BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Fokus penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana proses komodifikasi budaya terhadap songket Bali dalam perspektif kajian budaya. Penelitian ini akan mengungkap bentuk-bentuk komodifikasi terhadap songket Bali, faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi terjadi dan dampak sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dan stakeholder kebudayaan Bali. Konteks dari penelitian ini adalah sebuah keadaan dimana industri kreatif fesyen sebagai bagian dari fenomena kapitalisasi dalam dimensi kebudayaan yang erat berhubungan dengan ide-ide globalisasi dan kapitalisme. Objek materi dari penelitian ini adalah songket Bali yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi dan berpotensi sebagi komoditi yang bernilai ekonomi. Referensi yang tersedia adalah sumber kepustakaan teoritis dan berbagai hasil penelitian yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan komodifikasi songket Bali. Penelitian yang terkait “Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali” belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena itu penelitian ini akan merujuk pada penelitian-penelitian yang terkait komodifikasi artefak budaya Bali lainnya, di luar kain tenun songket Bali. Ni Kadek Muliati (2012) dalam tesisnya yang berjudul “ Kain Bebali sebagai Sarana Upacara Manusia Yadnya di Desa Sukawati, Gianyar” mengangkat beberapa objek kain tenun tradisional Bali yang diangggap keramat dan suci. Beberapa kain tenun tradisional Bali yang tergolong dalam kelompok kain Bebali antara lain: kain geringsing, kain cepu, kain prada,
14
15
kain atu-atu, kain samara ratih, kain padang dreman, kain sielaki dan sebagainya. Sebagai alat analisisnya, tesis ini menggunakan beberapa teori kajian budaya seperti teori Dekonstruksi dan Semiotika. Untuk menganalisis fungsi dan makna juga digunakan Teori Spiritualitas. Dalam tesis ini, Muliati menemukan adanya pergeseran penggunaaan kain Bebali dalam upacara manusia yadnya, yang peranannya digantikan oleh kain songket. Pergeseran ini diakibatkan oleh kurangnya informasi dan pemahaman masyarakat serta kesulitan untuk memperoleh kain bebali itu sendiri. Dalam majalah Arts Textrina No. 38 tahun 2008, H. Coleman menuliskan laporan ilmiahnya yang berjudul “ The Textiles of Bali and Nusa Tenggara”. Penelitian ini merupakan studi tekstil dengan pendekatan kualitatif. Coleman dalam tulisannya menjelaskan keberagaman yang kaya dalam konteks perbedaan etnis dan kepercayaan spiritual masyarakat di Bali dan Nusa Tenggara. Keberagaman tersebut ditemukan dalam proses menenun, pewarnaan, dalam desain, fungsi dan makna yang tersirat dalam kain tenun tersebut. Dalam konteks ekonomi, kain-kain tradisional tersebut juga mengambil peranan penting dalam masyarakat lokal baik dalam proses produksi, distribusi dan konsumsinya. Marie-Louise Nabholz-Kartaschoff (2008) dalam laporan penelitiannya yang berjudul “The Textiles of Sembiran” memaparkan proses produksi kain tenun dalam perspektif kesejarahan asal-usul teknik menenun dan motif yang berkembang di Sembiran. Melalui investigasinya dalam hal bahan material yang digunakan, teknik, dan pola menyimpulkan bahwa
kain sembiraan juga
berkembang di Lombok dan komunitas muslim di Bali Utara. Dengan pendekatan
16
ethnography, Kartaschoff menggambarkan aspek-aspek kultural yang terkait dalam proses manufaktur kain sembiran seperti ritual daha, pakem, fungsi serta makna dari kain Sambiran. I Wayan Budiarsa (2012) dalam tesisnya “Komodifikasi Pertunjukan Dramatari Gambuh di Desa Pakraman Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar,” menjelaskan proses profanisasi pertunjukan dramatari Gambuh yang bersifat sakral melalui proses komodifikasi. Kemerosotan kesakralan pertunjukan ini didorong oleh perkembangan pariwisata yang menuntut produksi dan reproduksi pertunjukan demi memenuhi kepuasan wisatawan. Motif ekonomi mendorong lebih jauh proses desakralisasi pertujukan dramatari Gambuh di Gianyar. Teori yang digunakan Budiarsa dalam menjelaskan makna dan dampak komodifikasi adalah Teori Dekonstruksi dan Teori Semiotika. I Ketut Setiawan (2011) dalam disertasi “Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global,” menganalisis realitas sosial masyarakat terkait dengan keberadaan Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Disertasi ini menjelaskan
adanya pengaruh arus budaya global yang
berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme, dengan memunculkan komodifikasi budaya. Alat analisis yang digunakan selain Teori Komodifikasi adalah Teori Hegemoni, Teori Dekonstruksi dan Teori Semiotik. Komodifikasi terjadi pada elemen-elemen bangunan, artefak, situs, yang dilakukan atas inisiatif masyarakat dan secara kelembagaan dengan adanya kerjasama dengan pemerintah. Bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul tampil dalam bentuk kemasan produk budaya yang indah, agung, dan menarik sebagai
17
daya tarik wisata. Setiawan menemukan adanya faktor-faktor yang mendorong, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal antara lain adanya perkembangan pola pikir masyarakat pendukung, adanya kreatifitas masyarakat berekspresi, dan motivasi peningkatan kesejahteraan. Faktor-faktor eksternal mencakup perkembangan pariwisata, kapitalisme dan industri budaya, peran media massa, dan hegemoni pemerintah. I Nengah Arta dalam tesisnya “Komodifikasi Seni Lukis Klasik Wayang Kamasan di Desa Kamasan-Kelungkung” mengungkap faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi komodifikasi seni lukis wayang. Imajinasi dan kreatifitas seniman ternyata menjadi sebuah motivasi yang mampu menciptakan karya-karya baru yang melampui bentuk-bentuk asli dan pakem yang sudah ada. Selain itu adanya dorongan yang berasal dari keberadaan industri rumah tangga yang semakin berkembang untuk mencari alternatif pasar dan mengadaptasi selera konsumen. Faktor eksternalnya adalah pengaruh pariwisata, media dan perubahan selera pasar. Arta menggunakan beberapa teori untuk menganalisis pertanyaan penelitian. Teori yang digunakan diantaranya adalah: Teori Komodifikasi, Teori Budaya Popular, dan Teori Representasi. Pendekatan mengenai motif-motif hias pada kain tenun songket Bali dilihat dari bentuk-bentuk geometris berdasarkan Teori Desain Komunikasi Visual lebih banyak dibahas pada bukunya Artini Kusmiati yang berjudul “Teori Dasar Disain Komunikasi Visual” serta bukunya Yongky Safanayong dengan judul “Desain Komunikasi Visual Terpadu”. Kedua buku ini membahas tentang bentuk-bentuk garis yang ikut mendukung keindahan. Bentuk-bentuk garis dapat
18
bersifat lurus atau lengkung, namun keduanya mempunyai bentuk dan karakter yang berbeda. Antara garis lurus dan garis lurus lainnya juga dapat berbeda, misalnya berbeda dalam tekanannya, ketebalan dan letak. Masing-masing akan memiliki karakter tersendiri (Kusmiati dkk, 1999). Bandem (1996), dalam bukunya yang berjudul
“Wastra Bali, Makna
Simbolis Kain Bali,” menjelaskan secara singkat makna dibalik motif ragam hias yang terdapat dalam songket Bali. Bandem mengatakan motif ragam hias songket Bali mewakili filsafat Hindu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Karena itu pola-pola motif songket Bali tidak terlepas dari konsep Triangga yaitu sikap dasar yang mempercayai makhluk hidup digolongkan dalam tiga hirarki; kepala, badan dan kaki. Oleh karena itu semua motif songket umumnya menggunakan simbol-simbol yang dianggap sakral mewakili hirarki yang paling tinggi. Dengan lokus dan fokus serta sudut pandang yang berbeda dengan kajiankajian terdahulu, maka diharapkan penelitian ini memberikan sebuah pemahaman yang baru terhadap komodifikasi objek seni Bali secara khusus dan komodifikasi budaya pada umumnya. Objek materi dari penelitian ini adalah kain tenun tradisional songket Bali dengan konteks perkembangan industri kreatif fashion yang merupakan salah satu wujud dari pengaruh globalisasi dan budaya kapitalis dalam masyrakat Bali. Yang menjadi tekanan pada penelitian ini adalah bentukbentuk kreativitas dan inovasi para desainer dalam memodifikasi songket Bali dalam bentuk busana, mendisain ulang, dan memberi nuansa kekinian terhadap songket Bali yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan pakem yang sudah mengakar
19
kuat dalam budaya tradisional Bali. Dengan objek materi serta lokus dan fokus penelitian yang secara essensial berbeda dengan kajian-kajian yang terdahulu maka tesis ini berharap mampu memberikan sebuah sumbangan pemikiran dalam khazanah kajian budaya.
2.2 Konsep yang Digunakan 2.2.1 Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali. Kain tenun songket adalah kain hasil tenunan yang diberi ragam hias dengan cara menambahkan benang pakan (horizontal waktu menenun) dengan benang emas, perak atau benang dengan warna lain waktu menenun. Bila dilihat cara penambahan benang pakan dengan emas, perak dan benang berwana lainnya ini kelihatan seperti menyungkit waktu menenun (Nusyirwan, 1988). Ragam hias tenun songket diciptakan dengan teknik tenunan yang terkenal dengan teknik pakan tambahan. Cara mengangkat mulut lungsi diatur oleh lidi-lidi. Proses tenun songket di Bali, pada prinsipnya sama dengan tenun “cagcag”. Letak perbedaannya yaitu: pada tahap nyuntik, saat paling menentukan sekali dalam membuat ragam hias tambahan, yang nantinya merupakan hiasan tempelan, pada tenun itu. Kain songket Bali memiliki perbedaan yang khas dalam beberapa hal. Perbedaannya mulai dari motif ragam hias nya yang penuh dengan makna spiritual yang dalam, dan warna-warna yang khas Bali yakni warna-warna yang berani seperti ungu, merah dan kuning keemasan. Kain songket Bali dianggap artefak budaya yang sakral (Bandem, 1996). Kesakralan ini terlihat dari motifmotif nya yang memiliki kedalaman makna spiritual Hindu. Simbol-simbol yang
20
digunakan memuat filsafah hidup masyarakat Bali yang mengakar pada filsafat Hindu. Simbol-simbol seperti poleng, bebintangan, tumpal, gigin barong, ganggongan, meander, kuta mesir dan tampak dara adalah simbol-simbol yang disakralkan. Konsep-konsep Hindu seperti rwa-bineda, dimensi dualitas, pangider bhuwana dan sebagainya direfleksikan dalam simbol-simbol tersebut. Warna juga mensiaratkan kesucian dan representasi para dewa. Seperti warna hitam adalah wakil kepribadian Dewa Wisnu, warna putih mewakili Dewa Iswara, warna merah mewakili Dewa Brahma, dan warna kuning mewakili Dewa Mahadewa. Komodifikasi atau Commodification adalah sebuah istilah yang awalnya populer pada kisaran tahun 1977 yang menjelaskan sebuah konsep fundamental dari pemikiran Marxisme tentang bagaimana kapitalisme berkembang. Kata komodifikasi berasal dari kata komoditi yang artinya barang yang diperjualbelikan atau diperdagangkan. Jadi komodifikasi adalah sebuah proses yang mengubah sebuah objek benda atau kebendaan yang awalnya bukan untuk diperdagangkan kemudian menjadi komoditas perdagangan (Pilliang, 2006). Komoditas atau commodity diterjemahkan sebagai sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain seperti uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Menurut
Baudrillard
(dalam
Barker,
2004)
komodifikasi
dalam
masyarakat konsumen menjadi objek yang tidak lagi dibeli sebagai nilai guna, tetapi sebagai komoditas-tanda. Dalam hal ini terjadi apa yang disebutkan sebagai hilangnya nilai-nilai manfaat asli yang hakiki dari benda-benda tersebut karena dominasi nilai tukar dalam kapitalisme.
21
Ardika (2005) dan Yoeti (2006) mengaitkan proses komodifikasi dengan globalisasi dan kemajuan perkembangan pariwisata. Globalisasi membawa banyak perubahan terutama dengan masuknya unsur asing berupa ide
atau
gagasan lain serta investasi yang menyebabkan perubahan orientasi yang didasari pada
motif-motif
ekonomi.
Konsekuensi
sektor
pariwisata
yang
terus
berkembang, mendesak seniman dan industri rumah tangga untuk memenuhi tuntutan industri pariwisata. Songket Bali juga mengalami tekanan globalisasi dan perkembangan pariwisata. Ide atau gagasan-gagasan baru yang terbungkus pada trend fashion adalah dampak dari gejala dunia yang sedang meng-global. Demikian pula industri pariwisata yang menggunakan bahan dasar songket untuk menciptakan produk-produk baru yang mendukung industri pariwisata itu sendiri. Namun demikian, penelitian ini hanya berfokus pada industri kreatif fesyen. Pada produkproduk fesyen yang menggunakan bahan dasar songket Bali terjadi perubahan dalam hal bentuk dan fungsi penggunaannya. Komodifiksi yang terjadi pada songket Bali dapat di amati dari bentuk motif, warna, desain , pakem dan fungsi penggunaan. Unsur-unsur estetika dengan pendekatan fesyen mendorong pelanggaran pakem tradisional. Bentuk, fungsi dan makna songket Bali telah mengalami pergeseran seiring dengan perubahan tatanan masyarakat Bali yang kian modern dan industrialis.
2.2.2 Industri Kreatif Fesyen Pakar ekonomi dan futurology, Alvin Toffler (1980) membagi perkembangan peradaban ekonomi dunia ke dalam tiga gelombang ekonomi, yaitu
22
gelombang ekonomi pertama berupa perekonomian yang didominasi oleh kegiatan pertanian; gelombang ekonomi kedua berupa perekonomian yang didominasi oleh kegiatan industri; dan gelombang ekonomi ketiga berupa perekonomian yang berbasis teknologi informasi. Alvin juga memperkirakan setelah gelombang ekonomi ketiga akan muncul gelombang ekonomi keempat atau yang disebut juga dengan gelombang ekonomi kreatif, yaitu perekonomian yang berbasiskan pada ide-ide atau gagasan yang kreatif dan inovatif. Berikut adalah bagan pembagian era ekonomi menurut Toffler. Bagan 1. Era Ekonomi Menurut Alvin Toffler Ekonomi Industri
Ekonomi Pertanian
1
2
Ekonomi Informasi
3
Ekonomi Kreatif
4
Sumber: Toffler, The Third Wave
Gelombang ekonomi keempat inilah yang kini sudah mulai terlihat menggeliat di tanah air. Hal yang menguntungkan Indonesia memiliki banyak insan-insan kreatif yang mampu menghasilkan produk industri kreatif yang khas dan handal. Karena
itu,
tidak mengherankan apabila pemerintah c.q.
Kementerian
Perindustrian memberikan perhatian yang cukup besar terhadap industri kreatif ini. Industri kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktifitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain “industri budaya” (terutama di Eropa) atau juga ekonomi kreatif. Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa industri
23
kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Menurut Hawkins (2002), Ekonomi Kreatif mencakup periklanan, arsitektur, seni, kerajinan. desain, fashion, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan, Penelitian dan Pengembangan (R&D), perangkat lunak, mainan dan permainan, Televisi dan Radio, dan Permainan Video. Berdasarkan pemetaan industri kreatif yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia ada 15 sektor, antara lain adalah: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video dan layanan komputer dan piranti lunak, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan,
penerbitan dan percetakan, televisi
dan radio,
riset
dan
pengembangan, dan kuliner. Departemen Perdagangan memperinci industri kreatif fesyen sebagai kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. Fesyen (fashion) dalam pengertian umum adalah sebuah praktik atau gaya hidup (style) yang popular. Fesyen berhubungan dengan sebuah upaya kebiasaan atau trend seseorang dalam berpenampilan dan berpakaian. Fesyen menjadi faktor pembeda yang mampu mencirikan identitas seseorang. Menurut Barthes dalam buku The Fashion System, fesyen berkaitan dengan operasi struktur bahasa (semiotika). Barthes menyatakan: “... in the West, fashion tends to become a mass phenomenon, precisely insofar as it is consumed by means of a mass-circulation press (whence
24
the importance and, as it were, the autonomy of written fashion), the maturity of the system is thus adopted by mass society according to a compromise. Fashion must project the aristocratic model, the source of its prestige: this is pure fashion, but at the same time it must represent, in a euphoric manner, the world of its consumers by transforming intraworldly functions into signs (work, sport, vacations, seasons, ceremonies): this is naturalized fashion, whose signified are named. Whence its ambiguous status: it signifies the world and signifies itself, it constructs itself here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle (Barthes, 1983a:292-293).”
Dari penjelasan di atas disebutkan bahwa fesyen adalah warisan gaya hidup golongan aristokrat untuk menunjukkan identitas mereka yang prestise. Kelompok ini memainkan tanda-tanda melalui cara mereka berpakaian yang mewakili kelas mereka. Mereka juga mengubah penampilan mereka melalui cara berpakaian yang selalu mengikuti trend. Bagi
mereka yang tidak mampu
mengejar atau mengikuti arus mode, maka mereka disebut tidak fashionable atau ketinggalan mode. Status seseorang dalam masyarakat pun seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Dalam hal ini, penelitian ini berfokus pada industri kreatif fesyen yang menggunakan kain tenun songket sebagai bahan dasar utama untuk digunakan sebagai sebuah kreasi desain atau pun sebagai bahan tambahan atau asesoris yang melengkapi sebuah kreasi desain.
2.2.3 Globalisasi Globalisasi adalah sebuah fenomena sosial modern yang diterjemahkan sebagai proses intergrasi manusia yang melewati batas-batas negara (Pieterse, 2000:385-389). Proses integrasi manusia ini tidak hanya terjadi dalam domain
25
ekonomi, tetapi juga dalam domain budaya dan identitas. Globalisasi sebagai suatu proses yang bergerak melewati, keluar masuk menerjang batas-batas fisik imajiner suatu negara-bangsa atau nation-state (Firmanzah, 2007:22). Menurut Kearney (1995:547-565) globalisasi berkaitan erat dengan ide „deteritorialisasi‟ yang mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal. Globalisasi telah menyeret hal-hal yang bersifat „lokal‟ dan terikat dalam karateristik asal-usul menjadi sesuatu yang bersifat „global‟ dan beredar bebas melewati batas-batas lokal. Globalisasi dapat memperluas kawasan budaya, disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya dalam masyarakat. Globalisasi terjadi seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi sehingga membentuk tatanan baru atau kehidupan yang lebih bersatu, seolah-olah tanpa batas geografis dan batas ekonomi. Menurut Appadurai (1990: 299) pada proses globalisasi terjadi peristiwa „disjuncture’ atau perubahan yang bersifat cair (fluid) pada lima ruang yang berbeda yaitu ethnoscape, technoscape, mediascape, dan idioscape. Globalisasi berkaitan erat dengan modernisasi, melalui media sebagai basis penyebaran pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian terjadi pemerataan informasi terjadi secara cepat keseluruh belahan dunia. Arus investasi sedemikian cepat mengalir tanpa hambatan yang berarti. Ideologi, nilai-nilai baru, dan gaya hidup adalah bagian yang mengalami percepatan dibicarakan dan didiskusikan bahkan sebagian menjadi milik bersama. Dickens (2004) mengatakan bahwa gobalisasi berhubungan dengan penyebaran budaya kontemporer. Berbagai ekspresi sosial budaya asing yang sebenarnya
26
tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya. Semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Akibat erosi budaya dan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal, masyarakat kecenderungannya menganut prinsip pragmatisme. Pada penelitian ini, globalisasi merupakan konteks yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa sosial pada era pasca modern. Modernisasi dan idustrialisasi di Bali adalah hasil dari intensifikasi ide-ide globalisasi yang masuk dan berkembang bersamaan dengan perkembangan industri pariwisata yang pesat. Globalisasi
menjelaskan
bagaimana
terjadinya
fenomena
sosial
seperti
komodifikasi, perkembangan media, lunturnya nilai-nilai lama dalam masyarakat, pariwisata, trend fesyen, dan seterusnya.
2.3 Landasan Teori Penggunaan teori dimaksudkan untuk melandasi arah, tujuan dan sifat penelitian untuk dapat mengungkapkan pernyataan yang menjelaskan rangkaian kejadian, serta memberikan fungsi dalam memudahkan mengorganisasi data yang digunakan sebagai penyimpanan data yang relevan. Teori-teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.3.1 Teori Komodifikasi Teori ini digunakan untuk menjelaskan sebuah produk budaya yang dianggap sakral mengalami degradasi menjadi profan dan menjadi milik masyarakat luas (Barker, 2000). Dalam teori ini dijelaskan sebuah kekuatan dari
27
sistem pasar yang menyebabkan masyarakat bersifat konsumtif-kreatif. Industri dan masyarakat menjadikan produk budaya sebagai komoditas yang rentan terhadap unsur-unsur kreatif demi memenuhi tuntutan dan selera masyarakat luas dan pasar. Teori Komodifikasi diperkenalkan pertama kali oleh Karl Marx bersama dengan Engels dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme menguasai manusia dan dunia. Dalam bukunya Communist Manifesto, Marx (2002) menjelaskan bahwa kaum Bourgeois mengekploitasi kaum proletar: “The bourgeoisie has torn away from the family its sentimental veil, and has reduced the family relation into a mere money relation.” Marx menjelaskan nilai-nilai yang melatarbelakangi kegiatan kebudayaan telah bergeser. Kegiatan kebudayaan yang tadinya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek sentimental seperti nilai religi, atau penghormatan kepada leluhur, upacara adat, dan termasuk kekeluargaan sekarang berubah. Nilai yang dominan adalah nilai komersial, yakni motivasi mendapatkan uang. Teori Komodifikasi menurut Pilliang menjelaskan bagaimana sebuah artefak budaya mengalami proses komersialisasi dan diperdagangkan. Adorno (dalam Pilliang 2003:89) mengatakan bahwa komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, juga merambah pada kehidupan seni dan budaya. Kapitalisme telah berhasil membuat seni dan budaya patuh pada hukum-hukumnya. Kebudayaan masyarakat bertransformasi menjadi kebudayaan industri dimana logika produksi-konsumsi yang menguasai norma-norma kehidupan. Fairclough (1995: 207) menganggap komodifikasi terjadi pada domain-
28
domain dan institusi-institusi sosial yang perhatiannya tidak hanya memproduksi komoditas dalam pengertian ekonomi yang sempit mengenai barang-barang yang akan dijual, tetapi bagaimana diorganisasikan dandikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas. Teori Komodifikasi dalam konteks
penelitian ini dipakai untuk menganalisis bentuk dan fungsi komodifikasi songket Bali dalam perkembangan industri kreatif fesyen di Denpasar.
2.3.2
Teori Perubahan Sosial dan Budaya Teori Perubahan Sosial dan Budaya dirumuskan oleh Karl Marx dan Max
Weber. Marx (dalam Giddens, 1986) merumukan bahwa perubahan sosial dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialisme), sedangkan Max Weber lebih pada sistem gagasan, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan. Bahwa masyarakat dibangun oleh struktur yang menggambarkan pola hubungan antar manusia dan kelompok manusia atau masyarakat. Sedangkan Kornblum (2012) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan (Beteille, 1969). Dalam pandangan Weber kelas merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Dibandingkan dengan Marx, menurutnya kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar
29
komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Perubahan, menurut Senge (dalam Maliki, 2010:276) merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, karena ia melekat, built in dalam proses pengembangan masyarakat. Lebih jauh perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern melahirkan kelas-kelas baru dalam masyarakat.
Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu
dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional adalah berupa ascribed (given) status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved (becomes) status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan. Songket
Bali
adalah
warisan
budaya
tradisional
agraris
yang
mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam struktur sosial dengan ascribed status. Dalam beberapa referensi mengatakan bahwa keluarga
puri (istana)
memiliki hak khusus dalam memproduksi dan mengkonsumsi songket Bali. Setelah modernisasi menjangkau Bali, dimana nila-nilai baru tumbuh dan berkembang, maka achieved status mulai diakui. Seiring dengan perubahan nilainilai hidup dan struktur sosial masyarakat, hak-hak istimewa keluarga puri mulai
30
memudar, termasuk dalam proses produksi dan konsumsi songket Bali. Komodifikasi terhadap seni dan artefak budaya seperti songket Bali menjadi sebuah keniscayaan, manakala semakin suburnya nilai-nilai individualisme yang erat berdampingan dengan faham kapitalisme. Penggunaan teori perubahan sosial dan budaya dalam penelitian ini menjelaskan bagaimana terjadinya komodifikasi kain tenun songket Bali.
2.3.3 Teori Estetika Post Modern Sebagai sebuah ilmu, estetika mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan keindahan (Djelantik, 2004). Berhubungan dengan upaya menggali nilai-nilai keindahan tersebut, ada tiga aspek yang menjadi sasaran analisis yang dilakukan oleh estetika yaitu bentuk (structure), gagasasan (idea), dan pesan (massage). Pendekatan ini juga menjadi dasar Teori Estetika Klasik dalam mengukur keindahan sebuah objek. Menurut Pilliang, pada era klasik, estetika mengutamakan makna (form follow meaning), pada era modern maka fungsi lah yang lebih diutamakan (form follow function), sedangkan pada era postmodern ada perubahan yang begitu revolusioner, seolah-olah estetika merupakan arena permainan (form follow fun) saja. Pada era pascaindustri,
muncul petanda-petanda baru dan makna pun
berkelimpahan. Teori estetika postmodern digunakan untuk memahami karya-karya seni post modern dalam hal ini fesyen. Dalam bukunya ” Dunia Yang Dilipat” (2010) Piliang mengatakan bahwa
seni postmodern, salah satunya, ditandai dengan
munculnya kebudayaan daur ulang. Fesyen dianggap sebagai seni atau
31
kebudayaan daur ulang. Sebagai bagian dari kebudayaan kapitalis , yang memiliki paradigma kecepatan dan percepatan, fesyen juga mengalami hukum ekonomi sirkuit dimana segala sesuatu bergerak berputar, bergeser dalam tempo dan percepatan yang bersaing. Logika percepatan bersamaan dengan pelepasan hasrat menyebabkan setiap orang seperti panik bersaing dan terus menerus memperbaharui dirinya setiap tahun, bulan atau musim melalui barang-barang yang baru. Barang-barang baru disini tidak memiliki keotentikan atau sama sekali baru, melainkan berasal dari proses daur ulang. Post-modernisme adalah kondisi ketika kebudayaan memalingkan mukanya ke masa lalu, lewat kecenderungan
pastiche yaitu kecenderungan
peminjaman unsur-unsur budaya masa lalu. Post-modernisme merayakan warisanwarisan budaya masa lalu dalam rangka mengangkat dan mengapresiasinya (Pilliang, 2010). Dalam estetika postmodernisme terlihat penampakan perversi dimana terjadi perusakan kategori-kategori dan kode-kode estetika yang ada. Ini juga terlihat dalam industri fesyen. Karena itu industri fesyen juga termasuk dalam proyek estetika perversi. Karya seni postmodern menurut Adorno (dalam Barthens, 2002) adalah produk industri kebudayaan yang bersifat mekanistis dan bersifat fasis karena merekayasa masyarakat konsumen. Menurut Adorno modus operandinya adalah daur ulang dan fesyen. Sementara itu Baudrillard mengatakan bahwa tidak ada lagi referensi bentuk dalam karya seni postmodern, karena semuanya telah dibuat. Semuanya telah telah didekonstruksi, dan yang tertinggal hanyalah kepingankepingan.
32
Selain pastiche, estetika postmodern juga memperlihatkan aspek parody atau imitasi dimana ada nuansa sindiran dalam bentuk plesetan atau lelucon bentuk atau struktur dari teks rujukan. Karya-karya
postmodern juga
menampilkan produk seni kitsch yang dianggap selera rendah, sampah artistik. Orisinalitas bukanlah menjadi masalah penting dalam Estetika Postmodern. Ini terlihat pada karya-karya champ. Pada karya champ ini terjadi penambahan atau pengayaan sebagai upaya pengindahan yang dianggap berlebihan. Estetika champ lebih tertarik pada permainan dari pada makna. Menurut Baudrillard, Estetika Posmo juga ditandai dengan kekacauan makna, dimana terjadi keterputusan pada rantai penandaan. Kesimpangsiuran makna ini disebut schizophrenia, dimana bentuk-bentuk dipermainkan dalam kerangka perubahan, perceraian, pergeseran, ketimbang keselesaian, kesatuan dan integritasnya. Teori
estetika
postmodern
dalam konteks penelitian ini dipakai untuk menganalisis bentuk komodifikasi songket Bali dalam perkembangan idustri kreatif fesyen di Denpasar.
2.3.4 Teori Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Seperti apa yang diungkap oleh Kusrianto (2007) bahwa semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema yang berarti tanda. Istilah semeiotikos berarti penafsiran tanda-tanda. Ilmu Semiotika ini awalnya berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa. Dalam pandangan ilmu semiotika seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomonena bahasa
(Piliang,
2010). Fenomena-fenomena sosial budaya seperti fesyen, makanan, seni desain, arsitektur, iklan, pariwisata, mobil dan dan barang konsumer lainnya dapat
33
dipahami sebagai model bahasa karena semuanya berhubungan dengan tandatanda. Semiotika digunakan untuk menganalisis motif-motif hias kain tenun songket dengan asumsi bahwa visualisasi motif-motif hias yang diciptakan dalam kain tenun songket Bali dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Untuk menganalisis elemen-elemen komunikasi yang terdapat dalam motif-motif hias tersebut digunakan pendekatan Semiotika, seperti yang dirumuskan oleh Saussure bahwa tanda sebagai kesatuan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, yaitu disebut dengan penanda (signifier), penanda adalah aspek material dari sebuah tanda. selanjutnya, bidang yang kedua dari tanda adalah apa yang disebut Saussure sebagai petanda (signified) adalah yang diwakili secara material oleh penanda (Cobley dan Jansz, 2002). Merujuk pada teori Pierce (Noth, 1995:45), berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda-tanda dalam gambar dan dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Diantaranya : ikon, indeks, dan simbol (Budiman, 2005:56). (1). Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya peta. (2). Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks api. (3). Simbol adalah sebuah tanda yakni hubungan antara signifier dan signified yang semata-mata masalah konvensi, kesepakatan, atau peraturan (Zoest, 1993). Dalam kebudayaan global terjadi apa yang disebut Piliang sebagai perang tanda (war of sign). Kebudayaan lokal harus berjuang dalam arena perang ini
34
untuk dapat bertahan. Salah satu strateginya adalah dengan mereintepretasikan kebudayaan lokal itu sendiri (Piliang, 2001). Dunia sekarang ini dapat digambarkan sebagai pasar tanda (semiotics market). Agar tidak kandas dan tenggelam, maka kebudayaan lokal harus ikut dalam perang semiotik (the semiotic battle front) maupun pasar semiotik. Pasar semiotik ini ditandai dengan budaya kontemporer atau disebut juga budaya global. Melalui upaya reintepretasi, budaya lokal akan memperbahurui dirinya sehingga mampu menempatkan dirinya dalam kebudayaan global. Teori semiotika dapat diterapkan dalam penelitian ini untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi songket Bali dalam perkembangan industri fesyen di Denpasar.
35
2.4 Model Penelitian Gambaran dan penjelasan penelitian ini disajikan dalam bentuk model dengan tujuan dapat dipakai sebagai pegangan sehingga memudahkan arah pelaksanaan penelitian terhadap komodifikasi kain tenun songket Bali.
Globalisasi
Eksternal Selera pasar Trend Fashion Pariwisata
Bentuk Komodifikasi
Kebudayaan Bali
Komodifikasi Songket Bali Dalam Perkembangan Industri Kreatif Fesyen
Internal
Faktor –Faktor Penyebab
Dampak dan Makna Komodifikasi
Tradisi Pakem
Keterangan : Input dan Output Kajian
: Fokus Kajian
:Faktor Yang Mempengaruhi
: Hubungan pengaruh langsung : Hubungan yang menggambarkan sifat dari umum ke khusus : Hubungan (pengaruh) timbal balik
36
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang sangat kaya dalam tradisi budayanya. Nilai-nilai kehidupan Bali merupakan refleksi antara adat istiadat Bali dan agama Hindu yang sudah dipeluk oleh orang Bali selama ratusan tahun lamanya. Sebagai masyarakat yang berjiwa artistik, falsafah Hindu dituangkan dalam karya-karya seni masyarakat, salah satunya adalah songket. Simbol-simbol yang bersifat sakral menjadi inspirasi untuk membuat pola ataupun motif ragam hias songket Bali. Globalisasi merupakan sebuah berkah dan sekaligus kutukan pada budaya lokal. Dampak sosial ekonomi dari globalisasi terlihat langsung dibidang pariwisata dan industri kreatif. Dua kegiatan ini mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Bali. Di sisi lain globalisasi beserta nilai-nilainya mengubah masyarakat Bali. Salah satunya adalah terjadinya profanisasi budaya yang dianggap sakral, dalam hal ini adalah komodifikasi kain tenun songket Bali. Di dalam era globalisasi terjadi berbagai perubahan di dalam pola konsumsi masyarakat (Pilliang, 2010). Selera masyarakat-pun berubah. Hubungan selera dan struktur masyarakat adalah hubungan timbal balik yang kompleks dan saling mempengaruhi. Selain itu ada faktor internal dati dalam diri pengrajin atau industri yang turut juga berubah. Ada unsur kreatifitas yang berkembang dalam diri pengrajin dan desainer fesyen. Perkembangan kretifitas ini tidak terlepas dari perubahan–perubahan lain yag terjadi dalam masyarakat, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media dan demokrasi.