BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Akuntansi Keperilakuan 2.1.1.1 Pengertian Akuntansi Keperilakuan Akuntansi adalah suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis menurut pernyataan Ikhsan dan Ishak (2010). Menurut Tranggono dan Andi (2008) menyatakan tujuan dari informasi tersebut yaitu memberikan suatu petunjuk untuk mengambil tindakan terbaik dalam mengalokasikan sumber daya langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Dalam pemilihan atau penetapan suatu keputusan bisnis melibatkan aspek-aspek keperilakuan dari para pengambil keputusan tersebut. Inilah mengapa akuntansi tidak dapat dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi. Salah satu topik dari akuntansi keperilakuan yaitu auditing. Di dalam siklus audit, tidak dapat dilepaskan dari aspek keperilakuan dari auditor yang menarik untuk dicermati. Penelitian ini mengkaji tentang aspek perilaku auditor seperti tekanan waktu, komitmen organisasi, kepuasan kerja.
2.1.1.2 Teori Sikap dan Perilaku Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Triandis (1971 dalam Cahyasumirat, 2006), menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturanaturan sosial dan kebiasaan. Sikap terdiri dari komponen kognitif yaitu keyakinan,
1
komponen afektif yaitu suka atau tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap. Sikap menurut Fishbein dan Jazen (1975 dalam Cahyasumirat, 2006) menyatakan sikap dapat dipelajari, sikap mendefinisikan prediposisi kita terhadap aspek-aspek yang terjadi di dunia, sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antara pribadi kita dengan orang lain, sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian. Menurut Robbins (2003 dalam Cahyasumirat, 2006) sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang obyek, orang, atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu 2.1.2 Kompensasi Menurut Handoko (2011:155) bahwa kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Sastrohadiwiryo (2003:181) juga mendefinisikan kompensasi sebagai imbalan jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada tenaga kerja, karena tenaga tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasibuan (2003:117) mendefinisikan kompensasi sebagai semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima pegawai sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Kompensasi merupakan istilah luas yang berkaitan dengan imbalan-imbalan finansial (financial reward) yang diterima oleh orangorang melalui hubungan kepegawaian mereka dengan sebuah organisasi. Veithzal ( 2010:742) membagi kompensasi dalam dua jenis, yaitu:
2
1)
Kompensasi Finansial Kompensasi finansial merupakan imbalan yang melibatkan penilaian dan
kontribusi pekerjaanya. Kompensasi finansial terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (a)
Kompensasi langsung seperti upah, gaji atau komisi.
(b)
Kompensasi tidak langsung seperti asuransi kesehatan dan kecelakaan, pemberian jaminan nasional dan imbalan prestasi.
2)
Kompensasi Non Finansial
Kompensasi non finansial terbagi dua, yaitu : (a)
Pekerjaan seperti tugas, tantangan, kesempatan belajar, penghargaan dan lain lain.
(b)
Lingkungan seperti kebijakan, lingkungan yang nyaman, fasilitas.
2.1.3 Tekanan Waktu Anggaran waktu bertujuan untuk membantu auditor dalam melakukan langkah-langkah audit untuk setiap program auditnya. Namun, pada kenyataannya anggaran waktu ini dapat menimbulkan tekanan (pressure) bagi para auditor untuk dapat memenuhi anggaran waktu tersebut. Menurut Ahituv dan Igbaria (1998) menyatakan bahwa ini berpengaruh pada kualitas kerja maupun kinerja auditor tersebut yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan kerja auditor. Dengan adanya tekanan untuk menyelesaikan audit sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan dapat memberikan pengaruh kepada seorang auditor dalam pengambilan keputusan.
3
Tekanan anggaran waktu adalah keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun atau terdapat pembahasan waktu anggaran yang sangat ketat dan kaku (Sososutikno, 2015), serta sangat diperlukan bagi auditor dalam melaksanakan tugasnya untuk dapat memenuhi permintaan klien secara tepat waktu dan menjadi salah satu kunci keberhasilan karir auditor di masa depan.
Akhir-akhir ini
tuntutan tersebut semakin besar dan menimbulkan time pressure (Lestari, 2010:17). Tekanan anggaran waktu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Dalani hal ini tekanan anggaran waktu merupakan suatu kondisi dimana auditor diberikan batasan waktu dalam mengaudit. De Zoort dan Lord (1997), menyebutkan bahwa saat menghadapi tekanan anggaran waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara yaitu, fungsional dan disfungsional. Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Sedangkan, tipe disfungsional adalah perilaku auditor yang membuat penurunan kualitas audit.
2.1.4 Kepuasan Kerja Sebelum masuk kedalam bahasan kepuasan kerja maka terlebih dahulu akan melihat pengertian mengenai kerja, menurut Hasibuan (2003:41) kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental yang dilakukan seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan. Sedangkan menurut Osborn (1985:4 dalam Monikasari, 2014) menyatakan bahwa kerja adalah kegiatan yang menghasilkan suatu nilai bagi orang lain Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, instansi ataupun
4
perusahaan maka hasil kerja yang ia selesaikan akan mempengaruhi terhadap tingkat produktivitas organisasi. Oleh karena itu, pandangan dan juga perasaan individu terhadap pekerjaannya harus tetap terjaga pada sisi positif dari pekerjannya dengan kata lain individu tersebut harus memiliki dan menjaga kepuasan kerjanya agar produktivitasnya dapat terus ditingkatkan. Kepuasan kerja adalah kondisi menyenangkan atau secara emosional positif yang berasal dari penilaian seseorang atas pekerjaannya atau pengalaman kerjanya dan merupakan reaksi afektif individual terhadap lingkungannya. Menurut Marihot Tua Efendi (2002:290 dalam Monikasari, 2014) kepuasan kerja didefinisikan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya. Faktorfaktor apa yang terkait dengan atau menentukan kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja adalah suatu hal yang sangat luas. Hal di atas menunjukan bahwa kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak hanya gaji, tetapi terkait dengan pekerjaan itu sendiri, dengan faktor lain seperti hubungan dengan atasan, rekan kerja, lingkungan kerja, dan aturan-aturan (Aprillian, 2012). Feldman dan Arnold dalam (Aprillian, 2012) mengemukakan bahwa terdapat enam indikator yang dianggap paling dominan dalam mengukur kepuasan kerja, yaitu: 1)
Pekerjaan itu sendiri (work it self), setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya
5
dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 2)
Atasan (supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya.
Bagi
bawahan,
atasan
bisa
dianggap
sebagai
figur
ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya. 3)
Teman sekerja (workers), merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara karyawan dengan atasannya dan dengan karyawan lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
4)
Promosi (promotion), merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5)
Gaji atau upah (pay), merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup karyawan yang dianggap layak atau tidak.
Kelompok kerja (Work Group), merupakan faktor yang berhubungan dengan sumber kepuasan kerja individual yang berasal dari adanya kesempatan untuk melakukan interaksi satu sama lain.
2.1.5 Komitmen Organisasional Aranya et al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai yang pertama sebagai suatu kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan serta nilai-nilai dari organisasi dan atau profesi, yang kedua adalah suatu kemauan untuk melakukan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi dan/atau profesi. Serta yang terakhir, sebagai suatu keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi atau profesi.
6
Buchanan
(1992)
yang
dikembangkan
oleh
Trisnaningsih
(2007)
mendefinisikan komitmen adalah sebagai penerimaan karyawan atas nilai-nilai organisasi, keterlibatan secara psikologi (psychological immersion) dan loyalitas (affection attachment). Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi. Komitmen pada organisasi yaitu sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins dan Timothy, 2008:89). Sedangkan menurut Hatmoko (2006), komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilainilai organisasi,kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi serta keinginan untuk bertahan didalam organisasi.Komitmen organisasi merupakan tingkat sejauh apa seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Komitmen juga merupakan nilai personal, yang terkadang mengacu pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan (Ikhsan dan Ishak, 2010:53). Meyer dan Allen (1984, dalam Sopiah, 2008:157) mengemukakan bahwa komitmen organisasi terbagi dalam tiga dimensi, yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Penjelasan dari ketiga dimensi komitmen tersebut sebagai berikut :
7
1)
Affective commitment, berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam organisasi. Komitmen ini muncul karena ada keinginan. Komitmen dipandang sebagai suatu sikap, yaitu suatu usaha individu untuk mengidentifikasi dirinya pada organisasi beserta tujuannya. Karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional. Jadi karena memang ia menginginkanya (want to). Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah : a)
Saya senang sekali menghabiskan sisa karir saya di organisasi ini.
b)
Saya benar-benar merasakan bahwa seakan-akan masalah di organisasi adalah masalah saya.
2)
Continuance commitment berarti komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang keinginan yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Muncul karena kebutuhan akan gaji dan keuntungan-keuntungan lain dan memandang bahwa komitmen sebagai suatu perilaku yaitu terjadi karena suatu ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dalam organisasi pada masa lalu dan hal itu tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. Jadi dia memang membutuhkannya (need to). Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah : a)
Sekarang ini tetap bertahan menjadi anggota organisasi adalah hal yang perlu, sesuai dengan keinginan saya.
b) 3)
Sangat berat bagi saya untuk meninggalkan organisasi ini.
Normative commitment merupakan perasaan-perasaan karyawan tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Timbul dari nilai-nilai
8
diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan. Jadi karena dia merasa berkewajiban (ought to). Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah : a)
Saya merasa tidak memiliki kewajiban untuk meninggalkan atasan saya saat ini.
b)
Saya merasa tidak tepat untuk meninggalkan organisasi saya saat ini, bahkan bila hal itu menguntungkan.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kompensasi Pada Kepuasan Kerja Auditor Meskipun kompensasi bukan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor, akan tetapi diyakini bahwa kompensasi merupakan salah satu faktor penentu dalam menimbulkan kepuasan auditor yang tentu saja akan memotivasi auditor untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Jika auditor merasa bahwa usahanya akan dihargai dan jika Kantor Akuntan Publik menerapkan sistem kompensasi yang dikaitkan dengan evaluasi pekerjaan, maka perusahaaan telah mengoptimalkan motivasi yang dimiliki oleh auditor. Kompensasi dapat berperan meningkatkan prestasi kerja dan kepuasan auditor jika kompensasi dirasakan : 1)
Layak dengan kemampuan dan produktivitas pekerja.
2)
Berkaitan dengan prestasi kerja
3)
Menyesuaikan dengan kebutuhan individu
9
Kondisi-kondisi tersebut akan meminimalkan ketidakpuasan di antara para auditor serta mengurangi penundaan pekerjaan. Jika pekerja merasa bahwa usahanya tidak dihargai, maka prestasi auditor akan sangat di bawah kapabilitasnya (Robbin, 1993 : 647 dalam Djati dan Khusaini, 2003). Kompensasi sangat penting karena jika kompensasi rendah maka kepuasan kerja juga rendah, konsekuensinya keinginan berpindah tempat kerja dan ketidakhadiran terus menerus oleh auditor akan meningkat dan menimbulkan biaya yang tinggi bagi Kantor Akuntan Publik (Robbin, 1993 : 647 dalam Djati dan Khusaini, 2003) . Ada beberapa penyebab dari kepuasan dan ketidakpuasan auditor atas kompensasi yang mereka terima menurut pendapat Michael dan Harold (1993 : 443 dalam Djati dan Khusaini, 2003) , yaitu: 1)
Kepuasan individu terhadap kompensasi berkaitan dengan harapan dan kenyataan terhadap sistem kompensasi. Kompensasi yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan, apabila kompensasi yang diterima terlalu kecil jika dibandingkan dengan harapannya.
2)
Kepuasan dan ketidakpuasan auditor akan kompensasi juga timbul karena auditor membandingkan dengan auditor lain di bidang pekerjaan dan organisasi sejenis. Rasa ketidakpuasan akan semakin muncul manakala atasan mereka bersifat tidak adil dalam memperlakukan bawahan serta memberikan wewenang yang berbeda untuk auditor dengan level jabatan yang sama.
3)
Auditor sering salah persepsi terhadap sistem kompensasi yang diterapkan Kantor Akuntan Publik. Hal ini terjadi karena Kantor Akuntan Publik tidak
10
mengkomunikasikan informasi yang akurat mengenai kompensasi dan tidak mengetahui jenis kompensasi yang dibutuhkan oleh auditor. Hubungan kompensasi dengan kepuasan kerja diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Riri (2009) dengan judul “Pengaruh Kepemimpinan dan Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Dealer Toyota Auto 2000 Padang”. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa bahwa terdapat pengaruh kompensasi yang positif dan signifikan pada kepuasan kerja karyawan Dealer Auto 2000. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hartha (2015) yang meneliti mengenai kompensasi finansial, kompleksitas tugas, locus of control pada kepuasan kerja auditor pada Kantor Akuntan Publik di Bali,mendapatkan hasil bahwa kompensasi finansial berpengaruh positif dan signifikan pada kepuasan kerja audito
Berdasarkan uraian di atas dan hasil
penelitian sebelumnya, hipotesis dapat dirumuskan : H1 : Kompensasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja auditor
2.2.2 Pengaruh Tekanan Waktu Terhadap Kepuasan Kerja Tekanan anggaran waktu adalah keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun atau terdapat pembahasan waktu anggaran yang sangat ketat dan kaku (Nirmala dan Cahyonowati, 2013). Keberadaan anggaran waktu yang ketat telah dianggap suatu hal yang lazim dan merupakan cara untuk mendorong auditor untuk bekerja lebih keras dan efisien. Tekanan waktu sering dipandang dapat menurunkan kinerja, namun apabila alokasi waktu dilakukan dengan tepat justru berfungsi
11
sebagai mekanisme kontrol dan suatu indikator keberhasilan bagi kinerja auditor dan kantor akuntan publik (Cook dan Kelley, 1991). Berdasarkan uraian diatas, hipotesis dapat dirumuskan : H2 : Tekanan waktu berpengaruh positif pada kepuasan kerja auditor
2.2.3 Komitmen Organisasional Memoderasi Pengaruh Kompensasi Pada Kepuasan Kerja Auditor Aranya et al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai yang pertama sebagai suatu kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan serta nilai-nilai dari organisasi dan atau profesi, yang kedua adalah suatu kemauan untuk melakukan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi dan/atau profesi. Serta yang terakhir, sebagai suatu keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi atau profesi. Adanya komitmen organisasional yang tinggi dari masing-masing individu yang bekerja diharapkan individuindividu khususnya auditor yang bekerja di KAP tersebut memiliki kinerja yang baik,sehingga timbal balik dari kinerja yang baik
yaitu
kompensasi yang
tinggi,dan pada akhirnya berpengaruh pada kepuasan kerja yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Bagyo (2009) pada karyawan PT Bank UOB Buana Capem Tabanan menunjukkan bahwa kompensasi memiliki hubungan secara silmutan dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian sebelumnya, hipotesis dapat dirumuskan : H3 : Komitmen organisasional memperkuat pengaruh kompensasi pada kepuasan kerja auditor
12
2.2.4 Komitmen Organisasional Memoderasi Pengaruh Tekanan Waktu Terhadap Kepuasan Kerja Auditor Tekanan waktu merupakan suatu keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran yang sangat ketat dan kaku (Raghunathan, 1991). Kondisi tekanan waktu (time pressure) adalah suatu kondisi dimana auditor mendapatkan tekanan dari tempatnya bekerja untuk dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan (Maulina et al.2010). Menurut Buchanan (1992) yang dikembangkan oleh Trisnaningsih (2007) mendefinisikan komitmen adalah sebagai penerimaan karyawan atas nilainilai organisasi, keterlibatan secara psikologi (psychological immersion) dan loyalitas (affection attachment). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2013) dengan judul Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Kompleksitas Tugas, Time Budget Pressure, Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik Di Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja, sedangkan komitmen organisasional berpegaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja auditor. Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian sebelumnya, hipotesis dapat dirumuskan : H4 : Komitmen organisasional memperlemah pengaruh tekanan waktu pada kepuasan kerja auditor
13