BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan pengembangan hipotesis. Bab ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu sub bab 2.1 menguraikan mengenai landasan teori dan sub bab 2.2 menguraikan mengenai pengembangan hipotesis.
2.1
Landasan Teori Secara terperinci sub bab 2.1 menguraikan mengenai teori keagenan, teori
akuntansi positif, asimetri informasi, laba, manajemen laba, income smoothing, cash holding, bonus plan, reputasi auditor, profitabilitas, dan leverage. 2.1.1 Agency theory Teori agensi merupakan teori yang sangat berkaitan dengan tindakan manajemen laba atau praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005) dalam Budiasih (2009), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Agency theory tidak dapat dilepaskan dari kedua belah pihak, baik prinsipal maupun agen merupakan pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining position masing-masing dalam menempatkan posisi, peran dan kedudukannya. Prinsipal sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan agen sebagai pelaku dalam praktik operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh.
13
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Dari asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut. Teori keagenan menjelaskan hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak yang terdiri atas agen sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab untuk suatu tugas dan prinsipal sebagai pihak yang memberi tugas. Kondisi ini mengandung konsekuensi bahwa kedua belah pihak, baik agen maupun prinsipal, akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya masing-masing (Jensen & Meckling, 1976). Dalam kaitannya dengan keagenan, manajemen memiliki lebih banyak informasi
internal
perusahaan
dibandingkan
dengan
prinsipal,
sehingga
memungkinkan agen untuk memaksimalkan pemenuhan kepentingan pribadinya dengan cara ilegal yaitu moral hazard dan adverse selection (Hendrikson dan Breda, 2000 dalam Prasetya, 2013). Moral hazard dapat disebut juga sebagai perilaku menyimpang dari kontrak kerja, sedangkan adverse selection dapat disebut juga sebagai penyimpangan dari penggunaan informasi sesuai yang dikehendaki prinsipal. Informasi akuntansi yang digunakan prinsipal sebagai acuan untuk mengukur kinerja manajer dan juga sebagai dasar pemberian reward membuat timbulnya disfunctional behavior dikalangan manajer dan cenderung
14
melakukan perataan laba dengan memanipulasi informasi sedemikian rupa agar kinerja manajer terlihat bagus. Konsep teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen dan pemilik yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti kreditor dan investor. Dengan adanya asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) akan memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) sehingga akan menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Sulistiani, 2013). Dalam kondisi demikian, manajer dapat menggunakan informasi yang diketahuinya
untuk
memanipulasi
pelaporan
keuangan
dalam
usaha
memaksimalkan kemakmurannya (Salno dan Baridwan, 2000). Pembahasan konsep perataan laba dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori keagenan (Salno dan Baridwan, 2000). Lambert (1984:165) dalam Dewi (2014) juga menggunakan teori keagenan untuk memperlihatkan adanya perjanjian kompensasi optimal yang ditawarkan prinsipal sehingga menimbulkan motivasi untuk melakukan income smoothing.
15
2.1.2 Teori akuntansi positif Teori akuntansi positif adalah teori yang memprediksi tindakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dan bagaimana manajer akan merespon kebijakan akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2006). Watts dan Zimmerman (1986) merumuskan pemahaman tentang perataan laba (income smoothing) yang dirumuskan dalam Positive Accounting Theory (PAT), yaitu anggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelaskan praktik-praktik akuntansi, diantaranya: 1) The bonus plan hypothesis Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba masa kini. 2) Debt convenant hypothesis Pada perusahan yang mempunyai debt to equity ratio tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini karena perusahaan dengan debt to equity ratio yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang. 3) Political cost hypothesis Ketika perusahaan mengeluarkan biaya untuk kepentingan politik dengan jumlah
yang
besar,
maka
perusahaan
16
tersebut
akan
cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat membuat pelaporan laba pada periode berjalan lebih rendah daripada pelaporan laba sesungguhnya. Semakin besar perusahaan, maka biaya politik yang terjadi akan cenderung semakin besar pula.
2.1.3 Asimetri informasi Para pengguna internal (para manajemen) mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perusahaan, sedangkan pihak eksternal yang tidak berada di perusahaan secara langsung, tidak mengetahui informasi tersebut sehingga tingkat ketergantungan manajemen terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Salah satu kendala yang akan muncul antara agent dan principal adalah adanya asimetri informasi. Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana agent mempunyai informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dan prospek dimasa yang akan datang dibandingkan dengan principal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada agent untuk menggunakan informasi yang diketahuinya dalam memanipulasi pelaporan keuangan. Astika (2011:4) menyatakan terdapat dua bentuk asimetri informasi, yaitu: 1) Adverse selection, yaitu jenis asimetri informasi dimana salah satu pihak mempunyai informasi lebih dibanding dengan yang lainnya dalam suatu transaksi bisnis atau potensial transaksi. 2) Moral hazard, yaitu tipe asimetri informasi yang menggambarkan satu atau lebih kelompok melakukan transaksi bisnis, serta pihak atau kelompok
17
tersebut dapat mengendalikan tindakan-tindakannya secara menyeluruh atas transaksi bisnis yang dilakukan, sedangkan kelompok lain tidak memiliki potensi tersebut. Schift dan Lewin (1970) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007), menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individuindividu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri
yang
dimilikinya
akan
mendorong
agent
untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dengan adanya kondisi yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Sehingga dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan.
2.1.4 Laba Laba sangat penting bagi suatu perusahaan, karena berhasil atau tidak suatu perusahaan pada umumnya diukur dengan laba yang diperoleh. Menurut Suwardjono (2008:464), laba dimaknai sebagai imbalan atas upaya perusahaan menghasilkan barang dan jasa. Ini berarti laba merupakan kelebihan pendapatan diatas biaya. Menurut Soemarso (2004:245), laba adalah selisih lebih pendapatan atas beban sehubungan dengan usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut selama periode tertentu. Dapat disimpulkan bahwa laba berasal dari semua
18
transaksi yang terjadi di perusahaan dan akan mempengaruhi kegiatan perusahaan pada suatu periode dan laba didapat dari selisih antara pendapatan dengan beban. Laba akuntansi (accounting income) didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Wild dan Subramanyan (2005:411) menyebutkan bahwa laba akuntansi (accounting income) merupakan produk lingkup pelaporan keuangan yang melibatkan standar akuntansi, mekanisme pengaturan, dan insentif manajer. Di sisi lain, akuntan mendefinisikan laba dari sudut pandang perusahaan sebagai suatu kesatuan. Laba akuntansi sebagai (accounting income) secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan pendapatan yang direalisasikan dari transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Belkaoui (2007:229) menyebutkan bahwa laba akuntansi mempunyai lima karakteristik sebagai berikut: 1) Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang diadakan oleh perusahaan (terutama pendapatan yang berasal dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya yang dibutuhkan untuk mencapai penjualan tersebut) 2) Laba akuntansi didasarkan pada postulat periodisasi dan mengacu pada kinerja keuangan perusahaan selama satu periode tertentu. 3) Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan pemahaman khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan.
19
4) Laba akuntansi memerlukan pengukuran tentang biaya (expenses) dalam bentuk biaya historis. 5) Laba akuntansi menghendaki adanya penandingan (matching) antara pendapatan dan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan tersebut.
2.1.5 Manajemen laba Manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen. Menurut Schipper (dalam Jafarpour, 2014), manajemen laba adalah campur tangan yang disengaja dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Scott (2006:369) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua, yaitu sebagai perilaku oportunistik manajer dan sebagai efficient contracting. Manajemen laba sebagai perilaku oportunistik, manajemen laba dilakukan untuk memaksimumkan utilitas perusahaan dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political cost (opportunistic earnings management). Manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management) dapat dipahami sebagai cara untuk memberi manajer suatu fleksibilitas guna melindungi diri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga.
20
Menurut Scott dalam Indriyani (2009), pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: a) Taking a bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang. b) Income minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat laba yang tinggi, sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c) Income maximization Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. d) Income smoothing (perataan laba) Perataan laba merupakan salah satu bentuk manajemen laba yang dilakukan dengan cara membuat laba akuntansi relatif konsisten (rata atau smooth) dari periode ke periode.
21
2.1.6 Income smoothing (perataan laba) Perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu pola dari manajemen laba dimana manajemen berusaha menstabilkan laba perusahaan selama beberapa periode dengan tujuan tertentu. Menurut Belkaoui (2007:192), perataan laba merupakan upaya yang sengaja dilakukan dengan melakukan normalisasi laba untuk mencapai tingkatan atau kinerja tren yang diinginkan dan suatu upaya yang dilakukan oleh manajer dengan sengaja untuk memperkecil fluktuasi laba pada tingkat yang dianggap normal. Perataan laba (income smoothing) menurut Fudenberg dan Tirole dikutip oleh Stolowy dan Breton (2000) dalam Dewi dan Zulaikha (2011) mengemukakan bahwa income smoothing (perataan laba) adalah suatu proses manipulasi laba yang sengaja diatur pada waktu terjadinya atau usaha yang sengaja dirancang berkaitan dengan pengurangan arus laba yang dilaporkan, bukan pada saat menambah jumlah laba yang dilaporkan dalam jangka panjang. Tindakan income smoothing sengaja dilakukan manajemen guna mencapai posisi laba yang diinginkan dalam laporan laba rugi perusahaan guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor seringkali hanya terpusat pada informasi laba tersebut (Subekti, 2005). Situasi ini dimanfaatkan oleh manajer untuk melakukan perataan laba dengan tujuan untuk menstabilkan laba sesuai dengan kepentingannya, dengan harapan investor dapat memiliki motivasi yang tinggi untuk berinvestasi dalam perusahaan.
22
Menurut Subekti (2005), dimensi perataan laba pada dasarnya adalah cara yang digunakan untuk melakukan perataan laba. Ronen dan Sadan (1981) dalam Mostafa, dkk. (2013) memungkinkan income smoothing melalui tiga metode, yaitu: a) Perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau identifikasi Ini berarti manajemen dapat memilih saat terjadinya peristiwa keuangan dengan cara memberikan efek penurunan variabel periodikal menjadi laporan pendapatan. b) Perataan melalui dedikasi Manajemen memiliki kewenangan dengan cara mengendalikan otorisasi pada keuangan yang merupakan efek dari peristiwa finansial yang ada. c) Perataan melalui klasifikasi Manajemen
perusahaan
melakukan
perataan
laba
dengan
cara
mengklasifikasikan item-item dalam laba (extra-ordinary items atau ordinary items) untuk menimbulkan kesan yang lebih merata pada laporan keuangan yang dilaporkan. Menurut Nasir, dkk (2002) dalam Amanza (2014) perataan laba dapat diakibatkan oleh dua jenis, yaitu: 1) Natural smoothing (perataan alami) Perataan laba ini terjadi secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Aliran laba dalam perataan ini secara alami menunjukkan kestabilan dengan aliran laba yang merata untuk setiap tahunnya sehingga tidak membutuhkan perhatian yang khusus bagi manajemen.
23
2) Intentional Smoothing (Perataan yang disengaja) Biasanya dihubungkan dengan tindakan manajemen. Dapat dikatakan bahwa intentional smoothing berkenaan dengan situasi dimana rangkaian laba yang dilaporkan dipengaruhi oleh tindakan manajemen. Intentional smoothing dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a) Real smoothing Merupakan usaha yang diambil oleh manajemen dalam merespon perubahan kondisi ekonomi. Dapat juga berarti perataan laba real melalui transaksi nyata yaitu, dengan mengatur (menunda atau mempercepat) transaksi. Perataan ini menyangkut pemilihan waktu kejadian transaksi riil untuk mencapai sasaran perataan. b) Artificial smoothing Merupakan suatu usaha yang disengaja untuk mengurangi variabilitas aliran laba secara artificial. Perataan laba ini menerapkan prosedur akuntansi untuk memindahkan biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode tertentu. Dengan kata lain, artificial smoothing dicapai dengan menggunakan kebebasan memilih prosedur akuntansi yang memperbolehkan perubahan cost dan revenue dari suatu periode akuntansi.
24
Ayres (1994) dalam Narsa et al. (2003) mengungkapkan tiga faktor yang dapat dikaitkan dengan munculnya income smoothing, yaitu: 1) Manajemen akrual (accruals management) Faktor ini biasa dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Misalnya, dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan dan menganggap biaya sebagai suatu tambahan investasi. 2) Penerapan suatu kebijakan akuntansi (adoption of mandatory accounting changes) Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu, antara menerapkan lebih awal dari waktu yang diterapkan atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. Para manajer tentu akan memilih menerapkan kebijaksanaan akuntansi bila dengan penerapan tersebut dapat mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan perusahaan. 3) Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes) Faktor ini berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih dan tersedia serta diakui oleh badan akuntansi yang ada. Contohnya, penggantian metode-metode pencatatan, mengubah metode penyusutan aktiva dari metode garis lurus ke metode yang dipercepat atau sebaliknya.
25
2.1.7 Cash holding Kas merupakan aset yang paling likuid yang ada dalam perusahaan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh manajer dalam menjalankan operasionalnya. Kas adalah salah satu aset yang bisa dikonversikan dalam bentuk aset jenis lainnya. Adanya karakteristik yang unik tersebut, membuat kas menjadi aset yang paling mungkin untuk disalahgunakan. Selain itu, kas juga merupakan aset yang yang rentan terhadap perilaku yang tidak semestinya oleh manajemen (Isshaq, et al., 2009). Menurut Teruel et al. (2009) dalam Poluan, cash holdings merupakan rasio perbandingan antara jumlah kas dan setara kas yang dimiliki perusahaan dengan jumlah aktiva perusahaan secara keseluruhan. Swanson (2006) dalam Poluan (2013) mengatakan tujuan perusahaan memiliki cash holding adalah untuk membayar hutang, membiayai kesempatan investasi yang menguntungkan, serta sebagai cadangan apabila terdapat kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa yang akan datang. Sedangkan Saddour (2006) mengatakan cash holding bisa di bagikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden, melakukan pembelian kembali saham, melakukan investasi dan disimpan untuk kepentingan perusahaan di masa depan. Menurut Talebnia dan Darvish (2012) dalam Cendy (2013), cara menggunakan kepemilikan kas internal adalah sebuah keputusan penting dalam konflik antara pemegang saham dan manajer. Pada teori agensi, hal ini meningkatkan keinginan manajemen untuk memegang uang tunai (cash holding). Di sisi lain, kinerja manajer difokuskan kepada pemegang saham, sehingga
26
manajer harus mempertahankan kas perusahaan agar tetap stabil. Tanggung jawab ini dapat dicapai dengan salah satu alat manajemen yaitu perataan laba atau income smoothing (Cendy, 2013). Berdasarkan The General Theory of Employment, Interest, and Money, Keynes dalam Cendy (2013) menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan atau motif kepemilikan kas, yaitu: (1) Motif transaksi. Dalam hal ini, kas digunakan untuk membayar barang dan jasa atau transaksi sehari-hari (2) Motif berjaga-jaga. Dalam hal ini, kas digunakan untuk investasi (misalnya berupa saham atau obligasi) karena investasi dianggap aman karena jarang kehilangan nilai (3) Motif Spekulasi. Dalam hal ini, para investor mengharapkan tingkat pengembalian yang sebesar-besarnya dari investasi yang dilakukan. Myers dan Majluf (1984) dalam Dewi (2015) mengganggap bahwa tidak ada tingkat optimal untuk menyimpan kas tetapi kas tersebut lebih memiliki peran sebagai laba ditahan atau kebutuhan investasi. Jumlah kepemilikan kas di perusahaan
biasanya
ditentukan
oleh
manajer
keuangan
perusahaaan.
Ketersediaan jumlah kas yang optimal bagi perusahaan dapat mempengaruhi keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut (Prasentianto, 2014). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Chung et al. (2011), mereka dapat menunjukkan bahwa perusahaan terus mengurangi penahanan kas ketika tingkat asimetri informasi yang lebih tinggi. Mereka menginterpretasikan hasil ini sebagai bukti bahwa manajer lebih leluasa untuk menentukan tingkat penahanan kas perusahaan ketika sulit bagi pemegang saham luar untuk memantau dan menafsirkan tindakan mereka.
27
Menurut Oppler et al. (1999) dalam Cendy (2013), ada tiga teori tentang mengapa perusahaan menahan kas terlalu banyak, yaitu: 1) Teori trade off Dalam teori trade off, kepemilikan kas menyatakan bahwa tingkat likuiditas yang optimal merupakan trade-off antara biaya dan manfaat dari kas ditangan. Manfaat dari cash holding yaitu, mengurangi kesulitan keuangan, kas tidak menghalangi kebijakan investasi ketika kendala keuangan terpenuhi, dan kas menurunkan biaya penggalangan dana eksternal atau melikuidasi aset. Biaya besar yang dikeluarkan dari kas ditangan disisi lain merupakan biaya peluang dari modal yang diinvestasikan dalam aset yang likuid. 2) Teori pecking order Berdasarkan teori ini, ketika membutuhkan dana untuk keperluan pembiayaan investasi perusahaan, seharusnya perusahaan membiayai kesempatan investasi dengan dana internal terlebih dahulu. Jika keperluan untuk investasi tidak bisa didapat dari pendanaan internal, maka perusahaan akan menggunakan pendanaan eksternal dari utang sebagai sumber pendanaan kedua dan ekuitas sebagai sumber pendanaan terakhir. 3) Teori arus kas bebas Menurut teori arus kas bebas, masalah akan timbul jika perusahaan memiliki free cash flow dalam jumlah besar. Pada umumnya, shareholder mengharapkan kelebihan kas tersebut didistribusikan kepada shareholder dalam bentuk dividen, sementara pihak manajemen lebih menginginkan
28
menahan kas tersebut dengan alasan untuk keperluan pendanaan proyekproyek tertentu.
2.1.8 Bonus plan Tujuan dari pendekatan teori akuntansi positif adalah untuk menerangkan dan meramalkan praktik akuntansi. Salah satu contoh dalam penggunaan teori positif ini adalah hipotesis bonus plan. Menurut Harahap (2011:112), hipotesis ini menunjukkan bahwa manajemen yang remunerasinya didasarkan pada bonus, maka mereka akan berusaha memaksimalkan pendapatannya melalui pendekatan akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga bonusnya tinggi yang bisa menuju arah creative accounting. Dalam penyusunan laporan keuangan manajemen tentu akan memilih standar akuntansi yang dapat menaikkan laba atau bonus mereka. Teori ini akan dapat menjelaskan atau memprediksi perilaku manajemen dalam mana bonus plan diberlakukan. Bonus plan seringkali dikaitkan dengan kesempatan bagi manajer untuk menikmati
bagian
keuntungan
tertentu
bilamana
perusahaan
mampu
menghasilkan suatu tingkat keuntungan tertentu yang telah ditargetkan. Target tersebut biasanya dinyatakan dalam satuan angka misalnya, keuntungan bersih perusahaan dalam suatu periode akuntansi tertentu atau tingkat pengembalian terhadap nilai buku aset perusahaan, atau pencapaian harga saham tertentu di pasar modal (Setiawan, 2011). Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih cenderung memilih prosedur
29
akuntansi yang memindah laba untuk periode mendatang menjadi laba periode sekarang (Watts dan Zimmerman dalam Narsa et al., 2003). Karena alasan-alasan tertentu, manajer memiliki inisiatif untuk memanipulasi atau mengatur laba yang dilaporkan dengan menggunakan kewenangannya melalui pemilihan metode akuntansi yang dapat mempengaruhi besar kecilnya laba.
2.1.9 Reputasi auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-undang Akuntan Publik (Jusup, 2014:21). Reputasi KAP dapat diartikan sebagai pandangan (image) atas nama baik, prestasi dan kepercayaan publik yang disandang KAP tersebut. Jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) digunakan oleh perusahaan dalam menyampaikan suatu laporan atau informasi akan kinerja perusahaan agar memperoleh keakuratan dan terpercaya. Perusahaan yang menggunakan jasa dari kantor akuntan publik besar seperti the big four cenderung lebih dipilih investor karena menghasilkan kualitas audit yang baik (Handayani, 2013). Indonesia memiliki kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan the big four, sehingga dapat memudahkan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia apabila perusahaannya ingin diaudit oleh KAP yang memiliki reputasi (Ariyani, 2014). Kantor akuntan publik di Indonesia yang berafiliasi dengan the big four antara lain:
30
1) KAP Tanudiredja, Wibisana & Rekan berafiliasi dengan PwC (Price Waterhouse Coopers). 2) KAP Osman Bing Satrio berafiliasi dengan Deloitte Tauche Thomatsu. 3) KAP Purwantoro, Suherman & Surja berafiliasi dengan Ernest & Young. 4) KAP Sidharta Widjaja berafiliasi dengan KPMG (Klynfeld Peat Marwick Godelar).
2.1.10 Profitabilitas Kemampuan memperoleh laba bisa diukur dari modal sendiri maupun dari seluruh dana yang diinvestasikan ke dalam perusahaan (Wiagustini, 2010:76). Menurut Kasmir (2013:196), penggunaan rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan dari hasil penjualan dan pendapatan investasi. Pada dasarnya penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. Juniarti dan Carolina (2005), menyatakan profitabilitas sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, tindakan perataan laba cenderung dilakukan oleh perusahaan yang profitabilitasnya rendah dan perusahaan dalam industri yang lebih berisiko. Profitabilitas sering dijadikan patokan oleh investor dan kreditur dalam menilai sehat atau tidaknya suatu perusahaan. Profitabilitas akan mempengaruhi keputusan investasi dan pemberian kredit. Perusahaaan dengan profitabilitas rendah akan cenderung untuk melakukan
31
perataan laba dibandingkan perusahaan dengan profitabilitas tinggi. Perataan laba dilakukan agar image perusahaan terlihat lebih bagus (Abiprayu, 2011). Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau profit yang maksimal. Diperolehnya laba yang maksimal sesuai yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi kesejahteraan pemilik, karyawan serta meningkatan mutu perusahaan dan melakukan investasi baru. Tujuan akhir tersebut menuntut manajemen perusahaan untuk mampu memenuhi target yang telah ditetapkan. Rasio
profitabilitas
merupakan
rasio
untuk
menilai
kemampuan
perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal tersebut ditunjukkan dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Dimana semakin baik rasio profitabilitas, maka semakin baik perusahaan dalam memperoleh keuntungan (Fahmi, 2014:68). Profitabilitas adalah ukuran penting yang digunakan investor dalam menilai apakah suatu perusahaan sehat atau tidak untuk menjadi tempat berinvestasi,
yang
selanjutnya
hasil
ini
mempengaruhi
investor
untuk
memutuskan membeli atau menjual saham.
2.1.11 Leverage Leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perushaan dibiayai dengan utang. Wiagustini (2010:76) menyebutkan leverage adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang atau mengukur sejauh mana
32
perusahaan dibiayai oleh hutang. Rasio ini mempunyai beberapa implikasi: (1) para pemberi kredit akan melihat kepada modal sendiri untuk melihat batas keamanan pemberian kredit, (2) dengan menggunakan hutang, memberi dampak yang positif bagi pemilik karena perusahaan memperoleh dana tetapi pemilik tidak kehilangan kendali atas perusahaan, (3) apabila perusahaan mendapat keuntungan yang lebih besar dari beban bunga, maka keuntungan bagi pemilik modal sendiri akan menjadi lebih besar (Bernadetha, 2010). Rasio leverage yang tinggi dapat diindikasikan adanya kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh perusahaan untuk membayar bunga dan prinsipal di masa yang akan datang. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi diduga melakukan perataan laba karena perusahaan terancam default sehingga manajemen membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan (Prabayanti dan Yasa, 2011).
2.2
Rumusan Hipotesis Sub bab 2.2 menguraikan mengenai pengaruh cash holding pada income
smoothing, pengaruh bonus plan pada income smoothing, pengaruh reputasi auditor pada income smoothing, pengaruh profitabilitas pada income smoothing, dan pengaruh leverage pada income smoothing. 2.2.1 Pengaruh cash holding pada income smoothing Berdasarkan teori agensi, adanya konflik antara manajer dan pemegang saham menimbulkan keinginan manajemen untuk memegang kas (cash holding) di perusahaan. Manajer menggunakan cash holding untuk meminimalisir
33
pendanaan eksternal dan operasional perusahaan. Oleh karena cash holding yang bersifat likuid, jangka pendek dan mudah dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa mengalami perubahan nilai yang signifikan. Cash holding sangat mudah dikendalikan
manajer
sehingga
memotivasi
manajer
untuk
melakukan
kepentingan pribadi. Hal ini dapat meningkatkan praktik income smoothing (Mambraku, 2014). Talebnia dan Darvish (2012) dalam Cendy (2013) menyatakan bahwa cash holding (kepemilikan kas) berhubungan signifikan dan berhubungan langsung dengan income smoothing (perataan laba), yang berarti bahwa semakin tinggi kepemilikan kas atau semakin tinggi kas yang ada dalam perusahaan, maka semakin tinggi perataan laba. Hasil penelitian yang sama diungkapkan oleh Hutauruk (2013) dan Mambraku (2014) yang menyatakan bahwa cash holding berpengaruh positif terhadap praktik income smoothing. Cendy (2013) juga telah meneliti mengenai pengaruh cash holding terhadap income smoothing juga mendapatkan hasil yang sama yaitu cash holding berpengaruh singnifikan terhadap income smoothing. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah: H1 :
Cash holding berpengaruh positif pada income smoothing perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2014.
34
2.2.2 Pengaruh bonus plan pada income smoothing Berdasarkan the bonus plan hypothesis pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode mendatang ke periode saat ini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dilakukan karena manajer lebih menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini. Sehingga memicu manajer melakukan praktik perataan laba. hipotesis ini menunjukan bahwa manajemen yang remunerasinya didasarkan pada bonus, maka mereka akan berusaha memaksimalkan pendapatannya melalui pendekatan akuntansi yang dapat menaikkan laba, sehingga bonusnya tinggi yang bisa menuju arah creative accounting (Harahap, 2011:112). Hasil penelitian Gayatri dan Wirakusuma (2012) menemukan bahwa bonus plan berpengaruh positif pada peluang terjadinya praktik perataan laba. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: H2 :
Bonus plan berpengaruh positif pada income smoothing perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2014.
2.2.3 Pengaruh reputasi auditor pada income smoothing Reputasi auditor adalah sebagai suatu tolak ukur yang menunjukkan kualitas hasil audit yang dapat diproksikan dengan besaran suatu KAP (Kantor Akuntan Publik) dan KAP Big Four sebagai proksi kualitas auditor yang tinggi. Soselisa
35
(2008) dalam Prabayanti dan Yasa (2011) menyatakan bahwa kualitas audit yang lebih tinggi dari suatu Kantor Akuntan Publik (KAP) akan memperbesar risiko terungkapnya kecurangan akuntansi. Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa KAP Big Four akan cenderung bertindak lebih objektif dalam menghasilkan kualitas audit yang lebih baik daripada KAP non-Big Four. Sementara itu, reputasi auditor merupakan penilaian terhadap kualitas auditor dalam melakukan audit (Prabayanti dan Yasa, 2011). Gayatri dan Wirakusuma (2012) menemukan bahwa reputasi auditor tidak memiliki pengaruh terhadap perataan laba. Hasil ini juga konsisten dengan Prabayanti dan Yasa (2011) dan Wahyuni, dkk. (2013) yang menemukan hasil bahwa reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap perataan laba. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah: H3 :
Reputasi auditor berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2014.
2.2.4 Pengaruh profitabilitas pada income smoothing Menurut Juniarti dan Corolina (2005) fluktuasi profitabilitas yang rendah atau menurun memiliki kecenderungan bagi perusahaan tersebut untuk melakukan perataan laba, hal ini dipicu jika perusahaan dalam menentukan kompensasi bonus berdasarkan pada besarnya profit yang dihasilkan.
36
Profitabilitas yang stabil akan meningkatkan kepercayaan pasar sehingga perusahaan menjaga konsistensi tingkat labanya. Hal ini senada dengan penelitian Amanza (2012) yang mengatakan bahwa profitabilitas yang menurun memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan perataan laba agar laba tampak stabil. Lebih lanjut Manuari dan Yasa (2014) menyebutkan rendahnya probabilitas variabel profitabilitas mempengaruhi praktik perataan laba. Berbeda dengan Ramdani (2012) menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara profitabilitas terhadap praktik perataan laba yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah: H4 :
Profitabilitas berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2012-2014.
2.2.5 Pengaruh leverage pada income smoothing Menurut Sartono dalam Budiasih (2009), financial leverage menunjukkan proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Semakin besar utang perusahaan, maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor, sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi tersebut perusahaan cenderung untuk melakukan praktik perataan laba. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwito dan Herawati (2005) yang menyatakan bahwa leverage ratio bukan faktor yang mendorong praktik perataan laba. Hal ini berarti perusahaan dengan tingkat
37
leverage tinggi tidak memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk melakukan perataan laba dibandingkan perusahaan dengan tingkat leverage rendah. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis kelima dalam penelitian ini adalah: H5 :
Leverage berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2014.
38