BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan penelaahan yang dilakukan terhadap berbagai kepustakaan yang memiliki kesesuaian dengan masalah penelitian yang diajukan. Penelaahan kepustakaan ini berfungsi sebagai acuan dasar dalam penelitian. Dalam konteks penelitian ini, belum ada kepustakaan yang secara khusus mengkaji persoalan representasi spirit sufistik-profetik dalam karya seni. Begitu pula belum ada kajian khusus yang membahas praktik berkesenian kelompok Suarasama di Medan. Ada beberapa kepustakaan yang dianggap mempunyai signifikansi dan kesesuaian dengan penelitian ini. Beberapa rujukan kepustakaan tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Panji Suryo Nugroho dalam tesis berjudul “Membongkar Mitos Musik Pop Religi Dalam Mitologi Budaya Massa Islam di Indonesia: Semiotika Sampul Album Pop Religi Ungu” (2008) yang merupakan karya tulis ilmiah sebagai persyaratan memperoleh gelar Magister Studi Islam di Program Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang, secara mendalam mengkaji persoalan mitos yang berkembang di dalam budaya massa. Dalam kajian tersebut, Nugroho menganalisis secara kritis praktik pencitraan yang dilakukan industri budaya dan budaya massa. Pencitraan yang dimaksud di sini adalah konstruksi wacana “musik pop religi” oleh industri budaya yang dimanifestasikan lewat sampul album rekaman grup musik “Ungu”. Nugroho menyimpulkan bahwa pencitraan
15
16
semacam ini adalah mitos yang dibangun dari pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya diterima di masyarakat, suatu kode kultural, sebagai simbol-simbol Islam. Penelitian yang telah dilakukan Panji Suryo Nugroho ini dalam banyak hal membantu membangun pemahaman awal tentang praktik komodifikasi kesenian dan simbol-simbol, yang terlanjur telah dianggap simbol keagamaan oleh masyarakat, di dalam industri budaya. Penelitian yang telah dilakukan Nugroho memiliki kemiripan dengan penelitian ini terutama dalam hal tinjauan kritis terhadap industrialisasi musik populer. Tetapi yang membedakannya dengan penelitian ini terletak pada minat utama objek penelitian dan strategi untuk melakukan kritik industri budaya. Nugroho membedah produk industri budaya untuk membongkar kontradiksi dan motif utama dari produk tersebut, sebaliknya, penelitian ini justru memulai dari pengkajian terhadap kelompok Suarasama yang berpotensi sebagai kontradiskursus industri budaya. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan gagasan di balik karya seni yang pada substansinya bertolakbelakang dengan substansi dari industri budaya. Penelitian Pramono “Naskah-naskah Karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib: Praktik Ideologi Tarekat Syattariah di Koto Tangah, Padang” (2007) adalah sebuah karya ilmiah berbentuk tesis yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan studi di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali. Dalam karya tulis tersebut Pramono melakukan kajian ilmiah terhadap naskah-naskah yang ditulis oleh seorang ulama di Padang, yakni Imam Maulana
Abdul
Manaf
Amin
Al-Khatib.
Pramono
menganalisis
dan
17
mengungkapkan praktik ideologi di balik naskah-naskah tersebut. Naskah-naskah itu sendiri merupakan kumpulan teks hasil interpretasi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib terhadap ajaran agama Islam. Studi yang telah dilakukan Pramono punya kemiripan objek formal dengan penelitian ini, yakni teks yang merupakan hasil interpretasi dari ajaran agama. Dalam penelitian Pramono, naskah-naskah itu sendiri dikategorikan sebagai karya sastra, dan Pramono menggunakan teori sosiologi sastra sebagai alat analisisnya. Kemiripan lainnya adalah kedua penelitian ini membahas tentang penghayatan spiritual yang dimanifestasikan ke dalam karya seni, terlepas dari naskah Imam Maulana sama sekali bukan diniatkan sebagai karya seni oleh penulisnya, namun bila ditinjau dari bentuknya naskah-naskah tersebut secara estetis sangat sastrawi. Perbedaan penelitian Pramono dengan penelitian ini adalah objek dan subjek penelitian serta hasil penelitian yang ingin diperoleh. Pramono mengkaji naskah Imam Maulana di Koto Tangah, Padang, sedangkan penelitin ini mengkaji karya seni yang mencakup syair dan musik dari kelompok Suarasama di Medan. Dalam penelitiannya, Pramono mengkaji soal praktik ideologi dalam naskah tersebut khususnya dalam konteks Tarekat Syattariyah sedangkan penelitian ini membahas soal representasi spirit sufistik-profetik berikut aspek historis, gagasan, dan penghayatan spiritual yang melatarbelakangi karya seni tersebut. Selain itu, penelitian ini juga membahas industri budaya dan budaya populer dalam kaitannya dengan eksistensi karya seni kelompok Suarasama.
18
Buku karangan Yasraf Amir Piliang berjudul Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi (2011) membahas tentang realitas kegamaan di era kontemporer. Praktik keberagamaan membutuhkan unsur imajinasi dari para pemeluknya agar dapat menghayati makna ajaran-ajarannya. Ketika sebuah ajaran agama tidak dihayati secara bebas dan imajinatif maka penghayatan keagamaan terjebak ke dalam kedangkalan fenomena simbolik tanpa pencapaian kedalam spiritual secara terus menerus. Banalitas praktik spiritual keagamaan ini diterangkan Piliang dengan menggambarkan contoh-contoh praktik komodifikasi simbol agama, praktik sufisme, maupun ritual-ritual keagamaan di era kontemporer. Meski menganjurkan peran aktif imajinasi untuk menghayati ajaran keagamaan, Yasraf Amir Piliang (2011: 14) menyimpulkan bahwa imajinasi tersebut selayaknya mengambil bentuk “imajinasi terbatas”. “Imajinasi terbatas” adalah imajinasi yang bersifat dekonstruksionis pada teks atau simbol keagamaan tanpa harus terjebak pada keliaran imajinasi yang mengarah pada relativisme radikal. Di dalam sebuah ajaran agama ada hal-hal prinsipil yang mesti harus tetap dijaga universalitas pemaknaannya sehingga keberadaan agama itu sendiri tetap terjaga (Piliang, 2011: 14). Kesesuaian tulisan Piliang dengan penelitian ini terdapat pada pemikiran yang diajukan Piliang tentang perlunya “imajinasi terbatas” dalam keberagamaan. Dalam konteks kelompok Suarasama, peran imajinasi sebagaimana yang digambarkan Piliang mengambil peran penting dalam proses berkesenian. Kelompok Suarasama memberi ruang pada imajinasi dalam menghayati spiritualitas dan transendentalitas nilai-nilai Keilahian. Menurut Irwansyah
19
Harahap, penghayatan makna spiritual dan “kehadiran” Tuhan tidak dapat dicapai hanya dengan menjalankan ritual fisik belaka melainkan harus ada keterbukaan ruang batin, kepasrahan, serta imajinasi transendental yang luas dan mendalam (wawancara 11-9-2013). Dalam hal ini, tulisan Yasraf Amir Piliang ini sangat membantu untuk membentuk kerangka pikir awal, khususnya tentang peran imajinasi dalam penghayatan spiritualitas dan ketuhanan. Buku ini secara teoretis juga banyak memberi pemahaman perihal realitas komodifikasi agama dan kesenian beserta budaya populer dengan ideologi popularismenya. Syaiful Arif dalam Refilosofi Kebudayaan: Pergeseran Pascastruktural (2010) menawarkan sebuah pandangan yang bersumber dari refleksi kritisnya atas fenomena
kebudayaan
kontemporer.
Menurutnya,
kebudayaan
harus
dikembalikan pada aras filosofisnya, yaitu sebuah upaya untuk meletakkan pemahaman filosofis atas budaya. Pemahaman filosofis terhadap kebudayaan adalah kemampuan manusia dalam memaknai nilai-nilai kebudayaan sehingga mampu memberikan alternatif solutif bagi banyak persoalan kehidupan. Inilah yang disebut dengan “refilosofi kebudayaan” (Arif, 2010: 26-27). Meski begitu, “refilosofi kebudayaan” yang ditawarkan oleh Syaiful Arif (2010: 252) tak hendak terjebak pada idealisme Hegelian yang memiliki kelemahan cara pandang, yaitu tidak melihat hambatan dan kontradiksi struktural yang ada di realitas sehingga membuat refilosofi kebudayaan menjadi sebatas idealisme utopis. Refilosofi kebudayaan yang dimaksudkan di sini lebih meniscayakan kritisisme daripada idealisme an sich. Dalam arti, ketika kebudayaan dikembalikan pada aras filosofisnya, maka secara otomatis ia
20
melakukan kritik atas penyimpangan pemikiran dan praktik kebudayaan dari aras tersebut. Penelitian ini, secara filosofis, mengadopsi pandangan “refilosofi kebudayaan” yang diajukan oleh Syaiful Arif (2010). Hasil penelitian terhadap karya seni kelompok Suarasama diharapkan dapat memberikan satu model dari refilosofi kebudayaan, sebagaimana dinyatakan oleh Syaiful Arif (2010: 27) bahwa agama memang menyediakan ruang otentik kebudayaan, yakni spiritualitas. Justru itu, spiritualitas sebagai ruang otentik kebudayaan bisa didapatkan dari proses pemaknaan atas karya seni kelompok Suarasama. Hal ini bukan saja disebabkan oleh kesenian yang memang menjadi ranahnya spiritualitas, tapi juga dikarenakan karya seni kelompok Suarasama merupakan manifestasi atas penghayatan nilai-nilai sufistik yang transendental. Francis Mulhern mengajukan konsep “metabudaya” sebagai diskursus yang di dalamnya ‘budaya’ memperlihatkan generalitasnya sendiri (yaitu keseluruhan wilayah pemaknaan) dan kondisi-kondisi historis eksistensi. Dorongan tetap metabudaya adalah mengganti politik sebagai suatu bentuk otoritas sosial dalam nama otoritas yang benar dan betul-betul umum, otoritas itu adalah ‘budaya’ (Mulhern, 2010: 228). Menurut Mulhern (2010: 218), “metabudaya” merupakan sebuah resolusi yang terbentuk atas respon terhadap ketimpangan yang terjadi antara budaya dan politik di wilayah otoritas sosial. Politik tidak bisa menghasilkan pengetahuan moral tentang budaya, dan karenanya politik sebagai bentuk sosial memang rusak. Berdasarkan hal itu, maka politik itu harus diatur oleh suatu politik pikiran yang
21
superordinat. Dalam hal ini, Mulhern berpendapat bahwa otoritas yang mampu berperan superordinat itu adalah budaya. Mulhern (2010: 220, 224) berpendapat bahwa, “Budaya bisa mengabsolutkan nilai apapun (seperti halnya metabudaya, budaya itu bisa mengabsolutkan nilai dirinya sendiri).......Budaya memang segalanya dalam pengertian bahwa memang tidak ada kehidupan sosial yang berada di luar formasi-formasi pemaknaan...”. Dalam penelitian ini, paradigma “metabudaya” dipergunakan untuk menempatkan budaya pada sisi otentisitas yang independen, dalam arti, budaya di sini “berbicara atas namanya sendiri”. Wacana kebudayaan yang berbicara tentang dirinya sendiri, suatu wacana tempat kebudayaan menyampaikan generalitas dan kondisi-kondisi eksistensinya (Ajidarma, 2011: 67). Karya seni Suarasama sebagai wujud kebudayaan terbebas dari faktor politik yang berpotensi mendegradasinya dari ranah kebudayaan itu sendiri. Karya seni kelompok Suarasama adalah sebuah “metabudaya” yang mampu merumuskan resolusi atas ketimpangan kebudayaan. Karya seni kelompok Suarasama sebagai diskursus metabudaya akan berada pada posisi “subjek yang memandang” ketimbang “objek yang dipandang” oleh realitas sosial budaya kontemporer. Diskursus metabudaya ini diperlukan karena budaya sedang mengalami ancaman, terutama ancaman dari praktik industri budaya, sehingga budaya itu harus diperkuat lagi, atau setidaknya potensinya yang dulu dikembalikan lagi. Sejauh ini belum pernah ada penelitian yang secara khusus terhadap kelompok Suarasama di Medan sehingga penelitian ini menjadi cukup penting dan relevan untuk segera dilakukan.
22
2.2 Konsep Konsep adalah pengertian-pengertian dasar dari variabel yang akan diamati dalam penelitian ini. Selain itu, pengertian-pengertian dasar ini juga akan berpengaruh langsung terhadap penyusunan teori. Dalam penelitian ini, ada terdapat beberapa konsep sekaligus variabel utama penelitian, yaitu: representasi dan spirit sufistik-profetik.
2.2.1 Representasi Menurut Graeme Burton (2008: 133), representasi menyangkut perihal pembuatan makna. Representasi tidak hanya tentang penampilan di permukaan, tapi juga tentang makna-makna yang dikaitkan dengan penampilan yang dikonstruksikan tersebut. Yasraf Amir Piliang (2011: 26) menjelaskan representasi adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2011: 20). Secara lebih kontekstual Cultural Studies, Chris Barker (2011: 9) menjelaskan bahwa: “......cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama Cultural Studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi representasi........Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah,
23
dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu”.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa representasi adalah tindakan atau perbuatan menghadirkan dan mengonstruksi makna kultural dan konsep tertentu ke dalam wujud material (indrawi) di mana materialitas tersebut merupakan sistem tanda (simbol) yang digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.
2.2.2 Spirit Sufistik-Profetik Spirit
sufistik-profetik
adalah
dimensi
kebatinan
manusia
yang
mengandung nilai sufistik dan nilai kenabian serta mengambil bentuk ke dalam pandangan hidup yang meliputi kemampuan intelektual, mental, estetik, dan religius di mana nilai-nilai tersebut berorientasi kepada tindakan-tindakan transformatif. Satuan konsep “spirit sufistik-profetik” merupakan gabungan dari kata spirit, sufistik, dan profetik. Di bawah ini akan dijelaskan secara satu-persatu ketiga konsep tersebut.
2.2.2.1 Spirit Spiritualitas sebenarnya sangatlah dekat dengan hidup keseharian manusia. Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral. Antusiasme itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang membentuk
24
dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun kehidupannya. Melalui bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk bermanifestasi dalam kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi). Loren Bagus dalam Kamus Filsafat (2005: 1034) menerangkan bahwa “spiritus” mengandung beberapa pengertian yaitu: (1) Immaterial, tidak jasmani, terdiri dari roh; (2) Mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran; (3) Mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, kesudian; dan, (4) Mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Dalam Encyclopedia of Science and Religion: volume 2 (2003: 826), definisi spirit dijelaskan sebagai berikut: Spirit is a complicated, nebulous term extending from the sacred and holy to the depths of the human. It captures human consciousness of meanings and purposes extending beyond individual lives, and directs people to the boundaries of self. Spirit may also refer to the supernatural or immaterial, the divine or sacred, an animating principle, a property of the person, mind or consciousness, the process of emergence or coming into being, an orientation to ultimate mystery, and the ethical or transvormative.
Definisi di atas dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Spirit adalah sebuah istilah yang rumit, samar-samar membentang dari sakral dan suci pada aspek terdalam dari manusia. Spirit mencakup kesadaran manusia tentang makna dan tujuan yang meluaskan melampaui kehidupan individu, dan mengarahkan orang untuk memahami batas-batas diri. Spirit juga bisa merujuk pada supranatural atau yang immaterial, keilahian atau sakralitas, sebuah prinsip penyemangat, sebuah kelengkapan pada manusia, pikiran atau kesadaran, sebuah proses pemunculan atau kemenjadi-an, sebuah tujuan pada pencapaian misteri terbesar hidup, dan tingkah laku beradab dan pencerahan.
25
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa “spirit” adalah dimensi kebatinan manusia yang mengambil bentuk ke dalam pandangan hidup yang meliputi kemampuan intelektual, mental, estetik, dan religius dimana nilai-nilai tersebut diperoleh dan diwujudkan pada praktik hidup keseharian baik imanen dan profan atau transenden dan sakral.
2.2.2.2 Sufistik Sufistik berakar dari kata dasar “sufi”. Secara etimologis, kata “sufi” ini berasal dari bahasa Arab, Thasawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya. Ada yang mengatakan dari kata “Shuf” (bulu domba), “Shaf” (barisan), “Shafa” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (teras Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri sufi (Syukur, 2004: 4). Sufi adalah orang yang mengamalkan ajaran sufisme atau tasawuf. Kunci sufisme adalah kesadaran hati, kebebasan dan keriangan jiwa dengan sikap mengakui batas-batas lahiriyah (Haeri, 2000: x). Lebih lanjut, Syaikh Fadhlalla Haeri (2000: 35-36) menerangkan bahwa: Dalam seluruh karya-karya utama tentang Sufi di atas, terdapat ajaran yang seimbang antara kode perbuatan sebelah luar atau hukum Islam dengan realitas eksistensi sebelah dalam............Pengetahuan tentang sufisme senantiasa diarahkan kepada mendekati atau bahkan mencontoh model kenabian dengan maksud hidup manusia tercerahkan dan ditransformasikan oleh cahaya nabi tersebut, dalam format yang dapat dipahami secara jelas dalam kehidupan nyata oleh para pengikut yang tulus..........memulai pencerahan hati .....tentang tujuan hidup manusia di
26
atas bumi serta nasib akhirnya.....lantas dilanjutkan dengan pencerahan melalui pengarahan visi,.....melalui pengalaman personal dan sampai kepada hasil final yakni sampai kepada pencerahan hati melalui pengalaman terhadap realitas, yakni pengetahuan terhadap kediriannya sendiri, dan Sang Khaliq yang terus digiatkan. Bila ditinjau dari aspek sejarahnya, lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, politik, moral dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi, dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin (Syukur, 2004: 13). Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan pendapat bahwa sufistik adalah hal atau benda yang mengandung nilai-nilai kesufian di mana nilainilai tersebut senafas dengan ajaran-ajaran dan praktik spiritual yang dijalankan oleh para sufi itu.
2.2.2.3 Profetik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat (2008: 1104) menggolongkan kata “profetik” ke dalam kata sifat dan menjelaskannya sebagai “berkenaan dengan kenabian atau ramalan”. Penjelasan KBBI tentang kata “profetik” terutama pada kata “kenabian” memiliki kedekatan dengan praktik sufisme sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
27
Untuk lebih mengoperasionalkan konsep “profetik” di sini, maka penulis mencoba mengutip beberapa pendapat. Engineer (dalam Hilmy, 2008: 248-250) berpendapat bahwa: Pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosial kultural, yaitu penekanan semangat egalitarianisme di tengah struktur masyarakat Arab yang dikenal feodal dan dipenuhi fenomena penindasan. Kedua, keadilan ekonomi, yaitu sejak diturunkan al-Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ketiga, sikap terhadap agama lain. Keterbukaan, toleransi, dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam.
Masdar Hilmy (2008: 248) mengemukakan bahwa: “Misi profetik Nabi adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan”.
Kuntowijoyo (1993: 288) pernah menyatakan pendapat sebagaimana berikut ini: “........saya pernah mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ada terdapat kata kunci dalam kaitannya dengan semangat profetik, yaitu “perubahan” atau “transformasi”. Hal ini dapat dimaknai bahwa profetisme atau semangat profetik mengandung unsur semangat pembebasan dan perubahan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Nabi.
28
Dari sini bisa didapati gambaran bahwa di dalam ajaran dan praktik sufisme terdapat nilai-nilai profetik atau kenabian. Alur logisnya dapat dilihat pada minat sufisme meneladani Nabi Muhammad di samping prinsip-prinsip pembebasan yang dianut sufisme itu sendiri. Berdasarkan pembahasan konsep di atas, maka judul penelitian “Representasi Spirit Sufistik-Profetik dalam Syair dan Musik Kelompok Suarasama Medan” dapat didefinisikan sebagai konstruksi makna kultural yang mengandung nilai-nilai sufistik-profetik yang terepresentasikan di dalam syair dan musik karya kelompok Suarasama di Medan.
2.3 Landasan Teori Dalam operasionalnya, masing-masing teori yang ada tidak secara kaku dan formal hanya membahas satu permasalahan saja. Pada prinsipnya, dalam penelitian ini, teori yang ada bersifat eklektik.
2.3.1 Teori Intertekstualitas Dalam Writing and Difference, Derrida menjelaskan kata “teks” berakar dari kata Latin textus, yang berarti “kain” (tissu), dan kata texere, yang berarti rajutan (tisser). Dengan demikian, pada prinsipnya sebuah teks selalu bersifat intertekstual dan berjalin-kelindan dengan teks-teks lain yang tidak pernah selesai berproses, ad infinitum. Oleh sebab itu, teks semacam ini memiliki struktur, yang diistilahkan oleh Derrida sebagai structure of a becoming, yaitu struktur yang
29
mewadahi kemungkinan-kemungkinan baru dan membuka diri bagi artikulasi pemaknaan yang terbuka dan tak terbatas (Al-Fayyadl, 2011: 68-69). Bagi Kristeva, sebuah teks (dalam pengertiannya yang umum) bukanlah sebuah fenomena kebudayaan yang berdiri sendiri dan bersifat otonom, dalam pengertian, bahwa teks tersebut, eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteriakriteria yang internal pada dirinya sendiri, tanpa dilatarbelakangi oleh sesuatu yang eksternal– melainkan sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan– dari teks-teks yang mendahuluinya (Piliang, 2003: 122-123). Istilah intertekstualitas (intertextuality) diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang pemikir postruktural Prancis, dalam pembahasannya mengenai pandangan Mikhail Bakhtin (1895-1975) tentang “dialogisme” yakni sebuah istilah yang menekankan adanya hubungan antara setiap tuturan dengan tuturan lain. Menurut Bakhtin, tidak ada ucapan atau tuturan (utterence) tanpa hubungan dengan tuturan yang lain. Intertekstual termasuk dalam wacana (discourse) dan bukan dalam bahasa, karena itu ia termasuk ke dalam lingkungan kompetensi translinguistik dan bukan linguistik (Todorov, 2012: 99-100). Kristeva membawa istilah intertekstualitas sebagai satu konsep kunci dari paham postrukturalisme, yang sekaligus menantang model berpikir struktur, sinkronik, dan bersistem dari paham strukturalis. Ia melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks. Sebuah teks atau karya seni dibuat dalam ruang dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, mesti ada relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks dan karya lainnya dalam ruang, dan antara teks atau
30
karya seni dengan teks dan karya seni sebelumnya di dalam garis waktu (Piliang, 2003: 121). Dalam
konteks
penelitian
ini,
intertekstualitas
digunakan
untuk
menafsirkan karya seni Suarasama. Syair dan musik karya Suarasama sebagai teks akan diuraikan pemaknaannya dengan cara menghadirkan teks-teks lain yang dianggap relevan (teks keagamaan, teks sufisme, teks kesenian, teks industri budaya, teks sejarah, dll.). Pola ini sejalan dengan pandangan Kristeva, yaitu sebagai satu proses diskursif, intertekstualitas sebagai “pelintasan dari satu sistem tanda (sign system) ke sistem tanda lainnya” (Piliang, 2003: 123). Penggunaan intertekstualitas dalam penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh karya seni kelompok Suarasama yang baik secara material (bunyi musik, diksi syair, instrumen musik) dan immaterial (gagasan/ide, spirit sufistik-profetik, pemaknaan) lebih bersumber dari hal-hal yang telah ada sebelumnya. Konsep intertekstualitas oleh Kristeva, memang tampak sejajar dengan konsep antropologis, bricolage yang diperkenalkan Levi-Strauss, yaitu satu strategi intelektual atau berproses berkarya dengan “.....membangun sesuatu dari apa-apa (material) yang ada di tangan” (Piliang, 2003: 124).
2.3.2 Teori Praktik Teori ini merupakan khas dari seorang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat.
31
Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Di dalam ranah, ‘pertarungan’ sosial selalu terjadi. Secara ringkas, Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Takwin dalam Harker dkk., 2005: xx-xxi). Menurut Bourdieu (1979: vii), habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal (Harker dkk., 2009: 13). Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Pada satu sisi, habitus “menstrukturkan struktur”; artinya, habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Pada sisi lainnya lagi, dia adalah “struktur yang terstrukturkan”; artinya, habitus adalah struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial. Bourdieu menggambarkan habitus sebagai “dialektika internalisasi ekternalitas dan eksternalisasi internalitas” (Ritzer dan Goodman, 2011: 581). Dalam konteks penelitian ini, habitus yang diteliti adalah habitus Irwansyah Harahap sebagai pendiri, penyair, sekaligus komposer utama kelompok Suarasama. Habitus di sini terbentuk dari sejarah personal Irwansyah Harahap yang merupakan sebuah proses dialektis antara struktur objektif (keluarga,
32
institusi pendidikan, realitas sosial, dll.) yang mempengaruhi dengan subjektifitas (gagasan, kesadaran, ketrampilan, dll.) yang dipengaruhi dan meresponnya. Modal bagi Bourdieu (1986a), mempunyai definisi yang sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut ‘yang tak tersentuh’, namun memiliki signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Modal budaya dapat mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa (Harker dkk., 2009: 16). Menurut Bourdieu, penempatan para pelaku dalam pelbagai posisi sosial ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki, dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal. Bourdieu membagi modal ke dalam empat bagian: (1) modal ekonomi; (2) modal budaya (kultural); (3) modal sosial; dan, (4) modal simbolik (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 12). Modal di sini lebih kepada aspek personalitas (subjektifitas) dari Irwansyah Harahap yang meliputi kemampuan ekonomi yang dimiliki, pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki (kultural), pengakuan publik terhadap eksistensinya (sosial), serta akumulasi prestise dalam berkesenian dan legalitas akademik yang telah diperoleh (simbolik). Field (ranah atau arena) adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan (Ritzer dan Goodman, 2011: 583). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang
33
berkorespondensi dengan sistem relasi objekti yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni manifesto artistik, deklarasi politik, dan sebagainya (Mahar dkk., 2009: 10). Bourdieu mengemukakan tiga tahap analisi terhadap arena: (1) merefleksikan keutamaan arena kekuasaan, menelusuri hubungan arena spesifik tertentu dengan arena politik; (2) memetakan struktur objektif hubungan antarposisi di dalam arena tersebut; dan, (3) berusaha menentukan sifat habitus agen yang menduduki berbagai jenis posisi di dalam arena tersebut (Ritzer dan Goodman, 2011: 583). Bourdieu membuat tipologi arena sosial sebagai arena pertarungan wacana, antara wacana dominan atau doxa dengan wacana-wacana lain yang ingin menggugatnya. Wacana dominan (dalam konteks penelitian ini, wacana industri budaya) akan terus berusaha untuk mempertahankan dominasinya, sedangkan wacana marginal (wacana spirit sufistik-profetik) juga akan terus berusaha untuk bereksistensi. Wacana marginal akan berupaya untuk tetap bisa bertahan berada di dalam ranah sambil terus meningkatkan modal. Petarungan antara heterodoxa (wacana yang bertentangan dengan doxa) dengan orthodoxa (wacana yang mempertahankan doxa) terus menerus berlangsung (Basis, No.11-12 Tahun ke-52 Desember 2003: 35-36).
2.3.3 Teori Representasi Stuart Hall (dalam Burton, 2008: 136-137) mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi, yaitu: (1) reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana ‘di luar sana’
34
dalam masyarakat sosial; (2) intensional: yang menaruh perhatian terhadap pandangan kreator/produser representasi tersebut; dan, (3) konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual. Pendekatan yang ditawarkan oleh Stuart Hall di atas sesuai dengan salah satu dari tujuan utama semiotika yaitu: mempelajari maksud dari pembuat bentuk (latar belakang produsen tanda/seniman), konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat, dan tujuan pembuatannya (ideologis, gagasan, dll.) (Danesi, 2011: 20). Semiotika sebagaimana dijelaskan oleh Saussure dalam Course in General Linguistics, adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign) sebagai bagian dari kehidupan sosial. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, semiotika mempelajari antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya (Piliang, 2003: 47). Tanda sendiri merupakan segala sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk -ilmu- pengetahuan yang dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua manusia disebut representasi (Danesi, 2011: 6). Menurut Charles S. Pierce, semiosis mengikuti tiga tahap, yaitu representamen (“sesuatu”) kemudian objek (“sesuatu di dalam kognisi manusia”) lalu interpretan (“proses penafsiran”). Ia mengemukakan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas seperti juga halnya proses
35
dekonstruksi Derrida (Hoed, 2011: 20). Menurut Pierce, representamen adalah bentuk fisik aktual dari representasi, objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh representamen, sedangkan interpretan adalah makna-makna yang dapat diekstraksi
dari
representasi.
Keseluruhan
proses
menentukan
makna
representamen disebut dengan interpretasi (Danesi, 2011: 20). Untuk menafsirkan dan memahami makna di balik teks Suarasama, selain menggunakan model pembacaan intertekstual yang mengedepankan kemampuan tafsir individual dan relasi dengan teks (makna lainnya), makna-makna yang dirujuk dari konvensi sosio-kultural (arbriter) juga tak dapat dikesampingkan. Proses pemaknaan yang merujuk pada konvensi sosial dilakukan karena keberadaan teks (karya dan praktik kesenian) Suarasama tidak terlepas dari konteks sosial-budaya. Selain itu, medium yang digunakan oleh Suarasama dalam berkesenian adalah sistem tanda, verbal (bahasa) dan nonverbal (musik), merupakan hasil dari konvensi sosial yang banyak di antaranya berakar dari berbagai sumber kebudayaan dunia. Apabila merujuk pada konsep “tanda termotivasi” dari Roman Jakobson (Danesi, 2011: 12), maka Suarasama melakukan proses penandaan melalui karya seni (tanda) untuk merepresentasikan dunia melalui simulasi. Namun begitu, Gombrich (Eaton, 2010: 77-79) berpendapat bahwa seni sebagai sebuah representasi juga memiliki aspek nonarbriter atau makna nonkonvensional. Menurutnya, seni adalah sebuah bahasa yang dimetaforakan olehnya menjadi “bahasa seni” karena objek dalam seni dapat digunakan untuk menunjuk pada hal yang melampaui objek tersebut. Ciri kebahasaan lain dalam
36
seni adalah seniman tidak melakukan pekerjaannya dengan “mata polos” tetapi menggunakan skemata atau kosakata yang telah dipunyainya sejak lama. Gombrich juga menolak teori representasi kemiripan untuk mendukung teori substitusi, di mana hal yang menggantikan dan mengartikan sesuatu bergantung pada kebutuhan dan tujuan kreator representasi. Dalam hal ini, Gombrich berpandangan bahwa psikologi manusia (si seniman) berperan penting dalam simbol (objek seni) yang digunakan. Berkenaan dengan perepresentasian fungsi komunikasi, sosial dan politik seni, dapat pula dioperasionalkan untuk mengamati tiga posisi wacana seni yang dimungkinkan
terdapat
dalam
karya
dan
praktik
kesenian
Suarasama,
sebagaimana yang ditawarkan oleh Yasraf Amir Piliang (2011: 402): (1) seni sebagai representasi makna-makna sosial dan ideologis; (2) seni yang menolak konvensi dan makna sosial, mitos dan ideologi seni, dan menjanjikan penjelajahan menuju pengalaman kebaruan dan transformasi abadi; dan (3) seni yang masuk ke dalam konvensi dan makna-makna sosial dan ideologis, namun menjadikannya sebagai ajang permainan, subversi, dekonstruksi, dan ironi.
37
2.4 Model Penelitian Praktik Kebudayaan
Kebudayaan Adaptif
-
Kebudayaan Ideasional
Evolusionisme-Material Homo Economicus Struktural-Fungsional Industri Budaya
-
Simbolik-Interpretivisme Homo Symbolicum Struktural-Ideasional Formalisme/Stagnasi Makna
Representasi Spirit Sufistik-Profetik dalam Syair dan Musik Kelompok Suarasama Medan
Bentuk
Proses
Hasil Penelitian
Rekomendasi Keterangan : Garis Garis
= hubungan satu arah = hubungan dua arah Gambar 2.1 Model Penelitian
Makna