BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
2.1
Kajian Pustaka W.R. Sihombing (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Tiba-Tiba Malam
Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra” mengkaji tentang interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam kajiannya ini, Sihombing lebih menitikberatkan pada sosiologi karya, yakni meneliti interaksi antartokoh dalam novel tersebut. Jenisjenis interaksi yang ditemukan Sihombing dalam novel Tiba-Tiba Malam adalah kooperasi, akomodasi, dan konflik (pertikaian). Masalah kooperasi terdapat dalam tradisi nguopin, yakni tradisi gotong royong yang dilakukan para tokoh yang berlatar belakang sosiokultural Bali, di berbagai tempat dan kesempatan, misalnya, di sawah (menanam, menyiangi, atau memanen padi), di rumah (memperbaiki atap atau menggali sumur), atau dalam perhelatan ritual (pernikahan, keagamaan, atau kematian). Masalah akomodasi ditunjukkan melalui upaya damai yang dilakukan kepala desa untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara keluarga tokoh Subali dan penduduk desa. Yang terakhir, masalah konflik ditemukan dalam pertikaian antartokoh, yaitu antara tokoh Subali dan tokoh Utari. Kajian yang dilakukan Sihombing sangat membantu penulis dalam menganalisis interaksi sosial dalam trilogi novel Darah Emas karena persamaan unsur yang diteliti, yaitu
interaksi
sosial
antartokoh.
Perbedaannya,
Sihombing
menggabungkan
penganalisisan interaksi yang berorientasi positif dan negatif sekaligus, sedangkan penulis memilah interaksi yang bersifat asosiatif dan disosiatif ke dalam subbab yang 12 berbeda. Tujuannya adalah untuk menganalisis kedua jenis interaksi secara lebih detail.
Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan interaksi, setiap individu atau kelompok akan memiliki motifmotif yang melatarbelakangi terjadinya interaksi itu. Masalah ini tertuang dalam kajian Dedi Pramono (2007) yang berjudul “Menelaah Pola Interaksi Sosial dalam Sastra Melayu Tionghoa: Pembauran dan Pembentukan Budaya Indonesia”. Novel yang menjadi kajian Pramono adalah novel-novel Melayu Tionghoa yang diterbitkan pada masa kolonial, yakni novel Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang (1903) dan Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay (1927). Interaksi antaretnis yang ditemukan Pramono dalam kedua novel itu adalah interaksi antara etnis Tionghoa dan Tionghoa, Tionghoa dan Belanda, Tionghoa dan pribumi, serta Tionghoa dan Arab. Dalam
kajiannya,
Pramono
lebih
menitikberatkan
pada
motif-motif
yang
melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial antaretnis tersebut. Motif-motif yang ditemukannya adalah motif ekonomis, biologis, dan psikologis. Motif ekonomis dan biologis terdapat pada novel Lo Fen Koei yang diwujudkan melalui tokoh Lo Fen Koei, seorang pakter opium yang mengandalkan kekayaannya dalam berinteraksi, termasuk memuaskan nafsu birahinya; sedangkan motif psikologis tercermin melalui tokoh Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan, dalam novel Bunga Roos dari Cikembang. Tokoh ini selalu mengandalkan hati nuraninya dalam berinteraksi, tanpa membedakan etnis dan kelas sosial. Kajian Pramono ini sangat mendukung penelitian penulis dalam melihat motifmotif yang melatarbelakangi interaksi antartokoh dalam trilogi DE. Motif-motif dalam novel berlatar belakang penjajahan kolonial Belanda yang dikaji Pramono tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan trilogi DE yang berlatar belakang tahun 1987—2000-an.
Universitas Sumatera Utara
Masalah interaksi juga dapat ditemukan dalam penelitian Sainul Hermawan yang berjudul ”Novel Ca-bau-kan dan Ambivalensi Wacana Pembelaan Tionghoa”. Penelitian ini dilakukan Hermawan pada tahun 2005 dan ditemukan dalam bukunya yang berjudul Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel (2009). Dalam penelitiannya, Hermawan mendapati bahwa pembauran orang Tionghoa dalam novel Ca-bau-kan tidak bersifat eksklusif dan monolitik. Ketidakeksklusifan itu ditunjukkan melalui kerja sama (kooperasi) antara tokoh Tionghoa dan non-Tionghoa dalam bidang ekonomi, seni, dan perjuangan melawan penjajahan. Tokoh Tionghoa juga tidak lagi menggunakan bahasa Cina
dalam
berkomunikasi,
melainkan
bahasa
campuran
sehingga
adanya
kecenderungan yang menunggalkan Tionghoa dalam wacana publik –dalam novel initerbantahkan. Selain kooperasi, Hermawan juga mendapati adanya kompetisi antartokoh dalam Ca-bau-kan, seperti yang diperlihatkan tokoh Tan Peng Liang Semarang dan pesaing bisnisnya, Thio Boen Hiap. Kajian Hermawan turut membantu penulis dalam melihat kerja sama dan persaingan –sebagai bagian dari bentuk interaksi sosial- yang dilakukan oleh orang Tionghoa. Bentuk interaksi itu bukan hanya dilakukan dengan sesama etnis Tionghoa, melainkan juga dengan etnis yang berbeda.
2.2
Konsep
2.2.1
Interaksi Sosial Interaksi sosial adalah proses sosial yang terjadi sebagai pengaruh timbal balik
antara dua belah pihak, yakni antara individu dan individu, individu dan kelompok, atau kelompok dan kelompok (Abdulsyani, 2007: 151; Suyanto dan Septi, 2007: 16).
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh timbal balik itu, menurut Roucek dan Roland (1963: 41), dilakukan melalui kontak sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak sosial secara langsung terjadi melalui organisme fisik, sedangkan tidak langsung terjadi melalui tulisan atau komunikasi jarak jauh. Kontak sosial tidak akan terjadi apabila tidak ada komunikasi sosial, yakni persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu (Abdulsyani, 2007: 155) karena dalam berkomunikasi, banyak sekali penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang saling berhubungan. Oleh karena itu, kontak dan komunikasi sosial merupakan syarat terjadinya interaksi. Interaksi sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok bertujuan untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Hal ini disebutkan Goldmann (1981: 40) sebagai human facts ’fakta kemanusiaan’, yakni fakta bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang bukan hanya saling bertentangan, melainkan juga saling mengisi. Sebagai suatu proses sosial, interaksi sosial merupakan masalah yang pokok karena merupakan dasar dari segala proses sosial. Interaksi sosial dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan, sebaliknya interaksi sosial disosiatif mengindikasikan adanya pertentangan. Norma (2007: 57) menyebutkan bahwa interaksi sosial bersifat asosiatif dapat terdiri atas empat bentuk, yakni kooperasi, akomodasi, asimilasi, dan amalgamasi. Kooperasi merupakan kerja sama atau usaha bersama yang dilakukan antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Roucek dan Roland (1963: 41)
Universitas Sumatera Utara
mengatakan ”cooperation is fostered by situations in which individuals stand to benefit more by pooling their efforts than by working individually” ’kooperasi lahir dengan adanya keadaan di mana individu dapat memperoleh manfaat optimal dengan bergotong royong daripada bekerja sendiri’. Akomodasi merupakan persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa (Roucek dan Roland, 1963: 41). Akomodasi bersifat temporer yang bertujuan untuk meredakan pertentangan yang terjadi antara kedua belah pihak. Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan antara dua pihak yang memiliki kebudayaan yang berbeda (Roucek dan Roland, 1963: 44). Proses peleburan ini dapat menimbulkan kebudayaan yang baru. Sementara itu, amalgamasi, menurut Norma (2007: 57), merupakan proses peleburan kebudayaan, dari suatu kebudayaan tertentu yang menerima dan mengolah unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri. Selain asosiatif, interaksi sosial juga dapat berbentuk disosiatif. Bentuk interaksi ini dapat terdiri atas tiga bentuk, yakni kompetisi (persaingan), konflik, dan kontravensi (Norma, 2007: 65). Kompetisi adalah usaha seseorang untuk memperebutkan tujuan tertentu yang dilakukan dalam keadaan damai (kondusif). Roucek dan Roland (1963: 42) mengatakan bahwa tujuan yang diperebutkan itu dapat berupa materi dan nonmateri. Berbeda dengan kompetisi, konflik merupakan persaingan yang bersifat ekstrem dan dibarengi dengan kekerasan. Kekerasan yang terjadi, menurut Roucek dan Roland
Universitas Sumatera Utara
(1963: 42), ”is the attempt to eliminate a rival from the competitive process” ’merupakan suatu percobaan untuk menyingkirkan lawan dalam proses persaingan’. Interaksi sosial disosiatif lainnya adalah kontravensi, yakni proses untuk menghalangi, merintangi, dan menggagalkan pihak lain dalam mencapai tujuan (Norma, 2007: 65). Interaksi sosial dalam karya sastra –sebagai pengejawantahan dunia dalam imajinasi- akan sama dengan interaksi sosial pada hubungan kemanusiaan dalam kehidupan nyata, yakni adanya motif yang muncul ketika manusia berinteraksi. Dalam karya sastra, motif-motif tersebut akan tergambar melalui interaksi yang dilakukan para tokohnya. Menurut Pramono (dalam www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com), interaksi sosial dalam kehidupan manusia, bersifat natural (alamiah) sehingga motif yang terjadi dapat mencakup motif psikologis, ekonomis, biologis, status sosial, dan agamis.
2.2.2
Novel Novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuasi
di Inggris pada abad 18 (Sumardjo, 1999: 12). Di Indonesia, bentuk novel mulai diperkenalkan pada tahun 1880-an melalui terjemahan novel-novel Tionghoa (Salmon, 2010: 149). Berdasarkan data-data yang diperoleh Salmon (2010: 151), novel pertama yang diterbitkan ketika itu adalah novel Melayu-Tionghoa berjudul Thjit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) karangan penulis peranakan, Lie Kim Hok, terbit tahun 1886. Novel ini merupakan campuran dari dua buah novel Eropa yang dijadikan Lie sebagai sumber ilham pembuatan novelnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Nurgiyantoro (1995: 90), novel merupakan karya fiksi yang menceritakan tentang kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya serta mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan lebih kompleks. Novel mengandung nilai-nilai yang otentik, yakni nilai-nilai yang mengimplisitkan totalitas kehidupan (Faruk, 1994: 30). Novel juga lahir dan berkembang dalam dinamika sosiokultural yang khas karena mengejawantahkan keheterogenitasan manusia (Mahayana, 2007: 1). Kekhasan tersebut menjadikan novel sebagai produk yang unikum dan bernas sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pola berpikir, sikap hidup, dan wawasan estetik. Pada umumnya, novel terdiri atas sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda tetapi saling berhubungan. Hubungan antarbab tersebut berupa hubungan kausalitas dan kronologis karena bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab yang lain (Nurgiyantoro, 1995: 14). Menurut Stanton (2007: 91), setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode yang terdiri pula atas berbagai macam topik. Oleh karena itu, jika hanya membaca satu bab novel secara acak, pembaca tidak akan mendapatkan cerita yang utuh. Sebagai ragam fiksi naratif, novel lebih populer di kalangan masyarakat karena berisi gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis (Clara Reeve dalam Wellek dan Austin, 1993: 282). Kepopuleran tersebut ditandai dengan beberapa novel yang mengalami cetak ulang karena tingginya permintaan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh Sumardjo (1999: 11), beberapa novel yang mengalami cetak ulang, antara lain, Salah Asuhan, karya Abdul Muis, selama 50 tahun telah dicetak ulang 11 kali, Siti Nurbaya, karya Marah Rusli,
Universitas Sumatera Utara
selama 57 tahun dicetak ulang 12 kali, atau Mawar Jingga karya Ike Soepomo, dalam setahun dicetak ulang 5 kali. Beberapa tahun terakhir, pengarang lebih menyukai menulis novel-novel yang berseri tetapi masih saling berhubungan, terutama dalam pengembangan tema. Muncullah
novel-novel
berbentuk
dwilogi,
trilogi,
bahkan
tetralogi,
yang
mengindikasikan tingginya produktivitas pengarang dalam menulis, sekaligus keterlibatan penerbit, sebagai trik untuk menarik minat pembaca terhadap novel tersebut sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan mereka. Sebenarnya novel-novel jenis ini, terutama trilogi, sudah ada di Indonesia sejak tahun 1920-an, misalnya, novel trilogi yang ditulis oleh Tan Kim Sen, penulis keturunan Tionghoa (Salmon, 2010: 376). Akan tetapi, trilogi yang ditulis pada tahun 20-an jauh dari kesan komersial karena masih tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintah kolonial.
2.2.3
Representasi Kata representasi berasal dari bahasa Yunani, repraesentatio, yang berarti
mendahului atau sesuatu yang mendahului objek lain. Stuart Hall (dalam www.lontar.ui.ac.id) mengatakan bahwa representasi
adalah bagian dari proses
produksi dan pertukaran makna yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda-tanda, dan imaji terhadap hal-hal yang diwakilkan. Dengan demikian, representasi dapat diartikan sebagai perwakilan, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain sebagai pengganti objek faktual (Ratna, 2008: 123). Makna representasi seperti ini, menurut Ratna, melekat dalam beberapa bentuk ciptaan manusia yang menampilkan konteks sosial tertentu, salah satunya adalah karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
Karya sastra dapat dikatakan merepresentasikan kehidupan karena kejadian dalam karya sastra, menurut Ratna (2003: 35), merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui elemen-elemen yang membangun karya sastra, seperti narasi, alur, atau citra. Sebagai alat utama, bahasa tidak secara langsung menunjuk kepada sesuatu yang benar. Bahasa hanya menjelaskan, mewacanakan, dan menafsirkan kenyataan alamiah. Hasil penafsiran tentu tidak persis sama dengan kenyataan tersebut. Kenyataan dalam karya sastra sudah mengalami proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi sebagai wujud representasi realitas harfiah. Dengan demikian, representasi berbeda dengan imitasi karena representasi bukan semata-mata tiruan (imitasi) atas kenyataan, melainkan rekonstruksi dari situasi sesungguhnya. Mengenai hal ini, Collingwood (dalam Ratna, 2008: 128) mengatakan, ”Representasi berkaitan dengan alam semesta, imitasi berkaitan dengan karya seni yang lain”. Sebuah karya sastra dikatakan representatif apabila mampu menafsirkan dan merefleksikan realitas tertentu secara menyeluruh. Dalam hal ini, pengarang memegang peranan penting karena merupakan subjek kreator yang menafsirkan realitas tersebut. Hasil penafsiran biasanya dibarengi dengan pesan atau nilai tertentu melalui tanda, lambang, atau simbol, sebagai bentuk representasi.
2.2.4
Sosiologis Pengarang Sosiologis pengarang, pada hakikatnya, berkaitan dengan kedudukan pengarang
dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, pengarang juga melakukan interaksi dengan masyarakat lain sebagai bentuk eksistensinya dalam struktur sosial. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Ratna (2003: 196), partisipasi pengarang dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada partisipasi kreatif dan aktivitas intelektual, melainkan juga meliputi totalitas kehidupan praktis, yang pada dasarnya didominasi oleh definisi-definisi kehidupan sosial yang melatarbelakanginya. Sebagai makhluk sosial, pengarang juga memiliki latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi yang menunjukkan status sosialnya (Wellek dan Austin, 1993: 112). Untuk menempatkan pengarang dalam masyarakat, menurut Escarpit (2008: 46), hal yang harus dilakukan adalah mencari keterangan tentang asal-usul sosial pengarang. Asal-usul sosial berperan dalam menjawab masalah status sosial, keterlibatan sosial, sikap, bahkan ideologi pengarang. Elemen-elemen ini dapat diketahui bukan hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari biografinya. Sebagai warga masyarakat, pengarang tentunya memiliki pandangan mengenai masalah sosial dan politik serta isuisu yang berkembang di sekitarnya. Pandangan tersebut, menurut Wellek dan Austin (1993: 114), akan tertuang melalui karya dan biografinya. Latar belakang sosiologis yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dapat berupa struktur sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial (Siswanto, 2008: 3). Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antarindividu, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah sosial dan status sosial (Abdulsyani, 2007: 68). Proses sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu, sedangkan perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam proses sosial (Roucek dan Roland, 1963: 54). Berdasarkan hal tersebut, Junus (dalam Siswanto, 2008: 3) menjabarkan latar belakang sosiologis pengarang atas enam faktor, yakni asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Landasan Teori Pembicaraan mengenai pendekatan sosiologis atau sosiologi sastra terhadap
karya sastra di Indonesia, muncul pada dekade tahun 1980-an (Mahayana, 2005: 335; Sikana, 2009: 255). Pada saat itu, muncul anggapan bahwa karya sastra, khususnya novel-novel di Indonesia, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin masyarakat, terutama novel yang berlatar belakang sosial budaya. Menurut Pradopo (1995: 66), latar sosial budaya daerah yang ditonjolkan dalam novel-novel Indonesia terjadi pada periode 1970-1990. Beberapa novel yang menjadikan sosial budaya dan masyarakat sebagai latar belakangnya, antara lain, Warisan karya Chairul Harun (1979) dan Bako karya Darma Moenir (1983), yang menggambarkan masyarakat Minangkabau; Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978), sebagai potret masyarakat Dayak; Sri Sumarah (1985) dan Para Priyayi (1990) karya Umar Kayam, berlatar belakang masyarakat Jawa; serta Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya (1971) yang menggambarkan masyarakat Bali. Gambaran masyarakat multietnis dalam novel-novel Indonesia itu menjadikan sastra Indonesia sangat kaya dan khas dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Oleh karena itu, peranan sosiologi sastra sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk mengangkat keberagaman tradisi kultural masyarakat Indonesia. Sosiologi sastra, pada dasarnya, lebih menitikberatkan pada unsur dalam karya sastra yang menandai adanya hubungan antara pengarang dan latar belakang sosialnya. Suatu kelompok masyarakat (lingkungan) tertentu, tempat seorang pengarang berada, dengan sendirinya akan menghasilkan karya sastra tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan atas adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa tata kemasyarakatan
Universitas Sumatera Utara
bersifat normatif, mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi. Sastra juga ditentukan atau dibentuk oleh situasi dan kondisi kehidupan sesuai dengan struktur sosial masyarakat yang memiliki perbedaan kelas (Marx dalam Sikana, 2009: 256; Osborn, 2005:106). Sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena sastra muncul dari realitas sosial sehingga dapat dikatakan sebagai refleksi realitas. Lukacs (dalam Selden, 1993: 27) menyatakan bahwa novel bukan hanya mencerminkan realitas pada permukaannya, tetapi juga merefleksikan realitas yang lebih lengkap, hidup, dan dinamis. Pernyataan di atas menyiratkan bahwa karya sastra, sebagai dunia rekaan, tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinasi tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya (Ratna, 2003: 27). Karya sastra lahir berdasarkan fakta kultural dan melibatkan struktur sosial sehingga dapat menjelaskan eksistensi individu dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan tujuan sosiologi sastra yang disampaikan Kayam (dalam Ratna, 2003: 26) yakni ”Memahami manusia melalui visi antardisiplin sekaligus menopang koeksistensi disiplin humaniora dalam menghadapi transformasi budaya secara global”. Secara harfiah, sosiologi sastra berarti analisis yang menggabungkan teori-teori sosiologi dan sastra. Namun demikian, dalam menganalisis karya sastra secara sosiologis, teori-teori sastra lebih dominan digunakan daripada teori sosiologi yang hanya bersifat komplementer. Menurut Ratna (2003: 18), teori-teori sosiologi yang dipakai dalam analisis sosiologis adalah teori yang dapat menjelaskan hakikat faktafakta sosial dalam karya sastra, seperti kelas sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, sistem sosial, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Karya sastra yang menekankan perihal masyarakat dalam penceritaannya, dapat didekati melalui pendekatan sosiologis. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan yang dimaksud, menurut Ratna (2004: 332-333), adalah sebagai berikut. 1. Karya sastra ditulis oleh pengarang; pengarang adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat. 3. Medium karya sastra, yakni bahasa, dipinjam melalui kompetensi masyarakat. 4. Dalam karya sastra terkandung aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, yaitu estetika, etika, dan logika. 5. Karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat dapat menemukan citra dirinya dalam karya tersebut. Di samping itu, sosiologi sastra juga dianggap sebagai bagian dari tradisi empirik dalam sosiologi umum. Artinya, keterlibatan produksi, distribusi, dan resepsi sastra sebagai kegiatan sosial yang spesifik tidak dapat dinafikan. Dengan demikian, objek sosiologi sastra, menurut Silbermann (dalam Segers, 2000: 68) dapat dipaparkan sebagai berikut. 1. studi terhadap pengaruh sastra pada kehidupan sosial; 2. studi pengaruh sastra pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok, konflik kelompok, dan sebagainya; 3. studi perkembangan dan keragaman sikap sosial; 4. studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga sosioartistik; dan 5. studi faktor-faktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi sastra. Pada dasarnya, sosiologi sastra dapat diaplikasikan ke dalam karya sastra melalui tiga perspektif (Endraswara, 2008: 80). Pertama, perspektif teks sastra, yakni karya sastra dianalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Kedua, perspektif biografis, yakni menganalisis karya sastra melalui latar belakang sosial pengarang. Ketiga, perspektif reseptif, yakni menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
Universitas Sumatera Utara
sastra. Hal ini sesuai dengan pandangan Escarpit (2008: 3) yang menyatakan bahwa fakta sastra menyiratkan adanya penulis (pencipta), buku (karya sastra), dan pembaca (publik). Teori sosiologi sastra yang berkaitan dengan ketiga fakta sastra tersebut dikemukakan oleh Wellek dan Austin yang dikenal dengan teori trilogi pengarangkarya-pembaca (Ratna, 2003: 22). Klasifikasi teori trilogi Wellek dan Austin (1993: 111) adalah sebagai berikut. (1) Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Informasi mengenai pengarang dapat diketahui melalui biografinya, terutama yang berkaitan dengan proses kreatif. Menurut Wellek dan Austin (1993: 112), biografi pengarang merupakan sumber utama, akan tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan asal pengarang. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang, turut berperan dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. Menurut Abrams (dalam Pradopo, 2002: 22), sosiologi pengarang, terutama proses kreatifnya, dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaankeadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Segers (2000: 70) juga mengaitkan sosiologi pengarang dengan profesionalisme pengarang, kelas sosial, dan generasi sastra pengarang tersebut. Sebagai makhluk sosial, pengarang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang sosiologis dalam menghasilkan karyanya. Latar belakang sosiologis itu berupa struktur
Universitas Sumatera Utara
sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial. Menurut Junus (dalam Siswanto, 2008: 3), latar belakang sosiologis pengarang dapat dijabarkan atas enam faktor, yaitu (1) asal sosial, yang merujuk pada lingkungan tempat pengarang dibesarkan atau tempat tinggalnya; (2) kelas sosial, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat, apakah berasal dari kelas atas, menengah, atau bawah; (3) jenis kelamin; (4) umur; (5) pendidikan; dan (6) pekerjaan pengarang. (2) Sosiologi karya sastra. Sosiologi karya sastra berkaitan dengan isi karya sastra, tujuan, serta hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang ada hubungannya dengan masalah sosial. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Austin, 1993: 122). Karya sastra dianggap sebagai cermin masyarakat karena merefleksikan sikap kelompok sosial tertentu (Ian Watt dalam Damono, 2002: 4). (3) Sosiologi sastra/ pembaca Sosiologi sastra berkaitan dengan permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Karya sastra dianggap dapat mempengaruhi dan mengubah pola pikir publik pembaca, sehingga dari segi etika resepsi, menurut Albert Memmi (dalam Segers, 2000: 70), cara-cara sebuah karya diterima oleh pembaca dapat dipandang sebagai indikasi yang krusial dari pentingnya karya tersebut. Klasifikasi trilogi pengarang-karya-pembaca yang dikemukakan Wellek dan Austin tersebut tidak jauh berbeda dengan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang dibicarakan Ian Watt dalam esainya yang berjudul Literature
and
Society
(dalam
Damono,
2002:
4).
Hubungan
tersebut
Universitas Sumatera Utara
diklasifikasikannya menjadi konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Sebagai suatu pendekatan yang reflektif, sosiologi sastra harus menemukan sasaran yang tepat dalam pengaplikasiannya. Sasaran yang dimaksud adalah (1) fungsi sosial sastra, (2) produksi dan pemasaran sastra, (3) sastra sebagai cermin masyarakat, dan (4) konteks sosiobudaya (Endraswara, 2008: 81). Hal ini sesuai dengan pandangan Alan Swingewood (dalam Junus, 1986: 1) yang mengatakan, ”Sosiologi dan sastra meliputi tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya, (2) pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada resepsi masyarakat terhadap suatu karya.” Berdasarkan beberapa teori sosiologi sastra tersebut, teori trilogi pengarangkarya-pembaca yang disampaikan Wellek dan Austin, dianggap lebih tepat dalam mengungkapkan interaksi sosial yang ada dalam trilogi novel Darah Emas karya Meiliana K. Tansri. Hal ini didasarkan pada keterlibatan pengarang yang cukup intens dalam proses kreatif dan struktur penceritaan novel tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Model Penelitian
TRILOGI DARAH EMAS
Intrinsik
Alur Karakter Latar Tema
Ekstrinsik
Interaksi Sosial
Media Representasi
Latar Belakang Sosiologis
Sosiologi Sastra
Sosiologi Karya
Sosiologi Pengarang
Karya Sastra sebagai Cermin Masyarakat
Pedoman Hidup Bermasyarakat Bagan 2.4 Model Aplikasi Pendekatan Sosiologis terhadap Trilogi Darah Emas
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
= hubungan langsung = hubungan timbal balik
Trilogi Darah Emas (DE), yang berkedudukan sebagai objek penelitian, dianalisis peneliti melalui dua pendekatan, intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bersumber pada teks sastra, yakni meneliti unsur-unsur yang membangun struktur sebuah cerita. Menurut Stanton (2007: 7), struktur sebuah cerita dibangun oleh beberapa unsur, diantaranya adalah fakta dan makna cerita. Fakta cerita terdiri atas (1) alur, (2) karakter, dan (3) latar; sedangkan makna cerita merupakan tema yang terkandung dalam cerita. Setelah menganalisis fakta dan makna cerita, peneliti menganalisis trilogi DE melalui pendekatan ekstrinsik. Pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur di luar karya sastra, yakni mengkaji konteks karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik yang ditemukan dalam trilogi DE adalah (1) interaksi sosial yang dilakukan para tokoh; (2) trilogi DE sebagai media representasi masyarakat, khususnya masyarakat TionghoaJambi; dan (3) terdapat hubungan antara trilogi DE dan latar belakang sosiologis pengarang. Ketiga unsur ini tidak bisa dilepaskan dari fakta dan makna cerita karena semuanya saling melengkapi dalam pemaknaan teks sastra. Oleh karena itu, sesuai dengan bagan di atas, terlihat bahwa hubungan antarunsur bersifat timbal balik (
).
Dengan kata lain, pemahaman terhadap karya sastra, yang memiliki otonomi tersendiri, hanya mungkin dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang menghasilkannya.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai karya yang sarat dengan muatan sosial, unsur-unsur ekstrinsik yang ditemukan dalam trilogi DE dianalisis melalui teori sosiologi sastra Wellek dan Austin (teori trilogi pengarang-karya-pembaca). Namun demikian, analisis terhadap trilogi DE dibatasi pada sosiologi karya dan sosiologi pengarang. Sosiologi karya berfungsi untuk menganalisis interaksi sosial antartokoh dan mendeskripsikan trilogi DE sebagai media representasi masyarakat Tionghoa-Jambi. Sosiologi pengarang berfungsi untuk mendeskripsikan latar belakang sosiologis pengarang yang terdiri atas enam faktor, yaitu (1) asal sosial pengarang, (2) kelas sosial pengarang, (3) umur pengarang, (4) jenis kelamin pengarang, (5) pendidikan pengarang, dan (6) pekerjaan pengarang. Hubungan antara sosiologi karya dan pengarang merupakan hubungan timbal balik. Hal ini menyiratkan bahwa sosiologi sastra tidak akan terlepas dari fakta-fakta sastra, antara lain, karya dan pengarang. Melalui hasil analisis yang dilakukan terhadap sosiologi karya dan pengarang, ditemukan bahwa trilogi DE merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa-Jambi sehingga terminologi karya sastra sebagai cermin masyarakat dapat diberlakukan – meskipun cermin masyarakat yang dimaksud di sini adalah potret kehidupan yang sudah direka pengarang melalui medium bahasa. Oleh karena itu, sebagai suatu cermin, trilogi DE juga memiliki nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bermasyarakat, antara lain, keharmonisan interaksi antaretnis serta pelestarian warisan budaya dan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara