1
2
18
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang guru dalam khazanah Sastra Indonesia Modern (SIM) dari para pengarang Bali belum banyak dilakukan oleh peneliti. Hal serupa juga terjadi pada karya pengarang Bali yang menulis dalam karya Sastra Bali Modern (SBM) khususnya cerpen dan novel. Selama ini, kajian tentang guru dalam karya sastra pengarang Bali banyak ditemukan dalam artikel lepas di surat kabar lokal di Bali. Sementara kajian serius dalam bentuk tesis atau disertasi tentang guru yang diinspirasikan oleh karya sastra pengarang Bali, belum ditemukan. Penelitian tentang guru dalam karya SIM saat ini ditemukan dalam esai,skripsi, dan tesis dalam jumlah yang terbatas. Esai tentang guru dikerjakan oleh Yunus (1985), Mardiah (2005), Mahayana (2006), Tingkat (2007). Dalam esainya berjudul “Kenapa Mesti Guru Isa”, Yunus (1985:17) menyoroti tokoh Guru Isa dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dalam konteks ini, Yunus lebih menekankan profesi guru yang dilakoni Isa, sebagai wujud empati terhadap Isa yang dikisahkan impoten dan berperasaan halus sehingga tidak kuasa melakukan perlawanan di tengah masa revolusi. Esai yang membahas tentang guru dikerjakan pula oleh para guru bahasa dan sastra Indonesia SMA/SMK yang mengikuti lomba mengulas karya sastra tingkat
19
nasional yang rutin digelar Depdiknas setiap tahun, sejak awal dekade 2000-an. Para guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengulas tentang guru umumnya menjadikan novel Sang Guru karya Gerson Poyk sebagai pijakan. Dengan menyitir Teeuw (1989), Ratna (201: 101) memasukkan novel Sang Guru sebagai karya sastra warna lokal. Sementara itu, Poyk (2010: ix) menyebutkan novel Sang Guru sudah mulai menjadi klasik karena diulas oleh para guru di negeri ini dan telah melahirkan beberapa sarjana yang menulis skripsi mengenai novel ini. Pengakuan Poyk terhadap karyanya Sang Guru memang tidak berlebihan, bahkan Poyk identik dengan Sang Guru. Novel ini seakan menjadi bacaan wajib bagi para guru di Indonesia untuk melihat sosok guru yang ideal seperti dilakukan Mardiah (2005) pada saat mengikuti Lomba Mengulas Karya Sastra antarguru SMA/K Tingkat Nasional. Mardiah memberi judul ulasannya dengan “Redefinisi Guru dalam Sang Guru Gerson Poyk”, yang meraih nominasi 25 naskah terbaik yang diterbitkan Depdiknas Jakarta 2006. Dalam ulasannya, Mardiah
(2006 : 154)
menyatakan, “Sang Guru mengupas guru dari aspek kemanusiaan. Guru yang merupakan seorang manusia harus mendidik,mengajar, dan melatih agar manusia lain menjadi manusia ternyata sarat dengan berbagai permasalahan”. Esai sastra yang lain tentang guru ditulis oleh menyoroti
novel
Sedimen
Senja
karya
S.N.
Mahayana (2006) yang
Ratmana
(http://mahayana-
mahadewa.com). Mahayana menganalogikan kehidupan guru tahun 1960-an sampai 1970-an, sebagai sebuah potret yang tergeletak di pojok ruangan. Guru dicampakkan
20
sekaligus dipuji. Dibersihkan dari debu, lalu dibingkai dengan figura yang lebih baru, dan digantung di ruang tamu. Tingkat (2007) menulis esai tentang guru dalam buku Berguru dalam Jejak Sastra. Pada intinya, sejumlah esai dalam buku ini berpijak pada karya sastra baik puisi, cerpen, maupun novel yang menyoroti nasib guru dikaitkan dengan situasi kekinian. Simpulannya, profesi guru bukanlah profesi yang menjanjikan kemewahan melainkan profesi yang terus-menerus dituntut menjadi teladan bagi anak didiknya. Untuk mewujudkan hal itu, seorang guru pun dilukiskan bermain sandiwara dengan idealisme yang dipegangnya. Hal itu ditunjukkan dengan sikap hipokrit. Namun, dengan kerendahan hati, guru pun menyadari diri untuk menerus berguru tidak hanya kepada orang-orang besar, tetapi juga kepada murid-muridnya (Tingkat, 2007:5). Selain esai tentang guru, skripsi tentang guru juga ditulis oleh Arupalaka dari FIB UI pada 2008, dengan judul, “Citra Guru dalam Kumpulan Cerpen Suci Menulis di Balik Papan Tulis” karya S.N. Ratmana.
Skripsi Arupalaka ini lebih
menekankan pada citra guru dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar di kelas tanpa mengaitkan dengan konteks sosial kemasyarakatan. Tesis tentang tokoh guru dalam karya sastra juga dikerjakan oleh Budiarti dari UPI Bandung pada 2009, dengan judul, “ Representasi Citra Guru dalam Tujuh Novel Indonesia Modern Pascaproklamasi Kemerdekaan Berdasarkan Tinjauan Psikologi Sastra”.
Pembahasan
Budiarti
mencakup novel dengan tokoh guru,
karakter tokoh, relasi antartokoh, psikologi tokoh, citra tokoh. Lima fokus penelitian Budiarti itu didasarkan atas tujuh novel Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan,
21
yaitu Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Bu Guru Dwisari karya Umar Nur Zain, Pertemuan Dua Hati karya N.H. Dini, Sang Guru karya Gerson Poyk, Bukan Pasar Malam karya Pramudya Ananta Toer, Sedimen Senja karya SN Ratmana, dan Laskar Pelangi karya Andre Hirata. Hasil penelitian Budiarti (2009: 347-350) menunjukkan representasi citra guru dari segi kondisi kejiwaan yang bermacam-macam, kondisi kepribadian guru yang sehat secara mental. Selain itu, ditemukan status personal guru yang umumnya mencakup harga diri, visi, komitmen, keyakinan diri, aspirasi, dan jati diri, status profesional guru, status sosial nonmateri, dan status sosial materi yang umumnya masih rendah. Guru juga dikaji oleh Surakhman (2009).
Bahkan karena
cintanya
Surakhman terhadap profesi guru, di dalam kajiannya itu juga ditampilkan puisi berjudul “Melahirkan Kembali Indonesia Raya” (Sebuah Litani Buat Guru Bangsa). Parodi puitis yang disampaikan Surakhman pada acara peringatan Hari Guru ke-60 di Stadion Manahan Solo, 27 November 2005 itu, telah membuat wakil presiden Jusuf Kalla waktu itu marah. Puisi yang disebut sajak “kandang ayam” oleh St. Sularto (2010 : xiii-xvii), editor buku itu, terdiri atas lima bagian, yaitu (1) Di Kelahirannya, (2) Di Dunianya, (3)Di Hati Kecilnya, (4) Di Batu Nisannya, dan (5) Di Mata Bangsanya. Pada bagian pertama puisi tersebut, guru digambarkan tak berdaya. … Dengan hati tersumbat darah Guru bertanya dalam gumam :
22
Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk? … Hanya pada bagian akhir puisi ini memberikan harapan bagi guru walaupun dengan tuntutan kerja keras. Kalau saja kau mau memanusiakan manusia membudayakan bangsa mengindonesiakan nusantara satu generasi di tanganmu seagung sebuah Maha Karya… Selain komentar St. Sularto selaku editor, Surakhman (2010: 282) juga menyatakan bahwa profesi guru belum pernah tergarap secara maksimal, penanganan guru cenderung darurat dan kompromistis yang ditandai dengan adanya sekolah inpres, guru kilat, guru kontrak, dan guru bantu.. Lebih lanjut, Surakhman menulis, Guru telah lama dihadapi sebagai masalah masa lalu yang berbicara tentang keterbelakangan. Kini saatnya pemerintah dan masyarakat guru sendiri menunjukkan bahwa masalah guru bukan sekadar masalah masa lalu yang penuh dengan anomali, tetapi masalah kemajuan dan eksistensi bangsa, masalah masa depan yang penuh dengan potensi, yang berbicara tentang keberhasilan!
Selebihnya, Surakhman mengulas guru dari perspektif UUGD, yang masih dipertanyakan dan diperdebatkan. Pertanyaan seputar isu kontemporer berkaitan dengan sertifikasi guru hingga perdebatan tentang LPTK pengganti IKIP yang sampai kini masih berkutat kembali melihat ke Universitas bekas IKIP. Jadi, bukan saja perkara guru yang masih gamang, melainkan juga persoalan institusi yang masih gagap untuk menggarap potensi guru.
23
Studi lain tentang guru juga digarap oleh Gede Suardana, dkk. (2011). Kajian Suardana, dkk. menyebutkan, tiga masalah pokok berkaitan dengan perlawanan guru terhadap kekuasaan, yaitu bentuk perlawanan guru terhadap kekuasaan, faktor-faktor yang memengaruhi perlawanan guru terhadap kekuasaan, dan implikasi perlawanan guru terhadap kekuasaan. Suardana, dkk. (2011:113-114) menyebutkan ada 4 bentuk perlawanan guru terhadap kekuasaan, yaitu: (1) dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dan tidak sesuai dengan profesi; (2)
dengan grundelan; (3) dengan cara
intelektual; dan (4) dengan pola perlawanan guru terhadap kekuasaan negara. Selanjutnya, Suardana, dkk. (2011:116-119) menjelaskan pula faktor-faktor yang memengaruhi perlawanan guru terhadap kekuasaan negara. Paling tidak ada tiga faktor, yaitu: (1) tekanan kekuasaan politik terhadap guru; (2) kekuasaan ekonomi yang menyebabkan guru terjebak ke dalam gaya hidup berhutang; dan (3) kekuasaan kultural memengaruhi interaksi guru dengan kekuasaan negara. Implikasi perlawanan guru terhadap kekuasaan disebutkan Suardana,dkk. (2011: 120-121) ada dua, yaitu merkantilisme pendidikan dan perubahan makna guru. Dengan mengutip Pilliang (2004: 355), Suardana, dkk (2011: 120) menjelaskan merkantilisme sebagai bertautnya logika pendidikan dengan logika kapitalistik yang bermuara pada upaya menciptakan citra-citra (lembaga, individu, pengetahuan) yang sesuai dengan citra kapitalisme. Guru menjadi mesin operator pendidikan terlibat dalam bagian kapitalisme pendidikan yang bertujuan meraih keuntungan (profit). Perubahan makna guru dijelaskan Suardana, dkk. (2011: 121) sebagai guru yang mengalami
metamorfosis.
Guru
terjebak
antara
memenuhi
tuntutan
24
profesionalisme yang ideal dan tuntutan kebutuhan ekonomi. Akibatnya, terjadi degradasi intelektual di kalangan guru sekaligus mendorong terjadinya dehumanisasi pendidikan. Dalam pandangan Abduhzen (Kompas,2/7/2013), perubahan makna guru akibat logis dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dari Undang-Undang inilah guru profesional dikenal yang dipertentangkan dengan guru tradisional sebagai produk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi, Abduhzen menambahkan, “Masa delapan tahun telah dihabiskan hanya dalam kegaduhan administratif
portofolio dan uji
menguji. Serfikasi portofolio hanya berhasil meningkatkan ekonomi guru dan minat jadi guru, tetapi gagal mencapai tujuan utama profesionalisme, yakni meningkatkan kinerja guru untuk peningkatan mutu pendidikan nasional”. Sinamo (2010) di dalam buku berjudul 8 Etos Keguruan yang diterbitkan Institut Darma Mahardika Jakarta,
tidak hanya memfokuskan bahasan
tentang
aktivitas guru dalam karya sastra, tetapi banyak terinspirasi dari berbagai sejarah keguruan di Indonesia
yang diambil dari kisah para guru. Dari kajian Sinamo
ditemukan delapan etos keguruan.
Kedelapan etos itu adalah: keguruan adalah
rahmat, keguruan adalah amanah, keguruan adalah panggilan, keguruan adalah aktualisasi, keguruan adalah ibadah, keguruan adalah seni, keguruan adalah kehormatan, dan keguruan adalah pelayanan. Dari masing-masing etos itulah, Sinamo mencontohkan tokoh-tokoh guru ke dalam 8 etos. Ini penting untuk melihat sepak terjang guru dalam perjuangan melawan kolonial hingga masa kemerdekaan.
25
Kajian-kajian terdahalu tentang guru baru sebatas karya SIM, sama sekali belum menyentuh tokoh guru dari karya pengarang Bali, baik dalam SIM maupun SBM. Selama ini, penelitian tentang guru dari karya para pengarang Bali luput dari perhatian para kritikus sastra. Darma Putra (2010: 92) dalam bukunya Tonggak Baru Sastra Bali Modern, misalnya banyak menampilkan kajian tentang Sastra Bali Modern, yang walaupun tokohnya adalah guru
(Made Sarati) seperti dalam
Mlantjaran ka Sasak, tetapi pembicaraan guru, nihil dari analisisnya. Darma Putra lebih tertarik membahas hubungan antartokoh dalam konteks kasta. Begitu juga ketika membahas novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta Layu Sebelum Mekar) karya Djelantik Santha, Darma Putra (2010: 97) yang mengutip Windhu Sancaya (1985) juga lebih tertarik mengungkap prahara cinta dalam konteks perkawinan antarwangsa. Bahasan senada juga dilakukan Darma Putra terhadap karya-karya I Nyoman Manda, Wiyat S. Ardhi yang juga menulis novel berbahasa Bali, tetapi juga nihil dari pembicaraan tentang guru. Ketika Darma Putra (2008: 103) membahas interaksi Bali-Bule, dengan menampilkan Tiba-tiba Malam dan Dasar karya Putu Wijaya, walaupun di dalamnya ada tokoh guru, pembicaraan diarahkan pada representasi hubungan tokoh Bali dengan Bule, dalam konteks pariwisata. Selanjutnya, karya-karya
Aryantha
Soethama, seperti Lukisan Rinjin (cerpen) dan Susan (novelet) juga membincangkan hubungan Bali-Bule dalam hubungan pariwisata. Sementara itu, novel Senja di Candi Dasa-nya Aryantha Soetama luput dari bidikan Darma Putra, padahal novel ini juga mengisahkan intrik pariwisata dalam konteks hubungan timur-barat. Hal yang
26
menarik dari novel ini adalah tokoh guru yang berada di persimpangan jalan dan pada awalnya diberi judul Pilihanku Guru, sebagaimana diakui Aryantha Soethama.
2.2 Konsep Ada tiga konsep yang dijadikan landasan dalam disertasi ini, yaitu: (1) representasi; (2) citra guru; dan (3) pengarang Bali. Ketiga konsep itu akan diuraikan secara berturut-turut di bawah ini.
2.2.1 Representasi Representasi merupakan praktik-praktik pemaknaan yang tampaknya bisa mewakili atau menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia “nyata”. Barker (2005: 523), dalam bukunya berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik, menegaskan penggambaran objek diistilahkan sebagai “efek representasional” karena tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan objek secara langsung seperti kaca. Mengacu pada pemahaman Barker tersebut, representasi amat dekat dengan dunia virtual yang cenderung berpotensi membangun pencitraan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, representasi diartikan sebagai pemaknaan yang bisa mewakili objek dunia „nyata‟ sebagai dasar analisis untuk melihat gambaran sosok guru di tengah nilai-nilai yang berubah dan telah dituangkan oleh pengarang Bali dalam novel dan cerpennya dikaitkan dengan situasi yang dihadapi guru dalam konteks sosial budaya pada zamannya.
27
2.2.2 Citra Guru Istilah „citra‟
mencuat ketika Susila Bambang Yudoyono (SBY) terpilih
sebagai presiden RI kelima melalui pemilu presiden pertama secara langsung, pada 2004.
Bahkan para pemerhati politik Indonesia, sepakat mengatakan
SBY
menerapkan politik citra dalam pemerintahannya. SBY berhasil memanfaatkan terminologi Boudrillard yang mengintroduksi simulacrum untuk menyebut realitas yang dibawakan oleh media massa, terutama televisi. Prasetyo (2007 : 3) menyebut abad ke-21 adalah abad citra. Abad yang lahir karena revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak mengaburkan batas-batas natural dan artifisal. Bahkan, masyarakat pascamodern dewasa ini dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra, dengan citra visual sebagai panglima. Di sini, masyarakat disuguhi kemasan yang dinilai lebih bernilai guna daripada isi, impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada kontemplasi (Prasetya, 2007 : 4). Baudrillard yang dikutip Irwanto (2003 : 20) menyebutkan ada 4 fase suksesif dari citra. Fase-fase itu bertautan dengan tanda atau suksesi citra yang berdistansi dengan objek representasi melalui tahapan signifikansi dan nilai : it is the reflection of basic reality, It mask and preverts a basic reality, It masks the absence of basic reality, dan It bears no relation to any reality whatever; It is its own pure simulacrum. Keempat fase itu pada akhirnya disimpulkan bahwa realitas tidak lagi tampak, bahkan dikatakan tidak ada realitas di luar tanda atau di luar simulasi sesuai dengan
28
kajian tanda postmodern. Dengan pemahaman itu, citra adalah tanda itu sendiri, yang (boleh jadi) berdistansi dengan realitas. KBBI (2002 : 216), menjelaskan citra dari sudut sastra sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat dan merupakan unsur
dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Pengertian ini
selanjutnya disandingkan dengan guru sebagai sebuah profesi. Kadiman dalam buku 8 Etos Keguruan karya Sinamo ( 2010 : iv), menyebutkan guru adalah kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu gabungan kata „gu‟ dan „ru‟ yang berarti kegelapan (darkness) dan terang (light). Dari sini lalu ditafsirkan guru sebagai penerang kegelapan. Hal ini juga tersurat dalam syair lagu Hymne Guru karya Sartono, “engkau s‟bagai pelita dalam kegelapan….” Oleh karena itu, cukuplah beralasan jika Sularto (2008 : x) menyebutkan profesi guru harus ditempatkan sebagai tiang penjuru segala kegiatan, murid menjadi fokus praksis pendidikan yang membebaskan dalam arti memperjuangkan kemampuan eksploratif anak didik, pembongkaran total atas praksis pendidikan selama ini. Lebih lanjut Kadiman dalam Sinamo (2010 : v) menjelaskan istilah guru tak pernah lekang dari dua unsur, yaitu substansi dan pedagogi. Substansi adalah materi yang oleh sang guru ingin diterangkan, dijelaskan untuk dipahami oleh para murid atau peserta ajar. Pedagogi adalah seni atau ilmu menjadi guru. Dengan memperhatikan penjelasan tersebut, sebagai konsep dalam penelitian ini citra guru mengacu pada kesan mental dari seorang guru dalam perannya di dunia pendidikan formal sekolah, yang banyak dibidik oleh media massa untuk
29
melihat sosok seorang guru. Oleh karena itu, sosok guru yang ditelaah adalah pengajar di sekolah dengan tugas-tugasnya yang kompleks sesuai dengan empat syarat kompetensi yang seharusnya dimiliki : kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian (UUGD, 2005).
2.2.3 Pengarang Bali Pengarang Bali dalam penelitian ini
mengacu pada istilah sastrawan Bali.
Tidak mudah untuk mendefinisikan istilah sastrawan Bali, sebagaimana dijelaskan Darma Putra (2008 : 99). Menurutnya, istilah “sastrawan Bali” sangat problematik, tak mungkin didefinisikan tanpa cacat. Namun demikian, ia sampai pada dua batasan tentang sastrawan Bali : (1) mereka yang memilih Bali sebagai rumah, terlepas dari etniknya; dan (2) mereka yang lahir sebagai etnik Bali, di mana pun berada. Dalam penelitian ini pengarang Bali adalah pengarang prosa naratif fiksional tentang pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (karakter) di samping setting (latar) yang spesifik, yang ditulis oleh mereka yang memilih Bali sebagai rumah, terlepas dari etniknya dan mereka yang lahir sebagai etnik Bali, di mana pun berada yang telah melahirkan cerpen dan novel.
30
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan tiga teori utama, yaitu sosiologi sastra, representasi, dan interteks.
Teori lain seperti semiotik, struktural, hegemoni,
pascakolonial digunakan secara eklektik sesuai dengan kebutuhan pada analisis.
2.3.1
Teori Sosiologi Sastra Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali oleh Harsya W.
Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973 (Ratna, 2003:8). Dengan mencermati kombinasi dua disiplin ilmu (Sosiologi dan Sastra), penelitian sosiologi sastra mensyaratkan kehadiran ilmu bantu, seperti sosiologi,antropologi, sejarah, psikologi, agama, dan masalah-masalah kebudayaan pada umumnya. Istilah sosiologi sastra menurut Damono (1979: 2) sama dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural. Ketiga istilah ini diramu dari tiga komponen antara sastrawan,sastra, dan masyarakat (Damono, 1979 : 1). Sastrawan adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
31
Sumardjo (1982: 11) menjelaskan sosiologi sastra mempelajari masyarakat sastra Indonesia. Di dalamnya terkait dengan interaksi dan interrelasi antara manusia, syarat-syarat terciptanya hubungan dan akibat terciptanya hubungan. Teori sosiologi sastra dipilih dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa sastra adalah produk masyarakat (Damono, 1979:1; Sumardjo, 1982:12). Lebih lanjut, Sumardjo menyatakan sebagai produk masyarakat, sastra berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosionil atau rasionil dari masyarakatnya. Lebih tegas lagi, dikatakan sebuah karya baru menjadi “sastra” setelah “dimasyarakatkan” melalui penerbit, pembeli, toko buku, dan kritikus. Sumardjo (1982: 12-13) menyebutkan sosiologi sastra Indonesia harus mengupas sekurang-kurangnya tiga persoalan pokok, yaitu: (1) bagaimana interaksi dan interelasi antara unsur-unsur masyarakat sastra Indonesia; (2) bagaimana sifat hubungan sebab akibat antara masyarakat sastra dengan masyarakat luas sezamannya; dan (3) bagaimana pengaruh sastra itu sendiri bagi bangsa, masyarakat luas secara keseluruhan. Yunus (1986:3) sepakat dengan pendapat yang dikembangkan oleh J. Duvignaud (1972) yang menyatakan analisis karya seni termasuk sastra dihubungkan dengan perkembangan sosial. Yunus juga menegaskan sosiologi sastra mencakup sejumlah aspek, antara lain : (1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sosiobudaya; (2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; (3) penelitian
32
tentang penerimaan masyarakat terhadap karya seorang penulis tertentu dan apa sebabnya; dan (4) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra. Sastra sebagai dokumen sosiobudaya dapat dicermati dalam karya I Wayan Bhadra (Gde Srawana) melalui novel Mlantjaran ka Sasak (1939). Dalam sejarah Indonesia, pada dekade itu terjadi polemik kebudayaan, tarik menarik antara Barat dan Timur. Pada dekade itu pula, sejumlah intelektual Bali mulai belajar sampai ke Jawa. Di samping itu, Bali juga mulai diperkenalkan sebagai daerah pariwisata. Sebelumnya, pada dekade 20-an, di Bali, terjadi polemik antarwangsa antara golongan triwangsa (menak) dan golongan sudra (jaba). Bersamaan dengan itu, judi sabungan ayam juga merajalela. Kondisi sosial masyarakat kala itu, dapat diduga menjadi sumber inspirasi bagi Gde Srawana dalam melahirkan novel Mlantjaran ka Sasak. Dugaan itu tercermin dari tokoh I Made Sarati yang dikisahkan sebagai anak dari seorang penjudi, tetapi bisa bersekolah sampai ke Jawa berkat budi baik seorang punggawa. Semua elemen tersebut merupakan potret sosial budaya masyarakat Bali kala itu, yang digambarkan oleh I Wayan Bhadra dengan sangat memikat. Penghasilan dan pemasaran karya kesejahteraan pengarang
dan
luasnya
sastra
daya
berkaitan dengan tingkat
jangkau penerimaan masyarakat
terhadap karya sastra. Makin tinggi respon masyarakat terhadap sebuah karya sastra, pemasarannya makin tinggi. Makin tinggi pemasaran, penghasilan pengarang makin tinggi pula. Itulah sebabnya, novel Laskar Pelangi karya Andre Hirata mengalami cetak ulang berkali-kali dalam edisi Indonesia. Setelah difilmkan, novel ini
33
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Hal ini berdampak pada penghasilan pengarang sebagai pemegang hak atas kekayaan intelektual. Penerimaan masyarakat terhadap karya sastra dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kemanusiaan universal umumnya diterima sebagai cermin dalam kehidupan sehingga karya yang selalu diapresiasi tanpa putus oleh penikmat. Ramayana dan Mahabharata adalah contoh nyata dalam karya sastra klasik. Dalam khasanah sastra Indonesia modern, novel Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Laskar Pelangi adalah contoh lain. Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra dapat dicermati dari berbagai genre sastra yang lahir, baik puisi, cerpen, novel, maupun drama. Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman antara pengarang dan penguasa dalam menyikapi karya sastra sebagai karya fiksi dan fakta berita. Ketegangan antara sastrawan dengan penguasa
sering berakibat pembreidelan. Sejarah pembreidelan dalam sastra
Indonesia tidak hanya menyangkut pelarangan dan pembakaran karya tetapi juga menyangkut penghilangan nyawa pengarang, seperti yang dialami oleh Wiji Thukul pada zaman Orde Baru, yang sampai kini masih misterius keberadaannya. Faruk (2004: 48) menilai peristiwa itu sebagai dampak dari konvensi pembacaan dan penciptaan sastra di Indonesia yang masih berpegang pada anggapan bahwa sastra merupakan gambaran mengenai kenyataan. Lukman Ali (2000:570-574) mencatat 10 nama pengarang buku pelajaran sekolah dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan Republik Indonesia Nomor 138
34
i/1965. Di samping buku pelajaran, terdapat 60 judul buku pengarang LEKRA yang dibekukan dan 87 pengarang anggota LEKRA dan artikel-artikel dalam madjalah dan surat kabar. Yunus (1986:4) dan Teeuw (2003:194) menegaskan karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat tertentu terlepas dari unsur-unsur kesatuan karya. Dengan kalimat berbeda, juga disampaikan Kusuma (1990:3) yang mengatakan bahwa karya sastra bukan lahir dari alam kosong dan tidak dilepaskan dari aspek sosial budaya masyarakat yang melatarbelakanginya. Pendekatan sosiologi sastra berdasarkan cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Implikasinya adalah: (1) analisis karya sastra langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya; (2) analisis dilihat sebagai karya sastra yang membayangkan perkembangan budaya ; dan (3) analisis karya sastra mengambil motif atau tema yang berbeda secara gradual. Tema lebih abstrak sedangkan motif lebih konkret karena dikonkretkan oleh pelaku perbuatan dan penerima perbuatan. Selanjutnya Yunus (2006: 10) menegaskan penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra ini menyentuh empat aspek: (1) penulis dan latar belakang sosial budayanya; (2) hubungan antara penulis dan pembaca ; (3) pemasaran hasil sastra; dan (4) pasaran hasil sastra. Latar belakang sosial budaya penulis mencakup
latar belakang sebelum menjadi penulis, kelas sosial (status sosial)
penulis, seks dan umur penulis, pendidikan dan pekerjaan penulis.
35
Hubungan antara penulis dan pembaca memperlihatkan dua kemungkinan menurut Yunus (2006: 11). Pertama, ada „pembaca‟ tetapi karena seseorang telah digaji menulis bagi kepentingan seseorang atau sekelompok orang, meskipun mereka tidak membaca atau mendengarnya. Berlangsung proses patronage seperti penulis istana yang dibiayai oleh raja zaman dulu. Kedua, yang hanya calon pembaca. Hasil yang diperoleh oleh seorang penulis dari tulisannya ditentukan oleh pemasaran. Di sini patronage digantikan oleh penerbit dengan tujuan mencari keuntungan. Berikutnya, Yunus (2006: 12) menegaskan pemasaran hasil sastra menyangkut cara penyampaiannya, dalam bentuk buku atau dalam penerbitan berkala. Selain itu juga menyangkut cara pemasaran yang diserahkan seluruhnya kepada selera pembaca atau kebutuhan institusi untuk keperluan tertentu. Sementara, pasaran hasil sastra memungkinkan seorang penulis dapat hidup dari hasil penjualan karyanya. Dalam hal ini perlu diperhatikan calon pembaca berdasarkan umur, seks, pendidikan, dan kelas sosial. Termasuk dalam ranah sosiologi sastra adalah penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap seorang penulis tertentu. Dengan mengutip Lowenthal, Yunus (1986: 17) menyebutkan penerimaan karya sastra tertentu pada masa dan daerah kebudayaan menggunakan
tertentu
berhubungan
terminologi
dengan
Lowenthal,
iklim
Yunus
sosiobudayanya.
(1986:
18-19)
Dengan
menunjukkan
penerimaan masyarakat terhadap karya-karya penulis tertentu secara aktif dapat bersifat positip seperti penerimaan karya-karya Dostoevski di Jerman atau negatif seperti terlihat dalam ulasan Belenggu di Indonesia (1940). Penerimaan secara pasif
36
dengan hanya melihat karya yang populer pada masa tertentu di daerah dan golongan tertentu. Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra juga merupakan objek kajian sosiologi sastra. Dengan menyitir Taine, Yunus (1986:19) bertolak dari anggapan bahwa sastra dapat dikesankan dari dasar material sebuah masyarakat , yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Ras dihubungkan dengan sifat kejiwaan yang turun-temurun, perasaan, bentuk tubuh dan sebagainya. Waktu dihubungkan dengan jiwa pada suatu zaman, sedangkan lingkungan dibatasi oleh keadaan cuaca dan geografi. Ratna (2004: 331) menyebutkan sosiologi sastra sama dengan sosiokritik. Sosiologi sastra sebagai suatu disiplin ilmu baru menurut Ratna (2004: 332) ditandai oleh tiga indicator, yaitu : (a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan perlu dipecahkan; (b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya; dan (c) adanya pengakuan secara institusional. Pada bagian lain, Ratna (2004:335336) menyebutkan di antara genre utama karya sastra, yaitu: puisi, prosa, drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial.
Alasannya: (a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang
paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga lebih luas; dan (b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, secara ontologis, teori sosiologi sastra memandang karya sastra tidak lahir dari kevakuman sosial. Relasi karya sastra,
37
pengarang, dan masyarakat
yang dilukiskan merefleksikan keadaan masyarakat
sesungguhnya. Demikian juga halnya, karya-karya pengarang Bali dengan tokoh guru, baik yang ditulis dalam SBM maupun SIM merepresentasikan kehidupan para aktor guru dalam konteks zamannya. Secara epistemologi, cara kerja teori sosiologi sastra adalah dengan metode interpretasi. Metode ini digunakan untuk melihat citra guru, faktor penyebab perubahan citra guru, dan menemukan makna representasi citra guru dalam karya pengarang Bali. Dengan kalimat lain, metode interpretasi digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Secara aksiologi, teori sosiologi sastra bermanfaat praktis dalam memahami hubungan sastra dengan keadaan masyarakat yang digambarkan melalui tokoh guru. Dalam konteks ini, karya sastra bukanlah fiksi semata melainkan juga realitas yang fiksionalisasikan. Realitas yang disamarkan untuk menggambarkan citra guru.
2.3.2 Teori Representasi Barker (2005: 10) menjelaskan representasi sebagai konstruksi dan penyajian dunia secara sosial dalam rangka memproduksi pengetahuan. Hal ini diistilahkan sebagai “efek representasional” karena tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan objek secara langsung seperti kaca. Mengacu pada pemahaman Barker tersebut, representasi amat dekat dengan dunia virtual yang cenderung berpotensi membangun pencitraan. Teori representasi dipakai oleh Eriyanto dalam mengkaji berita. Eriyanto
38
(2001: 113) menjelaskan istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Pemberitaan tidak hanya mengacu pada berita dalam pengertian awam, tetapi juga mengacu pada makna yang lebih luas, termasuk karya sastra, khususnya novel dan cerpen yang diteliti. Dengan demikian, penceritaan dalam karya sastra juga dapat dianalisis melalui teori representasi sebagaimana diberlakukan dalam pemberitaan melalui karya jurnalistik. Hal ini menguatkan dalil bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif (fiksi, cerita) mengandung fakta (berita) yang tidak terpatahkan. Dengan pemahaman itu, baik dalam analisis berita maupun analisis sastra, representasi menjadi penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Penggambaran dilakukan apa adanya, secara objektif. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2001: 113-114). Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang
paling tidak ada tiga proses yang dihadapi wartawan dalam
pemberitaan. Ketiga proses itu bisa saja diadopsi pengarang dalam melahirkan karya. Pada level pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis (Eriyanto, 2001: 114).
39
Pada bagian lain,
Eriyanto (2001: 116-130) menunjukkan
representasi
dikontraskan dengan misrepresentasi. Kontras di antara keduanya itu disebutkan sebagai peristiwa kebahasaan. “Realitas “ yang sama dapat menciptakan “realitas” yang berbeda kalau didefinisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Di sinilah kepiawaian
pengarang menjadikan bahasa sebagai alat (senjata) yang dapat
menghidupkan gagasannya untuk menembak pembaca. Dalam konteks ini, ada dua strategi menampilkan realitas dalam pemberitaan yang bisa diadopsi pengarang dalam menampilkan karyanya. Pertama, dengan memilih fakta tertentu dan membuang fakta yang lain, realitas hadir dengan cara “bentukan” tertentu kepada khalayak. Barker (2005:274) menyebutkan representasi mengandung soal pelibatan (inklusi) dan penyingkiran (eksklusi), dan keduanya selalu terkandung dalam persoalan kuasa. Kedua, sebagai akibat lebih lanjut, terjadi proses legitimasi dan delegitimasi kelompok-kelompok yang terlibat dalam pertarungan wacana tersebut (Eriyanto, 2001: 118). Legitimasi berkaitan dengan kewenangan seseorang berdasarkan seperangkat aturan/surat keputusan. Berbeda dengan delegitimasi yang menekankan bahwa kelompok sendiri (kami) yang benar, sedangkan kelompok lain tidak benar, tidak layak, dan tidak absah. Dalam representasi mungkin terjadi misrepresentasi. Eriyanto (2001: 121130) menggambarkan ada empat hal misrepresentasi yang mungkin terjadi, yaitu: ekskomunikasi
(excommunication),
eksklusi
(exclusion),
marjinalisasi,
dan
delegitimasi. Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu
40
kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Ada sikap yang diwakili oleh wacana yang mengatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk (Eriyanto, 2001: 121-122). Marjinalisasi adalah misrepresentasi yang terjadi karena penggambaran buruk kepada pihak/kelompok lain. Praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini antara lain melalui penghalusan makna (eufemisme), pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme), labelisasi, dan stereotipe.
Strategi eufemisme
dipilih untuk mengabstraksikan sebuah fakta negatif seolah berubah menjadi positif karena diperhalus pengungkapannya. Ini terkait dengan fenomena budaya terutama untuk menjaga norma kesopanan (Eriyanto, 2001: 124-125). Disfemisme adalah mengungkapkan realitas dengan cara kasar biasanya dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah. Berbeda dengan eufemisme dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok dominan (Eriyanto, 2001: 126). Selanjutnya, labelisasi adalah pemakaian kata-kata yang opensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Sebutan ”penggarap liar” misalnya, mengasosiasikan bahwa petani tersebut liar dan melanggar hukum yang berimplikasi untuk melakukan tindakan tertentu (Eriyanto, 2001: 126). Sebutan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dan “Oemar Bakri” bagi guru adalah bentuk labelisasi yang menyiratkan hidup dalam kesederhanaan.
41
Steriotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatip atau positip (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan.
Steriotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu
dengan penuh prasangka, konotasi, yang negatif dan bersifat subjektif (Eriyanto, 2001: 127). Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Cara yang ditempuh untuk menyatakan ketidakabsahan itu antara lain melalui otoritas dan suatu pernyataan apakah suatu pernyataan didukung dengan alasan formal, yuridis, atau kaidah ilmiah (Eriyanto, 2001: 128). Berdasarkan uraian di atas, secara ontologis teori representasi memandang karya sastra adalah cara pengarang menampilkan objek melalui tokoh-tokohnya. Penampilan tokoh-tokoh guru dalam karya pengarang Bali adalah bentuk abstraksi yang dapat bersifat misrepresentasi atau sebaliknya. Secara epistemologi, teori representasi memandang teks sebagai sarana sekaligus
media
melalui
mana
satu
kelompok
mengunggulkan
diri
dan
memarjinalkan kelompok lain (Eryanto, 2001: 113). Dalam karya pengarang Bali misalnya,
tokoh-tokoh guru di satu sisi diagungkan dan dipuja, di sisi lain
dilemahkan dan dilecehkan. Hal itu terjadi dalam satu karya baik dalam SIM maupun dalam SBM. Dari segi aksiologinya, teori representasi berguna secara praktis untuk melihat cara para pengarang menampilkan objek melalui tokoh-tokohnya. Apakah pengarang menampilkan objek berdasarkan realitas atau objek itu ditransmisikan ke dalam kode
42
representasional, ataukah diabstraksikan secara ideologis. Teori
ini
digunakan
untuk menjawab permasahan pertama yang dirumuskan dalam bab I, berkaitan dengan citra guru dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali.
2.3.3 Teori Interteks Dengan mengkaji sejumlah novel dan cerpen dari sejumlah pengarang Bali yang mengisahkan tokoh guru dimungkinkan untuk menelaahnya berdasarkan teori interteks. Interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Kutha Ratna (2005: 217)
menyebutkan terdapat tiga varian dalam
interteks, yaitu: intratekstual, transtekstual, dan paratekstual. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam karya penulis tunggal. Transtekstual merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, sedangkan paratekstual melibatkan hubungan antara teks sastra dan teks sosial. Secara etimologis, teks (textus,bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Cavallaro (2004:110) mengaitkan teks dengan perajutan (dari bahasa interteks, yaitu
Latin texere ‟merajut‟).
melalui proses oposisi,
Produksi makna terjadi dalam
permutasi, dan transformasi (Ratna,
2004:172). Makna yang terbangun melalui proses oposisi dalam interteks tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi (Kutha Ratna,2004: 173). Pemaknaan demikian menurut Barthes (1977: 159) melahirkan pluralisme makna. Dalam kaitannya dengan tokoh
43
guru dalam karya pengarang Bali, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali, intertekstual dapat mencerminkan pluralisme budaya Bali. Makna yang terbangun melalui proses permutasi
dimungkinkan oleh
pembaca karena adanya asosiasi bebas terhadap pembacaan terdahulu yang memungkinkan untuk memberikan kekayaan bagi teks yang sedang dibaca (Kutha Ratna, 2004: 175-176). Proses permutasi juga dimungkinkan oleh prinsip-prinsip dialogisme yang dikembangkan Bakthin melalui Todorov (1983: xiv).
Torodov
menegaskan, “baik secara sengaja maupun tidak, semua wacana berada di dalam dialog dengan wacana yang mendahuluinya tentang masalah yang sama, sedemikian pula dengan wacana-wacana yang akan datang yang reaksinya dilihat terlebih dahulu dan yang diantisipasi”. Menurut Bhaktin, wacana bersifat dialogis, seorang penulis teks pada dasarnya tidak berbicara dengan dirinya-sendiri., tetapi berhadapan dengan suara teks lain. Contohnya, puisi sebagai suatu karya secara penuh menyuarakan diri-sendiri, suara diri-sendirilah yang dipentingkan. Sebaliknya,
dalam novel, penulis
berhadapan dengan suara-suara lain. Menarik untuk diperhatikan bagaimana penulis menempatkan dirinya dan suara-suara lain tersebut dalam teks (Eriyanto,2001: 306). Kristeva dalam Kutha Ratna (2004: 181) menunjukkan makna intertekstual yang terbangun melalui proses transpormasi dari satu genre ke dalam genre yang lain, baik sebagai negasi, oposisi, sinis, lelucon, dan parodi, maupun sebagai apresiasi, afirmasi, nostalgia, dan jenis pengakuan estetis yang lain.
Secara keseluruhan
berfungsi untuk menemukan makna-makna yang baru dan orisinal. Novel dengan
44
penokohan guru dalam karya pengarang Bali merupakan hasil transpormasi dari pengarang setelah lahirnya cerpen, puisi, esai tentang guru. Atau, transpormasi itu terjadi sebaliknya, tidak hanya terbatas pada karya pengarang Bali tetapi juga karya pengarang lain, baik pengarang Indonesia maupun pengarang dunia. Eriyanto (2001: 305) menjelaskan intertekstual sebagai sebuah istilah yang merujuk teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi, dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi yang lain. Dalam kerangka teori interteks menurut Kristeva, setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks lain. Tidak ada satu teks pun yang dapat dibaca secara benar-benar mandiri (Ratna, 2005: 218). Hal ini ditegaskan pula oleh Eriyanto (2001: 306) dengan pernyataan bahwa semua ungkapan baik tertulis maupun lisan dari semua jenis teks seperti laporan ilmiah, novel, berita dibedakan di antaranya oleh perubahan dari pembicara (penulis), dan ditujukan dengan pembicara atau penulis sebelumnya. Semua pernyataan atau ungkapan didasarkan oleh ungkapan yang lain, baik eksplisit maupun implisit. Pembacaan wacana secara interteks memungkinkan terjadinya teks plural dan dengan demikian merupakan indikator utama pluralisme budaya (Ratna, 2004: 173). Dengan menyitir Barthes (1977: 159), Ratna menunjukkan pluralisme makna dalam interteks bukan merupakan akibat ambiguitas, melainkan sebagai hakikat tenunannya. Oleh karena itu, Hutcheon,(1992:vii) menegaskan tidak ada teks tanpa interteks. Lebih lanjut Ratna (2004: 173) menegaskan pemahaman secara intertekstual bertujuan untuk menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam
45
sebuah teks. Barthes misalnya, menggali kualitas teks dengan cara menganggap karya sebagai anonimitas, yaitu yatim piatu, sedangkan Kristeva justru mengembalikannya ke dalam semestaan budaya, meskipun tetap sebagai kebudayaan yang anonim. Oleh karena itu, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, dan (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas, secara ontologis, teori interteks memandang karya sastra sebagai teks plural yang berpotensi memberikan pemahaman akan arti pluralisme budaya. Pemahaman demikian sangat berkaitan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam konteks ke-Indonesia-an. Sesuai dengan teori initerteks, objek penelitian tentang guru dalam karya pengarang Bali bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Tokoh guru yang digambarkan pada novel Mlantjaran ka Sasak dapat dilihat benang merahnya dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik atau Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Secara epistimologi, teori interteks bekerja dengan menggunakan metode jaringan untuk memahami kualitas hubungan antarteks yang dikaji. Untuk menentukan kualitas hubungan antarteks yang dikaji dapat memanfaatkan hubungan perbandingan baik secara sinkronis maupun diakronis terhadap objek yang diteliti. Tokoh guru pada dekade 1930-an dalam Mlantjaran ka Sasak dapat dibandingkan secara diakronis dengan tokoh guru pada Tiba-Tiba Malam atau Senja di Candi Dasa. Secara sinkronis, tokoh guru dalam Bukit Buung Bukit Mentik dapat dikomparasikan
46
dengan tokoh guru dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah. Dari segi aksiologi, teori interteks berguna untuk memahami keberadaan teks baik yang sezaman maupun yang tidak sezaman. Terkait dengan hal itu, penelitian tentang tokoh guru dalam karya pengarang Bali dalam dekade yang berbeda haruslah dipahami dalam kerangka hubungan antarteks. Hubungan antarteks itu tidak saja berkaitan dengan genre yang sama, tetapi juga dengan genre yang berbeda. Dalam hal ini, cerpen dan novel pengarang Bali, sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman reformasi. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teknik pembacaan pertama berdasarkan kesamaan penokohan guru dalam karya pengarang Bali. Alasanya, teknik pembacaan dengan cara pertama memungkinkan pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara
pasti sebab
merupakan struktur dari struktur. Setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Dengan kalimat lain, setiap wacana merayakan kelahirannya (Ratna, 2004: 175).
47
2.4 Model Penelitian Realitas
Teori Sosiologi Sastra Teori Representasi Teori Interteks
Representasi Citra Guru
Pengarang
Novel dan Cerpen Pengarang Bali tentang Guru
Faktor Penyebab Perubahan representasi
Seni Sastra
Konsep : Representasi Citra Guru Pengarang Bali
Makna dan Perjuangan Tokoh guru
Simpulan Temuan
Pengarang dalam melahirkan karya sastra berawal dari kenyataan sosial budaya di sekelilingnya (realitas). Realitas itu diberikan sentuhan imajinasi sehingga menjadi dunia rekaan (fiksional) dalam berbagai berbentuk karya seni sastra baik puisi, cerpen, novel, maupun drama. Dunia rekaan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah cerpen dan novel pengarang Bali, seluruhnya berjumlah tiga belas karya sastra. Ketiga belas karya sastra itu terbagi atas dua genre, yaitu enam novel dan tujuh cerpen dalam dua bahasa yang berbeda (bahasa Bali dan bahasa Indonesia). Keenam novel itu adalah Tiba-Tiba Malam dan Senja di Candi Dasa (bahasa Indonesia), Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang,
48
Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, dan Bukit Buung Bukit Mentik (bahasa Bali). Tujuh cerpen dalam penelitian ini
terdiri atas lima cerpen dalam bahasa
Indonesia, yaitu “Guru”, “Guru (1)”, “Guru (2)”, “SPP”, dan “Ibu Guru Anakku” serta dua cerpen dalam bahasa Bali, yaitu “Guru Made” dan “Gamia Gamana.” Ada tiga konsep yang digunakan untuk mendekati objek penelitian, yaitu representasi, citra guru, dan pengarang Bali. Tiga persoalan yang muncul dari penelitian ini dibedah dengan tiga teori pokok, yaitu teori sosiologi sastra, teori representasi, dan teori interteks. Ketiga persoalan itu adalah representasi citra guru, faktor penyebab perubahan citra guru, makna dan perjuangan tokoh guru. Jawaban atas tiga persoalan tentang guru itu ditariklah simpulan dan temuan yang diakhiri dengan saran.
49