BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN ALUR PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan tulisan ini, terutama
dengan objek
penelitian ini masih sangat jarang dilakukan. Penelitian yang menyangkut aspek kebahasaan di Kabupaten Alor yang berkaitan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Wakidi dkk. dengan judul ―Morfosintaksis Bahasa Blagar‖ dan La Ino dengan judul ―Pengelompokan Genetis Bahasa-Bahasa Blagar, Pura, dan Retta di Kabupaten Alor Provinsi Timor Timur. Hasil penelitian inilah yang dijadikan bahan kajian pustaka dalam penelitian ini terutama yang berhubungan dengan kebahasaan. Di samping itu, dikaji pula hasil-hasil penelitian
yang ada
relevansinya dengan penelitian ini. Penelitian yang berkaitan dengan rekonstruksi atau kekerabatan bahasa telah cukup banyak dilakukan. Akan tetapi, yang dikaji
dalam tulisan ini
hanyalah tulisan atau hasil penelitian, baik yang berkontribusi terhadap permasalahan yang dibahas maupun yang membuka cakrawala berpikir penulis tentang materi yang diteliti. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan bahasa-bahasa di AlorPantar dan yang berkaitan dengan kekerabatan bahasa dijelaskan sebagai berikut. Wakidi dkk. (1990) melakukan penelitian di Pulau Alor mengenai morfosintaksis bahasa Blagar. Di awal pembahasan dikatakan bahwa Bahasa Blagar mempunyai tiga dialek, yaitu Pura, Tereweng, dan Reta. Teori yang digunakan
15
16
dalam penganalisisan dan pemerian masalah adalah teori
linguistik struktural
yang dikembangkan oleh Ramlan, Keraf, dan Anton Moeliono. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif
yang hanya mendeskripsikan aspek
morfologi dan sintaksis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Blagar merupakan bahasa yang memiliki sistem morfologi dan sintaksis yang teratur dan konsisten. bahasa Blagar memiliki kaidah morfologi yang sederhana dan proses morfologisnya hanya berupa reduplikasi dan pemajemukan. Dalam arti tidak terdapat proses afiksasi dalam sistem bahasa Blagar. Walaupun bentuk katanya cukup sederhana, jenis katanya cukup kompleks. Perbedaan jenis kata Bahasa Blagar ditandai oleh perbedaan perilaku sintaktiknya. Bahasa Blagar memiliki sistem pronomina persona yang cukup unik. Pronomina persona bahasa Blagar bervariasi sesuai dengan fungsi sintaktiknya. Pronomina persona agentif, misalnya, berbeda dengan pronomina objektif (penderita). Pronomina persona agentif bahasa Blagar adalah nana ‗aku‘, nini ‗kami‘, pini ‗kita‘, ana ‗kau‘, ini ‗kamu‘, ana ‗dia‘, ini (mereka). Ada juga persona yang bersifat netral, yaitu pronomina yang dapat menduduki subjek pelaku atau bukan pelaku, objek, pelengkap yang dinyatakan dengan bentuk naing ‗saya‘, ning ‗kami‘, ping ‗kita‘, aing ‗kau‘, ing ‗kamu‘, aing ‗ia‘, ing ‗mereka‘. Struktur dasar klausa kalimat bahasa Blagar adalah SOV atau SOP. Struktur ini memiliki kekonsistenan pada tataran di bawahnya. Oleh karena objek mendahului predikat berarti direktor mengikuti aksis. Konstruksi direktif bahasa Blagar bertipe atau berpola direktor mengikuti aksis sehingga secara konsisten
17
dan konsekuen bahasa Blagar tidak memiliki preposisi tetapi mempunyai postposisi. Tulisan tersebut cukup komprehensif jika ditinjau dari sudut morfologi dan sintaksis. Hasil penelitian tersebut walaupun tidak membahas kesejarahan bahasa, cukup memberikan kontribusi dalam penelitian ini, yaitu dapat menunjang penggambaran awal tentang bahasa Blagar. La Ino (2004) melakukan penelitian di Alor NTT mengenai hubungan kekerabatan tiga bahasa, yaitu bahasa Blagar, Pura, dan Retta. Berdasarkan buktibukti linguistik yang tercermin dalam sejumlah besar kata kerabat dikatakan bahwa Bahasa Blagar, Pura, dan Retta diturunkan dari moyang bahasa yang sama, yang dalam penelitan itu disebut sebagai protobahasa BlPrRt (PBlPrRt). Penelitan linguistik historis komparatif itu mengkaji tiga bahasa di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu bahasa Blagar, Pura, dan Retta yang hidup di antara bahasa-bahasa lain di sekitarnya. Bahasa-bahasa itu diklasifikasikan sebagai bahasa non-Austronesia (SIL, 2000) dan dihipotesiskan memiliki hubungan kekerabatan yang erat di antaranya. Melalui penelitian itu diperoleh bukti-bukti yang akurat tentang keeratan hubungan genetis ketiga bahasa itu. Bukti kuantitatif yang ditemukan berupa kesamaan kognat mencapai persentase rerata 54,7% dan jenjang bawah mencapai 69% berdasarkan metode leksikostatistik dari daftar 200 kosakata dasar Swadesh. Persentase ini jauh lebih tinggi daripada bahasa-bahasa lainnya yang ada di sekitarnya.
18
Bukti-bukti kualitatif ditemukan berupa inovasi fonologis dan leksikal bersama yang eksklusif memperkuat bukti kualitatif. Inovasi fonologis penguat kelompok berupa konsonan hambat implosif bilabial (*ɓ). Inovasi pemisah kelompok sekaligus penyatu subkelompok berupa *r > l, *b > Φ, *s >h, *o >ua, *au >o, *k >h, *ai ?e, penghilangan fonem atau suku, serta penambahan fonem atau suku pada Rt. Selain itu, ditemukan pula sejumlah kosakata inovatif baik pada kelompok Blagar-Pura-Retta maupun subkelompok Blagar-Pura. Setelah direkonstruksi ditemukan sistem fonem Protobahasa Blagar-PuraRetta (PBlPrRt) dengan jumlah fonem segmental masing-masing lima buah fonem vokal dan enam belas buah fonem konsonan. Vokal PBlPrRt terdiri atas *i, *e, *a, *o, *u yang dapat berdistribusi lengkap, sedangkan konsonan terdiri atas (1) konsonan-konsonan yang berdistribusi lengkap *b, *p, *d, *t, *r, *l, *s, *k, (2) konsonan-konsonan yang berdistribusi hanya di awal dan di tengah adalah *ɓ, *Φ, *m, *n, *j, *g, dan (3) konsonan hanya berdistribusi di tengah dan di akhir kata adalah *ŋ, *R1 Penelitian itu berhasil membuktikan bahwa di Alor Pantar ada dua kelompok bahasa, yaitu kelompok Austronesia dan kelompok non-Austronesia. Selain itu, juga berhasil dibuktikan bahwa bahasa Tereweng seperti yang telah disebutkan oleh SIL
(2000) tidak ditemukan. Bahasa Tereweng sebenarnya
bahasa Blagar yang dituturkan oleh masyarakat di Desa Tereweng.
1
Lambang ini adalah bukan fonetik melainkan lambang hasil rekonstruksi yang disebut dengan fonem, misalnya untuk merekonstruksi fonem ratu ‗rambut pada bahasa x dan fonem latu ‗rambut pada bahasa , y maka protonya adalah gabungan r dan l sehingga rekonstruksi sebagai R.
19
Tulisan yang relevan dengan penelitian juga dikemukakan oleh Greenberg (1971) dengan judul ‗The Indo-Pacific Hypothesis’. Dalam tulisan tersebut, Grennberg menjelaskan istilah Indo-Pacific sebagai nama kelompok Oceania NAN yang tersebar dari Kepulauan Andaman di bagian barat Teluk Bengal sampai ke Tasmania. Akan tetapi, pembahasannya difokuskan pada bahasa-bahasa NAN kelompok bahasa Timor-Alor. Berdasarkan data bahasa yang dikumpulkan dua ahli etnografi Nicolspeyer dan Du Bois tahun 1944, Grennberg menetapkan bahasa Abui dan Makasai di Timor Leste sebagai subkelompok internal TimorAlor. Dalam subkelompok itu, dinyatakan bahwa bahasa Abui lebih dekat dengan Bunak, sedangkan Oirata lebih dekat dengan Makasai. Penetapan tersebut berdasarkan kemiripan pronominal (orang pertama dan kedua tunggal dan jamak) yang dimiliki bahasa-bahasa tersebut. Keempat bahasa tersebut memiliki n sebagai pronominal orang pertama tunggal yang juga dipakai secara luas dalam bahasa-bahasa Indo-Pacific. Semua bahasa itu juga memiliki kesamaan unsur e sebagai pronominal orang kedua tunggal dan ditemukan pula dalam bahasa-bahasa tertentu pada Filum Papua Barat. Dalam bahasa Bunak dilengkapi dengan –to dan pada bahasa Abui dengan –do yang ditambahkan secara bebas. Pronominal orang pertama jamak (ekslusif) dalam Makasai adalah ini, dalam bahasa Oirata in(te); ina, sedangkan bahasa Bunak nei. Bahasa Abui memiliki tipe pronominal orang pertama jamak, yaitu ni- (eksklusif) dan pi(inklusif) sesuai dengan ciri pronominal Timor-Alor. Bahasa Oirata menyatakan orang pertama jamak (eksklusif) dengan ap(te), bahasa Makasai dengan fi-, dan Abui dengan pi-. Pronomina orang pertama jamak umumnya tanpa pembeda
20
inklusif dan eksklusif pada bahasa-bahasa Indo-Pacific sangat lazim dengan ni-. Bahasa Halmahera Utara (HU) bersesuian dengan bahasa Timor-Alor terutama dalam pemakaian p- sebagai orang pertama jamak inklusif. Akan tetapi, hanya bahasa Timor-Alor yang memiliki pola n- (eksklusif) dan p- (inklusif). Tentu saja pengklasifikasian tersebut belum cukup kuat dan meyakinkan dipakai sebagai dasar pengelompokan terhadap bahasa-bahasa sekerabat. Namun demikian, patut dihargai bahwa kajian ini cukup memberikan sumbangan dan petunjuk ke arah yang layak bagi kajian lebih lanjut terhadap kekerabatan bahasa-bahasa itu. Dalam ‗The West Papua Phylum: General and Timor and Areas Further West’, Capell (1975) mengatakan bahwa bahasa-bahasa Filum Papua Barat NAN menyebar ke luar batas New Guinea masuk ke Indonesia Timur. Bahasa-bahasa NAN di kawasan itu dibagi menjadi kelompok Alor dan Kelompok Timor yang selanjutnya disebut kelompok Timor-Alor (TA). Lebih jauh Capell menjelaskan bahwa struktur Filum Papua Barat terdiri atas kelompok HU, kelompok TA, dan kelompok Kepala Burung (KB). Struktur HU yang sebagian juga dimiliki TA adalah (1) mempunyai sistem dua kelas kata benda person dan non person (2) kata ganti subjek dan objek mendahului verba, (3) pemilik mendahului yang dimiliki dalam frasa posesif, (4) post posisi pada frasa nomina, dan (5) post posisi pada perubahan stem kata kerja terjadi untuk menandakan transitif (jauh dekat), kausatif, jamak, dan ciri lainnya yang pada bahasa AN diindikasikan sufiks. Pada kelompok KB, selain persesuaian infleksi-prefiksasi juga ditandai dengan permarkan orang pertama dan kedua tunggal sekaligus memperjelas relasinya dengan kelompok HU dan TA. Dalam tulisan ini pun Capell telah memfokuskan
21
diri pada aspek struktur dan beberapa data kosakata tentang pronominal. Tentu saja pendekatan ini belum cukup memadai untuk menentukan relasi kekerabatan suatu bahasa sebagaimana juga telah diakuinya (Capell, 1975). Mbete (1990) melakukan penelitian di Bali, Lombok, dan Sumbawa mengenai rekonstruksi tiga bahasa yaitu bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bBahasa Sumbawa dengan kajian atau teori historis komparatif. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, Mbete berhasil membuktikan keeratan hubungan kekerabatan tiga bahasa di Nusa Tenggara, yakni antara bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa. Berdasarkan 200 kosakata dasar Swadesh (revisi Blust, 1980) diperoleh bukti kuantitatif berupa kesamaan persentase ratarata ketiga bahasa, yakni mencapai 50%. Persentase ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bahasa Jawa dan Madura, yakni 41%; begitu pula dengan bahasa Bima dan bahasa Manggarai, yakni 31%. Pada jenjang bawah ditemukan bahwa persentase kesamaan antara bahasa Sasak dengan bahasa Sumbawa mencapai 64%. Lebih lanjut, ditemukan pula bukti-bukti kualitatif, yaitu terjadinya inovasi fonologis dan leksikal. Inovasi fonologis penguat kelompok adalah metatesis bersama, sedangkan inovasi leksikal mencakup 41 kata. Inovasi pemisah kelompok berupa hilangnya konsonan pertama (K1) pada deret konsonan di tengah kata, asimilasi nasal, dan perubahan *R >r dalam bahasa Sasak dan Sumbawa. Dalam bahasa Bali *R >Ø/#-; *R > Ø/V-V; *R >h/-#. Di samping itu, juga ditemukan 31 kata yang inovatif dalam bahasa Sasak dan Sumbawa. Bertitik tolak dari bukti di atas Mbete menyimpulkan bahwa bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa merupakan satu kelompok tersendiri yang
22
erat. Kelompok bahasa Bali-Sasak-Sumbawa beranggotakan bahasa Bali dan subkelompok Sasak-Sumbawa. Subkelompok Sasak-Sumbawa terdiri atas bahasa Sasak dan Sumbawa sebagai anggota-anggotanya. Selain itu, juga berhasil ditemukan sistem fonem Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa (PBSS). Fonem segmental PBSS terdiri atas enam vokal, yaitu, *i, *u, *e, *ə,*o, *a; dan sembilan belas konsonan, yaitu *p, *b, *m, *t, *d, *n, *r, *R2, *s, *l, *c, *j, *ň, *k, *g, *q, *ŋ, *w, *y. Selanjutnya, ditemukan pula deret-deret vokal dan deret-deret konsonan. Rekonstruksi leksikal menghasilkan 706 etimon. Begitu juga, diperikan pantulan fonem Proto-Austronesia (PAN) dalam PBSS. Fernandez (1996) melakukan penelitian tentang relasi historis kekerabatan bahasa Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Teori yang digunakan adalah teori historis komparatif, sedangkan metode yang digunakan adalah metode perbandingan yang bersifat sinkomparatif dan diakomparatif. Penelitian itu menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif berhasil membuktikan bahwa bahasa-bahasa Flores, seperti bahasa Manggrai, Komodo, Rembong, Ngada, Lio, Palu‘e, Sikka, Lamaholot, dan Kedang dikonfirmasikan sebagai satu kelompok bahasa yang dinamakan kelompok Flores (FL). Bukti kuantitatif diperoleh melalui pendekatan leksikostatistik, persentase kognat (dengan sampel enam belas bahasa di NTT dan sekitarnya). Bahasa-bahasa Flores dipertalikan oleh persentase kognat sebesar 61,5%, sedangkan persentase dengan bahasa-bahasa di sekitarnya rata-rata 20,5%. Selanjutnya, melalui bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom – up approach) dan dari
2
idem
23
atas ke bawah (to-down approach) ditemukan inovasi bersama secara fonologis, yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa sekerabat itu mengalami sejarah perkembangan fonologi yang sama. Inovasi bersama yang amat menonjol adalah PAN n/ny/*ng (pada posisi awal dan antarvokal) > PEL *(ng)g. Ciri-ciri inovasi bersama (secara fonologis) lainnya adalah gugus konsonan hambat likuid yang berlaku secara eksklusif bagi kelompok FL. Selain itu, dalam rekonstruksi leksikal, sejumlah etimon protobahasa FL (PFL) memperkuat keyakinan bahwa inovasi bersama secara eksklusif itu semakin menunjang bukti-bukti kualitatif tentang adanya kelompok FL tersebut. Berdasarkan bukti-bukti di atas Fernandez membedakan kelompok FL atas satu subkelompok Flores Barat (FB) dan subkelompok Flores Timur (FT). Subkelompok
FB
beranggotakan
subkelompok
Manggarai
(Manggarai–
Rembang) dan kelompok Komodo di satu pihak dan di pihak lain Ngada-Lio dan Palu‘e. Akan tetapi, subkelompok FT beranggotakan bahasa Sika, Lamaholot, dan Kedang. Dengan hasil temuan Fernandez ini terbantah pendapat sebelumnya yang memisahkan bahasa-bahasa itu atas dua kelompok yang berbeda sebagaimana dinyatakan oleh Brandes (1984) dan Jonker (1914). Syamsudin (1996) melakukan penelitian pada kelompok bahasa Bima Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Teori yang digunakan adalah teori historis komparatif dengan metode perbandingan yang bersifat sinkomparatif dan diakomparatif. Penelitian itu menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam usaha membuktikan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang termasuk
24
kelompok Bima-Sumba (KBS). Bahasa-bahasa yang termasuk kelompok ini, yaitu bahasa Bima (BM), bahasa Komodo (KM), bahasa Manggarai (MG), bahasa Ngada (Ng), bahasa Lio (Li), bahasa Sumba (SB), dan bahasa Sawu (SW). Dengan pendekatan secara kuantitatif, secara objektif
ditemukan bahwa
keberadaan KBS tidak diragukan, tetapi telah terjadi beberapa pergeseran. Pada mulanya anggota kelompok berjumlah enam, kemudian bertambah menjadi tujuh bahasa, yang terpencar menjadi tiga subkelompok (tripartit): (1) BM-KM; (2) MG-(NG-LI); (3) SB-SW, yang disusun dalam bentuk diagram Pohon Kekerabatan dan Peta Bahasa Kelompok Bima – Sumba. Berdasarkan pendekatan kualitatif ditemukan 1.755 buah etimon proto PBS. Berdasarkan rekonstruksi yang dibuat oleh Syamsudin, seperti (1) reduksi konsonan labil di antara deretan vokal pada PAN menjadi deretan vokal preglotal melalui proses metatesis pada Proto Bima Sumba (PBS); (2) leksem yang bentuknya sama, tetapi berbeda arti pada cabang KBS mengindikasikan bahwa leksem tersebut berasal dari etimon yang berbeda peringkat. Rupanya, ketiga kajian yang terakhir ini menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang saling menunjang dan menguatkan. Putrayasa (1998) melakukan penelitian di Timur NTT dan kepulauan di sekitarnya mengenai hubungan kekerabatan tiga bahasa, yaitu bahasa Tetun, Rote, dan Dawan dengan kajian secara historis komparatif. Hasil penelitian yang ditemukan yakni bukti-bukti keeratan hubungan kekerabatan ketiga bahasa tersebut adalah berupa bukti – bukti kuantitatif dan kualitatif. Bukti-bukti kuantitatif diperoleh berdasarkan 200 kosakata dasar daftar
25
Swadesh (dengan revisi Blust, 1980), yaitu berupa persamaan persentase rata-rata ketiga bahasa mencapai 75%. Persentase ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan bahasa Bima dan Kambera yang mencapai 44%, begitu pula dengan bahasa Mambai dan Kisar yang mencapai 39%. Demikian pula pada jenjang subkelompok, persentase kesamaan antara bahasa Rote dan bahasa Dawan mencapai 79%. Selanjutnya, bukti-bukti kualitatif berupa inovasi fonologis dan leksikal berupa 23 buah leksikon. Inovasi fonologis pemisah kelompok berupa perubahan konsonan hambat bersuara menjadi hambat takbersuara; dan perubahan *r > l,d dalam bahasa Rote dan bahasa Dawan. Dalam bahasa Tetun *f>h/V-V, *b>f/#, *h >Ø/#-, dan *k > ŋ/-#. Di samping itu, ditemukan pula 33 buah leksikon yang inovatif dalam bahasa Rote dan bahasa Dawan. Berdasarkan bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif disimpulkan bahwa bahasa Tetun, Rote, dan Dawan merupakan satu kelompok tersendiri yang berkerabat erat. Kelompok bahasa Tetun – Rote – Dawan beranggotakan bahasa Tetun dan subkelompok Rote – Dawan. Selanjutnya, subkelompok Rote – Dawan beranggotakan bahasa Rote dan bahasa Dawan. Dari rekonstruksi diperoleh hasil sistem fonem Proto- Tetun – Rote _ Dawan (PTRD). Fonem segmental PTRD, terdiri atas lima buah vokal, yaitu: *i, *e, *a, *u, *o dan tiga belas buah konsonan, yaitu *p, *b, *m, *f, *w, *t, *d, *n, *r, *s, *k, *h, *?. Konsonan-konsonan *l, *k, *n, *s berdistribusi lengkap, *p, *b, *m, *d, *f, *w, *k berdistribusi awal dan tengah, *r berdistribusi tengah dan akhir; sedangkan konsonan *? hanya menempati posisi tengah. Selain itu,
26
ditemukan pula deret vokal. Selanjutnya diperikan pula pantulan fonem ProtoAustronesia (PAN) dalam PTRD. Mandala (1999) melakukan penelitian di Timur Timor
mengenai
hubungan kekerabatan tiga bahasa, yaitu bahasa Kairui, Wimoa, dan Naueti dengan kajian secara historis komparatif. Bahasa-bahasa ini diklasifikasikan sebagai bahasa non-Austronesia (Capell, 1945). Melalui penelitian itu diperoleh bukti-bukti yang akurat tentang keeratan hubungan genetis ketiga bahasa tersebut. Berdasarkan bukti kuantitatif yang bertolak dari daftar 200 kosakata dasar Swadesh ditemukan kesamaan kognat mencapai persentase rerata 56% dan jenjang bawah mencapai 61% berdasarkan metode leksikostatistik. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya yang ada di sekitarnya. Berdasarkan bukti-bukti kualitatif juga ditemukan inovasi fonologis dan leksikal bersama yang eksklusif, yang
memperkuat bukti kuantitatif. Inovasi
fonologis penguat kelompok berupa gugus konsonan frikatif (*hl, hn, hm), gugus konsonan glotal (*ʔm, *ʔn), apokope, sinkope, metatesis, dan split. Inovasi pemisah kelompok sekaligus penyatu subkelompok berupa gugus konsonan hambat alveolar frikatif *ts, gugus konsonan glotal lateral *ʔl pada PKW, reduksi *hl >l, *ʔn >n, merger *c dan *o >a, afaresis konsonan, dan paragoge pada Nt. Selain itu, ditemukan pula sejumlah kosakata inovatif, baik pada kelompok Kairui-Waimoa-Naueti maupun subkelompok Kairui-Waimoa. Setelah direkonstruksi, ditemukan sistem fonem Protobahasa KairuiWaimoa-Naueti (PKWN). Jumlah fonem segmental tiga belas buah yang meliputi
27
lima vokal dan delapan konsonan. Vokal PKWN terdiri atas *i, *u, *e, *o, *a yang dapat berdistribusi lengkap, sedangkan konsonan terdiri atas *b, *t, *th3, *d, *D4, *k, *ğ, *g, *G5, *ʔ, *m, *n, *l, *r, *R6, *s, *h, *w, yang dapat berdistribusi di awal dan di tengah kata. Pantulan fonem-fonem PAN tampak jelas pada PKWN sehingga kelompok bahasa ini diklasifikasikan sebagai bahasa Austronesia. Hal ini sekaligus menolak hasil penelitian Capell (1945) yang menyatakan bahwa bahasabahasa tersebut sebagai bahasa non-Austronesia. Budasi (2007) melakukan penelitian di Pulau Sumba tentang hubungan kekerabatan bahasa Kodi, bahasa Weweha, bahasa Laboya, bahasa Kambera, bahasa Mamboro, bahasa Wanokaka, dan bahasa Anakalang. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa ketujuh bahasa tersebut berkerabat erat. Secara kuantitatif relasi keereatnnya sebesar 58%. Bukti kualitatif berupa evidensi secara fonologis sebagai inovasi bersama, yaitu dua buah split vocal dan split konsonan. Selain terjadi evidensi fonologis untuk membentuk ciri vokalis dalam bahasabahasa di Sumba terdapat cara yang khas, yaitu dengan menghilangkan atau meretensi fonem PAN pada posisi akhir ultima terlebih dahulu kemudian diikuti paragoge vokal. Etimon PAN yang berkhir dengan fonem *t dalam PSmb langsung ditambah fonem *a atau *u; etimon PAN yang pada posisi ultima berakhir dengan *ŋ dalam PSmb ditambah *u; dan etimon pada akhir ultima yang
3
Bunyi t aspirat Lambing ini bukan fonetik akan tetapi lambing fonem hasil rekonstruksi 5 idem 6 idem 4
28
berakhir dengan *n maka terlebih dahulu fonem tersebut diganti dengan *ŋ kemudian ditambahkan dengan *a. Mandala (2010) melakukan penelitian di Pulau Kisar Maluku Tenggara dan di Timor Leste mengenai hubungan evolusi fonologis bahasa Oirata dan kekerabatannya dengan bahasa-bahasa non-Austronesia di di Timor Leste. Berdasarkan bukti-bukti linguistik yang tercermin dalam sejumlah besar kata kerabat diindikasikan bahwa bahasa Oirata sebagai bahasa non-Austronesia yang berkerabat dengan bahasa-bahasa di Timor Leste, yaitu bahasa Bunak dan bahasa Makasai (Greenberg, 1971) dan bahasa Fataluku dan Lovaea (Capell, 1975). Menurut Mandala kedua pendapat tersebut mengandung kerancuan dan perbedaan. Oleh karena itu, dilakukan penelusuran kembali kejelasan hubungan kekerabatannya. Penelitian ini mengamati sembilan bahasa, yaitu dua bahasa di Pulau Kisar dan tujuh bahasa di Timor Leste. bahasa Oirata, Fataluku, dan Makasai secara diakronis terbukti meyakinkan memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan sislsilah pola dwipilah. Kelompok bahasa Oirata, Fataluku, dan Makasai yang pernah menjadi induk yang sama terbelah menjadi dubkelompok Oirata-Fataluku dan subkelompok Makasai. Selanjutnya subkelompok Oitara-Fataluku sebagai mesobahasa terbelah menjadi dua, yaitu bahasa Oirata dan bahasa Fataluku. Artinya, bahasa Oirata lebih dekat dengan Fataluku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Oirata terbukti telah mengalami evolusi fonologis secara internal sebagai interaksi diakronis sesama bahasa kerabat, yaitu berupa (1) split vokal */i/-#, */a/#- dan /-# (2) merger vokal
29
*/e/-#, (3) pemadyaan vokal, (4) perengkahan vokal, dan (5) pembentukan konsonan hambat letup bersuara. Evolusi fonologis secara eksternal akibat kontak dengan bahasa-bahasa di kawasan itu, bahasa Oirata telah mengalami pengayaan (1) fonem konsonan /b/, /c/, /d/, /j/, /g/, /ŋ, /f/, /v/, dan konsonan /z/, (2) pembentukan kluster, (3) penambahan gugus konsonan nasal hambat homorgan, /mp/, /mb/, /nt/, /nd/, dan (4) pergeseran menuju vokalis. Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat dilihat bahwa selain Wakidi dkk. (1990), La Ino (2004), Greenberg (1971), dan Capell (1975), tulisan-tulisan yang dilakukan oleh Mbete (19900, Fernandez (1996), Syamsudin (1996), Putrayasa (1998, 2010), Mandala (1999), dan Budasi (2007) juga mempunyai persamaan dengan penelitian ini. Persamaan tulisan-tul,isan tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama merupakan kajian historis komparatif dan samasama menggunakan metode perbandingan yang bersifat sinkomparatif dan diakomparatif. Perbedaannya hanya terletak pada objek penelitian. Perbedaan yang lain adalah para peneliti tersebut menyasar bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Austronesia, sedangkan penelitian ini mencoba menyasar kelompok bahasa non-Austronesia. Satu-satunya tulisan yang membahas kelompok nonAustronesia adalah Mandala (2010). Namun, penelitian tersebut menyasar bahasa di Timor Leste dan Maluku Tenggara, sedangkan dalam tulisan ini disasar bahasabahasa non-Ausronesia di Pulau Pantar, Nusa Tanggara Timur. Meskipun ditinjau dari sudut pandang objek kajian berbeda, penelitianpenelitian tersebut sangat besar kontribusinya dalam rangka membuka cakrawala
30
berpikir penulis terutama pengetahuan bahwa pemilihan teori yang tepat akan membuat analisis yang lebih komprehensif. Berdasarkan keterangan di atas, diketahui ternyata ada dua jenis pendekatan yang digunakan dalam mengkaji pengelompokan (hubungan kekerabatan) bahasa-bahasa secara linguistik historis komparatif. Kedua pendekatan itu adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Berkaitan dengan penelitian ini, kedua jenis pendekatan tersebut
juga digunakan dalam
mengelompokkan (hubungan kekerabatan) bahasa-bahasa di Pulau Pantar Nusa Tenggara Timur.
2.2 Konsep dan Hipotesis 2.2.1 Konsep Sebelum uraian teori, terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep yang diuraikan hanya yang berkaitan dengan istilah-istilah berikut ini.
2.2.1.1 Kekerabatan Bahasa Kekerabatan bahasa adalah hubungan keseasalan sutu bahasa yang dibuktikan dengan pengelompokan dan rekonstruksi protobahasanya (Jeffers dan Lehiste, 1979; Hock, 1988). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keasalan yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47).
31
2.2.1.2 Pengelompokan Genetis Pengelompokan genetis adalah penelusuran subkelompok bahasa turunan dari kelompok bahasa yang lebih besar berdasarkan hipotesis pohon kekerabatan, atau berdasarkan korespondensi bunyi yang ditetapkan dengan hukum perubahan bunyi yang beraturan. Hipotesis ini beranggapan bahwa moyang bahasa berbelah secara berturut-turut dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri (Jeffers dan Lehiste, 1979:27—31). Lebih lanjut dikatakan bahwa asumsi perkembangan spesies moyang bahasa yang melahirkan bahasa-bahasa turunan itu dapat ditelusuri kembali dengan menggunakan metode komparatif yang berdasarkan hipotesis keterkaitan dan keteraturan.
2.2.1.3 Rekonstruksi Protobahasa Rekonstruksi protobahasa adalah penelusuran dan pembentukan kembali unsur-unsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui bentuk evidensi bahasa-bahasa turunan (berkerabat) yang sekarang masih hidup (Hock, 1988:581); Crowley, 1992:164; Arlotto, 1981:10). Penelusuran dan pembentukan kembali unsur warisan itu dapat dilakukan berdasarkan asumsi bahwa bahasa-bahasa sekerabat banyak menyimpan dan mengubah unsur warisan dengan kaidah dan berbagai cara (Dyen, 1978:35).
32
2.2.1.4 Retensi Retensi adalah unsur warisan, baik bentuk maupun makna, yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan, sama dengan yang terdapat pada protonya (Anderson, 1979:103; Crowley, 1992:164).
2.2.1.5 Inovasi Inovasi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah mengalami perubahan pada bahasa sekarang (Anderson, 1979:104). Bila terjadi perubahan pada kelompok bahasa turunan tertentu dan tidak terjadi pada kelompok bahasa lain dalam perkembangannya, maka disebut inovasi bersama yang eksklusif (exclusively shared lingistic innovation) (Greenberg, 1957:49). Perubahan bersama yang eksklusif (exclusively shared linguistic innovation) itu merupakan retensi dari protobahasa asalnya dan tidak ditemukan pada bahasa atau subkelompok bahasa lainnya. Perubahan yang dimaksud hanya terjadi satu kali dalam perjalanan sejarah bahasa itu. Perubahan-perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan bunyi yang teratur dan perubahan bunyi yang sporadis; dapat berupa perubahan leksikon dan dapat pula berupa perubahan makna (Jeffers dan Lehiste, 1979).
2.2.1.6 Kognat Kognat adalah kata-kata yang bentuk fonetik dan artinya sama atau mirip (Jeffers dan Lehiste, 1979:167). Menurut Keraf (1984:36) kognat atau kata-kata kerabat adalah perangkat kata seasal yang memiliki kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti.
33
2.2.1.7 Korespondensi Bunyi Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi adalah kesejajaran bunyi pada posisi yang sama yang terdapat pada bahasa-bahasa turunan berdasarkan kosa kata dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Kesejajaran ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti (Hock, 1988:557--558). 2.2.1.8 Non-Austronesia (NAN) Non-Austronesia (NAN) adalah istilah yang digunakan untuk kelompok bahasa-bahasa yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok bahasa-bahasa Austronesia (AN). Ciri-ciri kelompok bahasa NAN di antaranya: (a) memiliki sistem dua kelas kata benda person dan nonperson, (b) pemilik mendahului yang dimiliki, (c) posposisi pada frase nomina, (d) kata penunjuk mendahului yang ditunjuk, dan (e) kata ganti subjek dan objek mendahului verba atau memiliki struktur SOV (Capell, 1975). Bahasa NAN dengan ciri sebagaimana disebutkan di atas meliputi kelompok babasa-bahasa TAP, HU, KB, dan Filum Papua Barat (Cowan, 1965; Greenberg, 1971; Capell, 1975).
2.2.2 Hipotesis Hipotesis
yang
dimaksudkan
dalam
penelitian
adalah
hipotesis
operasional. Cara kerja hipotesis operasional adalah tidak menguji hipotesis. Akan tetapi, hipotetsis inilah yang dijadikan sebagai landasan untuk bekerja menganalisis data-data kebahasaan. Berangkat dari kajian terhadap hasil-hasil peneltian yang pernah dilakukan (Greenberg, 1971) dan (Capell, 1975), maka relasi kekerabatan kelompok bahasa yang diteliti dihipotesiskan membentuk
34
bahasa-bahasa di Pulau Pantar terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok Austronesia dan non-Austronesia. Model pengelompokan bahasa secara tripilah PABC
A
B
C
Model pengelompokan bahasa secara dwipilah PABCD
A
B
C
D
1) Bahasa-bahasa kelompok non-Austronesia di Pantar merupakan sebuah subkelompok tersendiri yang kurang erat hubungannya dengan kedua bahasa di sekitarnya yaitu Lamaholot dan Kedang. 2) Susunan kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Pantar dihipotesiskan dapat membentuk dua bahasa turunan (bipatrit) atau membentuk tiga bahasa turunan (tripatrit).
35
2.3 Landasan Teori Penelitian ini dilandasi oleh teori linguistik historis komparatif. Teori ini dikembangkan, antara lain oleh Jacob Grimm (1787-1863), Lehman (1972), Hock (1988), Bynon (1979). Teori ini disebut juga teori diakronik, yaitu menyangkut analisis bentuk dan keteraturan perubahan bahasa-bahasa umum, misalnya yang dilengkapi dengan perubahan bunyi, untuk merekonstruksi bahasa masa lalu, yaitu bahasa purba (proto) yang hidup pada ribuan tahun sebelum itu. Bahasa purba (proto) ini berubah dan pecah menjadi beberapa bahasa turunan karena faktor tempat dan waktu (Bynon, 1979:54). Bahasa-bahasa turunan ini mewarisi kaidah-kaidah bahasa asalnya dan akan berbeda karena perkembangan (inovasi) yang terjadi belakangan setelah bahasa itu berbeda (Bynon, 1979:61). Hubungan kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asalnya atau protobahasa (Hock, 1988). Konsep bahasa asal atau protobahasa sesungguhnya bukanlah merupakan wujud nyata bahasa, melainkan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Dengan kata lain, konsep ini merupakan gagasan teoretis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana untuk menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste, 1970; Bynon:1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan, kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47).
36
Dengan adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki. Pengelompokan berarti penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya. Di pihak lain, rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa-bahasa itu sesuai dengan jenjang kekerabatan yang dapat disilsilahkan. Hal itu mengandung makna bahwa protobahasa sebagai suatu sistem yang diabstrasikan dari wujud bahasa-bahasa kerabat yang merupakan pantulan kesejarahan. Artinya, bahasabahasa itu pernah mengalami perkembangan yang sama sebagai bahasa tunggal (Antilla, 1972:213). Rekonstruksi protobahasa berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna yang biasa disebut kosakata seasal (cognate set) tidak merupakan pinjaman, kebetulan, atau kecenderungan semesta, tetapi dihipotesiskan sebagai warisan dari asal usul yang sama. Hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Sebuah segmen bunyi dari protobahasa yang terwaris melalui kosakata seasal berubah secara teratur pada suatu bahasa turunan.
37
Penelusuran terhadap unsur warisan bahasa berkerabat meliputi tataran leksikal, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam studi komparatif, tataran leksikal dan fonologi lebih umum dipakai sebagai dasar penentuan kekerabatan dan pengelompokan suatu bahasa serumpun dengan alasan sebagai berikut. Pertama, melalui pengelompokan leksikal,
bisa diperoleh informasi tentang
budaya, sejarah, kehidupan sosial, dan fakta-fakta geografis suatu masyarakat bahasa. Kedua, pengelompokan yang paling berhasil pada studi komparatif adalah pengelompokan pada tataran fonologis karena berbagai faktor: (a) segmen atau unsur fonologis merupakan unsur terkecil dalam suatu bahasa sehingg lebih mudah dipahami; (b) lebih mudah ditemukan fakta yang relevan dibandingkan dengan tataran lainnya karena dari sebuah tuturan kecil dengan cepat dan banyak dapat ditemukan fakta yang diperlukan; (c) masalah bunyi telah banyak dikaji dalam studi linguistik sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan; (d) perubahan bunyi itu beraturan dan dapat memberikan indikasi hubungan di antaranya (Hock, 1988:573). Tataran leksikal merupakan salah satu aspek penting dalam studi komparatif. Hal tersebut tampak terutama pada pengamatan tingkat awal dalam upaya pengelompokan antarbahasa sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti kuantitatif
yang lebih berorientasi pada pengamatan sekilas pada sejumlah
kosakata dasar dapat ditentukan kelompok bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan persentasenya, sedangkan tataran fonologis dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk menentukan pengelompokan protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi
38
secara teratur yang terjadi pada tiap-tiap bahasa kerabat dapat disusun kaidahkaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978; Bynon, 1979:25). Pada dasarnya inti dari upaya penelusuran terhadap hubungan kekerabatan suatu bahasa, baik untuk tujuan pengelompokan bahasa (subgrouping) maupun penelitian asal bahasa, adalah penemuan bukti-bukti yang meyakinkan, yang terdapat dalam setiap bahasa yang diperbandingkan. Bukti-bukti tersebut dapat bersifat kuantitaif dan kualitatif. Bukti kuantitatif adalah dalam bentuk sejumlah kosakata kerabat (cognate set) yang berkaitan dengan retensi bersama (shared retention). Bukti kualitatif berupa inovasi bersama (shared innovation) dan korespondensi fonologis (Crowley, 1983; Jeffers dan Lehiste, 1979:1--16). Penjajakan bukti-bukti kuantitatif atau retensi bersama didasarkan atas asumsi bahwa kosakata tersebut bersifat semesta dan konstan sepanjang masa. Dikatakan bersifat semesta karena kosakata yang dibandingkan merupakan kosakata inti yang sangat intim dengan kehidupan manusia dan ada dalam setiap bahasa. Kosakata inti termasuk kosakata yang usianya setua manusia dan sukar berubah dibandingkan dengan kosakata lainnya. Perubahan kosakata itu hanya sekitar 20% dalam setiap 1.000 tahun atau mampu bertahan sebesar 80% (Crowley, 1983), 81% (Hockett, 1963; Swadesh, 1972). Itulah sebabnya kosakata itu dikatakan bersifat konstan sepanjang masa. Bukti-bukti kuantitatif tersebut dipakai sebagai dasar pengelompokan tahap awal pada suatu bahasa untuk tujuan pemerolehan persentase kosakata kerabat yang dihitung dengan menggunakan leksikostatistik dan menghitung masa pisah setiap bahasa dengan menggunakan glotokronologis (Dyen, 1978; Swadesh, 1972).
39
Penjejakan bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan-perubahan yang eksklusif, yang hanya terdapat dalam dua bahasa atau lebih. Beberapa pola perubahan bunyi dapat terjadi, seperti peleburan (merger), pelengkahan (split), penunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonemization), dan peluluhan bunyi (phonemic loss) (Penz., 1969:11--13; Hock, 1988:107--117; Crowley, 1992:44--46). Hal yang sama juga dikemukakan oleh ahli lainnya yang menyatakan bahwa perubahan bunyi dapat terjadi secara beraturan dan tidak beraturan. Perubahan bunyi dianggap teratur apabila suatu bunyi berdasarkan kondisi yang sama berubah bunyi pula (Antilla, 1972:85--86). Perubahan bunyi tidak beraturan cenderung terjadi pada area gramatika atau area fonologis tertentu. Setiap perubahan bunyi terjadi menurut kaidah tanpa kecuali. Bila bunyi berubah, maka perubahan itu memengaruhi kata yang dibentuk dari bunyi itu (Labov, 1994:442). Penjejakan bukti-bukti kualitatif ini sesungguhnya merupakan upaya rekonstruksi, yakni pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan penemuan ciri-ciri bersama berdasarkan perubahan-perubahan bunyi teratur yang terjadi pada tiap-tiap bahasa (bandingkan Hoenigswald, 1974), dengan prosedur sebagaimana yang disarankan Pike (1968). Di samping untuk tujuan rekonstruksi, bukti-bukti kualitatif tersebut juga dipakai dasar untuk tujuan pengelompokan akhir, yakni pencabangan beberapa bahasa dari kumpulan bahasa berkerabat yang lebih besar berdasarkan dekat-jauhnya dipandang dari segi genetisnya karena tiap-tiap kelompok tersebut dianggap mempunyai protobahasa tersendiri.
40
2.2 Model Penelitian
Bahasa-Bahasa Pulau Pantar
Bahasa-bahasa sekerabat Modeur, Kaera, dan Teiwa
Pembuktian dan Deskripsi Fonem bahasabahasa sekerabat secara sinkronik
Sinkronik Teori Bloch dan Trager (1944) L.Pike (1968) (kualitatif)
Pembuktian pola hubungan genetis dan tingkat keeratan hubungan
Leksikostatistik (kuantitatif
Rekonstruksi fonologis dalam bentuk protofonem
Rekonstruksi leksikon dalam bentuk protokata
Diakronik Teori LHK Jeffers dan Lehiste, 1970 Jacob Grimm (1787-1863), Lehman (1972), Hock (1988), dan Bynon (1979) (kualitatif)
Temuan penelitian Simpulan dan saran
41
Penjelasan Penelitian ini berlokasi di Pulau Pantar dan menyasar bahasa-bahasa yang terdapat di Pulau Pantar
untuk melihat relasi pengelompokan genetisnya.
Penelitian diawali dengan pengumpulan data awal yang bersifat kuantitati dengan menggunakan 200 kata swadesh revisi Blust. Setelah data awal selesai dikumpulkan maka selanjutnya adalah menghitung kosa kata dasar yang telah dijaring tersebut dengan metode leksikostatistik. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mencari bahasa-bahasa yang sekerabat. Setelah dilakukan perhitungan dengan metode tersebut maka ditemukanlah tiga buah bahasa yang berkerabat yaitu bahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa. Setelah ditemukan bahasa yang berkerabat tersbut maka
selanjutnya adalah analisis bahasa sekerebat secara
kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut, (1) analisis sinkronik yaitu pembuktian dan deskripsi fonem bahasa sekerabat dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh L.Pike. (2) analisis diakronik dengan menggunkana teori diakronik yang dikemukana oleh Jeffers dan Lehiste, 1970 Jacob Grimm (17871863), Lehman (1972), Hock (1988), dan Bynon (1979) terbagi atas (a) Pembuktian pola hubungan genetis dan tingkat keeratan hubungan, (b) Rekonstruksi fonologis dalam bentuk protofonem, (c) Rekonstruksi leksikon dalam bentuk protokata. Dari temuan pola hubungan, tingkat keeratan, rekonstruksi, protobahasa maka dapat dibuat simpulan penelitian ini.