9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dari penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan dalam tesis ini, ditemukan beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang kehidupan sosialkeagamaan di daerah-daerah sekitar Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, dan ritualritual yang mengangkat kearifan lokal dibeberapa daerah di Indonesia, beserta permasalahan-permasalahan yang terjadi. Beberapa penelitian tersebut akan digambarkan berikut ini untuk mengetahui posisi penelitian yang akan penulis lakukan ini. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Jondra (2004) yang berjudul “Konflik Komunal : Konflik Internal Etnis Bali di Kecamatan Banjar Buleleng”. Dalam tesis ini I Wayan Jondra mengungkapkan tentang budaya Bali yang memiliki konsep ideal tentang keharmonisan, yang telah dikenal dengan konsep tri hita karana, yaitu konsep harmoni antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Ida Sanghyang Widdhi, ada pula konsep kekerabatan yang disebut dengan selunglung sebayantaka, paras paros sarpanaya, rwa bhineda dalam bingkai desa kala patra, yaitu mempunyai nilai penghargaan terhadap suatu perbedaan, sebagai dampak perubahan keadaan ruang dan waktu. Sehingga masyarakat Bali sadar betul dengan adanya potensi konflik, yang perlu dikelola dengan baik dalam bingkai desa adat. Namun ada kalanya juga masyarakat yang dimotori oleh tokohnya tidak mampu mengelola konflik, sehingga terjadilah
10 konflik internal pada masyarakat itu sendiri yang berkepanjangan, seperti yang terjadi di desa Banjar. Penelitian ini menarik untuk diambil beberapa landasan teori-teorinya yang hampir mirip dengan kasus pada daerah yang sedang diteliti sebagai kajian dari tesis ini. Penelitian yang dilakukan oleh Harsana (2005) yang berjudul “Kebangkitan umat Hindu Di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur: Suatu Kajian Perspektif Budaya”. Dalam penelitiannya diuraikan tentang adanya interaksi sosial antara umat Hindu yang berasal dari Jawa khususnya di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang dengan umat Hindu yang berasal dari Bali. Dahulu umat Hindu di Desa Senduro memeluk suatu aliran kepercayaan Hindu Jawa Sanyoto yang merupakan aliran kepercayaan Hindu Majapahit. Aliran ini berkembang hingga meletusnya G 30/S/PKI disusul dengan peraturan pemerintah ORBA yang menyarankan setiap warga di Lumajang memeluk agama yang ada di sekitar daerah Lumajang ketika itu. Aliran ini mendapat tekanan yang keras dari kalangan nonHindu dan birokrasi pemerintah. Tetapi mereka tetap menjalankan praktek ajaran Agama Hindu. Dari penelitian yang di lakukan oleh Harsana ini penulis merasa tertarik untuk meniru model penelitiannya yaitu dengan penelitian langsung di lapangan untuk menemukan kasus yang muncul dalam usaha mempertahankan kearifan lokal suatu masyarakat di daerah tertentu. Penelitian berupa tesis yang pernah juga dilakukan oleh I Made Purna (2005) yang berjudul “Kearifan Lokal Dalam Upacara Pesta Ponan Pada Masyarakat Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa: Kajian, Fungsi, dan Makna”.
11 Dalam penelitian ini diuraikan tentang usaha melestarikan kearifan lokal yang telah ditemukan pada masyarakat Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa. Media yang dipergunakan untuk melestarikan kearifan lokal adalah Upacara Pesta Ponan. Upacara Pesta Ponan sendiri pada awalnya
merupakan
upacara mendoakan keselamatan tanaman. Namun setelah ditelusuri mengandung kearifan lokal seperti media integrasi antar warga dengan warga, warga dengan lingkungan alam, warga dengan roh leluhur dan maha pencipta. Upacara ini telah ditata oleh mitos Haji Batu, merupakan leluhur dari ketiga dusun yang ada di Desa Poto. Haji Batu di makamkan di Desa Ponan, sebagai tempat penyelenggaraan upacara yang diselenggarakan setiap tahun pada hari minggu antara bulan Januari sampai dengan Maret. Dalam perjalanan sejarahnya, Upacara Pesta Ponan pernah disangsikan keberadaan dan kesakralannya oleh Pemerintah Jepang dan beberapa anggota masyarakat Desa Poto. Sehingga pernah selama 3 tahun berturut-turut tidak ada penyelanggaraan upacara, karena semua tenaga laki-laki dimanfaatkan untuk pembuatan lapangan udara di Kota Sumbawa. Akibat dari kurang percaya itu terjadi kekeringan, gagal panen dan konflik antarwarga. Penulis tertarik dengan penelitian Made Purna karena sama-sama meneliti suatu
perayaan
upacara,
dengan
mengadakan
perayaan
upacara
untuk
mempertahankan kearifan lokal sehingga tradisi yang sudah mengakar dalam hidup masyarakat tetap bertahan dengan baik dan bisa berjalan beriringan dengan paham baru yang mengikutinya. Penelitian berupa tesis yang pernah dilakukan oleh Sihar (2007) yang berjudul “Kepercayaan Boda Pada Masyarakat Ganjar Kabupaten Lombok Barat”.
12 Dalam penelitiannya diuraikan tentang Kepercayaan yang dianut masyarakat Kecamatan Ganjar Kabupaten Lombok Barat. Dalam konteks di atas, tesis Sihar tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Relevansi dari tesis tersebut khususnya tentang tradisi yang berkembang berdampingan dengan agama Buddha dewasa ini yang bersama-sama dilaksanakan oleh para penganut Buddha. Namun baik teori dan objek kajian yang digunakan dalam tesis itu berbeda dengan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Selain keempat penelitian di atas, ditemukan juga buku yang berjudul Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa yang dikarang oleh Sujamto (1997). Buku ini banyak membahas masalah religiusitas atau pandangan keagamaan orang Jawa dengan berbagai perbedaan-perbedan pendapat, sesuai dengan daerah penelitian tesis yaitu di Jawa Tengah. Kontribusi buku ini tehadap penelitian tesis ini adalah adanya masukan mengenai semangat yang ada dalam religiusitas Jawa bukanlah semangat sinkretisme yang membentuk suatu kepercayaan baru dengan mengambil berbagai sistem kepercayaan ataupun agama yang ada. Sehingga mencegah munculnya konflik internal maupun eksternal, seperti yang terjadi pada komunitas Buddhis Vihara Tri Ratna Gunung Srandil dengan Kepercayaan Jawa dan komunitas Muslim Jawa di Cilacap dalam mengadakan upacara Suro secara bersama-sama. Dari beberapa penelitian yang telah digambarkan di atas, tampak bahwa penelitian yang akan dilakukan ini berbeda, baik dari objek maupun tujuan yang akan dicapai. Perbedaannya terletak pada daerah atau lokasi tempat penelitian, landasanlandasan teorinya, juga berbeda latar belakang permasalahannya. Penelitianpenelitian di atas banyak yang membahas mengenai kearifan lokal yang merupakan
13 ciri dari penelitian Kajian Budaya tetapi belum membongkar secara mendalam apakah memang sudah pas penelitian tersebut merupakan usaha mempertahankan kearifan lokal atau hanya pelurusan dari tradisi budaya yang sudah ada dan mengakar dengan kuat dalam masyarakat, kemudian di angkat kembali oleh pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan di dalamnya, seperti yang banyak dipengaruhi oleh pemikir kaum postruktrualisme terutama Derrida dengan teori dekonstruksinya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa metode dekonstruksi dalam penelitian ini adalah sesuatu yang baru.
2.2 Konsep Secara umum dapat dikatakan bahwa konsep mengungkapkan pentingnya suatu fenomena. Agar fenomena yang dimaksud jelas bagi peneliti dan dapat dikaji secara sistematis, maka fenomena tersebut harus diisolasi dari interaksi dengan fenomena yang lain pada saat tertentu (Zamroni, 1992: 95). Sebagai langkah pertama adalah pemenggalan terhadap konsep-konsep materi penelitian sehingga selanjutnya terdapat pemahaman yang sama bagaimana konsep-konsep tersebut dipergunakan dalam penelitian ini. Ada tiga konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah persepsi upacara Suro, penganut Buddha, dan Vihara Tri Ratna Gunung Srandil. Konsep-konsep ini akan didefinisikan secara operasional.
2.2.1 Persepsi Upacara Suro Dalam konteks penelitian ini, satuan konsep persepsi upacara Suro terdiri atas tiga unsur, yaitu persepsi, upacara, dan Suro. Ketiganya masing-masing dijelaskan
14 sebagai berikut. Pertama, persepsi. Secara leksikal persepsi diartikan sebagai tanggapan langsung atas sesuatu (Fajri,2008: 647). Definisi tentang persepsi dapat dilihat dari definisi secara etimologis maupun definisi yang diberikan oleh beberapa orang ahli. Secara etimologis, persepsi berasal dari kata perception (Inggris), dan berasal dari bahasa Latin percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003:445). Menurut Leavit (dalam Sobur, 2003:445) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indera seseorang (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga seseorang dapat menyadari di sekelilingnya, termasuk sadar akan dirinya sendiri (Shaleh, 2009:110). Definisi persepsi yang diberikan oleh Desiderato (dalam Rakhmat, 1996:51) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi. Hubungan dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2009:94) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi
15 tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi, diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera sebagai penghubung, dan dinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak. Meskipun banyak dipaparkan konsep mengenai persepsi oleh beberapa ahli. Penulis cenderung memilih Leavit (dalam Sobur, 2003:445) persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas persepsi adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Kedua, upacara. Keesing (1981:64) menyebutkan bahwa upacara adalah pola perilaku penuh hiasan dan diulang-ulang (pada umat manusia, kebanyakan perilaku kolektif yang dipolakan oleh budaya). Upacara juga memiliki pengertian setiap organisasi kompleks dari kegiatan manusia yang tidak saja hanya sekedar bersifat teknis atau rekreasional melainkan juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekpresif dari hubungan sosial (Taum, 2004:17). Upacara adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok orang serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara (Situmorang, 2004: 175). Konsep upacara menurut Situmorang ini yang digunakan dalam penelitian ini.
16 Ketiga, suro. Asal-usul kata Suro di Jawa ini merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata asyura dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh, yakni tanggal 10 bulan Muharram (Sholikhin, 2010:83). Pada masyarakat Islam tangal 10 bulan Muharram memiliki arti yang sangat penting, sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah. Memang dasardasarnya tidak begitu sahih atau kuat, namun itu telah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim. Karena pentingnya tanggal itu, oleh masyarakat Islam Indonesia, Jawa utamanya, tanggal itu akhirnya menjadi lebih terkenal dibanding nama bulan Muharram itu sendiri. Yang lebih populer adalah asyura, dan dalam lidah Jawa menjadi Suro. Jadilah kata Suro sebagai khazanah Islam-Jawa asli sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa. Dari paparan di atas dapat dirumuskan konsep persepsi upacara Suro, bahwa persepsi upacara Suro adalah bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau mengartikan sesuatu terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok orang serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara menurut adat atau agama pada perayaan di bulan Muharram yang oleh masyarakat Jawa disebut Suro.
2.2.2 Penganut Buddha Pengertian konsep penganut Buddha, di sini sama pengertiannya dengan pengikut (aliran politik); pemeluk (agama, kepercayaan): ia seorang pemeluk agama yg taat (http://www.artikata.com/arti-358130-penganut.html). Dalam hal ini adalah penganut agama Buddha. Penganut atau pemeluk agama Buddha sekitar daerah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas, dikarenakan di Gunung Srandil
17 sendiri tidak ada penduduknya yang memeluk agama Buddha. Banyak ahli yang telah mendefinisikan tentang agama. Salah satunya adalah Edward Burnett Tylor. Tylor menyebutkan, agama baru bersifat komunal atau sosial ketika suatu ide yang dianggap benar oleh seseorang, secara perlahan-lahan dianut oleh orang lain. Dengan demikian, kelompok-kelompok agama, pada tempat pertama, selalu dipandang sebagai kumpulan individu-individu yang kebetulan menganut kepercayaan serupa. Tylor (dalam Agus, 2006: 119) juga menggambarkan agama sebagai kepercayaan kepada adanya roh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia. Kepercayaan kepada yang gaib dalam agama punya asal-usul dan kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat primitif. Segala sesuatu di alam ini mempunyai ruh dan jiwa. Kepercayaan kepada ruh dan jiwa ini karena masyarakat primitif menyadari perbedaan antara hidup dan mati dan adanya peristiwa mimpi. Religi semacam ini yang disebutnya animism. Kemudian kepercayaan kepada ruh itu berevolusi menjadi kepercayaan kepada dewa-dewa alam yang berada di belakang setiap peristiwa alam. Selanjutnya kepercayaan kepada dewa-dewa alam ini berevolusi seiring dengan adanya konsep negara dalam kehidupan manusia, menjadi berbagai pangkat dewa yang akhirnya ada yang tertinggi, yaitu satu raja dewa, sehingga sampai kepada kepercayaan monoteisme. Akan tetapi, semuanya mempunyai kesamaan, yaitu percaya kepada wujud spritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia. Dengan demikian, ia juga penganut aliran evolusi dalam memahami kebudayaan manusia (Koentjaraningrat, 1987:46-53).
18 Konsep penganut Buddha dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menyebutkan agama yang mengikuti Ajaran dan menjunjung tinggi Siddharta Gautama sebagai guru sucinya. Seperti juga yang sudah di kenalkan oleh seorang Biksu kepada umat-umat di wihara Tri Ratna, yaitu mengajarkan ajaran Buddha Gautama dengan tetap mempertahankan tradisi leluhur. Di mana para penganut Buddha di sekitar Gunung Srandil baik kaum laki-laki mapun kaum wanitanya sudah sejak lama menjalani tradisi para pendahulunya. Yaitu mengadakan prosesi larungan di bulan Suro sebagai wujud bakti dan ungkapan sukur juga rasa terimakasih kepada leluhur yang telah membantu kesejahteraan hidup masyarakat di sekitar Gunung Srandil. Dhamma ajaran Sang Buddha pun dapat mereka praktekan dengan baik.
2.2.3 Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Pengertian konsep Vihara Tri Ratna Gunung Srandil dalam penelitian ini sebagai berikut. Pengertian vihara (baca = wihara) adalah rumah ibadah agama Buddha. Tri Ratna adalah nama yang diberikan untuk nama vihara yang bertempat di kawasan Gunung Srandil, dengan harapan semoga berkah dari kekuatan tiga permata atau mustika, yaitu kekuatan permata Buddha (orang yang telah memperoleh penyadaran), kekuatan permata Dharma (ajaran-ajaran kebenaran), dan kekuatan permata Sangha (perkumpulan para biksu) senantiasa selalu membimbing dan melindungi umat-umatnya yang berdoa di vihara tersebut apapun latar belakang sektenya. Jadi Vihara Tri Ratna Gunung Srandil ini adalah rumah ibadah agama Buddha bernama Tri Ratna yang bertempat di kawasan Gunung Srandil, wilayah Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.
19 2.2.4 Persepsi Mengenai Upacara Suro pada Penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap Definisi operasional dalam penelitian dengan judul Persepsi Mengenai Upacara Suro pada Penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap, ini dapat dirumuskan (1) bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau mengartikan sesuatu terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok orang serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara menurut adat atau agama pada perayaan di bulan Muharram yang oleh masyarakat Jawa yang disebut Suro. (2) penganut Buddha di sini adalah penganut atau pemeluk agama Buddha sekitar daerah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas, baik kaum laki-laki maupun kaum wanitanya yang mengikuti Ajaran Buddha
dan menjunjung tinggi Siddharta
Gautama sebagai guru sucinya, dan sudah sejak lama menjalani tradisi merayakan Suro, dengan tetap mempertahankan tradisi leluhur. (3) upacara Suro tersebut diselenggarakan di tempat ibadah agama Buddha bernama Vihara Tri Ratna yang berada di kawasan Gunung Srandil, wilayah Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Dengan harapan semoga berkah dari kekuatan tiga permata atau mustika, yaitu kekuatan permata Buddha (orang yang telah memperoleh penyadaran), kekuatan permata Dharma (ajaran-ajaran kebenaran), dan kekuatan permata Sangha (perkumpulan para biksu) senantiasa selalu membimbing dan melindungi umatumatnya yang mengikuti upacara Suro di vihara Tri Ratna Gunung Srandil tersebut. Kaitannya dengan penelitian ini, dapat peneliti simpulkan bahwa pengertian “persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap” yaitu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau mengartikan sesuatu terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan sekelompok orang
20 serta memiliki tahapan yang sudah diatur sesuai dengan tujuan acara menurut adat atau agama pada perayaan di bulan Muharram yang oleh masyarakat Jawa yang disebut Suro. Perayaan upacara Suro tersebut diselenggarakan di tempat ibadah agama Buddha bernama Vihara Tri Ratna yang berada di kawasan Gunung Srandil, wilayah Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Dirayakan bersama-sama oleh pemeluk agama Buddha sekitar daerah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas, baik kaum laki-laki maupun kaum wanitanya yang mengikuti Ajaran Buddha dan menjunjung tinggi Siddharta Gautama sebagai guru sucinya. Di dalam ajaran Buddha sendiri tidak dikenal ritual seperti upacara Suro. Sehingga umat Buddha dan tokoh keagamaan Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap mendapat tentangan internal dari beberapa umat Buddha sendiri dan tokoh agama Buddha dari daerah Cilacap dan Banyumas.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan tiga teori untuk mendekati objek yang dikaji. Teori-teori yang digunakan ini akan berkolaborasi untuk digunakan sebagai alat untuk membuka data yang diperlukan secara eklektik. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi, teori dualitas manusia, dan teori religi. Berikut di bawah ini merupakan gambaran umum tentang ke-tiga teori tersebut.
2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah tindakan dari dari subyek yang membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai unsur. Sebagai sebuah tindakan, yang
21 dilakukan si subjek tentu tidak kosong, dia mesti melibatkan berbagai cara atau metode, yaitu teori subjek membongkar suatu objek yang memang patut dibongkar. Dari situ mau tidak mau, nama Derrida harus disebut-sebut, karena dialah yang pertama kali menyuarakan teori dekonstruksi ini dikancah filsafat secara sistematis. Teori Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir strukturalis berikut: (1) Penolakan terhadap Logosentrisme. Logosentrisme merupakan cara pandang dalam tradisi berpikir Barat (strukturalisme, modernisme) yang menganggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari akal, pikiran, atau logos tersebut. Bahasa dengan demikian merupakan representasi dari konsepnya. Bahasa, kata, atau teks merupakan wakil dari konsepnya. Makna suatu kata dengan demikian sudah ditentukan oleh konsep kata tersebut yang lebih mendahuluinya. Dalam strukturalisme Sausurrean, konsep logosentrisme tersebutlah yang menyebabkan bahwa bahasa sebagai tanda merupakan penanda yang hanya sebagai mewakili makna, konsep, atau petanda, yang lebih dulu ada. Kebenaran makna suatu tanda, bahasa, atau teks, harus mengacu atau dikembalikan pada acuannya, referensial, dan konsepnya. Makna dengan demikian hanya satu, tunggal. Logosentrisme ini pula yang dipandang sebagai objektivistik. Derrida menolak logosentrisme, sekaligus objektivistik tersebut. Alasanya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep, atau realitas. Memang bahasa lisan dapat diterima demikian. Akan tetapi bahasa tulisan, teks, tidak dapat karena bahasa tulisan otomatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi tanda sendiri, yang bukan mewakili suatu makna sebaliknya, menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan tanda-tanda lain yang berada bersamanya. Ini berarti bahwa tidak ada pusat makna apa pun, kecuali praktik pemaknaan yang terjadi pada saat teks tersebut dihadapi penerima atau pembacanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi tanda-tanda yang bebas, kata-kata yang bebas, bahasa yang bebas dimaknai dan otomatis akan memunculkan makna yang beragam, plural (Lubis, 2004:112-114). (2) Penolakan terhadap Falosentrisme, yakni cara pandang dalam tradisi berpikir Barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa maskulin itu bersumber pada diri sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya, katagori feminim sebagai sesuatu yang disingkirkan secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan (Barker, 2005:308-309). (3) Penolakan terhadap oposisi pasangan (biner). Logosentrisme/phallogosentrisme dengan sendirinya menciptakan pandangan dalam tradisi berpikir Barat (strukturalisme, modernisme) bersifat sentral, sekaligus dominasional. Akan tetapi hal ini memang merupakan konsekuensi dari akar cara berpikir tersebut yang memang Cartesian (bermula dari Descartes) yang
22 oposisional, biner, dan dikotomis: akal-tubuh. Akal menjadi pusat, subjek, mendominasi, sementara tubuh dipandang objek, terdominasi, subordinat. Konsep pikiran oposisi biner ini ditolak oleh dekonstruksionisme karena realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu berada dalam kategori dualitas belaka. Menurut Derrida, sesungguhnya terdapat realitasrealitas yang lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tidak dualitas dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan/ditentukan dan tidak dominasional, sentralistis sebaliknya, menyebar dan sejajar (Lubis, 2004:107-108; Barker, 2005:102-103). Dekonstruksi Derrida sebagai teori utama dalam penelitian ini akan digunakan dalam melakukan analisis. Akan tetapi, seperti yang telah diungkapkan di atas terlebih dahulu penting dipahami penolakan Derrida terhadap logosentrisme dan falosentrisme. Mengingat kedua paham ini melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir hirarkhis dikotomis. Penolakan tersebut dilakukan dengan logika berpikir differance, yang berarti differance (perbedaan) dan deferral (penundaan) (Barker, 2005:99-100; Al-Fayyadi,
2005:109-112);
Adian,
2006:78-84). Berdasarkan
penolakan ini, dekonstruksi Derrida akan digunakan dalam melakukan analisis sebagai berikut. Analisis pertama, yang merujuk pada teori Derrida untuk menganalisis proses adanya persepsi pada penyelenggaraan upacara Suro dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida yang memandang (mangabstraksikan) realitas sebagai ciptaan (produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruksi). Dalam istilah ”konstruksi”, realitas itu adalah suatu konstruksi realitas baru sebagai hasil dari konstruksi realitas sebelumnya yang didekonstruksi (Piliang, 2003:14). Untuk menemukan realitas yang sebenarnya dekonstruksi memiliki tiga konsep teoretis, yaitu traces (jejak-jejak), present-abscent (kehadiran dan ketidakhadiran), dan differance
(penangguhan).
Dekonstruksi
pada
analisis
pertama
dengan
23 mengedepankan traces (jejak-jejak) yang mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. Dalam hubungannya dengan konsep jejak dekonstruksi mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan silsilah. Sebagai fakta sejarah, silsilah terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karena dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak (Lubis, 2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 250-275). Analisis kedua, yaitu implikasi transformasi penyebab adanya persepsi mengenai upacara Suro diselenggarakan oleh penganut Buddha di Vihara dengan budaya masyarakat di sekitar Vihara dengan mengedepankan dekonstruksi Derrida yang mengemukakan konsep reproduktif, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu realitas sebagai proses penciptaan atau penciptaan kembali secara terus menerus, tanpa final (Piliang, 2003:14). Konsep reproduktif yang ditemukan misalkan jika kebiasaan pada kegiatan Suro di daerah lain dibagikan bubur Suro, pembagian kue apem, atau berebut kotoran kerbau yang dianggap suci seperti di Keraton Solo. Pada upacara Suro di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil, Cilacap dirayakan dengan membagikan air berkah, yaitu berupa pembagian air mineral kemasan botol plastik yang sudah didoakan oleh para sesepuh dan oleh para Biksu agar memberikan khasiat pada air tersebut. Untuk kemudian air berkah tersebut oleh masyarakat yang percaya dapat digunakan sebagai sarana penyembuhan penyakit atau untuk memberkahi rumah, toko, atau tempat usaha mereka. Analisis ketiga, yaitu implikasi transformasi dampak dan makna adanya persepsi upacara Suro terhadap kehidupan sosial pada masyarakat penganut Buddha di lingkungan Vihara dengan masyarakat umum di luar Vihara dengan mengedepankan teori dekonstruksi yang memandang realitas adalah sesuatu yang
24 bersifat organik dan decentering. Organik yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang memandang segala sesuatu jaringan saling hubungan. Derrida telah membuat suatu penegasan bahwa sekecil apapun unsur jaringan yang ada dipandang sebagai entitas (Ratna, 2004:44; Derrida dalam Grenz, 2001:236). Sementara itu, decentering adalah struktur tanpa pusat dan tanpa hirarkhi. Kerja dekonstruksi dilakukan dengan memahami dan mengkaji sesuatu yang semula dianggap kurang penting misalnya, masyarakat sekitar sebagai pelaku kegiatan yang ada dalam wilayah komplek Vihara Tri Ratna Gunung Srandil, tema minor yang berkaitan dengan keberadaan Vihara dengan tanggapan negatif
masyarakat terhadap Gunung Srandil sendiri sebagai
tempat ritual untuk mencari kekayaan dengan cara singkat.
2.3.2 Teori Dualitas Manusia Teori dualitas manusia dikonsepsikan oleh Emile Durkheim, sosiolog Yahudi (1858-1917) yang dianggap sebagai peletak bagi dasar-dasar sosiologi modern. Durkheim menyatakan bahwa manusia memiliki dualitas, yang terdiri atas raga dan jiwa. Di antara keduanya tidak saja berbeda satu sama lain, melainkan juga bertentangan. Raga adalah bagian dari dunia materi sehari-hari, sedangkan jiwa adalah bagian dari dunia spiritual (non material) yang dihadapi dengan rasa hormat. Raga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat material individual, sedangkan jiwa berkaitan dengan hal-hal yang bersifat moral, supra individual, atau bersifat sosial. Dengan
kata
lain,
individu
dalam
dualitasnya
memiliki
kecenderungan-
kecenderungan yang bersifat jasmaniah, yang ditujukan bagi pemenuhan keperluankeperluan pribadi, di samping juga bertindak secara moral dalam bentuk tunduk
25 kepada ketentuan-ketentuan yang mengabdi kepada tujuan-tujuan supra individual atau tujuan sosial. Konflik di antara kedua komponen itu, material-individual dan moral sosial, seringkali terjadi. Konflik tersebut disebabkan karena bertindak secara moral, sesuai dengan kaidah-kaidah bersama secara sosial, seringkali meminta pengorbananpengorbanan
dan
penekanan-penekanan
terhadap
kecenderungan
jasmaniah
individual. Demikian pula sebaliknya, bertindak atas dasar kecenderungankecenderungan jasmaniah-individual juga seringkali tidak sesuai dengan kaidahkaidah bersama secara moral dan sosial. Namun demikian, kedua komponen tersebut berkaitan erat secara integral. Di satu pihak, orang-orang secara individual memiliki kesan-kesan indrawi yang murni bersifat individual, tetapi di lain pihak kesan-kesan indrawi tersebut hanya dapat dinyatakan dalam pengertian-pengertian yang dimiliki secara sosial. Tanpa ada pengertian-pengertian umum yang dimiliki bersama, maka tentulah tidak ada komunikasi di antara individu-individu itu satu sama lain (Durkheim, 1960: 337-338; Laeyendecker, 1991:286-287). Dengan demikian, manusia selalu berada dalam dualitas raga dan jiwa, dualitas individual dan sosial; dualitas fisik material dan moral spiritual dalam konteks kebudayaan, dan apabila dieliminir menjadi salah satu saja dari kedua kutub itu adalah dualitas ekonomik dan etik. Ogburn (1932) dalam analisisnya terhadap perubahan sosial,
juga
membedakan antara kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Dalam konsepnya cultural lag, Ogburn menyatakan bahwa kedua kategori kebudayaan itu saling mendahului dalam mempengaruhi dan mendorong perubahan total kebudayaan. Namun yang biasanya berubah terlebih dahulu adalah kebudayaan
26 material,
sedangkan
kebudayaan
non-material
mengikutinya
dalam
proses
penyesuaian bentuk. Artinya, perubahan kebudayaan material merupakan penyebab perubahan kebudayaan non-material. Kondisi seperti itulah yang disebut Ogburn sebagai cultural lag. Dalam hubungan itu, tujuan kebudayaan non material dapat dicapai dengan menggunakan kebudayaan material, terutama teknologi, dalam berbagai lingkungan fisik. Oleh karena kebudayaan non material memiliki bagian-bagian yang berbeda, maka menganalisis bagian-bagian yang memiliki hubungan yang dekat dengan kebudayaan material adalah sangat penting. Bagian-bagian kebudayaan non-material yang dekat hubungannya dengan kebudayaan material ini disebut Ogburn sebagai kebudayaan adaptif. Dengan begitu, kronologi transformasi budaya adalah: perubahan kebudayaan material, diikuti oleh perubahan kebudayan adaptif, dan seterusnya diikuti pula oleh kebudayaan non-material. Perubahan pada suatu bagian kebudayan akan menimbulkan kebutuhan adaptasi melalui perubahan pada bagian lain secara korelasional. Perubahan industri, misalnya, akan menimbulkan adaptasi dalam sistem pendidikan (Ogburn, 1932 dalam Soelaiman, 1998:117-118). Tesis Ogburn tersebut di atas jelas sehaluan dengan pendirian determinisme material dari kaum materialisme budaya Marxian. Kaum materialisme budaya menggunakan alat analisis berupa skema stratifikasi kebudayaan, yang terdiri atas infrastruktur material, struktur sosial, dan suprastruktur ideologis (Sanderson, 1995:59-84). Namun, pendirian tersebut tentu saja bertentangan dengan pandangan idealisme budaya. Kaum idealisme budaya memandang bahwa sistem nilai budaya, berupa kompleks ide; gagasan; atau fenomena mentalitas (kebudayaan non-material) merupakan penentu pola bagi prilaku sosial dan kebudayaan material.
27 Rekonsiliasi kedua paradigma, materialisme budaya dan idealisme budaya, merupakan
keniscayaan
dalam
suatu
pendekatan
yang
holistik-integratif.
Rekonsiliasi dimaksud didasari oleh asumsi bahwa secara realistik, fenomena dan perubahan budaya akan selalu berada dalam proses dialogis antara dimensi material dan non-material, imfrastruktur material dan superstruktur ideologis, dari suatu kebudayaan. Penjelmaan dari proses dialogis tersebut juga ditandai oleh adanya konflik di antara kedua komponen kebudayaan itu. Asumsi ini sejalan dengan pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa tindakan manusia didorong oleh kepentingan-kepentingan yang bukan saja bersifat material seperti yang dikatakan Marx, akan tetapi juga kepentingan-kepentingan ideal. Setiap orang memang ingin mengamankan kepentingan-kepentingan materialnya, tetapi mereka juga memerlukan arti yang dapat diberikan kepada situasi hudup dan pengalaman-pengalamannya. Kepentingan-kepentingan material dan ideal dianggap Weber sebagai sesuatu yang secara langsung menguasai tindakan manusia. “Gambaran dunia yang diciptakan oleh gagasan-gagasan seringkali sebagai penjaga wesel, menentukan jalur-jalur yang dilalui oleh tindakan, dan digerakkan oleh dinamika kepentingan-kepentingan (material dan ideal)(Weber, 1920-1921:252). Oleh karena itu, analisis budaya harus dilibatkan dalam menentukan kepentingan konkrit mana yang memberi arah kepada tindakan (Weber dalam Laeyendecker, 1991 op.cit.:324-325). Sebagaimana Durkheim, Weber juga menganggap konflik sebagai unsur dasar yang memiliki kedudukan sentral dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pertentangan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia. Konflik merupakan dasar bagi integrasi sosial yang sekaligus bagi perubahan sosial. Kesamaan
28 pandangan dari kedua tokoh ini merupakan titik temu dari dua paradigma ilmu sosial, yakni antara paradigma fakta sosial (Durkheim) dengan paradigma tindakan sosial (Weber). Teori Dualitas Manusia oleh Weber ini adalah untuk membahas masalah yang muncul di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil berkenaan dengan adanya persepsi dalam memaknai penyelenggaraan upacara Suro di vihara oleh pemimpin salah satu majelis agama Buddha dengan tokoh Vihara Tri Ratna Gunung Srandil.
2.3.3 Teori Religi Sebuah teori mengenai azas-azas religi, dikemukakan oleh W. Robertson Smith (1846-1894) tentang upacara bersaji. Teori tentang asas-asas religi yang mendekati masalahnya dengan cara yang berbeda yaitu dengan bersaji. Teorinya tidak berpangkal kepada analisa system keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi tetapi berpangkal kepada upacaranya. Teorinya itu ditulisnya kedalam buku lectures on religion of the semites (1889). Dia mengemukakan tiga gagasan mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi yang memerlukan studi dan analisa yang khusus (Koentjaraningrat, 1982: 67). Gagasan yang kedua adalah bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguhsungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja.
29 Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap
bahwa
melakukan
upacara
adalah
suatu
kewajiban
sosial
(Koentjaraningrat, 1982: 67-68). Gagasan Robertson yang ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, misalnya bagian kepala dari binatang tersebut dan juga terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya dianggap juga sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa (Koentjaraningrat, 1982: 68). Hal inilah yang tampak dalam upacara-upacara Suro yang sering dilakukan oleh penganut sistem kepercayaan Kejawen dengan sesajian yang dipersembahkan kepada para leluhur. Beberapa upacara dilakukan secara massal dan kelihatan gembira, tetapi pada dasarnya juga keramat. Teori Robertson tentang upacara bersaji terkait dengan penelitian ini, khususnya untuk mengkaji masalah yang pertama dan kedua. Masalah tersebut adalah yang berkenaan dengan bentuk sistem kepercayaan penganut Buddha dengan sistem kepercayaan Kejawen dan fungsinya, dapat dilihat pada Bab V tesis ini.
2.4 Model Penelitian Alur pikir dalam penelitian ini digambarkan dengan sebuah model penelitian. Model penelitian dihadirkan baik secara gambar maupun keterangan gambarnya. Berikut gambar model penelitian dan keterangannya.
30 2.4.1 Gambar Model Penelitian Gambar model penelitian dengan alur pikir yang melandasi penelitian ini adalah sebagai berikut.
Kepercayaan Kejawen
upacara Suro
Bentuk persepsi upacara Suro
Agama Buddha
Persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Cilacap
Faktor yang menyebabkan adanya persepsi upacara Suro
Agama Islam Jawa
Efisiensi
Dampak dan makna adanya persepsi upacara Suro
Keterangan: : Menunjukkan hubungan searah : Menunjukkan hubungan kerjasama/saling mempengaruhi
2.4.2 Penjelasan Model Alur pikir yang melandasi model penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) penelitian berangkat dari adanya perayaan ritual oleh komunitas kepercayaan Kejawen di zaman modern sekarang ini. Seperti tradisi merayakan upacara Suro merupakan hal yang sudah menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di Jawa maupun yang sudah bermukim
31 di daerah lain atau pulau lain. Perayaan upacara Suro identik dengan kebiasaan yang diadakan oleh masyarakat Kejawen sejak dahulu khususnya yang beragama Islam (Islam Jawa). Tetapi perayaan upacara Suro ini sekarang di selenggarakan oleh komunitas penganut Buddha. (2) perayaan upacara Suro ini menjadi salah satu budaya penting pada masyarakat Islam Jawa, khususnya di Jawa saat ini.
Terlebih lagi setelah ritual ini
dilaksanakan oleh komunitas Buddha kemudian efisiensikan atau disederhanakan disesuaikan dengan ajaran Buddha. Hal ini menjadi wacana multikultur adaptasi budaya, karena dalam ajaran Buddha sendiri tidak dikenal ritual seperti upacara Suro. Sehingga muncul perbedaan persepsi dikalangan umat Buddha dalam memaknai perayaan upacara Suro. (3) adanya persepsi dalam memaknai upacara Suro inilah yang kemudian menimbulkan pertentangan internal dari beberapa masyarakat dan tokoh agama Buddha di daerah itu. Muncul anggapan adanya salah mempraktekkan ajaran Buddha yang benar yang diajarkan kepada masyarakat Buddhis di Vihara Tri Ratna sekitar Gunung Srandil tersebut. Masyarakat di sekitar Gunung Srandil, Cilacap, Jawa Tengah, sebelumnya mengenal sistem kepercayaan tradisional yaitu Kejawen dan sudah biasa merayakan upacara Suro. Upacara Suro ini identik dengan perayaan yang biasa dilaksanakan oleh komunitas Islam Jawa. Kemudian karena masyarakat sekitar Gunung Srandil lambat laun telah berubah menganut agama Buddha. Maka oleh seorang Biksu, perayaan upacara Suro di desa tersebut disesuaikan dengan tradisi ajaran Buddha, dan tradisi lokal yang sudah mengakar kuat pada masyarakat tetap dipertahankan.
32 (4) Dalam konteks tersebut, penelitian ini menggunakan paradigma kajian budaya dengan menelaah bentuk persepsi dari perayaan upacara Suro yang dirayakan di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil, juga faktor yang menyebabkan adanya persepsi upacara Suro mengapa dirayakan di lingkungan Vihara oleh komunitas Buddha, juga dampak dan makna dari adanya persepsi perayaan upacara Suro di Vihara tersebut. (5) Dari hasil semua penelitian ini bertujuan agar memperjelas penerapan pelaksanaan perayaan upacara Suro sebagai upaya melestarikan tradisi leluhur Jawa dalam budaya lokal sekaligus melaksanakan ajaran agama Buddha sesuai Tri Pitaka. Tujuan lainnya, supaya kedepannya ada tidak lanjut antisipasi yang bisa meredam akibat atau dampak dari perayaan upacara Suro di lingkungan Vihara tidak menimbulkan permasalahan internal maupun eksternal. Khususnya untuk mengantisipasi konflik yang bisa muncul di komunitas umat Buddha sendiri, karena adanya persepsi yang berbeda dalam memaknai sesuatu hal, bahkan konflik yang bisa terjadi dengan komunitas penganut kepercayaan lain.