23
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pengkajian tentang pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar sebagai sekolah yang berstatus RSBI di Provinsi Bali merupakan kajian yang sangat erat terkait dengan kualitas pengelolaan pembelajaran, kualitas guru, kualitas pengelolaan pendidikan, dan kualitas pendidikan secara umum. Berbicara tentang masalah kualitas pendidikan di Indonesia, sudah disadari bersama bahwa sampai saat ini kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sudah banyak upaya dilakukan, yaitu mulai dari kebijakan politik pendidikan sampai kepada hal-hal yang bersifat teknis. Salah satu usaha yang bersifat teknis yang sudah banyak diupayakan adalah berupa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti bidang pendidikan, para pakar, dan mahasiswa. Penelitian–penelitian tersebut dimaksudkan untuk mencari pemecahan masalah, membuat inovasi-inovasi pembelajaran, mengembangkan model-model pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Berbagai penelitian yang relevan perlu ditelusuri agar dapat dilihat eksistensi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian tentang pendidikan, khususnya yang terkait dengan kualitas pembelajaran dan kualitas guru sudah banyak dilakukan. Walaupun demikian, ternyata penelitian mengenai pengelolaan pembelajaran kimia yang didekonstruksi melalui implementasi standar proses pada SMAN 1 Singaraja
24
dan SMAN 1 Gianyar yang bertujuan untuk membedah fenomena pengelolaan proses pembelajaran kimia dan sekaligus untuk menemukan kerangka konseptual pembelajaran kimia yang berkualitas, belum ditemukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti yang dipandang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Subagia dan Wiratma (2007) mengkaji ”Potret” Pelaksanaan Pembelajaran Sains pada Berbagai Jenjang Sekolah di Bali. Di dalam tulisan itu dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran sains di sekolah sangat ditentukan oleh cara yang digunakan guru untuk membelajarkan sains. Apa yang diajarkan dalam sains dan bagaimana cara pembelajarannya sebagian ditentukan oleh persepsi guru terhadap tujuan pembelajaran sains dan pengertian sains itu sendiri. Di samping tujuan pembelajaran sains yang harus dipahami, dalam pembelajaran sains guru juga harus memahami dan mampu menggunakan berbagai cara pembelajaran yang dapat memudahkan siswa untuk memahami sains. Hasil penelitian Subagia dan Wiratma (2007) menyatakan bahwa guru-guru sains SMP dan SMA memiliki hambatan dalam melaksanakan pembelajaran, yaitu hambatan dari segi kemampuan awal siswa dan hambatan dari segi ketersediaan sarana pembelajaran. Pada jenjang SMP dan SMA, dinyatakan bahwa kemampuan siswa kurang dalam menerima pelajaran sebagai akibat lanjutan dari pembelajaran pada jenjang sebelumnya. Sarana pembelajaran seperti laboratorium tidak dilengkapi dengan isi yang memadai. Tidak tersedianya laboran (pegawai yang membantu di laboratorium) juga dirasakan sebagai beban bagi guru dalam mempersiapkan dan
25
mengatur alat-alat praktikum. Sebagai akibatnya pembelajaran yang semestinya didukung oleh kegiatan praktik dicukupkan dengan informasi saja. Temuan penelitian tersebut mengungkap hambatan-hambatan guru sains SMP dan SMA dalam melaksanakan pembelajaran. Jika penelitian tersebut dibandingkan dengan penelitian yang dilaksanakan, ada kemiripan dan perbedaan. Persamaannya adalah mengambil ranah pendidikan dalam hal pembelajaran sains di SMP dan SMA. Perbedaannya penelitian yang dilakukan membedah kualitas pembelajaran kimia dan faktor-faktor yang ada kaitannya dengan kualitas pembelajaran kimia, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tersebut, yaitu sebagai informasi awal dalam hal penelusuran masalah pembelajaran kimia sebagai bagian dari sains. Sadia (2008) melakukan penelitian yang berjudul ”Model Pembelajaran yang Efektif untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (Suatu Persepsi Guru)” dengan hasil penelitian sebagai berikut. Model/strategi pembelajaran yang paling dominan digunakan oleh para guru dalam proses pembelajaran adalah ekspositori (ceramah, diskusi, tanya jawab) 45,6%, pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning)
2,5%,
pembelajaran
kontekstual
(cotextual
teaching
and
learning/CTL) 26,6 %, siklus belajar (learning cycle model) 2,5 %, pembelajaran berbasis portofolio 0,0 %, model pembelajaran sains teknologi masyarakat (STM) 0,0 %, pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) 10,2 %, dan pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) 12,6 %. Menurut pendapat guru-guru, model pembelajaran
yang
diperkirakan
berkontribusi
secara
signifikan
dalam
26
mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), dan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving). Penelitian tersebut mendeskripsikan mengenai model-model pembelajaran yang dilakukan oleh guru di Bali, tetapi belum menjelaskan mengapa model tersebut yang dilakukan oleh guru. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah seputar ranah pendidikan mengenai model-model pembelajaran. Perbedaannya sangat jelas karena penelitian yang dilakukan membedah mengenai kualitas pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Di samping itu mencari
tahu
mengenai faktor-faktor
yang berpengaruh
terhadap kualitas
pembelajaran kimia dan mengapa faktor itu yang berpengaruh. Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari penelitian tersebut, yaitu dapat memberikan gambaran tentang kualitas proses pembelajaran yang dilakukan guru dan sekaligus sebagai informasi awal mengenai pemahaman guru mengenai pembelajaran-pembelajaran yang inovatif. Rusdinal (2007) dalam penelitian yang berjudul ”Resistensi Guru terhadap Pembaruan Pembelajaran” menyatakan bahwa upaya pembaruan pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan telah sering dilakukan, baik atas dasar inisiatif lembaga sendiri maupun dengan cara mengadopsi suatu bentuk kebijakan baru di sekolah. Pembaruan pembelajaran yang dilakukan dalam konteks Manajemen Berbasis Sekolah adalah penerapan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Perubahan yang dilakukan mestinya berjalan secara
27
berkelanjutan (sustainability) sehingga peningkatan mutu (quality improvment) yang menjadi tujuan perubahan itu dapat diwujudkan. Namun, dalam kenyataannya pembaruan pembelajaran di sekolah tidak terjadi dengan mudah. Dalam implementasi pembaruan metode, ada kontradiksi yang terjadi dalam diri guru, yaitu PAKEM mengutamakan proses, sementara itu acuan keberhasilan adalah nilai akhir yang dicapai murid. Akibatnya, guru cenderung menggunakan metode ”campuran” dalam pembelajaran. Bahkan, mereka kembali ke metode lama terutama menjelang pelaksanaan ujian. Resistensi guru terhadap pembaruan pembelajaran bersumber pada (1) kebiasaan lama yang sudah terpola; (2) kecemasan terhadap konsekuensi dari pengembangan organisasi; (3) ketidaktuntasan implementasi program pembaruan di masa lalu; (4) kekurangpahaman guru terhadap program yang dikembangkan; (5) program pembaruan cenderung ” datang dari atas”, dan (6) keraguan guru mengenai keefektifan program pembaruan. Penelitian tersebut menyatakan sulitnya guru melakukan perubahan pembelajaran dari kebiasaan yang sudah dilakukan menuju pembelajaran yang inovatif. Hal ini sangat bermanfaat untuk penelitian yang dilakukan karena sudah memberikan informasi tentang sulitnya guru melakukan inovasi dan adaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang baru. Kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dikemukakan
beberapa
faktor
resistensi
guru
terhadap
pembaruan
pembelajaran. Perbedaanya, yaitu dalam penelitian ini dibedah kualitas pengelolaan dan faktor-faktor
yang berpengaruh
terhadap
kualitas pengelolaan
proses
28
pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar serta dampak dan maknanya. Rupiniasih (2004) dalam penelitian yang berjudul ”Pengembangan Perangkat Percobaan Kimia Sederhana Penunjang Pembelajaran Pokok Bahasan Laju Reaksi” dilatarbelakangi oleh pemikiran sebagai berikut. Melihat tuntutan kurikulum dan karakteristik ilmu kimia, maka di dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting dituntut adanya kegiatan eksperimen. Namun, pada kenyataannya masih ada guru yang mengajarkan konsep-konsep kimia eksperimentatif tidak dengan metode eksperimen atau demonstrasi tetapi hanya dengan metode ceramah. Salah satu sebabnya adalah minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran seperti alat dan bahan kimia yang pada dasarnya merupakan fasilitas yang mahal dan sulit didapat. Keterbatasan sarana dan prasarana ini merupakan masalah umum yang sering dihadapi oleh sekolah-sekolah. Namun, mengingat pentingnya pelaksanaan kegiatan praktikum dalam pembelajaran kimia, maka usaha untuk menjadikan kegiatan praktikum sebagai kegiatan yang sederhana, mudah, dan murah adalah sangat penting. Peneliti mencoba memberikan suatu alternatif pemecahan dengan membuat suatu Perangkat Percobaan Kimia Sederhana (PPKS), dengan harga alat dan bahan yang relatif murah dan mudah diperoleh. Hasil penelitian Rupiniasih menyatakan bahwa (1) pada pokok bahasan laju reaksi terdapat sekitar 70% konsep yang merupakan konsep berbasis eksperimen sehingga dalam pengajarannya perlu didukung oleh kegiatan praktikum, (2) dalam penelitian ini telah dihasilkan PPKS yang dapat digunakan sebagai penunjang
29
pembelajaran pokok bahasan laju reaksi, (3) PPKS tersebut dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran yang terutama dilihat dari hasil belajar siswa dan aktivitas siswa dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, penggunaan PPKS dalam pembelajaran mendapat respon yang sangat baik dari siswa. Penelitian pengembangan PPKS di atas menunjukkan bahwa untuk mengatasi kesulitan bahan dan alat-alat dalam praktikum kimia, sesungguhnya bisa dilakukan dengan bahan-bahan yang sederhana dan memberikan hasil yang baik. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa kemauan, kreativitas, dan idealisme guru menentukan dilaksanakannya pembelajaran praktikum. Relevansinya dengan penelitian yang dilakukan bahwa ada faktor-faktor yang perlu ditelusuri lebih mendalam terkait dengan pembelajaran kimia. Informasi mengenai sarana dan prasarana beberapa sekolah yang terbatas sangat bermanfaat sebagai langkah awal dalam melangkah terutama ketika melakukan penelitian pembelajaran kimia, agar tidak salah di dalam membuat asumsi-asumsi. Beberapa
penelitian
tentang
pendidikan
khususnya
terkait
dengan
pembelajaran dan guru cukup banyak. Namun, belum ada penelitian yang mengkaji tentang kualias pengelolaan proses pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, yang didekonstruksi melalui implementasi standar proses. Demikian pula belum banyak penelitian masalah pendidikan, baik yang dibedah dengan paradigma teori-teori kritis maupun membedah persoalan pendidikan dalam perspektif kajian budaya. Oleh karena itu penelitian mengenai pengelolaan proses
30
pembelajaran kimia, memiliki arti penting dan dibutuhkan baik dari perspektif akademik maupun praksis.
2.2 Konsep Judul penelitian ini adalah ”Pengelolaan Pembelajaran Kimia pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Gianyar : Dekonstruksi
Implementasi
Standar
Proses”.
Agar
tidak
menimbulkan
multiinterpretasi terhadap judul tersebut, maka beberapa konsep yang tertera di dalam judul perlu dijelaskan. Adapun beberapa konsep yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut. 2.2.1 Pengelolaan Pembelajaran Kimia Pengelolaan pembelajaran kimia terdiri atas tiga kata, yaitu pengelolaan, pembelajaran, dan kimia. Pengelolaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 657) berarti proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan orang lain; proses yang membantu merumuskan tujuan organisasi; proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Jadi, pengelolaan berarti cara atau perbuatan mengelola yang meliputi merencanakan, melaksanakan yang direncanakan, penilaian, dan pengawasan untuk tercapainya tujuan. Dalam konteks kelas, pengelolaan kelas dapat diartikan sebagai kemampuan guru dalam mendayagunakan potensi kelas berupa pemberian kesempatan yang
31
seluas-luasnya kepada setiap personal untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efisien untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan perkembangan murid (Nawawi, 1985: 115--116) Konsep pembelajaran kimia terdiri atas dua suku kata, yaitu ”pembelajaran” dan ”kimia”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 23) pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar. Dua konsep itu menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru-siswa, siswa-siswa pada saat pengajaran berlangsung. Belajar adalah suatu proses aktif, proses yang diarahkan pada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman untuk mengubah tingkah laku. Dalam proses pengajaran atau interaksi belajar mengajar yang menjadi persoalan utama adalah adanya proses belajar pada siswa, yakni proses berubahnya tingkah laku siswa melalui berbagai pengalaman yang diperolehnya. Dalam proses mengajar, peranan pengajar
mengembangkan
dan
menciptakan
serta
mengatur
situasi
yang
memungkinkan siswa melakukan proses belajar sehingga berubah tingkah lakunya dalam proses pembelajaran. Mengajar pada hakikatnya suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat
32
menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Peran seorang guru adalah pemimpin belajar (learning manager) dan fasilitator belajar. Mengajar adalah suatu proses membelajarkan siswa atau mengkoordinasikan siswa belajar, bukan menyampaikan pelajaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 699), kimia adalah ilmu tentang susunan, sifat, dan reaksi suatu unsur atau zat. Menurut Whitten, Gailey dan Davis, (1988) ilmu kimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam (sains) yang mempelajari materi yang meliputi sifat, struktur, perubahan, dan perubahan energi yang menyertai perubahan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, karakteristik ilmu kimia dapat dibagi dua, yaitu karakteristik makro dan karakteristik mikro. Secara makro, ilmu kimia terdiri atas fakta-fakta, konsep teoretis, hasil-hasil percobaan, dan manfaat ilmu kimia dalam kehidupan sehari-hari. Secara mikro ilmu kimia terdiri atas simbol, perjanjian, model dan perhitungan kimia. Jadi, yang dimaksud kimia atau ilmu kimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari materi atau zat, yang meliputi sifat, struktur dan reaksi-reaksi, serta perubahan energi yang menyertainya. Jadi, yang dimaksud pengelolaan pembelajaran kimia adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan pembelajaran ilmu kimia sesuai dengan kompetensi yang menjadi sasaran pembelajaran.
33
2.2.2 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Gianyar Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Gianyar terdiri atas empat penggalan kata, yaitu Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disingkat (SMA), Negeri 1, Singaraja, dan Gianyar. Sekolah Menengah Atas (SMA), yaitu sekolah pendidikan menengah yang bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (Permendiknas, 2006). Menurut UU RI No. 20, Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Negeri merupakan status sekolah yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia. Angka 1 (satu) yang ada setelah kata negeri sebagai penanda yang pertama didirikan sekolah tersebut di sebuah kecamatan pada wilayah kabupaten atau kota. Singaraja dan Gianyar adalah daerah kabupaten yang ada di Bali tempat sekolah itu berada. 2.2.3 Dekonstruksi Implementasi Standar Proses Dekonstruksi implementasi standar proses terdiri atas tiga penggalan kata yaitu dekonstruksi, implementasi dan standar proses. Dekonstruksi bermakna satu metode yang dikembangkan Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi biner sedemikian rupa sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir (Piliang, 2006:16).
34
Dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de konstruksi” sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata” analisis” yang berarti mengurai, melepaskan,membuka. Jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna tetapi, klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks ” lebih benar” ketimbang pemaknaan lain yang berbeda (Al-Fayyadi, 2009: 79—80). Jadi, yang dimaksud dekonstruksi dalam penelitian ini adalah strategi menganalisis atau membedah. Implementasi bermakna pelaksanaan atau penerapan, sementara itu standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan (Permendiknas No 41 Tahun 2007). Berdasarkan beberapa konsep yang dikemukakan di atas, maka makna dari judul penelitian ini adalah mempelajari secara mendalam pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, yang dianalisis atau dibedah melalui standar nasional pendidikan khususnya standar proses yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran. 2.2.4 Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Proses dalam Pembelajaran Kimia Standar proses pembelajaran berkaitan dengan standar isi kurikulum. Standar isi kurikulum untuk mata pelajaran kimia di SMA telah ditetapkan garis
35
besarnya sebagai kurikulum nasional oleh badan standar nasional pendidikan (BSNP). Standar isi tersebut sebagai standar minimal yang harus dibelajarkan kepada peserta didik di sekolah. Secara konseptual standar isi ilmu kimia yang berkaitan dengan IPA adalah sebagai berikut. Ilmu kimia merupakan salah satu ilmu dasar dalam IPA sehingga hakikat ke-IPA-an melekat di dalamnya. Di dalam Permendiknas No. 22, Tahun 2006 tentang standar isi, dalam hal pelajaran kimia di SMA/MA disebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis. Dengan demikian IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip, melainkan juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri, alam sekitar, dan prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memeroleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA sehingga kimia mempunyai karakteristik yang sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara memeroleh, dan kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif), tetapi pada
36
perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat. Oleh sebab itu, mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu (1) kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan, dan (2) kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memerhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus, yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Tujuan mata pelajaran kimia dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan, antara lain pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu, pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap
37
ilmiah. Pada intinya pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Memupuk sikap ilmiah, yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Memeroleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, yaitu peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi (Lampiran Permendiknas No.22, Tahun 2006). `
Di dalam Permendiknas No. 23, Tahun 2006 tentang standar kompetensi
lulusan disebutkan bahwa ruang lingkup mata pelajaran kimia di SMA/MA merupakan kelanjutan IPA di SMP/MTs yang menekankan pada fenomena alam dan pengukurannya dengan perluasan pada konsep abstrak yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut. Struktur atom, sistem periodik, dan ikatan kimia, stoikiometri, larutan non-elektrolit dan elektrolit, reaksi oksidasi-reduksi, senyawa organik, dan makromolekul. Termokimia, laju reaksi dan kesetimbangan, larutan asam basa,
38
stoikiometri larutan, kesetimbangan ion dalam larutan dan sistem koloid. Sifat koligatif larutan, redoks dan elektrokimia, karakteristik unsur, kegunaan, dan bahayanya, senyawa organik dan reaksinya, benzena dan turunannya, makromolekul. Standar kompetensi lulusan (SKL) untuk pelajaran kimia SMA/MA yang diharapkan adalah sebagai berikut. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit instrumen, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menyimpulkan, serta mengomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan dan pengukuran, fenomena reaksi kimia yang terkait dengan kinetika, kesetimbangan, kekekalan massa dan kekekalan energi. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid, larutan elektrolit-non elektrolit, termasuk cara pengukuran dan kegunaannya. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia serta penerapannya dalam fenomena pembentukan energi listrik, korosi logam, dan pemisahan bahan (elektrolisis). Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang meliputi benzena turunannya, lemak, karbohidrat, protein, dan polimer serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Standar kompetensi kelas X, semester 1 adalah memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia. Memahami hukum-hukum dasar kimia dan penerapannya dalam perhitungan kimia (stoikiometri). Kompetensi dasarnya adalah
memahami struktur atom berdasarkan teori atom Bohr, sifat-sifat unsur,
massa atom relatif, dan sifat-sifat periodik unsur dalam tabel periodik serta menyadari keteraturannya melalui pemahaman konfigurasi elektron. Membandingkan proses
39
pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan koordinasi, dan ikatan logam serta hubungannya dengan sifat fisika senyawa yang terbentuk. Mendeskripsikan tata nama senyawa anorganik dan organik sederhana serta persamaan reaksinya. Membuktikan dan mengomunikasikan berlakunya hukum-hukum dasar kimia melalui percobaan serta menerapkan konsep mol dalam menyelesaikan perhitungan kimia. Standar kompetensi kelas X, semester 2 adalah memahami sifat-sifat larutan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi oksidasi-reduksi. Memahami sifat-sifat senyawa organik atas dasar gugus fungsi dan senyawa makromolekul. Kompetensi dasarnya adalah mengidentifikasi sifat larutan nonelektrolit dan elektrolit berdasarkan data hasil percobaan. Menjelaskan perkembangan konsep reaksi oksidasi- reduksi dan hubungannya dengan tata nama senyawa serta penerapannya. Mendeskripsikan kekhasan atom karbon dalam membentuk senyawa hidrokarbon. Menggolongkan senyawa hidrokarbon berdasarkan strukturnya dan hubungannya dengan sifat senyawa. Menjelaskan proses pembentukan dan teknik pemisahan fraksi-fraksi minyak bumi serta kegunaannya. Menjelaskan kegunaan dan komposisi senyawa hidrokarbon dalam kehidupan sehari-hari dalam bidang pangan, sandang, papan, perdagangan, seni, dan estetika (Lampiran Permendiknas No.23, Tahun 2006). Berdasarkan uraian di atas sangat jelas terlihat bahwa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa di kelas X, dalam pembelajarannya harus diperoleh melalui penjelasan teori dan praktik khususnya pembuktian hukum-hukum dasar ilmu kimia dan identifikasi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Di samping itu
40
pembelajaran sampai pada pemberian pemahaman mengenai penerapan konsep yang diajarkan agar menjadi bermakna bagi peserta didik. Standar kompetensi kelas XI, semester 1, yaitu memahami struktur atom untuk meramalkan
sifat-sifat periodik unsur, struktur, dan sifat sifat senyawa.
Memahami perubahan energi dalam reaksi kimia dan cara pengukurannya. Memahami
kinetika
reaksi,
kesetimbangan
kimia,
dan
faktor-faktor
yang
memengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri. Kompetensi dasarnya yaitu menjelaskan teori atom Bohr dan mekanika kuantum untuk menuliskan konfigurasi elektron dan diagram orbital serta menentukan letak unsur dalam tabel periodik. Menjelaskan teori jumlah pasangan elektron di sekitar inti atom dan teori hibridisasi untuk meramalkan bentuk molekul. Menjelaskan interaksi antarmolekul (gaya antar molekul) dengan sifatnya. Mendeskripsikan perubahan entalpi suatu reaksi, reaksi eksoterm, dan reaksi endoterm. Menentukan ∆H reaksi berdasarkan percobaan, hukum Hess, data perubahan entalpi pembentukan standar, dan data energi ikatan. Mendeskripsikan pengertian laju reaksi dengan melakukan percobaan tentang faktor-faktor yang memengaruhi laju reaksi. Memahami teori tumbukan (tabrakan) untuk menjelaskan faktor-faktor penentu laju dan orde reaksi, dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari. Menjelaskan keseimbangan dan faktorfaktor yang memengaruhi pergeseran arah keseimbangan dengan melakukan percobaan. Menentukan hubungan kuantitatif antara pereaksi dan hasil reaksi dari suatu reaksi keseimbangan. Menjelaskan penerapan prinsip keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari dan industri.
41
Standar kompetensi kelas XI semester 2, yaitu memahami sifat-sifat larutan asam-basa, metode pengukuran, dan terapannya. Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya adalah mendeskripsikan teori-teori asam basa dengan menentukan sifat larutan dan menghitung pH larutan. Menghitung banyaknya pereaksi dan hasil reaksi dalam larutan elektrolit dari hasil titrasi asam basa. Menggunakan kurva perubahan harga pH pada titrasi asam basa untuk menjelaskan larutan penyangga dan hidrolisis. Mendeskripsikan sifat larutan penyangga dan peranan larutan penyangga dalam tubuh makhluk hidup. Menentukan jenis garam yang mengalami hidrolisis dalam air dan pH larutan garam tersebut. Memprediksi terbentuknya endapan dari suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan dan hasil kali kelarutan. Membuat berbagai sistem koloid dengan bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Lampiran Permendiknas No.23, Tahun 2006). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa di kelas XI dalam pembelajarannya harus diperoleh melalui penjelasan teori dan praktik mengenai menentukan ∆H reaksi, faktor-faktor yang memengaruhi laju reaksi, faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran arah keseimbangan, dan membuat berbagai sistem koloid. Konsep-konsep kimia yang dibelajarkan mesti disertai dengan pemberian pemahaman tentang penerapan dan manfaat untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan
42
pendekatan dan metode pembelajaran yang bervariasi agar siswa mendapatkan pemahaman yang bermakna. Standar kompetensi kelas XII semester 1 adalah menjelaskan sifat-sifat koligatif larutan nonelektrolit dan elektrolit. Menerapkan konsep reaksi oksidasireduksi dan elektrokimia dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari. Memahami karakteristik unsur-unsur penting, kegunaan dan bahayanya, serta terdapatnya di alam. Kompetensi dasarnya adalah menjelaskan penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku larutan, dan tekanan osmosis termasuk sifat koligatif larutan. Membandingkan antara sifat koligatif larutan nonelektrolit dan sifat koligatif larutan elektrolit yang konsentrasinya sama berdasarkan data percobaan. Menerapkan konsep reaksi oksidasi-reduksi dalam sistem elektrokimia yang melibatkan energi listrik dan kegunaannya dalam mencegah korosi dan dalam industri. Menjelaskan reaksi oksidasi-reduksi dalam sel elektrolisis. Menerapkan hukum Faraday untuk elektrolisis larutan elektrolit. Mengidentifikasi kelimpahan unsur-unsur utama dan transisi di alam dan produk yang mengandung unsur tersebut. Mendeskripsikan kecenderungan sifat fisik dan kimia unsur utama dan unsur transisi (titik didih, titik leleh, kekerasan, warna, kelarutan, kereaktifan, dan sifat khusus lainnya). Menjelaskan manfaat, dampak, dan proses pembuatan unsur-unsur dan senyawanya dalam kehidupan sehari-hari. Mendeskripsikan unsur-unsur radioaktif dari segi sifatsifat fisik dan sifat-sifat kimia, kegunaan, dan bahayanya. Standar kompetensi kelas XII, semester 2 adalah memahami senyawa organik dan reaksinya, benzena dan turunannya, dan makromolekul. Kompetensi dasarnya,
43
yaitu mendeskripsikan struktur, cara penulisan, tata nama, sifat, kegunaan, dan identifikasi senyawa karbon (halo alkana, alkanol, alkoksi alkana, alkanal, alkanon, asam alkanoat, dan alkil alkanoat). Mendeskripsikan struktur, cara penulisan, tata nama, sifat, dan kegunaan benzena dan turunannya. Mendeskripsikan struktur, tata nama, penggolongan, sifat, dan kegunaan makromolekul (polimer, karbohidrat, dan protein). Mendeskripsikan struktur, tata nama, penggolongan, sifat, dan kegunaan lemak (Lampiran Permendiknas No.23, Tahun 2006). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa di kelas XII dalam pembelajarannya harus diperoleh melalui penjelasan teori dan praktik mengenai sifat koligatif larutan, menerapkan konsep reaksi oksidasi-reduksi dalam sistem elektrokimia, menerapkan hukum Faraday untuk elektrolisis larutan elektrolit, dan mengidentifikasi kelimpahan unsur-unsur utama dan transisi di alam. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Pendekatan dan metode pembelajaran yang diterapkan didasarkan pada uraian yang tertera di dalam SK-KD. Guru mesti berpikir dan bertanya tentang metode yang digunakan untuk menanamkan konsep tersebut ketika membuat perencanaan pembelajaran. Ada konsep kimia yang mesti diajarkan dengan percobaan, ada yang dengan analogi, dan ada yang melalui penjelasan konsep. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu diperhatikan standar proses dan standar penilaian.
44
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien (Permendiknas No.41, Tahun 2007). Perencanaan
proses
pembelajaran
meliputi
silabus
dan
rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi
ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan, guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran; mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai dengan silabus.
45
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang
dilakukan
secara
interaktif,
inspiratif,
menyenangkan,
menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. Dalarn kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; memberikan kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi
46
belajar; rnenfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan, baik lisan maupun tertulis, baik secara individual maupun kelompok; memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja baik individual maupun kelompok; memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan penguatan baik dalam bentuk lisan, tulisan,
isyarat, maupun hadiah terhadap
keberhasilan peserta didik; memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memeroleh pengalaman belajar yang telah dilakukan; memfasilitasi peserta didik untuk memeroleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberikan acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberikan informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. Dalam kegiatan penutup, guru bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
47
merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas, baik tugas individual maupun kelompok, sesuai dengan hasil belajar peserta didik; menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Kegiatan penilaian sesuai dengan standar proses dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian hendaknya dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan standar penilaian pendidikan dan panduan penilaian kelompok mata pelajaran. Kegiatan pengawasan proses pembelajaran menurut standar proses meliputi kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Mekanisme kegiatan yang seharusnya dilakukan dalam pengawasan proses pembelajaran sebagai berikut. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
48
Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan
penilaian
hasil
pembelajaran.
Supervisi
pembelajaran
diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar proses, mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran. Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan. Tindak
lanjut
dari
kegiatan
pengawasan, yaitu memberikan penguatan dan penghargaan kepada guru yang telah memenuhi standar. Memberikan teguran yang bersifat mendidik kepada guru yang belum memenuhi standar. Guru diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran lebih lanjut. Beberapa prinsip utama dan analisis yang dikemukakan di atas diambil dari standar isi, standar kompetensi lulusan, dan standar proses, digunakan sebagai landasan untuk mengkaji kualitas pengelolaan pembelajaran kimia, yang berkaitan dengan rumusan masalah pertama dan kedua.
49
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Dekonstruksi Teori dekonstruksi merupakan salah satu teori posstrukturalisme, baik dalam bidang filsafat maupun sastra. Dibandingkan dengan teori-teori posstruktural pada umumnya, maka secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan Derrida adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fenosentrisme yang secara keseluruhan menghadirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkhis dikotomis. Kecenderungan lain oposisi biner adalah anggapan bahwa unsur yang pertama merupakan pusat, asal usul, dan prinsip dengan konsekuensi logis unsur yang lain menjadi sekunder, marginal, manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya (Ratna, 2004: 222; Agger, 2009: 114). Jacques Derrida adalah seorang keturunan Yahudi, lahir di El-Biar Aljazair pada 15 Juli 1930 dan meninggal tahun 2004. Pada tahun 1949, Derrida pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolah dan keberadaannya di Prancis dalam waktu yang cukup lama. Derrida dikenal karena pergaulannya yang luas dengan sesama intelektual Prancis. Perkenalannya dengan Foucault dan Althusser selama belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS) menorehkan jejak mendalam pada pemikirannya. Namun, minat Derrida telanjur kuat untuk mempelajari fenomenologi, terutama versinya yang paling awal pada pemikiran Husserl dan Heidegger. Popularitas Derrida tidak bisa dipisahkan dari teori dekonstruksinya yang hingga kini masih memicu kontroversi dan perdebatan hangat di kalangan akademisi dan teoritisi. Setiap upaya untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbentur karena Derrida sendiri
50
menolak membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi. Dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lebih jauh dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat antiteori, bahkan antimetode karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah permainan dan parodi. Mereka yang berkeberatan dengan dekonstruksi memandang bahwa ia cenderung menggiring ke pemikiran yang bercorak nihilistik, atau memandang dekonstruksi sebagai sebentuk intelectual gimmick belaka. Sementara di sisi yang lain seperti yang ditulis Fayyadl mengatakan dekonstruksi adalah sebuah pembelaan kepada the other, kepada makna yang lain, dari teks dan logika permainan yang terepresi oleh kuasa kepengarangan. Dengan kata lain, sebuah kebebasan. Dekonstruksi sama sekali bukan bagian dari nihilisme naif yang selalu menafikan kebenaran. Bagi Fayyadl, dekonstruksi bergerak melampaui, baik nihilisme naif maupun dogmatisme tradisional. Jika salah satu tugas filsafat bersifat konstruktif, maka dekonstruksi mengingatkan bahwa setiap konstruksi tak bisa mengelak dari karakter metaforis dan intertekstual bahasa/teks; bahwa pada akhirnya kebenaran yang disusun tak dapat tunggal dan begitu rentan (Fayyadl, 2009) Derrida menyatakan bahwa tidak ada bahasa, baik tertulis maupun lisan, yang secara sempurna menjadi sarana transparan untuk menjelaskan makna. Justru, bahasa membuat dikotomi, berdasarkan dikotomi umum antara ”kehadiran (presence)” dan ”keberubahan
(alterity)”
yang
menyederhanakan
kompleksitas
realitas
dan
menyembunyikan hierarki yang suci. Ketika orang mengajukan dikotomi jernih ini, mereka
mendefinisikan
keberubahan
dalam
konteks
kehadiran
sehingga
51
menyubordinasikan keberubahan meskipun secara sembunyi-sembunyi. Misalnya, dikotomi maskulinitas/feminitas mendefinisikan keperempuanan dalam konteks perbedaannya dengan (keberubahan terhadap) kelelakian, yang selanjutnya menjadi terminologi utama. Derrida memperkuat teori perbedaan dalam konteks kritik epistemologisnya atas filsafat dan teori Barat tergantung kepada pendapat baik tentang perbedaan (difference) dan plesetan (deferral) maupun ketakmenentuan. Perbedaan (difference) menjabarkan usaha manusia dalam tuturan dan tulisan untuk membedakan makna berbagai ”penanda”. Artinya, kata dan konsep mendapatkan makna hanya dalam referensi relasional dengan kata dan penanda lain yang menjelaskan makna secara berbeda dari mereka. Dengan mendekonstruksi makna yang berbeda atau diferensial atas istilah seperti laki-laki dan perempuan, dapat diungkap distribusi dan relasi yang berbeda dalam kekuasaan antara penguasa posisi subjek yang berbeda yang disebut ”laki-laki” dan ”perempuan” (Agger, 2009: 117--118). Prinsip dekonstruksi, sebagaimana disebut Derrida, menyatakan bahwa semua teks akan terurai begitu dikaitkan dengan kehati-hatian pertanyaan linguistik, filosofis dan kehampaan etis-penihilan, titik nol, pemlesetan, penindasan. Meskipun jika dipikir bahwa dekonstruksi hanyalah satu metode analisis teks, Derrida benar-benar menyatakan bahwa semua teks ”mendekonstruksi” diri mereka sendiri dengan melibatkan secara otomatis dalam tindakan literer penihilan, pemlesetan, dan penindasan. Dekonstruksi adalah aktivitas interpretatif yang menerangkan momen dekonstruksi diri, derridean berpandangan bahwa dekonstruksi terjadi pada level
52
subteks-nya teks, tulisan yang membawahi yang tidak pernah benar-benar mengemuka dan berisi bukti ketidakmenentuan teks-pertanyaan yang tidak ditanyakan ataupun tak terjawab, masalah yang tidak diajukan, asumsi yang tertutup rapat atau terplesetkan. Satu masalah dalam meninjau dekonstruksi sebagai metode interpretasi adalah ini mungkin berimplikasi bahwa teks yang terdekonstruksi tersebut sesungguhnya menghapus kekacauan dan ketakmenentuan dengan teknik dekonstruktif. Namun, Derrida mengatakan lebih dari sekadar bahwa teks mendekonstruksi (diri mereka sendiri) daripada bahwa mereka hanya dapat didekonstruksi oleh pembaca meskipun keduanya tampaknya benar berdasarkan asumsinya sendiri tentang perbedaan, pelepasan, dan ketakmenentuan. Dekonstruksi adalah milik semua teks, termasuk yang bertujuan untuk mendekonstruksi argumen lain. Teks yang terdekonstruksi sekali masih mendekonstruksi lagi meskipun dengan cara yang berbeda dari cara dia pertama mendekonstruksi (Agger, 2009: 122). Dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah ”de konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata ”analisis” yang berarti mengurai, melepaskan, membuka, daripada pengertian etimologis kata” destruksi’ Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih cenderung dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkai oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks.
53
Berdasarkan pengertian dan maksud dekonstruksi sebagai analisis, yaitu mengurai, melepaskan, membuka, atau membedah motivasi atau mungkin ideologi yang tersembunyi di balik teks sosial (perilaku aktual manusia) atau sekaligus mencari makna teks. Oleh karena itu, kegiatan praktik pendidikan sebagai sebuah teks, dan merupakan aktivitas budaya dibedah kebenaran tentang pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Dari paparan tersebut diketahui bahwa teori dekonstruksi akan digunakan untuk menjelaskan masalah kesatu, kedua dan ketiga, karena dalam penelitian ini dilakukan analisis dan pembedahan yang mendalam mengenai pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, faktor-faktor yang berpengaruh, serta dampak dan makna terkait dengan peningkatan mutu proses pembelajaran di sekolah.
2.3.2 Teori Hegemoni Titik awal konsep Antonio Gramsci tentang hegemoni bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, “Sang Penguasa”, Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani, yaitu setengah binatang dan setengah manusia sebagai simbol dari perspektif ganda, yaitu suatu tindakan politik kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus (Simon, 2004: 19--20).
54
Antonio Gramsci lahir di Ales sebuah kota kecil di Sardinia Italia, pada 22 Januari 1891. Menurut Joseph Femia ada beberapa tahap perkembangan dalam hidup berpolitik dan pemikiran Gramsci. Periode pertama merentang antara tahun 1914-1919 yang merupakan tahun-tahun pembentukan wawasan politik dan intelektual. Dalam periode ini meskipun Gramsci adalah seorang sosialis muda yang militan dan revolusioner, orientasi filsafatnya sangat idealis. Kebanyakan tulisannya terdapat di dalam surat kabar sosialis, mengungkapkan, baik kondisi-kondisi budaya maupun keinginannya untuk menanamkan kesadaran terhadap kaum buruh melalui pendidikan. Periode kedua berlangsung sekitar 1919--1920, suatu bentang waktu di mana Italia dilanda oleh banyak keributan pabrik dan aksi-aksi mogok. Dari pembentukan Partai Komunis Italia tahun 1921 sampai dengan masuknya Gramsci ke beberapa tahanan fasis di bawah Mussolini, digolongkan oleh Femia sebagai periode ketiga dari hidup Gramsci. Periode terakhir, adalah mulai tahun 1928 Gramsci dijatuhi hukuman selama 20 tahun sampai meninggal tahun 1937 karena pendarahan otak. Dalam masa inilah Gramsci merencanakan penyelidikan mendalam terhadap pengalaman politiknya, baik dalam kerangka historis maupun filosofis yang lebih luas. Antara tahun 1929--1935 ia menyelesaikan 32 catatannya yang berjumlah sekitar 3.000 halaman. Tulisan inilah yang disebut Quaderni (Prison Notebooks). Di sinilah Gramsci menyusun, baik tema-tema, kepentingan, prinsip-prinsip maupun konsepnya (Patria dan Arief, 2003: 41--42). Dalam pandangan Gramsci, beliau mengakui bahwa dalam masyarakat, memang selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Bertolak dari kondisi ini,
55
Gramsci melihat jika Pangeran akan memerintah dengan efektif, maka jalan yang dipilih adalah meminimalisasi resistensi rakyat dan bersamaan dengan itu, Pangeran harus menciptakan ketaatan yang spontan dari yang memerintah. Secara ringkas, Gramsci memformulasikan dalam sebuah kalimat, yaitu” bagaimana caranya menciptakan hegemoni” (Patria dan Arief, 2003: 120). Hegemoni dalam bahasa Yunani Kuno disebut eugemonia, dalam praktiknya diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota secara individual. Dalam pengertian pada zaman ini, hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu, yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan, baik secara longgar, maupun secara ketat terintegrasi dalam negara ”pemimpin”. Dalam konteks politik internasional, misalnya pada periode perang dingin pertarungan pengaruh antara negara adikuasa, seperti Amerika dan mantan Uni Sovyet, biasanya disebut sebagai perang untuk menjadi kekuatan hegemonik di dunia (Patria dan Arief, 2003: 115--116). Hegemoni dapat diartikan suatu titik makna temporer yang mendukung pihak yang kuat. Proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi berbagai makna pengatur kebudayaan tertentu. Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi di mana suatu ’blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas subordinat melalui kombinasi kekuatan dan lebih penting lagi, konsensus. Hegemoni melibatkan proses penciptaan makna tersebut di mana representasi dan praktik dominan dan otoritatif diproduksi dan dipelihara (Barker, 2008: 373, 409).
56
Hegemoni kaitannya dengan peran ideologi dalam pandangan Antonio Gramsci adalah menekankan bahwa produksi dan pemertahanan praktik-praktik otoritatif dalam relasi kekuasaan tersebut berlangsung secara halus, melalui mekanisme kombinasi antara paksaan dan persetujuan sadar, sehingga aspek dominasi (paksaan) itu sendiri tidak dirasakan secara telanjang (sadar) dalam praktik kehidupan nyata (Widja, 2009: 21). Hal ini menyatakan bahwa dalam praktik hubungan antara orang yang memiliki kekuasaan dan bawahannya dalam upaya sang penguasa memengaruhi pikiran bawahannya dilakukan secara halus dan bernuansa ideologi, sehingga dapat diterima tanpa merasa dipaksa. Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya ada nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya, sebagai telah menjadi milik mereka sendiri, dan telah disetujui. Dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya, lewat keberhasilannya menanamkan pandangan hidup, relasi sosial, serta hubungan kemanusiaannya sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar atau alamiah oleh orang-orang yang sebetulnya tersubordinasi. Konsep kekuasaan menurut Gramsci bahwa sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang dilaksanakan oleh negara disebut hegemoni. Hegemoni akan menggabungkan kekuatan dan kesepakatan bergantung kepada situasi masyarakat. Kesepakatan itu akan melahirkan waraga negara yang melalui pendisiplinan diri, dia menyesuaikan diri dengan norma-norma yang diletakkan oleh negara. Hal ini terjadi karena warga negaranya melihat hal ini adalah yang paling aman untuk bertahan hidup dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan praktik-
57
praktik yang sudah terstruktur. Pengorganisasian praktik-praktik tersebut dilakukan oleh kaum intelektual. Peranan kaum intelektual sangat penting menurut pandangan Gramsci. Ada dua jenis intelektual dari tatanan masyarakat kapitalis, yaitu intelektual tradisional dan itelektual organik. Intelektual organik terbagi atas dua kelompok, yaitu intelektual hegemonik dan intelektual kontra hegemonik. Baik kaum intelektual hegemonik maupun kontra hegemonik ialah yang mengorganisasikan dan mereorganisasikan terus-menerus, baik kehidupan sadar maupun tidak sadar dari massa. Tugas kelompok intelektual hegemonik ialah memastikan bahwa pandangan dunia yang sesuai dengan kapitalisme telah diterima oleh semua kelas. Sebaliknya yang kontra hegemonik bertugas memisahkan kaum proletar dari pandangan kapitalisme serta mengukuhkan pandangan dunia sesuai dengan perspektif sosialis. Kelompok hegemonik akan menghasilkan kompromi atau rekonsiliasi dengan kaum intelektual tradisional. Apabila seorang anggota tidak mau berkompromi, maka akan ada represi terhadap kelompok tersebut oleh negara. Dengan jalan disiplin yang ditanamkan lewat lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah, perguruan tinggi, gereja, dan organisasi sosial lainnya, maka disiplin itu dapat dilaksanakan (Tilaar, 2003: 76-77; Maliki, 2010: 189--192). Kontra hegemoni merupakan perlawanan dalam bentuk hegemoni yang dilakukan oleh kelompok intelektual kontra hegemonik terhadap kelompok intelektual hegemonik. Perlawanan yang dilakukan dengan cara halus, tersembunyi, dengan moral intelektual untuk membungkus tujuan yang ada di baliknya. Perlawanan yang dilakukan dapat melalui pendidikan, transformasi ideologi,
58
memberikan kemampuan kesadaran dalam ekonomi, sosial, dan politik. Pergulatan hegemoni yang terjadi di kalangan masyarakat madani (civil society) disebut sebagai perang posisi. Gramsci melihat pendidikan dan pengembangan kebudayaan dapat sebagai langkah-langkah bagi perlawanan suatu hegemoni. Perang posisilah yang dapat mengubah masyarakat ,dan bukan revolusi. Pelaksanaan hegemoni dan keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatankesepakatan. Kesepakatan terjadi melalui proses belajar atau dapat terjadi karena hubungan pendidikan (educational relationship). Hubungan pendidikan ini yang membentuk masyarakat madani yang di dalamnya terletak dasar dari kekuasaan. Di sinilah terletak peran lembaga-lembaga sosial ideologis, seperti hukum, pendidikan, media massa, agama, dan yang lain sebagai arena pergulatan hegemoni. Dilihat dari segi ini, ternyata bahwa lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah dan lembagalembaga pendidikan lainnya tidak akan pernah netral, tetapi merupakan perekat dari hegemoni dalam masyarakat. Dengan kata lain, hegemoni terikat kepada kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Teori Gramsci mengenai hegemoni sangat besar berpengaruh dalam perumusan kebijakan pendidikan, yaitu (1) perang posisi dan (2) demokratisasi kehidupan sosial (Tilaar dan Nugroho, 2009: 116--117). Teori hegemoni ini dipakai untuk membedah permasalahan penelitian di atas khususnya masalah yang kedua dan ketiga, yaitu faktor-faktor yang berpengaruh serta dampak dan makna, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, pada pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Hal ini digunakan karena dalam praktik pendidikan di satuan pendidikan tertentu ditinjau
59
dari teori hegemoni bahwa kebijakan pendidikan yang diberlakukan di sekolah sangat erat terkait dengan kepentingan kekuasaan. Demikian juga para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas tidak bisa lepas dari dominasi kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan-kepentingan yang mungkin terjadi bisa berupa upaya mempertahankan kekuasaan (status quo), upaya pencitraan, bahkan mungkin upaya komodifikasi.
2.3.3 Teori Semiotika Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Semiotika melihat berbagai gejala dalam suatu kebudayaan sebagai tanda yang dimaknai masyarakatnya. Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2011: 44--45) melihat tanda terdiri atas signifiant (bentuk) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah penanda dan signifie (makna) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dalam istilah petanda. Namun, yang dimaksud dengan bentuk adalah citra (image) tentang bunyi suatu kata. Para strukturalis melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Proses semiosis ini sifatnya mengaitkan dua segi, yaitu penanda dan petanda. Teori ini disebut bersifat dikotomis dan struktural.
60
Menurut Charles Sanders Peirce, para pragmatis melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Hal yang menarik “sesuatu” itu dapat berupa hal yang konkret (dapat ditangkap dengan pancaindra manusia), yang kemudian melalui suatu proses mewakili “sesuatu” yang ada dalam kognisi manusia. Jadi, yang dilihat oleh Peirce, tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap pancaindra. Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama adalah
yang “konkret” adalah suatu “perwakilan” yang disebut
representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang ada dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun.’tanda’). Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran). Jadi, secara garis besar, pemaknaan suatu tanda terjadi dalam proses semiosis dari yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat. Proses yang dilalui mengaitkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan dalam suatu proses semiosis, maka teori semiosis ini disebut bersifat trikotomis. Manusia sebagai homo culturalis, yakni sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari sesuatu yang ditemukannya (meaning-seeking creature). Dalam proses memahami makna, terlepas dari aliran semiotik struktural atau pragmatis yang dianut, semiotik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan. Kebudyaan (gejala budaya) dilihat oleh semiotik sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan satu sama lain dengan cara memahami makna yang ada di dalamnya.
61
Roland Barthes (1915--1980) menggunakan toeri signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signfie menjadi isi (C). Namun, antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga terbentuk tanda (Sign, Sn). Konsep relasi (R) ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang, karena R ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, E dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu penanda dengan C yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk “kesinoniman”. Setiap tanda selalu memeroleh pemaknaan awal yang dikenal dengan denotasi disebut juga sistem primer, sedangkan pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder yang ke arah E disebut metabahasa. Sedangkan, sistem sekunder yang ke arah C disebut konotasi, yaitu pengembangan isi (C) sebuah ekspresi (E). Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik, yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitan dengan pemakai tanda, juga dapat dimasukkan perasaan (aspek emosi) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi (Hoed, 2011: 44--45). Barthes memperluas penjelasan struktural atas kebudayaan sampai pada praktik budaya pop dan makna yang ternaturalkan atau yang disebut dengan mitos. Barthes menyatakan bahwa makna teks tidak hanya ditemukan berdasarkan maksudmaksud manusia, tetapi harus dilihat sebagai serangkaian praktik signifikasi (Barker, 2008: 19).
62
Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem signifikasi: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Pada level kedua, konotasi makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna kemudian menjadi persoalan asosiasi tanda dengan kode makna kultural lain. Makna sebuah tanda baru dapat dikatakan berlipat ganda jika tanda tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari akumulasi rangkaian kekuatan (secara sintagmatis) atau lebih umum, melalui perbandingan alternatif yang tidak ada secara paradigmatis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai peta makna konseptual, inilah yang dikatakan mitos. Mitos adalah konstruksi kultural, tetapi ia bisa tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudian mirip dengan konsep ideologi karena sama-sama bekerja pada level konotasi (Barker, 2008: 74, Budiman, 2002: 93--94). Mitos dalam pengertian di sini sesuai dengan etimologinya, yaitu bersifat inklusif, bukan sebagai cerita-cerita tentang kehidupan dewa-dewi atau sastra lisan tradisional yang dikeramatkan, melainkan sebagai a type of speech, sebuah tipe tuturan sementara. Bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk bisa menjadi mitos. Secara semiotis, mitos dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran kewacanaan yang disebut sebagai sistem
63
semiologis tingkat kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bersemayam. Pada citra iklan rokok Marlboro misalnya, rangkaian petanda yang langsung terbaca di dalam lapis denotasi adalah seorang lelaki atau ditemani oleh beberapa lelaki lain dan satu atau beberapa ekor kuda yang berada di tengah sabana tandus. Sebuah dunia “mistis” yang bernama Marlboro Country, seperti dapat dikenali dari teks penambat yang menyertainya: Come to where the flavour is. Come to Marlboro Country. Wacana iklan rokok Marlboro ini menghadirkan sebuah mitos di sekitar maskulinitas atau kejantanan, sebuah citra stereotipikal tentang sosok lelaki “ tradisional”, yakni lelaki yang tanpa emosi, tak banyak bicara, kuat perkasa, pemberani, petualang, pemburu kebebasan, singkatnya memiliki makna denotatif seorang lelaki jantan. Makna tidak stabil dan tidak dapat dimasukkan ke satu kata, kalimat, atau teks tunggal tertentu. Makna tidak memiliki sumber asal usul yang tunggal, tetapi ia adalah hasil dari hubungan antarteks, yaitu intertekstualitas. Tidak ada makna denotatif yang jelas dan stabil karena semua makna mengandung jejak makna lain dari tempat lain. Makna selalu berada dalam proses (Barker, 2008: 77). Pencarian makna teks dalam hal ini menggunakan konsep denotasi dan konotasi. Dengan demikian, diperoleh makna yang ada di balik sebuah teks. Teori semiotika ini digunakan untuk menjelaskan masalah ketiga, yaitu dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar terkait dengan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Hal ini
64
dilakukan karena pemberian makna terhadap sesuatu atau makna tindakan yang dilakukan berhubungan dengan interaksi sosial yang terjadi melalui teks atau tanda yang berlaku pada lingkungannya.
2.3.4 Teori Praktik Sosial Pierre Bordieu dalam menemukan teorinya berangkat dari persoalan bagaimana sebuah masyarakat dengan segala seluk beluknya mencakup interaksi antarunsur serta struktur objektif dan subjektifnya terbentuk. Bordieu juga mengatasi persoalan kesenjangan antara teori dan praktik, pikiran dan tindakan, serta ide dan realitas konkret. Beliau melihat bahwa konsep oposisi agensi vs struktur tidak memadai untuk menjelaskan realitas sosial. Praktik sosial tidak begitu saja dijelaskan sebagai produk dari struktur atau agensi sebagai subjek. Penjelasan rasional yang menunjukkan dinamika hubungan antara agensi dan struktur diperlukan untuk menemukan hubungan saling memengaruhi yang tidak linear di antara keduanya. Subjek dan dunia luar, begitu juga agensi dan struktur, bukan dua substansi yang dapat dipilah begitu saja, keduanya saling terkait dan saling memengaruhi dalam satu proses kompleks untuk menghasilkan praktik sosial. Untuk menjelaskan hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linear, beliau mengajukan konsep habitus dan ranah. Habitus diartikan sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Ranah diartikan sebagai jaringan relasi antarposisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang
65
hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang ditopang oleh sejumlah ide lain, seperti kekuasaan simbolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta beragam jenis modal (modal ekonomi, budaya, dan simbolik) (Harker, 1990: xv. Barker, 2008: 360). Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial. Habitus merupakan struktur objektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial. Manusia dalam perjalanan hidupnya memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi, kemudian melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami, menghargai, serta mengevaluasi realitas sosial. Skema itu diungkapkan dalam wujud istilah sebagai hasil penamaan. Skema-skema itu berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberikan kerangka tindakan kepada individu dalam hidup keseharian bersama orang-orang lain. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Artinya, habitus bukan pengetahuan bawaan, bukan kategori, bukan juga ide-ide bawaan dari dunia ide. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus merupakan hasil pembelajaran
66
lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari, dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau sudah dari sananya. Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antarposisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif antarindividu, melainkan semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar itu, terbentuklah ranah, jaringan relasi posisi-posisi objektif. Ranah merupakan metafora yang digunakan Bordieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Ranah mengisi ruang sosial. Ruang sosial mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini menganalogikan realitas sosial sebagai sebuah ruang dan pemahamannya menggunakan pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi terdiri atas beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya serta sejumlah titik kontak. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai bentuk modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya
67
berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimiliki. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan kekuatan- kekuatan orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Di dalam ranah pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Secara ringkas Bordieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bordieu, 1984 dalam Harker, 1990: xxi). Penggalian Bordieu lebih jauh beliau menemukan adanya semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap ranah. Aturan yang bekerja sebagai modus yang disebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Dengan konsep ini, ia ingin memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tetapi mengundang konformitas. Hal ini terjadi karena sudah mendapat legitimasi sosial karena
68
bentuknya yang sangat halus. Bahasa makna dan sistem simbolik pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Dalam dunia pendidikan terutama yang berhubungan dengan pengelolaan sebagai sebuah praktik sosial sangat erat terkait dengan konsep habitus, ranah, dan modal. Praktik sosial dalam lembaga pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran kekuasaan yang sangat berpengaruh dalam aktivitas yang terjadi. Hierarki kekuasaan dari kekuasaan yang paling tinggi misalnya dari pemerintah pusat, kemudian ke pemerintah daerah, selanjutnya ke lembaga pendidikan melalui kepala sekolah, berikutnya ke pendidik dan akhirnya ke siswa terjadi kekerasan simbolik yang sangat halus dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Modal sosial, seperti budaya, ekonomi, dan ideologi memiliki peran yang besar dalam memengaruhi praktik sosial. Berdasarkan kaitan tersebut maka teori praktik ini digunakan untuk menjelaskan masalah yang berhubungan dengan faktor-faktor yang memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar.
2.3.5 Teori Belajar Teori belajar bermunculan dimulai ketika para ahli memelajari perkembangan manusia, perkembangan fisik, tingkah laku, dan pikiran. Dengan memelajari perkembangan fisik, dan mental manusia sampai pada memelajari bagaimana seseorang belajar untuk memeroleh pengetahuan, muncul pandangan-pandangan filosofis, dan spekulatif tergolong juga sebagai teori belajar. Beberapa teori belajar
69
yang berlandaskan pada pandangan filosofis dan spekulatif yaitu, pandangan preformasionisme, yang menyatakan bahwa anak-anak adalah miniatur orang dewasa kemudian, pandangan John Locke berpendapat, bahwa anak-anak seperti wadah kosong (kertas kosong) yang siap diisi ajaran-ajaran oleh orang dewasa, dan pandangan developmentalis karya Jean Jacques Rousseau menyatakan, bahwa anakanak bukan wadah kosong melainkan sudah memiliki mode perasaan dan pemikirannya sendiri. Sebaliknya, teori belajar yang didasarkan pada percobaan, meliputi teori belajar perilaku atau behavioristik, teori belajar sosial, dan teori belajar kognitif atau Gestalt-field (Crain, 2007). Kajian teori selanjutnya menekankan pada teori belajar perilaku, sosial, dan kognitif.
2.3.5.1 Teori Belajar Perilaku Tokoh teori belajar perilaku adalah Ivan Petrovich Pavlop (1849-1936). Beliau lahir di Ryazan Rusia. Selama beberapa tahun beliau memusatkan perhatiannya kepada penelitian-penelitian fisiologis, dan pada tahun 1904 memenangkan hadiah Nobel atas penelitiannya mengenai sistem pencernaan. Beliau memulai dengan karyanya yang terkenal tentang refleks-refleks yang terkondisikan (conditional refleks) (Crain, 2007). Para pendukung teori perilaku berpendapat, bahwa mereka yang meneliti belajar hendaknya menarik kesimpulan atas dasar observasi-observasi tentang perilaku eksternal, dan terbuka dari organisme-organisme (binatang atau manusia). Kelompok teori yang termasuk dalam teori belajar perilaku, yaitu belajar responden, belajar kontinguitas, belajar operan, dan belajar operasional.
70
Belajar responden yang dikenal dengan teori classical conditioning dikemukakan oleh Pavlop. Pavlov (dalam Crain, 2007) dan kawan-kawannya mempelajari
proses
pencernaan
pada
anjing.
Selama
penelitian,
mereka
memerhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan air liur. Simpulan yang dikemukakan adalah bagaimana belajar dapat memengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tidak dapat dikendalikan seperti pengeluaran air liur. Hasil studi Pavlov merangsang para peneliti lain, yaitu E.L. Thorndike. Hasil studi Thorndike (dalam Nasution, 1982) menjelaskan bahwa perilaku sebagai suatu respons terhadap stimulus-stimulus dalam lingkungan. Konsep yang dipaparkan bahwa stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respons-respons. Hal ini merupakan acuan dari teori stimulus-respons atau dikenal dengan teori S-R. Dalam beberapa eksperimennya, Thorndike menempatkan kucing-kucing dalam kotak-kotak. Dari kotak-kotak ini, kucing harus keluar untuk memeroleh makanan. Ia mengamati bahwa sesudah beberapa selang waktu kucing-kucing itu mempelajari cara mengeluarkan diri lebih cepat dari dalam kotak dengan mengulangi perilaku yang mengarah agar dapat keluar dan tidak mengulangi perilaku yang tidak efektif. Berdasarkan eksperimen ini Thorndike mengembangkan hukumnya, yang disebut Hukum Pengaruh atau Law of Effect. Hukum Pengaruh Thorndike menyatakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan akan diulangi pada situasi yang mirip. Namun, jika perilaku diikuti oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, maka perilaku cenderung
71
tidak dilakukan. Jadi konsekuensi yang ditimbulkan memegang peranan dalam menentukan perilaku. Skinner (dalam Crain, 2007; Nasution 1982) menyarankan suatu kelas lain dari perilaku, yang disebut sebagai perilaku operan sebab perilaku ini beroperasi terhadap lingkungan, tanpa adanya stimulus apa pun seperti makanan misalnya. Studi Skinner berpusat pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya,
bila perilaku seseorang segera
diikuti oleh konsekuensi
yang
menyenangkan, orang itu akan terlibat dalam perilaku itu sesering mungkin. Jadi, penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku disebut operant conditioning. Beberapa prinsip yang melandasi teori belajar perilaku adalah : konsekuensikonsekuensi, kesegeraan (cepat) mendapat konsekuensi dan pembentukan (shaping). Prinsip konsekuensi-konsekuensi ini menyatakan bahwa perilaku akan berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Ada konsekuensi yang menyenangkan disebut reinforcer cenderung memperkuat perilaku dan ada konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman atau punisher yang memperlemah perilaku. Reinforcer dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu reinforcer primer dan reinforcer sekunder. Reinforcer primer terkait dengan kebutuhan dasar manusia misalnya: makanan, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Reinforcer sekunder terkait dengan kebutuhan psikis meliputi reinforcer sosial seperti pujian, senyuman, atau perhatian. Reinforcer dalam keseharian sering menggunakan reinforcer positif berupa pujian, angka dan bintang. Akan tetapi ada kalanya menggunakan reinforcer negatif,
72
yaitu untuk memperkuat perilaku adalah dengan membuat konsekuensi perilaku, suatu pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang guru dapat membebaskan ujian akhir apabila ujian hariannya sudah bagus jika ujian akhir dianggap sebagai situasi yang tidak menyenangkan. Hukuman merupakan konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat perilaku. Tujuan pemberian hukuman adalah mengurangi perilaku dengan menghadapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan atau tidak diingini. Pemberian hukuman ini masih menjadi pro dan kontra antara para ahli, ada yang tidak setuju terhadap hukuman dan ada yang setuju dengan hukuman dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan. Salah satu prinsip dalam teori belajar perilaku ialah konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih memengaruhi perilaku daripada konsekuensi-konsekuensi yang lambat datangnya. Prinsip kesegeraan konsekuensikonsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik dapat menjadikan reinforcer yang kuat daripada angka yang diberikan kemudian. Misalnya, setelah si anak dapat mengerjakan latihan dengan benar, seorang guru langsung memberikan pujian “ nah ini kerja yang bagus” atau dengan reinforcmen yang lain. Prinsip pembentukan ini melihat mengenai hal apa yang akan diberikan reiforcmen. Salah satu teknik mengajar yang menerapkan prinsip pembentukan (shaping) adalah jika guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan
73
memberikan reinforsemen pada langkah-langkah yang menuju pada keberhasilan. Istilah pembentukan (shaping) digunakan dalam mengajarkan keterampilanketerampilan baru atau perilaku-perilaku dengan memberikan reinforcmen pada siswa ketika mendekati perilaku akhir yang diinginkan ( Crain, 2007; Nasution, 1982).
2.3.5.2 Teori Belajar Sosial Pelopor teori belajar sosial adalah Albert Bandura yang lahir pada tahun 1925 di provinsi Alberta Kanada. Pada tahun 1953 Bandura bergabung dengan fakultas psikologi di Stanford dan berkarya dalam bidang psikologi. Beliau membangun reputasi yang sedemikian tinggi, sehingga pada tahun 1974 dipercaya menjabat presiden Asosiaso Psikologi Amerika (Crain, 2007). Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional. Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini menerima sebagian besar prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku dan pada proses-proses mental internal. Dalam pandangan belajar sosial “manusia tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulusstimulus lingkungan. Akan tetapi, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan lingkungan. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random, lingkungan itu sering kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya. Perspektif (cara pandang) belajar sosial
74
menganalisis hubungan kontinu antara variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, serta perilaku terbuka dan tertutup seseorang. Konsep-konsep utama dari teori belajar sosial, yaitu pemodelan (modelling), fase belajar, belajar vicarious (seolah dilakukan oleh diri sendiri), dan pengaturan diri sendiri. Konsep pemodelan menyatakan bahwa manusia itu belajar dari suatu model, dari sesuatu yang dilihat, kemudian ditirukan. Guru olahraga mendemonstrasikan loncat tinggi dan para siswa menirunya. Menurut Bandura, ada empat fase belajar dari model, yaitu fase perhatian (attention phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivational phase). Jika digambarkan, fase-fase itu sebagai berikut.
Peristiwa Model Penampilan
Fase Perhatian
Fase Retensi
Fase Reproduksi
Fase Motivasi
a. Fase perhatian Fase awal dalam belajar observasional ialah memberikan perhatian pada suatu model. Umumnya para siswa memberikan perhatian pada model model yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan populer. Dalam kelas, guru akan mendapat perhatian dari para siswa, dengan menyajikan isyarat-isyarat yang jelas dan menarik, misalnya dengarkan baik-baik, hal ini sering muncul dalam ujian nasional.
75
b. Fase retensi Belajar observasional terjadi berdasarkan kontinguitas. Dua kejadian kontiguos yang diperlukan adalah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang. Hal ini terlihat betapa pentingnya peranan kata-kata, nama-nama, atau bayangan yang kuat yang dikaitkan dengan kegiatan yang dimodelkan. Materi pelajaran akan lama diingat bila dilakukan pengulangan.
c. Fase reproduksi Dalam fase ini, bayangan (imagery) atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh. Fase reproduksi mengizinkan model atau instruktur, guru untuk melihat apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh pebelajar (siswa). Jadi, di sini perlu disebut pentingnya umpan balik yang bersifat memperbaiki, untuk membentuk perilaku yang diinginkan.
d. Fase motivasi Para siswa akan meniru suatu model sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat demikian akan meningkatkan peluang untuk memeroleh reinforsemen (pujian). Di dalam kelas, fase motivasi sering kali berupa pujian atau angka untuk penyesuaian dengan model guru.
76
Dalam konsep belajar vicarious ini, ada orang belajar dengan melihat orang lain diberikan reinforcmen atau dihukum saat terlibat dalam perilaku tertentu yang disebut belajar “vicarious”. Guru biasanya memberikan reiforcmen, memuji, memerhatikan siswa yang bekerja dengan baik, kemudian anak yang nakal melihat bahwa bekerja memeroleh reinforcmen. Oleh karena itu ia pun kembali bekerja. Pengaturan sendiri atau “self regulation” didasarkan pada hipotesis Bandura yang
menyatakan
bahwa
manusia
mengamati
perilakunya
sendiri,
mempertimbangkan (judgments) perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberikan reinforcemen atau hukuman pada dirinya sendiri. Pertimbangan diperoleh dari diri sendiri, seperti seorang pelukis, penulis, atau seorang guru, dan kriteria yang dimiliki seseorang untuk penampilannya, dan hal lain dipelajari sendiri dari model-model dalam dunia sosial. Dengan memberikan hadiah atau menghukum kita sendiri, kita dapat mengendalikan perilaku secara efektif, tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan lingkungan atau keinginan-keinginan yang datang dari dalam. Setiap orang dapat belajar menjadi manusia sosial yang berkepribadian (menjadi diri sendiri dalam kancah sosial) ( Crain, 2007).
2.3.5.3 Teori Belajar Kognitif Menurut teori-teori belajar kognitif (teori-teori Gestalt-field), belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan insait-insait (insight), pandanganpandangan
(outlooks),
harapan-harapan,
atau
pola
berpikir.
Dalam
mempermasalahkan belajar bagi siswa, penganut teori kognitif memakai istilah-istilah
77
orang, lingkungan psikologi, dan interaksi. Istilah-istilah ini lebih memudahkan guru dalam memerikan proses-proses belajar. Konsep-konsep tersebut memungkinkan guru untuk melihat seseorang, lingkungannya, dan interaksi dengan lingkungannya, semuanya ini terjadi pada waktu yang bersamaan. Inilah yang dimaksud dengan “field”. Field ini dapat dipelajari secara ilmiah walaupun sebagai perilaku yang tidak tampak, misalnya pikiran-pikiran (thoughts). Para pengikut teori Gestalt-field mendefinisikan belajar sebagai reorganisasi perseptual atau “ cognitive fields” untuk memeroleh pemahaman. Guru yang menganut teori belajar kognitif berkeinginan untuk menolong para siswanya mengubah pemahaman mereka tentang masalahmasalah dan situasi-situasi secara signifikan. Sedangkan penganut teori perilaku berkeinginan untuk mengubah perilaku-perilaku siswanya yang tampak secara signifikan (Hassard,1992; Nasution, 1982). Tokoh-tokoh teori belajar kognitif, yaitu Gagne, Ausubel, dan Bruner menelusuri cara berpikir manusia, cara belajar manusia dari banyak sisi, yang berbasis lingkungan psikologis dan interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan kajian-kajianya, muncul teori-teori yang menjelaskan bagaimana seseorang itu belajar. Teori-teori yang dimaksud, yaitu teori pemrosesan informasi, belajar pengetahuan deklaratif, dan pengetahuan prosedural, belajar konsep, belajar penemuan, dan belajar bermakna. Para ahli pemrosesan informasi menjelaskan bahwa peristiwa psikologi sebagai transformasi informasi dari input ke output. Bila informasi yang masuk dalam memori kerja tidak diulang-ulang atau diberi kode, maka informasi itu akan hilang.
78
Informasi yang sudah dikode akan masuk ke memori jangka panjang, yang mempunyai kapasitas yang besar. Teori ini memandang bahwa pengetahuan disajikan secara mental dalam berbagai bentuk, yaitu proposisi, produksi, dan gambaran mental. Salah satu bentuk penyajian informasi ialah proposisi yang dapat disamakan dengan gagasan. Belajar pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural berkaitan erat dengan teori pemrosesan informasi, suatu kajian yang melihat apa yang terjadi ketika seseorang mengalami proses belajar. Pengetahuan deklaratif yang disajikan oleh proposisi ialah mengetahui “apa” sesuatu itu, sedangkan pengetahuan prosedural ialah mengetahui “bagaimana” melakukan sesuatu. Pengetahuan prosedural teraktivasi lebih cepat dan lebih reaktif terhadap lingkungan dibandingkan dengan pengetahuan deklaratif. Perolehan pengetahuan deklaratif terjadi bila pengetahuan baru menstimulasi aktivasi pengetahuan lama yang relevan sehingga pengetahuan baru dan pengetahuan lama yang relevan tersimpan dalam jaringan proposisi. Bila suatu perangsang mengaktifkan daerah tertentu, dalam jaringan proposisi, kemudian menyebar ke daerah-daerah yang berhubungan, maka informasi yang diinginkan teraktivasi. Keadaan ini disebut sebagai pemanggilan pengetahuan deklaratif. Konstruksi pengetahuan terjadi bila suatu fakta tertentu tidak dapat dipanggil sehingga pengetahuan yang teraktivasi digunakan untuk menyimpulkan informasi yang diinginkan.
79
Dalam teori belajar kognitif dikatakan juga terjadi proses elaborasi. Elaborasi ialah suatu proses penambahan pengetahuan yang berhubungan pada pengetahuan baru. Penambahan-penambahan ini menyediakan cara-cara lain untuk pemanggilan dan informasi tambahan untuk konstruksi. Di samping proses elaborasi juga terjadi proses
organisasi
(pengorganisasian).
Organisasi
merupakan
suatu
proses
menempatkan deklaratif ke dalam sub-subhimpunan. Organisasi menolong dalam pengingatan informasi. Pengetahuan prosedural atau mengetahui bagaimana mendasari penampilan intelektual yang rutin dan terampil. Pengetahuan ini tidak perlu dicari dalam memori jangka panjang. Semua proses belajar tentang pengetahuan prosedural tergantung pada latihan dan umpan balik. Belajar
konsep
merupakan
hasil
utama
pendidikan.
Konsep-konsep
merupakan batu-batu pembangun (building blocks) dalam berpikir. Konsep merupakan sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Konsep tidak dapat diamati, harus disimpulkan dari perilaku. Misalnya, konsep panas, konsep relativitas, konsep tentang siswa, konsep tentang meja, dan yang lain sangat berbeda dalam beberapa dimensi. Konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi, yaitu atribiut, struktur, keabstrakan, keinklusifan, generalisasi (keumuman), ketepatan, dan kekuatan. Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1989), konsep-konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Menurut Gagne
80
(dalam Dahar 1989), formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkret. Asimilasi merupakan cara utama untuk memeroleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah. Pendekatan belajar konsep menurut teori perilaku, bahwa belajar konsep adalah asosiasi stimulus dan respons. Dalam belajar konsep anak yang belajar memberikan satu respons terhadap beberapa stimulus. Sedangkan, pendekatan kognitif tentang belajar konsep memusatkan pada proses perolehan konsep-konsep, sifat dari konsep, dan bagaimana konsep itu disajikan dalam struktur kognitif. Belajar penemuan dikemukakan oleh J. Bruner (dalam Dahar 1989), seorang ahli psikologi belajar kognitif. Beliau lebih menekankan pada proses pemerolehan ilmu pengetahuan bukan pada pengembangan teori belajar. Dalam usaha meningkatkan pendidikan, khususnya sains, beliau mengemukakan empat tema, yaitu struktur, kesiapan, intuisi, dan motivasi. Belajar meliputi tiga proses kognitif, yaitu memeroleh informasi baru, transformasi pengetahuan, serta menguji relevansi, dan ketepatan pengetahuan. Menurut Bruner (dalam Dahar 1989), belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berpikir secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah. Belajar bermakana menurut Ausubel ada dua dimensi belajar, yaitu dimensi belajar
penerimaan/penemuan dan
dimensi
belajar
bermakna/hafalan,
yang
merupakan suatu kontinum, bukan suatu dikotomi. Seseorang dapat belajar melalui
81
penerimaan kemudian bermakna atau hanya hafalan, atau seseorang dapat belajar melalui penemuan kemudian bermakna atau hafalan. Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi baru dapat dikaitkan pada subsumer yang ada dalam struktur kognitif. Sebaliknya, belajar hafalan terjadi bila informasi baru tidak dapat dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif karena konsep-konsep ini tidak mirip dengan informasi baru tersebut. Faktor yang berpengaruh terjadinya belajar bermakna, yaitu struktur kognitif yang ada serta kesiapan dan niat anak untuk belajar bermakna dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial. Dalam penerapannya dalam mengajar, guru perlu memerhatikan adanya pengatur awal pada awal pelajaran. Dalam mengaitkan konsep-konsep adanya proses diferensiasi progresif (dari umum ke yang khusus) dan rekonsiliasi integratif (konsep baru dihubungkan dengan konsep superordinat) dan belajar superordinat (konsep yang sebelumnya dipelajari sebagai unsur dari konsep yang lebih luas). Jadi, dalam mengajar ada kesinambungan konsep yang disajikan secara sistematis (Dahar, 1989: 19--21). Teori belajar yang dikemukakan di atas digunakan untuk memecahkan masalah pertama, yaitu mengenai pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Dengan mencermati rencana pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat teori belajar yang digunakan, demikian juga dengan proses pembelajaran dan evaluasi bisa dicermati teori belajar yang mana yang digunakan. Dikatakan demikian, karena untuk melihat kualitas pembelajaran peranan guru dalam proses
pembelajaran,
mulai
dari
perencanaan
pembelajaran,
pelaksanaan
82
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran sangat strategis. Peran strategis yang dilakukan dalam pengelolaan dipengaruhi oleh pemahaman teori-teori belajar yang digunakan dalam pengelolaan pembelajaran. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kualitas pembelajaran dapat dijelaskan dengan teori belajar tersebut, karena pada dasarnya pembelajaran sebagai sebuah sistem dapat dipengaruhi karena faktor kognitif, faktor sosial, dan faktor perilaku.
2.4 Model Penelitian Model didefinisikan sebagai cara lain untuk menampilkan suatu gagasan berupa simbol, diagram, atau tanda-tanda tertentu. Sebagai simbol, model tidak mencantumkan keseluruhan isi penelitian, tetapi hanya mencantumkan variabel, objek, dan masalah-masalah terpenting yang diteliti. Model penelitian dalam hal ini sebagai gambaran tentang logika hubungan antara masalah-masalah yang diteliti dan variabel-variabel yang berpengaruh, baik secara teoretis maupun empiris. Melalui model diharapkan diperoleh gambaran lebih awal rangkaian berpikir penelitian yang dilakukan, faktor yang berpangaruh terhadap objek penelitian sampai kepada masalah-masalah yang diteliti. Selain itu, model penelitian akan menunjukkan rekomendasi apa yang akan dihasilkan dari penelitian yang dilakukan. Adapun model penelitian yang dirancang ditunjukkan seperti diagram berikut.
83
Tujuan Pendidikan Nasional Pemerintah Prov. Bali
Pemerintah Pusat
Proses Pembelajaran di Sekolah
Standar Nasional Pendidikan
Cara Pengelolaan
Pengelolaan Pembelajaran Kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar
Faktor-faktor yang berpengaruh
Rekonstruksi Konseptual Pengelolaan Pembelajaran Kimia Berkualitas
Keterangan tanda. = garis yang memengaruhi = garis yang saling memengaruhi = garis rekomendasi
Kondisi Riil Sekolah
Dampak dan Makna
84
2.4.1 Penjelasan Model Penelitian Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal memiliki visi dan misi tertentu yang ideal, yang didasarkan pada tujuan pendidikan nasional. Sekolah merupakan ujung tombak dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di dalam praktik pengelolaan pendidikan di sekolah beracuan pada peraturan pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah standar nasional pendidikan. Pengelolaan sekolah senantiasa mengarah kepada bagaimana tercapainya standar yang sudah ditetapkan secara nasional. Faktor lain yang memengaruhi pengelolaan sekolah adalah kebijakan pemerintah daerah dengan berbagai regulasi, keadaan, dan kepentingan yang ada. Hal ini memengaruhi kondisi riil di sekolah. Kebijakan yang bersumber dari pemerintahan pusat dan dari pemerintah daerah berpengaruh terhadap pengelolaan pendidikan dan pengelolaan pembelajaran di sekolah Pemegang kendali utama dalam pengelolaan pembelajaran di sekolah adalah guru dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana, sumber-sumber belajar, dan manajemen sekolah. Dalam implementasi pengelolaan pembelajaran kimia, aktivitas guru dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, sosial, dan budaya yang berkembang di masyarakat dan kepribadian guru. Dalam melaksanakan praktik pendidikan melalui proses pembelajaran, semestinya guru melaksanakan kurikulum dengan konsekuen, sesuai dengan standar yang diberlakukan. Namun, dalam kenyataannya proses pembelajaran kimia yang ideal sangat sulit dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku. Fenomena yang disebut di atas tidak berdiri sendiri, tetapi sangat terkait erat
85
dengan faktor lingkungan sosial, faktor kekuasaan, faktor guru, dan faktor-faktor lain yang riil di lapangan. Oleh karena itu, fenomena pengelolaan pembelajaran kimia perlu didekonstruksi untuk diperoleh penjelasan yang mendalam dan akurat mengenai (1) bagaimana pengelolaan pembelajaran kimia dilakukan, (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan pembelajaran kimia, serta (3) dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, kaitannya dengan mutu sekolah. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran tentang pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI di Provinsi Bali. Kemudian diperoleh jawaban yang mendasar mengenai faktor yang berpengaruh, baik yang tampak maupun yang tersembunyi terhadap pengelolaan pembelajaran kimia. Di samping itu, diperoleh penjelasan tentang dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia terhadap peningkatan mutu sekolah pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Kemudian berdasarkan interpretasi data yang dilakukan dapat dibuat rekonstruksi konseptual pembelajaran kimia yang berkualitas. Di samping hal tersebut, dengan membedah secara mendalam mengenai pengelolaan pembelajaran kimia diharapkan diperoleh temuan yang dapat dipakai sebagai landasan perbaikan kualitas pendidikan.