BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan mempunyai banyak dimensi dan sangat situsional serta subyektif sifatnya. Kemiskinan memang dapat diukur dari sisi ekonomi, akan tetapi masih banyak sisi atau dimensi lain yang dapat dipakai sebagai ukuran atau indicator. Jika melihat kemiskinan dari banyak dimensi, serta menggunakan istilah yang dikenal dengan “plural poverty” digunakan untuk menggambarkan banyak dimensi kemiskinan, yakni kurangnya akses masyarakat terhadap kebutuhan dasarnya. Menurut Mubyarto dalam Dwipoyono (2009) mengemukakan, kemiskinan adalah kondisi serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar manusia meliputi sandang-pangan-papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan pendidikan dasar bagi anak-anak. Penduduk miskin “tidak berdaya” dalam memenuhi kebutuhannya, tidak saja karena mereka tidak memiliki asset sebagai sumber pendapatan, tetapi juga karena struktur sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkaran setan yang tidak berujung pangkal. Menurut Arsyad (1999), kemiskinan itu bersifat multi dimensional, yang artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan
pengetahuan serta keterampilan dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut
Sumodiningrat
dalam
Dwipoyono
(2009)
menyatakan
kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pula pada dasarnya dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian: kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Seorang dikatakan miskin secara absolut, apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain dapat diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan dan perumahan. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sudah diatas garis kemiskinan. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin, karena dari asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan lainnya. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, di mana mereka merasa sudah kecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Reksohadiprojo dkk (1994) mengemukakan seseorang berada dalam kemiskinan bila penghasilannya, termasuk kekayaan yang dinilai sekarang lebih kecil daripada jumlah masyarakat yang dipandang sebagai cukup. Masyarakat memandang suatu hal itu cukup adalah relatif karena pandangan masyarakat berubah-ubah. Orang dalam kemiskinan bila menguasai sumber daya lebih sedikit dibandingkan dengan orang lain dan masih sering kurang dari apa yang dipandang orang banyak sebagai cukup. Todaro (1999), lebih lanjut mengemukakan bahwa tinggi-rendahnya kemiskinan di suatu negara tergantung pada 2 faktor uatama, (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan (2) lebar-sempitnya kesenjangan dalam distribusi. Jelas bahwa suatu tingkat pendapatan nasional per kapita tertentu, distribusi pendapatan tidak merata, membuat kemiskinan menjadi semakain luas. Demikian pula pada tingkat distribusi tertentu, semakin rendahnya tingkat pendapatan rata-rata semakin luas pula kemerataannya. Lebih lanjut Reksohadiprojo dkk (1994) mengemukakan untuk mengatasi kemiskinan (kota) pemerintah kota pada hakekatnya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut. 1) Menjunjung mereka yang tidak mampu bekerja, yaitu misalnya pada orang tua, cacat, anak yatim piatu, dan lain-lain dihindari menunjang mereka yang mampu bekerja karena justru akan menimbulkan kemalasan bekerja. 2) Memperbaiki keterampilan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dalam rangak prngembangan sumber daya manusia; kiranya perlu industri ikut serta dalam kegiatan ini.
3) Menciptakan kesempatan kerja dengan memberikan iklim berusaha yang baik bagi industri di kota. 4) Menunjang lembaga-lembaga pendidikan tertentu, terutama sekolahsekolah teknik.
2.1.2 Ukuran Kemiskinan Untuk menentukan seseorang dikatakan miskin diperlukan tolak ukur yang jelas. Berbagai pendekatan konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan. Adapun indikator untuk menentukan kemiskinan adalah sebagai berikut. 1) Indikator Kemiskinan Absolut Menurut Singarimbun dan Penny dalam Dwipoyono (2009) menyatakan bahwa kecukupan sebagai batas kemiskinan. Batas kecukupan ini diukur dari luas tanah garapan. Sebuah rumah tangga petani dianggap kecukupan apabila menguasai tanah garapan terdiri atas 0,7 hektar sawah tadah hujan dan ditambah 0,3 hektar pekarangan. Selanjutnya menurut Sajogyo dalam Arsyad (1999) mengajukan kriteria untuk garis kemiskinan dengan menggunakan asumsi pendapatan perkapita per tahun dalam nilai yang disamakan dengan beras. Garis kemiskinan digunakan ada tiga dengan membedakan daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240 kg perkapita per tahun dapat digolongkan miskin. Di daerah perkotaan adalah 360 kg per tahun. Selanjutnya Sajogyo merinci kemiskinan dalam kategori seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kategori Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan (dalam kg per kapita) Kategori
Melarat Sangat miskin Miskin Sumber: Arsyad (1999)
Pedesaan 180 240 320
Perkotaan 270 360 480
2) Indikator Kemiskinan Relatif Menurut Todaro (1999), kemiskinan relatif yang berkaitan dengan distribusi pendapatan perorangan digunakan indikator Gini Ratio yang merupakan ukuran derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam suatu Negara yang diperoleh dengan menghitung luas daerah antara garis diagonal (kemerataan sempurna) dengan Kurva Lorenz dibandingkan dengan luas total dari separuh bujur sangkar dimana terdapat kurva Lorenz tersebut. Seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia, klasifikasi Gini Ratio adalah sebagai berikut:1) ketidakmerataan tinggi = 0,50-0,70 , 2) ketidakmerataan sedang = 0,30-0,49 dan 3) ketidakmerataan rendah = 0,20-0,36. Pengukuran lainnya adalah dengan penaksiran distribusi pendapatan total yang diterima masing-masing golongan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia: (1). Jika 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima kurang dari 12 persen total pendapatan, maka distribusi pendapatannya dikatidakan sangat timpang, (2). Jika 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara 12 persen17 persen total pendapatan, maka distribusi pendapatannya dikatakan memiliki ketimpangan sedang, (3). Jika 40 persen dari penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan,
maka distribusi pendapatannya memiliki ketimpangan rendah (Arsyad, 1997 ). 3) Kemiskinan Sosial Selain kemiskinan yang didasarkan pada ukuran pendapatan, kemiskinan juga dapar dilihat dari kemampuan masyarakat untuk memperoleh akses kepada pelayanan, seperti. a) Rendahnya kualitas pendidikan yang disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidik dan sarana pendidikan di daerah miskin / terpencil, serta sulitnya mengakses layanan pendidikan karena hambatan geografis. b) Rendahnya akses pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi, diantaranya meliputi : masih belum memadainya tenaga medis, dana dan peralatan medis di daerah miskin serta hambatan geografis / fisik dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan antara lain rendahnya usia harapan hidup dan gizi buruk anak dan balita. c) Rendahnya akses masyarakat miskin kepada layanan air minum. d) Keterbatasan terhadap akses sumber-sumber pendanaan dan masih rendahnya kapasitas serta produktivitas usaha. e) Masih lemahnya kelembagaan gender pengharusutamaan gender dan anak terutama di tingkat kabupaten / kota. f) Masih biasnya peraturan perundang-undangan mengenai gender dan / atau diskriminatif terhadap perempuan dan kepedulian terhadap anak.
4) Menurut BPS, (2005) kriteria untuk menentukan keluarga atau rumah tangga dikategorikan miskin apabila. a) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. b) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. c) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/bersama-sama dengan rumah tangga lain. d) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. e) Sumber penerangan rumah tidak menggunakan listrik. f) Sumber
air
minum
berasal
dari
sumur/mata
air
tidak
terlindung/sungai/air hujan. g) Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. h) Hanya mengkonsumsi daging, susu, ayam satu kali dalam seminggu. i) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. j) Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. k) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. l) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan. m) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
n) Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.
2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Menurut Zadjuli (1995) makin ramainya bahasa majalah kemiskinan dewasa ini, maka perlu diberikan berbagai analisis tentang jenis dan faktor penyebab kemiskinan di dunia termasuk di Indonesia sebagai berikut. 1) Kemiskinan karena kolonialisme Masyarakat miskin akibat penjajahan yang memeras suatu bangsa dalam kurun yang lama menyebabkan turunnya pendapatan perkapita. Seperti halnya Nepal (U$ 170), Bangladesh (U$ 210), India (U$ 350), dan Pakistan (U$ 380), yaitu akibat jajahan Inggris. Bekas jajahan Belanda seperti halnya Suriname dan Indonesia, bekas jajahan Spanyol seperti halnya Filipina, Timor-Timur bekas Kolonial Portugal, orang Indian hampir punah karena Kolonialis Australia dan Selandia Baru, bekas jajahan Perancis anatara lain Kamboja dan Vietnam juga tetap miskin hingga sekarang. 2) Miskin karena tradisi sosial cultural seperti halnya Suku Badui di Saudi Arabia, Badui di Cibeo, Banten Selatan, Suku-Suku bangsa Iran, Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, Suku Kubu dan Suku-Suku di pedalaman Sumatra.
3) Miskin karena terisolasi Kemiskinan karena lokasi tempat tinggal terisolasi, misalnya orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Xrimas, Suku Tengger di Jawa Timur. 4) Kemiskinan struktural Kemiskinan struktural terdiri dari struktur kekuasaan ekonomi dan persaingan yang berat setelah menjadikan Negara Utara makmur dan Negara Selatan Katulistiwa kebanyakan miskin. Struktur ketimpangan hubungan sosial ekonomi antara pusat kegiatan dan daerah belakangannya menjadi daerah perkotaan lebih makmur dan daerah pedesaan menjadi lebih miskin. Persaingan yang tidak seimbang antara daerah yang mempunyai keunggulan komparatif dengan daerah sekitarnya yang justru tidak mempunyai keunggulan komparatif. Ketimpangan-ketimpangan yang dimaksud antara lain: ketimpangan kepemilikan lahan, ketimpangan pemilikan modal, dan ketimpangan struktur kualitas sumber daya manusia (SDM).
2.1.4
Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Cahyanta dalam Paramitha (2009) membicarakan kemiskinan
tidak bisa berhenti sebatas mencari apa yang menjadi penyebab dan bagaimana kondisi kemiskinan tersebut. Lebih mendesak adalah membicarakan bagaimana upaya penanggulangannya agar kemiskinan dapat berkurang atau mungkin dientaskan, walaupun tidak mungkin terjadi. Jajaran birokrasi di Bali tentunya tidak tinggal diam melihat masih adanya kemiskinan di tengah masyarakat Bali. Upaya yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan dari pemerintah pusat. Salah
satu pedoman yang digunakan adalah Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Keppres Nomor 8 Tahun 2002 itu telah diatur langkah-langkah apa yang harus diambil Komite Penanggulangan Kemiskinan, termasuk pada daerahdaerah. Langkah-langkah itu tentu saja bertujuan untuk mengurangi jumalh penduduk miskin di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk Bali, untuk itu langkah-langkah nyata yang perlu dilakukan adalah. 1) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek pendidikan, kesehatan, dan perbaikan infrastruktur dasar tertentu lainnya. 2) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkwalitas dengan perbaikan aspek lingkungan, pemukiman, perumahan dan prasarana pendukung. 3) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbaikan aspek usaha, lapangan pekerjaan, dan lain-lain yang dapat meningkatkan pendapatan.
2.1.5
Program Bantuan Kepada Rumah Tangga Miskin Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, pemerintah melaksanakan
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) yang dibagi ke dalam empat bidang yaitu. 1) Bidang pendidikan berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimaksud untuk mendukung penuntasan wajib belajar sembilan tahun untuk tingkat SD dan SLTP atau Salafiah yang sederajat. Selain BOS ada pula
Bantuan Khusus Murid (BKM) yang ditujuakan untuk pemberian beasiswa bagi siswa wajib belajar dari keluarga miskin. Tujuan diberikannya beasiswa bagi anak-anak keluarga miskin adalah agar keperluan siswa seperti seragam, alat tulis, dan transportasi dapat terpenuhi, sedangkan untuk BOS sendiri diberikan agar siswa dapat dibebaskan dari iuran sekolah dalam bentuk dana yang dibayarkan langsung ke sekolah. 2) Bidang Kesehatan berupa pemberian pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas/Poliklinik dan jaringannya, serta pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah dan swasta (yang ditunjuk) kategori kelas III. Kebijakan dilakukan dengan menyalurkan dana pelayanan kesehatan secara kapitasi ke puskesmas dan pelayanan kesehatan di kelas III rumah sakit dengan sistem klaim. Komponen pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin adalah rawat jalan tingkat pertama di Puskesmas, rawat inap tingkat pertama di Puskesmas, pelayanan gawat darurat di Puskesmas, serta rawat jalan dan rawat inap tingkat lanjutan di ruang rawat kelas III Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta (yang ditunjuk) olah Pemerintah. 3) Bidang Infrastruktur Perdesaan berupa dana yang difokuskan untuk desa tertinggal yang membutuhkan penyediaann, peningkatan dan perbaikan di bidang prasarana jalan dan jembatan perdesaan, prasarana irigasi perdesaan serta prasarana air bersih di perdesaan. 4) Bidang Bantuan/Subsidi Langsung Tunai (BLT/SLT) yang ditujukan langsung kepada rumah tangga miskin. Untuk menyalurkan BLT/SLT dalam rangka kompensasi BBM, diperlukan data mikro rumah tangga miskin yang memuat
informasi nama kepala rumah tangga yang berhak menerima SLT dan lokasi tempat tinggalnya (rinci menurut nama dan alamat). Upaya penyediaan data mikro ini dilakukan BPS dengan melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE). Karena program SLT menghendaki manfaat yang lebih luas bagi rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM, maka sasarannya tidak hanya pada rumah tangga sangat miskin dan miskin, tetapi juga pada rumah tangga yang mendekati miskin. Dana SLT dimaksudkan untuk membantu rumah tangga sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin, dalam mempertahankan tingkat konsumsi atau kesejahteraannya paling tidak sama dengan kondisi sebelum adanya kenaikan harga BBM dan menjaga daya beli rumah tangga miskin agar tidak tergerus oleh kenaikan harga umum setelah dikurangi subsidi. 5) Bidang peningkatan kesempatan kerja Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin diarahkan pada kegiatan-kegiatan, seperti. a. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Peningkatan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin yang dilakukan oleh skema PPK bertujuan meningkatkan penghasilan kepada masyarakat miskin desa, PPK sendiri dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri. b. Program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) Peningkatan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin yang dilakukan melalui skema P2KP bertujan meningkatkan keberadaan masyarakat miskin secara ekonomi, sosial, dan lingkungan di kawasan kelurahan. Dengan
sasaran pencapaian penanggulangan kemiskinan dan memberikan kontribusi dalam pencapaian salah satu target yaitu meningkatkan kesejahteraan umat manusia. P2KP dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Sejak tahun 2007 P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. c. Program peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (P4K) Skema berikutnya adalah P4K secara umum bertujuan menumbuhkan kemandirian dan memberdayakan masyarakat prasejahtera di pedesaan agar bersedia
dan
mampu
menjangkau
fasilitas
yang
tersedia
untuk
mengembangkan agribisnis agar dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga miskin. d. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) Skema PEMP dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yang secara umum bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan lembaga keuangan mikro, penggalangan pertisipasi masyarakat, dan kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya yang berbasisi sumber daya lokal dan berkelanjutan. PEMP ini dimulai dari tahun 2001. e. Program kemitraan dan pengembangan ekonomi lokal (KPEL) Selain itu terdapat pula skema KPEL dengan pendekatan fasilitasi kelembagaan. KPEL dilaksanakan oleh Bappenas. Skema KPEL bertujuan antara lain : (a) menguatkan kapasitas pemerintahan local dalam mendukung pengembangan ekonomi local yang berdasarkan prinsip tata pemerintahan
yang baik; (b) meningkatkan pola pembangunan desa dan kota yang seimbang dalam rangka pengembangan ekonomi lokal; (c) meningkatkan pendapatan dan menciptidakan lapangan kerja produktif; dan (d) memberdayakan komunitas local agar mampu mengambil inisiatif secara mendiri dalam pembangunan ekonomi lokal. f. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD) Selain skema diatas, terdapat pula skema PMPD yang bertujuan : (a) memberdayakan masyarakat desa dengan meningkatkan kapasitas aparat pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan pedesaan; (b) mendukung program investasi lokal serta meningkatkan keterkaitan pedesaan-perkotaan dengan membangun sarana dan prasarana perdesaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan produktivitas usaha skala kecil dan mikro. Skema PMPD dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri.
2.1.6 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Kelompok swadaya masyarakat merupakan peminjam dalam pinjaman dana bergulir yang telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk mendapat pinjaman bergulir dari UPK (Unit Pengelola Keuangan), hanya KSM dan anggota yang memenuhi kriteria kelayakan yang dapat dilayani oleh LKM/UPK. Dengan kata lain, KSM peminjam dan anggotanya yang tidak atau belum memenuhi kriteria kelayakan tidak dapat dilayani dan harus ada pendampingan terlebih dahulu sampai KSM peminjam tersebut memenuhi kriteria kelayakan sebagai calon peminjam. Adapun kriteria kelayakan KSM yang meminjam harus memenuhi kriteria antara lain.
1) KSM peminjam telah terbentuk dan anggotanya adalah warga miskin yang tercantum dalam daftar PS2 serta seluruh anggota telah memperoleh pembekalan tentang pembukuan KSM, pinjaman bergulir (persyaratan, peminjam, skim pinjaman, tanggung renteng, dan tahapan peminjaman), PERT, kewirausahaan serta telah melakukan kegiatan menabung diantara anggota KSM. 2) KSM dibentuk hanya untuk tujuan penciptaan peluang usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat miskin 3) KSM dibentuk atas dasar kesepakatan anggota-angggotanya secara sukarela, demokratis, partisipatif, transparan, dan kesetaraan 4) Anggota KSM termasuk kategori keluarga miskin sesuai kriteria yang ditetapkan sendiri oleh LKM / masyarakat 5) Jumlah anggota KSM minimal 5 orang 6) Jumlah anggota KSM minimal 30 persen perempuan 7) Mempunyai pembukuan yang memadai sesuai kebutuhan 8) Semua anggota KSM menyetujui sistim tanggung renteng dan dituangkan secara tertulis dalam pernyataan kesanggupan tanggung renteng. 9) Semua anggota KSM telah memperoleh pelatihan tentang pinjaman bergulir, rencana usaha, kewirausahaan, dan pengelolaan ekonomi rumah tangga (PERT) dari fasilitator dan LKM/UPK. Kriteria kelayakan anggota KSM ( Kelompok Swadaya Masyarakat), yaitu. 1) Anggota KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) adalah warga masyarakat dan memiliki kartu tanda penduduk (KTP) setempat.
2) Termasuk ke dalam kategori keluarga miskin sesuai dengan kriteria yang dikembangkan dan disepakati sendiri oleh masyarakat. 3) Dapat dipercaya dan dapat bekerja sama dengan anggotanya yang lain. 4) Semua anggota KSM telah mempunyai tabungan minimal 5 persen dari pinjaman yang diajukan dan bersedia menambah tabungannya minimal 5 persen selama jangka waktu pinjaman dan tidak akan mengambil tabungan tersebut sebelum pinjamannya lunas. 5) Memiliki motivasi untuk berusaha dan bekerja atau dapat pula memiliki usaha mikro dan bermaksud untuk meningkatkan usaha, pendapatan, dan kesejahteraan keluarganya. 6) Belum pernah mendapat pelayanan dari lembaga keuangan yang ada. Bagi anggota KSM yang telah menerima pinjaman sampai batas maksimal (Rp 2 juta atau 4 kali pinjaman) maka LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat) atau UPK (Unit Pengelola Keuangan). (a) Memberikan rekomendasi anggota KSM tersebut ke Lembaga Keuangan Formal. (b) Mengupayakan channeling sebagai sumber dana pinjaman.
2.1.7
Pengertian dan Tujuan Mandiri Perkotaan
Pemberian Pinjaman Bergulir PNPM
Pinjaman dana bergulir PNPM Mandiri Perkotaan merupakan wujud kegiatan ekonomi pemberdayaan masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang memberikan pinjaman dalam skala mikro kepada masyarakat miskin di wilayah kelurahan atau desa dimana LKM/UPK berada
dengan ketentuan pokok untuk pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir, namun keputusan untuk melaksanakannya diserahkan sepenuhnya kepada warga masyarakat setempat. Beberapa pertimbangan dalam melanjutkan pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dalam PNPM Mandiri Perkotaan, antara lain. 1)
Tersedianya akses dan jasa layanan keuangan yang berkelanjutan telah terbukti merupakan salah satu alat efektif untuk membantu rumah tangga miskin meningkatkan pendapatan dan kekayaannya.
2)
Akses rumah tangga miskin ke jasa layanan keuangan formal masih sangat rendah. Sekitar 29 juta rumah tangga miskin masih belum mendapat akses ke jasa layanan keuangan formal.
3)
Pinjaman bergulir PNPM Mandiri Perkotaan memiliki peluang dapat menjangkau sekitar 2,5 juta rumah tangga miskin yang sama sekali belum menerima akses ke lembaga keuangan.
4)
Permintaan pinjaman bergulir pada rencana pembangunan masyarakat masih tinggi.
5)
Pemutusan pendampingan yang telah berjalan selama ini bila tanpa disertai kinerja yang memadai akan merusak budaya meminjam dan jaminan sosial yang ada di masyarakat. Pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dalam PNPM Mandiri Perkotaan
bertujuan untuk menyediakan akses layanan keuangan kepada rumah tangga miskin dengan pinjaman mikro berbasis pasar untuk memperbaiki kondisi
ekonomi menreka dan membelajarkan mereka dalam hal mengelola pinjaman dan menggunakannya secara benar. Meskipun demikian, PNPM bukanlah program keuangan mikro, dan tidak akan pernah menjadi lembaga keuangan mikro. Program keuangan mikro bukan hanya pemberian pinjaman saja akan tetapi banyak jasa keuangan lainnya yang perlu disediakan. Peran PNPM hanya membangun dasar-dasar solusi yang berkelanjutan untuk jasa pinjaman dan non pinjaman di tingkat kelurahan. PNPM Mandiri Perkotaan dijadikan momen untuk tahap konsolidasi kegiatan keuangan mikro. Oleh sebab itu, dalam tahap ini perlu diciptakan UPK yang kuat, sehat, dan secara operasional terpisah dari LKM. Masyrakat sendiri harus terlibat dalam keputusan untuk menentukan masa depan UPK.
2.1.8
Dampak Program Bantuan Pengentasan Kemiskinan Dampak program bantuan pengentasan kemiskinan berpengaruh terhadap
pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat meningkat sebanyak tambahan pembelanjaan agregat. Pertambahan pendapatan masyarakat akan mendorong pertambahan konsumsi (Sukirno, 2004). Dampak pinjaman Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dalam penelitian ini akan dikaji dari dua hal yaitu : dampak terhadap pendapatan keluarga dan dampak terhadap kesempatan kerja. Dampak terhadap pendapatan dan kesempatan kerja, akan dievaluasi apakah terdapat perubahan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah menerima bantuan.
2.1.9
Konsep Pendapatan Menurut Sukirno (2004) pendapatan individu merupakan pendapatan yang
diterima rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain. Dalam penelitian ini salah satu faktor produksi yang berubah adalah modal. Pertambahan modal untuk usaha-usaha ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya keluarga pra sejahtera. Modal usaha sebagai investasi akan dapat
meningkatkan
pendapatan.
Peningkatan
pendapatan
akan
dapat
maningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran dan atau kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, ini berarti bahwa pendapatan masyarakat dapat dipakai untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan ini dapat dilihat tiga aspek, yaitu besarnya pendapatan, pertumbuhannya dan distribusi pendapatannya. Menurut Murjana Yasa dalam Aswitari (2007) pendapatan adalah balas jasa yang diterima seseorang atas keikutsertaannya dalam proses produksi barang dan jasa, pendapatan ini disebut pendapatan dari kerja (labor income) sedangkan pendapatan yang dilakukan tidak dari bekerja diantaranya adalah pemberian orang lain, pendapatan bunga uang, pendapatan dari usaha yang dijalankan orang lain, dan pendapatan persewaan kamar atau rumah.
2.1.10 Kesempatan Kerja Kesempatan kerja merupakan hubungan antara angkatan kerja dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja. Pertambahan angkatan kerja harus diimbangi dengan investasi yang dapat menciptakan kesempatan kerja. Dengan demikian, dapat menyerap pertambahan angkatan kerja. Dalam ilmu ekonomi, kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing. Kesempatan Kerja (demand for labour) adalah suatu keadaan yang menggambarkan / ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja). Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja. Sementara itu, angkatan kerja (labour force), didefinisikan sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Bisa juga disebut sumber daya manusia. Banyak sedikitnya jumlah angkatan kerja tergantung komposisi jumlah penduduknya. Kenaikan jumlah penduduk terutama yang termasuk golongan usia kerja akan menghasilkan angkatan kerja yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak tersebut diharapkan akan mampu memacu meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.1.11 Efektivitas Menurut Subagyo dalam Dwipoyono (2009) efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Tingkat efektivitas program dalam hal ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan program yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Apabila realisasi program 1 persen sampai dengan 50 persen dari target termasuk efektivitas rendah, sedangkan apabila realisasi program antara 51 sampai dengan 100 persen dari target, termasuk efektivitas tinggi. Efektivitas harus dinilai atas dasar tujuan yang bisa dilaksanakan, bukan atas dasar konsep tujuan yang maksimum. Pengukuran efektivitas meliputi variabel input, variabel proses, dan variabel output. Variabel input yang diteliti meliputi : sosialisasi program, tujuan program, ketepatan pemberian bantuan pinjaman dengan kebutuhan, ketepatan jumlah pemberian pinjaman, ketepatan sasaran program. Variabel proses meliputi :
pembinaan/pendampingan/pelatihan
dan
monitoring
dan
evaluasi
dari
Pemda/petugas. Variabel output meliputi : kondisi ekonomi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang mendapat bantuan pinjaman program yang berupa perubahan pendapatan dan kesempatan kerja. Hasil yang diharapkan adalah bahwa rasio efektivitas semakin tinggi yaitu mencapat angka 100 persen yang menunjukkan tingkat pencapaian tujuan yang tinggi sebagai ukuran keberhasilan program yang dilaksanakan.
2.1.11.1 Efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Dalam menentukan tingkat efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dipergunakan kriteria efektivitas dari Litbang Depdagri (1991) seperti yang terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kriteria Efektivitas dari Litbang Depdagri (1991) Kriteria Koefisien efektivitas bernilai kurang dari 40% Koefisien efektivitas bernilai 40%-59,99% Koefisien efektivitas bernilai 60-79,99% Koefisien efektivitas bernilai diatas 79,99% Sumber : Litbang Depdagri (1991).
Keterangan sangat tidak efektif tidak efektif cukup efektif sangat efektif
Selanjutnya untuk mengukur tingkat efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan kepada KSM di Kecamatan Denpasar Barat, perlu disiapkan variabel jumlah KSM yang merupakan target untuk mengetahui efektivitas program, dimana KSM tersebut adalah KSM yang memperoleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan.
2.2 1.
Pembahasan hasil Penelitian Sebelumnya Pada penelitian Aswitari (2007) yang diteliti adalah “Efektivitas Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kabupaten Klungkung” dengan menggunakan metode analisis statistika deskriptif dan uji statistik beda rata-rata, yang menghitung efektivitas dari program UPPKS yang dilihat dari tiga variabel, yaitu variabel input, proses dan output. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa variabel input, proses
dan output program UPPKS adalah efektif. Perbedaan penelititan ini dengan penelitian sebelumnya yaitu: pertama, daerah penelitiannya berbeda dimana penelitian sebelumnya mengambil tempat di Kabupaten Klungkung, sedangkan penelitian ini mengambil tempat di Kota Denpasar. Perbedaan kedua dari objek penelitian, pada penelitian yang dilakukan oleh Aswitari (2007) dimana obyek penelitiannya adalah keluarga pra sejahtera sedangkan obyek penelitian ini adalah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menghitung dampak. 2.
I Gusti Bagus Krisno Dwipoyono (2009), dengan judul penelitian Efektivitas Penyaluran dan Dampak Bantuan Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Terhadap Pendapatan dan Kesempatan Kerja Rumah Tangga Miskin Di Kota Denpasar yang bertujuan untuk mengetahui efektif tidaknya Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kota Denpasar dengan identifikasi tiga variabel yaitu variabel input yang terdiri dari ketepatan sasaran, tujuan dan sosialisasi P2KP. Variabel proses terdiri dari keteptan penggunaan dana, prosedur perolehan bantuan, respon pemerintah daerah/petugas terhadap keluhan penerima P2KP, pengawasan dari pemerintah/petugas. Variabel output terdiri dari kondisi ekonomi setelah menerima P2KP dan pendapatan keluarga, kesempatan kerja, usaha produktif dan asset usaha setelah menerima P2KP. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk mengetahui dampak Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Denpasar dalam meningkatnya
penghasilan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan jumlah tenaga kerja sebelum dan sesudah adanya program. Hasil penelitian menunjukan bahwa program pemberian bantuan (P2KP) di Kota Denpasar dikatakan sangat efektif dengan tingkat efektivitas sebesar 93,50 persen. Dilihat dari variabel inputnya sebesar 94,00 persen, variabel proses sebesar 92,75 persen, dan variabel outputnya sebesar 93,75 persen. Berdasarkan uji statistik parametrik dua sample berpasangan tampak program bantuan P2KP memberikan dampak peningkatan pendapatan dan peningkatan jumlah tenaga kerja pada rumah tangga miskin di Kota Denpasar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitiannya, karena penelitian objek penelitian ini adalah Rumah Tangga Miskin (RTM) dan persamaan dengan penelitian ini adalah samasama mengitung efektivitas dan dampak bantuan program.
2.3 HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori yang telah diuraikan, maka rumusan hipotesis dari penelitian ini, yaitu. 1.
Pemberian pinjaman bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan berdampak positif terhadap pendapatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Denpasar Barat.
2.
Pemberian pinjaman bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan berdampak positif terhadap kesempatan kerja Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Denpasar Barat.