BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan rumusan hipotesis. Bab ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 menguraikan mengenai landasan teori dan bagian 2.2 menguraikan mengenai rumusan hipotesis.
2.1
Landasan Teori Secara terperinci bagian 2.1 menguraikan mengenai agency theory, agency
cost, mekanisme untuk mengurangi konflik keagenan, corporate governance, nilai perusahaan, dewan direksi, dewan komisaris, komisaris independen, komite audit, struktur utang, struktur remunerasi, kepemilikan institusional, kompetisi pasar, dan efektivitas kompetisi pasar sebagai mekanisme pengendalian.
2.1.1 Agency Theory Agency theory merupakan konsep
yang menjelaskan hubungan
kontraktual di mana satu atau lebih orang (prinsipal) memberikan mandat kepada pihak lain (agen) untuk melakukan kegiatan atau layanan atas nama mereka dan memberikan wewenang kepada agen sebagai pengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1976). Agency theory berfokus untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama masalah keagenan akan muncul ketika adanya konflik kepentingan dari prinsipal dan agen, selain itu sulit bagi prinsipal untuk memastikan apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen. Kedua,
16
masalah mengenai pembagian risiko yang muncul ketika prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda mengenai risiko yang dihadapi (Eisenhardt, 1989). Tujuan dari teori agensi adalah: 1) Untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus diambil (The belief revision role). 2) Untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil guna mempermudah pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan kontrak kerja (The performance evaluation role). Tabel 2.1 Agency Theory Overview Ide Kunci Unit analisis
Hubungan prinsipal-agen harus mencerminkan informasi dan biaya risiko yang efisien Kontrak antara prinsipal dan agen
pengaturan
1. Self interest 2. Bounded rationality 3. Risk aversion Asumsi organisasi 1. Konflik kepentingan diantara prinsipal dan agen 2. Efesiensi sebagai standar dari efektivitas atau kelompok 3. Asimetri informasi antara prinsipal dan agen Informasi sebagai komoditas yang dibeli Asumsi informasi 1. Agency (moral hazard dan adverse selection) Masalah kontrak 2. Pembagian risiko Hubungan dimana prinsipal dan agen memiliki perbedaan tujuan Masalah utama dan pilihan risiko (contoh: kompensasi, aturan, kepemimpinan, integrasi vertikal, harga transfer) Asumsi manusia
Sumber: Kathleen M. Eisenhardt/Academy of Management Review 14 (1) 57-74 Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
17
averse). Dari asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut. Pemegang saham dan manajer memiliki tujuan yang berbeda dan masing–masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi. Akibat yang terjadi adalah munculnya konflik kepentingan. Dalam perkembangannya, terdapat suatu kecenderungan timbulnya masalah keagenan yang muncul sebagai akibat dari kemustahilan tercapainya perikatan secara sempurna bagi pihak agen dan prinsipal. Masalah agensi awalnya diangkat oleh Berle dan Means (1932), yang berpendapat bahwa biaya agensi mungkin terjadi karena pemisahan kepemilikan dan kontrol sehingga akan menimbulkan kepentingan pribadi manajemen dan pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan kontrak yang tidak lengkap antara principal (pemegang saham) dan agent (manajemen) dapat menyebabkan masalah keagenan. Dimana munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor, sebagai berikut. 1) Moral hazard (MH) Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi), dimana manajer cenderung untuk memanfaatkan insentif yang sesuai dengan kepentingannya atau berdasarkan keahliannya untuk bayaran yang diterima dari perusahaan dan kemungkinan hal tersebut tidak termasuk dalam kontrak.
18
2) Penahanan laba (Earning Retention) Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan prinsipal. 3) Horizon waktu Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. 4) Penghindaran risiko manajerial Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari pendanaan yang berasal dari utang, karena dapat memperkecil beban dengan tidak adanya beban bunga. Sartono (2001:12) dalam Putri (2011) menyatakan bahwa dalam usaha meminimumkan masalah keagenan dalam perusahaan maka diperlukan biaya yang disebut dengan kos keagenan (agency cost) dan tercemin dalam empat alternatif, yaitu:
19
1) Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan akuntansi dan prosedur pengendalian intern. 2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang konsisten. 3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga, dimana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 4) Golden parachutes dan poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden parachutes adalah suatu kontak antara manajemen dan pemegang saham yang menjamin bahwa manajemen akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan pengendalian perusahaan. Dengan demikian manajemen tidak perlu khawatir akan kehilangan pekerjaan. Sedangkan poison pill adalah usaha pemegang saham untuk menjaga agar perusahaan tidak diambil alih oleh perusahaan lain. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak penjualan obligasi pada harga tertentu. Sehingga apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain, pembeli perusahaan wajib membeli saham dan obligasi pada harga yang telah ditentukan sebelumnya.
20
2.1.2 Agency Cost Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai penjumlahan dari pengeluaran monitoring oleh prinsipal, pengeluaran bonding oleh agen dan kerugian residual. Semakin besar perusahaan, semakin besar pula agency cost-nya karena meningkatnya kebutuhan monitoring dalam perusahaan besar. Agency cost yang lebih rendah diasosiasikan dengan nilai perusahaan yang semakin tinggi. Alternatif untuk mengurangi agency cost yaitu melalui mekanisme pengendalian internal dan mekanisme pengendalian eksternal atau pengendalian pasar. Mekanisme pengendalian internal didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa terdapat tiga macam kos keagenan, diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Monitoring cost (biaya monitoring) Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer, yang dirancang untuk membatasi kegiatan menyimpang yang dilakukan manajer. Contoh: membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. 2) Bonding cost (biaya bonding) Kos ini ditanggung oleh manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Contoh: penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik
21
sehingga mampu menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan prinsipal 3) Residual loss (kerugian residual) Kos yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang diambil oleh manajemen dengan keputusan yang seharusnya dapat memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Contoh: penurunan nilai perusahaan, serta memanfaatkan fasilitas perusahaan secara berlebihan seperti pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu.
2.1.3 Mekanisme untuk Mengurangi Konflik Keagenan Arifin (2002) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi adalah sebagai berikut. 1) Mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan: a) Pembentukan dewan komisaris Pembentukan
dewan
komisaris
adalah
salah
satu
mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer. Namun penelitian Mace (1986) dalam Putri (2011) menemukan bahwa pengawasan dewan komisaris pada manajemen pada umumnya tidak efektif. Hal ini terjadi karena proses pemilihan
22
dewan komisaris kurang demokratis, dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen, sehingga setelah terpilih tidak berani mengkritik manajemen. Untuk menjamin pelaksanaan good corporate governance maka diperlukan komisaris independen
yang berintegritas,
berkemampuan, tidak cacat hukum dan independen, serta yang tidak memiliki hubungan bisnis (kontraktual) ataupun hubungan lainnya dengan pemegang saham mayoritas (pemegang saham pengendali) dan dewan direksi (manajemen) baik secara langsung maupun tidak langsung. Disamping itu, jika dewan komisaris didominasi oleh anggota luar (Independent Board of Director) maka monitoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi efektif. b) Pasar corporate control Manne (1965) dalam Wiratmaja (2011) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control, dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih baik, sehingga masalah agensi dapat dikurangi. c) Pemegang saham besar Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investor-investo kecil. Biaya monitoring pada
23
manajemen oleh para investor tersebut menjadi sangat besar, sehingga mereka cenderung tidak melakukan monitoring. d) Kepemilikan terkonsentrasi Kepemilikan diartikan lebih terkonsentrasi untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. e) Pasar manajer Fama (1980), meyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. 2) Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang memiliki Net Present Value (NPV) yang positif dan mengurangi konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi yang sama. 3) Mekanisme kontrol dengan bonding Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan „konsumtif‟. Dana tersebut adalah free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value
24
positif dilaksanakan. Jika kos keagenan ingin dikurangi maka free cash flows harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan.
2.1.4 Corporate Governance Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan good corporate governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Implementasi prinsip-prinsip GCG secara konsisten di perusahaan akan menarik minat para investor, baik domestik maupun asing. Hal ini sangat penting bagi perusahaan yang akan mengembangkan usahanya, seperti melakukan investasi baru maupun proyek ekspansi. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) mengemukakan 5 hal berikut ini. 1) Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the rights of shareholders) 2) Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders)
25
3) Peranan pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan (the role of stakeholders) 4) Pengungkapan dan transparansi (disclosure and transparency) 5) Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the responsibilities of the board) Prinsip-prinsip GCG sesuai Pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/MMBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN ialah. 1) Transparancy (Transparansi) Informasi yang disediakan harus material dan relevan serta mudah diperoleh dan dipahami oleh pengguna informasi. Oleh karena itu, inisiatif dari perusahaan diperlukan untuk mengungkapkan hal-hal penting dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 2) Accountability (Akuntabilitas) Kinerja perusahaan wajib dipertanggungjawabkan dengan transparan dan wajar. Tata kelola perusahaan dijalankan secara benar, sesuai, dan terukur. Akuntabilitas menjadi syarat yang diperlukan untuk mewujudkan kinerja yang berkesinambungan. 3) Responsibility (Pertanggungjawaban) Perusahaan wajib untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan agar usaha yang dijalankan dapat tetap bertahan dalam waktu jangka panjang.
26
4) Independency (Independensi) Asas good corporate governance dapat terlaksana dengan lancar jika perusahaan dikelola secara independen. Setiap bagian perusahaan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain dan tidak saling mendominasi. 5) Fairness (Keadilan) Asas keadilan dan kesetaraan harus diterapkan pada setiap perusahaan dalam melaksanakan usahanya. Sikap adil ditunjukkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Sistem corporate governance pada perusahaan modern dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme internal governance dan mekanisme external governance yang sifatnya beragam tergantung lingkungan tertentu yang dianjurkan (Short, Keasy, Wright dan Hull, 1999, dalam Wulandari, 2006). Dengan berjalannya kedua mekanisme tersebut secara bersamaan, maka sistem corporate governance perusahaan mencoba memotivasi manajer agar memaksimalkan nilai pemegang saham.
27
Gambar 2.1 Corporate governance:a board framework
Sumber: S.L. Gillan/Journal of Corporate Finance 12 (2006)381-402
2.1.5 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Bringham Gapensi,1996 dalam Susanti, 2010). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset. Menurut Fama (1978), nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya. Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan penjual disaat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar saham dianggap cerminan dari nilai aset perusahaan sesungguhnya. Nilai
28
perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.6 Dewan Direksi Dewan direksi (board of directors) berfungsi untuk mengurus atau mengelola perusahaan. Dewan direksi dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang saham tersebut. Menurut Swatha & Sukotjo (2002) dalam Novany dkk (2015) direktur adalah individu yang ditunjuk untuk memimpin sebuah perusahaan, tugas dari seorang direktur adalah mengambil keputusan strategis yang berhubungan dengan kebijakan perusahaan. Salah satu bentuk direktur yang dikembangkan didalam sebuah perusahaan adalah direktur eksekutif. Jabatan direktur eksekutif pada umumnya diberikan kepada orang yang dianggap berpengalaman didalam suatu organisasi. Sedangkan non-eksekutif direktur merupakan perpanjangan tangan dari dewan komisaris yang bertugas membantu perusahaan untuk mencapai sasaran tertentu (Inclaw, 2008 dalam Novany dkk, 2015). Non-eksekutif direktur adalah individu yang tidak terkait dengan pihak manapun, yang ditunjuk sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh direktur eksekutif. Setiap perusahaan memiliki jumlah non-eksekutif direktur yang
29
berbeda antara satu dengan lain. Non-eksekutif direktur juga dikenal dengan direktur independen. Pada bagian III.1.5.1 Peraturan Nomor 1-A Surat Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia, ditentukan bahwa direktur independen “Berjumlah paling kurang 1 (satu) orang dari jajaran anggota direksi yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai direktur independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat”. Pada bagian III.1.5.2 Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa Direktur Independen disyaratkan: 1. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan paling kurang selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai direktur independen. 2. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris atau direksi lainnya dari calon perusahaan tercatat. 3. Tidak bekerja rangkap sebagai direksi pada perusahaan lain. 4. Tidak menjadi orang dalam pada lembaga atau profesi penunjang pasar modal yang jasanya digunakan oleh calon perusahaan tercatat selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai direktur.
2.1.7 Dewan Komisaris Effend (2009) dalam Lizarti (2012) menjelaskan bahwa dewan komsaris (board of commissioners) berfungsi untuk melakukan pengawasan. Selain itu, komisaris independen (independent commissioner) berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang (conterveiling power) dalam pengambilan keputusan oleh dewan
30
komsaris. Dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian intern tertinggi yang bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Berdasarkan Forum for Corporate Governance Indonesia (FCGI), Dewan Komisaris merupakan inti corporate governance (tata kelola perusahaan) yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen
dalam
mengelola
perusahaan
serta
mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Dewan komisaris dipilih melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dewan komisaris dibagi menjadi komisaris terafiliasi dan komisaris independen. Komisaris terafiliasi (komisaris dalam), yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Komisaris dalam mewakili kepentingan dari para pemegang saham, dan terkadang memiliki pengetahuan yang dalam atas kinerja, keuangan, penguasaan pangsa pasar dari organisasi tersebut. Sedangkan komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan organisasi tersebut, dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh adalah seorang komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi presiden sebuah perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar diangkat karena pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut
31
dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko kecil dalam conflict of interest. Di sisi lain, komisaris luar mungkin kekurangan pengalaman dalam menangani masalah spesifik yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Menurut Muntoro, komposisi merupakan kombinasi karakteristik yang diinginkan dari anggota dewan komisaris. Ada tiga karakterisitik utama yang diperhatikan dalam melihat komposisi dewan komisaris, yaitu (1) kesenioran (atau kejunioran) dari anggota dewan komisaris, (2) jenis keahlian yang dimiliki, dan (3) komisaris independen versus komisaris non-independen. Jumlah anggota dewan komisaris disesuaikan dengan industri dimana perusahaan berada karena hal tersebut akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris. Sesuai Keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta No. Kep-339./BEJ/07-2001 butir C mengenai board governance yang terdiri dari komisaris independen, komite audit dan sekretaris perusahaan bahwa untuk mencapai good corporate governance, jumlah komisaris independen yang harus terdapat dalam perusahaan sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan (komisaris) diambil dari teori agensi. Dari persepektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat
32
membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Wahyudi., 2010).
2.1.8 Komisaris Independen Komisaris luar (komisaris independen) adalah anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan organisasi tersebut, dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh adalah seorang komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi presiden sebuah perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar diangkat karena pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko kecil dalam conflict of interest. Di sisi lain, komisaris luar mungkin kekurangan pengalaman dalam menangani masalah spesifik yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Komite Nasional Good Corporate Governance (KNGCG) mengeluarkan pedoman tentang komisaris independen yang ada di perusahaan publik. Pedoman tersebut menyebutkan bahwa pada prinsipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, serta memberikan nasihat kepada direksi jika diperlukan.
33
Dalam kaitannya dengan implementasi GCG dalam perusahaan, diharapkan bahwa keberadaan komisaris maupun komisaris independen tidak hanya sebagai pelengkap, karena dalam diri komisaris melekat tanggung jawab secara hukum (yuridis). Oleh karena itu, peranan komisaris independen sangat penting.
2.1.9 Komite Audit Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit sebagai berikut: “Suatu komite yang bekerja secara professional dan independen yang dibentuk oleh dewan komisaris dan, dengan demikian, tugasnya adalah membantu dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas pelaporan keuangan, manajemen risiko, pelaksanaan, audit dan implementasi corporate governance di perusahaan-perusahaan”. Salah satu alat untuk menerapkan Good Corporate Governance adalah dengan adanya komite audit yang efektif. Komite audit bersifat independen dalam bertugas. Komite audit bertanggung jawab kepada para stakeholder yang dipublikasikan didalam rapat umum pemegang saham yang dilakukan satu kali dalam setahun (Herwidayatmo, 2000). Surat edaran dari direksi PT Bursa Efek Jakarta No. SE-008/BEI/12-2001 Tanggal 7 perihal keanggotaan komite audit disebutkan bahwa, komite audit sukarang-kurangnya terdiri dari 3 orang yang diketuai oleh 1 orang komisaris independen. Dan anggota komite audit lainnya berasal dari pihak eksternal yang independen.
34
2.1.10 Struktur Utang Menurut Weston dan Brigham (1997) dalam Putri (2011) leverage adalah tingkat penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut Sawir (2004) dalam Widanaputra dan Ratnadi (2008) leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa mempedulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio pengelolaan utang dibagai menjadi tiga, yaitu: rasio utang, rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earnd (TIE), dan rasio kemampuan membayarkan beban tetap. Perusahaan
dengan
tingkat
pertumbuhan
yang
tinggi,
dalam
hubungannya dengan leverage, sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan utang sebagai sumber pembiayaannya karena penggunaan utang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. Leverage keuangan menyiratkan dua hal penting, dengan menaikkan dan melalui utang, pemilik dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi terbatas. Kreditor mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan oleh pemilik sebagai margin pengaman, jika pemilik hanya menyediakan sebagian kecil dari pembiayaan total, maka risiko perusahaan dipikul terutama oleh kreditornya (Widanaputra dan Ratnadi 2008).
35
2.1.11 Struktur Remunerasi Struktur remunerasi ialah total tunjangan dan kompensasi tahunan yang diberikan kepada semua anggota dewan. Besarnya remunerasi yang diterima oleh dewan komisaris dan direksi ditentukan melalui rapat bersama dengan presiden direktur yang membahas kebijakan remunerasi dewan komisaris dan direksi, melalui rekomendasi kebijakan komite nominasi dan remunerasi yang adil dan layak, sesuai dengan tugas, tanggung jawab serta kinerjanya masing-masing berdasarkan sistem remunerasi perusahaan. Diprediksi dalam literatur sebelumnya bahwa semakin tinggi remunerasi direksi maka biaya agensi semakin rendah karena insentif ini akan mendorong manajer bekerja untuk kepentingan pemegang saham perusahaan dalam rangka untuk terus menerima manfaat dan untuk melindungi keamanan pekerjaan mereka.
2.1.12 Kepemilikan Institusional Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
36
investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
2.1.13 Kompetisi Pasar Dalam teori ekonomi, persaingan sempurna mengacu pada pasar di mana tidak ada peserta yang cukup besar untuk memiliki kekuatan pasar untuk menetapkan harga produk yang homogen. Jelas, dasar untuk persaingan dalam pengertian ini adalah untuk mengejar kepentingan pribadi yang merupakan motto dari ekonom klasik dan neoklasik. Oleh karena itu, persaingan dalam kapitalisme didasarkan pada jumlah modal keseluruhan dan keuntungan pribadi. Persaingan dalam kegiatan ekonomi adalah salah satu faktor utama dalam organisasi dan unit bisnis ( Setayesh dan Kargar , 2011 dalam Prawibowo dan Juliarto, 2014). Praktik kompetisi yang dinamis akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan daya saing perusahaan, industri, dan negara. Pertumbuhan dan pembangunan daya saing industri dijelaskan lebih rinci oleh Porter (1996) melalui model persaingan, penelitiannya menyatakan bahwa ada 4 (empat) daya atau faktor yang dapat dimiliki dan diakses untuk menentukan derajat persaingan antar perusahaan di suatu industri yaitu konsumen, pemasok sumber daya, calon pesaing potensial, dan produk substitusi.
37
2.1.14 Efektivitas Kompetisi Pasar Sebagai Mekanisme Pengendalian Hart (1983) menyatakan bahwa dengan adanya persaingan di pasar produk akan jelas mengurangi kekenduran manajerial (managerial slack). Peningkatan persaingan akan meningkatkan kemungkinan bahwa perusahaan dengan biaya yang tinggi maka tidak mendapatkan laba yang optimal dan dapat membuat tingkat likuidasi perusahaan akan meningkat (Schmidt, 1997). Perusahaan yang memiliki persaingan yang kompetitif baik dalam persaingan internal maupun secara global dituntut agar memiliki tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Hal ini dapat membantu agar seorang agen membatasi keleluasaan mereka dalam pengambilan keputusan ekonomi. Teori ekonomi mikro menunjukkan bahwa persaingan dinilai dapat menyamai biaya marjinalnya dan menciptakan efisiensi perusahaan. Dalam persaingan yang kompetitif akan dipastikan bahwa perusahaan yang yang memiliki daya saing yang baik akan bertahan dan hal tersebut akan mendorong pemberian kompensasi yang lebih untuk manajer.
38
2.2
Rumusan Hipotesis Bagian 2.2 menguraikan mengenai pengaruh persentase non-eksekutif dan
eksekutif direktur pada agency cost, pengaruh proporsi komisaris independen pada agency cost, pengaruh komite audit pada agency cost, pengaruh struktur utang pada agency cost, pengaruh struktur remunerasi pada agency cost, pengaruh kepemilikan institusional pada agency cost, dan pengaruh kompetisi pasar pada agency cost. 2.2.1 Pengaruh Persentase Non-Eksekutif dan Eksekutif Direktur pada Agency Cost Agency cost timbul karena adanya mekanisme pengawasan untuk menyeimbangkan antara kepentingan prinsipal dan agen. Susunan dewan direksi dalam suatu mekanisme corporate governance memegang peran penting dalam memonitor manajer, keefektifan para dewan tergantung pada ukuran dan komposisinya. Jumlah dewan yang besar, akan lebih kuat dari pada jumlah dewan yang kecil, karena lebih mempertimbangkan keperluan untuk keefektifan organisasi (Florackis dan Ozkan, 2004). Sejalan dengan pendapat Pearce dan Zahra (1991) dalam Linda (2012), dewan yang mempunyai kuasa membantu dalam menguatkan hubungan antara perusahaan dengan lingkungannya, memberikan saran mengenai opsi strategik untuk perusahaan dan berperan penting dalam menciptakan indentitas perusahaan. Keberadaan dewan direksi eksternal pada susunan corporate governance meningkatkan monitoring sekaligus juga memperbaiki nilai perusahaan (Fama and Jensen, 1983). Hasil penelitian yang lainnya juga mengemukakan reputasi dan
39
ancaman dapat memotivasi pihak direksi eksternal untuk bertindak yang lebih baik dalam mementingkan kepentingan investor. Keefektifan susunan corporate governance akan tercapai apabila direktur non-eksekutif dan direktur ekskutif memiliki kepentingan yang sama dengan pemegang saham, yang juga membantu mengurangi biaya agensi. Penelitian Faisal (2005) dan Lindawati (2010) menemukan bahwa ukuran dewan direksi berpengaruh signifikan negatif pada agency cost. Selain itu, penelitian Novany dkk (2015) menemukan bahwa persentase eksekutif dan non eksekutif memiliki pengaruh signifikan dalam meminimumkan agency cost. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H1a: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada monitoring cost H1b: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada bonding cost H1c: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada residual loss H1d: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada monitoring cost H1e: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada bonding cost H1f: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan berpengaruh negatif pada residual loss
40
2.2.2 Pengaruh Proporsi Komisaris Independen pada Agency Cost Menurut Forum for Corporate Governance Indonesia (FCGI), inti dari corporate governance adalah dewan komisaris. Dewan komisaris yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Komposisi dewan komisaris yang terdiri dari komisaris independen dan komisaris terafiliasi memberikan perlindungan baik pemegang saham mayoritas maupun minoritas (pemegang saham publik). Dalam kaitannya dengan implementasi GCG di perusahaan, diharapkan bahwa keberadaan komisaris maupun komisaris independen tidak hanya sebagai pelengkap, karena dalam diri komisaris melekat tanggung jawab secara hukum (yuridis). Keberadaan dewan komisaris independen dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena komisaris independen membantu merencanakan strategi jangka panjang dan secara berkala melakukan review atas implementasi strategi tersebut (Zanera dkk, 2013). Penelitian Sajid (2012) menyebutkan bahwa semakin besar komposisi dewan komisaris independen dianggap sebagai mekanisme yang memainkan peran penting dalam membatasi atau mengendalikan masalah agensi. Hasil dari penelitian Henry (2004) menyimpulkan bahwa biaya agensi akan lebih rendah apabila semakin tinggi jumlah komisaris independen di dalam komposisi dewan komisaris. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H2a: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada monitoring cost H2b: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada bonding cost H2c: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada residual loss
41
2.2.3 Pengaruh Komite Audit pada Agency Cost Komite audit merupakan perpanjangan tangan dari dewan komisaris. Sehingga komite audit membantu fungsi dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap agen perusahaan. Semakin efektif pengawasan yang dilakukan dewan komisaris bersamaan dengan komite audit, maka agency cost dapat dikurangi. Keberadaan komite audit dalam perusahaan juga dapat meningkatkan kualitas laba dan nilai perusahaan (Arifianti, 2010). Saputro dan Syafrudin (2012) menemukan bahwa komite audit berpengaruh negatif terhadap biaya keagenan, dan hasil penelitian Linda (2012) menyebutkan bahwa komite audit dapat menekan agency cost. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H3a: Komite Audit berpengaruh negatif pada monitoring cost H3b: Komite Audit berpengaruh negatif pada bonding cost H3c: Komite Audit berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.4 Pengaruh Struktur Utang pada Agency Cost Peningkatan utang merupakan salah satu cara untuk mengurangi kos keagenan. Semakin besar utang, maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman sehingga akan memperkecil dana yang menganggur. Dari sudut pandang pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan pada manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bond holder) akan melakukan pengawasan pada manajemen agar pinjamnannya tidak disalahgunakan, sehingga
42
nantinya akan mengurangi kos keagenan. Namun, pada umumnya perusahaan yang terlalu banyak melakukan pembiayaan dengan utang, dianggap tidak sehat karena dapat menurunkan laba. Peningkatan dan penurunan tingkat utang memiliki pengaruh terhadap penilaian pasar. Kelebihan utang yang besar akan memberikan dampak yang negatif pada nilai perusahaan (Ogolmagai, 2013). Pada penelitian Nazir dan Saita (2013) menemukan bahwa leverage dapat menurunkan agency cost. Sejalan dengan penelitian Putri (2011) dan Punia (2012) menyebutkan bahwa semakin tinggi leverage maka agency cost yang ditimbulkan semakin rendah. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H4a: Struktur utang berpengaruh negatif pada monitoring cost H4b: Struktur utang berpengaruh negatif pada bonding cost H4c: Struktur utang berpengaruh positif pada residual loss
2.2.5 Pengaruh Struktur Remunerasi pada Agency Cost Remunerasi merupakan total kompensasi, komisi dan tunjangan yang diterima oleh para dewan sebagai imbalan dari jasa yang telah dikerjakannya. Tunjangan yang diberikan perusahaan kepada dewan komisaris maupun direksi dapat memotivasi kinerja para dewan dalam memonitor ataupun mengelola perusahaan untuk kepentingan pemegang saham. Penelitian Dogan dan Smyth (2002) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara remunerasi dewan dengan tingkat penjualan. Selain itu, penelitian Gul et al (2012) dan Yegon et al
43
(2014) menemukan bahwa struktur remunerasi dewan dapat meminimumkan agency cost. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H5a: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada monitoring cost H5b: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada bonding cost H5c: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Agency Cost Peran kepemilikan institusional timbul karena adanya konflik antara manajer dengan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976), untuk mengendalikan konflik tersebut maka timbul aturan-aturan yang berfungsi untuk mengatasi konflik tersebut. Faizal (2004) menyatakan kepemilikan institusional umumnya betindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Iswantaya (2007) dalam Kamil (2014) berpendapat bahwa institusi dengan kepemilikan saham yang relatif besar dalam perusahaan mungkin akan mempercepat manajemen perusahaan untuk menyajikan pengungkapan secara sukarela. Hal ini terjadi karena investor institusional dapat melakukan monitoring dan dianggap sophisticated investor yang tidak mudah dibodohi oleh tindakan manajer. Tingginya tingkat pengendalian oleh pihak eksternal ini akan mempengaruhi jalannya perusahaan yang akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan sehingga akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Faizal (2004) menunjukkan bahwa kehadiran institusional ownership pada perusahaanperusahaan non-keuangan di BEI mempunyai pengaruh yang signifikan pada
44
agency cost. Penelitian Gul et al (2012) yang mengambil kasus di Pakistan, menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dapat mengurangi timbulnya agency cost. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H6a: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada monitoring cost H6b: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada bonding cost H6c: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.7 Pengaruh Kompetisi Pasar pada Agency Cost Penelitian sebelumnya Valipour et.al. (2013) dalam Prawibowo dan Juliarto (2014) menemukan hubungan yang berbanding terbalik atau negatif antara CPS (Cost per Sale) terhadap agency cost. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan CPS menjadikan suatu ukuran perusahaan akan meningkat seiring peningkatan persaingan yang semakin kompetitif. Wang (2013) menyatakan bahwa persaingan yang kompetitif merupakan salah satu praktik good corporate governance, hal tersebut menuntut pihak agen (manajer) agar melakukan keputusan yang efektif agar dapat bersaing dan tidak bertindak oportunis. Dengan demikian, adanya peningkatan CPS sebagai proksi dari persaingan akan mengurangi masalah keagenan dengan penurunan agency cost. Prawibowo dan Juliarto (2014) menyatakan bahwa tingkat persaingan yang tinggi akan ditunjukkan dengan rasio HPP terhadap penjualan yang semakin meningkat. Rasio HPP yang tinggi menandakan laba semakin kecil. Laba yang semakin kecil akan mengindikasikan bahwa tingkat persaingan yang tinggi. Dengan demikian,
45
penelitian Prawibowo dan Juliarto (2014) membuktikan bahwa persaingan yang tinggi dapat menurukan monitoring cost yang diproksikan dengan audit fee. Sejalan dengan penelitian Heshmatzadeh et al (2013) juga menyatakan bahwa kompetisi pasar dapat menurunkan agency cost. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H7a: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada monitoring cost H7b: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada bonding cost H7c: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada residual loss
46