat dwibasawan Tiwa-Spanyol. Jumlah orang yang mengenal bahasa Tiwa-Inggris-Spanyol sama jumlahnya dengan orang yang mengenal bahasa TiwaSpanyol. Jumlah yang terbanyak adalah dwibahasawan Tiwa-Inggris. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran B2 dan pemertahanan B1 pada komunitas dwibahasawa yakni B2 baru (bahasa Inggris) menggeser B2 lama (bahasa Spanyol) sedangkan B1, yakni bahasa Tiwa tetap bertahan. Parasher (1980) melakukan penelitian terhadap 350 orang terdidik pada dua kota di India. Penetian ini dilakukan dengan meminta subjek untuk menentukan bahasa yang dipakai dalam tujuh ranah, yaitu (1) keluarga, (2) persahabatan, (3) ketetanggaan), (4)
transaksi, (5) pendidikan, (6) pemerintahan, dan (7) pekerjaan. Penelitian yang penulis lakukan untuk melihat pergeseran BMS juga menggunakan ranah namun hanya dua ranah saja yang digunakan yakni ranah rumah dan ranah pekerjaan dalam hal ini sebagai nelayan atau petani (ladang). Selanjutnya penelitian Gal, (dalam Fasold, 1984: 198) mengenai orang Hongaria di Oberwart. Pembahasan penelitian ini adalah mengenai pergeseran bahasa Hungaria (B1) ke bahasa Jerman (B2). Adapun hasil penelitian Fasold yang disusunnya dalam bentuk tabel menunjukkan bahwa penutur antara umur 14-
25 masih memakai bahasa
Hungaria untuk berbicara dengan orang yang lebih tua seperti orang tua, kakek, nenek. Namun jika penutur berbicara dengan orang yang sebaya, saudara kandung, pejabat pemerintah maupun dokter mereka menggunakan bahasa Jerman. Penelitian Gal ini menunjukkan rapuhnya pemertahanan bahasa Hungaria pada generasi muda. Penelitian Gal ini nampaknya mirip dengan penelitian ini yakni masyarakat Melayu Serdang terutama generasi mudanya sudah mulai malu menggunakan BMS dalam kehidupan sehari-hari disebabkan berbagai faktor sosial, budaya, dan lingkungan. Penelitian Dorian (1973) mengenai pergeseran bahasa dialek Ghaelic Scotlandia. Penutur bahasa dialek Ghaelic yang ada hanya berusia sekitar 40 – 80 tahun . Mereka bilingual dalam bahasa Inggris dan dialek Ghaelic. Studi kasus terhadap variasi dialek Ghaelic scotlandia yang dilakukan Dorian menunjukkan kelas kata kerja sangat lemah dan meminjam kata-kata dalam bahasa Inggris dengan jumlah yang sangat besar. Penutur yang berkisar usia empat puluh tahunan tidak percaya diri berbicara dalam bahasa dialek Ghaelic dengan benar karena mereka tidak menguasai bahasanya dengan baik. Ditemukan oleh Dorian bahwa penutur dialek Ghaelic yang mengaku bahasa ibunya adalah bahasa dialek Ghaelic justru lebih kompeten menggunakan bahasa
Inggris. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran bahasa dari dialek Ghaelic ke bahasa Inggris. Hal ini sejalan dengan generasi muda Indonesia saat ini tidak lagi menggunakan BD, mereka sudah malu jika menggunakan BD maka BI menjadi satu-satunya bahasa yang digunakan generasi muda Indonesia.
2.1.2 Beberapa Penelitian Ekolinguistik dan Bahasa Melayu Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa pembahasan mengenai ekolinguistik masih sangat sedikit dilakukan, bahkan dalam BMS belum pernah dibicarakan. Padahal ekolinguistik merupakan kajian penting mengingat kondisi alam di Indonesia yang demikian kritisnya. Di mana-mana terjadi longsor, gempa, letusan gunung merapi bahkan tsunami. Kajian ekolinguistik membahas tiga ranah yakni : bahasa, masyarakat, dan lingkungan. Perubahan-perubahan lingkungan mengakibatkan perubahan dalam bahasa. Ada beberapa artikel-artikel mengenai ekolinguistik berikut ini bermanfaat bagi penelitian penulis. Penelitian-penelitian diringkas berikut ini. Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Mbete dan Adisaputra (2009). Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik dan semantik leksikal. Dari hasil tes penguasaan leksikal responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikal Bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Perubahan ini dipicu oleh: (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran
penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikal, teknik pengumpulan, pemerolehan, dan analisis data. Penelitian Mbete dan Adisaputra ini dilakukan dengan mendokumentasikan leksikal Bahasa Melayu Langkat yang terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikal yang diujikan kepada responden dengan tujuan melihat keterpahaman responden terhadap leksikal yang berhubungan dengan lingkungan alamiah dalam bahasa Melayu Langkat. Hasil pengujian dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikal tersebut yang dikaitkan
dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap
leksikal dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat. Penulis juga mengujikan leksikal namun tidak terbatas pada leksikal nomina saja melainkan mencakup leksikal verba dan leksikal ajektiva. Ada 200 leksikal yang diujikan yakni 150 leksikal nomina ditambah leksikal verba 50 dan leksikal ajektiva 50. Hal ini dilakukan mengingat leksikal nomina lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan leksikal verba dan leksikal ajektiva. Selanjutnya penelitian
Adisaputra 2010 bertajuk
Ancaman Terhadap
Kebertahanan BML: Studi Pada Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat. Kajian kebertahanan Bahasa Melayu Langkat didasarkan pada komunitas tutur remaja berdasarkan penelitian bahasa, sikap bahasa, dinamika bahasa dan faktor-faktor sosial budaya dan sosial ekologi yang berpengaruh.Hasil penelitian kajian ini membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran BML ke BI pada setiap ranah penggunaan dan dalam berbagai situasi dan komunikasi.
Khusus mengenai pergeseran bahasa dan konsep komunitas remaja terhadap ekologi disebabkan berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh adalah (1) sikap toleransi yang tinggi terhadap etnik lain, (2) tingginya mobilitas sosial remaja, (3) penyusutan aktivitas
budaya, (4) penyusutan konsepsi
ekologi Melayu, (5) sikap tidak setia terhadap BML, dan (6) tidak simultannya prosesi adat dengan penggunaan BML. Faktor eksternal penyebab pergeseran bahasa pada komunitas remaja di Stabat di antaranya adalah (1) dominannya etnis mendatang khususnya etnis Jawa (Eja), (2) Pola pemukiman yang semakin lama semakin membaur, (3) adanya BI sebagai bahasa nasional yang pemakaiannya lebih luas dipahami bersama oleh dwibahasawan dan memiliki prestise tinggi dalam pergaulan, dan (4) tingginya interaksi dengan komunitas lain yang berbeda etnis dan bahasa. Yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah metode yakni kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya Adisaputra meneliti khusus remaja saja sedangkan penulis meneliti generasi dan muda dan generasi tua. Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Sinar (2010). Dibicarakan Sinar mengenai ungkapan verbal etnis Melayu Serdang yang berhubungan dengan pantun-pantun dalam Bahasa Melayu Serdang. Selain itu dibicarakan juga mengenai realitas konstekstual kelangsungan hidup ungkapan-ungkapan verbal dalam pantun di tengah-tengah etnis Melayu Serdang. Hasil pembahasan dalam tulisan ini menyatakan bahwa telah terjadi perubahan besar sastra lisan dan falsafah keekologiaan Bahasa Melayu Serdang dalam sejarah perkembangannya. Untuk itu maka keberadaan sastra lisan dan falsafah keekologian BMS layak dikaji dan dipertahankan kembali karena merupakan salah satu kekuatan dan ciri jati diri masarakat Melayu Serdang diantara komunitas tutur lainnya di Deli Serdang
dan Serdang Bedagai. Tulisan ini menginspirasi penulis untuk menelaah ekolinguistik BMS. Kajian Ekolinguistik dan Upaya Pengayaan Bahasa Nasional oleh Setia, (2010) Dibahas oleh Setia bahwa kajian ekologi memiliki tiga ranah yakni bahasa, ekologi dan masyarakat. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu keseluruhan multidimensi yang kompleks meliputi: (1)
Cara menggunakan bahasa dalam komunikasi, (2) Realitas
masyarakat kapitalis secara global, dan (3) bentuk-bentuk kehidupan manusia dan nonmanusia. Selanjutnya Setia mengupas hal yang berkaitan dengan linguistik dialektikal yang secara tradisional berhubungan dengan analisis wacana eko kritis (Eco-Critical Discourse Analysis) Sukhrani (2010) membahas Leksikal Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar : Kajian Ekolinguistik. Hasil penelitian Sukhrani bahwa leksikal nomina bahasa Gayo masih dikenal, dipahami, dan digunakan. Pemahaman penutur Bahasa Gayo terhadap leksikal nomina bahasa Gayo didukung dengan pengetahuan penutur bahasa Gayo terhadap lokasi tempat referen leksikal tersebut ditemukan. Leksikal nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Kebertahanan leksikal nomina bahasa Gayo dalam berkomunikasi disebabkan: (1) biodiversitas lingkungan danau, (2) penutur dari masing-masing usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, (3) penutur
masing-masing kelompok masih berbahasa Gayo dalam
keseharian. Penelitian Sukhrani yang membahas leksikal nomina ini menginspirasi penulis untuk meneliti leksikal nomina, verba, dan ajektiva dalam Bahasa Melayu Serdang termasuk ekologi Kesultanan Melayu Serdang.
Mahriyuni, (2009) Konfigurasi Medan Leksikal Emosi Bahasa Melayu Serdang membahas sejumlah medan leksikal emosi yang dihasilkan oleh penutur BMS berdasarkan variasi sosial. Fokus kajian ini membicarakan makna kata leksikal emosi Melayu Serdang yang dibentuk oleh leksem ajektiva. Tulisan ini meski bukan kajian ekolinguistik, namun dapat dijadikan acuan untuk memahami latar belakang budaya lewat makna emosi dalam Masyarakat Melayu Serdang. Selanjutnya Thyrhaya, (2009) menulis Representasi Idiologi Masyarakat Melayu Serdang dalam Teks, Situasi dan Budaya. Tulisan ini mengkaji fenomena semiotik sosial Melayu Serdang dengan fokus pengungkapan representasi idiologi dalam bahasa teks, situasi, dan budaya serta idiologi dalam Masyarakat Melayu Serdang. Penelitian ini sama sekali tidak berhubungan dengan ekolinguistik maupun sosiolinguistik, namun dapat dijadikan acuan mengenai lokasi karena sama - sama membicarakan Melayu Serdang.
2.2 Konsep 2.2.1 Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa Pilihan bahasa terjadi pada komunitas tutur yang dwibasawan atau multibahasawan. Konsekuensi
dari pilihan bahasa tersebut adalah pola penggunaan bahasa.
Pola
penggunaan bahasa yang mantap menyebabkan pemertahanan bahasa (language maintenance), sedangkan pola yang goyah menyebabkan pergeseran bahasa (language shiff). Pemertahanan dan pergeseran bahasa terjadi dalam jangka panjang dan bersifat kolektif. Wujud pemertahanan bahasa itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa tersebut masih dipakai dan dipilih pada ranah-ranah penggunaan bahasa oleh para
penuturnya. Indikator utama sebagai penanda pemertahanan atau pergeseran bahasa adalah ranah (domain) penggunaan bahasa (language in use).
Analisis ranah
penggunaan bahasa dan kajian-kajian tentang pemertahanan bahasa oleh Fishman (1972) selalu dikaitkan dengan konsep diglosia tentang ragam prestasi tinggi (T) dan rendah (R). Kaitan antara pilihan bahasa dengan konsep pemertahanan bahasa
T- R ini penting dalam
karena pemertahanan dan kebocoran yang menebabkan
pergeseran bahasa dapat dilihat (Sumarsono, 1993: 14). Kajian terhadap pemertahanan dan pergeseran bahasa sangat kompleks. Setidaknya Romaine (1995:40) mencatat ada 10 faktor penting yang terkait dengan pemertahanan dan pergeseran bahasa. Kesepuluh faktor yang dimaksud, yakni: (1) kekuatan secara kuantitatif antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas; (2) kelas sosial; (3) latar belakang agama dan pendidikan; (4) pola perkampungan/ kemasyarakatan; (5) kesetiaan terhadap tanah air atau tanah kelahiran; (6) derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa
minoritas; (7) luas perkawinan campuran ; (8) sikap mayoritas dan
minoritas; (9) kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan minoritas; (10) pola-pola penggunaan bahasa. Teori pergeseran bahasa berikut ini dibahas dengan mengacu kepada pendapat Gunarwan (2006: 95 – 113). Bahasa dikatakan bergeser jika dan bila masyarakat bahasa itu secara kolektif mulai tidak lagi menggunakan bahasa tradisionalnya, dan alih-alih itu menggunakan bahasa yang lain (Gunarwan, 2006:95). Sebaliknya bahasa dikatakan bertahan jika dan bila masyarakat secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradsisionalnya walaupun ada desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Kehadiran bahasa lain dalam suatu masyarakat yang semula eka bahasa merupakan pemicu lahirnya pergeseran bahasa. Dengan kata lain jika dalam suatu masyarakat
terdapat dua bahasa atau kedwibahasaan (bilingualisme) inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa. Sejumlah faktor yang diprediksi dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah sebagai berikut: (1) faktor sosiolinguistis, (2) faktor psikologis, (3) faktor ekonomis, dan (4) faktor demografis. Dikatakan bahwa yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme atau multilingualisme jika lebih daripada dua bahasa terlibat. Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa monolinguisme tidak menyebabkan adanya bahasa yang terancam, dan dengan sendirinya tidak ada bahasa yang bergeser. Yang menyebabkan bahasa dapat terancam adalah bilingualisme terutama yang di dalamnya kedua bahasa telah membentuk diglosia dan tiris. Jadi ketirisan diglosia juga dapat dilihat
sebagai kondisi sosiolinguistis penyebab terus terjadinya pergeseran
bahasa. Dapat dikatakan termasuk faktor psikologis adalah bagaimana pandangan para anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi bahasa-bahasa yang ada di dalam masyarakat. Dapat ditanyakan dalam hal ini (1) bagaimana sikap warga pada umumnya terhadap bahasa mereka ; (2) apakah mereka menganggap bahasa mereka lebih rendah daripada bahasa lain; (3) banggakah mereka dengan bahasa dan budaya mereka; (4) apakah mereka menganggap bahwa bahasa mereka sebagai nilai inti (core value ); (5) apakah mereka mempunyai kesetiaan yang tinggi kepada bahasa mereka; (6) apakah ada rasa malu menggunakan bahasa mereka seperti yang dicontohkan oleh Wilasa (1999), yakni adanya kecendrungan pemuda desa Bali berbahasa Indonesia alih-alih berbahasa Bali bila berinteraksi dengan pemuda kota.
Sebagai faktor demografis dapat dilihat jumlah penutur yang kecil dapat menyebabkan bahasa yang bersangkutan rawan terhadap resiko keterdedahan (keterpajanan) (exposure to risk) sehingga bahasa itu mudah tergeser.Secara tidak langsung faktor ekonomik juga mempercepat pergeseran bahasa. Hal ini dapat dcontohkan dengan kasus ketidakberhasilan pembendungan pergeseran bahasa Gaelik Irlandia (Fishman, 1972). Bahwa bahasa Inggris merupakan jembatan menuju pekerjaan yang lebih menguntungkan itu merupakan kenyataan yang telah menyebabkan orangorang Irlandia, demi alasan pragmatis memilih menggunakan bahasa dunia itu alih-alih bahasa Irlandia mereka. Bahwa orang Irlandia lebih suka berbahasa Inggris daripada bahasa tradisional mereka, merupakan pertimbangan analisis biaya maslahat bagi masyarakat Irlandia.
2.2.2
Leksikal dan Semantik Leksikal
2.2.2.1 Leksikal Konsep leksikal dikemukakan dengan mengacu kepada beberapa pendapat berikut ini: Kamus linguistik
(Kridalaksana:126) mendefinisikan leksikal (lexicon,vocabulary)
Komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara , penulis atau suatu bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata; daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan singkat dan praktis. Sedangkan Haspelmath (2002:39) menjelaskan leksikal sebagai berikut: Leksikal paling tidak mengandung semua informasi yang tidak predictable dari aturan umum. Selanjutnya Sibarani (1997:7) membedakan leksikal dengan perbendaharaan kata dengan mengatakan bahwa leksikal mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti prilaku
semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologis, sedangkan perbendaharaan kata adalah lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa. Spencer (1993:47) mengemukakan bahwa leksikal merupakan kamus singkat yang memuat daftar kata bersama arti. Elson dan Pickett (1987:1) mendefenisikan: seluruh jumlah morfem
atau kata-kata sebuah
bahasa. Kata yang mempunyai makna dan cara
penggunaannya. Selanjutnya Crystal (2008:78) mengatakan bahwa leksikal merupakan komponen yang mengandung informasi
tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa,
seperti prilaku semantis, sintaksis, dan fonologis. Berikutnya, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikal sebagai berikut: (1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau sesuatu bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata; (3) daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.
2.2.2.2 Semantik Leksikal Menurut Kridalaksana, (1982: 194) “Semantik leksikal adalah penyelidikan makna unsur-unsur kosa kata suatu bahasa pada umumnya”. Kajian semantik leksikal adalah pembahasan makna alamiah kata. Yang dimaksud dengan makna kata dalam semantik leksikal adalah makna kata yang dianggap sebagai satuan yang mandiri bukan makna kata dalam kalimat. (Lihat Pateda, 2001: 74). Selanjutnya dinyatakan Sibarani “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa yang bersangkutan” (Sibarani, 1997: 7).
Melalui ketiga defenisi di atas dapat dikatakan bahwa makna kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita disebut semantik leksikal. Contoh dalam BMS
cekur
referennya` kencur`, jelebau referennya `labi-labi` , kelambir referennya `kelapa` Semantik berhubungan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (simbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (Sign) (Pateda, 2001: 25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001: 31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan. Tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam. Dalam pembahasan semantik leksikal kata merupakan tumpuan. Sebagaimana yang dikemukakan Sweet dalam Palmer (1976 : 37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya: nomina, verba, adjektiva, dan adverbial
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori
ekolinguistik, sosiolinguistik, dan antropologi
sebagai landasan teoretis. Alasan memilih tiga pendekatan teori ini adalah yang pertama, penelitian ini memilih pendekatan ekolinguistik khususnya karena parameter
ekolinguistik melihat hubungan antara, bahasa, lingkungan, dan keberagaman leksikal lingkungan Serdang. Penyingkapan makna dan nilai-nilai etnik Melayu Serdang sangat terkait dengan lingkungan seperti yang dinyatakan Sinar
(2010:72) bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi keberadaan dan kelangsungan leksikal lingkungan penutur BMS di tengah-tengah etnik Melayu dalam perspektif konteks situasi ekolonguistik. Pendekatan ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan
kehidupannya
dalam
mengadakan
hubungan
timbal
balik
antarmakhluk hidup (biotik) dan dengan benda tak hidup (abiotik) di tempat hidupnya atau lingkungannya. Kedua, teori sosiolinguistik karena melalui kajian sosiolinguistik peneliti dapat melihat hubungan
antara perlakuan bahasa dan status sosial. Selanjutnya dapat
dinyatakan bahwa penelitian ini adalah mengkaji tentang bahasa dalam hubungannya dengan
masyarakat sehingga melalui teori sosiolinguistik dapat diteliti mengenai
hakekat bahasa dan hakekat penutur BMS. Ketiga,
teori antropolinguistik digunakan dalam penelitian ini karena melalui
antroponguistik kita mencermati apa yang dikatakan orang dengan bahasa, dan semua ujaran yang diproduksi termasuk diam, dan gerak (gestures) dengan konteks pemunculannya
2.3.1 Teori Ekolinguistik Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel (1834-1914). Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat
mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fiil (2001:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.)
(2000)
yakni
suatu
pendekatan
yang
mempelajari
bahasa
dan
menghubungkannya dengan lingkungan. Tiga
parameter
ekolinguistik
yakni
(1)
adanya
ketersalinghubungan
(interrelationships), interaksi, (interaction) dan kesalingtergantungan (interdepedensi) (2) adanya lingkungan (environment) tertentu, dan (3) adanya keberagaman (diversity) di lingkungan itu baik manusia maupun makhluk-makhluk lainnya sebagai isi alam di lingkungan tertentu dapat dijadikan pegangan dalam membedah bahasa dan lingkungan (Fill and Muhlhausler, 2001: 1). Semua berubah yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan perubahan bahasa, kebudayaan, lingkungan, tentu saja lingkungan sosial-ekologi kesultanan. Bila ditinjau dari sudut pandang ekolinguistik keberadaan bahasa dengan guyub tuturnya juga dipandang sebagai suatu organisme yang hadir, hidup, tumbuh berkembang bahkan punah, setidak-tidaknya tampak jelas pada tataran leksikal lihat Fill and Muhlhausler, dalam (Mbete, 2010:5) Menurut Haugen (1972) dalam Peter (1996: 57) ekolinguistik merupakan interaksi bahasa dengan lingkungan. Demikian pula Crystal (2008:161-162) menjelaskan bahwa : menyoroti perubahan bahasa, keberagaman linguistik, peranan sikap, dan kesadaran berbahasa.
Para pakar yang membicarakan tentang defenisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Jelaslah bahwa ekolinguistik menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari persfektif yang lebih luas. Haugen (1970 lihat Mbete (2009: 11-12) menyatakan, ada sepuluh ruang kajian ekologi bahasa, antara lain: pertama linguistik historis komparatif, kedua linguistik demografi, ketiga sosiolinguistik, keempat dialinguistik, kelima dialektologi, keenam filologi, ketujuh linguistik preskriptif, kedelapan geopolitik, kesembilan etnolinguistik, kesepuluh tipologi. Ekolinguistik, secara tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu: ecocritical discourse analysis dan linguistics ecology (Fill, 1996, dalam Wikipedia). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedangkan yang kedua, linguistik ekologi yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Kajian leksikal lingkungan yang dibahas dalam tesis ini berhubungan dengan ekolinguistik.
Linguistik
ekologi pada tataran leksikal misalnya menggambarkan
pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya dalam bentuk kode-kode lingual. Seiring dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat bahasa tentang lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang berarti adanya interaksi dan interelasi masyarakat bahasa itu. Selanjutnya dikemukakan Sapir bahwa kosa kata suatu bahasa
paling jelas menggambarkan
lingkungan fisik dan sosial para penuturnya. Kosa kata yang lengkap dari suatu bahasa sesungguhnya bisa dilihat sebagai temuan yang kompleks terhadap keseluruhan ide,
minat dan kedudukan yang dapat menjadi perhatian komunitas itu dan mungkin kita bisa memperluasnya pada karakter lingkungan fisik dan karakteristik dan budaya orangorang yang menggunakan kosa kata itu. (lihat, Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001: 14) Kendatipun demikian, seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika lingkungan apalagi adanya dominasi bahasa yang lebih tinggi posisinya, perubahan bahasa dalam pelbagai tataran, secara khusus tataran leksikal membawa dampak perubahan bahasa (lihat Mbete, 2009). Dengan kata lain perubahan bahasa
mencerminkan perubahan
lingkungan sosial budaya dan perubahan lingkungan fisik. Perangkat leksikal, juga ciri leksikal lingkungan penutur BMS menyusut dan mengembang bentuk dan maknanya sekaligus mempresentasikan dinamika lingkungan Dalam
perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau
menggambarkan perubahan lingkungan. Demikian sebaliknya baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam berubah dalam arti berkurang atau menghilangnya biota entah fauna atau flora di lingkungan alam budaya tertentu, mengubah pula pengetahuan, pemahaman, dan interelasi manusia dengan alam lingkungan itu. Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa , misalnya penggunaan sampiran dalam pantun Melayu (Sinar, 2010: 73). Sampiran pantun menggunakan tetumbuhan selasih beberapa puluhan tahun silam misalnya, karena memang masa itu tanaman selasih masih ada dan tumbuh di banyak lingkungan. Setakat ini, seiring pula dengan menghilangnya tanaman selasih satuan lingual yang membangun pola sampiran pada pantun telah memuncukan satuan-satuan lingual kata yang berkaitan dengan kehidupan praktis di lingkungan itu, saat warga berbalas pantun dalam hajatan tertentu. Dengan demikian, telah terjadi pula
penyusutan fungsi leksikal yang metaforis bertautan dengan nama tumbuhan atau berbeda-beda alam di lingkungan Melayu.
Ini berarti konteks penggunaan bahasa
menjadi variabel penting, tanda hidupnya bahasa dan organisme di ligkungan tertentu. Pendekatan ekolinguistik memandang bahasa sebagai wadah yang secara fungsional merekam pengetahuan manusia tentang lingkungan alam sekitarnya juga lingkungan sosial budaya sebagai tanda adanya relasi dan interaksi mereka dengan alam. Selaras dengan pandangan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, Eds 2001: 2), di atas. Khazanah kosa kata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan lengkap mencerminkan dan merefleksikan perbendaharaan pengetahuan komunitas penuturnya tentang lingkungan ragawinya, sosialnya, gagasan-gagasan mereka juga karakter lingkungan hidup dan kebudayaan para pemilik bahasa itu. Dalam kaitan dengan penelitian ini dapat diasumsikan sejak keemasan zaman kesultanan sampai pada era informasi ini bahasa Melayu Serdang telah terbangun gagasan kolektif, kerja sama dan kebersamaan terbangun, dibina dan diwariskan antargenerasi masyarakat BMS. BMS merealisasikan
makna dan nilai-nilai
kehidupan komunitas masyarakat
penuturnya. Di dalamnya terdapat seperangkat nilai sosialekologis yang diwariskan antargenerasi. Didasarkan pemikiran di atas, dalam kajian ini akan dijelaskan fungsi bahasa sebagai perekam pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sultan penggunaannya dalam ranah-ranah pemakaian seperti: ranah keluarga, ranah keagamaan, tradisi lokal dan ranah adat. Masihkah bahasa Melayu Serdang hidup
dan berfungsi
dalam ranah-ranah
penting khususnya dalam kehidupan keluarga dan dalam kehidupan sosio religius oleh masyarakat. Pertanyaan berikut apakah kaum mudanya memiliki pengetahuan dan
pemahaman serta penggunaan perangkat leksikal yang khas tentang lingkungan mereka ataukah sudah beralih secara intens ke penggunaan bahasa kedua dalam pelbagai ranah kehidupan? Bila jawaban ya, ini berarti
tanda-tanda kematian bahasa lokal telah
menggejala secara serius (Fishman: 1972). Seperdua bahasa etnik di pelbagai belahan bumi yang menjadi indeks dan simbol budaya etnik, seperti juga bahasa-bahasa di kawasan Nusantara
terancam punah
khususnya sejumlah bahasa minor (Sutjaja, 2007) bahkan juga telah mati. Bertolak dari konsep Fishman (1991) selanjutnya Crawford (1996) lihat Mbete (2004) menyatakan beberapa gejala penyebab kepunahan dan upaya penyelamatan bahasa-bahasa minor yakni: (1) Faktor internal komunitas penuturnya sebagai penyebab sehingga penyadaran internal bagi ahli warisnya menjadi sangat strategis dan penting, (2) Perubahan pijakan kerohanian internal komunitas pendukungnya sebagai cikal bakal yang mengawali terjadinya kegoyahan, (3) perubahan tata nilai lingual-kultural sebagai kondisi pengikis fungsi sehingga pembenahan sistem nilai kebahasaan dan kebudayaan sangat diperlukan, (4) kegoncangan situasi kedwibahasaan sehingga pembelajaran intensif dan integral kedwibahasaan menjadi tuntutan, (5) faktor eksternal semisal kehadiran bahasa kedua dan globalisasi kebahasaan sebagai faktor penyebab sehingga kebijakan bahasa secara berimbang sangat diperlukan. Seperti diuraikan di atas perubahan sistem bahasa baik pada tataran leksikal, gramatika
maupun
pola
kewacanaan
dalam
fenomena
penggunaannya
menggambarkan pula adanya perubahan sosialekologis (Muhlhausler dan Alwin, Eds 2001). Selain ada dalam jiwa penuturnya bahasa muncul dalam interaksi sosial komunitas penutur dan di dalamnya terjadi saling pengaruh antar bahasa (Haugen 1972).
Bahasa yang lebih kuat secara sosial politik dan ekonomi akan mendominasi bahasa yang lemah dalam penggunaannya. Perkembangan dan perubahan khazanah leksikal suatu bahasa misalnya mempresentasikan pula perubahan sosial dan ekologi. Suatu masyarakat peladang yang sebelumnya tidak mengenal jenis tanaman komoditas baru namun setelah mengalami transformasi ekonomi pertanian terjadi pula penambahan kata-kata baru sementara itu leksikal lama tentang ranah perladangan tertentu, dapat saja tergusur. Dampak lanjutannya baik leksikal maupun pola kewacanaan masyarakat akan berubah pula, sekaligus menggeser pola-pola kewacanaan lama dalam tradisi kelokalannya misalnya dari dunia perladangan ke dunia industri (barang dan jasa). Perubahan persepsi dan representasi verbal yang terjadi adalah tanda tanda adanya hubungan sistematis antara bahasa dan dunia yang ada di lingkungan bahasa yang hidup (Trampe, 2001:232-233).
2.3.2 Teori Antropologi Linguistik Franz Boaz adalah
pelopor antropologi linguistik dengan variannya lingustik
antropologi di Amerika, sedangkan di Eropa digunakan istilah etnolinguistik (Duranti, 1997) Di Indonesia dikenal dengan istilah linguistik budaya (lihat Riana, 2003: 8). Pada dasarnya
linguistik
budaya,
linguistik
antropologi,
antropologi
linguistik
dan
etnolinguistik secara umum memiliki kesamaan (lihat Crystal, 1992: 20; Duranti, 2001: 12 ). Masalah sudut pandang sajalah yang menyebabkan terdapat perbedaan terhadap istilah tersebut. Kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaranujaran
yang
diproduksi,
diam,
dan
gestures
dihubungkan
dengan
pemunculannya melalui pendekatan antropolinguistik.(lihat Duranti, 2001: 9).
konteks
Salah seorang yang berkontribusi dalam pengembangan antropologi linguistik adalah Franz Boas. Konsep relativitas bahasa yang dilahirkan Sapir dan Benyamin L Whorf merupakan pengaruh dari Franz Boas. Dalam konsep relativitas dinyatakan bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosio budaya masyarakat pendukungnya (Oktavianus, 2005: 80) . Salah satu kontribusi Sapir via Bonvillain, 1997:49) yang sangat terkenal adalah gagasannya yang menyatakan bahwa analisis terhadap kosa kata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa
bermukim. Hubungan
antara
kosa
kata
dan
nilai
budaya
bersifat
multidireksional. Dikemukakan oleh Malinowski (dalam Hymes 1974:4) bahwa melalui etnoliguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental dan psikologis; apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna dan bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cendrung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Lihat Hymes,1974: 5). Kebudayaan terbentuk melalui interaksi manusia termasuk interaksi dan interelasi manusia dan lingkungannya. Sebagai hasil interaksi manusia, kebudayaan berada di antara individu, bukan pada individu karena kebudayaan merupakan simbol yang berdimensi sosial. Geertz (1992:12) berpendapat bahwa kebudayaan bersifat ideasional tetapi bukan terdapat di dalam kepala seseorang; kebudayaan bersifat fisik, tetapi bukan entitas yang tersembunyi.
2.3.2.1 Hipotesis Sapir Whorf.
Sebelum meninjau hipotesis Sapir (HSW) perlu dikemukakan Sapir, terutama pengaruhnya terhadap perkembangan linguistik selama abad kedua puluh. Dengan memahami Sapir, kita akan didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang ide-ide pokok yang mendorong lahirnya hipotesis Sapir (HSW). Bagian kedua dari makalah ini terdiri atas dua bagian: pemikiran linguistik dan tinjauan teoritis terhadap hipotesis Sapir (HSW).
2.3.2.2 Tinjauan Teoretis Terhadap Hipotesis Sapir Whorf Setiap pembicaraan tentang bahasa dan budaya atau bahasa dan pola pikir hampir selalu dikaitkan dengan Hipotesis Sapir Worf (HSW). Seperti bisa dilihat, misalnya pada karya-karya Caroll (1999). Hal (2002) Jannedy et al. (1994), Sampson (1980), dan Trudgill (1974). Ini menunjukkan bahwa bahasawan yang membicarakan antara bahasa dan budaya wajib mengetahui dan memahami Hipotesis Sapir Whorf (HSW),
juga
mengisyaratkan betapa pentingnya Hipotesis Sapir Whorf sebagai penjelasan betapa keterkaitan antara bahasa dan budaya. Bahkan dapat dikatakan bahwa Hipotesis Sapir Whorf (HSW) hampir identik dengan topik tentang bahasa, pola pikir, dan budaya. Hipotesis Sapir Whorf (HSW) memiliki dua versi, versi ekstrim dan versi moderat. Versi ekstrim menyatakan bahwa cara pandang kita terhadap realitas ditentukan sepenuhnya oleh bahasa kita. Ini adalah determinisme bahasa, persis seperti pandangan Von Humboldt. Sebaliknya, versi moderat menyatakan bahwa cara pandang kita terhadap realitas dipengaruh oleh bahasa pertama kita. Ini adalah relativisme atau relativitas bahasa. Berikut diulas asal usul Hipotesis Sapir Whorf (HSW) versi ekstrem dan versi moderat, dan juga dikemukakan pandangan bahasawan masa kini terhadap keduanya.
2.3.2.3 Warisan Intlektual Edward Sapir Orisinalitas pemikiran Sapir di bidang linguistik tak perlu dipertanyakan. Menurut Newmeyer (1986:4), strukturalisme Sapir mendahului strukturalise De Saussure: Gramatika Bahasa Takelma oleh Sapir terbit pada tahun 1911, sedangkan Course of the Linguistic Generale de Saussure baru terbit pada tahun 1916. Begitu pula Language oleh Sapir (1921) terbit dua belas tahun lebih awal daripada Language oleh Blomfield (1933). Perhatian Blomfield terfokus sepenuhnya pada struktur bahasa, sehingga masa kejayaan aliran Bloomfield di paroh pertama abad kedua puluh disebut The Decades of Phoneme of morpheme. Sebaliknya, Sapir, seperti gurunya Boas, yang menekuni linguistik antropologi sekaligus memiliki perhatian yang sangat luas. Linguistik Sapir tidak terhenti pada
struktur bahasa, tetapi juga merambah
kawasan budaya, sastra, mitologi, dan agama. Ia adalah seorang ”mentalis” dan mentalisme Sapir nampak jelas misalnya, dalam tulisannya the Phsycological Reality of Phoneme (1933-1949). Representasi fonetik tidak selalu sama dan sejajar dengan representasi fonemik: karena yang terakhir terkait langsung dengan makna ujaran, dan dengan demikian ia memiliki realitas psikologis dalam pikiran penutur bahasa. Metalisme itu bergerak semakin jauh dan dalam ketika Sapir mengatakan bahwa struktur bahasa juga berpengaruh terhadap cara pandang penuturnya terhadap realitas. Berbicara tentang bahasa dan budaya, Sapir (1921: 207, 218), mengingatkan kita bahwa idiologi, sosiologi bahasa tidak selalu ada hubungan kausal antara keduanya, meskipun bahasa tidak pernah lepas dari budaya. Ketika ia berbicara tentang bahasa dan sastra (1921:221- 2), ia menunjukkan kepada kita arti kebebasan kreatif namun sekaligus
juga keterbatasannya, karena kondisi alami medium bahasa. Ketika ia mengatakan all grammar leak (1921: 38), ia mengingatkan kita betapa rumitnya struktur bahasa, sehingga gramatika yang kita hasilkan tidak pernah sempurna menjaring seluruh aturan bahasa. Semua itu mengisyaratkan bahwa pikiran kebahasaan Sapir bersifat relatif dan humanistic (Newmeyer, 1986: 4). Bahkan, bila direnungkan lebih mendalam, yang tersurat dalam pemikiran Sapir adalah “relativitas bahasa” namun yang tersirat di dalamnya adalah relativitas keilmuwan. Sapir adalah bahasawan dengan visi yang jauh ke depan mendahului zamannya. Pemikiran linguistiknya yang luas dan mendalam tersebut
telah menjadi warisan intlektual yang sangat berharga terutama bagi
bahasawan yang tertarik mempelajari bahasa dalam konteks sosialkulturalnya.
2.3.3 Teori Sosiolinguistik Dikemukakan oleh Hudson bahwa sosiolinguistik adalah suatu kajian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat (Hudson, 1995: 1) Dari definisi yang dikemukakan Hudson dapat dinyatakan dua hal yakni hakikat bahasa dan hakikat masyarakat. Dalam hakekat bahasa dinyatakan keberagaman bahasa. Seperti dalam fonologi, ada penutur bahasa Indonesia yang mengucapkan /redio/ atau /radio/ untuk kata “radio”. Dalam morfologi ada penutur yang menggunakan akhiran
- kan di samping akhiran - i.
Selanjutnya dalam hakekat kemasyarakatan dijelaskan seluruh gejala, sifat, ciri-ciri masyarakat dan budaya dalam perwujudannya secara keseluruhan. Menurut Fishman kajian sosiolinguistik dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu dengan didasarkan atas tiga hal. Pertama, membenahi pandangan linguistik umum yang berfokus hanya pada internal kebahasaan ke arah studi kebahasaan yang berkaitan dengan
masyarakat.
Kedua,
memperluas
pandangan
tentang
konsep-konsep
kemampuan linguistik (linguistic competence) dari penutur asli ke arah konsep kemampuan komunikatif (communicative competence), dengan cara mengubah pandangan dan studi keabsahan yang abstrak menjadi studi kebahasaan yang berkaitan dengan konteks sosial (siapa berbicara dengan siapa tentang apa dalam situasi yang bagaimana) yang lebih dikenal dengan istilah etnografi komunikasi. Ketiga, mengacu kepada sosiologi yang sering disebut sosiologi bahasa yang difokuskan pada bahasa dalam masyarakat (speech community). Ketiga orientasi ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan tapi memiliki kekhasan dalam prinsip-prinsip dasar sosiolinguistik. Yang pertama dan kedua termasuk ke dalam sosiolinguistik mikro sedangkan yang ketiga termasuk ke dalam sosiolinguistik makro (Fishman , 1972:2). Pandangan-pandangan di atas dijadikan landasan dalam mengembangkan ilmu tersebut oleh para ahli antara lain kelompok Hymes, dkk dengan formulasi : kapan berbicara; kapan tidak berbicara; apa yang dibicarakan; kepada siapa, dimana, dan dalam situasi yang bagaimana (Hymes, 1974:277). Kelompok Dell Hymes dan J. A. Fishman mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebahasan dalam kaitannya dengan masyarakat penutur dengan menggunakan metode kualitatif. Trend baru dalam ilmu sosiolinguistik dikembangkan oleh Labov dan kawan-kawan. Pandangan mereka dikatakan sedikit ekstrim dengan pernyataannya, “studi bahasa dalam komunikasi ujaran adalah linguistik,” Selanjutnya dikatakan bahwa, “kelihatannya cukup alamiah bahwa data dasar untuk setiap bentuk linguistik umum adalah bahasa sebagaimana yang digunakan penutur asli dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari Dikembangkan oleh Labov Linguistik sekuler yakni studi linguistik yang didasarkan kepada asumsi bahwa hipotesis lingiustik harus didasarkan kepada observasi dan analisis
keanekaragaman bahasa sehari-hari (vernacular varieties) yang dipergunakan oleh penutur dalam hubungannya dengan konteks sosial dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan ini dikenal dengan kuantitatif sosiolinguistik. Pionir analisis kuantitatif dalam ilmu linguistik ialah William Labov. Pandangan ini memunculkan pakar-pakar sosiolinguistik antara lain : Trudgill (1984), Milroy dan J. Milroy (1987), David and Sankoff (1979), Holmes (2001), Gal (1979). Teknik-teknik penelitian yang dipadukan dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi dan statistika merupakan perkembangan dari Labov.
2.3.4 Perubahan Bahasa Tingkah laku berbahasa yang berubah-ubah oleh pemakai bahasa dapat memunculkan berbagai macam fenomena kebahasaan. Pada mulanya fenomenafenomena itu sering ditandai dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dari normanorma baku dari sebuah pemakaian bahasa. Labov (1994) sendiri mengistilahkannya dengan language change in progress, dari istilah itu dapat dijabarkan bahwa sebuah perubahan biasanya terjadi secara bertahap-tahap dan biasanya di dahului oleh suatu hal yang kecil yang terjadi pada saat ini. Labov (1994) dan Aitchison (1991) ialah salah satu dari beberapa ahli bahasa yang mengemukakan pendapatnya tentang perubahan bahasa ini. Menurut Labov (1994) untuk mengkaji sebuah perubahan bahasa ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, untuk menelusuri unsur-unsur bahasa yang berubah secara perlahan-lahan ialah dengan cara membandingkan bentuk-bentuk yang ada sekarang dengan bentuk-bentuk yang telah ada sebelumnya. Kedua, menganalisis hubungan tingkah laku berbahasa penutur
yang teridentifikasi mengalami perubahan dengan kategori sosial dan kemudian dapat ditemukannya hubungan antara perubahan unsur-unsur bahasa karena faktor sosial dengan perubahan unsur-unsur bahasa secara internal. Dari penjelasan Labov (1994) di atas, terungkap bagaimana mekanisme penyebaran perubahan bahasa. Ada dua segi yang dapat ditinjau dari penyebaran perubahan bahasa ini, yaitu penyebaran yang berhubungan dengan penutur bahasa dan penyebaran yang berhubungan dengan internal kebahasaan. Pengelompokkan Penyebaran perubahan bahasa yang berhubungan dengan penuturnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyebaran secara alamiah dan penyebaran secara sadar. Penyebaran perubahan bahasa secara alamiah dapat terjadi secara sistematis dan umumnya digunakan oleh sebagian kelompok masyarakat yang secara tidak sengaja menggunakan unsur-unsur bahasa tertentu yang berbeda dengan kaedah-kaedah yang telah berlaku selama ini dan pada akhirnya menimbulkan variasi baru. Jika masyarakat itu memakai variasi baru ini dan bersifat umum serta penggunaannya sudah sampai batas tertentu dalam penyebarannya, maka variasi itu akan menjadi kaedah baru dan kemudian semua lapisan masyarakat akan menerapkannya sehingga menjadi marker guyup tutur tersebut. Labov (1994) menyebut perubahan ini ialah change from below, yang ada saatnya penggunaan variasi baru itu mengalami adaptasi dengan unsur-unsur kebahasaaan lainnya yang telah ada lebih dulu. Sedangkan penyebaran perubahan bahasa secara sadar sudah pasti dilakukan dalam keadaan sadar, yang artinya anggota masyarakat secara sengaja dan nyata menerapkan unsur-unsur bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang telah berlaku selama ini. Penyebaran jenis ini umumnya dilakukan oleh semua lapisan
masyarakat yang dianggap mempunyai kekuasaan, status sosial yang tinggi dan prestise yang akhirnya diimitasi oleh kelompok “subordinate” sebagai contoh. Penyebaran perubahan bahasa secara internal terkait dengan perubahan unsurunsur kebahasaan seperti unsur leksikal, morfologi, sintaksis dan unsur bunyi. Contoh nyata yang dapat diamati ialah terjadinya difusi leksikal dan difusi bunyi pada bahasa tertentu yang umunya didahului dengan perubahan kecil tetapi perlahan. Ketika perubahan ini masuk kedalam beberapa kata, maka terjadi fluktuasi pemakaian antara bentuk lama dengan bentuk baru oleh masyarakat dan secara pelan-pelan bentuk yang lama akan ditinggalkan oleh masyarakat. Perubahan seperti ini akan terjadi secara cepat dalam kurun waktu yang singkat, jika penyebaran perubahan bahasa itu terjadi pada kata dengan jumlah yang tidak sedikit (Suastra, 2004:8-15). Aitchison (1991:105-106) mengungkapkan bahwa penyebab perubahan bahasa disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal psikolinguistik dan faktor sosial. Faktor yang pertama ini berhubungan dengan system bahasa itu sendiri dan keadaan kejiwaan penutur, dalam hal ini pengetahuan dan sikap penutur dalam dinamika sosialekologis, khususnya situai keanekabahasaan sedangkan faktor kedua berhubungan dengan faktor luar sistem kebahasan.
a.
Faktor internal kebahasaan. Setiap bahasa akan mengalami perubahan jika bahasa itu sendiri mempunyai
perangkat untuk perubahan yang dapat berakibat pada muncul variasi-variasi baru, hal ini terjadi karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan bahasa. Misalnya adanya asimilasi dalam bidang bunyi antara dua bahasa yang berbeda. Pada saat seperti ini berlaku “push and drag chain theory”yang menjabarkan adanya pergeseran bahasa dalam dikotomi push dan drag, sehingga tergesernya unsur bahasa
yang asli dikarenakan adanya penyusupan salah satu unsur bahasa ke bahasa lainnya. Akhirnya unsure bahasa yang asli akan tergeserkan dan akan meninggalkan posisinya dan posisi ini akan diisi oleh unsur-unsur bahasa yang lain pula. Kasus seperti ini dicontohkanoleh Aitchison (1991) terjadi pada bahasa proto-Indo Eropa, seperti kasus berikut. Bunyi [bh] [dh] [gh] bergeser menjadi bunyi [b] [d] [b] [d] [g] kemudian bergeser menjadi [p] [t] [k] ; dan [p] [t] [k] bergeser lagi menjadi [f] [e] [h]. Selain asimilasi, kontak bahasa yang dapat mengakibatkan adanya proses peminjaman (borrowing proses) unsur-unsur suatu bahasa oleh bahasa lainnya juga dapat mengakibatkan perubahan bahasa. Pada umumnya unsur-unsur bahasa penyumbang akan diseimbangkan dengan norma-norma yang telah ada pada bahasa peminjam. Fenomena seperti ini merupakan awal mula dari perubahan sebuah bahasa. Aitchison (1991) juga memaparkan empat ciri utama yang berhubungan dengan fenomena peminjaman bahasa ini, yaitu (1) unsur-unsur bahasa peminjam berbeda dengan unsur-unsur bahasa yang dipinjam, namun tidak berpengaruh pada struktur bahasa peminjam itu sendiri. Umumnya unsur-unsur pinjaman ini berupa unsur-unsur yang ditemukan padanannya dalam bahasa peminjam, (2) bentuk unsur-unsur bahasa pinjaman umumnya disesuaikan dengan bentuk bahasa peminjam. Hal ini dapat dilihat pada masalah peminjaman oleh bahasa Indonesia dari salah satu bahasa asing, bahasa Inggris, seperti bentuk organization dan function keduanya berubah menjadi “organisasi” dan “fungsi” dan sebagainya, (3) bahasa peminjam lebih condong meilih bentuk yang mempunyai keterkaitan bentuk dengan bahasa penyumbang, seperti masalah pinjaman oleh bahasa Pranscis dari bahasa Jerman, dan (4) bahasa peminjam melakukan penyesuaian dengan bahasa penyumbang, seperti bentuk-bentuk pinjaman
dalam bahasa Indonesia radio (bahasa Inggris) dibaca [radio], photo (bahasa Inggris) dibaca [poto].
b.
Faktor eksternal kebahasaan Selain faktor internal, faktor eksternal kebahasaan juga ikut mempengaruhi arah
perubahan bahasa. Meneropong perubahan kehidupan social penuturnya berfungsi untuk melihat arah perubahan bahasa karena faktor eksternal, karena pada dasarnya perubahan bahasa saat ini (change in proses) akan berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, Labov (1994) mengungkapkan adanya beberapa faktor sosial yang dapat mempengaruhi variasi bahasa, yakni status sosial penutur yang meliputi stratifikasi sosial, pekerjaan usia, jenis kelamin dan suku/ras penutur. Kelompok yang mengawali perubahan bahasa diindikasikan sebagai kelompok yang terbentuk karena status sosial. Dengan kata lain, masyarakat dengan pekerjaan, jenis kelamin, usia dan etnis tertentu akan memakai variasi bahasa yang berbeda pula. Contohnya dari segi usia bagi penutur bahasa Indonesia, penutur yang berusia muda lebih cenderung memakai variasi bahasa yang menyimpang dari kaedah baku bahasa dibandingkan dengan penutur yang berusia lebih tua. Jika dihubungkan dengan jenis kelamin sebagai salah satu variable sosial, Lakof (1973) berpendapat bahwa secara sintaksis, morfologi dan leksikal variasi bahasa yang diterapkan oleh perempuan dan laki-laki mengindikasikan perbedaan (Holmes, 1992:164-181). Selain Labov (1994), ada beberapa ahli sosiolinguistik yang berpendapat bahwa status sosial penutur merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang menjadi
penyebab adanya perubahan bahasa, diantaranya Trudgill (1974) dengan penelitiannya di kota Norwich, Chambers (2003) dan Milroy (2001). Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa stratifikasi sosial penutur berpengaruh kuat terhadap terbentuknya variasi bahasa. Akan tetapi, semua faktor itu tidak dapat dijadikan alasan sebagai penyebab langsung (real causes) tetatpi hanya sebagai akselerator (agent of change) dari perubahan bahasa itu sendiri
2.3.5 Model Penelitian
Bahasa Melayu Serdang (BMS)
Leksikal Lingkungan Penutur Muda - Tua
Pengetahuan Leksikal Lingkungan Alamiah & Buatan, Flora, Fauna, d S i lB d
Perubahan Lingkungan dan Pilihan Bahasa
Korelasi Pengetahuan dan Sikap
Ekolinguistik, Antropologi, dan Semantik
Sosiolinguistik
Psikologi Sosial
Temuan
Unsur-unsur Leksikal dan Perubahan Sikap
Gambar 2.1 Bagan Model Penelitian Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran BMS : Kajian Ekolinguistik
Dari model penelitian di atas dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian bidang leksikal ekolinguistik khususnya leksikal lingkungan penutur BMS yang dibatasi kepada leksikal flora, fauna, dan sosial budaya yang terdapat di ekoregion penutur BMS. Teori yang digunakan untuk membahas kajian ini adalah Ekolinguistik dengan tiga parameter yakni: Adanya keberagaman, ketersalinghubungan dan Selanjutnya digunakan
lingkungan.
teori sosiolinguistik, antropolinguistik dan semantik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan permasalahan yakni: unsur-unsur leksikal lingkungan penutur BMS dan perubahan sikap penutur yang dialami oleh generasi muda yakni tidak memiiki sikap positif terhadap BMS yakni bangga, setia, dan sadar. Namun penutur muda BMS memiliki sikap negatif terhadap BMS yakni tidak setia, tidak bangga, dan tidak ada kesadaran untuk menggunakan BMS. Hanya penutur tua yang masih memiliki sikap positif terhadp BMS. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi pergeseran terhadap BMS.