19
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata yang sangat komplek, sehingga dapat dipandang sebagai suatu sistem, karena melibatkan berbagai komponen dan banyak pihak, antara lain supply and demand, masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kebijakan, pelaku dan pengusaha pariwisata. Untuk dapat mengimplementasikan dan merealisasikan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism), maka aspek kehidupan masyarakat, kelestarian sumber daya alam dan lingkungan harus lebih diutamakan dibandingkan aspek ekonominya. Salah satu bentuk/produk pariwisata yang mengedepankan aspek kehidupan masyarakat, kelestarian sumber daya alam dan lingkungan adalah agrowisata (agrotourism). Agrowisata pada intinya memiliki konsep mengedepankan aktivitas pertanian dan suasana pedesaan yang masih alami sebagai daya tarik wisatanya, tanpa mengabaikan kenyamanan wisatawan dan pelaku pariwisatanya. Penelitian ini merujuk pada sembilan hasil penelitian terdahulu tentang pengembangan agrowisata, pariwisata kerakyatan, pariwisata pedesaan, dan kebijakan pengembangan pariwisata, yaitu penelitian Bambang (2006), Wirawan (2007), Suwatno (2008), Sedana (2009), Cremers (2010), Saridarmini (2011), Nurhidayati (2012), Rudita (2012), dan Putra (2012). Penelitian Bambang (2006) yang berjudul “Pengembangan Agrowisata Berwawasan Lingkungan: Studi Kasus Desa Wisata Tingkir, Salatiga”,
20
menyatakan bahwa kegiatan agrowisata merupakan kegiatan jangka panjang sehingga
perlu
dilakukan
perspektif
jangka
panjang,
membangun
dan
mengembangkan usaha wisata agro berwawasan lingkungan membutuhkan terbinanya sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari sehingga agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan dengan lingkungan hidup dalam segala aspek. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif. Dalam merumuskan model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan dikaji berdasarkan theseven steps of planning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelurahan Tingkir Lor memiliki potensi untuk dibangun dan dikembangkan sebagai lokasi agrowisata berwawasan lingkungan, sekaligus mengembangkan Desa Wisata Tingkir yang pada saat ini masih belum dapat disebut sebagai tempat tujuan wisata; masyarakat setempat mendukung pembangunan obyek wisata di Desa Wisata Tingkir dengan konsep agrowisata berwawasan lingkungan; berdasarkan pendekatan theseven steps of planning, maka model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan di Desa Wisata Tingkir adalah dengan mengembangkan budidaya agro sebagai obyek (atraksi) wisata melibatkan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Bambang memiliki kesamaan dengan penelitian ini,
yaitu
sama-sama
memiliki
fokus
pengembangan
agrowisata
yang
memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata. Kedua penelitian ini pada prinsipnya sama-sama menuju pada pembangunan pariwisata berkelanjutan. Sedangkan perbedaan penelitian Bambang dan penelitian ini adalah bahwa penelitian Bambang merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan di Desa
21
Tingkir, Salatiga, dan penelitian ini merupakan penelitian untuk mencari strategi dan program dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Wirawan (2007) yang berjudul “Perencanaan Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Gianyar (Suatu Kajian Tentang Perencanaan Pemulihan Pariwisata Dalam Perspektif Emansipatif). ”Penelitian ini dilakukan karena adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa pengeboman di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan,
menganalisis
dan
menginterpretasikan
strategi
pembangunan pariwisata dan mekanisme perencanaan yang diterapkan dalam upaya pemulihan pariwisata yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar; perencanaan
pembangunan
pariwisata
yang
dilakukan
dalam
perspektif
emansipatif dalam upaya pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud; dan faktorfaktor penghambat dalam perencanaan pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud. Langkah-langkah penataan Bali dan upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah jauh dari keinginan rakyat dan belum menyentuh kepentingan rakyat Bali secara menyeluruh. Pemulihan ekonomi hanya menguntungkan segelintir pihak, sedangkan masyarakat kecil yang memerlukan bantuan belum tersentuh. Pemerintah pusat dan daerah dianggap tidak fokus menyusun dan melakukan agenda pemulihan pariwisata pasca peledakan bom Kuta dan Jimbaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan dalam mengupayakan perbaikan maupun pemulihan sektor pariwisata, perlu ditentukan strategi penanganannya
22
dan
mekanisme
perencanaan
yang
sesuai
dengan
karakteristik
daerah
bersangkutan dan lebih banyak melibatkan masyarakat secara emansipatif; dalam perspektif emansipatif, keberdayaan dan kemandirian masyarakat akan dapat menumbuh-kembangkan
prakarsa,
kreativitas
dan
inisiatifnya
dalam
mengupayakan perbaikan kondisi wilayahnya sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya; faktor penghambat yang paling mungkin dan paling dominan ditemui, adalah faktor lingkungan dan faktor pendanaan. Penelitian Wirawan dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama mengambil objek di wilayah Kabupaten Gianyar, sedangkan perbedaannya adalah penelitian Wirawan mengambil ruang lingkupnya lebih luas yaitu di seluruh wilayah Kabupaten Gianyar dan penelitian ini memiliki ruang lingkup hanya di salah satu desa yang ada di wilayah Kabupaten Gianyar, tepatnya di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar, lokasi ini merupakan Kawasan Agropolitan yang ada di Kabupaten Gianyar. Perbedaan lainnya adalah penelitian Wirawan berfokus pada perencanaan pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar, khususnya perencanaan pemulihan pariwisata dalam perspektif emansipatif, sedangkan penelitian ini berfokus pengembangan agrowisata. Penelitian Wirawan dilakukan karena adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa bom Bali di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius, sedangkan penelitian ini dilakukan karena belum adanya strategi dan program yang jelas dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan dan di Kawasan Agrowisata Gianyar Utara.
23
Suwatno (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Perencanaan Agrowisata di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang”
Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan
agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang dengan menggunakan metode survei. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa potensi wisata yang ada dapat dikembangkan menjadi agrowisata. Semua potensi yang ada dapat di kemas dan ditonjolkan melalui perencanaan agrowisata yang dibagi menjadi tiga zona (bagian) yaitu main entrance yang terdiri atas pusat informasi, parkir, pos keamanan, zona utama yaitu terdiri atas empat bagian/zona (zona 1 tanaman bunga, zona 2 tanaman sayur-sayuran, zona 3 tanaman buah, dan zona 4 sebagai hutan konservasi) dan zona pendukungnya yaitu bumi perkemahan, terowongan, home stay, rest area, bukit dan air terjun. Penelitian Suwatno memiliki persamaan dengan penelitian ini terutama tentang fokus peneliitian. Penelitian Suwatno dan penelitian ini sama-sama berfokus pada objek wisata agro (agrowisata), sedangkan perbedaannya adalah penelitian Suwatno dilakukan di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, dengan tujuan untuk membuat perencanaan agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang. Sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar, yang merupakan Kawasan Agropolitan Payangan. Di samping bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan sebagai produk agrowisata, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman,
serta
24
merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Sedana (2009) yang berjudul “Perencanaan Pengembangan Agrowisata di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar, dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar 2008-2013 dan bertujuan
untuk
mendeskripsikan,
menganalisis
dan
menginterpretasikan
perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan serta faktorfaktor yang mendukung dan menghambat perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perencanaan
pengembangan
agrowisata
di
Kecamatan
Payangan,
perlu
memperhatikan kawasan yang akan dikembangkan dengan identifikasi kebijakan rencana dasar, rencana pengembangan ini sudah sesuai dengan kebijakan pembangunan
pariwisata
Kabupaten
Gianyar;
mekanisme
perencanaan
pembangunan pariwisata yang menggunakan gabungan pendekatan top down dan bottom up planning berjalan sebagaimana mestinya, namun terkadang tidak muncul dalam perencanaan daerah ataupun SKPD; penyusunan rencana pengembangan agrowisata sudah sesuai dengan kebutuhan dalam pengembangan namun karena keterbatasan dana yang direncanakan maka pelaksanaan perencanaan dibuat secara bertahap dan berkelanjutan; sistem yang digunakan oleh kelompok prima tani serta adanya koordinasi yang baik antar dinas terkait sebagai faktor pendukungnya, akan tetapi masih dijumpai adanya faktor
25
penghambat dalam perencanaan seperti faktor lingkungan dari aspek politik dan faktor pendanaan. Penelitian Sedana dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan penelitian yang dilakukan Sedana adalah sama-sama memiliki fokus penelitian terhadap objek wisata agro (agrowisata) dan sama-sama dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar, dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Sedana dilakukan di seluruh wilayah Kecamatan Payangan
dan
bertujuan
untuk
mendeskripsikan,
menganalisis
dan
menginterpretasikan perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan, sedangkan penelitian ini mengambil ruang lingkup hanya di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar
dan bertujuan untuk mengetahui
potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Cremers (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Suggestion for the development of eco tourism activities in Desa Kerta” merekomendasikan empat strategi dalam pengembangan aktivitas ekowisata di Desa Kerta yaitu pengembangan aktivitas wisata bersepeda melintasi banjar-banjar yang ada; mengadakan loka karya tentang pembuatan kerajinan; peningkatan pasar dan pasar seni sepanjang jalan utama; pengembangan aktivitas trekking melalui hutan bambu dan sawah. Hasil penelitian ini juga merekomendasikan dua hal yang
26
sangat mendasar yaitu peningkatan kemampuan berbahasa inggris bagi warga desa dan penguatan organisasi atau kelembagaan yang mengatur aktivitas ekowisata baru. Penelitian Cremers dan penelitian ini sama-sama dilakukan di Desa Kerta, tetapi memiliki fokus dan tujuan yang berbeda. Penelitian Cremers merupakan kajian tentang aktivitas ekowisata (eco tourism) yang dirangkum dalam bentuk saran-saran atau masukan untuk pengembangan aktivitas ekowisata (eco tourism) di Desa Kerta dan bertujuan untuk membantu warga Desa Kerta dalam mengembangkan aktivitas ekowisata baru (new ecotorism). Sedangkan penelitian ini merupakan penelitian yang berfokus pada pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangaan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Saridarmini (2011) yang berjudul “Dampak Agrowisata Berbasis Modal dan Agrowisata Berbasis Masyarakat Di Bali”. Penelitian Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung (Desa Sibang Kaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan), Propinsi Bali dengan tujuan untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat; untuk mengetahui perbedaan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat.
27
Menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik dampak pada variabel sosial, ekonomi, danlingkungan berdasarkan parameter pengukuran terhadap indikator-indikatornya. Khusus untuk penilaian dampak ekonomi dilakukan analisis manfaat dan biaya (B/Cratio) pada model agrowisata berbasis modal, dan analisis finansial usahatani padamodel agrowisata berbasis masyarakat.
Hasil
penelitian
menunjukkan
secara
sosial
kedua
model
pengembangan agrowisata dapat menjadi wahana pembelajaran bagi pengunjung. Namun diantara dua model tersebut, model agrowisata berbasis modal belum banyak berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja terutama bagi masyarakat sekitarnya. Lembaga yang terbentuk hanya terbatas pada lembagainternal agrowisata tersebut. Sedangkan model agrowisata berbasis masyarakat, para petani telah terorganisir dalam kelompok tani agrowisata, bahkan telah membentuk koperasi agrowisata dan telah mampu meningkatkan aktivitas petani di luar usahataninya. Penelitian Saridarmini dan penelitian ini memiliki kesamaan dari sisi fokus penelitian, yaitu sama-sama berfokus pada objek wisata agro (agrowisata). Penelitian Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung (Desa Sibangkaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan) dan bertujuan untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat; mengetahui perbedaan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat. Sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan,
28
peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Nurhidayati (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas di Kota Batu, Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT). Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dan lokasi penelitiannya ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur. Unit analisis penelitian dilakukan dengan spektrum individu dan institusi (kelembagaan). Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara, wawancara mendalam, dan observasi, sedangkan pengumpulan data sekundernya dilakukan dengan mengumpulkan data yang terdapat di steakholder terkait (SKPD) dan Pemerintah Desa dan Kecamatan. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kuantitatif (statistik) dan analisis kualitatif (analisis konten dan interaktif). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata ditandai dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, berdampak pada perubahan nilai sosial.
29
Lebih lanjut Nurhidayati (2012) menyatakan bahwa dari aspek gender, agrowisata menghasilkan segregasi kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype) dan beban kerja ganda pada perempuan. Penerapan prinsip budaya CBT mengindikasikan tidak menguatkan seluruh aspek sosial kapital, interaksi wisatawan dan komunitas menghasilkan kontak dan pertukaran nilai budaya, pengetahuan baru bagi komunitas dan penerimaan simbul modernitas dari luar komunitas. Penerapan prinsip politik CBT, menunjukkan adanya penguatan peran dan fungsi kelembagaan lokal serta peningkatan kekuasaan oleh komunitas. Penerapan prinsip lingkungan CBT, mendorong berkembangnya konsep daya dukung komunitas. Sedangkan faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip ekonomi CBT adalah struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah, prinsip sosial CBT dipengaruhi oleh status kekhususan Kota Batu, kekayaan sumber daya alam, dan kekuatan budaya setempat. Prinsip budaya CBT dipengaruhi oleh berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap informasi, dan etos kerja lokal. Sedangkan penerapan prinsip lingkungan CBT dipengaruhi oleh kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas. Penelitian Nurhidayati memiliki beberapa persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan ini, diantaranya tentang fokus, arah, dan medode (pendekatan) penelitian yang digunakan. Penelitian Nurhidayati dan penelitian ini sama-sama memiliki fokus penelitian pada pengembangan agrowisata, dengan arah penelitian menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan dan sama-sama menggunakan dua metode (pendekatan), yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta keduanya dilakukan di Kawasan Agropolitan, penelitian
30
Nurhidayati berada di Kawasan Agropolitan Kota Batu, Jawa Timur, sedangkan penelitian ini berada di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Nurhidayati dilakukan di Kota Batu, Jawa Timur dengan tujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip CBT, dan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Rudita, dkk. (2012) dengan penelitiannnya yang berjudul “Potensi Obyek Wisata dan Keterpaduannya dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu di Kawasan Agropolitan Payangan dalam rangka pembangunan daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat enam obyek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan di Kawasan Agropolitan Payangan, yaitu: Agrowisata Payangan, Sungai Ayung, Nyepi Kasa, Aci Keburan, Desa Pakraman Pausan, dan Sarkofagus.
31
Lebih lanjut Rudita (2012) menyatakan bahwa, berdasarkan skor yang diperoleh masing-masing obyek wisata, apabila dikelompokkan dapat diketahui tiga kelompok obyek wisata yang paling disukai saat ini yaitu obyek wisata yang berkaitan dengan alam (Sungai Ayung dan Agrowisata Payangan), kedua adalah obyek wisata yang berkaitan dengan adat dan tradisi masyarakat setempat (Nyepi Kasa, Desa Pakraman Pausan, dan Aci Keburan), dan ketiga adalah obyek wisata sejarah dan situs kepurbakalaan (Sarkofagus). Faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke Kawasan Agropolitan Payangan menurut persepsi wisatawan dalam penelitian ini adalah pelayanan, jenis wisata dan atraksi yang ditawarkan, fasilitas yang tersedia, sarana transportasi; dan promosi. Faktor pelayanan, yang berpengaruh positif adalah keramahan masyarakat setempat dan kebersihan lingkungan, sedangkan pemandu wisata dan kios berpengaruh negatif. Faktor jenis wisata dan atraksi yang ditawarkan, yang berpengaruh positif adalah wisata budaya dan wisata alam termasuk agrowisata. Ada tiga rencana dan strategi utama pengembangan obyek wisata secara terpadu dengan pengembangan Kawasan Agropolitan Payangan dalam pengembangan wilayah, yakni 1) rencana meningkatkan keterkaitan sektoral dan meningkatkan keterpaduan antar sektor, melalui pengembangan iptek, 2) memperkenalkan dan menawarkan potensi obyek wisata yang ada, dengan pengembangan paket-paket wisata melalui kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat, dan 3) memperkuat kepariwisataan, dengan membangun kemitraan dan membentuk jejaring. Penelitian Rudita dkk dengan penelitian ini sama-sama dilakukan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar, namun memiliki tujuan,
32
fokus dan ruang lingkup yang berbeda. Penelitian Rudita dkk., bertujuan untuk mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu diKawasan Agropolitan Payangan dalam rangka pembangunan daerah, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui faktor internal dan eksternal, merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Rudita dkk memiliki fokus penelitian pada beberapa obyek wisata yang akan dikembangkan di Kawasan Agropolitan Payangan dan persepsi wisatawan, sedangkan penelitian ini hanya berfokus pada objek wisata agro (agrowisata) yang ada di Desa Kerta. Penelitian Putra (2012) yang berjudul “ Pengembangan Wisata Agro di Banjar Temen, Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali”. Bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wisata agro di Banjar Temen, faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi umum pengembangan wisata agro di Banjar Temen, sebagai daya tarik pariwisata alternatif;
merumuskan strategi alternatif pengembangan wisata agro yang
berbasis kerakyatan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki dan kendalakendala yang dihadapi dan dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian Putra (2012) menyatakan bahwa Banjar Temen memiliki potensi wisata agro yang dapat dikembangkan dimasa yang akan datang; posisi
33
wisata agro Banjar Temen pada Teori Destination Life Cycle berada pada tahap Involvement, dimana masyarakat mulai menyediakan fasilitas bagi wisatawan, tetapi belum terlihat peran serta pihak lain dalam pengembangan wisata agro; faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah faktor internal yang merupakan kekuatan, antara lain lahan perkebunan yang subur, produk kopi luwak yang bernilai jual tinggi dan proses pengolahannya, pemandangan alam yang indah, lokasi yang berada di jalur pariwisata, dan varietas tanaman yang beragam; faktor yang merupakan kelemahan, antara lain kurangnya SDM yang memiliki keterampilan, kurangnya sarana dan prasarana penunjang pariwisata, terjadinya persaingan harga antar wisata agro di Banjar Temen, kurangnya kerjasama dengan instansi pemerintah, dan kurangnya promosi. Faktor eksternal yang teridentifikasi antara lain yang berupa peluang adalah kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul menuju Kawasan Wisata Kintamani, perubahan minat wisatawan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan perekonomian global dan meningkatnya hubungan kerjasama dengan pelaku pariwisata lainnya. Faktor eksternal yang merupakan ancaman adalah berkembangnya wisata agro sejenis di luar Banjar Temen, situasi keamanan nasional, wabah penyakit yang menular, kondisi sosial dan politik nasional, serta berkembangnya coffee shop di Bali. Penelitian Putra memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini, dilihat dari fokus penelitian, tujuan penelitian, dan arah atau orientasi penelitian. Penelitian Putra
dan penelitian ini sama-sama berfokus pada pengembangan
wisata agro (agrowisata), sama-sama bertujuan untuk mengidentifikasi potensi
34
desa yang dapat dikembangkan sebagai produk agrowisata, mengidentifikasi faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi dan program pengembangan. Penelitian Putra dan penelitian ini, juga memiliki lokasi penelitian yang sama, yaitu sama-sama dilaksanakan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar dan berorientasi pada pembangunan pariwisata berkelanjutan. Penelitian Putra dan penelitian ini hanya memiliki perbedaan pada ruang lingkup dan komoditi yang menjadi daya tarik wisata, dimana ruang lingkup penelitian Putra hanya dalam lingkup banjar dan jumlah komoditi (varietas) yang terbatas, sedangkan penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu satu desa dengan delapan banjar dan beranekaragam komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai produk agrowisata. 2.2 Konsep Penelitian Penelitian ini menggunakan lima konsep, yaitu strategi pengembangan, produk pariwisata (4A), agrowisata, agropolitan, dan pariwisata berkelanjutan. Menurut Chandler (1962) yang dikutif Rangkuti (1997:3-7), pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Adapun yang dimaksud dengan konsep-konsep tersebut adalah distinctive competence yaitu tindakan yang dilakukan oleh perusahan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya dan competitive advantage yaitu kegiatan spesifik yang dilakukan oleh perusahan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.
35
2.2.1 Strategi Pengembangan Strategi adalah seni memadukan atau mengintegrasikan antara faktor kunci keberhasilan, agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Menurut Chandler (1962:13) dalam Rangkuti (1997:3-7) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan Argyris dkk. (1985) menyatakan bahwa strategi merupakan respons secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Pernyataan Learned dkk. (1965) yang dikutif Rangkuti (1997:3) menyatakan bahwa strategi merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Porter (1985) yang menyatakan strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Sedangkan Stoner dkk., (1995) yang dikutip Tjiptono (1996), menyatakan bahwa strategi dibedakan menjadi dua perspektif, yaitu perspektif apa yang ingin organisasi lakukan (intend to do) dan perspektif apa yang akhirnya organisasi lakukan (eventually does). Berdasarkan perspektif yang pertama, strategi didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuanorganisasi dan mengimplementasikan misinya. Dalam hal ini para manager memainkan peran aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi organisasi. Perspektif kedua, strategi didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Makna strategi dalam hal ini,
36
setiap organisasi memiliki strategi yang pasti meskipun strategi tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Pernyataan ini diterapkan oleh para manager yang mempunyai karakter reaktif, yaitu menanggapi dan menyesuaikan diri secara pasif terhadap lingkungannya. Mintzberg (1978) dalam Rangkuti (1997) strategi dibagi menjadi lima definisi yaitu strategi sebagai rencana, strategi sebagai pola, strategi sebagai posisi (position), strategi sebagai taktik (play) dan strategi sebagai perspektif. Strategi sebagai rencana adalah program atau langkah terencana (a directed course of action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah ditentukan; sama halnya dengan konsep strategi perencanaan. Strategi sebagai pola (pattern) adalah sebuah pola perilaku masa lalu yang konsisten, dengan mengunakan strategi yang merupakan kesadaran daripada menggunakan yang terencana ataupun diniatkan. Strategi sebagai pola lebih mengacu pada suatu yang muncul begitu saja (emergent). Strategi sebagai posisi adalah posisi menentukan merek, produk ataupun perusahan dalam pasar, berdasarkan kerangka konseptual para konsumen ataupun para penentu kebijakan: sebuah strategi yang utamanya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Strategi sebagai taktik merupakan sebuah manuver spesifik untuk mengelabui atau mengecoh lawan (competitor), dan strategi perspektif adalah mengeksekusi strategi berdasarkan teori yang ada ataupun menggunakan insting alami dari isi kepala atau cara berpikir/ideologis. Strategi merupakan suatu pernyataan yang mengarahkan bagaimana masing- masing individu dapat bekerjasama dalam suatu organisasi, dalam upaya pencapaian tujuan dan sasaran organisasi tersebut. Strategi juga diartikan sebagi
37
sekumpulan komitmen atas tindakan atau aksi yang terintegrasi dan terkoordinasi, untuk mengusahakan atau mengolah kompetensi dan sekaligus guna mendapatkan keunggulan bersaing organisasi. Strategi harus menghasilkan sumber-sumber daya yang nyata, tidak hanya berupa pendapatan atau keuntungan, tetapi juga berupa sumber daya yang tidak berwujud atau intangible, seperti reputasi, komitmen individu atau karyawan, identitas merek, dan lainnya (Assauri, 2013:3-4). Marpaung (2000:52) mendefinisikan strategi sebagai suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan yang mengarah pada masa depan. Assauri (2013:4-5), menyatakan strategi memiliki unsur-unsur yang terdiri dari gelanggang aktivitas atau arena, sarana kendaraan atau vehicles, pembeda atau differentiators, rencana tingkatan atau staging and pacing, dan logika ekonomi atau economic logic. Dalam penelitian ini strategi dimaksudkan sebagai suatu rencana program atau langkah terencana (a directed course of action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah ditentukan. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatka fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution) dan perubahan secara bertahap (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002).
38
Suwantoro (1997), menyatakan pengembangan adalah suatu proses atau cara bagaimana menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna. Pengembangan pariwisata harus selalu melibatkan masyarakat lokal dan mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, tidak merusak nilainilai sosial budaya masyarakatnya serta mengatur jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata tersebut agar tidak melebihi kapasitas (carrying capacity) yang tersedia (Sucipta, 2010:15). Pengembangan pariwisata secara mendasar perlu memperhatikan beberapa konsep seperti pengembangan pariwisata berkelanjutan, pembangunan wilayah terpadu dan pengembangan produk wisata, pembangunan ekonomi pariwisata, serta pengembangan lingkungan. Pengembangan wilayah berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan serta selalu memperhatikan kelestarian alam dan lingkungannya merupakan tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Antara, 2011). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan strategi adalah cara atau langkah atau aksi yang terkoordinasi dan terintegrasi yang digunakan untuk mengusahakan dan mengelola sumberdaya yang ada, dengan menciptakan keunggulan guna memenangkan persaingan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengembangan adalah proses atau rangkaian kegiatan eksplorasi dan penataan sumber daya yang ada, menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar menjadi lebih menarik, bernilai dan bermanfaat. Jadi yang dimaksud strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang tersusun secara sistimatis yang diterapkan atau diimplementasikan dalam rangka mengeksplorasi, menata dan mengusahakan sumberdaya yang ada menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar
39
lebih diminati oleh wisatawan, bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan alam. 2.2.2 Produk Pariwisata Produk pariwisata adalah suatu bentukan yang nyata dan tidak nyata, dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat dinikmati apabila seluruh rangkaian perjalanan tersebut dapat memberikan pengalaman yang baik bagi yang melakukan perjalanan tersebut (Muljadi, 2012:46). Sedangkan menurut UN-WTO dalam Pitana dan Surya Diarta (2009:128), produk pariwisata didefinisikan sebagai “...any good or service purchased by, or consumed by, a person defined as a visitor”. Produk wisata sebenarnya bukan saja merupakan produk yang nyata (tangible), akan tetapi merupakan rangkaian produk (barang dan jasa) yang tidak hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, namun juga bersifat sosial, psikologis dan alam. Produk wisata merupakan berbagai jasa, di mana satu dengan lainnya saling terkait dan dihasilkan oleh berbagai perusahan pariwisata, misalnya akomodasi, angkutan wisata, biro perjalanan, restoran, daya tarik wisata, dan perusahan lain yang terkait. Produk wisata mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu tidak dapat disimpan, tidak dapat dipindahkan, produksi dan proses konsumsi terjadi atau berlangsung secara bersamaan, tidak ada ukuran yang pasti atau objektif, pelanggan atau costumer tidak dapat mencicipi produk itu sebelumnya, pengelolaan produk wisata mengandung risiko besar (Muljadi, 2012:47). Dalam setiap fase pengembangan, memerlukan komponen wisata., seperti yang dinyatakan Inskeep (1991:38), bahwa di berbagai literatur dimuat
40
bermacam-macam komponen wisata. Namun ada beberapa komponen wisata yang selalu ada dan merupakan komponen dasar dari wisata. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yang dikenal dengan 4A, yaitu Atraksi (Attraction) atau kegiatan-kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang dimaksud, dapat berupa semua hal yang berhubungan dengan lingkungan alami, kebudayaan, keunikan suatu daerah dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan. Lebih lanjut Inskeep (1991:38) menyatakan bahwa selain atraksi, aksessibilitas (accessibilities), yaitu sarana dan prasarana seperti; akses jalan, transportasi lokal, adanya terminal, dan fasilitas komunikasi. Fasilitas (facilities), adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam kawasan wisata, termasuk tour and travel operations (disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut dapat berupa restoran dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk menjual hasil kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus. Ansileri (ancillary), yaitu organisasi kepariwisataan (Ancillary services) yang dibutuhkan untuk pelayanan wisata, antara lain Destination Management Organization (DMO), conventional and visitor bureau. Pernyataan Inskeep di atas, senada dengan pernyataan (Cooper, 1993) yang juga menyebutkan bahwa elemen produk pariwisata dikenal dengan istilah 4 A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas (transport lokal, terminal angkutan), Amenitas
41
(akomodasi, usaha penyedia makanan dan minuman, tempat hiburan, dan lainlain) dan ansileri yaitu berupa bentuk pelayanan pariwisata dari organisasi lokal. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sedangkan menurut tim penyusun RIPPDA Kabupaten Timur Tengah Selatan Pusat Studi Pariwisata UGM 2003 yang dikutip Ismaningrum (2005), menyatakan bahwa produk pariwisata merupakan komponen penting dalam industri pariwisata, yang mencakup tiga aspek dan dikenal sebagai triple A (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas). Atraksi adalah objek yang memiliki daya tarik untuk dilihat, ditonton, dinikmati yang layak dijual ke pasar wisata. Seringkali atraksi ditafsirkan dalam dua komponen yakni sebagai objek wisata (tourist object) dan atraksi wisata (tourist attraction). Atraksi wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat lewat pertunjukan dan seringkali membutuhkan persiapan bahkan mengeluarkan biaya untuk menikmatinya. Berbeda dengan objek wisata (tourist object) yang dapat disaksikan tanpa perlu persiapan. Amenitas yaitu segala macam fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata, seperti: rumah makan, hotel, café, sarana komunikasi, papan informasi, money changer dan lain-lainnya. Bahkan sering kali diperlukan jasa asuransi khususnya bagi tipe wisata yang memiliki resiko kecelakaan tinggi. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu objek wisata. Dengan kata lain, meskipun daya
42
tarik wisata yang dimiliki dinilai cukup bagus namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai lambat laun tentu akan ditinggalkan wisatawan. Aksesibilitas merupakan sarana dan prasarana yang menyebabkan wisatawan dapat berkunjung ke destinasi yang diinginkan dengan mudah, aman, nyaman. 2.2.3 Agrowisata Agrowisata merupakan salah satu produk wisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata. Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.DOW/MPPT-89 dan Nomor 204/KPTS/HK/0504/1989, agrowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro mulai dari awal sampai dengan produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Sedangkan Goodwin (1998), menyatakan agrowisata sebagai suatu kegiatan yang secara sadar ingin menempatkan sektor primer (pertanian) dikawasan sektor tersier (pariwisata), agar perkembangan sektor primer dapat lebih dipercepat, dan petani memperoleh peningkatan pendapatan dari pariwisata yang memanfaatkan kegiatan sektor pertanian tersebut. Agrowisata dikatakan sebagai kegiatan yang memihak pada masyarakat miskin. Ismayanti (2010:156-159, menyatakan agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata minat khusus, selain wisata olahraga, wisata kuliner, wisata religious, wisata goa, wisata belanja, dan wisata ekologi Sedangkan Muljadi (2012:59), menyatakan bahwa yang merupakan kelompok pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus selain wisata agro adalah wisata buru, wisata tirta,
43
wisata petualangan alam, wisata goa, wisata kesehatan, tempat budaya, industri, dan kerajinan. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, dapat meningkatkan pendapatan petani, melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya (culture) maupun teknologi lokal yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Sugeng, 2004). Agrowisata
tidak
hanya
memanfaatkan
keindahan
alam
dan
keanekaragaman kegiatan pertanian, tetapi banyak tercipta model-model agrowisata yang memanfaatkan objek-objek pertanian tertentu, seperti agrowisata hortikultura, agrowisata tanaman perkebunan, ataupun varian kebun-kebun perkebunan adalah contoh dari sekian banyak agrowisata yang dapat dikembangkan (Departemen Pertanian RI, 2009). Hal yang senada juga dinyatakan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), bahwa agrowisata memiliki pengertian yang sangat luas, dalam banyak hal sering kali berisikan ekowisata. Ekowisata dan agrowisata memiliki banyak persamaan, terutama karena keduanya berbasis pada sumber daya alam dan lingkungan. Di beberapa negara agrowisata dan ekowisata dikelompokkan dalam satu pengertian dan kegiatan yang sama, agrowisata merupakan bagian dari ekowisata. Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism) yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Departemen Pertanian RI, 2012). Hal yang selaras dinyatakan oleh Rai Utama
44
(2007), bahwa agrowisata menganut falsafah ekowisata sehingga sangat beralasan dijadikan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas, dan merupakan jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani, sehingga dari sisi penawaran para petani siap dengan produknya dan wisatawan mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh para petani. Proses produksi agrowisata terjadi ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan permintaan. Departemen Pertanian RI (2012) menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat modern dalam memenuhi kebutuhan hidup melakukan kegiatan mengunjungi dan menikmati obyek-obyek yang mempunyai kekhususan (spesifik lokasi) seperti keindahan alam, udara segar, tradisi yang unik, produk olahan tradisional, produk pertanian segar menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang memiliki daya tarik spesifik. Hamparan areal pertanaman yang luas seperti areal perkebunan dan hortikultura, disamping menyajikan pemandangan dan udara segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang usaha di bidang perkebunan atau hortikultura tersebut, sampai pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam. Agrowisata didefinisikan sebagai suatu bisnis yang dilakukan oleh para petani yang bekerja di sektor pertanian bagi kesenangan dan edukasi para pengunjung. Agrowisata juga dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari rural
45
tourism yang menawarkan kegiatan pertanian sebagai daya tarik wisata serta melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan hingga pengelolaan kawasan agrowisata (Andini, 2013). Hal senada dinyatakan Rai Utama (2012), bahwa agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan penjualan jasa kepada konsumen. Lucian (2012) mendefinisikan agrowisata sebagai kegiatan ekonomi yang terjadi ketika orang mencoba untuk membangun hubungan antara kegiatan perjalanan, produk pertanian dan jasa makanan. Tirtawinata dkk. (1999) menyatakan ada lima manfaat agrowisata atau agrotourism yaitu (a) meningkatkan konservasi lingkungan, (b) meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam, (c) memberi nilai rekreasi, (d) meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan (e) mendapatkan keuntungan ekonomi. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang RTRW, Agrowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi kawasan pertanian untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Agrowisata dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi alam, pertanian (agro), budaya, dan aktivitas masyarakat pedesaan sebagai daya tarik wisata, dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, area rekreasi, dan hubungan usaha agribisnis
pedesaan.
Agrowisata
dikembangkan
berdasarkan
konsep
pengembangan wilayah, melalui pemanfaatan potensi alam, pertanian, budaya,
46
dan aktivitas masyarakat lokal dan mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pengembangan Agrowisata Desa Kerta diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha agribisnis, mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, penguatan kelembagaan pertanian, sosial-budaya, dan ekonomi, membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi masyarakat setempat dan sekitarnya. Selain itu, pengembangan Agrowisata Desa Kerta, juga diharapkan mampu menjaga kelestarian alam, kekayaan sumberdaya alam hayati (pertanian), budaya, dan aktivitas masyarakat lokal. 2.2.4 Agropolitan Agropolitan terdiri dari kata Agro (pertanian) dan Politan (polis yang berarti kota), sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Nugroho (2008:174-186) menyatakan bahwa agropolitan adalah hasil pendekatan terhadap teori-teori pembangunan yang berbasis pada sektor pertanian, atau pembangunan wilayah pertanian. Konsep
pengembangan
agropolitan
pertama
kali
diperkenalkan
McDouglass dan Friedmann (1975) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah kota di ladang. Friedmann dan Douglass (1975) mengusulkan
47
konsep Agropolitan sebagai alternatif untuk pembangunan daerah. Konsep sangat bergantung pada pengembangan pusat pertumbuhan kota, yang terletak di dalam 5-10 kilometer atau satu jam bersepeda dari pedalamannya. Konsep ini memungkinkan leveraging investasi karena lebih dari satu desa yang terlibat dan investasi dapat difokuskan pada Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang paling mudah diakses, sehingga tangkapan juga optimal. Pranoto (2005), menyatakan bahwa konsep pengembangan kawasan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah tersebut, secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami permasalahan produktivitas yang signifikan, sedangkan di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih, sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial dan lingkungan. Agropolitan sebagai salah satu konsep diharapkan dapat menjadi arah kebijakan pembangunan wilayah sehingga pembangunan fisik yang dilaksanakan tanpa mengorbankan kepentingandan kebutuhan masyarakat di desa, sehingga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan dengan disertai peningkatan kesejahteraan keluarganya. Melalui pendekatan agropolitan pembanguan wilayah semestinya dapat membawa kemajuan wilayah tanpa mengabaikan kelestarian
48
lingkungan, budaya, tradisi dengan disertai inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan berkelanjutan (Toekidjo, 2011). Pengembangan kawasan agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pertanian dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan di kawasan perdesaan. Menurut Pranoto dkk., (2005), pengembangan agropolitan (pengembangan wilayah berbasis agro) diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan mendukung kegiatan ekonomi pedesaan yang berorientasi lingkungan. Menurut
Ide Agropolitan dipandang mampu menjawab tantangan
pemerataan pembangunan dan pembangunan berkelanjutan yang merupakan salah satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian luas dengan menempatkan ”kota-tani” sebagai pusat kawasan dengan segala ketersediaan sumberdayanya, sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan (interland) dan desa-desa sekitarnya. Pemerintah Indonesia mengadopsi konsep ini dalam pembangunan pedesaan pada tahun 2002, dengan fokus khusus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan pedesaan, pasar dan irigasi (Rustiadi, 2004). Program ini mengikuti "perdagangan mengikuti kapal" prinsip, di mana penyediaan infrastruktur mendahului permintaan dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi dan konsentrasi distribusi pasca-pertanian di pusat pertumbuhan dengan desa-desa pedalaman sehingga skala ekonomi dapat direalisasikan.
49
2.2.5 Pariwisata Berkelanjutan Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi
esensial,
keanekaragaman
hayati
dan
sistem
pendukung
kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dijalankan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya masyarakat, sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata (Anonim, 2004). Konsep pariwisata berkelanjutan, pada mulanya diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development dengan melengkapi Sustainable Tourism dengan kata Development sehingga menjadi Sustainable Tourism Development, yang dapat diartikan bahwa dalam pembangunan kita hendaknya jangan menghabiskan atau menguras sumber daya pariwisata untuk jangka waktu pendek, tetapi harus memperhatikan kelanjutan pembangunan pariwisata jangka panjang di waktu yang akan datang (Yoeti, 2008:242). Suwantoro (1997:88-89), menyatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan prinsip-prinsip harus dibantu oleh proses
perencanaan
dan
partisipasi
masyarakat;
harus
ada
kepastian,
kesinambungan, ada sasaran ekonomi, sosial budaya, dan masyarakat; hubungan antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola sedemikian rupa
50
sehingga lingkungan dapat lestari untuk jangka panjang; aktivitas pariwisata tidak boleh merusak dan menghasilkan dampak yang tidak dapat diterima oleh masyarakat; pengembangan pariwisata tidak boleh tumbuh terlalu cepat dan berskala kecil atau sedang; pola lokasi harus ada keharmonisan antara hubungan wisatawan, tempat dan masyarakat setempat; keberhasilan pada setiap aktivitas tergantung pada keharmonisan antara pemerintah, masyarakat setempat, dan industri pariwisata; pendidikan yang mengarah pada sosio-kultural pada setiap tingkatan masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata, termasuk juga perilaku wisatawan harus serius diorganisasikan; peraturan perundang-undangan yang secara pasti melindungi budaya harus dikeluarkan dan dilaksanakan sekaligus merevitalisasinya; investor dan wisatawan harus dididik untuk menghormati kebiasaan, norma dan nilai-nilai setempat, sedangkan hal-hal yang menimbulkan dampak negatif dihindarkan dan dampak positifnya dimanfaatkan. Menurut Yaman dan Mohd (2004, dalam Parma 2010), pembangunan pariwisata berkelanjutan ditandai dengan adanya empat kondisi, yaitu anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembangunana pariwisata;
pendidikan
bagi
tuan
rumah,
pelaku
industri
dan
pengunjung/wisatawan; kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; investasi pada bentuk-bentuk transportasi alternatif. Indikator yang dikembangkan pemerintah RI tentang pembangunan pariwisata berkelanjutan (Agenda 21 sektoral, 2000) adalah kesadaran tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, bahwa strategi pembangunan pariwisata
51
berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggungjawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan; peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata; kemantapan/keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan produk pariwisata yang bisa bersaing secara internasional, dan mensejahterakan masyarakat di tempat tujuan wisata; kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang bertujuan menghapus/meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik dan dominasi satu sama lain. Hal ini juga didukung dengan memberi perhatian/pengembangan usaha skala kecil oleh masyarakat lokal. Menurut Indrawati (2010:121-122) penekanan pariwisata berkelanjutan terfokus pada tiga hal, yaitu (1) kualitas yang menyangkut kualitas pelayanan kepada wisatawan, peningkatan kualitas atau taraf hidup masyarakat lokal, dan peningkatan kualitas alam yang dijadikan sebagai objek atau daya tarik wisata; (2) kelestarian sumber daya alam dan kelestarian budaya-budaya masyarakat lokal; dan (3) keseimbangan kebutuhan industri pariwisata, lingkungan, dan masyarakat lokal agar tercipta tujuan dan kerjasama yang saling menguntungkan di antara para steakholder dan destinasi pariwisata. Pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan dengan cara mensinergikan berbagai unsur-unsur atau komponenkomponen pariwisata (Anom, 2010:13).
52
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan tiga Teori sebagai landasan, yaitu Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Destination Life Cycle), Teori Sistem, dan Teori Perencanaan. Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Destination Life Cycle) dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui dan memahami perkembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai produk pariwisata dan destinasi pariwisata. Teori Sistem dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui faktor internal dan eksternal, hubungan antara unsur-unsur yang terkait dan unsur-unsur yang tidak terkait, yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Sedangkan Teori Perencanaan dipergunakan untuk merumuskan strategi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Strategi yang dirumuskan, dijabarkan menjadi program, untuk menciptakan daya tarik agrowisata yang berkualitas, bermanfaat ganda dan berkelanjutan. 2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata Dalam pariwisata,
pengembangan
pariwisata,
baik
pengembangan
destinasi
kawasan pariwisata ataupun daya tarik wisata pada umumnya
mengikuti alur siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle). Dalam pengembangan destinasi wisata, perlu diketahui posisi atau fase dari destinasi wisata tersebut, hal ini karena pada setiap fase destinasi wisata memerlukan strategi pengembangan yang berbeda. Menurut Pitana dan Surya Diarta (2013:131), tujuan utama penggunaan model siklus hidup destinasi (destination
53
lifecycle model) adalah sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata. Destinasi pariwisata berjalan menurut siklus evolusi yang terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), pendewasaan (maturity), penurunan (decline), dan/atau peremajaan (rejuvenation). Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada beberapa keterbatasan penggunaan model siklus hidup destinasi wisata, yaitu (1) kesulitan dalam mengidentifikasi kapan satu tahapan siklus berakhir dan kapan tahapan berikutnya dimulai; (2) model tersebut tidak dapat dilihat sebagai alat perencanaan yang reliabel; dan (3) model in tidak dapat berjalan secara mandiri dan independen, tanpa terpengaruh faktor luar sehingga tidak boleh menjadi pegangan satu-satunya dalam pengambilan keputusan. Model siklus hidup destinasi (destination lifecycle) yang mengacu pada pendapat Butler (1980) yang dikutip dari Richardson dan Fluker, 2004:53), ada tujuh fase pengembangan pariwisata, yang membawa dampak (implikasi) yang berbeda, yakni sebagai berikut. 1. Fase exploration (penemuan). Daerah pariwisata baru mulai ditemukan, dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Intensitas kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal sangat tinggi serta dampak sosial, budaya dan ekonomi masih sangat kecil. 2. Fase involvement (keterlibatan). Fase ini, sebagian masyarakat lokal mulai menyediakan fasilitas pariwisata untuk wisatawan, seiring meningkatnya jumlah kunjungan dan mulai adanya promosi. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal masih rendah dan masyarakat mulai mengubah pola-pola sosial yang ada, untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
54
3. Fase development (pembangunan). Investasi dari luar mulai masuk, mulai munculnya pasar wisata secara sistematis, daerah semakin terbuka secara fisik, dan promosi semakin intensif. Fasilitas lokal sudah tersisih dan digantikan oleh fasilitas yang berstandar internasional, dan atraksi buatan dikembangkan untuk menambahkan atraksi yang asli dan alami. Berbagai barang dan jasa impor termasuk tenaga kerja asing, untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat. 4. Fase consolidation (konsolidasi). Pariwisata sudah dominan dalam struktur ekonomi daerah, dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major chains and franchises. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan. 5. Fase stagnation (kestabilan). Kapasitas berbagai faktor sudah terlampaui, sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan repeaterguest dan wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah mulai luntur, dan destinasi sudah tidak lagi populer. 6. Post-stagnation, yang terdiri dari dua fase, yaitu fase decline (penurunan) dan fase rejuvenation (peremajaan). Fase decline, wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non
55
pariwisata. Atraksi wisata menjadi kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan pasar wisatawan. Kualitas destinasi mengalami degradasi, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagai penunjang aktivitas pariwisata. Fase rejuvenation, merupakan inovasi dan pengembangan produk baru, atau menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya. Teori Siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle), dipergunakan untuk mengetahui posisi atau fase perkembangan Agrowisata Desa Kerta saat ini, agar dapat dirumuskan strategi pengembangan yang tepat, terpadu dan komprehensif. Siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle) dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Rejuvenation Reduced growth
Stagnation
Stabilization Number of Tourists
Consolidation
Decline Immediate decline Development
Involvement
Exploration
Time Gambar 2.1 Model Siklus Hidup Destinasi (Butler, 1980)
56
2.3.2 Teori Sistem Teori Sistem dicetuskan oleh seorang ahli biologi yang bernama Bertalanffy. Bertalanffy menyatakan bahwa untuk menjelaskan dan memahami bahan kajian secara komprehensif, orang harus mengintegrasikan fakta-fakta ilmiah dari berbagai spesialisasi atau bidang lain. Bertalanffy memformulasikan teori dari sebuah sistem secara umum yang dapat diterapkan pada semua kajian ilmu (Leiper dalam Pitana dan Surya Diarta, 2009:56-57). Lebih lanjut dinyatakan bahwa salah satu keunggulan cara berpikir sistem adalah kemampuannya untuk mengklarifikasi dan menyederhanakan persoalan yang kelihatannya kompleks. Kecendrungan cara berpikir sistem ini juga diterapkan dalam studi pariwisata di mana kompleksitas persoalan harus dihadapi bagi setiap orang yang berusaha memahami pariwisata secara komprehensif. Gunawan dalam Prasiasa (2013:21) menyatakan bahwa jika destinasi pariwisata dikatagorikan sebagai sebuah sistem, maka akan terdapat tiga karakter yang penting, yaitu (1) hirarki, artinya ada destinasi utama dan ada destinasi penunjang, ada yang besar dan ada yang kecil skalanya; tidak semua destinasi lokal mempunyai posisi yang sama, (2) struktur, artinya ada pintu gerbang (internasional atau regional), ada staging area, dan ada touristic area dengan daya tariknya; dilihat dari sisi lain, ada kota besar, kota kecil, pedesaan, atau kawasan wisata yang mengalami urbanisasi, dan (3) jejaring, hubungan keterkaitan antara destinasi dengan origin, tempat asal wisatawan, dan jejaring hubungan antaradestinasi. Hubungan ini dapat diartikan sebagai hubungan fisik (prasarana penghubung) dan jejaring nonfisik.
57
Cara berpikir sistem dalam pariwisata adalah melihat pariwisata sebagai suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, ekologi, dan seterusnya. Melihat pariwisata sebagai sebuah sistem berarti analisis mengenai berbagai aspek kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dari subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya, dalam hubungan saling ketergantungan dan saling terkait (interconnectedness). Sebagai sebuah sistem, antar komponen dalam sistem tersebut terjadi hubungan interdependensi, yang berarti bahwa perubahan pada salah satu subsistem akan menyebabkan terjadinya perubahan pada subsistem lain sampai akhirnya kembali ditemukan harmoni yang baru (Pitana dan Surya Diarta, 2009:57). Mill dan Morrison (1985:3) menyatakan bahwa “the tourism system is like a spider’s web-touch one part and rever-berations are felt throughout the system”. Sistem pariwisata adalah seperti sarang laba-laba, apabila disentuh satu bagian sistem, maka akan mempengaruhi seluruh sistim“. Leiper dan Cooper, et all., dalam Pitana dan Surya Diarta (2013:58), menyatakan bahwa elemen-elemen dari sebuah sistem pariwisata yang sederhana yang menyangkut sebuah daerah/negara asal wisatawan, sebuah daerah/negara tujuan wisata, dan sebuah tempat transit serta sebuah generator yang membalik proses tersebut. Model sederhana sistem pariwisata mengandung lima elemen pokok, yaitu travelergenerating region, departing traveler, transit route region, tourist-destination region, dan returning traveler. Namun inti dari kelima elemen tersebut, menyangkut tiga hal pokok, yaitu elemen wisatawan, tiga elemen geografis
58
(traveler-generator, transit route dan tourist-destination dan elemen industri pariwisata. Model sederhana sistem pariwisata dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Departing Travelers Travelersgenerating region
Transit route region
Touristdestination region
Returning Travelers
Environment; Human, Socio-cultural, ekonomical, technological, physical Political, legal, etc. Gambar 2.2 Model Sederhana Sistem Pariwisata (Leiper, 1990) Menurut Pitana dan Gayatri (2005), ada banyak aktor yang berperan dalam menggerakkan sistem pariwisata. Aktor adalah insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum, insan pariwisata dikelompokkan menjadi tiga pilar utama, yaitu masyarakat, pemerintah, dan swasta. Masyarakat adalah masyarakat umum yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah dari berbagai sumber daya yang merupakan modal pariwisata. Cooper, Fletcher, Gilpert, dan Wanhill yang dikutip Pitana dan Surya Diarta (2009:60-61), menyatakan bahwa ada beberapa keunggulan penggunaan pendekatan model sisitem pariwisata Leiper antara lain kemampuannya untuk memadukan pendekatan interdisiplin dalam mempelajari pariwisata, kemampuan model untuk dipakai dalam berbagai skala dan level penerapannya mulai dari level sebuah resort lokal sampai pada sebuah industri pariwisata bertarap
59
internasional, sangat fleksibel dan memungkinkan mewakili beragam bentuk pariwisata dengan kemampuanya memilah dan menganalisis elemen-elemen utama
dari
beragam
bentuk
pariwisata,
dan
memiliki
kemampuan
menggambarkan prinsip-prinsip dalam studi pariwisata, di mana semua elemen dari pariwisata saling berhubungan dan berinteraksi. Pernyataan Mathieson dan Wall (1982) yang dikutip Pitana dan Surya Diarta (2009:61), menyatakan bahwa sistem pariwisata secara sederhana dibedakan menjadi tiga elemen, yaitu (1) elemen dinamik, yaitu perjalanan wisatawan, (2) elemen statik, yaitu keberadaan destinasi, dan (3) elemen konsekuensial, yaitu berbagai dampak yang timbul, seperti dampak ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Menurut Mill dan Morrison (1985), sebuah sistem pariwisata terdiri dari empat komponen utama, yakni (1) market (reaching teh marketplace), (2) travel (the purchase of travel products), (3) destination (the shape of travel demand), dan (4) marketing (the selling of travel. 2.3.3 Teori Perencanaan Perencanaan merupakan terjemahan dari kata planning, secara umum pengertianya adalah pengorganisasian masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep,
1991:25).
Sedangkan
Paturusi
(2008:8),
menyatakan
bahwa
perencanaan (planning) merupakan suatu kegiatan berpikir yang lingkupnya menyeluruh dan mencakup bidang yang sangat luas, komplek, dan berbagai komponennya saling kait mengkait. Dalam proyeksi ke masa depan, perencanaan mengandung pengertian upaya peningkatan atau penurunan suatu kondisi yang ada pada saat ini. Peningkatan/penurunan ini harus dilandasi oleh pertimbangan
60
ilmiah untuk mencapai hasil yang berhasil guna dan berdaya guna. Lebih lanjut dinyatakan tentang syarat-syarat perencanaan, yaitu logis, bisa dimengerti dan sesuai dengan kenyataan yang berlaku; luwes (fleksibel) dan tanggap mengikuti dinamika perkembangan; obyektif, didasari tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan bersistem dan ilmiah; realistis, dapat dilaksanakan, memiliki rentang rencana jangka panjang, menengah, dan pendek. Dalam rangka mengembangkan sebuah destinasi pariwisata, seorang perencana (tourism planner) paling tidak harus memperhatikan dua lingkup pengembangan yang saling melengkapi, yaitu lingkup pengembangan spasial dan tingkatan pengembangan dari destinasi tersebut. Lingkup pengembangan spasial adalah keharusan seorang perencana pengembangan destinasi untuk memahami dan memperhatikan latar belakang kontekstual atau lingkungan makro dari destinasi yang akan dikembangkan tersebut. Strategi pengembangan keseluruhan komponen destinasi harus sesuai dengan konteks lingkungan makronya (Sunaryo, 2013:168). Suatu destinasi yang terletak pada wilayah pertanian atau perkebunan akan membutuhkan pengembangan, thema daya tarik wisata yang berbasis pada pertanian (agro tourism), pengembangan akomodasi yang bercirikan masyarakat pedesaan serta pengembangan masyarakat yang berbasis nilai budaya pertanian. Sedangkan yang dimaksud dengan strategi Tingkatan Pengembangan Destinasi adalah suatu cara pandang atau perspektif perencanaan pengembangan destinasi yang harus berpandangan secara holistik dan menyeluruh, mulai dari tingkatan strategi perencanaan makro dalam dimensi kerangka waktu jangka panjang, ke lingkup perencanaan jangka menengah, sampai dengan lingkup
61
perencanaan tingkap operasional, yang meliputi program-program aksi jangka pendek, termasuk business plan dan pengendalianya, yang harus dilakukan oleh organisasi atau lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola destinasi (Destination Management Organization). Menurut Richardson & Fluker (2004:241) yang dikutip Pitana dan Surya Diarta (2009:108-111), menyatakan bahwa untuk tercapainya sebuah perencanaan yang sistematis diperlukan sebuah proses perencanaan strategis (the strategic planning process). Perencanaan strategis merupakan “...the managerial process of matching an organisation’s resources and abilities with its business opportunities over the long term. It consists of defining the organisation’s mission and determining an overall goal, acquiring relevant knowledge and analysing it, then setting objectives and the strategies to achieve them”. Umumnya perencanaan strategis dalam pariwisata terdiri dari beberapa tahapan, yaitu menentukan bisnis/usaha apa yang akan dimasuki, yang biasanya dicirikan oleh misi organisasi yang tergantung pada jenis usaha yang dimasuki, menentukan tujuan organisasi yang akan dicapai, yang merupakan tujuan utama organisasi, mengumpulkan informasi dan pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, menganalisis informasi, terutama yang berkaitan dengan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan dari organisasi, menentukan tujuan khusus yang menentuakan aktivitas yang diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan, menentukan strategi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan, mendidtribusikan sumber daya ke masing-masing program aksi
untuk
memberikan
dampak
pada
strategi
yang
diambil,
62
mengimplementasikan rencana, mengontrol serta memonitor hasil dan membuat perbaikan jika diperlukan. Untuk mengoptimalkan keuntungan dari pengembangan pariwisata, diperlukan suatu perencanaan yang baik dan matang. Tujuan ini hanya dapat dicapai jika direncanakan dengan baik dan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasional secara keseluruhan. Inskeep (1991:29), menyatakan bahwa dalam
perencanaan pariwisata ada delapan model pendekatan, yang dapat
dilakukan,
yaitu
pendekatan
berkesinambungan,
incremental,
fleksibel
(continuous, incremental, flexibel approach), pendekatan sistem (system approach), pendekatan menyeluruh (comprehensive approach), sering disebut sebagai pendekatan holistik, seperti pada pendekatan sistem seluruh aspek yang terkait dalam perencanaan pariwisata mencakup institusi, lingkungan dan implikasi sosial ekonominya dianalisis dan direncanakan secara menyeluruh, pendekatan terintegrasi (integrated approach), pendekatan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (environmental and sustainable development approach), pendekatan swadaya masyarakat (community approach), pendekatan
inplementasi
(implemenable
approach),
penerapan
proses
perencanaan yang sistematik (application of systematic planning proses). 2.4 Model Penelitian Bali merupakan daerah tujuan wisata yang sangat popular di dunia yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara karena keanekaragaman budaya, atraksi budaya, daya tarik alam, keramahtamahan maupun wisata pertaniannya (agrowisata). Bali juga sering dijadikan tempat penyelenggaraan even-even
63
Internasional karena kondisi keamanan yang kondusif dan terjamin. Namun pesatnya perkembangan pariwisata Bali dan seiring perjalanan waktu, timbul perbedaan pandangan dan persepsi atas dampak negatif pengembangan pariwisata massal (mass tourism). Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari pariwisata masal yang selama ini dikembangkan, pemerintah, pelaku dan pengusaha pariwisata maupun masyarakat berupaya mengembangkan pariwisata alternatif yang diyakini dapat mengurangi
dampak
negatif
dari
kegiatan
pariwisata
masal
tersebut.
Pengembangan pariwisata alternatif merupakan cara bijaksana untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan. Agrowisata merupakan salah satu model pariwisata alternatif, yang lebih mengedepankan pemerdayaan masyarakat, kelestarian alam dan lingkungan serta memiliki motivasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani. Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi dan fungsi ekologis lahan, sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kelestarian sumber daya lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Aktivitas agrowisata secara tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif petani dan masyarakat sekitarnya, akan arti penting pelestarian sumber daya lahan pertanian (Rai Utama (2014:9). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengembangan agrowisata pada hakekatnya mempunyai tujuan ganda termasuk mempromosikan produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan, membantu meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan petani
64
nelayan dan masyarakat sekitar serta meningkatkan jenis dan variasi produk pariwisata Indonesia. Seiring pesatnya perkembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar, Pemerintah Daerah telah mengambil sebuah kebijakan pembangunan melalui pembagian zona pengembangan berdasarkan potensi wilayah. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gianyar, merupakan salah satu rambu-rambu (landasan hukum) dalam pengembangan potensi wilayah bagi Pemerintah Daerah, masyarakat maupun swasta (pelaku dan pengusaha pariwisata). Perda tersebut, menetapkan adanya lima zona pengembangan wilayah Kabupaten Gianyar, yaitu Wilayah Gianyar Utara yang meliputi Kecamatan Payangan, Tegalalang, dan Tampaksiring diarahkan sebagai Daerah Konservasi Air, Pengembangan Agrowisata, dan Culture Heritage. Dalam pengembangan Kawasan Agrowisata Gianyar Utara, Desa Kerta ditetapkan sebagai Pusat Pengembangan Agrowisata Gianyar Utara. Potensi sumber daya pertanian yang dimiliki Desa Kerta, belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat maupun masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah belum adanya strategi dan program pengembangan yang tepat, terpadu dan komprehensif. Kondisi tersebut, menggugah ide peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidedtifikasi potensi desa yang dapat dikembangkan
65
menjadi produk agrowisata, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta serta merumuskan strategi pengembangan Agrowisata Desa Kerta secara tepat, terpadu dan komprehensif. Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini disajikan seperti pada Gambar 2.3.
Pariwisata Bali Pariwisata Alternatif
Konsep Strategi Pengembangan Produk Pariwisata Agrowisata Agropolitan Pariwisata Berkelanjutan
Rumusan Masalah 1 Apa saja potensi desa yang dapat dikembangkan sebagai produk Agrowisata Desa Kerta di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar
Pariwisata Masal
Agrowisata Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar
Rumusan Masalah 2 Apa yang menjadi faktor internal dan eksternal dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar
Rekomendasi Gambar 2.3 Model Penelitian
Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata Sistem Perencanaan
Rumusan Masalah 3 Bagaimana strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar