BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Studi tentang perkawinan di Desa Lokapaksa sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun studi-studi yang telah dilakukan tersebut hanya merupakan kajian tentang perkawinan berdasarkan prinsip monogami, yakni perkawinan satu laki-laki dengan satu perempuan. Padahal menurut Sanderson (1993:441), ada tiga bentuk perkawinan mendasar yang dijumpai dalam masyarakat di dunia, yaitu monogami, poligini/poligami, dan poliandri. Kajian tentang perkawinan dalam bentuk poligami merupakan kajian yang menarik untuk dipahami lebih jauh karena, di samping kajian tersebut belum dilakukan secara mendalam pada berbagai lingkup etnis dan agama, juga untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang relasi gender yang muncul sebagai akibat perkawinan tersebut. Dinamika poligami dari waktu ke waktu senantiasa mengundang kajian yang tiada henti-hentinya, baik dari berbagai disiplin maupun para pakar. Perhatian yang tidak ada putusnya tentang poligami tampak dari munculnya berbagai tulisan lepas, baik yang dipublikasikan di media massa maupun yang hanya disajikan dalam forum terbatas, seperti diskusi dan seminar. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan ini senantiasa menarik untuk dikaji. Meskipun perhatian para pakar cukup besar, tetapi bukan berarti kajian tentang hal itu tidak diperlukan lagi. Studi akademik yang mendalam dengan pendekatan-pendekatan serta metodologi tertentu sampai saat ini
17
18
relatif masih kurang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kajian tentang poligami perlu dilakukan secara berkelanjutan. Fenomena poligami yang secara teoretik dilakukan oleh mereka yang memiliki status ekonomi yang relatif tinggi, ternyata dalam realitasnya ditemukan pula pada kalangan masyarakat bawah. Kajian terhadap fenomena semacam ini patut dilakukan secara mendalam agar dapat digali ideologi yang tersembunyi di balik suatu fenomena, terutama pula yang ditemukan di Desa Lokapaksa, Buleleng, Bali. Berdasarkan penelusuran pustaka, di sini dipaparkan buku teks yang mengkaji poligami ataupun laporan penelitian yang dapat dijadikan pijakan dalam melihat persoalan poligami yang sedang dikaji. Untuk lebih jelasnya, kajian – kajian yang dimaksud dirinci sebagai berikut. Penelitian yang bertema poligami pernah dilakukan oleh Margi (2005) dengan judul “Praktik Poligami di Desa Lokapaksa, Buleleng Bali”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah daerah penelitiannya sama, yaitu di Desa Lokapaksa. Perbedaannya adalah fokus kajian Margi hanya pada pemetaan profil keluarga yang melakukan poligami, sedangkan fokus kajian penelitian ini adalah praktik kuasa dan kekerasan pada perkawinan poligami. Di samping itu, pandangan laki – laki pelaku poligami lebih dominan digali sehingga kajian Margi belum menyentuh upaya menggali perspektif perempuan, maka kompleksitas persoalan poligami tidak terangkat ke permukaan. Selain itu, kajian tentang poligami yang dilakukan dalam penelitian ini memakai teori Kritis sehingga dapat digali ideologi yang ada di balik praktik poligami serta dampak yang ditimbulkan. Dalam
19
kaitan penelitian yang telah dilakukan Margi (2005) setidaknya akan menambah wawasan peneliti tentang sebaran pelaku poligami berdasarkan status sosial, ekonomi, dan budaya. Selanjutnya, kajian tentang poligami dilakukan oleh Sujaya (2007) dengan judul “Perkawinan Terlarang: Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno.” Kajian ini dilanjutkan oleh Atmaja (2008) dalam buku teks yang berjudul “Bias Gender Perkawinan Terlarang pada Masyarakat Bali.” Persamaan kedua kajian ini dengan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sama-sama menaruh perhatian pada isu poligami. Di samping itu, kajian ini juga sama-sama melihat poligami dari sisi ideologi seksualitas biologis yang melatarbelakangi beberapa desa kuno di Bali yang melarang adanya poligami. Namun, walaupun memiliki persamaan, kedua kajian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian ini, yaitu dari segi pendekatan yang digunakan. Kajian yang dilakukan oleh Sujaya (2007) dan Atmaja (2008) memakai pendekatan antropologi dalam mengkaji kasus poligami di desa-desa Bali Kuno, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kajian budaya dengan memakai teori Kritis. Selain itu, melalui pendalaman terhadap kedua kajian yang telah dilakukan oleh kedua penulis ini, setidaknya diperoleh konsep keluarga menurut desa-desa kuno dan diperoleh pemahaman tentang mekanisme kerja ideologi dalam masyarakat desa sehingga mampu mengerem poligami. Di samping itu, kedua karya ini setidaknya akan dapat membantu pemahaman peneliti terhadap hal-hal yang mendasari
adanya masyarakat yang mendukung praktik poligami,
sementara ada yang melarangnya. Pemahaman ini penting karena suatu tindakan
20
sosial akan dipengaruhi oleh sistem sosial budaya yang mengendap dalam kognisi masyarakat pendukungnya. Buku teks lain yang tidak kalah menariknya adalah Wacana Poligami di Indonesia yang merupakan kumpulan tulisan yang diedit oleh Machali (2005). Dalam hal ini antara kajian dalam buku teks ini dengan penelitian yang penulis lakukan memiliki kesamaan yaitu melihat isu poligami sebagai politik identitas jender, di samping melihat isu poligami dari perspektif ideologis dan perspektif feminis. Namun, di samping persamaannya, kajian tentang poligami dalam buku teks tersebut dapat pula dilihat perbedaannya dengan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaannya, yaitu fokus kajian buku tersebut melihat isu poligami dalam skala nasional dan diwarnai pula dengan perspektif agama Islam, sedangkan penelitian ini fokusnya berskala lokal (Desa Lokapaksa) dengan subjek pelaku poligami yang beragama Hindu. Perbedaan lainnya adalah kajian dalam buku tersebut lebih merupakan kajian teoretis, yakni poligami dilihat dari konsep-konsep feminis, aspek yuridis normatif, dan teologis. Namun, penelitian ini tidak hanya sebagai kajian teoretis, tetapi juga merupakan kajian empirik. Walaupun memiliki perbedaan, buku teks ini dapat menambah wawasan peneliti tentang cara-cara poligami diwacanakan dengan berbagai mitos yang menyertai serta dampak yang ditimbulkannya. Terbitnya jurnal perempuan yang bertajuk “Menimbang Poligami” (2003) yang oleh Yayasan Jurnal Perempuan dapat dipakai untuk memperdalam wawasan tentang cara-cara memahami poligami dari berbagai perspektif. Tulisan-tulisan yang ada dalam jurnal ini menawarkan berbagai sudut pandang yang mengkritik poligami
21
dengan kekayaan argumen dilihat dari kelemahan hukum negara, poligami sebagai ilusi, perayaan libido, dan realitas yang menunjukkan konflik pada perkawinan poligami. Persamaan antara penelitian ini dengan tema yang ada dalam Jurnal Perempuan (2003) adalah sama-sama melihat poligami sebagai isu strategis yang sarat dengan kepentingan dan sangat kontroversial. Namun, perbedaannya adalah pemaparan yang terdapat dalam jurnal tersebut lebih dominan pada pemikiran yang bersumber pada hukum negara, hukum agama dan konsep-konsep psikologis. selanjutnya artike-artikel yang dimuat dalam jurnal tersebut, di samping bisa menambah wawasan, dapat pula dipakai untuk menambah inspirasi tentang cara menemukan ilusi-ilusi yang ada di lapangan. Kajian yang tidak kalah menariknya dilakukan oleh Mariyah dkk. (2005:95108) tentang “Perkawinan Poligini dalam Perspektif Agama dan Gender.” Persamaan yang bisa ditemukan dengan penelitian ini adalah titik tolak dalam melihat isu poligami yang berkaitan dengan proses konstruksi gender. Namun, perbedaan yang bisa ditemukan adalah berkaitan dengan fokus penelitian. Fokus penelitian yang telah dilakukan Mariyah dkk. menemukan adanya pengaruh tekanan ideologi, politik, sosial dan ekonomi terhadap struktur keluarga, sedangkan penelitian ini difokuskan pada praktik kuasa dan kekerasan yang terdapat dalam perkawinan poligami. Di samping itu, teori yang digunakan dalam kajian tersebut adalah teori Antropologi, sedangkan dalam penelitian ini digunakan teori Kritis seperti teori yang dikemukakan oleh Bourdieu, Foucault, dan Lacan. Teori Mann dan Moore (1998:210), yang berupa kajian antropologi digunakan untuk melihat perubahan keluarga di Nigeria (Afrika)
22
dengan kemunculan elite terpelajar yang berpegang pada ideologi ”kekeluargaan” Victoria pada permulaan abad ke-20 sehingga mengubah secara radikal praktik pewarisan Yoruba Tradisional. Perubahan ini sekaligus berarti penolakan terhadap pewarisan untuk anak-anak dari istri menurut adat ataupun selir. Dalam hal ini tekanan teori Moore adalah tarik ulur selama awal abad ke- 20 tentang adanya orangorang yang gigih berpegang pada perkawinan Yoruba (termasuk mengakui poligini) dengan mereka yang tetap berpegang pada nilai Kristiani. Keadaan ini bisa terjadi karena adanya tekanan idelologi, politik, dan ekonomi. Dalam kaitan ini, pemakaian teori Moore hanya efektif untuk memahami latar belakang terjadinya poligami, sedangkan dalam memahami kompleksitas persoalan poligami seperti adanya praktik kuasa dan kekerasan yang saling bersilangan diperlukan teori Kritis. Denhan demikian, penelitian terdahulu memberi inspirasi bahwa diperlukan penelitian lanjutan agar persoalan poligami dapat dipahami secara komprehensif. Kajian berikutnya tentang poligami dilakukan oleh Abdullah (2004:1-113) dengan judul “Poligami dan Eksistensinya.” Persamaan dengan kajian ini adalah sama-sama melihat poligami sebagai isu yang bisa mengundang pandangan pro dan kontra. Namun, perbedaannya adalah kajian tersebut memaparkan ketentuan berpoligami menurut perspektif Islam, bahkan penulisnya secara terangterangan menunjukkan kesetujuannya dengan praktik poligami dengan dalih agama. Salah satu kritik yang patut dikemukakan terhadap kajian ini adalah tertutupnya pemikiran kritis di tengah - tengah bergulirnya kritik terhadap poligami. Dalam konteks penelitian poligami dalam lintas etnis, kajian semacam ini dapat memberikan kontribusi dalam
23
memahami teks agama ataupun sosial yang mempengaruhi keyakinan seseorang tentang poligami. Hal lain yang tidak kalah pentingnya tentang kajian poligami adalah menyoal tentang kuasa dan kekerasan dalam poligami. Kajian tentang poligami dalam perspektif cultural studies dipentingkan karena untuk mengungkap ideologi yang ada di balik praktik poligami sekaligus dapat ditemukan praktik-praktik kekerasan (fisik ataupun simbolik) serta implikasi permainan ideologi dalam perkawinan poligami. Berdasarkan pendekatan atau perspektif cultural studies setidaknya dapat mengisi kekosongan atau kekurangan kajian sebelumnya. Studi tentang kekerasan terhadap perempuan dalam perkawinan telah mulai banyak dilakukan. Beberapa contoh studi tentang kekerasan di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Dewi (1996:1-95). Persamaan kajian ini dengan penelitian sebelumnya adalah melihat praktik kuasa dan kekerasan yang berlangsung pada ranah keluarga. Namun, perbedaannya ada pada bentuk keluarga yang dijadikan fokus penelitian. Dalam hal ini penelitian Dewi terfokus pada bentuk keluarga monogami sehingga lingkaran kekerasan terjadi di seputar suami dan istri. Akan tetapi, penelitian ini terfokus pada kajian keluarga poligami sehingga lingkaran kekerasan yang dicermati bukan hanya antara suami dengan para istri, tetapi kekerasan yang terjadi antaristri ataupun antara istri dan anak-anak mereka, termasuk dampak dan makna kekerasan yang terjadi. Dalam kaitan ini kajian yang dilakukan Dewi (1996) memiliki kontribusi, terutama dalam memahami latar belakang terjadinya kekerasan pada suatu keluarga.
24
Amalia dkk. (2000:1-105) melakukan penelitian kekerasan terhadap istri pada sepuluh keluarga di wilayah Ciputat, Jakarta. Persamaan yang tampak dengan penelitian ini adalah sama-sama melihat pengaruh konstruksi gender terhadap perilaku kekerasan di dalam keluarga. Dalam hal ini perbedaannya terletak pada fokus penelitian terhadap bentuk keluarga poligami, yakni tidak hanya menaruh perhatian terhadap latar belakang dilakukan kekerasan dan bentuk kekerasan, tetapi difokuskan pada dampak yang ditimbulkan, makna serta resistensi praktik kekerasan dalam keluarga poligami. Penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan yang menarik adalah yang dilakukan oleh Saraswati (2006:1-234) tentang perempuan dan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan di Semarang dan Yogyakarta. Persamaannya dengan kajian ini adalah pada kajian tentang kekerasan dalam rumah tangga dan strategi yang dipilih untuk mengatasi perilaku kekerasan yang dialami oleh istri. Namu, perbedaannya adalah bahwa kajian Saraswati tersebut tidak melihat kekerasan yang terjadi dalam keluarga poligami, di samping strategi yang dicermati dalam penyelesaian kekerasan hanyalah strategi melalui jalur hukum sehingga menutup kemungkinan mengungkap strategi lain yang dilakukan oleh perempuan agar bisa ke luar dari lingkaran kekerasan. Di samping itu, kajian tersebut tidak memakai teori kritis sehingga tidak terungkap ideologi yang tersembunyi di balik tindakan yang dilakukan, baik oleh suami maupun istri.
25
2.2 Penjelasan Konsep Dalam hal memahami bangunan teori serta memperkuat pemahaman tentang operasional teori-teori yang digunakan dan untuk menghindari terjadinya perbedaan pandangan, maka perlu dijelaskan beberapa konsep. Dalam hal ini konsep yang dijelaskan adalah membongkar jaring kuasa dan kekerasan, perkawinan ngamaduang (poligami).
2.2.1 Membongkar Jaring Kuasa dan Kekerasan Pengertian
membongkar
mengacu
pada
pemikiran
Derrida
tentang
dekonstruksi yang juga mengandung pengertian pembongkaran. Menurut Sutrisno (2007:259) tujuan dilakukan tindakan membongkar agar dapat mencari dan menunjukkan asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan “titik-titik gelap” dalam teks. Upaya menanggalkan oposisi biner “yang bersifat hirarkis” (artinya yang satu lebih tinggi atau unggul daripada yang lain), seperti realitas/penampakan, alam/budaya, dan akal budi/kegilaan agar dapat menunjukkan: (a) salah satu dari pasangan oposisi biner ini dilihat sebagai lebih rendah; (b) oposisi biner ini dipakai untuk menjamin kebenaran; dan (c) satu bagian dari sepasang oposisi oposisi biner ini tersirat dalam pasangannya. Menurut Barbara Johson (dalam Audifax, 2007:46), dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah ”de-kontruksi” sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata ”analisis” yang berarti „mengurai, melepaskan, membuka‟ (to undo). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi
26
lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi hierarkis yang implisit dalam teks. Oleh karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, maka yang dihancurkan bukanlah makna, tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks “lebih benar” daripada pemaknaan lain yang berbeda. Pada tataran pemaknaan, dekontruksi merelatifkan, bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan dunia, seperti diri (cogito ergo sum), Tuhan, dan berbagai logos lain. Relativitas lebih berarti mencari sudut pandang alternatif yang cenderung disingkirkan oleh pandangan yang dominan sehingga mengakui perbedaan yang tersubordinasi di bawah otoritas (authority) dari author suatu teks. Jadi, dekontruksi pada manusia sebenarnya upaya mengembalikan pada kesadaran akan adanya kemungkinan-kemungkinan. Membongkar jaring kuasa dan kekerasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya mengangkat strategi-strategi ataupun retorika kuasa dan kekerasan yang ada dalam praktik poligami dalam suatu jaringan atau susunan unsur-unsur yang saling berkaitan. Di samping itu, melalui upaya mengangkat retorika kuasa diharapkan akan dapat diketahui penampakan oposisi biner dalam kuasa. Istilah kuasa sebenarnya dijadikan kajian sentral dalam bidang politik. Definisi kekuasaan menurut Plato dikaitkan dengan dua istilah Yunani, yaitu “peithein” yang berarti „persuasi‟ dan “bia” yang berarti „paksaan atau kekerasan.‟ Plato mengartikan kekuasaan dalam istilah yang pertama, yakni persuasi. Plato menunjukkan bahwa kekuasaan haruslah dimaknai sebagai kesanggupan meyakinkan (persuasi) orang lain agar orang yang
27
telah diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya sesuai dengan kehendak orang yang melakukan persuasi itu. Plato menunjukkan kekuasaan berada/ terpusat di tangan negara sebagai institusi sentral karena negara mendasari penguasaannya dengan pengetahuan sehingga mampu menyelenggarakan kekuasaan secara arif dan bijak. Berbeda halnya dengan pandangan Machiavelli tentang kekuasaan yang menekankan kekuasaan tidaklah ditentukan oleh legitimasi moral, tetapi oleh strategi dan taktik untuk mempertahankan dominasi. Teknik tersebut dapat berupa kepurapuraan, kemunafikan, kelicikan, ancaman, teror, kekerasan fisik, penghianatan, dan yang lainnya. Walaupun terdapat berbagai pengertian tentang kekuasaan, dalam penelitian ini konsep kekuasaan merujuk pada pengertian Boudieu yang melihat relasi kekuasaan tidak hanya menyebar pada ruang yang homogen (antara rakyat dan negara), tetapi tersebar dalam berbagai ranah sosial. Salah satunya adalah pada wilayah kultural, dalam hal ini sistem simbolik tidak saja berfungsi sebagai instrumen pengetahuan dan komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen dominasi untuk menyatakan sebuah kekuasaan (Fashri, 2007:27). Selanjutnya, Bourdieu (lihat Harker, 1990:221-222) mengatakan tentang kuasa di balik beroperasinya sebuah bahasa. Artinya, bahasa menempati posisi strategis bagi penyemaian ideologi yang ada di baliknya serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya pengungkapan, pembendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang
diungkapkan atau
disamarkan oleh status bahasa. Oleh karena itu, bahasa menjadi begitu penting, baik
28
bagi individu maupun kelompok tertentu untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan. Menurut Bourdieu bahasa tidak sekadar menjadi alat komunikasi yang mencakup sekumpulan kata-kata bermakna dalam sebuah proses pemahaman, tetapi bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Kekerasan atau violence
adalah gabungan dua kata Latin ”vis” (daya,
kekuatan) dan ”latus” berasal dari kata ferre yang berarti „membawa.‟ Definisi lain tentang kekerasan yang relevan dengan penelitian ini adalah pengertian yang dikemukakan Galtung (dalam Astuti dan Wiryani, 2003:79), yaitu ”any avoidable impedement to self realisation.” Maksudnya, kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Berdasarkan konsep tersebut kekerasan selalu berhubungan dengan tindakan atau perilaku kasar, mencemaskan, menakutkan, di samping selalu menimbulkan dampak (efek) yang tidak menyenangkan bagi korbannya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Kekerasan menurut Bourdieu (1991) dapat dipilah dalam tiga pengertian. Pertama, kekerasan dipandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua, kekerasan diartikan sebagai produk struktur. Ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan struktur. Dalam penelitian ini kekerasan ditekankan pada pengertian ketiga yang berusaha meneropong kekerasan sebagai rangkaian jejaring dialektis antara aktor dan struktur. Pendekatan ini menggambarkan hubungan dialektis antara aktor dan struktur serta hubungan kekerasan dalam membentuk jejaring yang saling bertaut.
29
Parameter yang dipakai untuk membongkar jaring kuasa dan kekerasan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Kemampuan mengurai dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kuasa dan kekerasan di balik perkawinan ngamaduang di Desa Lokapaksa, Buleleng, Bali. Indikator capaian dalam mengurai faktor-faktor yang dimaksud akan tampak pada bentuk deskripsi pengalaman informan dalam melakukan dan merasakan praktik kuasa dan kekerasan. 2) Kemampuan mengurai dan menganalisis bentuk-bentuk kuasa dan kekerasan di balik perkawinan ngamaduang. Indikator capaiannya adalah deskripsi tentang subjek, objek kuasa, dan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan ngamaduang serta strategi-strategi yang dilakukan dalam penerapan kuasa dan kekerasan. 3) Kemampuan mengurai dan menganalisis implikasi, resistensi, dan makna adanya permainan kuasa dan kekerasan yang ditimbulkan dalam perkawinan poligami. Indikator capaiannya berupa deskripsi tentang implikasi dan resistensi permainan kuasa dan kekerasan, cara-cara subjek memaknai permainan kuasa, dan kekerasan akibat adanya praktik kuasa dan kekerasan.
2.2.2 Perkawinan Ngamaduang (Poligami) Perkawinan secara normatif dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
30
Yang Maha Esa (Undang-Undang No. 1/Th.1974; Badri,1985:54). Sementara itu, secara sosial perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara satu orang laki-laki atau lebih yang diberikan kekuatan sanksi secara sosial, dalam hubungan suami-istri (Lawang, 1985:88; Saragih, 1980:134). Dalam kajian sosial dan budaya, perkawinan menurut Koentjaraningrat (1981:90) adalah sebagai berikut. Suatu peralihan yang terpenting pada “life cycle” dari semua manusia di seluruh dunia, saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kelakuan-kelakuan seksual, terutama persetubuhan. Dengan perkawinan, mempelai tidak dapat bersetubuh dengan sembarang orang. Di samping itu, perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan (anak-anak). Perkawinan juga merupakan kebutuhan untuk mendapatkan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi, naik kelas atau status dalam masyarakat, demikian juga karena alasan memenuhi tuntutan untuk menciptakan hubungan baik dengan kerabat. Dalam kaitan ini, apabila mengacu pada beberapa pengertian perkawinan tersebut di atas, maka konsep perkawinan dalam penelitian ini adalah ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki dalam ikatan legalitas formal (hukum negara) ataupun dilandasi ikatan sistem nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Ngamaduang merupakan istilah berasal dari bahasa Bali yang berarti „seorang laki – laki yang mengawini perempuan lebih dari satu.‟ Dalam Kamus Bahasa Bali ada disebutkan istilah memadu, artinya seorang perempuan yang dikawini oleh laki-laki yang beristri lebih dari satu (Anandakusuma, 1986:114). Istilah memadu ditujukan kepada perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki yang telah beristri, sedangkan istilah ngamaduang ditujukan untuk laki-laki yang
31
memperistri lebih dari satu orang perempuan. Dalam bahasa Indonesia istilah ngamaduang disebut poligami. Secara etimologi kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu apolus yang artinya „banyak‟ dan gamos yang berarti „perkawinan.‟ Kata lain yang mirip dengan hal itu adalah poligini yang juga berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang berarti „banyak‟ dan gene yang artinya „perempuan.‟ Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini adalah suatu sistem perkawinan, dalam hal ini seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang perempuan (Nurohmah, 2003:33). Selain itu, ada pula penjelasan bahwa poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya pada waktu bersamaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988:692). Intinya, perkawinan poligami adalah perkawinan antara satu suami dengan banyak istri. Pengertian ini pula yang digunakan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kedua konsep tersebut (ngamaduang dan poligami) karena di samping keduanya memiliki arti yang sama, juga untuk menegaskan adanya istilah “emik” dan “etik” dalam masalah yang sedang dikaji. Jadi, yang dimaksud kajian tentang perkawinan ngamaduang/poligami dalam penelitian ini adalah kajian tentang perkawinan, yakni seorang laki-laki memperistri lebih dari satu perempuan.
32
2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori yang dijadikan landasan memecahkan masalah penelitian ini. Pertama, teori Konstruktif Interpretatif Bourdieu yang dipakai mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kuasa dan kekerasan pada perkawinan poligami. Kedua, teori Kuasa Michel Foucault dan
teori Kekerasan Simbolik
Bourdieu dipakai mengkaji bentuk-bentuk permainan kuasa dan kekerasan pada perkawinan poligami. Ketiga, teori Hidden Transcript James Scott dipakai memahami implikasi yang muncul sebagai akibat adanya permainan
kuasa dan
kekerasan yang ditimbulkan dalam perkawinan poligami.
2.3.1 Teori Konstruktif Interpretatif Teori Konstruktif Interpretatif merupakan teori yang bersumber dari pemikiran Bourdieu. Inti pemikiran Bourdieu yang relevan untuk membedah latar belakang terjadinya kuasa dan kekerasan pada perkawinan poligami adalah pandangannya tentang struktur sosial. Individu selalu diposisikan secara struktural pada ruang sosial multidimensional. Bourdieu menggambarkan tindakan individu dalam kelas-kelas sosial itu intuitif, bermuatan strategi-strategi, dan inovatif (Saifuddin, 2007:viii). Selanjutnya, untuk memperjelas strategi konseptual Bourdieu, maka perlu dikenal konsep kunci – habitus dan ranah. Habitus merupakan skemaskema interpretatif, terutama yang tersembunyi jauh dalam pikiran individu. Dengan kata lain, habitus adalah produk sosial dan habitus itu sendiri adalah struktur generatif
praktik-praktik sosial yang mereproduksi struktur sosial. Jadi, habitus
33
bersifat subjektif (yang terdiri dari skema-skema interpretatif) dan objektif (yang menyandang jejak struktur sosial). Habitus selalu bekerja dalam hubungannya dengan lapangan sosial (ranah, field) dan modal (capital). Dalam hal ini Bourdieu lebih suka menyebut masyarakat sebagai ”sosial field” (lingkungan sosial). Fields tersusun dari individu-individu yang diposisikan secara objektif dalam seperangkat hubungan sosial yang memiliki berbagai sumber daya (kapital) dan perjuangan untuk mencapai prestise, kekayaan dan kekuasaan (Saifuddin, 2007:x). Selanjutnya, ranah diartikan sebagai jaringan relasi antarposisi subjektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Ranah dipakai oleh Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Dalam ranah juga terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Dalam hal ini melalui ide habitus Bourdieu, yakni ditunjukkan bahwa praktik sosial bukan hanya dipahami sebagai pola pengambilan keputusan yang bersifat individual atau praktik sosial sebagai hasil struktur supra-individual, melainkan hasil dari internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibatinkan dan yang diwujudkan. Oleh karena itu, habitus bisa diandaikan sebagai mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dalam diri aktor (Fashri, 2007:88). Dalam konteks konstruktif interpretatif, habitus akan membimbing aktor untuk memahami, menilai, dan mengapresiasi tindakan mereka pada skema atau pola yang dipancarkan dunia
34
sosial. Skema ini diperoleh dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan individu-individu lain ataupun lingkungan tempat ia berada. Di samping melihat kuasa dalam kehidupan sosial, ia juga menemukan ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap ranah dan bekerja sebagai modus, yakni Bourdieu menyebutkan dengan istilah kekerasan simbolik (Fashri, 2007:128). Selanjutnya, apabila berpijak pada konsep habitus Bourdieu, keluarga dalam perkawinan poligami dapat diposisikan sebagai lapangan sosial (field) yang ada dalam suatu ranah sebagai produk medan daya yang ada di masyarakat. Kemudian, menurut Takwin (1990:xx), dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatankekuatan, serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Permainan kuasa dan kekerasan dalam keluarga dapat pula diartikan sebagai pertaruhan kekuatan di kalangan mereka yang memiliki modal. Kekuatan permainan modal inilah yang menentukan eksistensi kuasa dan kekerasan serta dinamikanya sehingga kebertahanan kuasa laki-laki dalam perkawinan poligami sangat ditentukan oleh caranya memainkan modal yang dimiliki. Teori Bourdieu tentang kapital dijelaskan sebagai akumulasi usaha yang diwujudkan dalam bentuk materi atau dalam bentuk akumulasi usaha lainnya. Akumulasi usaha ini bila digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang akan membuat mereka mampu menggunakannya sebagai energi sosial. Dalam hal ini kapital menurut Bourdieu, bukan hanya berupa pengumpulan uang dan materi,
35
melainkan bisa berupa pengumpulan usaha. Menurut Sutanto (2003:44) dalam ranah sosial ada empat jenis modal, yakni sebagai berikut. Pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, termasuk sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik. Selanjutnya, apabila mengacu pada pemikiran Bourdieu pada kasus poligami dapat saja terjadi kepemilikan berbagai modal (ekonomi, budaya, sosial ataupun simbolik) pada laki-laki (sebagai suami) yang menjadi dasar permainan kuasa dan kekerasan dalam keluarga. Misalnya, kedudukan sosial yang dimiliki laki-laki menjadi alasan penguat untuk berpoligami. Di samping keempat modal yang dikemukakan Bourdieu, tampaknya kepemilikan modal tubuh tidak dapat pula diabaikan sebagai hal yang melatarbelakangi laki-laki melakukan kuasa dan kekerasan dalam poligami. Latar belakang laki-laki menerapkan kuasa dan kekerasan dalam perkawinan poligami apabila mengandalkan pemikiran Bourdieu tentang permainan modal dalam sebuah ranah, yakni semakin lengkap ketika persoalan ini dikembangkan dari berbagai pemikiran, seperti adanya kemapanan ideologi patriarkhi yang melandasi kepemilikan kuasa dan rasionalitas laki-laki dalam melakukan kekerasan terhadap
36
perempuan. Dalam hal ini, analisis tentang ideologi patriarkhi dapat diandalkan apabila memakai teori Feminis. Feminisme menunjuk pada sebuah gerakan sosial yang muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-18. Gerakan ini berupaya meraih kesetaraan antara jenis kelamin dengan memperluas hak-hak perempuan. Secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelaminnya. Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab penindasan terhadap perempuan. Hal ini berkaitan dengan teori Sosial Feminis yang berdasarkan persoalan-persoalan luas, yakni menyangkut bagaimana dan mengapa perempuan tersubordinasi, di samping menawarkan analisis tentang proses-proses sosial dan kultural karena melalui proses tersebut subordinasi perempuan dilanggengkan. Dalam hal ini ada tiga pertanyaan kunci yang digunakan. (1) Bagaimanakah dominasi laki-laki dipertahankan ? (2) Bagaimanakah perbedaan jender diciptakan ? (3) Bagaimanakah feminis memahami keragaman pengalaman perempuan yang muncul dari perbedaan kelas, ras, dan seksualitas ? (Munti, 2005: 41-42). Menurut Agger (2003:274), prinsip dasar feminis dimaksudkan untuk mengungkap representasi perempuan dalam budaya, isu penjenderan, penciptaan dan ekspresi budaya, serta akses pada persoalan status menjadi masalah besar. Oleh karena itu, terdapat tiga tema utama kajian budaya feminis. Pertama, dia menampakkan yang tidak tampak. Kedua, dia membuka kedok dan menentang
37
objektivikasi seks perempuan dalam kebudayaan. Ketiga, dia mengajukan pertanyaan tentang ”enjenderisasi” karya dan tafsir budaya, lalu membicarakan isu tentang bagaimana feminitas dan maskulinitas dikonstruksi melalui budaya. Selain itu, menurut Ritzer (2004:315) kaum feminis prinsipnya pada cenderung menolak universalisasi, totalisasi, dan narasi besar. Selanjutnya, menurut Clifford (2002:30) feminisme berupaya melahirkan wawasannya tentang kaum perempuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai steriotip jender, baik yang kentara maupun terselubung, yakni yang merintangi penentuan diri sehat dari kaum perempuan. Feminisme pada hakikatnya bersikap kritis terhadap berbagai nilai dan pola sikap menyangkut kaum perempuan yang cenderung digalakkan secara reflektif oleh berbagai kebudayaan. Teori-teori feminis dipaparkan oleh Tong (1998:5) secara rinci. Namun, dalam penelitian ini dipilih teori Feminis yang relevan dengan masalah yang dikaji. Pengungkapan ideologi tersembunyi di balik praktik kuasa dan kekerasan dapat dibedah dengan teori Feminis Radikal. Tokoh feminis radikal yang terkenal adalah Mary Wolstonecraft lewat karyanya Vindication of the Right of Women. Menurut Arivia (2003:152) inti feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Kata radical sesungguhnya berasal dari kata “radic” atau “radix” yang artinya akar. Jadi, feminisme radikal melihat opresi perempuan dari akarnya, yaitu sistem seks dan jender. Tong (1998:48) mengatakan bahwa sistem seks dan
38
jender
adalah
”suatu
set
pengaturan
yang
digunakan
masyarakat
untuk
mentransformasikan seksualitas biologis ke dalam produk kegiatan manusia”. Pada gilirannya, sistem seks dan jender melahirkan sistem patriarkhi, yang mengidentifikasi perempuan dan laki-laki sebagai makhluk biologis dengan sifat feminim untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Dalam kenyataannya, pembedaan seperti itu memberdayakan laki-laki, tetapi melemahkan perempuan (Andriyani dan Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2000:149). Feminis radikal mempersalahkan sistem atau struktur, yakni patriarkhi yang eksis di balik penindasan perempuan. Di samping itu, feminis radikal mengutamakan analisisnya pada patriarkhi sebagai sistem dominasi laki-laki dan memfokuskannya pada isu kekuasaan (power) dalam relasi (hierarki seksual) di wilayah personal serta tubuh/seksualitas perempuan. Misalnya, respon perempuan terhadap kesakitan dan ketakutan atas kekerasan laki-laki. Feminisme radikal menganggap penindasan perempuan berakar pada kontrol laki-laki atas fertilitas dan seksualitas perempuan, di samping dominasi laki-laki dalam semua perwujudannya yang didasarkan pada kontrol laki-laki terhadap kapasitas prokreatif perempuan. Mac Kinnon (dalam Munti, 2005:45-47) melihat seksualitas sebagai kunci supremasi laki-laki. Di samping itu, feminis radikal juga memberikan perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi dalam sistem patriarkhat membuat kekerasan yang menimpa perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga menjadi tampak ”alami” dan ”layak” (Nope, 2005: 72).
39
Patriarkhi adalah suatu sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi (Humm, 2002:332). Kate Millet dalam karya monumentalnya, Sexual Politic, menekankan bahwa perbedaan perilaku lakilaki dan perempuan bukanlah berasal dari dalam (biologis) atau bersifat inheren, tetapi berasal atau diciptakan oleh budaya patriarkhi (Connell, 1991:241). Implikasi yang muncul dari proses sosialisasi terhadap laki-laki dan perempuan dalam menentukan identitas gender adalah steriotyp tentang kemampuan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini terdapat anggapan yang negatif bahwa perempuan dipandang sebagai setengahnya laki-laki, yakni memiliki kapasitas seksual ataupun kemampuan intelektual yang lebih terbatas. Cara pandang semacam ini memosisikan laki-laki dalam posisi ordinat, sedangkan perempuan dalam posisi subordinat. Lebih jauh lagi, pembenaran terhadap posisi yang dimainkan oleh laki-laki dalam kasus poligami dapat berupa alasan atau dorongan untuk mendapatkan anak laki-laki dari perkawinan tersebut karena laki-laki adalah ordinat dari kehidupan. Ideologi patriarkhi berintikan penempatan laki-laki pada titik pusat dalam sistem sosial, sedangkan perempuan berada pada sisi pinggiran. Laki – laki pada posisi superordinat, sedangkan perempuan pada posisi subordinat. Hal ini menimbulkan implikasi lebih lanjut, yakni laki-laki tidak saja mendominasi perempuan, tetapi juga menghegemonikannya. Sejalan dengan hal, sangat relevan apabila diikuti pemikiran Antonio Gramsci (dalam Fakih, 2000:26) tentang ketimpangan jender yang bersumber dari hegemoni kultural. Dalam hal ini negara mewujudkannya dalam bentuk produk hukum/perundang-undangan yang dapat
40
menguntungkan posisi laki-laki. Menurut Radjab (2003:81) melalui poligami struktur dan budaya patriarkhi semakin menguat dan mapan. Di sini tampak dominasi lakilaki semakin besar karena suami terlihat di situ seolah-olah berhasil memimpin banyak istri dan anak-anak. Sementara itu perempuan sekadar sebagai tenaga kerja yang mesti mencurahkan tenaganya untuk membantu pekerjaan dan aktivitas lakilaki. Perempuan tetap saja sebagai objek, meskipun “mungkin” bisa saja perilaku suami terhadap istri-istrinya tidak keras. Akan tetapi, perilaku suami seperti itu bisa dipandang sebagai hegemoni budaya dalam struktur patriarkhi. Ideologi patriarkhi dapat pula berimplikasi tidak saja
pada kondisi
penempatan perempuan di bawah kuasa laki-laki, tetapi sering pula dianggap sebagai suatu barang atau objek bagi laki-laki yang bisa digunakan secara bebas sesuai dengan kesukaannya (Bhasin, 1984:27). Kelompok feminis radikal Redstocking dan The New York Radical Feminist menganggap bahwa sistem masyarakat yang patriarkhal sebagai sumber masalah penindasan perempuan. Seksualitas sering dijadikan alat politis karena terjadinya relasi kekuasaan karena tiap-tiap relasi selalu dimenangkan oleh supremasi laki-laki (Ratih, 2005:328). Walaupun feminis radikal telah berhasil mengungkap ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, tetapi teori Feminis Radikal hanyalah berhenti pada kajian tentang ideologi patriarkhi yang melihat ketimpangan relasi kuasa antara lakilaki dan perempuan. Namun, relasi kuasa yang terjadi antarperempuan tidak akan tampak kalau hanya memakai teori Feminis sehingga diperlukan teori bantu seperti teori Psikoanalisis Freud (Barker, 2004:24).
41
Budaya patriarkhi sebagai ideologi tidak selalu dapat dipakai untuk memahami relasi kuasa yang ada dalam sebuah fenomena. Menurut Adian (2001:65) ideologi, seperti halnya teori-teori lainnya, hanyalah tafsiran manusia terhadap realitas, kemudian dijadikan tata perilaku yang dilegalisasi oleh kekuasaan. Sebuah tafsiran terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Tafsiran manusia cenderung membekukan, sedangkan realitas terus bergerak seiring perkembangan zaman. Sebuah teori tidaklah bisa berpretensi menjadi grand theory yang mampu menjelaskan segala-galanya. Ia harus tetap terbuka pada penafsiran-penafsiran baru supaya tidak menjadi reified. Ideologi merupakan proses dialektika ketika proses kritis harus tetap berlangsung supaya ia tidak berubah menjadi alat pembenaran status quo saja. Sehubungan dengan hal itu, dalam memahami fenomena poligami diperlukan teori kritis sehingga dapat melengkapi pemikiran feminis radikal. Teori kritis
mengintegrasikan
dirinya
dengan
psikoanalisis
untuk
menghadapi
ketidaksadaran kolektif yang berkembang di masyarakat kapitalisme modern dan mengangkatnya pada posisi kesadaran. Psikoanalisis, dalam hal ini Freudian, menyediakan diri sebagai instrumen yang tepat untuk mengungkap semua kepentingan irasionalitas yang melatarbelakangi suatu ideologi. Permainan kuasa dan kekerasan yang dimainkan oleh laki-laki dalam poligami tidaklah selalu dapat dicari jawabannya pada persoalan ideologi, tetapi dorongan libido dapat menjadi alasan untuk menerapkan kuasa. Dalam teori Freudian, libido atau nafsu seks tidak memiliki tujuan atau objek yang pasti walaupun sebelumnya telah ada. Oleh karena itu melalui fantasi, segala objek termasuk orang atau bagian
42
tubuh bisa saja menjadi target hasrat (Barker, 2004:24). Selain itu, pandangan Freud tentang seksualitas laki-laki, termasuk anak laki-laki memiliki keunggulan organ genital sehingga mereka kelihatan dan lebih mudah dilokalisasi sebagai sumber stimulasi erotis. Selanjutnya, Freud mengatakan anatomi adalah takdir. Artinya, perempuan ditakdirkan tidak akan pernah meraih harapan, keinginan, dan hasrat apa pun dalam hidupnya. Ia menempatkan seksualitas perempuan pada posisi pasif, sedangkan lakilaki aktif. Secara sadar tidak sadar, langsung tidak langsung, psikologi semacam ini memengaruhi laki-laki untuk menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada dirinya. Selanjutnya, laki-laki memiliki kuasa atas perempuan dan bisa melegitimasi tindak kekerasan terhadap perempuan (Ratih,2005:329). atau menurut Giddens (2004:176) phallus menjadi sebuah penanda kapasitas yang ambivalen untuk mendominasi para perempuan. Di samping faktor libido yang bisa menjadi latar belakang terjadinya permainan kuasa pada perkawinan poligami, faktor fantasi juga mendorong munculnya hasrat, sebagaimana ditegaskan oleh Freud, di samping dapat dipakai untuk memahami permainan kuasa. Pemikiran Freud tentang hasrat dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung dan Jaques Lacan (dalam Audifax, 2006:288) tentang esensi manusia yang selalu memiliki “hasrat menjadi” dan “hasrat memiliki.” Menurut Carl Gustav Jung, pemahaman tentang hasrat atau energi psikis yang menggerakkan manusia hendaknya diletakkan pada asumsi bahwa alam adalah keseimbangan. Seisi alam berpasangan untuk memperoleh keseimbangan, seperti Yin dan Yang, benar dan
43
salah, laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini kesenangan tidak berguna tanpa rasa sakit. Begitu pula manusia, ia adalah keseimbangan sehingga ketika terjadi ketidakseimbangan, maka ia akan merasa ada yang tidak sempurna dan berusaha menyempurnakannya. Di sisi lain, Jacques Lacan melihat manusia digerakkan oleh energi tertentu untuk melakukan individuasi. Energi ini, yakni oleh Jacques Lacan dijelaskan sebagai hasrat, energi penggerak yang secara esensial sama dengan energi yang menggerakkan pada individuasi, yaitu pemenuhan suatu kekurangan. Namun, hasrat lebih mengarah pada hal-hal libidinal, suatu pemenuhan yang sifatnya tidak pernah terpuaskan dan berlandaskan hedonisme. Menurut Audifax (2006:298) ada tiga register subjektivitas sebagai kunci hasrat, yakni simbolik, imajiner, dan real. Dalam budaya, ketiga register ini memanifestasikan dirinya sendiri secara respektif dalam penanda, imaji, dan fantasi. Langkah pertama adalah memahami bahwa penanda itu sendiri berfungsi sebagai objek hasrat. Tubuh perempuan tidak akan menimbulkan apa-apa jika seorang lakilaki heteroseksual tidak melekatkan fantasi pada tubuh itu. Ada bermacam-macam imaji yang dapat muncul dari mengelaborasi suatu simbolisasi pemenuhan hasrat penyatuan laki-laki dan perempuan karena sifatnya ideosinkretis, mulai yang bersifat pemenuhan hasrat seksual, agresi, dominasi hingga penemuan identitas diri. Ketika konsep ini dihubungkan pada niat untuk berpoligami, maka ada proses fantasi yang mendahului sehingga terjadi penyaluran hasrat.
44
Kunci memahami hasrat dalam kepemilikan subjektif dan aspek-aspek kulturalnya bisa ditemukan dalam diktum Lacan ( dalam Audifax, 2006:291-292), dalam hal ini hasrat (desire) bisa dipahami sebagai hasrat akan sesuatu yang lain (desire of the other). Sehubungan dengan hal ini ada tiga ambiguitas krusial pada formulasi yang terdaftar dalam tiga basis untuk distingsi di antara ranah hasrat. Pertama, “hasrat” bisa mengambil bentuk baik sebagai hasrat menjadi (to be) atau hasrat memiliki (to have), berhubungan dengan distingsi yang dibuat Freud antara narcissistic dan anaclictic libido. Bentuk narcissistic hasrat memanifestasikan dirinya sebagai cinta/rasa suka (love) dan identifikasi. Dalam hal ini bentuk anaclictic melibatkan hasrat untuk suatu jouissance yang secara fundamental tidak berbeda bahkan kerap kali bertentangan dengan proses menjadi diri sendiri dan orang lain. Kedua, kata “of” (bahasa Inggris) dalam formulasi Lacan, yakni berfungsi sebagai hal yang subjektif genitif dan objektif genitif, mengindikasikan bahwa other bisa menjadi subjek ataupun objek dari hasrat, suatu distignif yang diformulasikan Freud sebagai perbedaan antara tujuan aktif dan pasif libido. Ketiga, “the other” bisa berupa imaji
dari orang lain yang telah ada dalam daftar imajiner (imaginary
register) atau kode yang mengonstitusi tatanan simbolik atau other sex dan/atau objek dari the real. Di samping itu, pada tatanan simbolik melibatkan hasrat untuk memiliki (dengan tujuan jouisassance) suatu objek yang menyatu dengan penanda tertentu (specific signifier). Hal yang paling kentara pada tipe hasrat ini adalah hasrat seksual laki-laki pada perempuan. Dalam suatu tatatan hasrat seksual yang akan diproduksi,
45
imaji harus dipasangkan (secara eksplisit atau implisit) pada penanda yang tepat. Seorang laki-laki heteroseksual yang berusaha mendapatkan seorang perempuan untuk memenuhi hasrat tertentu dalam diri. Hal ini berarti dia juga sedang memasangkan imaji pada suatu penanda yang dianggapnya tepat. Ilustrasi yang relevan dalam memahami fenomena poligami dapat dirujuk pada pemikiran Audifax (2006:302) tentang penanda, yaitu penanda bisa terus berubah jika suatu saat penanda itu dirasakan sesuai dengan sosok “A”, maka dalam perkembangannya bisa berubah. Pada lain waktu bisa saja sosok “B”
dirasakan lebih tepat untuk memenuhi
hasratnya. Pada era tertentu, sosok Desy Ratnasari dengan daya tarik wajah oriental bisa jadi adalah sosok perempuan yang diidolakan, kemudian beralih lagi pada sosok Tamara Blezinsky dengan pesona wajah blasteran, hingga kemudian muncul sosok Dian Sastrowardoyo dengan imaji kecerdasan dalam sosok perempuan cantik. Perbedaan daya tarik dan karakter ketiganya menunjukkan bahwa ada semacam perubahan kriteria yang terus bergerak dalam diskursus.
2.3.2 Teori Relasi Kuasa Pemakaian teori Relasi Kuasa dalam penelitian ini adalah dalam rangka memahami bentuk-bentuk kuasa dan kekerasan dalam perkawinan poligami. Teori Kuasa dalam penelitian ini akan mengandalkan pemikiran Michel Foucault dan dikembangkan dengan pemikiran Pierre Bourdieu. Di samping kedua tokoh tersebut, pemikiran dari tokoh lain tidak diabaikan, seperti pemikiran feminis posmodern dan pemikiran Lacan.
46
Paul Michel Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Pointier dari pasangan keluarga dokter bedah. Ayahnya bernama Paul Foucault adalah seorang dokter ahli bedah di Pointier dan sebagai guru besar di bidang anatomi di perguruan tinggi. Pada buku Discipline and Punish, pemikiran Foucault tentang kuasa mulai berubah yaitu dalam karya sebelumnya kuasa dipahami sebagai suatu yang represif, yakni irasional selalu direpresi di bawah suatu rejim kebenaran, episteme masingmasing zaman. Namun, sekarang kuasa harus selalu dipahami dalam konteks latar belakang institusi, praktik, dan diskursus yang menciptakan kuasa dan diciptakan oleh kuasa. Tesis baru Foucault berbunyi,
“kuasa bersifat produktif dan bukan
represif” (Adian, 2001:140). Dalam konteks ini kuasa perlu dipandang sebagai productive network yang menjelajahi seluruh tubuh sosial. Kekuasaan tidak lagi dimiliki oleh sekelompok elite, tetapi difungsikan dalam relasi-relasi yang tidak terhitung banyaknya tempat semua orang bisa terlibat. Berpijak pada konsep kuasa menurut Foucault, maka kuasa dimiliki dan dimainkan tanpa melihat status, jenis kelamin, ataupun strata tertentu. Pada kasus ordinat dan subordinatnya perempuan, Foucault justru tidak percaya bahwa perempuan hanya ”dipaksa” oleh laki-laki ke dalam posisi subjek subordinatnya, meskipun pemaksaan adalah sesuatu yang dapat dijalankan. Justru beberapa perempuan mereproduksi suatu budaya, yakni feminitas dan maskulinitas adalah ”penanda” dalam pandangan Derrida, yang mengarahkan perempuan dan laki-laki pada aktivitas dan posisi kekuasaan yang berbeda. Tidaklah keliru memakai acuan pikiran Foucault bahwa kuasa bukanlah represif,
tetapi merupakan hal yang
47
produktif. Dalam uraian yang berbeda Aur (2005:154) mengatakan bahwa kekuasaan bagi Foucault bukanlah milik, melainkan strategi. Kekuasaan adalah soal praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Dalam ruang lingkup tersebut ada banyak posisi secara strategis yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Jadi, khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Dengan demikian melalui strategi ini bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda di dalam tubuh masyarakat (Eriyanto, 2005:69). Bentuk-bentuk kuasa dalam keluarga poligami bisa saja berbentuk penguasaan fisik (tubuh) melalui mekanisme kontrol tertentu atau dalam bentuk wacana. Sehubungan dengan hal ini ada tiga faktor yang saling berkaitan, yakni merupakan ”amunisi” laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan atau otoritasnya, dalam hal ini kekerasan termasuk di dalamnya. Faktor-faktor tersebut adalah (a) kekuasaan patriarkhi (patriarchy power); (b) hak-hak istimewa (privilage); dan (c) sikap yang permisif (permission) (Subono, 2002:101). Bentuk kuasa yang memakai wacana sebagai alat sangat relevan karena mengacu pada pemikiran para feminis posmo, Lacan ataupun Bourdieu. Feminisme posmodern banyak meminjam pemikiran Eksistensialisme Beauvoir (dalam Shirley, 2005:7), Dekonstruksionisme Derrida (Spivak,2003:27-35;
48
Al-Fayyadi, 2005:10). Dalam hal ini terdapat sejumlah tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan teori ini, seperti Jacques Lacan, Helene Cixous, dan Julia Kristeva (Nope, 2005:92). Menurut Lacan ( dalam Tong, 1998:196) feminisme posmodern memanfaatkan konsep ‟symbolic order’ – atau tatanan simbolik, yakni menurut Claude Levi Strauss diterangkan sebagai rangkaian tanda, peran, dan ritus yang tidak saling berhubungan. Tatanan simbolik merepresentasikan masyarakat melalui bahasa. Oleh karena menginternalisasikan tatanan simbolik berarti menginternalisasikan
peran-peran kelas dan jender yang berlaku di dalam
masyarakat atau Lacan menyebutnya sebagai ‟the law of the father’. Perempuan menolak menginternalisasikan tatanan simbolik, tetapi dipaksakan hidup di dalam tatanan itu. Akibatnya, perempuan tidak memiliki bahasa sendiri karena bahasa yang ada adalah bahasa si pembuat tatanan, yaitu laki-laki. Oleh karena bahasa yang ada adalah
bahasa
laki-laki,
perempuan
tidak
dapat
menggunakannya
untuk
mengekpresikan perasaan dan pengalaman perempuan. Di samping itu, perempuan dianggap sebagai ”yang lain” atau the other. Seorang perempuan teralienasi karena cara berpikirnya, cara keberadaannya, dan bahasa perempuan yang menghalanginya terciptanya ”keterbukaan, pluralitas, diversifikasi, serta perbedaan”. Selanjutnya, dengan pandangan bahwa bahasa sebagai sebuah sistem, feminis posmo mencoba menguak teralienasinya perempuan dalam seksualitas, ataupun psikologi. Tata cara kerja/praktik untuk menegaskan bahwa perempuan sebagai the other dapat dilakukan dengan cara mengembangkan berbagai wacana tentang “apa” dan “bagaimana” kepantasan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam konteks poligami,
49
wacana yang didukung sesuai dengan ideologi jender yang berbasis patriarkhi, di antaranya ”perempuanlah yang dipoligami, bukan laki-laki” ; ”lebih baik dimadu daripada tidak dapat jodoh”; ”wajar dia berpoligami karena mengikuti jejak orang tuanya”; dan sebagainya. Selanjutnya,
apabila
mengacu
pada
pemikiran
Bourdieu
(1991:17)
bahasa/wacana sebagai medan sosial-sebagai tempat berlangsungnya kompetisi, selalu bersifat dinamis, ada pertaruhan komuditas yang terjadi, serta terdapat kekuatan-kekuatan yang memiliki kepentingan. Peranan bahasa dalam kehidupan sosial manusia sangatlah penting bagi pembentukan makna karena bentuk-bentuk kekuasaan justru mendasarinya di balik beroperasinya sebuah bahasa sehingga dapat terjadi keadaan menebar kata, menuai kuasa. Artinya, bahasa menempati posisi strategis bagi penyemaian ideologi yang ada di baliknya serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya pengungkapan, dan pembendaharaan kata hingga kandungan pengetahuan yang diungkapkan atau disamarkan oleh suatu bahasa. Oleh karena itu, bahasa menjadi sangat penting bagi individu ataupun kelompok tertentu untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan. Jika ideologi dapat diartikan sebagai ”cara melihat dunia”, kajian terhadap ideologi akan menghasilkan sebuah perian tentang pelbagai cara sebuah kelompok melihat dunia, kemudian menghasilkan sebuah interpretasi bagaimana sebuah ideologi berdampak pada produksi dan konsumsi teks-teks (Santoso, 2009:42).
50
Berharga atau tidaknya sebuah wacana tergantung dari hubungan kekuatankekuatan yang ada serta sejauh mana distribusi modal yang ada mengalir ke dalam pasar bahasa. Ketidakmerataan distribusi modal (modal ekonomi, budaya, sosial dan modal simbolik) akan menyebabkan perbedaan sosial sehingga melahirkan praktik dominasi wacana. Dengan demikian, suatu kelompok yang memiliki wacana dominan (doxa) akan lebih leluasa dalam memaksakan visi dan normanya kepada kelompok yang berada pada posisi subordinat. Dalam masyarakat patriarkhi, perempuan ada dalam posisi subordinat, sebaliknya laki-laki sebagai ordinat. Demikian pula dalam hal wacana, yang dominan adalah wacana laki-laki. Akan tetapi apabila memakai pikiran Bourdieu tentang kuasa yang menyebar, maka dapat saja terjadi bahwa di antara sesama perempuan menebar kuasa satu dengan yang lain sehingga posisi ordinat dan subordinat tumpang tindih. Berbagai wacana selalu bertarung memperebutkan makna. Dalam setiap ranah selalu terdapat pertarungan antara yang mendominasi dan yang didominasi. Prinsip tersebut juga berlaku pada ranah bahasa, yakni ada pertarungan antara wacana dominan (doxa) yang berkepentingan melestarikan dominasinya dan wacana pinggiran yang terus berupaya menggugat wacana dominan. Pergulatan wacana dominan dan pinggiran pada kasus poligami merupakan pergulatan antara pemikiran feminis yang berpandangan bahwa poligami adalah ”bentuk perayaan libido lakilaki”; ”poligami sebagai kejahatan perkawinan” dengan ideologi patriarkhi yang berkeyakinan bahwa ”poligami adalah cermin keberanian, tanggung jawab laki-laki”. Ranah pertarungan wacana menurut pemikiran Bourdieu dapat digambarkan sebagai
51
berikut. Doxa ialah dunia wacana yang mendominasi kita. Ia merupakan semesta makna yang diterima begitu saja kebenarannya tanpa dipertanyakan lagi. Dengan pengertian ideologi, doxa dapat dipahami sebagai sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Ia kemudian menjadi kesadaran kolektif yang dianggap hadir begitu saja tanpa dipertimbangkan lagi. Doxa bisa berupa kebiasaan sederhana, seperti cara berbicara, cara makan, hingga masuk pada persoalan kepercayaan. Ketika wacana dominan mendominasi pasar, ia memiliki kemampuan untuk mendefinisikan ”yang lain” (the other). Kapasitas ini dimiliki karena otoritas untuk menjadikan ”the other” patuh dan percaya. Apabila dipahami konsepsi ranah Bourdieu, maka ranah pertarungan wacana bersifat dinamis, di samping ada yang berupaya mempertahankan pandangan sahnya dan ada pula yang berupaya menggugat. Kekuasaan yang diterapkan melalui media bahasa sehingga terjadi kondisi menebar kata menuai kuasa, bisa dicermati pada kasus poligami, yakni penyebutan istri pertama oleh istri-istri berikutnya. Pada masyarakat Bali dikenal adanya sebutan mbok (kakak) untuk perempuan yang berusia lebih tua dan sebutan adi (adik) kepada mereka yang lebih muda. Kedua kata ini tatkala dihubungkan dengan pemikiran para strukturalis menunjukkan adanya hierarki yang berimplikasi pada kekuasaan. Strukturalisme menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah struktur yang mengatur dirinya sendiri dengan hukum perbedaan. Bahasa menurut strukturalisme
52
bukan lagi medium untuk menyampaikan dunia sesungguhnya, melainkan membentuk
dunia.
Bahasa,
oleh
para
postrukturalis
dipandang
sebagai
wacana/diskursus yaitu bahasa sebagai sebuah institusi karena kebenaran suatu pernyataan sangat tergantung pada status subjek, tempat, waktu, dan atribut-atribut. Oleh karena itu para strukturalis memandang bahasa sebagai fenomena politis karena pembakuan makna selalu melibatkan kuasa (Adian, 2001:100). Postrukturalis mengatakan bahwa tatkala suatu makna telah menetap (mbok= senoritas; adi= yunior ), maka kita harus mencari kekuasaan yang bermain di baliknya hingga membekukan tanda pada makna tertentu. Menurut postrukturalis, struktur bahasa tidak steril, seperti dipahami kaum strukturalis, tetapi selalu bersifat politis. Selanjutnya, mengacu pada pandangan Lacan ( dalam Audifax, 2006:320) menyatakan bahwa kemampuan berbicaralah yang membedakan subjek. Tidak ada subjek yang bebas dari bahasa. Menurut Lacan, subjek menggunakan penandapenanda dalam berbicara. Penanda merupakan satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Sebutan mbok dan adi pada kasus poligami yang berimplikasi pada kekuasaan dan tampak pada pendistribusian berbagai hal dalam keluarga, seperti material, pembagian kerja, ataupun pembagian jatah seksual. Bentuk-bentuk kuasa lainnya yang bisa tampak dalam keluarga poligami adalah kuasa fisik (tubuh) dan nonfisik, yakni berupa wacana yang memakai bahasa. Kepemilikan kekuasaan biasanya dapat berimplikasi pada tindakan kekerasan. Menurut Hobbes (lihat Sihombing, 2005:5) ada beberapa karakter dalam diri manusia yang melatarbelakangi dilakukannya kekerasan, yaitu sebagai berikut.
53
1. Competitio, competition, atau persaingan. Manusia itu berlomba untuk menguasai manusia lain karena ada rasa takut bahwa dia tidak mendapat pujian. Dalam hal ini mereka dapat mempergunakan cara apa pun. 2. Defentio, defent, atau mempertahankan diri. Manusia tidak suka dikuasai atau diatasi orang lain karena manusia selalu mempunyai keinginan untuk menguasai orang lain. Maka sifat membela diri merupakan jaminan bagi keselamatannya. 3. Gloria, adalah keinginan dihormati, disegani, dan dipuji. Berarti manusia pada dasarnya selalu ingin dihormati, disanjung. Pendapat Hobbes akhirnya ditentang oleh Fromm (1997:48) yang menyatakan bahwa pembentukan karakter individu ditentukan oleh pengaruh yang kuat berdasarkan pengalaman hidup yang memancar dari kebudayaan, terutama pada temperamen dan perlengkapan fisik. Dengan demikian, kekerasan yang dilakukan oleh seseorang bukan hanya disebabkan adanya dorongan dari dalam diri, tetapi ada korelasi yang positif antara karakter individu dengan lingkungan. Selanjutnya, menurut pemikiran Bourdieu (1991), apabila konsepsi kekerasan dimaknai sebagai sebuah upaya menghadirkan pemaksaan sebagai mekanismenya, maka kekerasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa kekerasan fisik dengan tubuh (raga), sebagai objek, dan bisa pula kekerasan psikologis (jiwa). Kekerasan terhadap individu ataupun kelompok bisa juga berupa kekerasan ide, wacana, bahasa, dan bentuk-bentuk simbolik lainnya. Selain itu, menurut Hendarti dan Herudjati (2008:vi-ix) ada beberapa bentuk kekerasan yang dapat muncul dalam masyarakat dan keluarga, yakni sebagai berikut. Kekerasan fisik adalah tindakan yang benar-benar merupakan gerakan fisik manusia untuk menyakiti tubuh atau merusak harta orang lain. Kekerasan simbolik adalah tindakan memanfaatkan berbagai sarana (media) untuk menyakiti hati dan merugikan kepentingan orang lain. Akibat kekerasan fisik adalah tubuh korban yang babak belur atau harta yang lenyap dijarah.
54
Selanjutnya, akibat kekerasan simbolik, meskipun tidak langsung mengenai fisik korban, sangat menyakitkan hati dan bisa berlangsung sangat lama, bahkan sampai beberapa dekade. Berbagai sarana (media) yang dipakai untuk berinteraksi dengan orang lain bervariasi. Sarana itu bisa bersifat nonlinguistik, seperti gerak isyarat, kontak badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak antarbadan, dan benda sebagai alat peraga atau sarana linguistik yang berupa bahasa verbal. Kekerasan birokratik adalah tindakan yang memanfaatkan institusi formal yang legal untuk menyakiti perasaan atau merugikan kepentingan orang lain. Kekerasan birokratik ini biasanya dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang memiliki institusi formal dengan landasan aturan legal yang disahkan oleh pemerintah. Kekerasan struktural adalah tindakan yang memanfaatkan nilai (pandangan hidup, struktur sosial, atau norma budaya) dari kelompok tertentu yang sedang memegang hegemoni kekuasaan untuk mendiskreditkan orang (kelompok) lain. Di samping itu, kekerasan berkaitan erat dengan kesenjangan ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya. Penjelasan tentang keempat macam kesenjangan ini relevan dengan pemikiran Bourdieu (1986:241) tentang konsep “kapital” yang dijelaskan sebagai akumulasi usaha yang diwujudkan dalam bentuk materi atau dalam bentuk akumulasi lainnya. Akumulasi usaha ini bila dilakukan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang akan membuat mereka mampu menggunakannya sebagai energi sosial dalam bentuk tenaga kerja manusia atau dalam bentuk gagasan yang dianggap memiliki eksistensi material. Selanjutnya, apabila seseorang atau sekelompok orang ingin mempertahankan “kapital” yang dimiliki, mereka akan melakukan beberapa cara yang sering tidak bisa dilepaskan dari kekerasan (Hendrarti dan Herudjati, 2008:45). Konsep kekerasan, menurut pandangan para ilmuwan sosial pasca modern harus dilihat sebagai “ajang adu kekuatan dan perjuangan” seperti yang dianjurkan oleh Bourdieu (1991) atau yang senada dikemukakan oleh Foucault
55
(1978:94). Jadi, kekerasan bisa terjadi di mana-mana, baik di rumah maupun di luar rumah. Antara kekerasan dan kekuasaan memiliki kaitan yang sangat erat, karena pola-pola kekerasan selalu berada dalam ruang kekuasaan. Dalam hal ini keduanya tidak bisa dipisahkan secara diametral. Artinya, kehadiran kekerasan mengandaikan mekanisme kekuasaan tertentu. Begitu pula dengan konsepsi dan pola kerja kekerasan simbolik selalu menyimpan relasi kekuasaan tertentu. Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dominasi membutuhkan mekanisme objektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok yang akan dikuasai. Mekanisme semacam ini menurut Bourdieu (1991:164) disebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan
yang halus dan tidak tampak
karena di baliknya tersembunyi relasi kekuasaan. Kekerasan simbolik bisa berwujud tindakan lemah lembut yang dilakukan untuk mendapatkan imbalan berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, ketaatan dan keramahtamahan. Lebih lanjut, menurut pemikiran Bourdieu (lihat Jenkins, 2004:157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Misalnya, wacana sebagai produk kebudayaan dapat melahirkan kekerasan simbolik, sebagaimana tampak pada kasus wacana poligami yang menyatakan: ”perempuan dipoligami karena sudah nasibnya demikian”. Wacana ini menyiratkan adanya hubungan kelas yang timpang, dalam hal ini wacana kelas satu (kelas laki-laki) sebagai ordinat, sedangkan kelas perempuan sebagai subordinat.
56
Wacana ini diterima sedemikian rupa tanpa dikoreksi kembali dan dipandang sebagai hal yang wajar. Berdasarkan kajian yang dilakukan Munti (2000:391) tentang kasus kekerasan yang masuk ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) APIK Jakarta ditemukan data yang menunjukkan bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat poligami. Selanjutnya, Reyneta (2003:10) mencermati ulang dampak poligami berdasarkan pengaduan istri yang datang ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) APIK Jakarta, dalam hal ini terungkap bahwa poligami melahirkan dampak tertentu terhadap istri ataupun anak-anak. Dampak yang paling banyak adalah istri tidak lagi diberikan nafkah oleh suami (37 orang), istri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), istri mengalami tekanan psikis (21 orang), istri dianiaya secara fisik (7 orang), dan diceraikan (6 orang). Berdasarkan data tersebut tampak bahwa poligami ada dalam lingkaran kekerasan terhadap perempuan. Pasal 11 dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat – atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, baik secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Kekerasan dalam perkawinan poligami tidak hanya berakibat pada penelantaran istri, tetapi juga pada perkembangan anak-anak mereka, seperti posisi
57
dalam keluarga sebagai anak kandung, anak tiri yang memiliki citra ataupun status berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam posisi sebagai anak tiri dari istri yang kesekian bisa saja berposisi subordinat dari yang lain atau sebaliknya. Hal ini terjadi karena kekuatan modal yang dimiliki berbeda. Permainan modal pada posisi sebagai anak bisa menimbulkan lingkaran kekerasan.
2.3.3 Teori Hidden Transcript Keluarga secara umum diartikan sebagai sistem sosial yang bersifat hierarkhis yang mengandung relasi kuasa antar-anggota di dalam keluarga. Kekuasaan biasanya dilakukan melalui kekerasan, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Pada perkawinan poligami, kekuasaan dan kekerasan berimplikasi pada munculnya resistensi dari mereka yang terkena dampak kuasa dan kekerasan. Ketika keluarga dipandang dalam konteks struktur maka di dalamnya akan terdiri atas individu yang terstruktur dalam hierarkhi, seperti konsep oposisi binari (atas-bawah, pusatpinggiran,
ordinat-subordinat).
Biasanya,
mereka
yang
ada
pada
posisi
bawah/pinggiran/subordinat akan melakukan resistensi tatkala berada dalam keadaan tertekan. Konsep oposisi binari berasal dari pemikiran strukturalis Levi Strauss yakni menurut pandangan Kurzweil (2004:19) dinyatakan sebagai empu strukturalisme. Menurut Levis-Strauss, dalam menganalisis kebudayaan ada beberapa asumsi yang mendasari penggunaan paradigma (linguistik), seperti adalah oposisi biner (binary opposition): menikah > < tidak menikah, laki-laki > < perempuan, atas > < bawah,
58
pusat > < pinggiran, dan sebagainya (Kristanto, 2005:134). Bahasa menurut strukturalisme bukan lagi medium untuk menyampaikan dunia sesungguhnya, melainkan membentuk dunia. Subjek laki-laki sadar dirinya sebagai makhluk rasional, maskulin, dan publik. Namun, ia tidak sadar bahwa identitas tersebut diperoleh karena ia terjerat dalam realitas linguistik. Dalam hal ini kata “laki-laki” mendapatkan makna rasional, maskulin, dan publik karena secara struktural beroposisi dengan kata “perempuan” yang “emosional”, “feminin” dan “domestik” (Adian, 2001:98). Pandangan tentang oposisi biner menurut strukturalisme, kemudian dipertajam lagi oleh tokoh poststrukturalisme, seperti Sausurre dan Jacques Derrida. Para postrukturalis memandang bahasa sebagai fenomena politis karena pembakuan makna selalu melibatkan kuasa. Artinya, kata “laki-laki” mengandung makna „kuasa atas perempuan‟ sehingga kata tersebut mengandung muatan politis, dalam hal ini kata perempuan yang “emosional”, “feminim” memiliki makna yang lebih rendah dibandingkan “laki-laki” yang “rasional”. Di samping itu, pemikiran postrukturalis memandang bahwa represi bukan lagi bersifat ekonomistik, melainkan diskursif
sehingga perjuangan bukan
perjuangan merebut sarana produksi melainkan perjuangan counter hegemony melawan struktur yang dimapankan oleh kelas berkuasa. Pada kasus poligami counter hegemony dapat dilakukan oleh para istri kepada suami atau oleh sesama istri untuk melawan permainan kuasa dan kekerasan yang dialami antara satu dengan yang lain. Selanjutnya, apabila berpijak pada konsep dirkursif, maka kelompok pinggiran selalu memiliki kecenderungan untuk merebut dominasi untuk menggapai posisi
59
pusat/ordinat melalui berbagai bentuk resistensi. Perebutan dominasi bisa dilakukan secara terang-terangan (terbuka) atau secara tersembunyi (hidden). Pemikiran Scott (1990) tentang hidden transcript relevan untuk memahami resistensi dalam sistem sosial tertentu. Dalam kaitan ini Scott (1990:xii-xiii) mengatakan bahwa kekuasaan tidak selamanya berjalan lancar karena dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak setuju atau melakukan perlawanan, baik secara terbuka maupun terselubung terhadap kekuasaan. Pada prinsipnya, teori Scott tentang perlawanan tersembunyi memiliki kesesuaian dengan prinsip cultural studies yang sama-sama mengkaji tentang cara-cara orang kecil (marjinal) melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Pemikiran Scott tentang hidden transcript masuk dalam kategori teori kritis yang berpijak pada neomarxisme (bandingkan dengan Clammer, 2003: 221). Prinsip dasar neomarxisme adalah emansipatoris yang tidak berurusan dengan hukum-hukum objektif, prinsip-prinsip umum, tetapi usaha penyadaran manusia yang melekat pada proyek pencerahan (Adian, 2006:46). Prinsip ini tidak akan menempatkan individu secara subordinat, tetapi dilihat sebagai perangkat yang bisa mengubah tatanan atau hal-hal yang bersifat dogmatis. Menurut pemikiran Scott (1990:2) kekuasaan dan ideologi merupakan hal yang dinamis sehingga dapat dijadikan dasar dalam memahami perlawanan yang dilakukan oleh perempuan terhadap wacana dominan. Menurutnya, proses hubungan kekuasaan memiliki dua lapisan kenyataan. Lapisan pertama adalah lapisan formal atau public transcript dan lapisan kedua adalah kenyataan yang tersembunyi atau hidden transript. Public transcript adalah suatu interaksi terbuka antara kelompok
60
subordinat dan kelompok yang mengsubordinasikannya. Transkrip tersebut tidak hanya menyangkut perkataan, tetapi juga tindakan atau pun tingkah laku tertentu sehingga berbentuk manajemen impresi dalam suatu hubungan kekuasaan. Di hadapan penguasa, kelompok subordinat mengembangkan suatu tingkah laku dan ekspresi yang seolah-olah tunduk pada tatanan yang dikehendaki kelompok dominan. Namun, kelompok atau kelas yang tidak berkuasa mengembangkan transkrip tersembunyi yang tidak diperlihatkan dan tidak dimainkan di hadapan penguasa. Transkrip tersembunyi adalah tindakan, perkataan, ataupun praktik-praktik yang berupa gosip, desas-desus, cerita, dan lain-lain yang dikembangkan oleh kelompok tersubordinasi. Ada beberapa contoh transcript terselubung, yakni purapura bodoh atau tidak tahu (competent of being incompetent), pemakaian bahasa yang dibalik (bahasa prokem), rumor tentang kehidupan pribadi tokoh-tokoh dominan, berlaku tidak jujur, masa bodoh, membuat skandal, dan sabotase untuk mengakhiri pertentangan secara kolektif (Hendrarti dan Herudjati, 2008:54; Mustain, 2007:86). Hal ini yang sering disebut sebagai perlawanan perspektif Scottian ”Gaya Asia”. Perlawanan perempuan dengan perspektif Scottian pernah pula dilakukan dalam kajian tentang perlawanan perempuan dalam Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Resistensi yang muncul dari kaum ”pinggiran ini” (perempuan tayub) bukanlah perlawanan prontal yang sifatnya revolusioner dan mengharapkan perubahan seperti permainan sulap. Oleh karena resistensi merupakan kreativitas untuk melawan kekuatan-kekuatan hegemonik yang datangnya dari luar (Surur, 2005:192).
61
Pada dasarnya kaum lemah, dengan caranya sendiri memilih bentuk perlawanan yang sangat sederhana, tetapi efektif. Dalam hal ini sifat perlawanan orang yang terpinggir bukanlah sesuatu yang ”given” dalam kemiskinannya, melainkan lebih sebagai akibat ketidakberdayaan dalam tekanan sosial yang timpang (Mustain, 2007:86). Pada kasus poligami, bentuk transkrip tersembunyi tampak dalam wujud tindakan-tindakan protes terhadap suami, anak, ataupun sesama istri. Misalnya, menolak berhubungan seksual, bekerja keras (seharian di luar rumah), atau bergosip tentang suami serta madunya, dan sebagainya. Pada prinsipnya, hidden transcript merupakan salah satu sarana bagi perempuan untuk ”melarikan diri” dari tekanan ideologi formal dan sekaligus sebagai arena untuk mengembangkan strategi (implisit dan eksplisit) untuk memformulasikan, mengubah, ataupun menyiasati ideologi jender yang berlaku dalam transkrip formal (Kusujiarti, 2003:96). Selain itu, perspektif Scott (1990) dimaksudkan untuk melihat kemungkinan dan kemampuan kelompok yang tersubordinasi dalam melakukan resistensi dan perubahan kualitas diri terhadap kelompok yang tersubordinasi. Dalam hubungan ini bisa saja terjadi pembalikan struktur perlawanan pada kasus poligami. Misalnya, istri yang muda melakukan perlawanan, baik fisik maupun simbolik terhadap istri yang lebih tua karena merasa tersubordinasi. Terjadinya pembalikan seperti ini, jika mengacu pada teori ”Kapital” Bourdieu (Fashri,2007:98), karena modal-modal yang dimainkan oleh istri muda dapat membalikkan situasi dan keadaan sesuai dengan yang diinginkan.
62
Di samping modal-modal menurut Bourdieu yang bisa dijadikan alat melakukan resistensi, ada lagi pemikiran tentang tubuh yang bisa dijadikan alat perlawanan oleh para istri pada perkawinan poligami. Selanjutnya, mengacu pada pandangan Beauvoir, Prabasmoro (2006:59) mengatakan bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah suatu situasi, tubuh adalah cengkraman kita terhadap dunia dan sketsa dari proyek-proyek kita, dan tubuh merupakan situasi yang bermakna. Makna yang diisyaratkan dari pemikiran Beauvoir tentang tubuh perempuan adalah bagaimana perempuan “menggunakan”, memaknai, dan/atau melakukan sesuatu melalui/atas tubuhnya dan dengan terus menerus berhubungan dengan dunia melalui tubuhnya. Menurut Syarifah (2006:80) dalam konstruksi sosial kultural dan konstruksi seksual sosialnya, tubuh perempuan adalah modal biologis, sedangkan kebertubuhannya merupakan modal simbolik. Kecantikan adalah modal tubuh yang signifikan dalam realitas kehidupan perempuan. Menurut Rousseau ( dalam Synnott, 2003:110) “telah diajarkan sejak kecil bahwa kecantikan adalah citra perempuan, pikiran yang membentuk dirinya atas tubuh, dan meneriakkan di sekeliling kurungan emasnya, yakni hanya untuk menyembah penjaranya”. Melalui modal kecantikan, perempuan dapat memiliki “investasi” yang sempurna dengan keuntungan berdimensi fisik, sosial, ataupun ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan yang hegemonik kecantikan dapat hadir sebagai perusak atau alat melawan hegemonik. Hal ini yang menimbulkan penilaian terhadap kecantikan pada kasus orang di Yunani, yakni menurut Aristoteles adalah sebagai “penipuan diam-diam”, sebagai penyebab perang Troya sehingga
63
dinilai “betapa jahatnya kecantikan perempuan, mengkorosi dan merusak segala sesuatu yang disentuhnya”. Bahkan Kahlil Gibran menyatakan bahwa ”kecantikan adalah ekstasi” (Synnott, 2003:115). Selain itu, berbagai stigma dapat dilekatkan pada tubuh perempuan, seperti kenikmatan, kesegaran, keindahan, kenyamanan, dan kelincahan. Berbagai stigma yang melekat tersebut dapat saja dijadikan alat perlawanan oleh sesama istri. Misalnya, dengan mengadopsi stigma bahwa perempuan muda lebih segar, lebih bisa memberikan kenikmatan, simbol keindahan, dan sebagainya yang dijadikan alat untuk melawan madunya. Selain berimplikasi terhadap munculnya resistensi atas kuasa dan kekerasan dalam keluarga poligami, implikasi lainnya yang muncul akibat poligami terungkap dalam buku yang ditulis oleh Victoria Burbank (dalam Arivia, 2003:141) bahwa dalam poligami di seluruh dunia, konflik, kecemburuan, dan persaingan selalu akan mewarnai antar-istri. Para perempuan di wilayah Luo menjuluki madunya sebagai “partner dalam kecemburuan”, sementara di Surinam memaknai kata “pertengkaran” sebagai “perilaku para istri yang dimadu”. Penelitian Burbank juga dilakukan di Afrika Barat dan Bolivia yang menemukan bahwa dalam situasi terburuk kerap berakhir dengan pembunuhan yang disebabkan pembagian makanan dan tanah yang dianggap tidak adil. Persoalan yang muncul dalam poligami umumnya disebabkan suami gagal mendistribusikan secara merata kebutuhan rumah tangga. Penerapan hegemoni yang dilakukan melalui tindakan pedagogis pada kasus praktik poligami dapat pula berbuah konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat manifes dan laten karena konflik manifes diidentifikasi dengan perilaku, sedangkan
64
yang laten dengan sikap dan kontradiksi. Pada tingkat manifes, konflik bersifat empiris dan terlihat. Dalam hal ini partisipan konflik hanya dapat mengalami dan mengamati perilaku, sedangkan pada tingkat laten lebih bersifat teoretis dan dugaan (Galtung, 2003:161). Dengan demikian, konflik tidak selamanya berbentuk konflik laten, tetapi bisa pula berwujud konflik terbuka. Misalnya, berbentuk konflik fisik atau perang antardua kelompok atau lebih yang biasanya selalu berulang. Menurut Dahrendorf (1984:48), sumber konflik berasal dari hubungan wewenang yang telah melembaga dalam asosiasi yang terkoordinasi secara imperatif. Hubungan wewenang ditetapkan oleh kelompok dominan dalam asosiasi tersebut. Konflik muncul karena adanya perbedaan kepentingan objektif antara kelompok dominan (kelompok yang menguasai) dengan kelompok yang didominasi (kelompok yang dikuasai) dalam situasi tertentu. Selain sumber konflik dapat dirunut dari pemberlakuan ideologi patriarkhi, menurut Sairin (dalam Pelly, 1994:23) setidaknya ada tiga sumber konflik yaitu (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi; (2) perluasan batas-batas kelompok sosial budaya; serta (3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama. Menurut Atmadja (2003:78) konflik perebutan sumberdaya bisa terjadi karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Pemenuhan kebutuhan dasar memerlukan sarana, yakni tanah, ruang, air, uang, dan lain-lain. Sarana pemenuhan kebutuhan dasar jumlahnya terbatas, sedangkan manusia yang memerlukannya sangat banyak. Lebih-lebih ditambah lagi dengan adanya keinginan manusia yang tidak terkendali sehingga
65
persaingan atau konflik untuk memperebutkan sarana pemenuhan kebutuhan sering kali sulit dihindarkan. Dalam perkawinan poligami terjadi pemilahan antara istri “tertua”, “termuda”, “tercantik”, “terjelek”, “terpintar”, dan “terbodoh” bisa dihidupkan sehingga muncul persaingan yang bersifat perebutan sumber daya. Perebutan sumber daya pada kasus perkawinan ngamaduang apabila mengacu pada pemikiran Bourdieu, yakni bertujuan tidak hanya mencari sesuatu selain kepentingan, tetapi juga mencari prestise serta pengakuan dari (pihak) lain. Dalam perebutan sumber daya pada kasus perkawinan ngamaduang dapat muncul berbagai bentuk konflik, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Bentuk konflik yang bersifat horizontal dapat muncul dalam bentuk perseteruan dengan para madunya, para ipar, atau anggota keluarga luas lainnya. Selanjutnya, konflik yang bersifat vertikal dapat muncul dalam perseteruan dengan mertua, suami, dan anak. Wujudnya dapat berbentuk pertengkaran, salah paham, perkelahian, atau mogok. Perseteruan atau persaingan antarmadu menurut Sulistyowati (2007:xv) dapat merupakan berita baik bagi para laki-laki heteroseksual yang menginginkan berpoligami. Oleh karena karena menjadi legitimasi paling gampang untuk kawin lagi dengan alasan membantu memenuhi kebutuhan ekonomi dan seksualnya atau memberikan perlindungan kepada mereka. Dalam menghadapi berbagai konflik yang bermunculan, penyelesaiannya bisa saja dilakukan dengan melakukan konsensus antara satu dengan yang lain. Hal ini relevan dengan pemikiran Habermas yang menawarkan model rasionalitas ‟kognitif instrumental‟ dari subjek yang mampu memperoleh pengetahuan tentang lingkungan
66
yang tidak menentu dan memanfaatkan secara efektif dengan cara beradaptasi dan merekayasa lingkungan itu berdasarkan kecerdasannya (Habermas, 2006:x). Dalam hubungan ini, Habermas mengandalkan komunikasi sebagai sarana pencerahan manusia. Dengan teori Tindakan Komunikasi, Habermas hendak menunjukkan melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang menguntungkan semua pihak (Takwin, 2003:115) Para istri yang mengalami kekerasan dalam perkawinan poligami dapat pula melakukan sublimasi dengan cara bekerja keras dan memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anak mereka sehingga anak dapat dijadikan sebagai investasi masa depan dan kompensasi atas kekerasan yang dialami. Harapan orang tua terhadap anak-anak mereka berkaitan erat dengan nilai anak dalam keluarga. Pengertian nilai anak dapat dibandingkan dengan pengertian nilai anak menurut Esphenshade (1977:17) yang menyebutkan, ”The value of children can be thought as the functions they serve or needs the fulfill for parent” (nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak). Selanjutnya, menurut Astiti (2004:235-238) keluarga orang Bali memiliki pemahaman tentang nilai anak sebagai berikut. 1. Nilai religius, dalam hal ini anak laki-laki dapat dilihat antara lain peranannya sebagai penyelamat arwah leluhur. Hal ini dipertegas dalam sloka 137 Bab IX kitab Menawa Dharmastra 2. Nilai sosial, anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Dalam peranannya sebagai ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta peninggalan orang tua (warisan yang bersifat material), tetapi juga mewarisi kewajiban adat (warisan
67
yang bersifat immaterial), seperti halnya menggantikan orang tua dalam melakukan ayahan ke masyarakat banjar dan desa adat. 3. Nilai ekonomi, bantuan ekonomi anak dalam bentuk materi oleh para orang tua diakui sangat penting artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah tangga. Bantuan materi dapat diberikan oleh anak laki-laki maupun perempuan berupa makanan/bahan makanan, uang, pakaian untuk jaminan hidup di hari tua, di samping biaya untuk sekolah adik-adik yang masih sekolah. Nilai ekonomi anak, selain dilihat dari peranan anak dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orang tua, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan orang tua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan anak. Biaya-biaya tersebut yakni berupa biaya untuk makan, selamatan, kesehatan dan pendidikan. Pengorbanan orang tua untuk biaya itu umumnya dilakukan oleh orang tua dengan setulus hati, dilandasi oleh adanya kewajiban orang tua untuk mewujudkan putra yang utama. 4. Nilai psikologis, nilai psikologis dapat dilihat dari kenyataan yang dialami oleh para orang tua bahwa anak dapat menimbulkan perasaan aman, terjamin, bangga dan puas. Selain itu, anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya, memberikan dorongan untuk lebih semangat bekerja dan menghangatkan hubungan suami istri. Apabila berpijak dari nilai anak yang terdapat dalam sistem sosial masyarakat Bali, maka keberadaan anak dalam kehidupan keluarga akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan sehingga kehadirannya menjadi sangat esensial dalam keluarga di Bali. Terlebih lagi kehadiran anak laki-laki sangatlah diharapkan karena bisa menjadi pewaris, baik material maupun immaterial orang tuanya. Ketidakhadiran seorang anak dalam keluarga dapat berakibat terganggunya pemenuhan nilai-nilai anak yang diperlukan di dalam kehidupan berkeluarga. Hal ini bisa dijadikan sebagai salah satu alasan berpoligami atau mempraktikkan kuasa dan kekerasan dalam kehidupan keluarga.
68
2.4 Model Penelitian Bagan 2.1 Ideologi Patriarkhi Masyarakat Bali
Kemapanan Budaya Patriarkhi di Lokapaksa
Praktik Kuasa dan Kekerasan
Berkembangnya Modal Ekonomi, Modal Sosial, Modal Budaya, Modal Simbolik
Perkawinan Ngamaduang
Posisi Perempuan dan Laki-laki yang Timpang Model Relasi Antar anggota Keluarga
Membongkar Jaring Kuasa dan Kekerasan di Balik Perkawinan Ngamaduang (Poligami) di Lokapaksa, Buleleng, Bali
Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Praktik Kuasa dan Kekerasan
Bentuk-bentuk Kuasa dan Kekerasan dalam Jaring Keluarga Inti dan Keluarga Luas
: panah saling memengaruhi : panah memengaruhi : alur penelitian
Implikasi, Resistensi dan Makna Praktik Kuasa dan Kekerasan
69
Menyoal tentang poligami dapat bertitik tolak dari budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi adalah suatu sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi. Patriarkhi mempunyai kekuatan dari akses lakilaki yang lebih besar terhadap perempuan, menjadi mediasi dari sumber daya yang ada, dan ganjaran dari struktur otoritas di dalam dan di luar rumah (Humm, 2002:332). Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang mengusung budaya patriarkhi. Implikasinya adalah tingginya peluang kepemilikan berbagai modal ekonomi, budaya, sosial ataupun modal simbolik yang dimiliki oleh laki-laki Bali. Pengutamaan akses ekonomi, akses budaya (pendidikan, pengetahuan), jaring sosial, ataupun status sosial yang mengutamakan posisi laki-laki dalam proses pengambilan keputusan merupakan representasi dari hasil praktik budaya patriarki. Dalam konteks semacam ini terlihat dominasi laki-laki terhadap perempuan. Berlakunya budaya patriarkhi dalam masyarakat Bali berkaitan dengan posisi perempuan Bali yang tersubordinasi, yakni dalam bentuk rendahnya akses pemilikan berbagai modal, status perempuan dalam posisi subordinat, dan adanya tekanan kultur serta struktur melalui steriotip terhadap perempuan. Berbagai indikator dapat mewakili gambaran rendahnya kepemilikan berbagai modal, misalnya, akses pendidikan lebih diutamakan untuk laki-laki sehingga status perempuan menjadi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Posisi subordinat yang ada pada perempuan dikuatkan lagi dengan berbagai steriotip yang dilekatkan pada perempuan, seperti steriotip yang memandang ”perempuan mahkluk yang lemah, sehingga tergantung pada laki-laki”. Adanya posisi ordinat di satu sisi, dengan posisi subordinat pada sisi
70
yang lain membuka peluang adanya praktik-praktik kuasa dan kekerasan, termasuk dalam perkawinan ngamaduang (poligami). Praktik kuasa dan kekerasan dalam perkawinan ngamaduang perlu dibongkar agar terungkap bias ideologis yang sudah mengakar kuat dan mapan. Pembongkaran terhadap wacana ideologis dalam perkawinan ngamaduang dilakukan dengan fokus pernyataan penelitian, yaitu faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktik kuasa dan kekerasan, bentuk-bentuk kuasa dan kekerasan dalam jaring keluarga inti dan keluarga luas, serta implikasi dan makna praktik kuasa dan kekerasan.