BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori Keagenan menjelaskan hubungan antara agen (manajemen suatu
usaha) dan prinsipal (pemilik usaha). Di dalam hubungan keagenan terdapat suatu kontrak dimana si agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal, prinsipal menutup kontrak untuk memberi imbalan pada si agen. Analoginya seperti antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan itu (Hendriksen dan Breda, 1992). Michael Jensen dan William Mecking (dalam Weston dan Bringham, 1998) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak, dimana satu atau beberapa orang (pemberi kerja atau principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada agen tersebut. Dalam kerangka kerja manajemen keuangan, hubungan keagenan adalah sebagai berikut: 1) Pemegang saham dan manajer. 2) Pemegang saham dan kreditor (pemberi pinjaman). Pada teori keagenan juga dijelaskan mengenai adanya asimetri informasi anatara manajer sebagai agen dan pemilik (pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi terjadi karena pihak manajer lebih mengetahui informasi
8
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Penyampaian laporan keuangan kepada stakeholder nantinya dapat meminimalkan asimetri informasi yang terjadi antara pihak manajer dan stakeholder karena laporan keuangan meruapakan sarana pengkomunikasiaan informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar perusahaan (Rahmawati, 2008). 2.1.2
Laporan Keuangan Laporan Keuangan merupakan produk atau hasil akhir dari suatu proses
akuntansi yang digunakan para pemakai sebagai salah satu bahan informasi dalam pengambilan keputusan, Disamping sebagai informasi, laporan keuangan juga berfungsi
sebagai
pertanggungjawaban
atau
accountability
dan
dapat
menggambarkan indikator kesuksesan suatu persusahaan dalam mencapai tujuannya (Harahap, 2005). Tujuan laporan keuangan menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2004). Dalam Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) Nomor 1 dinyatakan bahwa laporan keuangan harus menyajikan informasi yang: 1) Berguna bagi investor dan kreditur yang ada dan yang potensial dan pemakai lainnya dalam membuat keputusan untuk investasi, pemberian kredit dan keputusan lainnya.
9
2) Dapat membantu investor dan kreditur yang ada dan yang potensial dan pemakai lainnya untuk menaksir jumlah, waktu dan ketidakpastian dari penerimaan uang di masa yang akan datang yang berasal dari dividen atau bunga dan dari penerimaan uang yang berasalah dari penjualan, pelunasan atau jatuh temponya surat-surat berharga atau pinajaman-pinjaman. 3) Menunjukkan sumber-sumber ekonomi dari suatu perusahaan, klaim atas sumber-sumber tersebut (kewajiban perusahaan untuk mentransfer sumber-sumber ke perusahaan lain dan ke pemilik perusahaan) dan pengaruh dari transaksi-transaksi, kejadian-kejadian dan keadaankeadaan yang mempengaruhi sumber-sumber dan klaim atas sumbersumber tersebut. (Baridwan, 2004) Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (revisi 1998) tentang penyajian laporan keuangan, menyatakan bahwa laporan keuangan lengkap terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: 1) Neraca, yaitu laporan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu perusahaan pada tanggal tertentu 2) Laporan laba rugi, yaitu laporan yang menunjukkan hasil usaha dan biaya-biaya selama suatu periode akuntansi. 3) Laporan perubahan ekuitas, yaitu laporan yang menunjukkan sebabsebab perubahan ekuitas dari jumlah awal periode menjadi jumlah ekuitas pada akhir periode.
10
4) Laporan arus kas (cash flow statement), menunjukkan arus kas masuk dan keluar yang dibedakan menjadi arus kas operasi, arus kas investasi dan arus kas pendanaan. 5) Catatan atas laporan keuangan. 2.1.3
Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang No.28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas
Undang-Undang No. 6 tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (2007:2), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Soemitro menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009). Unsur-unsur yang ada pada definisi pajak, yaitu: 1) Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2) Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.
11
3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
ditunjukkan
adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Maksudnya pajak digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2.1.4
Wajib Pajak Wajib Pajak menurut pasal 1 ayat 2 UU KUP No.28 tahun 2007 adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Berdasarkan pengertian
tersebut, terdapat tiga jenis Wajib Pajak yaitu: 1) Wajib Pajak Badan, 2) Wajib Pajak Orang Pribadi, dan 3) Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak 2.1.5
Return on Assets (ROA) Return on Assets (ROA) merupakan suatu rasio penting yang dapat
dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan (aset yang dimilikinya) untuk mendapatkan laba. ROA menjadi salah satu pertimbangan investor di dalam melakukan investasi terhadap saham di bursa saham. Rasio ini berguna untuk mengukur sejauh mana efektivitas
12
perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. (Siaahan, 2004) Menurut Dendawijaya (2003: 120) rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
manajemen
dalam
memperoleh
keuntungan
(laba)
secara
keseluruhan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut dan semakin baik pula posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. 2.1.6 Leverage Leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai investasinya (Sartono, 2002). Leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan utang. Leverage menggambarkan hubungan antara total assets dengan modal saham biasa atau menunjukkan penggunaan utang untuk meningkatkan laba (Husnan, 2002). Rasio leverage yang umum digunakan menurut Riyanto (2002:333) adalah sebagai berikut: 1) Total Debt to Equity Ratio Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan utang. Rasio ini
13
mengukur likuiditas jangka panjang perusahaan sehingga akan memfokuskan pada sisi kanan neraca. Total debt to equity ratio dapat dihitung dengan cara total utang dibagi dengan jumlah modal sendiri. 2) Total Debt to Total Capital Assets Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur berapa bagian dari keseluruhan kebutuhan yang dibiayai dengan utang. Total Debt to Total Capital Assets adalah perbandingan antara total utang dengan total aktiva. 3) Long Term Debt to Equity Ratio Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk utang jangka panjang, yang diukur dengan utang jangka panjang dibagi dengan modal sendiri. 4) Tangible Assets Debt Coverage Ratio Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya aktiva tetap tangible (nyata) yang digunakan untuk menjamin setiap rupiah utang jangka panjang, yang diukur dengan jumlah aktiva dikurangi aktiva intangible dikurangi utang lancar dibagi dengan utang jangka panjang. 5) Time Interest Earned Ratio Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya jaminan keuntungan untuk membayar bunga utang jangka panjang yang dihitung dengan EBIT (Earnings before Income Taxes) dengan beban bunga utang jangka panjang. 2.1.7
Corporate Governance Corporate Governance (CG) didefinisikan sebagai efektivitas mekanisme
yang bertujuan meminimalkan konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada
14
mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriasi atas pemegang saham minoritas (Johnson dkk, 2000 dalam Darmawati dkk, 2004). Hunger dan Wallen (2000) dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2003:32) mendefinisikan korporasi sebagai mekanisme yang dibangun agar berbagai pihak dapat memberikan kontribusi berupa modal, keahlian, dan tenaga demi manfaat bersama. Dengan terbentuknya korporasi maka shareholders memberi kontribusi berupa kapital yang dapat diperoleh dari para kreditur, para manajer yang memberi kontribusi berupa keahlian, dan para karyawan dengan kontribusi tenaga. Lebih lanjut para pemegang saham atau para investor turut serta dalam keuntungan perusahaan tanpa harus bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Para pemegang saham ini menunjuk suatu dewan yang memiliki kewajiban hukum untuk mewakili dan melindungi kepentingan mereka. Manajemen adalah para profesional yang menjalankan perusahaan tanpa harus bertanggung jawab secara pribadi atas penyediaan dana korporasi. Dari penjelasan ini jelas konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan pengendalian (control) para manajemen dalam korporasi menjadi esensi penting dalam kajian CG. Dengan pemisahan ini, pemilik perusahaan memberikan kewenangan para pengelola (manajer) untuk mengurus jalannya perusahaan seperti mengelola dana dan membuat keputusan perusahaan lainnya untuk dan atas nama pemilik. CG diperlukan untuk mengendalikan perilaku pengelola perusahaan agar bertindak tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga menguntungkan pemilik
15
perusahaan, atau dengan kata lain untuk menyamakan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan. Zingales (1997) menjelaskan bahwa corporate governance merupakan pengelolaan (governance) dari bentuk organisasi tertentu, yaitu perusahaan (corporation). Zingales mendefinisikan corporate governance sebagai the complex set of constraints that shape the ex-post bargaining over the quasi-rents generated by a firm (fokus pengelolaan berbagai hubungan antara pihak yang berkepentingan di perusahaan). Prinsip CG di Indonesia dengan Keputusan Menteri BUMN No. Kep117/M-MBU/2002, tentang penerapan praktik good corporate pada BUMN pada Bab II pasal 3 meliputi lima prinsip: 1) Transparansi (transparentcy), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2) Kemandirian (independentcy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 3) Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan tanggungjawab organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana dengan efektif.
16
4) Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5) Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi kepentingan stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.8
Ukuran Perusahaan Machfoedz (1994) dalam Suwito dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklarifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva atau total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah penjualan. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori, yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (mediumsize) dan perusahaan kecil (small firm). Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total aktiva yang dimiliki. Perusahaan dengan total aktiva yang besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan karena dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif panjang. Selain itu, hal ini juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil (Indriani, 2005 dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Perusahaan besar juga dituntut untuk memperhatikan tanggung jawab terhadap lingkungan. Oleh karena itu, menurut Watts dan Zimmerman
17
(1986) dalam Achmad et al. (2007), pada perusahaan besar manajer akan memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang, sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Selain itu, perusahaan besar dengan total aktiva yang besar akan memberi kesempatan yang lebih besar bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba yang akan berpengaruh terhadap beban pajak perusahaan. 2.1.9
Kompensasi Rugi Fiskal Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat
(2) Undang-Undang Pajak Penghasilan No.17 tahun 2000. Adapun beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut : 1) Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biayabiaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan. 2) Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan. 3) Kompensasi kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.
18
4) Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam negeri. Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa terdapat hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan : 1) Apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluarsa? 2) Apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa? 3) Apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang? 2.1.10 Tax Planning (Perencanaan Pajak) Tax Planning adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Tax planning adalah upaya legal yang bisa dilakukan wajib pajak. Tindakan ini legal karena penghematan pajak tersebut dilakukan dengan cara tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Secara teoritis, tax planning merupakan bagian dari fungsi-fungsi manajemen pajak, yang terdiri dari: planning, implementation dan control. Apabila dihubungkan dengan fungsi-fungsi spesifik manajemen, perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan termasuk ke dalam salah satu fungsi-fungsi spesifik manajemen, yaitu fungsi planning, dimana dalam proses menetapkan perencanaan penyusunan strategi penghematan pajak (Lumbantoruan, 1996)
19
Pengertian tax planning menurut Soemitro (1988) adalah suatu perencanaan pajak yang dilakukan oleh seorang tax planner untuk Wajib Pajak tertentu baik perorangan, badan atau suatu usaha dengan menerapkan peraturanperaturan perundang-undangan pajak secara legal dan terhadap suatu keadaan atau perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang sedemikian atau sehingga Wajib Pajak membayar pajak seringan-ringannya atau sama sekali tidak membayar pajak. Definisi dari Tax Planning menurut Zain (2003:43) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial. Ada tiga kecenderungan yang memotivasi manajemen melakukan tax planning sesuai yang diungkapkan (Suandy, 2003): 1) Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Kebijakand
perpajakan
terkandung
dalam
Ketentuan
Undang-Undang
Perpajakan yang berlaku. Pada saat ini, sistem pembayaran pajak yang berlaku di Indonesia dilandasi oleh sistem pemungutan dimana Wajib Pajak boleh menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang disetorkan (selfassessment system).
20
Dengan diberlakukannya sistem tersebut, juga akan membuka peluang bagi manajer perusahaan untuk mengimplementasikan tax planning dalam pengendalian pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan. 2) Undang-Undang Perpajakan Pada kenyataannya, dimanapun tidak ada Undang-Undang yang mengatur setiap permasalahan dengan sempurna. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah bagi wajib pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan merencanakan pajak dengan baik. 3) Administrasi Perpajakan Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya penafsiran antara aparat fiskus dan wajib pajak akibat dari luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif. Jadi, pada dasarnya perencanaan pajak adalah usaha wajib pajak untuk mencapai
efisiensi
pembayaran
beban
pajak
pembayaran beban pajak dengan tidak melanggar
dengan
meminimalisasi
ketentuan yang telah
ditetapkan dalam peraturan perpajakan atau Undang-Undang Perpajakan. Untuk dapat melakukan perencanaan pajak, terlebih dahulu harus mengerti dan memahami peraturan perpajakan yang ada. Setelah mengerti dan memahami kelemahan yang ada, kelemahan yang ada itulah yang dapat dimanfaatkan sebagai celah untuk melakukan perencanaan pajak.
21
2.1.11 Tax Avoidance Mortenson dalam Zain (1988) memberikan definisi tax avoidance sebagai berikut: Tax avoidance berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu tax avoidance tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimalkan atau meringankan beban pajak dengan cara-cara yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak. Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk: 1) Substantive tax planning, yang terdiri atas: a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
22
haven country atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 2) Formal tax planning Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah. 3) Ketentuan tentang Anti Avoidance Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini: a. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). b. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis. (Merks, 2007) 2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Sari dan Martani (2010) melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik
Kepemilikan Perusahaan, Corporate Governance dan Tindakan Pajak Agresif”.
23
Penelitian ini menggunakan sampel 40 perusahaan manufaktur yang listed di BEI tahun 2005-2008. Penelitian ini mengukur variabel tax avoidance yang diukur dengan (Effective Tax Rates, Cash Effective Tax Rates, Book-Tax Difference Manzon-Plesko dan Book-Tax Difference Desai-Dharmapala) menggunakan 2 variabel independen (Family dan CG) dan 8 variabel kontrol (ROA, Leverage, kompensasi rugi fiskal, perbedaan kompensasi rugi fiskal, PPE, Ukuran Perusahaan, Market to Book Ratio dan Book-Tax Difference). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih tinggi dari pada perusahaan non-keluarga, pengaruh CG terhadap tax avoidance tidak terbukti secara signifikan, pengaruh CG terhadap hubungan kepemilikan keluarga dan tax avoidance juga tidak terbukti secara signifikan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti pengaruh CG perusahaan manufaktur terhadap tax avoidance. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah periode penelitian yang diteliti. Desai dan Dharmapala (2006) melakukan penelitian dengan judul “Corporate Tax Avoidance and High Powered Incentives”. Penelitian ini menggunakan simulasi book-tax difference data sampel besar dari Standard and Poor’s Compustat Database tahun 1993-2001. Hasil Penelitian ini adalah terdapat pengaruh signifikan dari pemberian kompensasi insentif yang merupakan salah satu bentuk corporate governance terhadap tax avoidance. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti pengaruh CG terhadap tax avoidance. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah
24
jenis dan jumlah sampel penelitian, lokasi penelitian, periode penelitian serta metode analisis data. 2.3
Rumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh ROA pada tax avoidance Secara logika, semakin tinggi nilai dari ROA, berarti semakin tinggi nilai dari laba bersih perusahaan dan semakin tinggi profitabilitasnya. Perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk memposisikan diri dalam tax planning yang mengurangi jumlah beban kewajiban perpajakan. (Chen et al. 2010) Berdasarkan uraian di atas, Hipotesis penelitian ini adalah: H1: ROA berpengaruh signifikan pada tax avoidance perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2007-2010. 2.3.2 Pengaruh Leverage pada tax avoidance Secara logika, semakin tinggi nilai dari rasio Leverage, berarti semakin tinggi jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari utang tersebut. Biaya bunga yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak perusahaan. Semakin tinggi nilai utang perusahaan maka nilai CETR perusahaan akan semakin rendah (Richardson dan Lanis, 2007). Berdasarkan uraian di atas, Hipotesis penelitian ini adalah: H2: Leverage berpengaruh signifikan pada tax avoidance.
25
2.3.3 Pengaruh Corporate Governance pada tax avoidance Komposisi komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba dan laba kena pajak. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komisaris dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan yang berkualitas (Boediono, 2005:177). Komisaris Independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar mendukung good corporate governance perusahaan dan menjadikan laporan keuangan lebih obyektif . Komite audit bertugas melakukan kontrol dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan untuk menghindari kecurangan pihak manajemen. Berjalannya fungsi komite audit secara efektif memungkinkan pengendalian pada perusahaan dan laporan keuangan yang lebih baik serta mendukung good corporate governance (Andriyani, 2008). Berdasarkan uraian di atas, Hipotesis penelitian ini adalah: H3: Komposisi Komisaris Independen berpengaruh signifikan pada tax avoidance. H4: Keberadaan Komite Audit berpengaruh signifikan pada tax avoidance 2.3.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada tax avoidance Siegfried (1972) dalam Richardson dan Lanis (2007) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka akan semakin rendah CETR yang dimilikinya, hal ini dikarenakan perusahaan besar lebih mampu menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk membuat suatu perencanaan pajak yang baik (political power theory). Namun perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang
26
dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak, karena adanya batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dan sasaran dari keputusan regulator – political cost theory (Watts dan Zimmerman, 1986). Berdasarkan uraian di atas, Hipotesis penelitian ini adalah: H5: Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan pada tax avoidance. 2.3.5 Pengaruh Kompensasi Rugi Fiskal pada tax avoidance Secara logika, perusahaan yang telah merugi dalam satu periode akuntansi diberikan keringanan untuk membayar pajaknya. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama lima tahun ke depan dan laba perusahaan akan digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian tersebut. Akibatnya, selama lima tahun tersebut, perusahaan akan terhindar dari beban pajak, karena laba kena pajak akan digunakan untuk mengurangi jumlah kompensasi kerugian perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, Hipotesis penelitian ini adalah: H6: Kompensasi Rugi Fiskal berpengaruh signifikan pada tax avoidance.
27