BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan teori
2.1.1
Teori Persepsi Untuk memahami persepsi terhadap perilaku penggelapan pajak, terlebih
dahulu akan diterangkan beberapa konsep mengenai persepsi menurut ahli. Menurut Robbins (2003) yang dimaksud dengan persepsi adalah: “Persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian dianalisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.” Secara sempit persepsi adalah suatu tangkapan rangsang dari luar oleh panca indera. Sedangkan persepsi secara luas adalah sebagai suatu pengertian, pemahaman, penafsiran terhadap suatu objek tertentu. Pareek (2001) mengemukakan bahwa persepsi mencakup dua proses kerja yang saling terkait, yaitu: 1) Menerima kesan melalui penglihatan, sentuhan dan melalui indera lainnya. 2) Penafsiran atau penetapan arti atas kesan-kesan inderawi tersebut. Arti ditetapkan melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur pengertian (keyakinan relevan yang muncul dari pengalaman masa lalu) seseorang dan struktur evaluative (nilai-nilai yang dipegang seseorang).
13
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa persepsi mengandung unsur-unsur sebagai berikut. 1) Adanya kesan inderawi. 2) Penafsiran dan penetapan arti atas kesan-kesan inderawi. 3) Timbulnya kesadaran atas suatu objek tertentu. 4) Pengaruh pengalaman dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Dengan demikian persepsi adalah proses untuk memahami dan kemudian menafsirkan suatu objek tertentu, dimana penafsiran itu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam individu tersebut. Persepsi individu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk di dalamnya lingkungan sosial, di mana individu yang bersangkutan melakukan interaksi sosial (Plano, 2005). Lingkungan sosial akan membentuk kepribadian, cara pandang seseorang terhadap suatu objek dan cara berpikir. Persepsi individu akan membentuk persepsi masyarakat, mengingat bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang saling mengadakan interaksi sosial. Berdasarkan beberapa pendapat di atas tampak adanya pengaruh persepsi dalam membentuk perilaku individu sebagai warga Negara dalam rangka memenuhi kewajiban membayar pajak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini persepsi individu terhadap perilaku penggelapan pajak adalah proses individu dalam menerima, mengorganisasikan serta mengartikan praktek penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diterima, maka akan semakin luas wawasan individu
14
tentang etika penggelapan pajak, dimana hal ini akan mendorong individu berperilaku positif terhadap proses pelaksanaan perpajakan.
2.1.2
Theory of Planned Behavior (TPB) Ajzen (1991) mengungkapkan bahwa Theory of Planned Behavior merupakan
pengembangan
dari
Theory
of
Reasoned
Action
(TRA)
yang
bertujuan
memperlihatkan hubungan dari perilaku-perilaku yang dimunculkan oleh individu untuk menanggapi sesuatu. Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) terdapat variabel kontrol keperilakuan yang tidak terdapat pada TRA. Variabel kontrol keperilakuan mengartikan bahwa tidak semua tindakan yang diambil oleh individu berada di bawah kendali individu tersebut. Theory of Planned Behavior membagi tiga macam alasan yang dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh individu, yaitu: 1) Behavioral
beliefs,
yaitu
kepercayaan-kepercayaan
mengenai
kemungkinan akan terjadinya suatu perilaku. Dengan kata lain, behavioral beliefs merupakan keyakinan dari individu akan hasil (outcome) dari suatu perilaku dan evaluasi. Pada TRA hal ini disebut dengan sikap (attitude) terhadap perilaku. 2) Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif yang muncul akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. Dalam TRA, hal ini disebut dengan norma-norma subjektif sikap (subjective norms) terhadap perilaku.
15
3) Control beliefs, yaitu keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mendukung atau menghambat perilakunya tersebut. Hal yang mungkin menghambat saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam TRA variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada Theory of Planned Behavior, disebut dengan perceived behavioral control. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan sikap individu untuk berperilaku yang baik ketika menjalankan ketentuan perpajakan, secara langsung memudahkan wajib pajak dalam melakukan kegiatan perpajakan dan kesempatan melakukan tindakan yang melanggar hukum, dalam hal ini tindakan penggelapan pajak menjadi rendah.
2.1.3
Etika Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan dengan moral yang merupakan istilah dalam bahasan latin, yaitu “mos” yang dalam bentuk melakukan perbuatan baik dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Menurut Maryani dan Ludigdo (2001), etika merupakan seperangkat aturan, norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
16
Menurut Velasques (2005) etika mempunyai beragam makna yang berbeda, salah satu maknanya adalah prinsip tingkah laku yang mengatur individu atau kelompok. Seperti penggunaan istilah etika personal, yaitu mengacu pada aturanaturan dalam lingkup dimana orang per orang menjalani kehidupan pribadinya. Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan profesional akuntan. Untuk makna yang kedua, etika adalah kajian moralitas. Hal ini berarti etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan (baik aktivitas penelahaan maupun hasil-hasil penelaah itu sendiri), sedangkan moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau
baik
dan
jahat.
Setelah
mengaitkan
dengan
moralitas,
Velasques
mengembangkan pengertian etika sebagai ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Merujuk pada uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa etika pajak adalah tindakan untuk mematuhi peraturan perpajakan atau undang-undang perpajakan yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini wajib pajak harus rutin dalam membayar pajak karena dengan membayar pajak maka pembangunan akan terlaksana dengan baik (Izzah dan Hamzah, 2009). Suminarsasi (2011) menjelaskan etika pajak merupakan peraturan dimana orang atau kelompok orang yang menjalani kehidupan dalam
lingkup
perpajakan,
bagaimana
mereka
melaksanakan
perpajakannya, apakah sudah benar, salah, baik atau buruk.
17
kewajiban
Dalam memandang perilaku penggelapan pajak (tax evasion), Murni (2013) mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman wajib pajak dapat menimbulkan kepatuhan ataupun ketidakpatuhan dalam melaksanakan ketentuan perpajakan. Dengan demikian tindakan penggelapan pajak akan dipersepsikan sebagai tindakan yang tidak etis dan wajib pajak cenderung menghindari perilaku tersebut. McGee dalam Suminarsasi (2011) menemukan bahwa beberapa negara mengkategorikan penggelapan pajak tidak pernah etis, kadang-kadang dipandang etis tergantung pada fakta-fakta dan keadaan atau dipandang selalu etis.
2.1.4
Penggelapan Pajak (Tax evasion) Mardiasmo (2011) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion): “Adalah usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban
pajak dengan cara melanggar undang-undang. Dikarenakan melanggar undangundang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan ketentuan formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data dengan tidak lengkap dan tidak benar”. Menurut Setiawan (2008) tax evasion yaitu: “cara menghindari pajak dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bila diketemukan dalam pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
18
Rahayu (2010) mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion) sebagai usaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin dan cenderung melakukan penyeludupan pajak, yang tentunya melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan. Kondisi ini merupakan tindakan peminimalan pajak atau tindakan yang dianggap ilegal yang dilakukan oleh wajib pajak. Beberapa contoh kasus penggelapan pajak, yaitu: 1) Tidak dapat memenuhi pengisian Surat Pemberitahuan tepat waktu. 2) Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat waktu. 3) Tidak dapat memenuhi pelaporan dan pengurangannya secara lengkap dan benar. 4) Tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan. 5) Tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan pajak penghasilan para karyawan yang diptong dan pajak-pajak terutang. 6) Tidak dapat memenuhi kewajiban membayar taksiran pajak terutang. 7) Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan intimidasi lainnya.
2.1.5
Keadilan Pajak Menurut Adam Smith dalam Zain (2003), prinsip yang paling utama dalam
rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga negara hendaklah berpatisipasi dalam pembiayaan pemerintah, sedapat mungkin secara proporsional sesuai dengan
19
kemampuan masing-masing, yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmati dari Negara. Hal ini sejalan dengan teori keadilan Rawls (1971) yang mengatakan bahwa pemungutan pajak harus bersifat final, adil dan merata. Mardiasmo (2011), mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Keadilan pajak oleh Siahaan (2010), dibagi ke dalam tiga pendekatan aliran pemikiran, yaitu: 1) Prinsip manfaat (benefit principle) Seperti teori yang diperkenalkan oleh Adam Smith serta beberapa ahli perpajakan lain tentang keadilan, mereka mengatakan bahwa keadilan harus didasarkan pada prinsip manfaat. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah. Jasa pemerintah ini meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip ini maka sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda tergantung pada
20
struktur pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu prinsip manfaat tidak hanya menyangkut kebijakan pajak saja, tetapi juga kebijakan pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak. 2) Prinsip Kemampuan Membayar (ability to pay principle) Pendekatan yang kedua yaitu prinsip kemampuan membayar. Dalam pendekatan ini, masalah pajak hanya dilihat dari sisi pajak itu sendiri terlepas dari sisi pengeluaran publik (pengeluaran pemerintah untuk membiayai pengeluaran bagi kepentingan publik). Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu, dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Prinsip ini secara luas digunakan sebagai pedoman pembebanan pajak. Pendekatan prinsip kemampuan membayar dipandang jauh lebih baik dalam mengatasi masalah retribusi pendapatan dalam masyarakat, tetapi mengabaikan masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. 3) Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertikal Mengacu pada pengertian prinsip kemampuan membayar, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua kelompok besar keadilan pajak, yaitu: a) Keadilan Horizontal Keadilan horizontal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan sama harus membayar pajak dalam jumlah yang sama. Dengan demikian prinsip ini hanya menerapkan prinsip dasar keadilan berdasarkan undang-undang. Misalnya untuk pajak penghasilan, untuk
21
orang yang berpenghasilan sama harus membayar jumlah pajak yang sama. b) Keadilan Vertikal Prinsip keadilan vertikal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih besar. Dalam hal ini Nampak bahwa prinsip keadilan vertikal juga memberikan perlakuan yang sama seperti halnya pada prinsip keadilan horizontal, tetapi beranggapan bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda, harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda pula. Masalah yang sangat mendasar yang selalu dijumpai dalam pemungutan pajak adalah bagaimanakah cara mewujudkan keadilan pajak, hal ini tidak mudah dijawab karena keadilan memiliki perspektif yang sangat luas, dimana keadilan antara masing-masing individu
berbeda-beda. Walaupun demikian, Negara dalam
menerapkan pajak sebagai sumber penerimaan harus berusaha untuk mencapai kondisi dimana masyarakat secara makro dapat merasakan keadilan dalam penerapan undang-undang pajak. Siahaan dalam Rahman (2013) menjelaskan setidaknya ada tiga aspek keadilan yang perlu diperhatikan dalam penerapan pajak, yaitu: 1) Keadilan Dalam Penyusunan Undang-Undang Pajak Keadilan dalam penyusunan undang-undang merupakan salah satu penentu dalam mewujudkan keadilan perpajakan, karena dengan melihat proses dan hasil akhir pembuatan undang-undang pajak yang kemudian diberlakukan, masyarakat akan dapat melihat apakah pemerintah juga mengakomodasi
22
kepentingan WP dalam penetapan peraturan perpajakan, seperti ketentuan tentang siapa yang menjadi subjek pajak, apa yang menjadi objek pajak, bagaimana cara pembayaran pajak dan sebagainya. 2) Keadilan Dalam Penerapan Ketentuan Perpajakan Keadilan dalam penerapan ketentuan perpajakan merupakan hal yang harus diperhatikan benar oleh Negara/pemerintah sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh hukum pajak untuk menarik/memungut pajak dari masyarakat. Pada dasarnya salah satu bentuk keadilan di dalam penerapan hukum pajak adalah terjadinya keseimbangan antara pelaksanaan kewajiban perpajakan dan hak perpajakan dari WP. Karena itu dalam asas pemungutan pajak yang baik, fiskus harus konsisten dalam menerapkan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang pajak dengan juga memperhatikan kepentingan WP. 3) Keadilan Dalam Penggunaan Uang Pajak Keadilan dalam penggunaan uang pajak merupakan aspek ketiga yang menjadi tolak ukur penerapan keadilan perpajakan, berkaitan dengan harapan sampai dimana manfaat dari pemungutan pajak tersebut dipergunakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Manfaat pajak untuk pelayanan umum dan kesejahteraan umum harus benar-benar mendapatkan perhatian dan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi pembayar pajak.
23
2.1.6 Sistem Perpajakan Sistem perpajakan adalah suatu metode bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh wajib pajak agar dapat mengalir ke kas negara. Menurut Waluyo (2010) terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu: 1) Official assessment system Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kekuasaan kepada pemerintah atau aparat pajak untuk menentukan besar kecilnya pajak yang terutang. Terdapat ciri-ciri official assessment system adalah sebagai berikut: a) Kekuasaan untuk menentukan besar kecilnya pajak terutang berada pada aparat pajak. b) Wajib pajak bersifat pasif. c) Utang pajak terjadi setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self assessment system Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan kekuasasan, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. 3) With holding system Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kekuasaan kepada pihak ketiga (biasanya menggunakan jasa konsultan)
24
untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Menurut McGee (2009) sistem perpajakan dan tarif pajak berkaitan dengan terjadinya korupsi dalam bentuk apapun. Jadi gambaran umum mengenai sistem pajak adalah tentang tinggi rendahnya tarif pajak dan pertanggungjawaban iuran pajak. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah iuran pajak tersebut digunakan untuk pengeluaran umum negara, atau justru oleh pemerintah maupun oleh petugas pajak. Jika dihubungkan dengan teori Motivasi (Hilgard dan Atkinson, 1979) maka wajib pajak akan membuat motivasi penilaiannya sendiri terhadap sistem perpajakan yang berlaku. Jika mereka merasa sistem perpajakan yang berlaku buruk maka akan berbanding lurus dengan tingkat penggelapan pajak. Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak diperlukan asas-asas pemungutan pajak dalam pemilihan alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keselarasan pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An inquiri the Nature and Cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak harusnya berdasarkan pada asas-asas berikut: 1) Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak wajib pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat
25
yang akan diterima. Adil yang dimaksud adalah bahwa setiap wajib pajak yang menyetorkan uangnya untuk pengeluaran pemerintah setara dengan kepentingannya dan manfaat yang didapat. 2) Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui dengan jelas dan pasti berapakah besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3) Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan situasi dimana wajib pajak tidak merasa terbebani, melainkan sebagai tanggung jawab. 4) Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan dapat seminimal mungkin, demikian pula beban yang ditanggung wajib pajak. 2.1.7 Diskriminasi Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
26
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Menurut Danandjaja (2003), diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Pengertian kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada membedakan tindakan berdasarkan atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa diskriminasi bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas terhadap kaum subordinat dan minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun juga. Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa faktor, antara lain: a.
Adanya persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan.
b.
Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
c.
Ketidak berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
27
Merunjuk pada uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa diskriminasi pajak adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan
sesuatu
yang
biasanya
bersifat
kategorikal
seperti
agama,
kesukubangsaan atau keanggotaan kelas-kelas sosial yang terkait dengan perpajakan (Suminarsasi, 2011).
2.1.8 Pemeriksaan Pajak Pengertian pemeriksaan pajak menurut Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut: “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Pemeriksaan pajak dilaksanakan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Persentase kemungkinan suatu pemeriksaan pajak yang dilakukan sesuai undang-undang perpajakan dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan wajib pajak sehingga berpengaruh pada tax evasion (Theo, 2014). Menurut Pardiat (2008) Pemeriksaan Pajak yang dilakukan pemeriksan pajak Direktorat Jenderal Pajak bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
28
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tujuan pemeriksaan pajak menurut Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut. a.
Menguji
kepatuhan
pemenuhan
kewajiban
perpajakan
dalam
rangka
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal: 1) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. 2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi. 3) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang ditetapkan. 4) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. 5) Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan tidak dipenuhi. b.
Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka: 1) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan. 2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak. 3) Pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. 4) Wajib Pajak mengajukan keberatan.
29
5) Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan netto. 6) Pencocokkan data dan/atau alat keterangan. 7) Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil. 8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai. 9) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain.
30
2.2
Penelitian Sebelumnya Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang persepsi wajib pajak mengenai etika atas penggelapan pajak seperti pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya Penelitian (Tahun) McGee, Simon S.Mho., and Annie (2008)
Judul Penelitian A Comparative Study on Perceived, Ethics of Tax Evasion: Hongkong Vs the United States
Variabel Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Hasil Penelitian
1. Variabel 1. Variabel Independe Independen n: Ethics, Ethics. Tax Hongkong 2. Variabel Dependen and the US Tax Cultural Evasion difference.
1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di Hongkong dan US.
2. Variabel Dependen: Tax Evasion
2. Teknik pengumpul an data melalui survei.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan penggelapan pajak adalah etis atau tidak etis tergantung dari beberapa keadaan dimana pemerintah yang korupsi, perfoma pemerintah yang buruk, adanya ketidakadilan.
31
Tabel 2.1 (Lanjutan) Penelitian (Tahun)
Judul Penelitian
Nickerson,
Presenting The Dimension ality of An Ethics Scale Pertaining to Tax Evasion
Inge (2009)
Variabel Penelitian
Persamaan
1. Variabel 1. Variabel Independen: Independen Tax Fairness, Tax System and System, and Discrimination Discrimination 2. Variabel 2. Variabel Dependen: Tax Dependen: Tax Evasion Evasion.
32
Perbedaan
Hasil Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di enam Negara, yaitu: Argentina,G uatemala, Poland, Romania, United Kingdom dan USA
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat penilaian di masingmasing Negara berbeda-beda. UK memiliki nilai rata-rata terendah sebesar 4,15 yang mengindikasik an rendahnya perlawanan terhadap tindak penggelapan pajak, USA memiliki skor rata-rata tertinggi sebesar 5,62 yang mengindikasik an tingginya keengganan terhadap penggelapan pajak.
Tabel 2.1 (Lanjutan) Penelitian (Tahun) Ayu dan Hastuti (2009)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Persepsi Wajib 1. Variabel Pajak : Independen: Dampak Kecurangan, Pertentangan Keadilan, Diametral Pada Ketepatan Tax Evasion Pengalokasian, Wajib Pajak Teknologi Dalam Aspek Sistem Kemungkinan Perpajakan dan terdeteksi Kecenderungan Kecurangan, Personal. Keadilan, 2. Variabel Ketepatan Dependen: Pengalokasian, Penggelapan Teknologi Pajak (Tax Sistem Evasion) Perpajakan dan Kecenderunga n Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi)
Persamaan
Perbedaan
Hasil Penelitian
1. Variabel Independen yaitu keadilan dan kemungkina n terdeteksi kecurangan.
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada Wajib Pajak di KPP se-Jogjakarta
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa kemungkinan terdeteksi kecurangan terhadap tax evasion mempunyai koefisien negatif (0,501) yang signifikan, hasil pengujian juga menunjukkan bahwa pengaruh ketepatan pengalokasian hasil pajak berpengaruh secara negatif dan signifikan. Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang tidak berpengaruh signifikan pada tax evasion.
2. Variabel dependen penggelapan pajak (Tax Evasion) 3. Data dianalisis dengan Analisis dengan Analisis Regresi Linear Berganda.
33
Tabel 2.1 (Lanjutan) Penelitian (Tahun) Rahman (2010)
Suminarsasi dan Supriyadi (2011)
Judul Penelitian pengaruh probabilitas pemeriksaan pajak dan konflik Wajib Pajak terhadap keputusan tax evasion.
Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak.
Variabel Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Hasil Penelitian
1. Probabilitas 1. Proses pemeriksaan pengambilan pajak (X1) sampel dengan 2. Konflik metode Wajib Pajak convenience (X2) sampling.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan.
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa variabel probabilitas pemeriksaan pajak dan konflik wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap keputusan tax evasion
1. Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta
Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan diskriminasi sehingga variabel keadilan belum bisa dibuktikan.
3. Keputusan tax evasion (Y)
2. Menggunakan skala likert untuk pengukuran variabel.
1. Keadilan (X1)
1. Variabel independen yang sama yaitu 2. Sistem Sistem Perpajakan Perpajakan, (X2) Keadilan, dan 3. Diskriminasi Diskrimasi. (X3) 2. Proses
4. Etika Penggelapan Pajak (Y)
pengambilan sampel dengan metode convenience sampling. 3.Menggunakan skala likert untuk pengukuran variabel.
34
2.Variabel independen tambahan dalam penelitian ini yaitu kemungkinan terdeteksi kecurangan.
2.3
Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini yang dimaksud persepsi sendiri adalah sudut pandang
Wajb Pajak dalam memandang tindakan penggelapan pajak sebagai perilaku yang etis atau tidak etis untuk dilakukan. Variabel perilaku penggelapan pajak yang dipersepsikan dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh variabel keadilan pajak, sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan. Adapun model kerangka pemikiran yang dimaksud sebagaimana Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
Keadilan Pajak (X1)
-(H1)
Sistem Perpajakan -(H2)
Persepsi WP mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak
(X2) Diskriminasi
+(H3)
(X3) Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan
(Y) -(H4)
(X4)
35
2.4
Keterkaitan Antar Variabel dan Hipotesis
1)
Pengaruh Keadilan Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak Menurut Mardiasmo (2011) dalam Suminarsasi dan Supriadi (2011)
mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undangundang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Mengacu pada teori persepsi, timbulnya persepsi oleh individu dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, salah satunya penafsiran terhadap suatu objek, dalam hal ini penafsiran mengenai seberapa besar tingkat keadilan pajak. Menurut Rahman (2013) semakin tinggi keadilan yang dilakukan pemerintah, maka masyarakat akan semakin percaya terhadap kinerja pemerintah. Hal ini akan mendorong kemauan masyarakat untuk membayar pajak dan mempercayai pemerintah dalam mengelola dana yang bersumber dari pajak. Seegate (2012) menjelaskan bahwa manfaat yang banyak dirasakan masyarakat atas fasilitas negara yang tersedia akan meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah dalam mengelola dana yang bersumber dari pajak. Hal ini terbukti dengan kemauan masyarakat untuk terus membayar pajak dan terlihat dari penerimaan pajak Negara yang terus meningkat tiap tahunnya. Dengan tingkat
36
keadilan yang tinggi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga akan timbul rasa
percaya dan aman ketika masyarakat
membayarkan uang pajak. Sehingga wajib pajak akan mempunyai persepsi bahwa penggelapan pajak yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat secara luas merupakan tindakan yang tidak etis untuk dilakukan. Oleh karena itu, hipotesis pertama dalam penelitian ini dirumuskan: H1 :
Keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika atas penggelapan pajak.
2)
Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak Sistem perpajakan yang sudah ada dan diterapkan selama ini menjadi acuan
oleh WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan teori persepsi diperoleh hubungan bahwa semakin baik sistem perpajakan yang berlaku akan menimbulkan persepsi dalam diri wajib pajak bahwa tindakan penggelapan pajak tidak etis untuk dilakukan. Apabila sistem yang ada dirasa cukup baik dan sesuai dalam penerapannya, maka WP akan memberikan respon yang baik serta taat pada sistem yang ada dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, tetapi jika hal sebaliknya yang terjadi yaitu WP merasa sistem pajak yang ada belum cukup baik mengakomodir segala kepentingannya, maka wajib pajak akan menghindar dari kewajiban perpajakannya (Nickerson et al., 2009).
37
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persepsi mengenai etika atas penggelapan pajak. Oleh karena itu hipotesis kedua dapat dirumuskan: H2
: Sistem perpajakan berpengaruh negatif terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai etika atas penggelapan pajak.
3)
Pengaruh Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak Menurut Danandjaja (2003) diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang
terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Pemerintah dikatakan melakukan diskriminasi apabila kebijakan yang diterapkan hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan di sisi lain ada pihak-pihak yang dirugikan. Adanya diskriminasi akan mendorong sikap masyarakat untuk tidak setuju dengan kebijakan yang berlaku (Nickerson et al., 2009). Beberapa peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia dinilai sebagai bentuk diskriminasi pemerintah, salah satunya adalah zakat yang diperbolehkan sebagai pengurang pajak karena ini hanya diberlakukan untuk masyarakat yang beragama Islam saja (Suminarsasi, 2011). Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dimana pajak final dikenakan sebesar 1% terhadap penghasilan bruto juga dinilai sebagai bentuk diskriminasi karena banyak merugikan pengusaha kecil menengah yang belum mapan dalam usahanya (Sanusi, 2014).
38
Hal ini sesuai dengan bahasan dari Theory of Planned Behavior terkait niat berperilaku (behavior intention) dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Semakin banyak peraturan perpajakan yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi yang merugikan, maka masyarakat akan cenderung untuk tidak patuh terhadap aturan. Ketidakpatuhan ini dapat berakibat pada masyarakat yang enggan membayar pajak (Ariyati, 2013). Sehingga wajib pajak akan mempunyai persepsi bahwa penggelapan pajak merupakan tindakan yang etis untuk dilakukan. Dalam penelitian yang dilakukan Suminarsasi (2011) membuktikan jika diskriminasi berpengaruh positif terhadap persepsi mengenai etika penggelapan pajak. Semakin banyak bentuk diskriminasi dalam suatu Negara, maka wajib pajak memiliki persepsi bahwa penggelapan pajak etis dilakukan. Oleh karena itu hipotesis ketiga dapat dirumuskan: H3 : Diskriminasi berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika atas penggelapan pajak. 4)
Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak Mekanisme pemeriksaan yang baik merupakan tindakan pengawasan atas
pelaksanaan sistem Self Assessment, agar dapat menumbuhkan kepatuhan Wajib Pajak sehingga dapat membentuk suatu sistem yang khas dalam rangka mewujudkan efektivitas dan efisiensi pemeriksaan (Suandy, 2011).
39
Penelitian yang dilakukan Ayu dan Hastuti (2009) tentang tax evasion pada Wajib Pajak Orang Pribadi menemukan bahwa persepsi terhadap kemungkinan terdekteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap tax evasion.
Presentase
kemungkinan suatu pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan wajib pajak sehingga berpengaruh pada Tax Evasion. Hal ini mengacu pada teori persepsi, dimana timbulnya persepsi oleh individu dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, salah satunya adalah penafsiran terhadap suatu objek, dalam hal ini penafsiran mengenai seberapa besar kemungkinan terdeteksi kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah. Semakin tinggi kemungkinan terdeteksi kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah, maka masyarakat akan semakin enggan melakukan tindakan penggelapan pajak (Ayu, 2009). Sehingga masyarakat akan mempunyai persepsi bahwa penggelapan pajak merupakan tindakan yang tidak etis untuk dilakukan. Oleh karena itu, hipotesis keempat dapat dirumuskan: H4 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika atas penggelapan pajak.
40