BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka kajian pustaka memusatkan penelitian tentang peningkatan kemampuan berbicara dan sistem pelafalan para mahasiswa Fakultas Manajemen Universitas Dhyana Pura dalam konteks pembelajaran front office melalui pengembangan teknik kartu tematik. Terkait dengan kajian ini terdapat beberapa penelitian atau jurnal yang menggunakan kata kunci „kartu bergambar‟, tetapi kebanyakan menerapkan hanya pada peserta didik jenjang sekolah dasar (SD). Artinya, jarang yang menggunakannya di bangku sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), apalagi untuk jenjang universitas. Untuk menghindari kesamaan dan mengetahui kelemahan penelitian sebelumnya dan keunggulan penelitian terbaru ini, dapat diberikan gambaran atau review singkat tentang dua penelitian yang memiliki relevansi tema. Gambaran singkat tersebut dapat dilihat dalam pemaparan di bawah ini. Pertama, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Teknik Penguasaan Kosakata dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar” oleh Liza Dwi Jayanti dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu dapat dilihat di laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Dari tulisan pertama itu diketahui bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris para peserta didik di jenjang sekolah
10
11
dasar sangat rendah. Hal itu dapat dibuktikan dengan rendahnya pemahaman mereka terhadap materi yang diberikan oleh guru. Atas dasar itulah, peneliti mengadakan penelitian tentang kegiatan pembelajaran dengan menggunakan media gambar; bagaimana para peserta didik dapat memahami dan menjelaskan apa yang tergambar. Gambar yang digunakan pada umumnya adalah berupa foto atau gambar yang sudah ada dan dapat ditemukan di media cetak. Teknisnya adalah gambar-gambar yang ada dikumpulkan secara acak dalam sebuah kotak yang diletakkan di depan kelas. Selanjutnya guru membacakan sebuah kata, misalkan komputer, dan para peserta didik diharapkan dapat mencari gambar yang dimaksud. Setelah mendapatkan gambar, mereka harus kembali ke tempat start (awal). Peserta didik yang paling cepat mengumpulkan kartu harus menyebutkan kembali nama benda tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan pertama, media gambar berperan sebagai alat untuk memperkenalkan suatu kata baru dalam bahasa Inggris kepada peserta didik. Kedua, jurnal pendidikan dan pembelajaran berjudul “Upaya Meningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris melalui Penggunaan Media Kartu Domino Kata Bergambar Siswa Kelas V SD” oleh Puji Mar Atul Khasanah, dkk. dari FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret. Tulisan itu dapat dilihat di laman jurnal.fkip.uns.ac.id. Hampir serupa dengan tulisan pertama, penggunaan media gambar dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris para peserta didik. Dalam tulisan kedua ini, peneliti berpendapat bahwa kosakata merupakan bagian penting dari pembelajaran bahasa Inggris, tetapi justru sering diabaikan fungsinya. Pemahaman yang baik terhadap
11
kosakata dalam bahasa Inggris berperan sangat penting bagi para peserta didik sehingga mereka dapat membaca, menulis, dan mengartikan kata-kata dalam bahasa Inggris. Tanpa mengetahui kosakata, dapat dipastikan peserta didik mengalami hambatan dalam proses pembelajaran sebab peneliti juga berpendapat bahwa kosakata merupakan materi awal atau dasar yang harus diajarkan sebelum masuk ke materi berikutnya. Satu hal yang membedakan adalah media yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengkhusus dibandingkan dengan media yang digunakan dalam tulisan pertama, yaitu kartu domino bergambar. Peneliti berpandangan bahwa kartu domino dapat berperan sebagai media pembelajaran yang baik karena dengan unsur permainan yang terkandung di dalamnya, para peserta didik distimulus untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan bermain sambil belajar. Semakin sering para peserta didik belajar menggunakan kartu ini, maka mereka dapat menambah pengetahuan tentang kosakata baru tanpa disadari. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam tulisan kedua, penggunaan media kartu domino kata bergambar dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris. Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa sejauh ini belum ada penelitian yang membahas secara khusus tentang pengembangan media pembelajaran berupa kartu tematik yang digambar secara manual dan berseri untuk pembelajaran khusus dalam kelas English for Specific Purpose. Kelas bahasa Inggris untuk tujuan khusus ini diperuntukkan bagi mahasiswa kelas Fakultas Manajemen Perhotelan yang menitikberatkan pengajaran berbasis pariwisata terutama perhotelan.
11
Materi dituangkan secara lengkap dalam bentuk gambar berseri yang diharapkan dapat meningkatkan kecakapan berbicara para mahasiswa secara bertahap. Kartu memuat gambar, informasi penjelas, dialog, dan keterangan tambahan tentang materi yang mampu menambah wawasan dan informasi bagi mereka. Seluruh variabel yang ada dalam kartu tematik disesuaikan dengan materi yang diajarkan sesuai dengan konteks pembelajaran tentang front office. Terlebih lagi, satu nilai plus dari kartu ini adalah adanya gambar yang atraktif yang sangat menarik perhatian para mahasiswa. Diharapkan juga para guru bahasa Inggris agar dapat menerapkan media bergambar ini untuk menambah minat dan motivasi para mahasiswa dalam mempelajari bahasa Inggris dan menerapkannya dalam dunia kerja nantinya. Hal ini penting karena para mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas Manajemen Perhotelan tentunya diharapkan dapat menjadi lulusan yang siap bersaing dalam dunia kerja sesungguhnya. Dengan bekal kecakapan dalam berbahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sangat membantu mereka untuk menjadi pelaku bidang perhotelan yang terampil dan memiliki daya saing yang tinggi.
2.2
Konsep Konsep yang diterapkan dalam penelitian harus bersifat ekuivalen dan
sesuai agar dapat digunakan sebagai dasar untuk pembahasan atau analisis atas persoalan yang ada. Terdapat lima konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu konsep berbicara, konsep sistem bunyi, konsep pembelajaran front office, konsep kartu tematik, dan konsep pelafalan. Tiap-tiap konsep yang ada
11
menunjukkan seluruh variabel yang berpengaruh pada penelitian ini. Hal tersebut dapat menjawab dan memecahkan rumusan permasalahan yang telah disusun sebelumnya.
2.2.1
Konsep Berbicara Konsep utama yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan konsep
berbicara dari pustaka acuan berupa buku Speaking karya Martin Bygate. Berbicara sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa (selain menyimak, membaca, dan menulis) telah menjadi faktor penentu dalam menentukan kecakapan seseorang dalam ranah bahasa, terlebih dalam ranah bahasa asing. Bygate (2008) memaparkan bahwa berbicara merupakan sebuah keterampilan atau kecakapan yang layak untuk mendapatkan perhatian khusus selain keterampilan lainnya, baik dalam bahasa pertama maupun bahasa kedua. Hal ini merupakan sebuah hal yang sangat mendasar karena berbicara melibatkan sebuah proses bagaimana membahasakan atau mengutarakan sesuatu yang ada dalam otak (pikiran). Konsep berbicara yang dipaparkan oleh Bygate sangat berguna saat diterapkan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar berbicara (threshold level) para peserta didik. Di sinilah diperlukan kemampuan pengajar untuk dapat mengajak, mengimbau, dan membuat para peserta didik berbicara atau mengutarakan sesuatu. Dengan memberikan para peserta didik kesempatan yang lebih banyak untuk berlatih „berbicara‟ dan ujian lisan (oral exams), pengajar dapat mengetahui bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara pengetahuan tentang sebuah bahasa dan keterampilan dalam menggunakan bahasa tersebut.
11
Itulah sebabnya mengapa akhirnya disadari bahwa baik „pengetahuan kebahasaan‟ maupun „keterampilan berbahasa‟ merupakan dua hal yang sangat krusial dalam proses pembelajaran dan pengajaran berbicara.
2.2.2
Konsep Sistem Bunyi Terkait dengan konteks berbicara, Ladefoged dan Johnson (2010: 88)
memaparkan bahwa sistem bunyi dalam bahasa Inggris dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Ketiga sistem bunyi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Vokal Vokal bervariasi antara rentang vokal atas dan rendah. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan menggerakkan lidah dan bibir. Secara sederhana vokal juga dapat dimaknai sebagai huruf hidup yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang keluar melalui tenggorokan dan mulut tanpa hambatan. Gambar 2.1 Bagan Vokal dalam Bahasa Inggris (Ladefoged dan Johnson, 2010: 88) Depan tinggi
Belakang tinggi i
u
e
ә
æ Depan rendah
o
ɑ Belakang rendah
11
2. Diftong Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Diftong dalam bahasa Inggris dapat berupa eɪ (dalam kata „day‟ [deɪ]), әʊ (dalam kata „go‟ [gәʊ]), aɪ (dalam kata „ice‟ [aɪs]), aʊ (dalam kata „bow‟ [baʊ]), ɔɪ (dalam kata „joy‟ [dʒɔɪ]), ɪә (dalam kata „hear‟ [hɪә(r)]), eә (dalam kata „hair‟ [heә(r)]), dan ʊә (dalam kata „cure‟ [kjʊә(r)]). 3. Konsonan Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Jika dilihat dari proses terjadinya bunyi (secara umum), konsonan dapat dikategorikan sebagai berikut. 1) Bilabial merupakan bunyi yang diproduksi dengan menyentuhkan dua bagian bibir, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „pie‟, „buy‟, dan „my‟. 2) Labiodental merupakan bunyi yang diproduksi saat bibir bawah dan gigi depan atas bersentuhan, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „five‟ dan „vie‟. 3) Dental merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan gigi depan bagian atas, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „thigh‟ dan „thy‟. 4) Alveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan ujung lidah dan lengkung alveolar (bagian belakang dari gigi depan atas), seperti yang dapat didengarkan dalam kata „tie‟, „zeal‟, dan „sigh‟.
11
5) Retrofleks merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan dari ujung lidah dan bagian belakang lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „rye‟, „row‟, dan „ray‟. 6) Palatoalveolar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan lidah dan bagian belakang dari lengkung alveolar, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „shy‟, „she‟, dan „show‟. 7) Palatal merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian depan lidah dan langit-langit keras mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam kata „you‟. 8) Velar merupakan bunyi yang diproduksi melalui gesekan bagian belakang lidah dan langit-langit lunak mulut, seperti yang dapat didengarkan dalam bagian akhir dari kata-kata „hack‟, „hag‟, dan „hang‟. Secara umum, sistem bunyi dalam bahasa Inggris berbeda dengan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia. Terdapat beberapa vokal dan konsonan dalam bahasa Inggris yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, dalam ranah konsonan, dalam bahasa Inggris juga terdapat kluster, yaitu sejumlah konsonan yang membentuk sebuah kata yang dibaca dalam satu napas, seperti „str‟ dan „pr‟ dalam kata „struggle‟, „pronunciation‟, „strategy‟, „pragmatic‟, dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, kluster dapat terjadi pada kata-kata yang merupakan kata serapan dari bahasa asing seperti „instrumen‟, „strategi‟, dan „struktur‟. Sebuah hal yang jamak ditemukan di lapangan bahwa terdapat beberapa permasalahan atau kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran dan pengajaran bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris). Hal-hal tersebut wajib
11
disadari oleh para pengajar agar hal ini tidak secara berkesinambungan menjadi kendala dalam proses pengajaran. Oleh karena itu, selain pemahaman tentang tata bahasa (grammar) dan perbendaharaan kata (vocabulary), konsep tentang berbicara wajib diketahui oleh para pengajar bahasa Inggris.
2.2.3
Konsep Pembelajaran Front Office Menurut Suwithi dan Boham (2008: 64), hotel dapat didefinisikan
sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial dengan memberikan fasilitas penginapan untuk umum. Fasilitas pelayanan hotel meliputi pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan, pencucian pakaian, dan dapat menggunakan fasilitas/perabotan dan menikmati hiasan-hiasan yang ada di dalamnya. Secara umum, struktur organisasi sebuah hotel dapat dibagi menjadi dua fungsi utama, yaitu organisasi kantor depan (front office) dan organisasi kantor belakang (back office) (Suwithi dan Boham, 2008: 64). Khusus untuk organisasi kantor depan, organisasi ini memegang peranan yang sangat penting untuk sebuah hotel karena bagian ini menjadi cermin atas kualitas hotel yang selalu berhubungan dan bersentuhan langsung dengan para tamu yang menginap. Bagian/posisi yang termasuk di dalam organisasi ini adalah bagian reservasi, front office, divisi pengurusan ruangan/kamar hotel (room division), bagian pengaturan makanan dan minuman (food and beverage), dan bagian keamanan di area depan hotel (security). Kantor depan hotel (front office) bertugas di wilayah depan hotel, yaitu meliputi area keluar masuk tamu, lobby, dan lounge.
11
Bagian kantor depan hotel (front office) memiliki beberapa tujuan utama. Menurut Suwithi dan Boham (2008: 69), tujuan utama kantor depan hotel adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan tingkat hunian kamar serta pendapatan hotel dari tahun ke tahun. 2. Meningkatkan jumlah tamu langganan. 3. Memenuhi kebutuhan dan kepuasan tamu secara baik, tepat, dan cepat kepada tamu. 4. Membentuk citra hotel yang positif. Dalam mewujudkan tujuan hotel, setiap petugas yang bertugas memiliki fungsi untuk dilaksanakan setiap hari. Fungsi tersebut dapat dijabarkan seperti berikut. 1. Menjual kamar meliputi menerima pemesanan kamar, melakukan pendaftaran tamu, dan memblok kamar. 2. Memberikan informasi mengenai seluruh produk, fasilitas, pelayanan, dan aktivitas yang ada, baik di hotel maupun di luar hotel. 3. Mengoordinasikan kepada bagian lain yang terkait dalam rangka memenuhi keinginan tamu dan memberikan pelayanan yang maksimal. 4. Melaporkan status kamar yang terkini. 5. Mencatat, memeriksa pembayaran tamu, dan menangani rekening tamu. 6. Membuat laporan yang dibutuhkan oleh hotel. 7. Memberikan pelayanan telekomunikasi untuk tamu. 8. Memberikan pelayanan barang bawaan tamu. 9. Menyelesaikan keluhan tamu (Suwithi dan Boham, 2008: 70).
11
Selain aspek-aspek yang telah dijabarkan di atas, front office juga memiliki peranan penting untuk memberikan pelayanan terbaik dan menjaga citra serta nama baik hotel, yaitu sebagai berikut. 1. Pemberi informasi yang senantiasa memberikan informasi yang jelas, benar, dan cepat tentang produk, fasilitas, aktivitas, pelayanan yang ada, baik di dalam hotel maupun di luar hotel. Informasi ini tidak hanya untuk tamu, tetapi juga kepada kolega ataupun rekan sejawat yang membutuhkan. 2. Penjual (sales person) yang memiliki jiwa menjual sebab bagian inilah yang berhubungan langsung dengan tamu hotel selain bertugas menjual produk hotel. 3. Wakil manajemen – petugas kantor depan yang dalam keadaan tertentu dapat berperan sebagai wakil manajemen untuk mengatasi/menyelesaikan masalah yang muncul di luar jam kerja manajemen. 4. Penyimpan data yang dapat membuat dan menyimpan data terkini (up-todate) tentang laporan-laporan yang dibuat di front office sehingga manajemen dapat mengambil keputusan dan kebijakan yang sesuai pada waktu yang akan datang. 5. Diplomatis merupakan sikap yang dibutuhkan untuk membuat tindakan yang dapat menjaga hubungan yang baik dengan tamu dan pihak yang lain. 6. Pemecah masalah terhadap segala hambatan atau kendala yang dialami oleh para tamu ataupun masalah yang berasal dari divisi hotel yang lain. 7. Humas (hubungan masyarakat) yang menjadi ujung tombak hotel terhadap para tamu dan masyarakat sekitar area hotel agar hubungan yang harmonis dan citra hotel yang baik tetap terjaga (Suwithi dan Boham, 2008: 71).
11
Fokus penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan front office, yaitu bagaimana cara melafalkan istilah-istilah front office dalam bahasa Inggris oleh para mahasiswa manajemen perhotelan dan cara menerapkannya dalam situasi sebenarnya terhadap tamu asing. Jika mereka yang bertugas di bagian depan, utamanya bagian resepsionis dan reservasi dapat menjalankan tugas melalui melayani dan berkomunikasi dengan baik terhadap para tamu, terutama tamu asing, maka kesan pertama yang diharapkan dapat dicapai dengan optimal. Dalam pembelajaran dan pelatihan, orang-orang yang tertarik untuk berkecimpung dalam perhotelan, khususnya terkait dengan konteks front office, diharapkan dapat memahami konsep front office dengan tepat dan menyeluruh. Pemahaman ini sangat membantu pihak-pihak tersebut untuk dapat memiliki bekal keterampilan ketika tiba saatnya untuk terjun ke bidang yang sesungguhnya.
2.2.4
Konsep Kartu Tematik Terkait konsep kartu tematik, tentu hal ini berkaitan erat dengan
pembelajaran tematik yang merupakan konsep pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Tema merupakan pokok pikiran atau gagasan pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983). Dengan pemahaman bahwa pembelajaran berdasarkan tema-tema tersendiri secara khusus dan spesifik dalam kegiatan pembelajaran, maka para peserta didik diharapkan dapat memahami setiap materi yang disampaikan. Konsep inilah yang diterapkan dalam metode Glenn Doman, yaitu kartu yang dapat digunakan dalam pembelajaran dalam tataran menambah
11
perbendaharaan kata pada peserta didik. Kartu yang digunakan adalah kartu yang berisi kata yang tercetak besar dan ditunjukkan pada para peserta didik. Metode ini sangat tepat diterapkan dalam pengajaran semua bahasa, terutama bahasa Inggris untuk peserta didik yang merupakan penutur asli bahasa Indonesia. Bahkan, metode Glenn Doman diklaim dapat digunakan sebagai alat bantu ajar tentang pengenalan kosa-kata bahasa Inggris pada usia dini. Metode pengajaran yang terkandung dalam Glenn Doman adalah dengan cara tematik. Cara tematik ini telah diformulasikan dengan tujuan untuk dapat menstimulasi beragam potensi yang ada dalam diri seorang peserta didik. Metode ini merupakan sebuah metode yang berpusat pada peserta didik (learnercentered learning). Akan tetapi, satu keunggulan yang ada adalah dengan menerapkan metode ini, maka diberikan jenis pembelajaran yang tidak terlalu teoretis dan tidak akan membosankan karena suasana pembelajaran juga terasa menyenangkan (belajar sekaligus bermain). Dengan menerapkan metode ini, peserta didik diharapkan dapat cepat memahami dan menghafal materi yang disampaikan. Khusus untuk penelitian ini, konsep kartu tematik telah dimodifikasi menjadi salah satu bentuk kartu tematik yang lain. Kartu ini berisi gambar-gambar yang dirancang sendiri (handmade) yang berkaitan dengan konteks front office (gambar resepsionis, lounge, dan sebagainya). Selain itu, kartu juga dilengkapi dengan keterangan penjelas seperti kelas kata (kata benda/noun atau kata kerja/verb), makna kata yang dimaksud, dan cara pengucapan kata tersebut dalam pelafalan secara Inggris (British English) dan Amerika (American English). Dalam penerapannya di kelas, selain menyajikan pemahaman dan cara pelafalan
11
yang tepat melalui kartu tematik yang ada. Di samping itu, dibantu juga dengan menayangkan cara pelafalan secara langsung melalui Cambridge Advanced Learner’s Dictionary 3rd Edition; sebuah aplikasi kamus Cambridge yang dapat mengeluarkan suara dari pelafalan kata tertentu yang dicari dengan cara mengetikkannya di kolom pencarian. Dengan menggunakan kartu tematik dan menayangkan pelafalan kata tersebut melalui aplikasi kamus, mahasiswa mendapatkan pemahaman secara visual dan audio sekaligus. Kartu tematik juga memiliki keunggulan lain karena memuat gambar yang dapat membantu para mahasiswa dalam mengingat istilah secara visual. Selain itu, kartu tematik juga memudahkan mahasiswa untuk memahami makna istilah front office dengan cepat dan praktis (dibandingkan dengan mencari makna kata di dalam kamus).
2.2.5
Konsep Bermain Peran Salah satu cara yang dapat diterapkan untuk mengimplementasikan
rancangan pengajaran dalam latihan adalah melalui bermain peran (role playing). Secara sederhana konsep bermain peran dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan simulasi peran yang mengajak para pemain (dalam hal ini peserta didik) untuk memerankan suatu tokoh atau karakter tertentu dalam sebuah tema percakapan. Menurut Taniredja (2011) dalam Handayani (2014: 18), role playing merupakan metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial. Di sisi lain, menurut Amri (2010) dalam Handayani (2014: 18), bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan
11
hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Dalam penelitian ini, tema yang dijadikan sebagai bahan bermain peran disesuaikan dengan kondisi operasi kantor depan sehingga diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi kantor depan sesungguhnya. Bermain peran memiliki tujuan dalam pembelajaran bahasa. Menurut Amri (2010) dalam Handayani (2014: 19), tujuan metode ini adalah agar peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa melalui bermain peran, para peserta dapat menerapkan dan memahami materi yang diberikan oleh pengajar dan mengembangkan kosakata yang ada melalui tema yang diperankan. Terdapat beberapa hal yang dipersiapkan oleh pengajar sebelum melaksanakan metode pembelajaran bermain peran, sebagaimana dikutip dari beberapa pendapat Roestiyah (2008) dalam Handayani (2014: 22), yaitu sebagai berikut. 1. Pengajar harus menerangkan kepada peserta didik bahwa melalui metode ini mereka diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang nyata dan ada di masyarakat. 2. Pengajar harus memilih masalah yang menarik untuk dijadikan tema sehingga para peserta didik terstimulus untuk berusaha memecahkan masalah tersebut dan menampilkan performa yang baik saat bermain peran.
11
3. Pengajar harus mampu menjelaskan tema dan isi masalah dengan baik dan jelas agar peserta didik memahami dan mampu memainkan peran dengan tepat. 4. Pengajar perlu membantu para peserta didik yang belum terbiasa dengan memberikan kalimat pertama (pembuka) dalam dialog. Di samping hal-hal di atas, pengajar juga perlu untuk menyesuaikan tema dengan materi atau pokok bahasan materi yang diajarkan dan alokasi waktu yang tersedia. Pengajar juga dituntut untuk mampu mengendalikan kelas agar pembelajaran dan sesi diskusi tetap berjalan dengan tertib. Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh para mahasiswa saat melaksanakan proses pembelajaran bermain peran, yaitu mereka dapat mengeksplorasi kemampuan mereka dalam melafalkan istilah-istilah kantor depan dan menerapkannya dalam pola percakapan. Selain itu, mereka dapat berlatih memecahkan masalah yang mungkin muncul saat bekerja di dunia perhotelan sesungguhnya sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik sejak dini. Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa bermain peran merupakan salah satu metode pembelajaran yang tepat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks kantor depan.
2.2.6
Konsep Pelafalan Dalam bahasa Inggris terdapat dua macam aksen pelafalan yang
paling umum dikenal, yaitu aksen Inggris (British English) dan aksen Amerika (American English). Salah satu contoh yang dapat diamati adalah kata „vase‟ yang dalam aksen Inggris dilafalkan sebagai [vɑːz], sementara dalam aksen Amerika
11
dilafalkan sebagai [veɪs]. Menurut Ladefoged dan Johnson (2010: 281), pembicara yang berbeda saat melafalkan kata-kata dalam bahasa yang sama dapat mengalami produksi bunyi yang berbeda terkait dengan fisiologis atau bentuk vocal tractatau koordinasi sistem bunyi. Segala bentuk perbedaan yang ada dapat dideskripsikan dengan menggunakan daftar simbol IPA dan fitur fonologis lainnya yang dapat memberikan gambaran jelas tentang adanya variasi dalam pelafalan setiap manusia. Dalam hal ini peranan lidah dan alat pemroduksi pada organ bunyi manusia sangat krusial. Selama berabad-abad, pelafalan beberapa kata dalam bahasa Inggris telah berubah, sementara beberapa masih tetap sama. Dengan demikian, transkripsi fonemik bahasa Inggris dapat berbeda dari bentuk tertulisnya.
2.3
Landasan Teori Terdapat dua teori utama yang digunakan dalam tulisan ini. Teori
pertama untuk memecahkan permasalahan dari segi linguistik, yaitu teori fonetik. Teori kedua adalah teori pembelajaran yang dibagi menjadi cakupan teori belajar behaviorisme dan teori nativisme sebagai pembanding. Teori pelengkap yang digunakan adalah teori kartu flash card oleh Glenn Doman. Teori-teori ini digunakan untuk mengolah data dari beberapa sampel yang digunakan untuk mewakili jumlah total subjek penelitian. Teori pertama, yaitu teori fonetik merujuk pada teori yang dipaparkan oleh Ladefoged dan Johnson (2010). Teori fonetik ini selanjutnya dapat dibagi menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan
11
berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, serta teori pengaturan kelas dan kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate, 2008). Di samping itu, juga dilengkapi dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2011: 2--3). Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas dua teori besar, yaitu teori belajar behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan yang ditemukan dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu dan kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme.
2.3.1
Teori Linguistik – Fonetik Teori linguistik, terutama fonetik berperan vital untuk menganalisis
beragam aspek dalam proses pembelajaran mahasiswa saat memahami dan melafalkan istilah-istilah yang berkaitan dengan front office. Sebagai ilmu yang berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa, teori fonetik terdiri atas tiga cakupan, yaitu fonetik organis, fonetik akustis, dan fonetik auditoris. 1. Fonetik Organis Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) adalah fonetik yang mempelajari tentang mekanisme alat-alat bicara/ucap manusia berupa organ vokal yang berfungsi untuk membentuk dan menghasilkan bunyi bahasa (Marsono, 1999: 2). Organ vokal yang dimaksud yaitu bagian lidah dan bibir (atas dan bawah). 2. Fonetik Akustis Malmberg (1963) dalam Marsono (1999: 2) fonetik akustis mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi tersebut diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan timbrenya.
11
Fonetik jenis ini berkaitan dengan fisika dalam laboratorium fonetis, untuk pembuatan telepon, perekaman piringan hitam, dan sejenisnya. 3. Fonetik Auditoris Bronstein dan Jacoby (1967) dalam Marsono (1999: 3) memaparkan bahwa fonetik auditoris mempelajari tentang mekanisme telinga dalam menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara. Hal ini tentu juga berhubungan dengan posisi vokal tinggi dan rendah berdasarkan bunyi yang hendak diproduksi. Contoh, vokal [i] merupakan vokal tinggi depan, [u] merupakan vokal tinggi belakang, [æ] merupakan vokal rendah depan, dan [ɑ] merupakan vokal rendah belakang. Bidang fonetik ini cenderung dimasukkan ke dalam neurologi ilmu kedokteran (Marsono, 1999: 3). Fonetik artikulatoris digunakan sebagai acuan utama dalam penelitian ini. Hal ini tak lepas dari fungsi fonetik artikulatoris yang berkaitan dengan produksi bunyi yang akan menjadi data untuk penelitian kali ini. Ladefoged dan Johnson (2010: 88) menjabarkan bahwa secara teori fonetik, bahasa Inggris dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah sebagai berikut. 1) Vokal Vokal dalam bahasa Inggris bervariasi antara rentang vokal atas dan rendah. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa vokal dapat diproduksi dengan menggerakkan lidah dan bibir. Vokal juga dapat secara sederhana dapat dimaknai sebagai huruf hidup yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang keluar melalui tenggorokan dan mulut tanpa hambatan.
11
Marsono (1999: 29) memaparkan bahwa vokal dalam bahasa Inggris dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, sriktur (jarak lidah dengan langit-langit), dan bentuk bibir. Berikut merupakan pemaparan terperinci terkait dengan pengklasifikasian tersebut. 1. Tinggi Rendahnya Lidah Berdasarkan tinggi rendahnya lidah vokal dapat dibagi atas: a. vokal tinggi, misalnya: [i, u]; b. vokal madya (tengah), misalnya: [e, ɛ, ә, o, ɔ]; dan c. vokal rendah, misalnya: [a, ɑ]. 2. Bagian Lidah yang Bergerak Berdasarkan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi: a. vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian depan, misalnya: [i, e, ɛ, a]; b. vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah bagian tengah, misalnya: [ә]; dan c. vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah), misalnya: [u, o, ɔ, ɑ]. 3. Striktur (Stricture) Striktur merupakan keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan artikulator pasif (Lapoliwa (1981) dalam Marsono (1999:31)). Striktur untuk vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya, vokal dapat dibedakan atas:
11
a. vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Misalnya: [i] dan [u]; b. vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di atas vokal yang paling rendah. Misalnya: [e] dan [o]; c. vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau dua pertiga di bawah vokal tertutup. Misalnya: [ɛ] dan [ɔ]; dan d. vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah mungkin. Misalnya: [a] dan [ɑ]. 4. Bentuk Bibir Jones (1958) dalam Marsono (1999: 32) memaparkan bahwa berdasarkan bentuk bibir saat vokal diucapkan, vokal dapat dibedakan atas: a. vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Bentuk bibir yang bulat dapat dalam keadaan terbuka atau tertutup. Jika dalam keadaan terbuka, maka vokal itu diucapkan dengan posisi bibir terbuka bulat (open rounded), misalnya vokal [ɔ]. Di sisi lain, jika tertutup maka vokal itu diucapkan dalam posisi bentuk bibir tertutup bulat, misalnya untuk vokal [o] dan [u]; b. vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral, tidak bulat tetapi juga tidak terbentang lebar. Misalnya untuk vokal [ɑ]; dan
11
c. vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya untuk vokal [i], [e], [ә], [ɛ], dan [a]. Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan vokal dalam bahasa Inggris tersebut. Tabel 1.1 Tabel proses pembentukan vokal dalam bahasa Inggris 1 2 3 4 5 Striktur Gerak No Vokal Tinggi (jarak lidah Bentuk lidah Contoh kata rendah lidah dengan langitbibir bagian langit) tak see, feel, bead, 1 [iː] tinggi atas depan tertutup bulat ream tak 2 [ɪ] tinggi bawah depan semi-tertutup it, lid, fill, rich bulat madya semitak 3 [ɛ] depan fell, get, led (tengah) tertutup/terbuka bulat 4 [æ] rendah depan hampir terbuka netral bad, cat, bat madya tak bird, burn, 5 [әː]/[ɜː] tengah semi-tertutup (tengah) atas bulat heard madya ago, colour, 6 [ә] (tengah) tengah semi-terbuka netral perhaps bawah 7 [Ʌ] rendah tengah hampir terbuka netral up, cup, luck card, dark, 8 [ɑː] rendah bawah belakang terbuka netral hard 9 [ɔ] rendah bawah belakang terbuka bulat box, hot, lock 10
[ɔː]
rendah atas
belakang
semi-terbuka
bulat
cord, law, saw
11
[u]
tinggi bawah
belakang
semi-tertutup
bulat
12
[uː]
tinggi atas
belakang
tertutup
bulat
put, pull, look pool, too, shoed
2) Diftong Bunyi yang diproduksi dengan melibatkan perubahan dalam vokal tertentu melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Marsono (1999: 50) memaparkan bahwa diftong dalam bahasa Inggris dapat dibedakan
11
menjadi dua jenis, yaitu diftong naik (rising diphthongs), diftong turun (falling diphthongs), dan diftong memusat (centring diphthongs). 1. Diftong naik bahasa Inggris Diftong naik adalah jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada yang pertama. Karena lidah semakin menaik, strikturnya menjadi semakin tertutup, sehingga diftong ini juga dapat disebut diftong menutup (closing diphthongs). Bahasa Inggris memiliki lima jenis diftong naik, yaitu: a. diftong naik-menutup-maju [aɪ], misalnya dalam: time [taim]; b. diftong naik-menutup-mundur [eɪ], misalnya dalam: base [beɪs]; c. diftong naik-menutup-maju [ɔɪ], misalnya dalam: boy [bɔɪ]; d. diftong naik-menutup-mundur [aʊ], misalnya dalam: now [naʊ]; dan e. diftong naik-menutup-maju [oʊ] atau [әʊ], misalnya dalam go [ɡoʊ] atau [ɡәʊ]. 2. Diftong turun bahasa Inggris Selain diftong naik, bahasa Inggris juga memiliki dua jenis diftong turun, yaitu: a. diftong turun-membuka-memusat [ɪә], misalnya dalam: ear [ɪә]; dan b. diftong turun-membuka-memusat [ʊә], misalnya dalam: pure [pjʊә]. 3. Diftong memusat bahasa Inggris Diftong
memusat
merupakan
diftong
yang
diucapkan
dengan
menggerakkan lidah ke vokal tengah sentral. Terdapat dua jenis diftong naik memusat, yaitu:
11
a. diftong naik-menutup-memusat [ɔә], misalnya dalam: more [mɔә]; dan b. diftong naik-menutup-memusat [ɛә] atau [eә], misalnya dalam: there [ðɛә] atau [ðeә]. 3) Konsonan Bunyi yang dalam pembentukannya melalui proses udara yang tidak keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan atau penyempitan sehingga menghasilkan bunyi seperti gesekan. Berikut merupakan konsonan-konsonan yang terdapat dalam bahasa Inggris menurut Marsono (1999). 1.
Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosive) Konsonan hambat letup adalah konsonan yang terjadi dengan hambatan penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat dibagi menjadi tiga seperti berikut. a. Konsonan hambat letup bilabial Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi [p] yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „pool‟, „compare‟, dan „map') dan [b] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam „big‟, „rubber‟, dan „rib‟). b. Konsonan hambat letup apiko-alveolar Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi, seperti bunyi alveolar [t]
11
yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „town‟, „writing‟, dan „heart‟) dan [d] yang merupakan konsonan lunak bersuara dan lebih pendek hambatannya (seperti dalam „down‟, „riding‟, dan hard‟). c. Konsonan hambat letup dorso-velar Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit lunak, seperti [k] yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „curl‟, „bicker‟, dan „dock‟) dan [ɡ] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam „girl‟, „bigger‟, dan dog‟). 2.
Konsonan Nasal (Nasals) Konsonan nasal (sengau) adalah konsonan yang dibentuk dengan menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melalui rongga mulut. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dapat dibagi menjadi tiga seperti berikut. a. Konsonan nasal bilabial Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas. Nasal yang terjadi adalah [m] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „man‟, „among‟, dan „him‟). b. Konsonan nasal apiko-alveolar Konsonan ini dapat terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi. Nasal yang terjadi adalah [n] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „name‟, „many‟, dan „ten‟).
11
c. Konsonan nasal dorso-velar Konsonan ini dapat terjadi bila proses penghambatan itu artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit lunak. Nasal yang dihasilkan adalah [ŋ] yang merupakan konsoan nasal bersuara (seperti dalam „singer‟ dan „sing‟). 3.
Konsonan Paduan (Affricates) Konsonan paduan adalah konsonan hambat jenis khusus. Proses terjadinya adalah dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Tempat artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi bagian belakang (langit-langit keras bagian depan atau prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah paduan apikoprepalatal [tʃ] yang merupakan paduan keras tak bersuara (seperti dalam „chin‟, „riches‟, dan „rich‟) dan [dʒ] yang merupakan paduan lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek (seperti dalam „gin‟, „ridges‟, dan „ridge‟).
4.
Konsonan Sampingan (Laterals) Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah samping saja. Tempat artikulasinya adalah ujung lidah dan gusi. Bunyi yang dihasilkan adalah [l] yang merupakan konsonan bersuara (seperti dalam „look‟, „holiday‟, dan „oil‟).
5.
Konsonan Geseran atau Frikatif (Fricatives, Frictions) Konsonan geseran atau frikatif adalah konsonan yang dibentuk dengan menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,
11
sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser. Menurut tempat artikulasinya konsonan geseran dapat dibagi menjadi: a. Konsonan geseran labio-dental Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang terjadi adalah [f] yang merupakan konsonan keras tak bersuara (seperti dalam „fan‟, „sofa‟, dan „life‟) dan [v] yang merupakan konsonan lunak bersuara (seperti dalam „van‟, „cover‟, dan „live‟). b. Konsonan geseran apiko-dental Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [θ] yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang hambatannya lebih panjang (seperti dalam „thank‟, „nothing‟, dan „both‟) dan [ð] yang merupakan konsonan lunak bersuara yang hambatannya lebih pendek (seperti dalam „then‟, „brother‟, dan „smooth‟). c. Konsonan geseran apiko-palatal Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan adalah [ṛ] yang termasuk bunyi bersuara (seperti dalam „red‟ dan „very‟). d. Konsonan geseran lamino-alveolar Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya adalah gusi. Bunyi yang terjadi adalah [s] yang merupakan konsonan keras tak bersuara yang lebih panjang hambatannya (seperti dalam „seal‟, „lacy‟, dan „bus‟) dan [z] yang
11
merupakan konsonan lunak bersuara lebih pendek hambatannya (seperti dalam „zeal‟, „lazy‟, dan „buzz‟). e. Konsonan geseran apiko-prepalatal Konsonan ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi bagian belakang atau langit-langit keras depan (prepalatal). Bunyi yang dihasilkan adalah [ʃ] yang merupakan bunyi keras tak bersuara lebih panjang hambatannya (seperti dalam kata „shop‟, „nation‟, dan „wash‟) dan [ʒ] yang merupakan bunyi lunak bersuara lebih pendek hambatannya (seperti dalam kata „measure‟ dan „rouge‟). f. Konsonan geseran laringal Konsonan ini dapat terjadi bila artikulatornya adalah sepasang pita suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu melewati glotis digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit dari pada posisi glotis terbuka lebar dalam bernafas normal. Bunyi yang dihasilkan adalah bunyi [h] yang merupakan konsonan tidak bersuara karena pita suara tidak ikut bergetar (seperti dalam „her‟ dan „behind‟). 6.
Semi-vokal Bunyi semi-vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi itu disebut semi-vokal (cf. Verhaar, 1977: 20). Menurut tempat hambatannya (artikulasi) dapat dibagi menjadi dua seperti berikut. a. Semi-vokal bilabial dan labio-dental Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, bunyi yang terjadi adalah
11
[w] bilabial. Dapat juga bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas, yang terjadi adalah [w] labio-dental. Bunyi pada [w] adalah bunyi bersuara (seperti dalam „watch‟ dan „away‟). b. Semi-vokal medio-palatal Semi-vokal ini dapat terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi adalah [y] yang termasuk bunyi bersuara (seperti pada „yard‟ dan „million‟). Berikut merupakan tabel yang memuat rincian proses pembentukan konsonan dalam bahasa Inggris tersebut: Tabel 1.2 Tabel proses pembentukan konsonan dalam bahasa Inggris
Rapat lepas tibatiba
Hambat letup
Rapat lepas tibatiba
Nasal (sengau)
Rapat lepas pelanpelan
Paduan (afrikat)
Renggang lebar Renggang Renggang lebar
Sampingan (lateral) Geseran (frikatif) Semi-vokal
T
p ph
t th
k kh
B
b
d
ɡ
B
m
n
ŋ
T
tʃ
B
dʒ
B
l
T
f
θ
ʃ
B
v
ð
ʒ
B
Laringal
Dorso-velar
Medio-palatal
Lamino-alveolar
Apiko-palatal
Apiko-prepalatal
Apiko-alveolar
Apiko-dental
Labio-dental
(cara artikulasi)
Bilabial
antar penghambat (striktur)
Tempat hambatan (tempat artikulasi tak bersuara
Cara dihambat Bersuara dan
Hubungan posisional
w
s ṛ
h
z y
2.3.1.1 Teori Production Skill Bygate (2008: 14) memaparkan bahwa bahasa lisan memberikan waktu yang terbatas untuk memutuskan hal yang hendak diujarkan, bagaimana cara mengujarkannya, mulai mengujarkannya, dan memastikan bahwa maksud
11
utama pembicara telah tersampaikan. Di samping itu, Bygate juga menjabarkan bahwa faktor waktu juga memengaruhi cara bagaimana pembicara menggunakan bahasanya dalam memaparkan sesuatu yang hendak diutarakannya. Jika tersedia waktu yang lebih panjang, maka pembicara dapat mempersiapkan hal-hal yang hendak dikatakan dengan lebih baik dan mantap lagi. Sebaliknya, jika waktu yang tersedia tidak memungkinkan pembicara untuk mempersiapkan bahan yang hendak diutarakan, maka kecenderungan hal-hal yang akhirnya diucapkan menjadi tidak beraturan dapat menjadi lebih besar. Oleh karena itu, terdapat dua strategi bagi seseorang untuk menjadi pembicara yang andal dan gagasan dapat tersampaikan dengan lebih optimal. Pertama,
pembicara
dapat
menerapkan
beragam
hal
untuk
memudahkan menghasilkan ujaran yang tepat. Hal yang dimaksud dapat berupa gerakan tangan, ekspresi wajah (facial expressions), dan kata konjungsi yang tepat. Kedua, pembicara harus menyesuaikan diri dengan berlatih berbicara secara teratur dan lebih sering agar dapat mengatasi kesulitan yang sering ditemukan dalam konteks berbicara, terutama di depan umum. Hal ini disebabkan oleh para pembicara pada umumnya memiliki sedikit waktu untuk merencanakan, mengatur, dan menyampaikan pesan yang hendak diutarakan. Dengan demikian, mereka kerap menggunakan frasa-frasa tertentu beserta artinya yang besar kemungkinan tidak begitu dimengerti oleh lawan bicara atau pendengarnya.
2.3.1.2 Teori Keterampilan Berinteraksi dalam Metodologi Bahasa Lisan Bygate (2008: 22) memaparkan bahwa dalam berinteraksi secara lisan, baik pembicara maupun pendengar, tidak hanya wajib menjadi „pengolah‟
11
yang baik atas kata-kata yang dihasilkan secara lisan. Akan tetapi, juga harus dapat menghasilkan bahasa yang koheren (bertalian secara logis) dalam keadaan yang berbeda-beda dari komunikasi lisan yang terjadi. Proses komunikasi (berbicara dan menyimak) dapat dikatakan berjalan dengan optimal dan berhasil jika pembicara dapat mengutarakan hal-hal yang hendak disampaikan (gagasan dari pikiran mereka) secara tepat dengan cara yang dapat dipahami oleh pendengar dengan mudah. Barnes (dalam Bygate, 1976) memaparkan perbedaan yang tajam antara „pembelajaran eksploratori‟ dan „pembelajaran final draft‟ yang sangat aplikatif dalam kegiatan pembelajaran dan pengajaran bahasa di kelas. „Pembelajaran
eksploratori‟
merupakan
pembelajaran
yang
menitikberatkan fokus pada pemahaman setiap aspek dari topik secara merata. Selain itu, merencanakan tugas tanpa terlampau sering melakukan kesalahan. Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk bereksperimen dengan aspek-aspek yang telah dipelajari agar dapat mengetahui hal-hal yang kerap muncul sebagai bagian-bagian yang terpenting atau yang paling menarik bagi mereka. Di sisi lain, „pembelajaran final draft‟ merupakan pembelajaran yang menitikberatkan fokus pada penghindaran atas terjadinya kesalahan dan menghasilkan penampilan (performance) yang sempurna dari permulaan. Pembelajaran ini mengharapkan para peserta didik untuk memahami beragam hal dengan cepat sebelum mengetahui penggunaan konsep yang ada terkait dengan topik pembicaraan. Selain itu, diharapkan pula para peserta didik dapat mengantisipasi perbedaan-perbedaan (dalam hal ini dapat berupa perbedaan antara
11
bahasa pertama/bahasa sumber dan bahasa kedua/bahasa tujuan) tertentu sebelumnya sehingga tidak perlu mengulang dari awal lagi. Peserta didik juga diwajibkan lebih cekatan dan efisien dalam memastikan hal-hal yang perlu ditambahkan atau hal-hal yang perlu dilakukan secara cepat dan rapi dalam mendukung performa berbicara.
2.3.1.3 Teori Pengaturan Kelas dan Kemampuan Lisan (Oral Skills) Latihan dalam keterampilan lisan (berbicara) mewajibkan para pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (pembicara dan pendengar) untuk merundingkan makna dan mengelola interaksi secara bersama-sama. Terdapat sebuah hubungan antara tingkat kebebasan untuk berunding dan jumlah orangorang yang terlibat (Bygate, 2008: 96). Secara keseluruhan, pengajar perlu juga memperhatikan dan mencermati bagaimana langkah-langkah keterampilan berbicara ditempuh dan dipelajari. Hal yang terpenting adalah pengajar harus mampu mengatur kelas agar peserta didik dapat mendengar dengan baik setiap ujaran yang diucapkan oleh pengajar.
2.3.1.4 Teori Kesalahan Berbahasa Sebagai tenaga pendidik bahasa, terutama bahasa asing, seorang pengajar wajib mengetahui dan memahami pengertian kesalahan berbahasa. Hal ini sangat wajar sekaligus krusial. Artinya, merupakan hal yang mustahil jika seorang pengajar menyebutkan bahwa seorang peserta didik melakukan kesalahan dalam konteks berbicara jika sang pengajar tidak memiliki pengetahuan atau teori landasan tentang konsep kesalahan berbahasa yang memadai. Jika tidak menjadi
11
seorang pengajar bahasa sekalipun, seseorang juga dapat mengetahui jenis kesalahan yang kemungkinan terjadi jika ia ingin mempelajari landasan tentang jenis kesalahan berbahasa (terutama dalam penggunaan bahasa kedua dan asing) secara lebih intensif. Sesungguhnya kesalahan berbahasa merujuk kepada beberapa pengertian yang beragam, tetapi kebanyakan orang menganggap bahwa hal tersebut sama secara keseluruhan, artinya tidak ada perbedaan sama sekali. Anggapan ini wajib diubah oleh seorang pengajar bahasa. Itulah sebabnya pengertian kesalahan berbahasa wajib dipahami sebelum mengajarkan atau membahas bahasa kedua atau bahasa asing. Corder (dalam Indihadi, 2011: 2--3) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis kesalahan dalam berbicara, yang dijabarkan sebagai berikut. 1) Lapses merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk menyatakan sesuatu sebelum seluruh tuturan (kalimat) selesai dinyatakan selengkapnya. Untuk konteks bahasa lisan, kesalahan ini diistilahkan sebagai „slip of the tongue‟, sementara untuk bahasa tulis diistilahkan sebagai „slip of the pen‟. Kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan dan tidak disadari oleh penuturnya. 2) Error merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau aturan tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang lain sehingga berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur.
11
3) Mistake merupakan kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih kata atau ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua. Melalui pemaparan di atas, dapat dicermati bahwa ketiga istilah tersebut memiliki makna yang tidak dapat diseragamkan. Dengan memahami setiap perbedaan makna istilah-istilah di atas, maka seorang pengajar dapat membuat determinasi atau menentukan jenis kesalahan yang dibuat oleh peserta didik saat praktikum berbicara. Menurut Corder (1981) dalam Zhang (2013: 86), kesalahan peserta didik secara signifikan dapat terjadi dalam tiga cara. Pertama, bagi pengajar, kesalahan peserta didik dapat menunjukkan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai dan bagian mana yang belum. Kedua, bagi peneliti, kesalahankesalahan yang ada dapat menyediakan semacam bukti atas terlaksananya proses pembelajaran. Ketiga, bagi peserta didik sendiri, kesalahan yang terjadi merupakan cara mereka untuk menguji hipotesis terhadap bahasa yang sedang dipelajari. Terkait dengan cara pembelajaran bahasa, Corder menyatakan bahwa kesalahan (baik berupa error ataupun mistake) dapat dimanfaatkan sebagai „koreksi diri otomatis‟ dan tidak dapat dihitung sebagai sebuah kesalahan. Meskipun demikian, jika kita berpikir bahwa bahasa peserta didik merupakan suatu hal yang sangat sistematik dan memiliki aturan gramatikal tersendiri, harus diakui bahwa apa pun yang diutarakan oleh peserta didik saat mencoba berkomunikasi dengan bahasa tersebut adalah „tepat‟ dalam tataran interlanguage
11
mereka. Corder (1981) dalam Zhang (2013: 88) memaparkan bahwa setiap ujaran yang dihasilkan bersifat gramatikal, kecuali terjadi kesalahan (mistake) atau slip of tongue/pen. Khusus untuk pengidentifikasian kesalahan dalam setiap ujaran, kesalahan yang ada harus disesuaikan dengan konteks situasional dan tema/topik yang sesuai pula. Akan tetapi, terkadang sebuah kalimat yang tertata dengan baik telah memenuhi persyaratan gramatikal, tetapi tidak berterima secara konteks. Satu-satunya pemecahan atas masalah kesalahan pelafalan yang disarankan oleh Corder adalah setiap kalimat yang diujarkan peserta didik wajib dianalisis secara menyeluruh. Artinya, dikenali dan ditelusuri jenis kesalahannya melalui struktur atau penyusunan yang tidak tepat dengan aturan gramatikal bahasa sasaran. Di samping itu, kalimat-kalimat tersebut diperbaiki dan diberikan beberapa keterangan atau penjelasan tentang aspek-aspek yang telah diperbaiki. Hal lainnya adalah adanya interferensi bahasa ibu yang juga dapat menjadi salah satu hal yang umumnya dapat memengaruhi cara seseorang melafalkan ujaran dalam bahasa kedua ataupun bahasa asing.
2.3.2
Teori Pembelajaran Selain teori linguistik – fonetik, teori pembelajaran juga menjadi salah
satu teori yang berperan krusial dalam penelitian ini. Hal ini tentu berkaitan dengan pola belajar setiap mahasiswa dalam memahami ilmu yang berkaitan dengan front office dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Artinya, bagaimana cara mereka menyerap materi dan berlatih menggunakannya dalam kegiatan praktikum. Terdapat dua teori pembelajaran yang digunakan, yaitu teori belajar behaviorisme dan nativisme.
11
2.3.2.1 Teori Belajar Behaviorisme Salah satu cara yang sesuai diterapkan dalam konteks berbicara adalah pengoptimalan teori behaviorisme dalam aspek pengajaran bahasa Inggris. Teori behaviorisme berasal dari kata behavior yang bermakna „tingkah laku‟. Teori ini menyoroti dua hal utama, yaitu aspek perilaku kebahasaan seseorang yang dapat diamati secara langsung dan keterkaitan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Dengan adanya reaksi yang tepat terhadap rangsangan kebahasaan yang diberikan berdampak pada perilaku bahasa yang efektif. Teori ini lebih menekankan pada penerapannya pada pemerolehan bahasa pertama meskipun hal serupa juga berlaku pada pemerolehan bahasa kedua ataupun bahasa asing. Salah satu tokoh behaviorisme yang terkemuka adalah Burrhusm Frederic Skinner meskipun John Broadus Watson dianggap sebagai pelopor utama teori ini. Secara spesifik, teori ini juga memaparkan istilah „tabula rasa‟ yang merujuk pada pemahaman bahwa setiap bayi yang dilahirkan diumpamakan seperti kertas kosong yang nantinya akan „ditulisi‟ dengan beragam pengalaman, termasuk pengalaman linguistik/kebahasaan. Untuk selanjutnya, kecakapan kebahasaan seseorang dapat dipantau melalui tingkat kemajuan dari prinsip stimulus-respons. Di samping itu, ditambah dengan proses imitasi (peniruan – bagaimana seseorang memahami bahasa dan aspek-aspek linguistik di dalamnya dengan cara meniru orang lain di sekitarnya). Tarigan (2009: 114) memaparkan kaitan teori behaviorisme yang mendasari pengajaran kemampuan berbicara, yaitu mengembangkan dalam diri para peserta didik kemampuan yang (setidaknya) menyerupai kemampuan para penutur asli. Teori behaviorisme menitikberatkan pendekatan pembelajaran
11
terhadap aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons) yang dapat mengubah tingkah laku seseorang. Dapat dikatakan bahwa anak mempelajari bahasa pertama melalui respons yang tepat terhadap kondisi sekitarnya. Terkait dengan pemerolehan bahasa, baik bahasa kedua maupun bahasa asing, Lado (1964) juga memaparkan bahwa seseorang akan cenderung menerapkan aturan atau kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa pertama saat mulai mempelajari bahasa kedua, terlebih lagi saat mempelajari bahasa asing. Hal ini berdampak pada kesalahan pembentukan pola frasa hingga kalimat yang diproduksi. Contoh, seorang anak berbahasa pertama bahasa Indonesia dapat saja mengatakan frasa „buku baru‟, „mobil mahal‟, dan „kucing hitam‟ sebagai „book new‟, „car expensive‟, dan „cat black‟ yang seharusnya menjadi „new book‟, „expensive car‟, dan „black cat‟. Fenomena ini dapat terjadi karena struktur pola frasa dalam bahasa Indonesia berbeda dengan yang ada pada bahasa Inggris. Dalam struktur frasa bahasa Indonesia, kata benda (contoh: buku, mobil, dan kucing) yang ada diikuti oleh kata sifat (contoh: baru, mahal, dan hitam). Di sisi lain, struktur yang dimiliki bahasa Inggris meletakkan kata sifat (contoh: new, expensive, dan black) sebelum kata benda (contoh: book, car, dan cat). Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang baik dan latihan yang intensif agar dapat menerapkan struktur yang sesuai dalam bahasa kedua ataupun asing melalui pelafalan yang tepat (proper pronunciation). Secara keseluruhan, teori ini juga mengenal adanya konsep „peniruan‟ dan „pengulangan – latihan berulang-ulang (drill)‟. Istilah „drill‟ di sini merujuk kepada sebuah kegiatan yang melatih kemampuan khusus/tertentu secara terus
11
menerus dan berkesinambungan. Artinya, seseorang dapat melaksanakan suatu kegiatan, terutama kegiatan berbahasa, dengan meniru cara pihak lain dan menerapkannya
dalam
kehidupan
sehari-hari
melalui
melatih
diri
melaksanakannya secara konsisten. Dua konsep ini selanjutnya menjadi dua kunci keberhasilan seseorang dalam proses belajar menurut teori behaviorisme. Berdasarkan pemahaman sebelumnya, dapat dicermati bahwa jika terdapat banyak aspek linguistik yang serupa antara bahasa pertama dan bahasa kedua ataupun bahasa asing, maka seseorang dapat memperoleh atau memahami struktur bahasa kedua atau bahasa asing dengan jauh lebih mudah. Di lain pihak, jika struktur bahasa pertama berbeda, bahkan sangat jauh berbeda dengan bahasa kedua atau bahasa asing, maka seseorang dapat mengalami kesulitan atau kendala dalam memahaminya. Selain proses imitasi/peniruan, paham ini juga menganjurkan agar seseorang membiasakan diri (proses habituation) dengan aspek linguistik yang ada saat mempelajari bahasa baru. Satu hal lain yang tidak kalah krusial adalah dalam teori pembelajaran bahasa behaviorisme juga terdapat pengembangan metode drill atau lebih memperbanyak latihan penggunaan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun tertulis. Proses pembelajaran dapat dikatakan telah berjalan dengan baik jika peserta didik mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya menuju arah yang positif atau pada akhirnya terdapat perbedaan kondisi kebahasaan atau ilmu pengetahuan pada peserta didik (dalam hal ini telah meningkat). Dalam proses pembelajaran sedapat mungkin tersedia peranti pembelajaran tertentu yang dapat menstimulus minat peserta didik untuk tertarik kepada materi yang diberikan.
11
2.3.2.2 Teori Belajar Nativisme Istilah nativisme berasal dari kata native yang bermakna „asli‟ atau „asal‟. Teori ini meyakini bahwa setiap manusia sudah dibekali dengan alat pemerolehan bahasa (language acquisition device atau LAD) sejak dilahirkan. Hal inilah yang kemudian berperan signifikan dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut selanjutnya. Salah satu tokoh nativisme yang terkemuka adalah Noam Chomsky. Ia berpendapat bahwa perilaku berbahasa merupakan sesuatu yang diturunkan secara genetik sementara lingkungan hanya berperan kecil dalam proses pematangan bahasa. Ia memperjelas pendapatnya dengan menyatakan bahwa lingkungan bahasa anak tidak mampu menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa serumit yang telah dipahami oleh orang dewasa. Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan mampu menguasai sistem bahasa yang rumit. Terkait dengan sikap yang berlawanan dengan teori behaviorisme, dalam Kristianty (2006: 32) dipaparkan bahwa teori nativisme juga berpendapat bahwa ujaran seorang anak bukan merupakan „tiruan‟ dari apa yang didengarnya dan terlebih dalam beberapa kasus ditemukan bahwa anak-anak dapat membentuk kalimat atau ujaran yang belum pernah didengar. Dua hal ini dapat menjadi sebuah indikator bahwa teori nativisme juga dapat berpengaruh terhadap proses komprehensi seseorang dalam pemerolehan bahasa kedua (atau asing sekalipun) selain teori behaviorisme.
11
2.3.3 Teori Kartu Flash Card Glenn Doman Selain teori berbicara, tulisan ini juga menerapkan teori Glenn Doman. Teori ini menggunakan metode dengan cara kerja tematik. Metode tematik ini dirancang khusus untuk mengoptimalkan potensi mahasiswa sehingga pengajar hanya berperan sebagai fasilitator. Metode ini berpusat pada peserta didik – dalam hal ini mahasiswa – (student-centered), tetapi dalam pengajaran dapat dilakukan dalam pola permainan sehingga tidak membosankan. Teori untuk kartu flash card sangat berguna untuk menambah perbendaharaan kata pada peserta didik. Kartu ini berisi gambar beserta kata-kata atau penjelasan lainnya. Dalam penelitian ini, seluruh seri kartu tematik dibagikan kepada para mahasiswa yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk kemudian disimak bersama-sama. Mereka berlatih cara melafalkan kata-kata tertentu secara berulang-ulang kemudian menukar kartu tersebut dengan kartu berbeda dari kelompok lainnya sehingga mereka menyimak seluruh seri kartu yang ada.
2.4 Model Penelitian Penelitian tindakan kelas atau PTK (classroom action research) memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk meningkatkan mutu pembelajaran apabila diimplementasikan dengan baik dan benar (Kusnandar, 2010: 41). Dari segi pengertian istilah, Kusnandar juga mengungkapkan bahwa PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas, sementara fokus PTK terdapat pada peserta didik atau PBM (proses belajar mengajar) yang terjadi di kelas. Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di kelas dan
11
meningkatkan kegiatan nyata guru dalam kegiatan pengembangan profesinya (Kusnandar, 2010: 45). Penelitian tindakan kelas terdiri atas beberapa langkah yang terealisasi dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan pengajaran. Dengan adanya perincian yang jelas, maka dapat dibuat kepastian yang baik terkait dengan tujuan pembelajaran. Dalam praktik di lapangan, setiap pokok bahasan biasanya tidak dapat diselesaikan dalam satu langkah sehingga setiap satu langkah menjadi sangat krusial dan berperan signifikan untuk langkah berikutnya. Pembelajaran materi kantor depan (front office)
Pelaksanaan teknik kartu tematik terhadap para mahasiswa
Kondisi kemampuan awal (threshold level) para mahasiswa
Penerapan teknik kartu tematik bergambar yang dilengkapi deskripsi (Teori Kartu Flash Card Glenn Doman)
Mahasiswa
Aspek-aspek fonetis yang menjadi kendala
Teori Linguistik – Fonetik dan Teori Pembelajaran
Konsep bermain peran Penelitian tindakan kelas (PTK)
Analisis data
Catatan:
Hasil penelitian tentang pelafalan bahasa Inggris materi front office melalui kartu tematik : menunjukkan hambatan atau kesulitan : menunjukkan hubungan selanjutnya : menunjukkan keterkaitan satu aspek dengan aspek yang lain Gambar 2.2 Model Penelitian
11
Model penelitian tersebut berperan sangat penting sebagai panduan dalam penelitian ini karena memiliki keterkaitan antara rumusan masalah yang ada, teori yang digunakan, dan hasil yang diperoleh yang tentunya merujuk pada pemecahan masalah. Berikut ini merupakan penjabaran terkait dengan gambar model penelitian di atas. 1. Sesuai dengan topik utama penelitian ini (pelafalan bahasa Inggris, khususnya untuk materi front office bagi mahasiswa) penelitian difokuskan pada pemecahan tiga hal yang menjadi permasalahan atas kendala yang ditemukan dalam proses pembelajaran. Pertama, mengetahui kondisi kemampuan dasar (threshold level) pelafalan para mahasiswa terkait dengan konteks pembelajaran front office sebelum teknik kartu tematik dilaksanakan. Kedua, terkait dengan bentuk pelaksanaan teknik kartu tematik terhadap para mahasiswa saat praktikum untuk menghasilkan pelafalan yang tepat. Ketiga, mengetahui aspek-aspek fonetis yang menjadi kendala dasar dalam pelaksanaan praktik berbicara para mahasiswa. Pembatasan pembahasan berperan sangat krusial untuk menjaga agar pemecahan masalah dapat diselesaikan dengan tepat dan tidak melebar. 2. Teori yang digunakan untuk pemecahan masalah yang ada terbagi atas dua teori utama, yaitu teori lingustik dan teori pembelajaran. Teori linguistik mengacu pada teori Ladefoged dan Johnson (2010). Selanjutnya teori ini dibagi menjadi beberapa subteori, yaitu teori production skill, teori keterampilan berinteraksi dalam metodologi bahasa lisan, teori pengaturan kelas dan kemampuan lisan (ketiganya oleh Bygate (2008)). Teori-teori itu dilengkapi dengan teori kesalahan berbahasa oleh Corder (1974) dalam Indihadi (2--3).
11
Teori kedua, yaitu teori pembelajaran terdiri atas teori belajar behaviorisme dan teori belajar nativisme. Permasalahan pelafalan yang ditemukan dapat dipecahkan melalui sudut pandang behaviorisme terlebih dahulu dan kemudian ditinjau juga dari sudut pandang nativisme. Hal ini disebabkan oleh kedua teori tersebut terlihat agak berlawanan, tetapi dari keduanya dapat ditarik suatu benang merah untuk mengetahui teori belajar yang digunakan oleh para mahasiswa dalam mempelajari bahasa asing. 3. Di samping kedua teori utama yang telah disebutkan sebelumnya, ditambahkan sebuah teori pelengkap, yaitu teori kartu flash card oleh Glenn Doman. Teori ini sangat relevan karena membahas tentang penggunaan media alat bantu pengajaran yang digunakan dalam penelitian ini (kartu tematik bergambar). Secara keseluruhan, semua teori ini berperan penting saat digunakan untuk mengolah data dari beberapa sampel yang mewakili jumlah total subjek penelitian dan memecahkan setiap rumusan masalah yang ada. 4. Pelaksanaan teknik kartu tematik dalam penelitian ini juga didukung dengan penerapan konsep bermain peran. Dapat dijabarkan bahwa setelah para mahasiswa mengetahui dan memahami beragam istilah terkait dengan konteks kantor depan, mereka juga harus mampu menerapkan dan menggunakan istilah tersebut. Selama pelaksanaan penelitian dan pengambilan nilai, teknik kartu tematik dan konsep bermain peran bersinergi dan saling menunjang satu dengan yang lain untuk meningkatkan kemampuan pelafalan para mahasiswa saat praktikum. Dalam hal ini, teknik kartu tematik berperan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang istilah-istilah dalam materi operasi kantor depan kepada mahasiswa dan cara melafalkan istilah tersebut dengan tepat. Setelah tahap
11
pemahaman, konsep bermain peran memiliki fungsi untuk menguji para mahasiswa dalam menerapkan istilah yang telah dipelajari ke dalam tataran kalimat atau ujaran. Konsep ini memiliki peran yang krusial karena pengambilan nilai dan data dilaksanakan dengan cara bermain peran. Sebagai contohnya, salah satu mahasiswa berperan sebagai resepsionis dan mahasiswa yang lain berperan sebagai tamu hotel yang diminta berdialog sesuai dengan tema yang diberikan. Dengan bermain peran secara bergantian, kegiatan ini akan memantapkan sekaligus menyiapkan diri mereka sebelum memasuki dunia kerja sesungguhnya. 5. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) sehingga pelaksanaannya membutuhkan tiga tahapan, yaitu tahap pratindakan, siklus I, dan siklus II. Hasil pengamatan yang diperoleh pada tahap pratindakan dijadikan sebagai bahan acuan dalam menyusun perencanaan pembelajaran pada siklus I dan II. Terkait dengan prosedur yang diterapkan terhadap data merujuk pada beberapa tahapan kerja, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. 6. Khusus pada tahap analisis data, data yang telah terkumpul dianalisis dengan dua metode, yaitu data berupa angka/numerik dianalisis dengan metode kuantitatif dan data berupa hasil observasi/pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dianalisis dengan metode kualitatif untuk mendapatkan informasi tentang perilaku mahasiswa terkait dengan penelitian dalam setiap siklus hingga akhir penelitian. 7. Melalui penerapan teori, diperoleh hasil penelitian berupa data yang disajikan dalam dua jenis. Data yang bersifat kuantitatif disajikan dalam
11
bentuk tabel dan grafik sementara data yang bersifat kualitatif ditampilkan dalam bentuk deskripsi dan keterangan secara terperinci.