BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini memuat empat pokok bahasan untuk kepentingan penelitian dan penulisan disertasi. Pertama, diuraikan kajian pustaka yang menunjang penulisan disertasi. Kedua, dideskripsikan empat konsep dalam penulisan disertasi ini, yaitu representasi, posrealitas, desain gedung pusat pemerintahan, dan Kabupaten Badung. Ketiga, ditetapkan tiga teori kritis yang digunakan dalam penulisan disertasi ini, yaitu teori desain ruang virtual, simulasi, dan dekonstruksi. Keempat, visualisasi model penelitian. Keempat pokok bahasan ini sangat penting dan bermanfaat dalam penelitian dan penulisan disertasi ini.
2.1 Kajian Pustaka Pada subbab ini diuraikan hasil penelusuran pustaka, baik berupa teks, hasil-hasil penelitian, maupun artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan dimensi baru ruang, yang muncul setelah lahirnya teknologi komputer desain dan internet. Teknologi ini dapat melahirkan ruang-ruang semu, virtual, maya, artifisial, bahkan dapat memvisualkan posrealitas. Sebelum teknologi ini berkembang, teori ruang banyak berkaitan degan filosofi alam, kosmologi, antroposentris, dan ruang-ruang arsitektonik yang bersifat fisik. Melalui kegiatan penelusuran pustaka, diharapkan dapat diperoleh berbagai hal, seperti informasi, konsep-konsep, ide-ide yang dapat memberikan inspirasi dan membuka wawasan berpikir. Berdasarkan hal tebut, nantinya dapat ditunjukkan perbedaan penelitian
18
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
19
ini dengan penelitian atau karya-karya tulis ilmiah yang telah ada sebelumnya sehingga dapat diperlihatkan orisinalitas penelitian ini. Penelitian dan penulisan buku berkaitan dengan masalah posrealitas atau hiperrealitas, antara lain telah dilakukan oleh Yasraf Amir Piliang. Berdasarkan pengkajian Piliang dalam buku Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika dijelaskan bahwa posrealitas adalah suatu kondisi terlampauinya prinsip-prinsip realitas, yang diambil alih oleh substitusi-substitusi, yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang “yang nyata” atau the real (Piliang, 2009: 53). Baudrillard menyebutkan teknologi ini sebagai teknologi simulasi, yang dibangun oleh dimensi baru ruang, yang disebut ruang simulakrum. Ruang simulakrum adalah ruang virtual, ruang halusinasi yang tercipta oleh data komputer. Ruang dengan realitas virtual mengacu pada realitas yang tercipta di dalam ruang tersebut. Ruang posrealitas sesungguhnya adalah dunia hiperrealitas, sebuah dunia yang melampaui realitas, sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari data di dalam komputer, dan dapat menawarkan tingkat pengalaman, persepsi, perasaan, serta emosi yang berbeda dengan dunia nyata (Piliang, 2009: 160--161). Pengkajian Piliang ini sangat bermanfaat dan dapat memberikan pemahaman tentang hakikat posrealitas. Pengkajian ini sangat relevan dengan ketiga rumusan masalah, sangat bermanfaat sebagai acuan berkaitan dengan konsep dan teori, serta pembahasan penelitian ini sehingga diperoleh hasil yang menunjukkan originalitas penelitian ini.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
20
Dalam disertasinya yang berjudul “Layar dalam Multiplisitas Ruang – Waktu: Ontologis Desain dengan Pendekatan Filsafat Perbedaan”, Piliang antara lain mengungkapkan bahwa layar elektronik komputer dan TV merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari kehidupan budaya kontemporer. Dalam hal ini, layar dapat dilihat sebagai objek atau media, sedangkan isi layar dapat memperlihatkan citra atau representasi dunia (being image). Layar juga dapat menampakkan perbedaan ruang dan waktu (http://digilib.itb.ac.id). Penelitian disertasi Piliang yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Multisiplitas dan Diferensi: Redifinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, antara lain mengungkapkan bahwa citra yang ditampilkan oleh layar elektronik bukan hanya sebagai representasi ikonis realitas, melainkan halusiasi, yang dapat dialami sebagai pengalaman yang seakan-akan nyata. Pengalaman citra halusinasi tersebut dibangun di dalam dunia realitas virtual (Piliang, 2008: 291). Lebih lanjut, Piliang mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi informasi-digital telah membentangkan kemungkinan baru wacana desain dan menimbulkan implikasi sangat serius terhadap wacana tentang desain, yaitu transformasi dari ruang ekstensif (di dalam dunia fisik nyata) ke arah waktu intensif (di dalam layar). Sebagaimana diungkapkan oleh Buchanan (dalam Piliang, 2008: 393), bahwa desain sebagai bagian dari seni asitektonik, sifat arsitektonik desain merupakan fungsi dan sifat dari materialitasnya. Dalam perkembangannya, menurut Virilio (dalam Piliang, 2008: 393), materialitas desain saat ini dapat diambil alih oleh imaterialitas desain. Perkembangan realitas
kronoskopi,
yang dibangun oleh elemen-elemen
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
21
nonmaterial dan virtual telah mengubah secara mendasar etos (karakter) desain. Desain tidak lagi sepenuhnya dalam pengertiannya yang konvensional, bersumber dari elemen material, fisikal, dan spasial (ekstensif). Akan tetapi, desain juga bersumber dari elemen-elemen nonmaterial, nonfisikal dan nonspasial, yang disebut Virilio sebagai elemen intensif. Hasil penelitian dan pengkajian Piliang ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang definisi dan teori baru desain dalam budaya kontemporer. Hal itu penting karena, sebelumnya desain terpaku pada konsep kebaruan, konsep materi, konsep desain, dan humanitas yang bersifat fisik. Pengkajian ini sangat relevan dengan ketiga rumusan masalah. Pengkajian masalah posrealitas yang bersumber dari pemikiran Jean Baudrillard tentang hiperrealitas juga dilakukan oleh Medhy Aginta Hidayat. Di dalam bukunya yang berjudul Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Posmodernisme Jean Baudrillard, Hidayat antara lain menjelaskan bahwa Marshall McLuhan adalah orang yang pertama kali mewacanakan hiperrealitas (Hidayat, 2012: 91--97). Melalui buku The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), McLuhan meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era mekanik ke teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan sistem saraf. Perkembangan teknologi komunikasi dan media, khususnya televisi, komputer, dan internet, menurut McLuhan, memungkinkan manusia hidup di dalam dunia, semacam “kampung global” atau global village. Batas-batas ruang
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
22
dan waktu seolah lenyap, dilipat dalam sebuah kotak layar kaca televisi, disket, dan internet sehingga kini setiap orang dapat melihat, mendengar, dan mengonsumsi informasi dari segala penjuru dunia. Di balik pandangan optimisnya, McLuhan melupakan dampak dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, sebagai konsekuensi lanjut dari terbangunnya global village. Gagasan inilah yang selanjutnya diambil alih dan dikembangkan oleh Jean Baudrillard. Pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan manusia dan global village diangkat oleh Baudrillard ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini disebutkan telah menjelma menjadi hiperreal village. Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem saraf manusia, bahkan mampu mereproduksi realitas, menciptakan realitas baru dengan cita-cita buatan, bahkan halusinasi menjadi kenyataan. Realitas yang dihasilkan teknologi baru dapat mengalahkan realitas sesungguhnya. Inilah dunia hiperrealitas. Dalam dunia hiperrealitas, objek-objek asli hasil produksi menjadi satu dengan objek-objek hiperreal hasil reproduksi. Pengkajian Hidayat ini sangat bermanfaat memberikan pemahaman tentang pemikiran Baudrillard menyangkut hiperrealitas, yang dalam desain sering digunakan dengan istilah posrealitas. Pengkajian ini sangat relevan dengan ketiga rumusan masalah. Dalam buku yang diberi judul Cultural Studies: Teori dan Praktek, Chris Barker, antara lain menguraikan kaitan posrealitas dengan budaya posmodern. Barker mengungkapkan bahwa bagi Baudrillard, salah seorang tokoh posmodern, budaya pascamodern tersebut ditandai oleh suatu arus besar simulasi dan tanda
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
23
yang menarik perhatian, suatu hiperrealitas, di mana manusia dibanjiri dengan citra dan informasi. Realitas kini menjadi hiperrealis, yang muncul sehari-hari dalam bidang politik, sosial, sejarah, dan ekonomi, memadukan simulatif hiperrealisme (Barker, 2006: 161). Kini manusia dapat hidup di dalam suatu halusinasi estetis realitas akibat adanya teknologi simulasi yang dapat mengubah pandangan manusia tentang dunia realitas. Produk teknologi simulasi ini dibangun oleh dimensi baru ruang, yang disebut Baudrillard sebagai ruang simulakrum. Perkembangan teknologi simulasi ini telah menggiring masyarakat kontemporer pada sebuah kondisi, di mana realitas telah digantikan oleh simulasi realitas. Pengkajian Barker ini sangat bermanfaat memberikan pemahaman tentang pemikiran Baudrillard menyangkut hiperrealitas dan kaitannya dengan teknologi simulasi dan ruang simulakrum sebagai ruang virtual posrealitas. Pengkajian ini sangat relevan dengan ketiga rumusan masalah serta sangat bermanfaat sebagai acuan berkaitan dengan konsep dan teori dalam penelitian ini. Pengkajian masalah posrealitas berkaitan dengan teknologi desain virtual dilakukan oleh Robshields. Menurut Robshield (2011: 4), pengkajian Baudrillard tentang dunia virtual menjadi penting ketika sesuatu menjadi lebih nyata dari pada kenyataan. Baudrillard mengungkapkan bahwa dunia virtual adalah simulasi. Robshields dalam
bukunya
yang
berjudul
Virtual:
Sebuah
Pengantar
Komprehensif menjelaskan bahwa istilah virtual berasal dari bahasa Latin virtus, yang berarti kekuatan, atau ketahanan. Pada abad pertengahan, virtus berubah menjadi virtualis dan dipahami sebagai kebaikan. Istilah kebaikan adalah sebuah kualitas pribadi, kekuatan atau pengaruh operatif yang melekat pada sosok mistis
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
24
atau ketuhanan (Robshields, 2011: 2--8). Pada abad pertengahan telah terjadi kontroversi terhadap istilah virtual, terkait dengan keberadaan nyata Kristus dalam ritual Ekaristi. Apakah kehadiran Kristus itu nyata atau virtual? Dalam buku tersebut, Robshields juga memberikan contoh karya desain ruang virtual pada masa lalu, yang merupakan desain ruang posrealitas. Desain ruang tersebut dibangun oleh para penganut doktrin Virtualisme dalam bentuk desain interior Gereja Barok, yang wujud desainnya melampaui ruang dunia nyata. Contoh lain yang diberikan oleh Robshields adalah patung Pieta, karya Michelangelo. Menurut Robshields (2011: 45), patung Pieta bukan sekadar citra tubuh Yesus atau Bunda Maria yang sebenarnya, melainkan sebuah virtualitas. Michelangelo membuat karya ini dengan menerapkan teori perspektif untuk menciptakan ilusi ruang untuk fantasi dan kontemplasi. Pembahasan Robshields bermanfaat untuk menambah wawasan tentang virtualisme. Contoh desain gereja gaya Barok dan Patung Pieta dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Desain Interior Gereja Barok dan Patung Pieta Contoh karya desain ruang virtual abad pertengahan (Sumber: Googel.com)
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
25
Pengkajian masalah dunia virtual terkait degan teknologi simulasi berdasarkan pendapat Baudrillard juga dilakukan oleh Sutinah. Dalam karya tulis tentang “Teori Simulasi Jean Baudrillard”, Sutinah (2010: 392) menguraikan bahwa dunia realitas virtual yang bersifat tidak aktual, terbentuk oleh data di dalam komputer. Baudrillard menyebut dunia realitas virtual ini sebagai simulasi. Simulasi adalah menciptakan realitas lain di luar realitas faktual dan hal ini disebut hiperrealitas. Dalam pengertian ini, Sutinah menjelaskan bahwa simulasi adalah menciptakan realitas baru atau realitas imajiner yang dianggap real. Jadi, simulasi adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asalusul atau referensi realitasnya sehingga memampukan manusia untuk membuat sesuatu yang bersifat supernatural, ilusi, fantasi, dan khayali menjadi tampak nyata (Sutinah, 2010: 403). Wacana tentang ruang virtual sudah merambah dunia sastra dan filsafat. William Gibson telah menulis novel fiksi ilmiah tentang cyberspace dalam buku Neuromancer. Berkaitan dengan hal ini, Piliang juga telah menulis beberapa buku tentang ruang digital atau ruang virtual, antara lain Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (2004a), Dunia yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital (2004b) dan Posrrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Menurut Piliang (2009:158), istilah cyberspace yang dipopulerkan oleh William Gibson adalah istilah untuk menjelaskan ruang halusinasi yang tercipta oleh jaringan data komputer. Piliang mempertegas bahwa istilah cyberspace lebih mengacu pada ruang, sedangkan realitas virtual mengacu pada realitas yang tercipta di dalam ruang tersebut. Jadi, dunia realitas virtual adalah
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
26
dunia yang terbentuk oleh data dan bersifat tidak aktual dalam hakikat dan efeknya. Pengertian cyberspace menurut Mark Slouka dalam Hadi (2005: 14), merupakan ruang halusinasi berupa representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam sistem pikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer. Oleh karena itu, dunia cyberspace bukan merupakan ruang dalam pengertian secara umum atau ruang tiga dmensi (3D), melainkan sebuah metafora, sebuah ruang simbolik (Hadi, 2005: 15). Pengkajian Piliang dan Hadi sangat bermanfaat dalam memberikan pemahaman tentang cyberspace, ruang abstrak di komputer, dan realitas virtual. Pengkajian ini bermanfaat dalam membahas ketiga rumusan masalah dalam penelitian ini. Pengkajian ruang virtual dalam arsitektur telah dilakukan oleh Or Ettlinger dan desain virtual oleh Thomas A. Furness III. Dari buku The Virtual Space Theory yang disusun Or Ettlinger dan dipublikasikan secara online, diperoleh teori tentang ruang virtual dalam arsitektur. Ettlinger menekankan inti teori ruang virtual dalam arsitektur. Teori ruang virtual merupakan prinsip yang diusulkan secara konsisten dan pengertian sistematik tentang ruang virtual, dengan fakta yang berkenaan dengan penggunaan dan kejadian di dalam media visual, seni, dan arsitektur. Teori yang dikemukakan tersebut merupakan pengalaman yang diperoleh dari bidang arsitektur dan komputer ilmiah (http://virtualspacetheory.com). Selanjutnya, berkaitan dengan desain virtual, Thomas A. Furness III, dalam artikel ilmiah Designing in Virtual Space menjelaskan bahwa desain adalah
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
27
penggambaran proses berpikir visual yang tidak memanfaatkan interface (antarmuka) modem desain berbantuan komputer. Idealnya interface desain mendahului konsep tentang ruang virtual, yang menggunakan medium desain (http://www.hitl.washington.edu/publications). Furnes III menyimpulkan, bahwa pembuatan desain ruang virtual dapat dikatakan sebagai tipuan tentang keadaan yang dapat dilihat dan disentuh. Ruang virtual disadari dapat memberikan realitas ruang, tetapi ruang dalam pikiran yang dimanipulasi menggunakan pengamatan dan sentuhan seperti interface (http://virtualspacetheory.com). Pengkajian Ettlinger dan Furnes III dapat digunakan dalam konsep, teori dan pembahasan rumusan masalah 1 dan 2, terkait dengan desain ruang virtual dalam penelitian ini. Selain mengkaji masalah ruang bersifat virtual, dalam kajian pustaka ini juga dikaji masalah hakikat ruang secara flosofis. Dalam buku Perencanaan Ruang Luar, Ashihara (1974: 6) berkeyakinan bahwa Lao Tzu adalah peletak dasar konsep mengenai ruang yang diungkapkan berdasarkan prinsip filosofis dan fenomenologis polaritas “Yang Ada dan Yang Tak Ada”. Bagi Lao Tzu, ruang adalah kekosongan. Untuk menciptakan ruang kosong diperlukan materi untuk membentuknya. Ashihara juga mengungkapkan proses terjadinya ruang, yang terbentuk oleh adanya hubungan antara sebuah objek dan manusia yang melihatnya. Bila ditinjau dari pengertian ruang arsitektural, maka hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh indra pencium, pendengar, dan peraba. Sering pula terjadi bahwa ruang yang sama mempunyai kesan atau suasana yang berbeda karena dipengaruhi oleh cuaca (Ashihara, 1974: 5). Pemaparan Ashihara ini
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
28
terfokus pada konsep ruang dan kaitannya dengan desain ruang luar. Pengkajian Ashihara ini bermanfaat memberikan pengetahuan tentang hakikat ruang dan proses terjadinya ruang. Pengkajian ini berkaitan dengan rumusan masalah ke-2 dan ke-3 serta bermanfaat sebagai acuan konsep dan teori dalam penelitian ini. Kajian pustaka dalam penelitian ini juga membahas penelitian tentang kapan manusia mulai menggambar ruang arsitektur. Dalam buku Desain dan Kebudayaan, Widagdo (2005: 77), antara lain mengemukakan bahwa pada masa Renaisans telah ditemukan teknik menggambar ruang, dengan perspektif. Teori menggambar perspektif merupakan teknik matematis untuk mempresentasikan citra ruang tiga dimensi (3D) di atas bidang dua dimensi (2D). Teori perspektif untuk menggambar ruang berkembang dari teknik menggambar arsitektur yang diperkenalkan oleh Filippo Brunelleschi (1377–1446 ) pada abad ke-15. Selanjutnya Leon Batista Alberti (1404–1472) menemukan teknik menggambar proyeksi. Teknik menggambar proyeksi ini kemudian dikembangkan Alberti menjadi teknik menggambar perspektif. Ilustrasi penemuan cara menggambar perspektif dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dari hasil penelitian Capra (2007: 283) tentang dokumen-dokumen Leonardo Da Vinci, antara lain diungkapkan bahwa geometri perspektif yang dikembangkan pada masa Renaisans merupakan konsep ilmiah pertama tentang ruang 3D. Dalam buku Sains Leonardo: Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renaisans, Capra menjelaskan bahwa setelah mengkritisi aturan-aturan perspektif Alberti, ditemukanlah oleh Leonardo Da Vinci teori perspektif yang jauh melampaui para seniman terkemuka lainnya dari masa Renaisans awal. Leonardo
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
29
Da Vinci menemukan tiga jenis perspektif, yaitu perspektif linier, perspektif warna, dan perspektif pelenyapan (Capra, 2007: 289). Perspektif linier (lineare) berkaitan dengan sebab pengecilan benda-benda ketika makin jauh dari mata. Perspektif warna (di colore), yaitu cara memvisualkan warna-warna yang bervariasi ketika makin jauh dari mata. Perspektif pelenyapan (di spedizione) mengatur bagaimana objek seharusnya terlihat kurang jelas jika semakin jauh.
Gambar 2.2 Penemuan Cara Menggambar Perspektif (Sumber: Googel.com)
Dalam buku Virtual: Sebuah Pengantar Komprehensif, Robshields (2011: 45), antara lain juga menyinggung masalah perspektif sebagai salah satu contoh teknologi. Menurut Robshield, perspektif merupakan konvensi untuk
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
30
mewakili adegan dan representasi ditampilkan dalam bentuknya yang hampir nyata. Pengkajian tentang perspektif dari Widagdo, Capra, dan Robshields bermanfaat memberikan pengetahuan, tentang bagaimana ruang bisa digambarkan pada bidang datar (2D) untuk pertama kalinya. Untuk melengkapi masalah teknik menggambar ruang dengan perspektif, kajian ini juga mengangkat kajian Suparyono dan Schaarwachter. Dijelaskan oleh Suparyono (1986: 7) bahwa istilah perspektif berasal dari kata prospettiva dalam bahasa Italia, yang berarti gambar pandangan. Dalam buku Konstruksi Perspektif, Suparyono secara terperinci menguraikan teori menggambar perspektif serta tahapan-tahapan untuk mevisualkan bentuk bangun dan ruang 3D. Aplikasi teori perspektif untuk arsitek dan desainer interior modern, antara lain ditemukan juga pada buku Perspektif untuk Para Arsitek oleh Schaarwachter. Dalam buku tersebut, Schaarwachter (1984: 7) menjelaskan bahwa dalam perkembangan pada abad ke-20, perspektif yang digunakan oleh arsitek dan desainer interior untuk menggambar ruang adalah perspektif linier (garis lurus). Teknik menggambar perspektif ini bersumber pada satu deretan metode yang dapat digunakan untuk membuat gambar prabangunan atau pradesain, ruang, gambar tumbuh-tumbuhan, yang dapat memvisualkan keseimbangan pandangan, yang akan diwujudkan dalam karya arsitektur atau desain. Penelitian tentang kaitan ruang dengan arsitektur telah dilakukan oleh Cornelis van de Ven. Pada buku yang diberi judul Ruang dalam Arsitektur, van de Ven memaparkan perkembangan teori ruang sejak zaman klasik sampai peradaban modern. Istilah ruang yang dalam bahasa Inggris disebut space, menurut van de
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
31
Ven (1991: xvii), berakar dari istilah klasik spatium. Filsuf-filsuf yang pernah mengemukakan teori terkait dengan ruang pada era Yunani kuno adalah Plato, Aristoteles, dan Pythagoras. Teori ruang zaman klasik lebih banyak menafsirkan ruang berdasarkan filosofi alam. Memasuki abad pertengahan, muncul konsep ruang yang didasarkan atas pandangan teologis dan kosmologi. Para cendekiawan mengidentifikasikan ide ruang dengan Tuhan yang hadir di mana-mana sebagai suatu bentuk cahaya sehingga cahaya dan ruang memiliki sifat ilahi. Konsep ruang transendental ini banyak ditemukan pada arsitektur Ghotik, dengan struktur tinggi menjulang pada wujud arsitekturnya, dan cahaya yang menembus bagian atas bangunan. Pada masa Renaisans, para cendekiawan masih banyak membahas ruang jagat raya yang tak terbatas. Newton kemudian mengajukan konsep ruang absolut, yang tidak terdeteksi oleh indra, bersifat homogen, dan tidak terbatas. Konsep ruang absolut ini diangkat sebagai suatu bukti dari keberadaan Tuhan yang diidentifikasikan sebagai ruang absolut. Newton kemudian mengajukan teori baru, yakni konsep ruang sebagai wadah dari semua objek material. Selanjutnya Cartesius mengemukakan konsep ruang baru bahwa ruang memiliki keteraturan geometris, seperti grid dua atau tiga dimensional dan ruang geometrik. Memasuki peradaban modern, Albert Einstein mengajukan teori relativitas menyangkut konsep ruang sebagai medan empat dimensional (ruang dan waktu). Menurut Einstein, ruang adalah sebuah medan (bukan ruang kosong), yang tergantung pada empat parameter, tiga dimensi ruang, dan satu dimensi waktu. Ilmuwan-ilmuwan lain, seperti Gauss, Mach, dan Minkowski turut
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
32
mempersiapkan kemapanan teori relativitas lebih lanjut. Kemudian Jammer menilai analisis struktur ruang oleh Gauss dan Riemann tentang geometri nonEuclidian sangat penting sebab mengantarkan kepada konsep ruang lengkung (van de Ven, 1991: 51). Dijelaskan juga oleh van de Ven tentang kaitan ruang dengan arsitektur. Pemikiran ini merupakan konstribusi dari Ecole des Beaux Arts di Paris, khususnya berkaitan dengan ruang sebagai konsep artistik. Pemikiran lain muncul dari kelompok Jugendstil di Jerman tentang arsitektur sebagai seni pembentukan ruang abstrak dan pengalaman ruang. Dijelaskan juga pendapat Theodor Lipps tentang representasi ruang abstrak, sebagai bentuk spasial murni dan tak terwujud dalam materi. Akan tetapi, Lipps sama sekali tidak menyebut mengenai pelingkup ruang (spatial enclosure). Para arsitek Art Nouveau kemudian menjadi katalis bagi penetapan bentuk dari konsep ruang dalam teori arsitektur (van de Ven, 1991: 96). Pengkajian van de Ven ini sangat bermanfaat, khususnya berkaitan dengan konsep dan teori ruang desain arsitektural. Penelitian Imam Santosa dalam Tesis tentang “Telaah Kritis Konsep Ruang Arsitektur Interior Bauhaus” menguraikan kajian kritis tentang konsep ruang modern. Kajian ini dilakukan pada karya-karya desain ruang modern arsitek interior kelompok Bauhaus Jerman (Santosa, 1994: ii). Pengkajian tentang konsep ruang arsitektur interior Bauhaus yang banyak memberikan pengaruh terhadap gerakan arsitektur interior modern dunia bermanfaat memberikan inspirasi untuk bersikap kritis dalam pembahasan masalah ruang dalam penelitian ini.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
33
Djauhari Sumintardja (1981: 154) dalam buku Kompendium Sejarah Arsitektur, menguraikan masalah filosofi dan konsep dasar perencanaan ruang dalam karya arsitektur peradaban Timur dan Barat. Sumintardja, antara lain memaparkan konsep dan filosofi ruang arsitektur Barat, dari peradaban Yunani Kuno sampai peradaban modern. Konsep ruang peradaban Timur, selain dibahas ruang arsitektural Nusantara, juga dibahas ruang arsitektural peradaban India Kuno. Dasar-dasar perencanaan ruang dan bangunan pada zaman India Kuno, disebutkan berpedoman pada Vastu Purusha Mandala. Konsep ini memiliki makna bahwa tata ruang merupakan wilayah energi berdasarkan norma yang manusiawi. Konsep ini berpangkal pada sikap badan manusia yang sedang bertapa dan merupakan simbol penertiban keadaan yang kacau. Setiap petak ruang disebut pada dan bentuk denah ruang yang terakhir disebut vimana. Hasil penelitian yang dibukukan ini bermanfaat memberikan pengetahuan tentang konsep ruang arsitektur budaya Timur dan Barat, khususnya terkait dengan perpaduan kearifan lokal konsep ruang budaya Timur dengan konsep ruang modern Barat. Pengkajian konsep dan filosofi ruang arsitektur budaya Timur dan Barat juga dilakukan oleh Mangunwijaya secara lebih komprehensif dan mendalam. Dalam buku Wastu Citra, Mangunwijaya antara lain mengungkapkan bahwa upaya untuk menghayati ruang dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengkaji dan merasakan sesuatu dalam batin, sesuatu yang berkaitan dengan konsep arsitektur yang tidak kasat mata. Merujuk pada pendapat filsuf Marleau-Ponty (Perancis) tentang kaitan tubuh manusia dengan ruang, Mangunwijaya (1988: 5) kemudian membandingkannya dengan arsitektur, sebagai ruang yang ekspresif. Pada ruang
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
34
yang ekspresif akan dijumpai penghayatan arsitektural, penghayatan ruang, beserta pembatas dan pelengkap ruang secara berbudaya. Oleh karena itu, membuat karya arsitektur, artinya berbahasa dengan ruang, gatra (volume), garis, bidang, bahan (material), dan suasana tempat, yang selayaknya dilakukan dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik. Mangunwijaya juga mengungkapkan bahwa falsafah ruang budaya Barat berakar dari kebudayaan Yunani, yang dilanjutkan oleh Romawi dan mengalami perkembangan setelah era Renaisans. Pemaparan konsep ruang Barat terkait dengan kosmologi diimbangi dengan kosmologi ruang arsitektur dalam budaya Timur (Mangunwijaya, 1996: 52). Seperti wujud arsitektur meru dan candi di Bali atau Borobudur di Jawa Tengah, sebagai simbol gunung suci, tempat dewa-dewa berstana. Menurut Mangunwijaya (1988: 55), konsep ruang arsitektur dalam arti yang sejati adalah konsep ruang yang diilhami kedalaman jiwa manusia yang peka dimensi kosmologi dan tumbuh dari penghayatan keagamaan. Pemaparan Mangunwijaya yang komprehensif ini sangat bermanfaat sebagai landasan penelitian tentang konsep filosofi ruang arsitektur budaya Timur dan Barat. Dalam makalah tentang “Bentuk Pola-Pola Ruang Arsitektur Tradisional (Bali) dengan Manajemen Pengelolaannya”, Gelebet (1993: 5) antara lain memaparkan konsep filosofi ruang tradisional Bali yang berkembang dari ajaran tat twam asi yang berarti “itu (ia) adalah aku” dalam agama Hindu. Inti ajaran tat twam asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan, termasuk dunia ciptaan Tuhan ini. Dalam keyakinan Hindu, dunia (alam semesta) diciptakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma sehingga dunia ini disebut sebagai Brahmanda
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
35
atau “Telur Brahma” (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1968: 21). Dalam kaitannya dengan ruang, ajaran tat twam asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi). Dalam hal ini, ruang makro yang di Bali disebut dengan Bhuwana Agung, senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro atau Bhuwana Alit. Struktur ruang vertikal tri loka (Bhur-Bwah-Swah) dalam makrokosmos, kemudian dijabarkan ke dalam konsep tri hitakarana. Konsep ini untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam lingkungan dan makhluk lainnya. Secara filosofis, tri hitakarana mengandung pengertian sebagai tiga kutub yang menjadikan suatu kehidupan di bumi [Bagus (Ed.), 1986: 24]. Tiga kutub tersebut adalah jiwa (atma), fisik (angga) dan tenaga (kaya). Dalam perancangan ruang, pendekatan konsep Tri hitakarana dilakukan ke dalam perencanaan ruang secara makro (macro planing) dan perencanaan ruang mikro (micro design) menjadi tiga zona ruang, yang disebut dengan tri mandala. Tri mandala terdiri atas utama mandala untuk ruang sakral, madya mandala untuk ruang aktivitas manusia, dan nista mandala merupakan ruang yang bersifat pelayanan atau servis. Pengelompokan ruang ini berlaku dari lingkungan terbesar sampai elemen ruang terkecil. Persilangan dari orientasi ruang yang mengacu ke arah gunung – laut dengan ke arah terbit – terbenam matahari, kemudian menghasilkan sembilan strata ruang, yang disebut sanga mandala. Dalam suatu perumahan, strata ruang yang paling utama dari utama mandala digunakan sebagai area tempat suci. Pada
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
36
area yang disebut nista dari nista mandala digunakan sebagai tempat pintu masuk rumah tinggal. Hasil pengkajian Gelebet ini bermanfaat memberikan pemahaman dan dapat memperluas wawasan terhadap konsep dan teori ruang tradisional Bali.
2.2 Konsep Penelitian berjudul “Representasi Posrealitas Desain Gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung” merupakan ungkapan kalimat yang terdiri atas beberapa istilah. Istilah-istilah ini perlu dikonsepsikan agar arah penelitian menjadi jelas. Istilah-istilah tersebut adalah representasi, posrealitas, desain gedung pusat pemerintahan, dan Kabupaten Badung.
2.2.1 Representasi Unsur utama kajian budaya dapat dipahami sebagai studi kebudayaan, yang merupakan praktik pemaknaan representasi. Menurut Barker (2006: 9), representasi adalah aktivitas untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh manusia sehingga dapat dipahami maknanya melalui teks-teks budaya, seperti nada (suara), bentuk visual (gambar), bangunan arsitektural, dan sebagainya. Representasi dan makna budaya memiliki materialitas, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Semua diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Di dalam representasi menurut Barker (2006: 215), senantiasa terdapat masalah kekuasaan yang mengandung unsur pelibatan dan penyingkiran atau pengabaian.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
37
Representasi
menurut
Piliang (2003: 18),
merupakan
tindakan
menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda dan simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia). Hubungan antara simbol, tanda, dan dunia realitas bersifat referensial karena tanda merujuk pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda menurut Piliang (2004: 46-47), hanya dimungkinkan bila ada dunia realitas yang direpresentasikannya. Hollier (dalam Ikhwanuddin, 2005: 86) menjelaskan bahwa desain bangunan atau arsitektur pada dasarnya merupakan general locus atau framework dari representasi. Desain arsitektural identik dengan ruang representasi. Desain arsitektural selalu merepresentasikan sesuatu yang lain di luar dirinya, yang membedakannya dengan desain bangunan lainnya. Desain bangunan dapat merepresentasikan sebuah agama, kekuatan politik, peristiwa, dan lain-lain. Selanjutnya Klotz dalam Ikhwanuddin (2005: 87) mengungkapkan bahwa desain bangunan atau arsitektur didefinisikan sebagai representasi dari sesuatu yang lain. Klotz juga menyatakan bahwa desain bangunan atau arsitektur posmodern menggunakan bentuk-bentuk metaforik dan simbolik untuk memperkaya pemaknaan. Metafora merupakan salah satu macam dari analogi bahasa dalam arsitektur yang dikemukakan oleh Charles Jenks. Menurut Jenks (dalam Widagdo, 1993: 9), desain posmodern dapat dikaitkan dengan bahasa sehingga unsur metafor pada bangunan merupakan bagian dari representasinya. Desain posmodern menggunakan analogi bahasa sebagai bagian dari komunikasi desain, untuk menjelaskan maknanya. Charles
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
38
Jenks adalah tokoh arsitek posmodern yang memelopori penerapan analogi antara bahasa dan desain. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah melahirkan teknologi komputer desain tiga dimensi (3D) dengan realitas virtual pada akhir abad ke-20 menyebabkan terjadinya perubahan media representasi desain. Representasi desain tidak lagi hanya bersifat materi atau fisik. Akan tetapi, juga bisa bersifat nonmateri dan nonfisik. Materialitas desain tersebut diambil alih oleh imaterialitas desain melalui teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual. Teknologi ini dapat membantu pembuatan citra simulasi, sebagai citra yang dikonstruksi melalui mekanisme teknologi komputer grafis. Hasil simulasinya adalah berupa ruang-ruang digital, virtual, dan menghasilkan citra gerak dengan durasi waktu artivisial. Citra gerak tersebut oleh Virilio disebut sebagai citra kronoskopi (Piliang, 2008: 393). Realitas kronoskofis yang dibangun oleh elemen-elemen nonmaterial dan virtual telah mengubah secara mendasar karakter desain, yang tidak lagi sepenuhnya bersumber dari elemen-elemen ekstensif (material, fisikal dan spasial), tetapi juga berupa elemen-elemen intensif (nonmaterial, nonfisikal dan nonspasial). Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa represantasi adalah aktivitas untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh manusia serta memiliki makna yang tervisualisasikan pada wujud benda budaya tersebut, seperti wujud desain arsitektural. Di dalam representasi terdapat unsur kekuasaan untuk menggunakan atau mengabaikan suatu wujud budaya yang tidak sesuai.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
39
2.2.2 Posrealitas Posrealitas menurut Piliang (2009: 53), merupakan suatu kondisi terlampauinya prinsip-prinsip realitas, yang diambil alih oleh substitusi-substitusi, yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang “yang nyata” atau the real. Ruang posrealitas dapat menawarkan tingkat pengalaman, persepsi, perasaan, dan emosi yang berbeda dengan dunia nyata. Pada tingkat tertentu menurut Piliang (2009: 160--161), ruang posrealitas dapat menghasilkan pengertian atau perasaan (sense) yang mendekati apa yang diperoleh di dunia nyata. Akan tetapi, pada tingkat yang lebih tinggi, ruang posrealitas merupakan pembesaran efek perasaan tersebut, seperti perasaan meruang (sense of space), perasaan menyata (sense of real), perasaan mendiri (sense of the self), perasaan mengomunitas (sense of the community), rasa menavigasi atau sense of power. Perasaan-perasaan yang mendekati apa yang diperoleh di dunia nyata ini dapat diciptakan menggunakan teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual. Teknologi ini dapat menciptakan citra simulasi yang dikonstruksi melalui mekanisme teknologi komputer grafis, menjadi ruang digital yang sifatnya virtual atau semu. Representasi posrealitas dapat diciptakan berupa desain ruang-ruang elektronik yang mengandung unsur gerak atau citra kronoskopi. Menurut Virilio (dalam Piliang, 2008: 396--397), citra kronoskopi merupakan simulasi desain ruang digital yang mengandung unsur gerak sehingga seseorang yang melihat
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
40
desain tersebut dapat mengalami suasana ruang dan waktu secara virtual. Cara kerja walk-trough di dalam program komputer desain juga mampu menghasilkan model virtual, yang memungkinkan seseorang yang melihat desain tersebut mengalami sebuah ruang. Di dalam wacana desain virtual, di dalamnya waktu, durasi, dan temporalitas dunia dapat dimanipulasi. Hal ini menyebabkan seseorang yang melihat desain tersebut mengalami waktu dari sebuah desain secara virtual atau imaterial sebelum desain itu direalisasikan menjadi sebuah produk fisik atau yang bersifat material. Kondisi terlampauinya prinsip-prinsip realitas yang dapat diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir disebut Baudrillard sebagai teknologi simulasi. Simulasi adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitasnya sehingga manusia mampu membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, dan khayali menjadi tampak nyata (Sutinah, 2010: 403). Teknologi simulasi ini dibangun oleh dimensi baru ruang, yang disebut ruang simulakrum. Ruang simulakrum adalah ruang virtual, ruang halusinasi yang tercipta oleh data komputer. Oleh karena itu, pada hakikatnya ruang simulakrum adalah ruang digital. Ruang posrealitas menurut Baudrillard, sesungguhnya adalah dunia hiperrealitas. Sebuah dunia yang melampaui realitas, sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari data di dalam komputer. Berdasarkan teori-teori tentang konsep ruang yang dikemukakan oleh para ahli, Ashihara kemudian merumuskan bahwa ruang pada dasarnya terjadi oleh adanya hubungan antara sebuah objek dan manusia yang melihatnya
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
41
(Ashihara, 1974: 5). Istilah ruang yang dalam bahasa Inggris disebut space, menurut van de Ven (1991: xvii), berakar dari istilah klasik spatium. Interpretasi ilmiah tentang ruang telah mengalami banyak perubahan dari zaman ke zaman. Pada zaman klasik, para tokoh pemikir menafsirkan ruang berdasarkan filosofi alam. Pada abad pertengahan, konsep ruang banyak didasarkan pada pandangan kosmologi dan pada zaman modern, teori ruang lebih banyak didasarkan pada pandangan antroposentris (Santosa, 1994: ii). Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ruang posrealitas muncul sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni mutakhir, yang teraplikasikan menjadi komputer desain, dan dapat menciptakan sebuah ruang halusinasi hiperrealitas di dalam komputer. Istilah komputer diambil dari kata computer, yang dalam bahasa Inggris berarti menghitung. Kata computer itu sendiri berasal dari bahasa Latin, computare. Kata com berarti menggabungkan dalam pikiran atau secara mental dan kata putare berarti memikirkan perhitungan atau penggabungan. Jadi, computare berarti memperhitungkan atau menggabungkan bersama-sama (Siauw, 1995: 13). Teknologi komputer ini berkembang dari keinginan manusia menciptakan alat untuk menghitung. Orang Mesopotamia (3000 SM) telah memiliki teknik menghitung dengan cara menempatkan biji-bijian atau kerikil dalam lubanglubang panjang yang mewakili bilangan-bilangan. Mereka menggunakan sebuah batu untuk mewakili sepuluh kerikil. Pada kebudayaan China (2000 SM), juga telah dikenal alat hitung yang disebut suan-pan, yang kemudian dikenal sebagai simpoa. Di Eropa dikenal alat hitung bernama abacus, di Rusia terdapat alat
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
42
hitung tsochottii, dan di Jepang alat hitung tradisionalnya disebut soroban (http://dadank27.blogspot.com). Alat hitung tradisional ini baru berkembang menjadi alat hitung mekanik pada abad ke-17, seperti yang dikembangkan oleh Whilhelm Schickar (1592– 1635) berupa kalkulator mekanik (calculating clock), Blaise Pascal (1623–1662) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) yang menciptakan mesin hitung berupa roda-roda mekanik, Charles P. Babbage (1792-1871) yang telah menciptakan mesin mekanik yang disebut Analytical Machine (Siauw, 1995: 17). Pada awal abad ke-20, teknologi untuk menghitung ini kemudian berkembang menjadi alat hitung elektro mekanik. Teknologi komputer lahir pada pertengahan abad ke-20, setelah berhasil diciptakan Electronic Numerical Integrator and Computer (ENIAC) dan Electronic Discrete Variable Automatic Computer (EDVAC) antara 1943–1944 di Universitas Pensylvania (AS). Banyak perusahaan kemudia menugasi teknisinya untuk belajar komputer, kemudian membangun perusahaan komputer sendiri. Pada 1951 berhasil diproduksi Universal Automatic Computer (UNIVAC), yang kemudian digunakan untuk menghitung suara pemilu Presiden AS pada 1952 (Siauw, 1995: 25). Selanjutnya, perkembangan komputer sejak 1950 dibedakan dengan batas generasi dan semakin mutakhir. Komputer yang semula bentuknya besarbesar akibat penggunaan tabung elektron, menjadi semakin kecil setelah menggunakan transistor. Setelah ditemukan IC (Integrated Circuit) bentuk
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
43
komputer pun semakin kecil. Bentuk komputer semakin ramping setelah ditemukan chip, yang menandai lahirnya dunia mikroprosesor (Siauw, 1995: 29). Komputer pribadi atau personal computer (PC) yang muncul pada dekade 1980-an, dan memiliki kemampuan cukup besar untuk menyelesaikan beberapa masalah, tetapi belum mampu membantu pekerjaan bidang keteknikan atau engineering (ITB & Antarindo Sarana, 1996:1). Pekerjaan keteknikan baru bisa dikerjakan dengan komputer setelah muncul Computer Aided Design (CAD). Teknologi komputer CAD mulai dipasarkan pada Desember 1982 oleh perusahaan Auto Desk dari Amerika (http://softnew.wordpress.com). Selain itu, perusahaan Graphisoft di Hongaria juga memproduksi program komputer desain pada 1984 dengan program yang diberi nama ArchiCAD (Sastra, 2005: 1). Revolusi teknologi komputer pada akhir abad ke-20 telah memberikan kemudahan bagi berbagai pekerjaan manusia, antara lain dalam pekerjaan perancangan dan perhitungan biaya (Tesar, 1993: 8). Pada akhir abad ke-20 berhasil diciptakan teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual. Program komputer ini diciptakan oleh perusahaan Auto Desk dari Amerika pada 1990 (http://www.maxunderground.com). Sejak 2009 program komputer ini kemudian diberi nama 3ds Max (http://en.wikipedia.org). Perusahaan
ArchiCAD dari
Hongaria juga menawarkan teknologi komputer dengan realitas virtual (virtual reality). Program ini dapat membantu membuat gambar animasi arsitektur dan interior, dengan hasil tampilan yang detail. Dengan animasi kamera, dapat dilihat pada sisi bangunan atau ruang yang sudah dibuat dengan menggunakan kamera dengan pengaturan tertentu (Sastra, 2005: 227).
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
44
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan ruang posrealitas adalah ruang yang tercipta setelah memasukkan data teknis ke dalam program komputer desain. Data ini kemudian diolah secara digital sehingga di layar komputer kemudian terlihat visualisasi ruang yang bersifat maya. Dengan semakin mutakhirnya teknologi komputer desain, seseorang yang melihat visualisasi ruang di layar komputer, seakan bisa merasakan ruang. Orang tersebut seakan bisa masuk ke dalam ruang, bergerak, dan berjalan memasuki ruang-ruang maya atau artifisial tersebut. Oleh karena itu, ruang yang tercipta ini disebut sebagai ruang yang melampaui realitas (posrealitas). Terciptanya ruang posrealitas ini telah mengubah interpretasi ruang dari zaman klasik hingga era modern, yang lebih bersifat fisik.
2.2.3 Desain Gedung Pusat Pemerintahan Desain gedung pusat pemerintahan adalah desain bangunan kantor pusat pemerintahan, yang berkaitan dengan rancang bangun arsitektural. Menurut Suptandar (1985: 4), desain gedung adalah karya arsitek dalam bentuk suatu bangunan. Bentuknya sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Proses perancangannya dipengaruhi oleh unsur-unsur geografi dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang diwujudkan dalam gaya-gaya kontemporer. Istilah desain itu sendiri menurut Yustiono (dalam Sachari, 1986: 22), berasal dari kata dessiner dalam bahasa Perancis, yang berarti menggambar juga berarti perancangan.
Dalam
pengertian yang luas, ruang lingkup desain tersebut meliputi fenomena benda
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
45
buatan manusia, yang salah satu di antaranya adalah karya arsitektural berupa gedung pusat pemerintahan. Dalam perkembangan seni rupa, desain lahir setelah terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad ke-18. Desain lahir sebagai akibat bertemunya seni rupa dengan teknologi, yang membawa nilai-nilai dan parameter baru. Kenyataan sosial ekonomi yang terjadi setelah revolusi industri menyebabkan adanya keinginan untuk mencari ungkapan visual baru dalam seni rupa, yang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, revolusi industri di Eropa menjadi titik tolak dan babak yang paling tegas dari perkembangan sejarah desain modern. Revolusi industri merupakan suatu rangkaian interaksi sistem politik, ekonomi, sains dan teknologi. Revolusi industri menjadi pemicu lahirnya perubahan pada pola kehidupan dan tatanan sosial masyarakat barat. Revolusi industri juga memicu tumbuhnya konsumerisme dan aneka barang hasil industri, yang memerlukan sentuhan desain (Widagdo, 2005: 106). Dalam perkembangannya kemudian, muncullah lima mazhab dalam desain, seperti Art and Craft Movement (1850), Art Nouveau (1890), de Style (1917), International Style (1919), dan posmodernisme yang gejalanya sudah muncul pada akhir 1950-an atau awal 1960. Bauhaus di Jerman adalah institusi pertama yang mengajarkan metode desain secara ilmiah (Widagdo, 2005: 181). Bauhaus didirikan oleh Walter Gropius pada 1919 dengan menyatukan cabang-cabang seni rupa, seni lukis, seni patung, seni grafis, dan arsitektur. Bauhaus kemudian memadukan semua ilmu pendukung desain, seni, keterampilan, dan teknik, serta menekankan aspek fungsi dalam desain untuk menghasilkan perancang yang dapat menjawab kenyataan
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
46
sosial dan budaya industri modern. Bauhaus kemudian ditutup oleh direktur terakhirnya, Mies van der Rohe pada 1933 karena ditentang kalangan konservatif dan Nazi Jerman. Tokoh-tokoh Bauhaus kemudian banyak beremigrasi ke Amerika. Mereka kemudian mengembangkan konsep International Style yang mendunia (Widagdo, 2005: 183). Akan tetapi, ide pengembangan International Style yang masuk ke dalam rumpun desain modern, kemudian mendapat kritik. Gerakan yang mengkritisi desain modern inilah yang kemudian melahirkan gerakan posmodern. Menurut Zainudin (dalam Damajani dan Dwinita Larasati, 2010: vi), istilah desain baru digunakan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an. Istilah itu digunakan saat dibentuk Design Centre, suatu kepanitiaan nasional untuk mempersiapkan keikutsertaan Indonesia dalam Expo 70 di Osaka, Jepang. Kepanitiaan itu dipercayakan kepada Jurusan Seni Rupa ITB. Menurut Widagdo, tokoh senior desainer interior Indonesia, menyatakan bahwa awal mula kata desain adalah dari kata disegno interno dan kata disegno esterno, yang digunakan oleh Axel von Saldem di Italia pada akhir abad ke-16. Arti kata disegno interno adalah konsep untuk karya yang akan dilaksanakan, sedangkan kata disegno esterno berarti karya yang sudah dilaksanakan. Berdasarkan pengertian awal tersebut, kata desain selalu mengandung penekanan pada dihasilkannya gambar rencana (Sarwono dan Hary Lubis, 2007: 1). Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan desain gedung pusat pemerintahan dalam konsep ini adalah karya desain gedung yang dibangun melalui metode desain yang ilmiah, sehingga berhasil diciptakan wujud
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
47
desain yang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta pengaruh lingkungan dan sosial budaya ke dalam gaya kontemporer, untuk kantor pusat pemerintahan (puspem). Gedung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kantor Puspem Kabupaten Badung. Penekanan aspek fungsi pada desain gedung merupakan pengaruh pemikiran gerakan arsitektur dan desain modern Bauhaus di Jerman.
2.2.4 Kabupaten Badung Kabupaten Badung merupakan salah satu dari kabupaten yang ada di Provinsi Bali, sebagai kelanjutan dari Daerah Pemerintahan Swapraja Badung yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1 Juli 1938 (Agung, 1989: 677). Pemerintahan swapraja kemudian dihapus oleh pemerintah Republik Indonesia pada 1950 menjadi pemerintahan kabupaten. Pemerintahan Swapraja Badung itu sendiri berasal dari pemerintahan Kerajaan Badung, yang telah dikalahkan oleh kolonial Belanda pada 20 September 1906. Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti sejarah Bandung (1992: 27), diungkapkan bahwa Kerajaan Badung berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat sejak tahun 1779, pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan di Puri Denpasar. Kerajaan Badung kemudian berakhir setelah kalah dalam perang puputan melawan Belanda, yang lebih dikenal sebagai peristiwa Puputan Badung (Mirsha dkk., 1992: 42). Bagi rakyat Badung, puputan merupakan peristiwa heroik, yang kemudian menjadi inspirasi bagi lahirnya kidung yang dijadikan buku berjudul Puputan Badung: Bandana Pralaya karya A. A. Alit Konta. Dalam
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
48
karya tersebut, antara lain diungkapkan sikap ksatria raja di Puri Denpasar, yang memegang teguh semu (watak) Badung (Konta, 1977: 66). Terjadinya peristiwa Puputan Badung kemudian memicu perdebatan, dari sudut pandang budaya Bali dan Belanda (Creese dkk., (Ed.), 2006: xi). Dalam perkembangan pembangunan pada era kemerdekaan, Denpasar kemudian ditetapkan sebagai Pemerintahan Kota, yang sebelumnya menjadi ibu kota Kabupaten Badung. Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung yang berlokasi di sudut Jln. Udayana dan Jln. Gajah Mada Denpasar, kemudian digunakan sebagai Kantor Wali Kota Denpasar. Perubahan status Kota Denpasar ini disebabkan oleh perkembangan Kota Denpasar saat menjadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung dan Provinsi Bali. Kota Denpasar mengalami pertumbuhan yang sangat pesat meliputi pertumbuhan fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung kemudian mengusulkan agar Denpasar menjadi Kota Administratif. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20, Tahun 1978, Denpasar kemudian ditetapkan sebagai Kota Administratif. Selanjutnya pada 1980 Pemerintah Kabupaten Badung mengusulkan kembali Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Madya Denpasar sebab perkembangan Kota Administratif Denpasar sudah semakin padat dan multifungsi. Dari hasil evaluasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali, akhirnya pada 27 Februari 1992 ditetapkanlah Denpasar sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar. Istilah Kota Madya kemudian tidak digunakan lagi, setelah diberlakukan UndangUndang Nomor 32, Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
49
Denpasar disebut dengan Pemerintahan Kota Denpasar (Wawancara dengan Agus, Kasubag Peraturan Perundang-undangan Bagian Hukum Setda Kota Denpasar, 13 Februari 2012). Setelah Kota Denpasar menjadi pemerintahan tersendiri, Pemda Badung membangun Kantor Puspem Dharma Praja di Lumintang, Denpasar. Gedung Puspem Badung Dharma Praja di Lumintang kemudian terbakar saat terjadi amuk massa karena masalah politik, pada 21--22 Oktober 1999. Selanjutnya, Puspem Badung dipindahkan sementara ke Kampus Universitas Hindu (Unhi) di Tembau pada awal 2000. Tahun berikutnya dipindahkan lagi ke gedung Diklat Badung di Sempidi, sebagai kantor Puspem Badung sementara. Gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung yang baru, kemudian dibangun di sebelah utara gedung Diklat Kabupaten Badung. Dengan berpisahnya Pemerintahan Kota Denpasar dengan Kabupaten Badung, luas wilayah Kabupaten Badung adalah 420,09 km2. Dalam buku Badung Selayang Pandang yang diterbitkan oleh Humas Badung (2011: 4), diuraikan bahwa sampai akhir April 2011, penduduk Kabupaten Badung berjumlah 487.613 jiwa, dengan kepadatan 1: 165, 50 jiwa/ km². Penduduknya mayoritas beragama Hindu. Secara administratif, Kabupaten Badung terdiri atas enam kecamatan, yaitu Abiansemal, Kuta, Kuta Utara, Kuta Selatan, Petang dan Mengwi, serta 63 kelurahan (http://www.badungkab.go.id). Setelah berpisah dengan Kota Denpasar, ibu kota Kabupaten Badung kemudian diganti. Nama ibu kota Kabupaten Badung yang baru adalah Mangupura. Nama Mangupura terbentuk dari dua suku kata, yaitu mangu dari
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
50
bahasa Jawa Kuno dan pura dari bahasa Sanskerta. Kata mangu padanannya dalam bahasa Jawa Kuno adalah kata mango, lango, langu, langen, berarti perasaan rindu menjadi terpesona oleh keindahan. Segala sesuatu yang indah menimbulkan rasa cinta, keindahan, menawan hati, dan memikat. Kata pura berasal dari akar kata pur dalam bahasa Sanskerta yang berarti kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa arti Mangupura adalah ibu kota yang menawan hati, tempat untuk mencari keindahan, kedamaian, dan kebahagiaan; ibu kota yang mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya; dan ibu kota yang menumbuhkan rasa aman bagi masyarakatnya. Nama ibu kota Kabupaten Badung ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2009, 16 November 2009 (http://id.wikipedia.org). Dalam konsep desain Puspem Badung, Mangupura tidak dirancang sebagai sebuah pusat kota, tetapi hanya dirancang sebagai kawasan pusat pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Kabupaten Badung dalam konsep penelitian ini adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali, sebagai kelanjutan dari Daerah Pemerintahan Swapraja Badung yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1 Juli 1938. Pemerintahan Swapraja Badung, pada awalnya merupakan pemerintahan Kerajaan Badung, kemudian dikalahkan oleh kolonial Belanda pada 20 September 1906. Setelah pemerintahan Kabupaten Badung dipisah dengan pemerintahan Kota Denpasar, Kabupaten Badung kemudian membangun gedung pusat pemerintahan yang baru dan nama ibu kota baru, yang disebut Kota Mangupura. Nama Mangupura berarti ibu kota yang menawan hati, tempat untuk mencari keindahan,
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
51
kedamaian, dan kebahagiaan, mendatangkan kesejahteraan dan menumbuhkan rasa aman bagi masyarakatnya. Nama Mangupura berhubungan dengan nama Mangopuri, nama pusat Kerajaan Mengwi pada masa lalu. Sesuai dengan penjelasan istilah-istilah yang telah dikonsepsikan di atas, maka definisi operasional konsep dalam penelitian ini adalah Aktivitas untuk menampilkan visualisasi rencana model Gedung Puspem Kabupaten Badung dalam bentuk citra simulasi hiperrealitas, yang menyiratkan makna dalam beragam konteks. Melalui simulasi desain yang telah dibuat berupa model-model yang sebelumnya tidak ada diharapkan setiap orang yang melihat desain tersebut memperoleh pengalaman, persepsi, perasaan, serta emosi yang berbeda dengan dunia nyata. Hasil simulasi desain yang secara visual bisa bergerak mengelilingi rancang
bangun gedung dan juga bisa bergerak memasuki desain interiornya dapat menimbulkan rasa ruang dan waktu bagi setiap orang yang melihat simulasi desain gedung Puspem Badung tersebut. Simulasi desain inilah yang dapat merepresentasikan posrealitas dan dapat mempercepat pemahaman terhadap desain Gedung Puspem Kabupaten Badung sebelum diwujudkan sebagai realitas.
2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori diaplikasikan secara eklektis dalam penelitian dengan judul “Representasi Posrealitas Desain Gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung”. Secara garis besar, teori yang diaplikasikan adalah teori desain ruang virtual (William Gibson), teori simulasi (Jean Baudrillard), dan teori dekonstruksi (Jaques Derrida).
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
52
2.3.1 Teori Desain Ruang Virtual Teori desain ruang virtual yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari teori William Gibson tentang cyberspace untuk menjelaskan ruang halusinasi yang tercipta oleh jaringan data di dalam komputer. Jean Baudrillard menilai bahwa dunia virtual tersebut menjadi penting ketika aktualitas diabaikan atas nama virtual atau ketika dunia virtual menjadi lebih nyata dari kenyataan (Robshields, 2011: 4). Teori ini digunakan untuk membahas permasalahan bentuk representasi posrealitas, proses dekonstruksi representasi posrealitas, dan makna representasi posrealitas desain gedung Puspem Kabupaten Badung. Dunia virtual merupakan dunia maya, sebuah halusinasi konsepsual. William Gibson menciptakan dan memopulerkan istilah ini dalam fiksi ilmiah yang berjudul Neuromancer (Robshields, 2011: 58). Dunia maya merupakan lingkungan global yang tersimulasi dan dapat diakses. Istilah dunia maya yang digunakan oleh William Gibson, kemudian dikenal dengan istilah cyberspace. Kata Cyber berasal kata kuberman dalam bahasa Yunani, yang berarti memandu, mengarahkan, menguasai, dan mengontrol (Buick dan Zoran Jevtic, 1997: 3). Menurut Levy (dalam Piliang, 2009: 158), istilah cyberspace digunakan untuk menjelaskan ruang halusinasi yang tercipta oleh jaringan data komputer. Levy kemudian mengartikan istilah virtual sebagai keadaan yang tidak aktual dalam hakikat dan efek, tetapi aktual di dalam fakta. Realitas berarti keadaan nyata, ada, atau terjadi. Menurut Levy, istilah realitas virtual berarti sebuah dunia yang diciptakan tidak aktual, tetapi mendekati dunia nyata. Menurut Aukstakalnis
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
53
(dalam Piliang, 2009: 158), realitas virtual adalah cara manusia memvisualkan, memanipulasi, dan berinteraksi dengan komputer dan data yang sangat kompleks. Mengacu pada kedua pendapat tersebut, maka istilah cyberspace lebih mengacu pada ruang, sedangkan realitas virtual mengacu pada realitas yang tercipta di dalam ruang tersebut. Dunia realitas virtual adalah dunia yang terbentuk oleh data dan bersifat tidak aktual dalam hakikat dan efeknya. Saat ini kata virtual sering digunakan untuk menjelaskan sebuah tempat, sebuah ruang, dunia yang tercipta dari objek grafis digital, yang menawarkan pesona hidup fiksional, sebagai perwakilan seseorang dan benda secara aktual. Robshields (2011: 2) menyebut virtual sebagai sesuatu yang nyata, tetapi tidak konkret. Istilah virtual berasal dari bahasa Latin virtus, yang berarti kekuatan atau ketabahan. Pada abad pertengahan, virtus berubah menjadi virtualis dan dipahami sebagai kata kebaikan. Kebaikan merupakan sebuah kualitas pribadi, kekuatan yang melekat pada sosok mistis atau ketuhanan. Istilah virtual sempat menjadi kontroversi pada abad ke-16, terkait dengan doktrin tentang Keberadaan Nyata Kristus dalam upacara Ekaristi. Doktrin virtualisme mempertanyakan cara memahami kehadiran Yesus Kristus, apakah harus mewujud atau nyata? Apa yang akan terjadi jika ternyata hanya virtual? Kehadiran Nyata Kristus dalam wujud roti dan anggur merupakan simbolisme akan kehadiran virtual Kristus dalam Ekaristi. Para penganut doktrin Virtualisme kemudian menciptakan desain ruang virtual berupa desain interior Gereja Barok, dengan hiasan di langit-langit yang melampaui ruang dunia nyata (Robshield, 2011: 6--8).
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
54
Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komputer pada akhir abad ke-20, para arsitek atau desainer interior dapat memvisualkan desain arsitektural atau desain interior menggunakan program komputer dengan realitas virtual. Munculnya teknologi komputer 3D dengan realitas virtual menyebabkan pembuatan desain bangunan atau ruangan dengan perspektif dan maket dapat digantikan oleh teknologi mutakhir untuk membuat desain ruang virtual (imajiner) yang dapat melampaui realitas. Menurut Robshiels (2011: 45--47), teknik perspektif sebenarnya merupakan teknik konkret dari virtual dan merupakan konvensi yang mendukung virtual untuk memberikan keberadaan nyata. Perspektif yang telah digunakan sejak zaman Renaisans merupakan salah satu contoh teknologi berdasarkan konvensi untuk mewakili adegan. Representasinya ditampilkan dalam bentuk yang hampir nyata untuk menciptakan ilusi ruang dari permukaan dua dimensi untuk fantasi dan kontemplasi. Dengan lahirnya teknologi komputer untuk menampilkan objek 3D dalam bentuk digital pada akhir abad ke-20, muncullah desain ruang dalam bentuk digital. Lingkungan yang dibentuk secara digital ini merupakan hal yang bersifat virtual (kenyataan imajiner). Teknologi desain dengan bantuan komputer atau Computer Aided Design (CAD) lahir pada 1982. Lahirnya CAD memicu temuan berikutnya, yaitu teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual (Virtual Reality) pada 1990. Teknologi ini berupa program atau perangkat lunak grafik vektor 3D dan animasi komputer. Penemuan teknologi ini kemudian diikuti dengan pemanfaatan teknologi internet untuk membuat desain 3D menggunakan perangkat lunak Virtual Reality Modeling Language (VRML) pada 1994. Dalam
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
55
perkembangannya pada 1996, VRML dapat digunakan untuk menggambarkan scene 3D dalam ruangan imajiner dari sudut pandang yang diinginkan oleh seorang desainer (http://webcache.googleusercontent.com). Desain dengan realitas virtual, tidak lagi memperlihatkan data di layar komputer, tetapi sebuah desain ruang artifisial. Bahkan, bisa berupa sebuah ruang yang secara fisik mustahil ada di dalam dunia realitas. Ruang virtual menurut Ettlinger, memiliki pengertian sistematik dengan fakta yang berkenaan dengan penggunaan dan kejadian di dalam media visual, seni, dan arsitektur (http://virtualspacetheory.com). Dalam kaitannya dengan pembuatan desain ruang virtual, Thomas A. Furness III menguraikan bahwa desain adalah penggambaran dari proses berpikir visual yang tidak memanfaatkan interface modem desain berbantuan komputer. Idealnya interface (antarmuka) desain mendahului konsep tentang ruang virtual dengan menggunakan medium desain. Dengan demikian, istilah virtual dimaksudkan sebagai konsep terminal virtual yang dipresentasikan menggunakan berbagai kemungkinan aplikasi ke dalam desain (http://www.hitl.washington.edu). Furnes kemudian menyimpulkan bahwa pembuatan desain ruang virtual sebagai tipuan mengenai keadaan yang dapat dilihat dan disentuh. Furnes menyadari bahwa ruang virtual dapat memberikan realitas ruang, tetapi ruang dalam pikiran yang dimanipulasi memanfaatkan interface berupa pengamatan di layar komputer dan sentuhan pada mouse. Manusia dapat saling berhubungan menggunakan komputer di dalam ruang 3D, yang terbuka luas dan dapat memberikan kemungkinan baru bagi kemajuan teknisi desain berbantuan komputer dan sistem instruksional. Menurut
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
56
Furnes, tantangan ke depan adalah dapat diciptakannya perangkat lunak, yang dapat menggambarkan media virtual antarmuka, seperti pada kertas. Teknologi desain ruang virtual tersebut menghendaki suatu respons manusia tentang pemahaman terhadap ruang virtual, yang dapat memvisualkan desain ruang yang tak terbayangkan sebelumnya (http://www.hitl.washington.edu). Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa desain ruang virtual adalah rancangan ruang yang dibuat dengan cara memasukkan data ke dalam komputer sehingga menghasilkan visualisai desain ruang yang bersifat imajiner, tetapi mendekati kenyataan di layar komputer. Dalam hal ini, layar elektronik komputer memiliki peranan penting sebagai media dalam memvisualkan citra atau representasi realitas virtual. Kemajuan teknologi untuk membuat desain ruang virtual ini telah dapat membantu para arsitek atau desainer interior untuk merepresentasikan sebuah desain arsitektural atau desain interior yang mendekati kenyataan tanpa gambar perspektif atau maket. Desain dalam ruang virtual ini menghendaki suatu respons manusia terhadap pemahaman ruang virtual, yang dapat memvisualkan ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya, bahkan ruang yang melampaui realitas (posrealitas).
2.3.2 Teori Simulasi Teori simulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori simulasi yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard dalam buku Simulations (1983). Baudrillard mengemukakan bahwa jika era pramodern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange) dan pada era modern ditandai dengan
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
57
logika produksi, maka kini tengah dalam sebuah era baru, yakni era posmodern, yang ditandai dengan logika simulasi. Menurut Baudrillard, pada era posmodern prinsip simulasi menjadi panglima. Reproduksi (teknologi informasi, komunikasi, dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Teori simulasi dari Baudrillard ini digunakan untuk membahas permasalahan bentuk representasi posrealitas desain gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung. Menurut Baudrillard, simulasi adalah menciptakan realitas lain di luar realitas yang sesuai dengan kenyataan dan ini disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas. Berdasarkan pendapat Baudrillard, Piliang (2003: 19) juga mengemukakan pendapat bahwa simulasi adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asalusul atau referensi realitasnya sehingga menyebabkan manusia mampu membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. Menurut Sutinah (dalam Suyanto dan Khusna Amal, 2010: 392), simulasi yang dimaksudkan Baudrillard adalah menciptakan realitas baru atau realitas imajiner yang dianggap real (nyata). Faktor yang paling berperanan dalam penciptaan realitas baru (hiperrealitas) ini adalah media massa dan teknologi informasi, seperti internet, video kamera, hand phone, dan sebagainya. Dunia realitas tidak dapat dilepaskan dari berbagai konsep dan terminologi yang membangunnya. Simulasi dan simulakra merupakan konsep kunci dalam hiperrealitas. Apabila simulasi merupakan penciptaan realitas baru atau realitas imajiner yang dianggap nyata menggunakan komputer desain, maka simulakra adalah ruang tempat mekanisme
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
58
simulasi berlangsung. Hiperrealitas adalah dunia realitas yang bersifat artifisial atau superfisial, yang tercipta lewat bantuan teknologi simulasi dan pencitraan, yang mengambil-alih dunia realitas yang alamiah. Kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Baudrillard. Menurut Sutinah [dalam Suyanto dan Khuna Amal (Ed.), 2010: 389], Baudrillard mengintrodusi karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Kebudayaan Barat dewasa ini merupakan sebuah representasi dari dunia simulasi. Dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak tanpa referensi rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Gagasan simulasi Baudrillard tidak terlepas dari terminologi simulakrum yang berarti tanda, citra, dan model. Menurut Baudrillard, simulasi merupakan tahap terakhir dari perkembangan simulakrum (tanda). Dalam wacana simulasi, realitas yang sesungguhnya (fakta), tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), tetapi telah dikalahkan oleh citra. Citra malahan lebih dipercaya daripada fakta. Inilah era hiperrealitas, realitas asli dikalahkan oleh realitas buatan. Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling terkait membentuk satu kesatuan. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulakra atau simulakrum, yaitu sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra, dan kode. Masyarakat yang hidup dengan silangsengkarut kode, tanda, dan model, diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulakra. Simulakra adalah ruang di mana mekanisme simulasi
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
59
berlangsung. Simulakrum merupakan bentuk jamak dari simulakra adalah duplikasi dari yang aslinya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur [Suyanto dan Khusna Amal (Ed.), 2010:391]. Dalam menjelaskan simulakrum, Baudrillard
menggunakan beberapa sinonim kata
salinan dalam berbagai tulisannya, seperti kata counterfeit, duplicate, facsimile, model, reproduction, dan Xerox. Akan tetapi, Baudrillard mengemukakan simulakrum bukan kata lain dari simulasi. Meskipun simulasi adalah simulakrum, tetapi tidak semua simulakrum adalah simulasi. Simulasi merupakan simulakrum dalam bentuknya yang sangat khusus. Baudrillard menjelaskan ada tiga order penampakan (appearance), yaitu counterfeit, production, dan simulation. Dua order pertama, yaitu counterfeit dan production dimaknai secara eksplisit sebagai simulakrum, yaitu ketika sesuatu meniru, mengkopi, menduplikasi, atau mereproduksi sesuatu yang lain sebagai modelnya. Simulasi adalah simulakrum sejati (pure simulacrum) dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, tetapi menduplikasi dirinya sendiri [Suyanto dan Khusna Amal (Ed.), 2010: 402]. Dalam masyarakat simulasi, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra, dan kode. Berkaitan dengan hal inilah simulasi berhubungan dengan masalah semiotik. Semiotik berasal dari kata sema dalam bahasa Yunani, yang berarti tanda. Kemudian dalam aplikasinya, menjadi ilmu tentang tanda atau science of signs (Adams, 1996: 133). Istilah semiologi digunakan oleh para pengikut teori Ferdinan de Sausure, sedangkan istilah semiotika digunakan oleh pengikut teori Charles Sanders Peirce. Menurut Widagdo (1993: 9), penggunaan
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
60
semiotika dalam desain dimulai dari wacana semiotika pada bidang arsitektur oleh Robert Venturi. Menyusul kemudian Charles Jenks dengan wacana yang menganalogikan arsitektur dengan bahasa atau arsitektur sebagai aspek komunikasi. Dalam teorinya, Jenks mengungkapkan bahwa di dalam arsitektur terdapat kata, kalimat, dan semantik. Tanda dalam masyarakat simulasi adalah segala sesuatu yang mengandung makna, mengikuti teori semiologi Sausuren yang memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Menurut Sutinah (2010: 390), citra adalah segala sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Menurut Charles Sanders Pierce, manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda menurut Pierce adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Dalam teori semiotika Pierce, objek tanda terdiri atas ikon, indeks, dan simbol (Sobur, 2003: 41). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan kesamaan antara penanda dan petanda. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang memiliki hubungan sebab akibat. Sebaiknya, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya sesuai dengan konvensi atau kesepakatan masyarakat. Yang menjadi dasar (ground) dari tanda adalah qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Selanjutnya, berkaitan dengan kode, Baudrillard menjelaskannya sebagai seperangkat tanda yang memaksakan kontrol atas masyarakat (Ritzer, 2004: 191).
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
61
Menurut Piliang (2003: 16), kode merupakan cara mengombinasikan konvensi atau tradisi yang disepakati secara sosial sehingga memungkinkan suatu pesan disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Umberto Eco mengembangkan konsep kode dalam semiotika berdasarkan pemikiran Charles Sanders Peirce, yang antara lain menjelaskan bahwa arti tanda selalu mengacu pada suatu acuan dan terlaksana berkat bantuan suatu kode. Menurut Eco (1979: 43--44), tanda bisa dikirim dan diterima atau dimengerti melalui kode. Kode yang dimaksud Eco, bisa berkaitan dengan kode bahasa, kode simbolik dan kode kebudayaan. Berkat Eco, semiotika bisa digunakan untuk mengkaji desain, arsitektur, iklan, teater, musik, komik, dan kebudayaan. Dari uraian teori di atas dapat disarikan bahwa simulasi adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang sebelumnya tidak ada di alam nyata. Model-model ini diciptakan menggunakan teknologi simulasi mutakhir budaya posmodern. Dalam budaya simulasi, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra, dan kode. Model-model yang diciptakan menggunakan teknologi simulasi mutakhir tersebut, dapat diciptakan dunia realitas virtual, artifisial, yang mengambilalih dunia realitas yang alamiah. Hal inilah yang disebut sebagai era hiperrealitas, di mana realitas asli dikalahkan oleh realitas buatan.
2.3.3
Teori Dekonstruksi Teori dekonstruksi digunakan untuk membahas permasalahan proses
dekonstruksi representasi posrealitas dan makna representasi posrealitas desain gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung. Teori dekonstruksi yang
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
62
digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jaques Derrida. Teori dekonstruksi Derrida, menurut Beilharz (2003: 74), dimaksudkan untuk membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Akan tetapi, Grenz dalam Sobur (2003: 97) mengungkapkan bahwa dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Dekonstruksi justru menolak definisi karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut. Meskipun sulit didefisikan, bagi Grenz, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi. Intinya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi menggunakan asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme adalah anggapan adanya sesuatu di luar sistem bahasa, yang dapat dijadikan acuan untuk sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan benar. Menurutnya, prinsip utama filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan segala bahasa. Filasafat harus berupa sistem simbol-simbol yang tidak berdasarkan sesuatu apa pun selain bahasa. Tujuan filsafat tidak mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem ini, tetapi mendekonstruksi atau merobohkannya. Lewat suatu pendekatan yang disebut sebagai pembongkaran atau dekonstruksi, Derrida memulai penelitian mendasar pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas. Menurut Norris (2008: 11--13), pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Pada perjalanan selanjutnya, cara baca dekonstruktif sangat bermuatan filosofis. Unsur-unsur yang dilacaknya kemudian dibongkar. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
63
unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut dan ingin menelanjangi agenda tersebunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Dalam hal ini Piliang (2004b: 21) berpendapat bahwa konsep dekonstruksi Derrida merupakan sebuah konsep tentang “pengingkaran” terhadap “kebenaran akhir” (logos), yaitu makna akhir atau makna “absolut”, yang membentuk berbagai bentuk wacana, khususnya wacana tulisan (teks). Lebih lanjut Norris menjelaskan bahwa pembacaan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Sepintas lalu, memang tidak ada tawaran konkret dari metode dekonstruksi. Yang diinginkan dekonstruksi adalah upaya untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi, yang membangun teks tersebut. Senada dengan hal tersebut, Wirtomartono (1995: 54) melihat tujuan dari dekonstruksi adalah aletheia (Yunani), yaitu kebenaran, keberadaan, dan kondisi yang membuat suatu fenomenon bersinar melalui apa yang dikandungnya. Kebenaran dalam arti aletheia merupakan suatu permainan dari unsur-unsur yang kontradiktif dan oposisional. Demikian pula yang diungkapkan Piliang (2003: 14) bahwa dekonstruksi digunakan sebagai suatu metode analisis oleh Derrida dengan membongkar struktur oposisi pasangan sedemikian rupa sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Setiap proses dekonstruksi, menurut Piliang (2003: 279--280), harus diikuti dengan rekonstruksi sehingga diperlukan semacam durasi atau tenggang waktu bagi hidupnya struktur
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
64
beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang membangunnya. Rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang secara terus-menerus struktur, yang juga didekonstruksi secara terus-menerus. Jadi, dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis (dalam waktu). Sebaliknya, rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi yang tidak teruji oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup. Kajian budaya mengambil dari Derrida sejumlah istilah kunci, yaitu tulisan, intertekstualitas, tak dapat dipegang, dekonstruksi, difference, jejak, dan suplemen, yang semuanya menekankan instabilitas makna. Tidak ada kategori yang memiliki makna universal mendasar, kecuali konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari antiesensialisme yang terdapat dalam kajian budaya (Barker, 2006: 80). Derrida bermaksud mengadakan suatu dekonstruksi sebagai suatu pembongkaran terhadap metafisika, bukan penghancuran terhadap metafisika. Derrida seolah-olah memutarbalikkan pandangan metafisika dengan mengatakan bahwa kehadiran harus dimengerti berdasarkan tanda. Derrida juga berusaha memikirkan tanda sebagai trace (jejak). Kehadiran timbul sebagai efek dari jejak. Seandainya jejak dihapus, maka kehadiran akan dihapus juga. Setiap percobaan untuk menghapus jejak akan menggoreskan jejak lain lagi. Jejak selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut teks atau tenunan (Latin: texere artinya menenun). Menurut Bertens (1996: 331--333), makna selalu tertenun di dalam teks.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
65
Makna yang terdapat dalam rajutan tanda sebagai teks merupakan semiotika. Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika Derrida sebagai semiotik dekonstruksi. Makna yang terkandung di dalam teks disebutkan tidak selalu pasti. Makna di dalam suatu konteks selalu berbeda. Derrida menyebutnya deferred. Menurut Al-Fayyadl (2005: 162), teori dekonstruksi Derrida mengandung unsur penundaan makna. Penundaan makna tersebut terjadi melalui pergerakan bahasa yang mendislokasi pemahaman, menyimpangkan teks dari pengertaian aslinya, dan membuka tafsiran-tafsiran baru yang lebih imajinatif. Oleh karena itu, setiap kehadiran atau makna transendental yang hendak distabilkan dalam teks akan selalu tertunda. Menurut Piliang (2001: 310), bila semiotika konvensional menekankan proses signifikasi, yaitu memfungsikan tanda sebagai refleksi diri dari kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika poststrukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Di dalam positions, Derrida juga menemukan bahwa kita tak bisa lagi terpaku pada makna/ petanda (signified) yang transenden, yang melampaui bentuk ungkapan/ penanda (signifier). Bedanya, bentuk ungkapan dan makna itu kini cenderung mengapung. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna yang pasti (signifier/ signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu. Namun, untuk kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
66
secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida. Ini pula yang disebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika ketidakberaturan. Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa semiotika yang dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir poststrukturalisme lebih mampu mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak, dan kegelisahan-kegelisahan yang mencirikan budaya chaos. Dengan munculnya teori ruang virtual dalam desain pada akhir abad ke20, menurut Piliang (2004: 19--21), tampak jelas pengaruh kuat filsafat dekonstruksi Derrida. Pada zaman klasik, teori ruang merupakan hasil interpretasi para filsuf berdasarkan filosofi mengenai alam semesta, yang memiliki filosofi tentang kebijaksanaan. Pada era global, munculnya cyberspace menyebabkan filosofi ruang yang semula berisi ilmu tentang ajaran kebijaksanaan, kemudian digunakan secara ekstrem dan berlebihan sebagai legitimasi berbagai bentuk kebebasan dan pengingkaran yang mendasari pemikiran para penggemar dunia cyber. Teori ruang virtual muncul seiring dengan lahirnya teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual dan perkembangan teknologi informasi-digital. Menurut Piliang (2008: 291), teknologi simulasi mutakhir, seperti komputer desain 3D dengan realitas virtual, telah membentangkan kemungkinan baru wacana desain dan menimbulkan implikasi sangat serius terhadap wacana tentang
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
67
desain, yaitu transformasi dan ruang ekstensif (di dalam dunia fisik nyata) ke arah waktu intensif (di dalam layar). Virilio (dalam Piliang, 2008: 393) mengungkapkan bahwa dominasi ruang-ruang elektronik dengan citra gerak atau kronoskopi atas dunia kehidupan harian manusia kontemporer ini mendorong Virilio untuk menjelaskan sebuah situasi yang disebut “ketakmukngkinan arsitektur” karena sebagian besar tugas arsitektur dan arsitektonik diambil alih oleh ruang-ruang artifisial-elektronik. Virilio juga menjelaskan bahwa materialitas desain kini dapat diambil alih oleh imaterialitas desain. Perkembangan realitas kronoskopi, yang dibangun oleh elemen-elemen nonmaterial dan virtual telah mengubah secara mendasar etos (karakter) desain. Desain tidak lagi sepenuhnya dalam pengetiannya yang konvensional, bersumber dari elemen-elemen material, fisikal, dan spasial (ekstensif). Akan tetapi, desain juga bersumber dari elemen-elemen nonmaterial, nonfisikal dan nonspasial, yang disebut Virilio sebagai elemen-elemen intensif. Menurut Ritzer (2004: 231--232), Virilio lebih tertarik dengan waktu dibandingkan dengan ruang. Dalam dunia posmodern menurut Virilio, waktu lebih penting daripada ruang. Saat ini, dengan kemajuan sarana komunikasi dan telekomunikasi, ruang dan waktu makin tidak dapat dibedakan. Virilio kemudian menciptakan prinsip “jarak kecepatan”, dan menjelaskan bahwa hal tersebut dapat menghancurkan fisik dan dimensi spasial. Di samping lenyapnya ruang, kecepatan ilmu pengetahuan dan informasi, menurut Virilio dapat menciptakan dunia citraan, yang penampakannya dapat membingungkan.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
68
Apa yang diungkapkan oleh Virilio, dapat dilihat pada teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual yang dapat menciptakan desain ruang posrealitas. Citra simulasi yang tercipta, dapat menyebabkan yang asli dan yang palsu, antara realitas dan fantasi semuanya bercampurbaur dan tumpang-tindih di dalam sebuah dunia ketidakpastian arah dan makna. Hal itu terjadi karena di dalam realitas virtual (kenyataan imajiner), manusia tidak lagi melihat data di layar komputer, tetapi manusia seperti diajak masuk ke sebuah ruang artifisial 3D, yang secara fisik mustahil ada di dalam dunia realitas. Perkembangan cara kerja walk-trough di dalam desain dan arsitektur mampu menghasilkan model virtual, yang memungkinkan seseorang yang melihat desain tersebut mengalami sebuah ruang. Di dalam wacana desain virtual, waktu, durasi, dan temporalitas dunia dapat dimanipulasi. Hal ini menyebabkan seseorang yang melihat desain tersebut mengalami waktu dari sebuah desain secara virtual atau imaterial sebelum desain itu direalisasikan menjadi sebuah produk fisik atau yang bersifat material (Piliang, 2008: 396--397). Perkembangan dunia hiperrealitas dan realitas virtual menurut Piliang (2009: 162), telah menimbulkan pergeseran pemahaman mengenai konsep ruang dan waktu serta praktiknya di dalam dunia kehidupan. Apabila di dalam ruang konkret atau ruang konvensional seni rupa dan desain sangat dibatasi oleh hukumhukum fisika dan geometri, seperti hukum gravitasi Newton, geometri Euclides, perspektif linier, yang membentuk apa yang disebut sebagai realitas, maka di dalam dunia realitas virtual, berbagai keterbatasan tersebut dapat diatasi oleh teknologi virtual. Di dalam dunia realitas virtual, hukum gravitasi dan geometri
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
69
menemukan bentuknya yang baru. Seperti gravitasi relatif, multiperspektif, multidimensi, yang di dalamnya orang, secara virtual dapat terbang, hidup di dalam air atau berada di dua tempat dalam waktu bersamaan. Di dalam dunia hiperealitas, yang asli dan yang palsu, antara realitas dan fantasi, semuanya bercampurbaur dan tumpang-tindih di dalam sebuah jagat ketidakpastian arah dan kegalauan makna. Wacana tentang dunia hiperrealitas dan realitas virtual menurut Hidayat (2012: 91-97), sebenarnya bermula dari pemikiran Marshall McLuhan. Melalui buku The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), McLuhan meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era mekanik ke teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf. Perkembangan teknologi komunikasi dan media, khususnya televisi, komputer, dan internet, menurut McLuhan, memungkinkan manusia hidup di dalam dunia semacam “kampung global” atau global village. Akan tetapi, McLuhan melupakan dampak dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, sebagai konsekuensi lanjut dari terbangunnya global village. Gagasan inilah yang selanjutnya diambil alih dan dikembangkan oleh Jean Baudrillard ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang telah menjelma menjadi hiperreal village. Dalam dunia hiperrealitas objek-objek asli hasil produksi menjadi satu dengan objekobjek hiperreal hasil reproduksi.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
70
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi Jaques Derrida tidaklah dimaksudkan untuk menghancurkan teori-teori ruang yang telah berkembang sejak masa klasik. Akan tetapi, lahirnya teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual yang dapat menghasilkan dunia hiperrealitas, telah membuktikan kebenaran teori dekonstruksi Derrida. Dalam teori ruang virtual tampak jelas pengaruh filsafat dekonstruksi Derrida, karena ruang yang pada awalnya merupakan hasil interpretasi para filsuf berdasarkan filosofi mengenai alam semesta dan memiliki filosofi tentang kebijaksanaan, kemudian berubah ke bentuk kebebasan pengolahan ruang dan waktu serta pengingkaran kosmologi. Di dalam dunia virtual, waktu, durasi, dan temporalitas dunia dapat dimanipulasi. Hal inilah yang menyebabkan di dalam dunia virtual, tidak ada lagi perbedaan antara ruang sakral dan ruang profan. Dalam teori dekonstruksi Dekonstruksi Derrida, hal ini disebut sebagai pengingkaran terhadap kebenaran akhir, yang mengandung makna absolut.
2.4 Model Penelitian Model penelitian (research model) merupakan alur dan tata hubungan masalah, teori, empiris, metodologi, dan hasil yang menggambarkan keseluruhan entitas esensi penelitian. Pada gambar model penelitian telah digambarkan pokokpokok pikiran secara konseptual dalam penelitian ini. Dengan penggambaran model penelitian diharapkan dapat mempermudah pemahaman terhadap pola pikir penelitian yang dilakukan.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
71
Arsitektur dan Desain Tradisional Bali
Arsitektur dan Desain Posmodern Negara
Budaya tradisi Bali Filosofi dan Konsep Teknologi desain konvensional/ tradisional
Budaya posmodern Logika simulasi Teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Peraturan Daerah Bali Peraturan Daerah Kab. Badung
Gedung Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung
Teknologi Desain Konvensional
Teknologi Komputer Desain
• • • •
• Alat-alat gambar • Media kertas • Perspektif & maket • Sifat: fisik, materi, spasial
Program komputer Media layar elektronik Citra simulasi Sifat: nonfisik, nonmateri, nonspasial
REPRESENTASI POSREALITAS DESAIN GEDUNG PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN BADUNG DALAM RUANG POSREALITAS KOMPUTER
Bentuk representasi posrealitas desain Gedung Puspem Kabupaten Badung
Proses dekonstruksi representasi posrealitas desain gedung Puspem Kabupaten Badung
Makna representasi posrealitas desain gedung Puspem Kabupaten Badung
Gambar 2.3 Model Penelitian
Keterangan : Hubungan langsung (satu arah) : Saling berhubungan
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
72
Penjelasan Model Penelitian Dalam gambar model penelitian telah digambarkan pokok-pokok pikiran secara konseptual dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji masalah “Representasi Posrealitas Desain Gedung Pusat Pemerintahan (Puspem) Kabupaten Badung”. Aspek-aspek yang diteliti berkaitan dengan bentuk representasi posrealitas, proses dekonstruksi representasi posrealitas, dan makna representasi posrealitas desain Gedung Puspem Kabupaten Badung. Desain gedung Puspem Kabupaten Badung yang didesain menggunakan komputer desain 3D dengan realitas virtual berkaitan dengan aspek-aspek teori desain ruang virtual, teori simulasi, dan teori dekonstruksi. Kondisi sosial budaya dan perkembangan budaya posmodern, yang telah melahirkan teknologi komputer virtual 3D dengan realitas virtual adalah faktorfaktor yang sangat memengaruhi proses pembuatan desain, yang pada dasarnya terdiri atas beberapa aspek. Pertama, aspek lokalitas kebudayaan Bali berkaitan dengan arsitektur dan desain tradisional. Arsitektur dan desain tradisional Bali berlandaskan filosofi dan konsep yang mengandung ajaran kebijaksanaan serta teknologi desainnya masih bersifat manual. Kedua, intervensi negara, dalam hal ini adalah pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Provinsi Bali, dan Pemerindah Daerah Kabupaten Badung, dalam bentuk praktik kekuasaan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan operasional dan aturan-aturan. Ketiga, budaya posmodern (globalisasi) yang berintikan ideologi pasar dan bersifat kapitalistik, masyarakatnya lebih memercayai tanda, citra, dan kode, yang merupakan bagian
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)
73
dari logika simulasi. Logika simulasi ini, antara lain dapat diciptakan oleh teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual. Teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual dapat membantu arsitek dan desainer interior menciptakan simulasi desain 3D, seperti realitas, bahkan posrealitas. Penggunaan teknologi ini telah mengubah cara membuat desain dan medianya. Desain ruang dibuat pada media layar elektronik dengan cara memasukkan data ke program komputer, kemudian diolah secara digital sehingga menghasilkan citra simulasi ruang dan citra kronoskofis yang bersifat virtual, nonfisik, nonmateri dan nonspasial. Sebaliknya teknologi desain konvensional menggunakan alat-alat gambar berupa pensil, penggaris, mesin gambar, dan penghapus. Desain bangun ruang dibuat pada media kertas. Ruang yang diciptakan adalah ruang arsitektonik, dibuat dengan bantuan gambar perspektif dan maket untuk menghasilkan desain yang bersifat fisik, materi, dan spasial. Berdasarkan penjelasan tersebut, penggunaan teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual untuk membuat desain gedung Puspem Badung telah mewarnai kehidupan budaya manusia Bali kontemporer. Penelitian terhadap representasi posrealitas desain Gedung Puspem Badung adalah untuk mengkaji bentuk representasi posrealitas, proses dekonstruksi representasi posrealitas, dan makna representasi posrealitas desain gedung Puspem Kabupaten Badung. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kalangan profesional. Selain itu, juga dapat memberikan manfaat praktis bagi pengembangan budaya lokal, khususnya budaya tradisional Bali.
Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)