17
BAB II KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya terhadap Pura Penataran Sasih sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk dijadikan bahan pembanding. Namun, terkait dengan judul yang diangkat, yaitu “Komodifikasi Warisan Budaya sebagai Daya Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar” sampai pada saat sekarang ini belum ditemukan hasil penelitian dengan judul komodifikasi. Sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini, kajian atas sumber-sumbernya, baik yang berupa hasil-hasil penelitian maupun buku-buku literatur, diupayakan yang membahas komodifikasi. Pada bagian berikut disajikan sumber-sumber yang dijadikan bahan rujukan dan pembanding, baik yang berupa hasil penelitian maupun buku literatur. I Ketut Setiawan (2011) dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul dalam Konteks Pariwisata Global” pada intinya menjelaskan bahwa banyak permasalahan yang menyentuh agama dan adat dalam pengembangan pariwisata budaya. Pura Tirta Empul yang sangat ramai dikunjungi, baik untuk tujuan kegiatan keagamaan maupun tujuan wisata, menampakkan dua fenomena yang berbeda, bahkan bertentangan. Di satu sisi, umat yang datang untuk tujuan keagamaan, seperti pembersihan diri, baik lahir maupun batin, membutuhkan suasana yang khusyuk (khidmat) sehingga memerlukan konsentrasi yang dalam. Di sisi lain, wisatawan datang dan masuk dengan leluasa menikmati keindahan alam pura tidak peduli dengan umat yang 17
18
sedang khusyuk melakukan persembahyangan. Pertemuan dua budaya yang berbeda tersebut menampakkan sebuah dialektika sakral dan profan. Dampak yang tak terelakkan adalah memudarnya nilai-nilai kesakralan pura, walaupun terjadi secara perlahan-lahan, pasti terjadi. Hasil penelitian ini dapat dipakai bahan rujukan untuk melihat dan memahami permasalahan yang dihadapi dalam penelitian yang dilakukan. I Made Adhika (2011) dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Komodifikasi dalam Era Globalisasi Kawasan Suci Pura Uluwatu di Kuta Selatan, Kabupaten Badung” menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan komodifikasi kawasan suci Pura Uluwatu, ada tiga aspek yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu aspek bentuk, proses, serta dampak dan makna dari komodifikasi. Dari ketiga aspek tersebut, Adhika tertarik dengan proses komodifikasi yang gerakannya sudah sampai pada kawasan suci pura, terutama yang memiliki lingkungan alam yang indah, sehingga kawasan suci pura juga dianggap memiliki daya tarik bagi kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Gerakan komodifikasi ini pun mendekati lokasi Pura Uluwatu yang berstatus sebagai sad kahyangan. Demi peningkatan PAD, maka Kabupaten Badung dan penduduk setempat yang selama ini merasa diuntungkan oleh situasi tersebut menolak ketentuan 5 km kawasan suci Pura Uluwatu tersebut, apalagi ketentuan itu berlaku surut. Di pihak lain, yaitu Pemerintah Daerah Provinsi Bali ingin menertibkan kawasan sepanjang 5 km sesuai dengan bhisama PHDI Pusat yang dituangkan di dalam Perda Provinsi Bali Nomor 16, Tahun 2009 untuk dibersihkan dari pembangunan vila-vila. Adhika melihat ada dua kepentingan berbeda atas proses komodifikasi di kawasan suci Uluwatu yang menimbulkan
19
sebuah polemik di antara ke dua kubu tersebut, yaitu kubu yang mendukung radius kesucian pura seperti yang ditetapkan dalam bhisama dan kubu yang menolak penetapan lingkup ruang kawasan suci tersebut, terutama dari masyarakat di Desa Pecatu yang lahan hak miliknya berada pada radius tersebut. Bertolak dari pemahaman prosesnya, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memahami proses komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Ardika (2015: 6) mengatakan bahwa warisan budaya memiliki nilai yang signifikan untuk industri pariwisata. Pariwisata budaya merupakan industri terbesar di dunia dan pariwisata warisan budaya (heritage tourism) merupakan sektor yang paling pesat perkembangannya. Apa yang diungkapkan cukup beralasan, sebab berdasarkan laporan Komite Warisan Dunia (The World Heritage Committee) sampai dengan 7 Juli 2008 telah terdaftar 878 situs warisan budaya dunia, 679 di antaranya (77 %) adalah warisan budaya, 174 (20%) warisan alam, 25 (3%) campuran antara budaya dan alam, dan 30 (3,4 %) adalah warisan dalam keadaan terancam (Hitchcock, M. Victor, T. King and Michael Parwell (eds). 2010 dalam Ardika, 2015: 6). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan tentang cara yang baik dan benar dalam mengelola warisan budaya di Pura Penataran Sasih sehingga dapat memberikan manfaat dalam pembangunan ekonomi lokal dengan tetap mengindahkan kehidupan sosial budaya. Greenwood (1977) dalam Pitana (2005: 83) melihat bahwa terjadinya proses komoditisasi dan komersialisasi berawal dari hubungan wisatawan dengan masyarakat lokal. Kehadiran wisatawan dipandang sebagai tamu dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah menjadi
20
resiprositas dalam arti ekonomi, yaitu atas dasar pembayaran, yang tidak lain daripada proses komoditisasi atau komersialisasi. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, tampaknya penjelasan Greenwood dapat dijadikan bahan penuntun untuk menelusuri proses terjadinya komoditisasi (komodifikasi) warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Barker (2004: 14) mengatakan bahwa komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalis, yaitu objek, tanda, dan kualitas berubah menjadi komoditas. Kapitalis sesuai dengan habitatnya adalah upaya untuk mengumpulkan keuntungan atau nilai surplus dalam bentuk uang yang diperoleh dengan menjual produk, baik yang mengandung nilai guna maupun nilai tukar sebagai komoditas. Seperti dipaparkan Barker bahwa komoditas yang dimaksudkan adalah objek, tanda, dan kualitas. Ketiga elemen inilah diisyaratkan memiliki nilai guna dan nilai tukar untuk dapat dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau dengan uang. Kemudian kembali dipertukarkan dengan komoditas lain dan seterusnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Seperti apa yang diungkapkan Barker, walaupun produk yang dimaksudkan sebagai komoditas tidak disebut secara eksplisit, setidaknya dapat memberikan gambaran umum tentang proses dan makna komodifikasi di Pura Penataran Sasih Pejeng. Marx (dalam Strinati, 2003: 63) dalam teorinya tentang fetisisme komoditas telah mengadakan pemilahan antara asas pertukaran dan asas manfaat komoditas yang berputar-putar di dalam masyarakat kapitalis. Manfaat pertukaran merujuk pada uang yang diminta sebuah komoditas di pasar, harga jual belinya, sementara nilai manfaatnya merujuk pada kemanfaatan barang tersebut bagi konsumen, nilai praktis, atau manfaatnya sebagai sebuah komoditas. Dalam
21
kaitannya dengan kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena ekonomi kapitalis yang berputar-putar di sekitar produksi, pemasaran, dan konsumsi komoditas akan selalu mendominasi kebutuhankebutuhan riil manusia. Dalam hal ini sesuatu yang dikomodifikasi adalah komoditas yang memiliki nilai tukar untuk dapat ditukarkan dengan komoditas lainnya dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Di pihak lain dalam penelitian yang dilakukan, sesuatu yang dikomodifikasi adalah komoditas yang memiliki nilai kultural keagamaan, yang juga memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk dapat ditukarkan dengan uang. Piliang (2011: 23) menjelaskan bahwa komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas sehingga kini menjadi komoditas. Selanjutnya yang dimaksud komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasanya uang dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Seperti yang diuraikan oleh Piliang bahwa benda-benda warisan budaya pun yang dikomodifikasi pada mulanya merupakan sesuatu yang bukan komoditas. Perbedaannya terletak pada bentuk produksi dan pada akhirnya berpengaruh pula terhadap cara distribusi dan mengonsumsinnya. Antropolog Marvin Haris (dalam Mulyanto, 2012: 20) berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar kapitalisme ialah komodifikasi hampir semua barang dan jasa, termasuk tanah dan tenaga kerja. Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebetulnya bukan komoditas menjadi komoditas. Kapitalisme beserta ciri komodifikatifnya ini bukanlah sistem perekonomian yang sejak asali mengada. Jantung yang membuatnya tetap hidup sebagai sebuah sistem
22
perekonomian adalah hubungan produksi khas yang disebut kerja upahan. Sebagai pranata terpokok kapitalisme, sistem kerja-upahan mensyaratkan keberadaan sejumlah besar orang tanpa sarana produksi sehingga satu-satunya jalan bagi mereka untuk mendapatkan sandang, pangan, dan papan ialah dengan menjual tenaga kerja mereka sendiri demi uang. Tulisan ini dapat dijadikan bahan pembanding untuk memperkaya wawasan dan pemahaman tentang komodifikasi, terutama dalam hal bentuk-bentuknya, baik benda, jasa yang dijadikan komoditas maupun bentuk yang lainnya.
2.2 Deskripsi Konsep Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Komodifikasi Warisan Budaya sebagai Daya Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar.”. Sebagaimana diketahui bahwa wacana komodifikasi, warisan budaya, dan daya tarik wisata sudah tidak asing lagi pada era global ini. Di antara ketiga istilah yang dimaksud, yang menjadi trend pembicaraan dunia internasional adalah warisan dunia (world heritage), baik warisan budaya (culture heritage) maupun warisan alam (natural heritage), seperti disampaikan dalam sidang terakhir yang diselenggarakan oleh UNESCO, tepatnya 24 Juni s.d. 6 Juli 2012 silam di Saint, Petersburg, Rusia (Committee World Heritage, 2012). Warisan budaya dijadikan kata kunci dalam pembahasan permasalahan penelitian ini serta implikasinya dengan komodifikasi dan daya tarik wisata. Selanjutnya terkait dengan judul yang diangkat, maka konsep yang dibahas adalah konsep komodifikasi, konsep warisan budaya, dan konsep daya tarik wisata.
23
Sebelum menguraikan ketiga konsep di atas, sebaiknya dipahami pengertian konsep tersebut. Budiarto (2002: 60) memberikan batasan bahwa konsep merupakan pengertian atau pemahaman akal budi atau rasio manusia tentang fakta, yang harus divisualisasikan dalam bentuk tulisan sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Suatu konsep dikatakan jelas bilamana dapat membedakan secara memadai objek yang dimaksudkan dari objek lainnya (Bagus, 2005: 481). Betapa pentingnya penjelasan konsep tersebut, ketika dihadapkan dengan kata-kata atau ungkapan yang sama, tetapi arti yang dimilikinya berbeda. Tentu tidak dapat dimungkiri bahwa hal semacam itu sering pula terjadi di lapangan, termasuk di lokasi penelitian yang tengah dilakukan. Untuk itu, penjelasan konsep sangat urgen dilakukan, terutama terkait dengan permasalahan yang diangkat.
2.2.1 Komodifikasi Komodifikasi (komoditisasi) bilamana ditinjau dari etimologi katanya berarti menjadikan sesuatu sebagai komoditas. Komoditas dapat pula disebut sebagai barang dagangan utama (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 719). Namun, pada era global ini kebutuhan manusia semakin kompleks, bahkan melampaui batas-batas moral manusia (hiper realitas) sehingga konsep komoditas pun berkembang dan mengalami perubahan. Kemudian yang dijadikan komoditas tidak terbatas pada barang, jasa, dan tenaga kerja, tetapi meluas kepada segala sesuatu yang sebelumnya tidak layak dikomodifikasi dijadikan komoditas demi kebutuhan kapitalis, seperti pendidikan, kebudayaan, keagamaan, tubuh, hasrat, bahkan kematian (Piliang, 2005:191). Terkait dengan penelitian yang dilakukan
24
bahwa sesuatu yang dijadikan komoditas daya tarik wisata adalah benda-benda warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan, yang kini disakralkan (dikeramatkan) dan dipuja oleh warga masyarakat panyungsung pura yang sebelumnya tidak pernah (tidak lazim) dikomodifikasi. Selanjutnya penjelasan tentang konsep komodifikasi juga dilihat dari sisi bentuknya, yang meliputi bentuk-bentuk produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam konteksnya dengan penelitian yang dilakukan, produksi dimaksudkan sebagai suatu upaya mentransformasi warisan budaya dengan jalan meniru bentuk benda warisan budaya ke dalam bentuk simbol-simbol atau dalam bentuk cerita tradisi (tradisi lisan) dan/atau bentuk lainnya khususnya nekara “Bulan Pejeng”. Distribusi adalah proses sosialisasi simbol-simbol dan tradisi lisan terkait dengan warisan budaya di Pura Penataran Sasih dengan teknik yang tepat melalui eventevent tertentu sehingga sampai kepada konsumen. Di pihak lain konsumen adalah seseorang, kelompok orang, dan/atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan (mengonsumsi) simbol-simbol dan tradisi lisan tentang warisan budaya tersebut.
2.2.2 Warisan Budaya Warisan budaya adalah semua harta, harta pusaka (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1557) yang berupa benda-benda sebagai hasil buatan manusia masa lalu. Konteksnya dengan penelitian yang dilakukan, warisan budaya yang dimaksudkan adalah benda cagar budaya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11, Tahun 2010, Pasal 1, ayat 2 yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
25
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2010: 3). Pada era pariwisata global ini warisan budaya tidak terbatas pada warisan budaya nasional, tetapi juga warisan budaya dunia yang penetapan statusnya ditentukan melalui sidang UNESCO. Warisan budaya di Pura Penataran Sasih adalah semua harta kekayaan berupa tinggalan arkeologi (warisan budaya) masa lalu yang ada di lingkungan pura, seperti sebuah nekara perunggu yang oleh warga masyarakat setempat disebut “Bulan Pejeng”, puluhan tinggalan seni arca dan satu di antaranya berangka tahun candra sangkala, sebuah prasasti batu hitam, sebuah prasasti batu pada ambang bangunan, sejumlah tinggalan batu alam, dan sebagainya. Semua tinggalan tersebut berstatus sebagai benda-benda cagar budaya, artinya semua benda warisan budaya yang ada di Pura Penataran Sasih berada di dalam daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undangundang dari bahaya kepunahan.
2.2.3 Daya Tarik Wisata Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 16, Tahun 2009 pasal 1 ayat 57, yang dimaksud daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya hasil buatan manusia, serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Di samping itu, juga dapat berupa kawasan/hamparan, wilayah desa/kelurahan, masa bangunan, bangunan-bangunan
26
dan lingkungan sekitarnya, jalur wisata yang lokasinya tersebar di wilayah kabupaten/kota. Lebih spesifik lagi bahwa yang dimaksud daya tarik tidak terlepas dari adanya perbedaan atau keunikan dari keadaan alam ataupun kehidupan sosial budaya (Ardika, 2012: 26), yang dimiliki oleh daerah tertentu dan tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Berdasarkan batasan di atas, diketahui bahwa suatu objek dikatakan memiliki daya tarik bilamana objek yang dimaksud memiliki kekhususan (keunikan) dan keindahan. Keunikan dan keindahannya dapat menarik siapa pun yang melihat dan menikmatinya. Konteksnya dengan penelitian yang dilakukan yang mengambil judul “Komodifikasi Warisan Budaya sebagai Daya Tarik Wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar” bahwa daya tarik yang dimaksudkan adalah nilai-nilai keunikan dan keindahan yang dimiliki oleh bendabenda warisan budaya yang ada di Pura Penataran Sasih sehingga dapat menarik minat seseorang, sekelompok orang, dan siapa pun untuk datang melihatnya. Hal itu berarti bahwa tidak semua objek wisata dapat dikatakan sebagai daya tarik wisata. Namun, warisan budaya di Pura Penataran Sasih disebut sebagai daya tarik wisata niscaya karena keunikan yang dimilikinya. Salah satu di antaranya, yaitu daya tarik yang dimiliki oleh nekara “Bulan Pejeng” dengan berbagai keunikannya, yaitu memiliki ukuran besar, termasuk salah satu nekara terbesar di Asia Tenggara dan pragmen alat cetaknya saat ini ditemukan di Manuaba (Kempers, 1960: 64; Calo, Ambra, 2009: 129). Selain itu, juga variasi tipe lokal (tipe Pejeng) yang tidak dimiliki oleh nekara-nekara lain di Nusantara (Bintarti, 1985: 86) dan sebagainya, sehingga dijadikan sebagai ikon daya tarik wisata.
27
2.3 Landasan Teori Untuk membedah permasalahan yang diangkat dalam penelitian, digunakan tiga teori, yaitu: teori komodifikasi, teori hegemoni, dan teori kekuasaan dan pengetahuan. Teori komodifikasi, dimanfaatkan untuk membedah permasalahan pertama, yaitu bagaimana bentuk-bentuk warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata. Teori hegemoni digunakan untuk membedah permasalahan kedua, yaitu bagaimana proses komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata. Teori kekuasaan dan pengetahuan digunakan untuk membedah permasalahan ketiga, yaitu apakah dampak dan makna komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata bagi warga masyarakat Desa Pejeng?
2.3.1 Teori Komodifikasi Piliang (2005: 191) mengatakan bahwa salah satu ciri dari masyarakat posmodern adalah dijadikannya hampir seluruh sisi kehidupan menjadi komoditas untuk diperjualbelikan. Dalam hal inilah masyarakat posmodern juga disebut sebagai masyarakat konsumer. Komodifikasi telah merambah pada bidang-bidang pendidikan, kebudayaan, keagamaan, tubuh, hasrat, bahkan kematian. Menurut Barker (2004: 14), komoditas adalah produk yang mengandung nilai guna dan nilai tukar. Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar dan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Pendapat yang senada diungkapkan oleh Mulyanto (2012: xviii) bahwa komoditas adalah hasil kerja manusia (barang atau jasa) yang sengaja diproduksi untuk dipertukarkan melalui
28
mekanisme pasar. Komodifikasi (komoditisasi) adalah proses menjadikan sesuatu yang bukan komoditas menjadi atau diperlakukan seperti halnya komoditas yang bisa diperjualbelikan demi laba. Kemudian Marvin Harris (dalam Mulyanto, 2011: 20) lebih mempertegas lagi dengan mengatakan bahwa komodifikasi adalah satu ciri mendasar dari kapitalisme yang hampir menjadikan semua barang dan jasa, termasuk tanah, dan tenaga kerja, yang sebetulnya bukan komoditas menjadi komoditas. Bilamana pandangan-pandangan di atas dirangkum, maka sesuatu yang dikomodifikasi tidak hanya terbatas pada hasil kerja manusia berupa barang dan jasa yang mengandung nilai guna dan nilai tukar, tetapi juga tanah, tenaga kerja, dan
kemudian
merambah
pada
bidang-bidang
pendidikan,
kebudayaan,
keagamaan, tubuh, hasrat, bahkan kematian dan semua itu diasosiasikan dengan kapitalis. Untuk kebutuhan operasional penelitian yang dilakukan, komodifikasi ditekankan kepada aspek-aspek yang berkaitan dengan keagamaan, yakni dijadikannya warisan budaya sebagai daya tarik wisata, seperti nekara “Bulan Pejeng” yang kini berstatus sebagai pratima (istadewata) Ida Ratu Sasih; warisan seni arca dan prasasti batu yang di-stana-kan di palinggih-palinggih gedong; warisan budaya yang berbentuk batu silindris sebagai pratima Ida Ratu Bintang, termasuk Pura Penataran Sasih dan upacara keagamaannya, dan sebagainya. Terkait dengan permasalahan yang diangkat, teori ini dapat dimanfaatkan sebagai kerangka analisis untuk memecahkan permasalahan yang pertama, yaitu bagaimana bentuk-bentuk komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata.
29
2.3.2 Teori Hegemoni Teori ini dikembangkan oleh Gramsci di kala ia mendekam di penjara rezim Fascis. Bagi Gramsci, “hegemoni” adalah jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang kelompok-kelompok dominannya mengamankan posisi mereka atas hak-hak istimewa dengan cara sebagian besar melalui cara-cara konsensus (dalam Edkins, Jenny-Williams, Nick Vaughan (ed), 2010: 234). Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat yaitu terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar, di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Ciri hegemoni adalah adanya sifat-sifat penguasa yang melegalisasikan kepentingan yang hanya dimiliki oleh sebagian dari masyarakat dijadikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan (Storey, 2003: 173). Walaupun hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi, masyarakat tidak sedang berada pada situasi konflik. Sebagaimana dikatakan Gramsci (dalam Santoso dkk, 2010: 78), bahwa suatu kesatuan kompleks dari kegiatan teori dan praktik. Di mana kelas yang berkuasa tak cuma membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi juga mengatur untuk memenangkan konsensus aktif dari yang diatur. Teori ini digunakan sebagai kerangka analisis permasalahan yang kedua, yaitu proses komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih. Sebagaimana dikatakan oleh Gramsci bahwa bagaimana strategi penguasa memengaruhi kelas bawahannya sehingga sepakat untuk mengikuti kehendaknya tanpa resistensi. Tampaknya hal itu pula yang terjadi di Desa Pejeng bahwa ketika warga masyarakat dihadapkan dengan permasalahan komodifikasi
30
warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata. Artinya, mereka dapat menerima tanpa adanya perlawanan atau terjadi konsensus antara pihak pemerintah dan penguasa lokal dengan warga masyarakat. Hal itu dapat terjadi dengan alasan internal (ideologis) bahwa komodifikasi terhadap warisan budaya merupakan sebuah upaya produktif dan positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.3.3 Teori Kekuasaan dan Pengetahuan Menurut Foucault (dalam Santoso, 2010: 165), dua aspek penting yang menjadi bagian dari sejarah yang mendasari teorinya adalah arkeologi dan genealogi. Arkeologi penekanannya pada pengujian arsip. Genealogi berarti asal usul dan sebab-akibat yang dapat dipakai untuk menguji arsip. Kemudian yang dimaksudkan pentingnya sejarah dalam konteks ini adalah membicarakan sejarah yang berhubungan dengan kedua metode tersebut (arkeologi dan genealogi) yang keberadaannya saling terkait satu sama lain. Foucault (2002: 22) menguraikan pentingnya mengadopsi prinsip genealogi, sebagai suatu prinsip yang menekankan bahwa tiap kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi dan wacana dominan yang melahirkan. Kehendak untuk tahu adalah nama lain bagi kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan tidak saling meniadakan, tetapi menguatkan. Foucault menolak pikiran tradisional yang mengalamatkan kepada kekuasaan dalam pengertian yang negatif dan melihatnya sebagai mekanisme peradilan, yakni yang mendasari hukum, yang membatasi, menghalangi, menolak, melarang, dan menyensor. Sesungguhnya kekuasaan
31
tidak hanya represif, tetapi juga produktif dan positif (Santoso, 2010: 170). Menurut Foucault, power/knowledge (pengetahuan/kekuasaan), merupakan suatu jaringan seluas masyarakat atas hubungan power produktif yang bergantung pada operasi dan perluasan bentuk-bentuk yang jauh lebih terspesialisasikan atas pengetahuan. Dengan demikian, power tidak hanya dimiliki, tetapi juga dipraktikkan dalam setiap arti kata. Hal ini bukan sekadar sarana represi atau pemaksaan, tetapi mengalir dengan sendirinya di seluruh masyarakat dalam jaringan (Edkins-Williams (ed), 2010: 217). Kekuasaan adalah relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu. Kekuasaan sama dengan kebenaran karena kekuasaan yang memproduksi kebenaran sehingga kebenaran berada di dalam kekuasaan, dan bukan di luar kekuasaan. Relevansinya dengan penelitian yang dilakukan, terutama berkaitan dengan dampak dan makna komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata. Keberadaan kedua metode (genealogi dan arkeologi) yang satu sama lain saling berkaitan dapat dimanfaatkan untuk membongkar kebenaran-kebenaran semu yang membungkus rapi keyakinan masyarakat dengan ideologi pariwisata yang berkedok keuntungan. Kekeliruan-kekeliruan yang mungkin terjadi selama ini dan sudah diterima sebagai suatu kebenaran mutlak oleh masyarakat dapat ditanggulangi melalui penelusuran asal usul arsip (sumbersumber) yang ada di Pura Penataran Sasih. Dengan demikian, dapat mempermudah untuk mengetahui dan memahami dampak yang ditimbulkan atas komodifikasi tersebut. Untuk memperoleh gambaran tentang dampak dan makna komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata, sebagaimana
32
kata Foucault bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif dan positif. Dengan demikian, hal-hal yang diharapkan terjawab memanfaatkan teori ini adalah mengetahui dampak dan makna yang dapat diambil dari tekanantekanan penguasa dalam memanfaatkan mesin kekuasaannya (bio power)nya sehingga tidak ada perlawanan (resistensi) dari warga masyarakat. Di samping itu, juga sejauh mana sang pengendali kekuasaan dapat memberikan pengertian dan pemahaman bahwa komodifikasi terhadap warisan budaya di Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata merupakan sebuah upaya produktif yang memiliki nilai positif.
2.4 Model Penelitian Pada era global ini tampak sebuah fenomena menarik di Pura Penataran Sasih, yaitu terjadi pertemuan dua kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Masyarakat Desa Pejeng yang kental dengan budaya tradisional dan agama Hindu berinteraksi dengan masyarakat global dengan budaya pariwisatanya. Keberadaan seperti itu membuat warga masyarakat Desa Pejeng dihadapkan dalam berbagai dilema. Di satu sisi mereka harus menghormati norma-norma keagamaan, seperti (1) batas-batas kawasan suci Pura Penatarasn Sasih, (2) ketahanan nilai-nilai kesucian pura, (3) menjaga kesakralan pura. Akan tetapi, di sisi lain dihadapkan dengan budaya global yang dicirikan oleh (1) pengembangan pariwisata, (2) budaya kapitalis, dan (3) adanya kebebasan masuk ke ruang suci atau profanisasi tempat suci (pura). Sesungguhnya pertemuan dua kelompok masyarakat dengan latar belakang agama, budaya, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya yang berbeda kerap terjadi
33
benturan. Namun, secara umum yang menimbulkan di Pura Penataran Sasih adalah sebaliknya, yaitu di antara kedua belah pihak saling membutuhkan. Masyarakat global (pariwisata) membutuhkan budaya tradisional asli, artinya belum tersentuh budaya luar, sedangkan di pihak lain masyarakat tradisional (pangemong pura) membutuhkan modal (kapital) untuk pemeliharaan tempat suci dan warisan budaya. Selanjutnya fenomena tersebut melahirkan sebuah dialektika dalam sebuah integrasi yang harmoni di antara kepentingan agama dan kapitalis (modal). Untuk itu, komodifikasi warisan budaya dengan nekara “Bulan Pejeng” sebagai ikon daya tarik merupakan sebuah pilihan, niscaya dengan berbagai dampak yang ditimbulkan. Untuk lebih jelasnya, cermati bagan berikut.
34
Gb. 2.1 Model Penelitian Masyarakat Global
- Pengembangan pariwisata - Menumbuhkan kapitalis - Profanisasi
Bentuk komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng
Pura Penataran Sasih Pejeng
Masyarakat Tradisional Bali
Komodifikasi Warisan Budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng
- Batas-batas kawasan suci PPS - Ketahanan nilainilai kesucian pura - Sakralisasi
Proses komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng
Dampak dan makna komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih bagi warga masyarakat Desa Pejeng
Temuan
Keterangan: Pengaruh Langsung Saling memengaruhi atau pengaruh timbal balik