BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN
Penulis akan melakukan evaluasi terhadap penerapan ketentuan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) di Indonesia pada bab ini. Evaluasi ini dilaksanakan untuk menganalisis mengenai keuntungan serta kerugian apa saja yang mungkin terjadi di Indonesia jika ketentuan FATCA ini diberlakukan. Analisis tersebut berdasarkan pada pertanyaan apakah penerapan FATCA ini dimungkinkan secara regulasi Bank Indonesia atau tidak, apakah peraturan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) memungkinkan untuk menerapkan ketentuan FATCA di Indonesia atau tidak, serta mengungkapkan kemungkinan keuntungan dan kerugian yang ada dari penerapan ketentuan FATCA di Indonesia dan negara-negara lainnya dari berbagai aspek.
4.1.
Pembahasan Rahasia Bank Sehubungan Dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)
4.1.1. Aturan Yang Diperbolehkan Oleh Bank Indonesia Bank sebagai lembaga keuangan dalam melaksanakan kegiatan usahanya senantiasa berpegang teguh pada unsur kepercayaan masyarakat, terutama kepercayaan nasabah penyimpan yang menggunakan fasilitas pada bank untuk menempatkan simpanannya tersebut. Sebagai lembaga keuangan kepercayaan masyarakat, bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang berada pada bank tersebut.
45
Secara umum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka ketentuan rahasia bank yang pada awalnya meliputi nasabah kreditur (penyimpan dana) dan nasabah debitur (peminjam dana), telah dibatasi hanya mencakup nasabah penyimpan saja. Lingkup rahasia bank tidak hanya menyangkut data-data simpanan nasabah saja, tetapi identitas dari nasabah penyimpan yang memiliki simpanan tersebut juga harus dirahasiakan. Secara khusus, berdasarkan peraturan Bank Indonesia yaitu PBI Nomor 2/19/PBI/2000 mengenai ketentuan terhadap pengecualian rahasia bank terkait masalah pemeriksaan pajak mendapat perlakuan khusus dalam penerapannya dari Bank Indonesia. PBI Nomor 2/19/PBI/2000 mengatur bahwa pembukaan rahasia bank demi kepentingan perpajakan terlebih dahulu harus memperoleh izin atau perintah tertulis untuk membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Permintaan pembukaan rahasia bank tersebut harus disertai tanda tangan dengan membubuhkan tanda tangan dari Menteri Keuangan. Kemudian Pimpinan Bank Indonesia mengeluarkan perintah kepada bank yang akan dimintai data-data kerahasiaan banknya agar bersedia untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta suratsurat mengenai keadaan keuangan atau simpanan serta identitas dari nasabah penyimpan wajib pajak AS kepada petugas pajak Indonesia. Selambatlambatnya dalam jangka waktu 14 hari Gubernur Bank Indonesia wajib memberikan jawaban atau tanggapan terhadap permohonan tertulis dari Menteri Keuangan untuk pembukaan rahasia bank terkait dengan
46
pemeriksaan pajak setelah surat permintaan tersebut diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia.
4.1.2. Penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang Diperbolehkan Secara Regulasi Bank Indonesia Tujuan utama dari ketentuan FATCA adalah untuk mencegah penghindaran pajak oleh wajib pajak AS dengan mengharuskan Foreign Financial Institution atau FFI (lembaga keuangan asing) untuk mendeteksi dan melaporkan informasi mengenai warga negara AS yang memiliki aset melalui rekening asing. FFI yang tidak memenuhi persyaratan akan dikenakan withholding tax sebesar 30% pada pembayaran dari AS yang bersumber pada pendapatan pasif (misalnya bunga, dividen, sewa) serta dana yang diperoleh dari hasil bruto penjualan atau disposisi aset lainnya yang dapat menghasilkan bunga atau dividen yang bersumber dari AS. Untuk mematuhi dan menghindari pemotongan, FFI harus mendaftar dan bekerja sama dengan IRS Amerika Serikat, membuat kesepakatan FFI dan melakukan pelaporan informasi tahunan yang harus dilaporkan kepada IRS pada bulan Maret setiap tahunnya atas pemegang rekening AS dan bertindak sebagai agen pemotong AS atas setiap pembayaran yang dilakukan. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam kaitannya FATCA dengan kerahasiaan bank, FFI memerlukan keterangan data-data mengenai keadaan keuangan atau simpanan dana serta identitas diri wajib pajak AS yang menjadi nasabah penyimpan dan memiliki rekening pada bank-bank di Indonesia guna untuk dilakukannya pemeriksaan pajak. Data-data yang diperlukan yaitu keadaan keuangan atau simpanan dana pada rekening wajib pajak AS yang mencakup penghasilan, bunga, dividen, sewa, royalti, dan lain 47
sebagainya. Keseluruhan data keuangan tersebut harus dilampirkan ke dalam laporan keuangan tahunan yang nantinya akan dilaporkan kepada IRS. Selain itu, dokumen yang menunjukkan identitas diri dari nasabah juga diperlukan dalam pemeriksaan guna memastikan bahwa pemilik rekening atau nasabah penyimpan tersebut benar-benar warga negara AS. Pada Juni 2014 nanti, FATCA mulai berlaku secara efektif non-foreign passthru payments. Nonforeign passthru payments itu sendiri adalah FFI yang patuh wajib memotong 30% FFI lain yang tidak patuh terhadap FATCA atas keuntungan yang diperolehnya apabila terdapat transaksi yang dilakukan melibatkan US source income. Namun di awal 2017 nanti peraturan kembali berubah, FATCA mulai memberlakukan foreign passthru payments, yaitu FFI yang patuh wajib memotong FFI lain yang tidak patuh terhadap FATCA (FFI tersebut merupakan Finance Institution dalam 1 negara) atas transaksi yang terjadi diantara kedua FFI tersebut tanpa ada US source income. Sehingga nantinya jika hal ini terjadi di Indonesia, maka data-data kerahasiaan nasabah penyimpan milik wajib pajak AS yang wajib dilaporkan akan ditambahi keterangan mengenai kegiatan export, import, trading securities, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh wajib pajak AS tersebut. Selain itu data-data mengenai hasil bruto penjualan atau disposisi aset lainnya yang dapat menghasilkan bunga atau dividen yang bersumber dari AS juga tak luput dari pelaporan pajaknya. Dalam hal ini, Menteri Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak memiliki hak penuh untuk membuka kerahasiaan bank dan meminta keterangan mengenai informasi keuangan serta identitas nasabah penyimpan milik wajib pajak AS untuk melakukan pelaporan pajak milik para wajib
48
pajak AS di Indonesia nantinya kepada IRS. Jika Menteri Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak ingin pembukaan terhadap rahasia bank dilakukan, maka baik Menteri Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak harus membuat permohonan tertulis yang ditujukan kepada Bank Indonesia. Terdapat 5 hal yang harus dicantumkan dalam permohonan tertulis tersebut, antara lain: 1. Nama pejabat atau petugas pajak; 2. Nama nasabah penyimpan (warga negara AS), wajib pajak yang dikehendaki keterangannya; 3. Nama kantor bank tempat nasabah mempunyai simpanan atau akun rekening bank; 4. Keterangan yang diminta (informasi keuangan dan identitas nasabah); 5. Alasan diperlukannya keterangan. Dengan adanya 5 hal yang harus dicantumkan secara lengkap, tentunya dapat mengoptimalkan pertimbangan dari Gubernur Bank Indonesia untuk membuka kerahasiaan bank yang lebih efektif, sehingga nantinya izin dari Bank Indonesia tersebut tidak dapat disalahgunakan. Penolakan Permohonan Tidak selamanya pengajuan permohonan pembukaan kerahasiaan bank untuk penerapan peraturan FATCA di Indonesia berjalan lancar. Terkadang permohonan tertulis yang diajukan oleh Menteri Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak kepada Gubernur Bank Indonesia pun mendapat tanggapan atau jawaban yang tidak selalu positif. Artinya, Gubernur Bank Indonesia tidak selamanya bisa memberikan izin atas 49
permohonan permintaan data-data mengenai kerahasiaan bank milik nasabahnya. Gubernur Bank Indonesia dapat menolak surat permohonan dari Menteri Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak yang akan melakukan pemeriksaan pajak terhadap rekening-rekening milik wajib pajak AS. Adanya permohonan tertulis yang disampaikan kepada bank menghasilkan kewajiban bagi bank untuk melaksanakan perintah dari Gubernur Bank Indonesia. Seringkali permohonan tersebut ditolak oleh bank dengan alasan kurangnya sosialisai atau informasi mengenai kebijakan FATCA yang semestinya ditujukan kepada seluruh bank-bank di Indonesia sehingga tidak akan ada lagi salah pengertian atas permohonan untuk pembukaan kerahasiaan data nasabah bank milik wajib pajak AS yang menyebabkan ditolaknya surat permohonan tertulis tersebut. Selain itu, alasan lain adalah bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan milik wajib pajak AS tersebut selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia. Bank hanya dapat memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, memperlihatkan buktibukti tertulis, surat-surat, dan hasil cetak data elektronis tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis yang disampaikan kepada bank tersebut. Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan perbankan secara bersama-sama mempermudah proses dan upaya dari pemeriksa pajak untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap rekening-rekening nasabah penyimpan milik wajib pajak AS di Indonesia, termasuk untuk upaya memperoleh data-data, bukti-bukti, atau informasi dari wajib pajak AS yang terdapat pada bank-bank di Indonesia. Efektifitas dari pelaksanaan sistem
50
pembukaan rahasia bank untuk kepentingan FATCA atau perpajakan atas wajib pajak AS di Indonesia ini tentunya juga perlu didukung kerjasama yang baik antara Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Bank Indonesia, dan pihak bank yang terkait.
4.1.3. Hambatan – Hambatan Pembukaan Rahasia Bank Terkait Dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) Pembukaan rahasia bank untuk kepentingan FATCA tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun pejabat pajak sudah melaksanakan prosedur sesuai dengan ketentuan secara regulasi Bank Indonesia yang sudah ada dan juga menjalankannya secara bertahap sesuai dengan ketentuan FATCA ternyata masih banyak hambatan-hambatan yang seringkali dihadapi oleh pejabat pajak. Hambatan-hambatan dalam pembukaan rahasia bank, antara lain: 1.
Proses Birokrasi Perizinan Yang Memakan Waktu Lama dan Rumit Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pejabat
pajak yang akan melakukan pembukaan rahasia bank terlebih dahulu harus mendapatkan izin tertulis dari Gubernur Bank Indonesia berdasarkan permohonan tertulis yang telah didapat dari Menteri Keuangan. Sebelumnya, pejabat pajak tersebut harus menyampaikan maksud dari tujuannya untuk melakukan pembukaan terhadap rahasia bank milik nasabah wajib pajak AS tersebut ke Kepala Kantornya, kemudian Kepala Kantor akan membuat surat perizinan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian akan meminta tebusan surat permohonan izin untuk membuka rahasia bank tersebut kepada Menteri Keuangan. Tidak sampai disitu saja, proses birokrasi perizinan 51
tersebut harus menempuh proses perizinan dari Bank Indonesia, ketika Bank Indonesia menyetujui perizinan tersebut barulah proses pembukaan rahasia bank tersebut dapat dilakukan. Permasalahannya akan diperparah jika pejabat pajak yang bertugas untuk melaksanakan pembukaan rahasia bank tersebut adalah pejabat pajak yang berasal dari luar daerah. Hal ini akan semakin rumit dan memakan waktu yang lebih lama dibanding pejabat pajak yang berada di Jakarta. 2.
Ketidakpastian
Hukum
Terhadap
Pemberian
Izin
Untuk
Pembukaan Rahasia Bank Ketidakpastian hukum terhadap pemberian izin untuk membuka rahasia bank ini dapat dilihat berdasarkan tidak adanya payung hukum tertentu yang secara khusus dapat dijadikan landasan dalam hal pemberian izin terhadap pembukaan rahasia bank. Seringkali terdapat perbedaan pendapat antara Menteri Keuangan dengan Bank Indonesia. Permohonan untuk pembukaan rahasia bank tersebut sering ditolak oleh Bank Indonesia dengan alasan kurangnya bukti-bukti atau alasan yang kuat untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memberi izin untuk membuka kerahasiaan datadata nasabah penyimpan milik wajib pajak AS tersebut. Sedangkan dari sisi pejabat pajak, mereka merasa telah menyampaikan bukti-bukti serta alasan yang cukup kuat untuk memperoleh izin tersebut. Selain itu di dalam undangundang perbankan, peraturan untuk membuka kerahasiaan bank ini tidak diatur secara lengkap. Peraturan yang terdapat didalam undang-undang perbankan kurang membantu pejabat pajak untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan mengenai keadaan keuangan nasabah yang juga merupakan wajib pajak warga AS.
52
3.
Ketakutan Bank Untuk Melakukan Pembukaan Rahasia Bank Proses pembukaan rahasia bank yang seharusnya berjalan dengan
mudah ternyata sangat berpengaruh terhadap kemungkinan turunnya kepercayaan warga negara asing yang akan menanamkan investasinya pada bank di Indonesia. Karena sebagian besar warga negara asing takut kerahasiaannya akan dibongkar dan digunakan untuk hal-hal diluar ketentuan yang ada, mereka akan lebih memilih untuk menyimpan dananya ke negara lain selain Indonesia yang dinilai lebih aman dan lebih terjaga kerahasiaannya. Akibatnya, seringkali pejabat pajak Indonesia dipersulit dengan
tindakan-tindakan
dari
perbankan
yang
memperlambat
dan
memperumit upaya untuk mengakses data wajib pajak warga AS yang disimpan oleh bank. Salah satu contoh tindakan yang mempersulit gerak para pejabat pajak adalah dengan mengulur-ulur waktu dalam memberikan informasi mengenai data nasabah wajib pajak warga AS. Padahal pejabat pajak sendiri sangat terbentur dengan jangka waktu yang sangat terbatas dan memerlukan waktu yang cepat untuk melaporkan data-data kerahasiaan bank tersebut ke Direktorat Jenderal Pajak untuk kemudian diserahkan kepada IRS di Amerika Serikat.
4.2.
Pembahasan Rahasia Data Informasi Wajib Pajak Sehubungan Dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)
4.2.1. Pertukaran Informasi Antara Indonesia – Amerika Serikat Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk membuat suatu perjanjian perpajakan (tax treaty) atau lebih dikenal dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Tujuan utama dari perjanjian perpajakan ini adalah untuk menghindari pengenaan 53
pajak berganda (avoidance of double taxation) dan mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Namun di dalam tax treaty antara Indonesia dan Amerika Serikat, kedua negara pihak dapat memperoleh keuntungan lain atau dapat saling bernegosiasi tidak hanya dalam hal perpajakan. Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional antara Indonesia dan Amerika Serikat, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Amerika Serikat dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran dan pengelakan pajak yang terjadi. Di dalam tax treaty antara Republik Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri, ketentuan mengenai pertukaran informasi dibahas pada Pasal 26. Ketentuan mengenai pertukaran informasi dimaksudkan untuk mengakomodasi kerjasama pertukaran informasi di bidang perpajakan antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang akan memberikan manfaat bagi kedua negara pihak untuk memperoleh informasi yang lengkap mengenai kerahasiaan data wajib pajak yaitu transaksi-transaksi apa saja yang dilakukan oleh wajib pajak salah satu negara pihak pada persetujuan. Informasi yang diperoleh nantinya akan sangat berguna dalam rangka pengenaan pajak terhadap wajib pajak dari salah satu negara pihak pada persetujuan agar lebih akurat dan mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak. Di dalam ketentuan FATCA, peraturan domestik yang mengatur pertukaran informasi ini cenderung fokus pada tax treaty antara Indonesia dan Amerika Serikat Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (3).
54
Tax treaty Indonesia dan Amerika Serikat Pasal 26 ayat (1) menyebutkan informasi yang diterima oleh suatu negara pihak pada perjanjian harus dijaga kerahasiaanya seperti halnya informasi yang diperoleh berdasarkan perundang-undangan domestik negara tersebut dan hanya akan diungkapkan kepada pihak-pihak atau instansi-instansi yang berwenang (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang terlibat dalam penaksiran, penagihan, pengadministrasian, penegakan hukum, penuntutan, atau penentuan permohonan banding yang berkenaan dengan pajak – pajak yang dicakup oleh perjanjian ini. Rumusan Pasal 26 ayat (1) tersebut dapat diartikan di dalam praktik penerapan ketentuan FATCA ini sendiri masing-masing negara baik dari Indonesia maupun Amerika Serikat mengutus pejabat pajak yang berwenang untuk bersama-sama melakukan pertukaran informasi. Pejabat pajak utusan dari Amerika Serikat memberikan surat permohonan untuk meminta data wajib pajak warga AS yang berkedudukan di Indonesia untuk dimintai keterangan mengenai informasi keuangannya di Indonesia. Dan pejabat pajak di Indonesia wajib membantu memberikan informasi-informasi mengenai kondisi keuangan serta identitas wajib pajak warga AS yang ada di Indonesia. Proses ini akan berjalan lancar sepanjang data-data mengenai wajib pajak AS yang diminta oleh pihak Amerika Serikat masih wajar atau dengan kata lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Kedua belah pihak diwajibkan untuk saling menjaga kerahasiaan informasi setiap data-data yang telah diberikan dan hanya boleh memberikan data-data tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang untuk kemudian ditelusuri pajaknya. Namun, disamping untuk diteliti dalam proses
55
perpajakan, kerahasiaan data-data tersebut boleh diungkapkan di dalam proses pengadilan atau dalam pembuatan keputusan pengadilan. Pihak-pihak yang berwenang hanya boleh menggunakan informasi tadi sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut di atas. Informasi mengenai kerahasiaan data-data wajib pajak yang akan diberikan pun harus orisinil, artinya data- data tersebut harus sesuai dengan apa yang ada didalam laporan keuangan milik wajib pajak tersebut. Data-data yang diberikan oleh bank tersebut sebelumnya harus di serahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dilakukan audit terhadap laporan keuangannya, kemudian baru diserahkan kepada pihak yang berwenang di Amerika Serikat (IRS). Jika terjadi penyalahgunaan terhadap data-data kerahasiaan wajib pajak tersebut maka akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Dan bagi perbankan Indonesia sendiri, akan mengurangi kepercayaan warga negara asing terutama warga negara AS untuk berinvestasi di Bank Indonesia. Sedangkan di dalam tax treaty Pasal 26 ayat (3) menyebutkan jika informasi diminta oleh suatu negara pihak pada perjanjian, negara pihak lainnya pada perjanjian akan mencarikan informasi terkait permintaan tersebut dengan cara yang sama dan dalam taraf yang sama apabila pajak negara yang disebutkan pertama adalah pajak negara pihak lainnya dan dikenakan oleh negara pihak lainnya tersebut. Dalam penerapan ketentuan FATCA, rumusan di atas dapat diartikan pejabat pajak yang berwenang di Indonesia bertugas untuk membuka kerahasiaan bank terhadap rekening-rekening milik nasabah penyimpan wajib pajak Amerika Serikat. Pejabat pajak wajib membuat surat permohonan tertulis terlebih dahulu yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia
56
untuk memperoleh izin membuka rahasia data nasabah penyimpannya. Di dalam ketentuan FATCA, setelah semua data-data dan informasi identitas nasabah penyimpan diberikan oleh Bank Indonesia kepada Pejabat Pajak, data-data tersebut harus diaudit terlebih dahulu oleh Direktorat Jenderal Pajak sebelum di serahkan kepada IRS. Amerika Serikat mewajibkan seluruh warga negaranya di seluruh dunia untuk melaporkan data-data mengenai informasi pajaknya ke IRS. Jadi, wajib pajak warga negara Amerika Serikat di Indonesia wajib membayar dan melaporkan pajaknya di Indonesia dan juga di AS, namun besarnya pajak di masing-masing negara yang harus dilaporkan oleh wajib pajak AS tersebut tergantung dari negosiasi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat. Dan jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka akan dikenakan denda pajak sebesar 30%. Namun kemungkinan yang akan terjadi, seringkali pejabat pajak yang berwenang dari Amerika Serikat mengajukan permohonan yang lebih spesifik atau
permohonan khusus terhadap data-data wajib pajaknya. Mereka
meminta kepada pihak yang berwenang di Indonesia untuk memberikan informasi berdasarkan penjelasan dari para saksi secara langsung dan salinan otentik dari dokumen asli milik wajib pajak AS yang belum diaudit oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data-data yang diminta antara lain berupa buku, paper, laporan, catatan, rekening, dan karya tulis lainnya. Hal ini tentu sedikit bertentangan dengan peraturan ketentuan FATCA di Indonesia, karena Indonesia berencana akan mengadopsi penerapan FATCA berdasarkan IGA Model 1 yang mengharuskan informasi data-data kerahasiaan wajib pajak milik warga AS tersebut diaudit terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada IRS. Walaupun tidak merubah sistem atau taraf pajak apapun yang telah
57
ditetapkan oleh Amerika Serikat dalam melakukan pemeriksaan pajak terhadap warga negaranya di Indonesia.
4.2.2. Kendala Terkait Pembukaan Rahasia Data Wajib Pajak Tidak selamanya permohonan pembukaan terhadap kerahasiaan data wajib pajak dapat berjalan dengan mudah dan lancar. Tak jarang pejabat pajak yang berwenang untuk membuat surat permohonan kepada Gubernur Bank Indonesia mendapat penolakan. Di samping aturan pajak yang berlaku dan diperbolehkan di Indonesia yaitu Pasal 26 yang terdapat pada tax treaty antara Indonesia dan Amerika Serikat menyatakan bahwa sah-sah saja jika pejabat pajak Indonesia meminta data-data kerahasiaan nasabah penyimpan milik wajib pajak AS untuk kemudian data-data tersebut diserahkan kepada IRS, adapula aturan-aturan pajak yang harus diperhatikan dan tidak diperbolehkan dalam pembukaan rahasia data wajib pajak sebagai usaha penerapan ketentuan FATCA di Indonesia ini. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya dalam hal kerahasiaan perbankan pada saat pejabat pajak yang berwenang meminta data-data kerahasiaan wajib pajak AS kepada Bank Indonesia, perlu diingat adanya secrecy jurisdiction yang memegang erat rahasia perbankan. Di dalam peraturan perpajakan tidak terlalu jelas dalam mengatur masalah data-data yang menyangkut rahasia perbankan tersebut. Sehingga perlu dibuat payung hukum yang dapat melindungi setiap data-data kerahasiaan bank yang disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap informasi tersebut. Serta perlu dibuat payung hukum yang lebih tegas untuk mempermudah proses permohonan data-data informasi nasabah penyimpan
58
wajib pajak AS dari Bank Indonesia tanpa harus ada data yang dikecualikan asal data tersebut sesuai dengan ketentuan perpajakan yang ada. Selain itu masalah lain yang perlu diperhatikan adalah adanya treaty abuse. Treaty abuse merupakan situasi dimana seseorang yang tidak berhak atas manfaat dari tax treaty, namun menggunakan bantuan dari individu lain atau badan hukum lain sehingga dapat memperoleh manfaat tax treaty yang tidak tersedia secara langsung. Sebagai contoh, ada wajib pajak warga Amerika Serikat yang memiliki akun bank di Indonesia, sudah sejak lama ia menanamkan investasinya di Indonesia dan belum pernah dipungut atau melaporkan pajaknya tersebut ke Amerika Serikat. Ia ingin menghindari pajak yang telah ditetapkan oleh negaranya tersebut dengan cara meminta bantuan orang Indonesia untuk membuat rekening di Bank Indonesia dan berperan sebagai nasabah penyimpan untuk memalsukan identitas dirinya sebagai wajib pajak warga Amerika Serikat yang membuka rekening di bank tersebut, dengan kata lain akun bank tersebut atas nama orang Indonesia padahal investasi didalamnya semua milik wajib pajak warga Amerika Serikat tersebut. Hal ini dilakukan oleh wajib pajak warga AS tersebut semata-mata untuk menghindari pemotongan dan penagihan pajak yang akan dilakukan oleh pihak Amerika Serikat. Praktik treaty abuse seperti ini merupakan salah satu masalah yang kompleks dan diperlukan suatu peraturan hukum tersendiri untuk menangani masalah ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak. Aturan lain yang tidak diperbolehkan dalam peraturan perbankan adalah sistem offshore bank. Umumnya permasalahan mengenai offshore bank ini terjadi tidak hanya di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Perancis
59
saja, bahkan saat ini permasalahan mengenai offshore bank kerap terjadi di perbankan Indonesia. Offshore bank adalah bank yang berada di luar negara tempat kediaman nasabah. Keuntungannya adalah kerahasiaan perbankan yang dipegang erat oleh banyak pihak, terutama nasabah kaya yang digolongkan High Net Worth Individual (HNWI), digunakan untuk menyembunyikan kekayaan dari pihak penagihan pajak. Khusus di Indonesia, offshore bank dapat digunakan karena ketidakpercayaan nasabah asing terhadap perbankan Indonesia. Seringkali data-data kerahasiaan bank serta identitas wajib pajak warga AS di Bank Indonesia terkuak ke Direktorat Jenderal Pajak. Sehingga banyak wajib pajak AS yang berniat untuk mangkir dari kewajiban membayar pajaknya karena sistem perbankan Indonesia dinilai sangat memudahkan petugas pajak untuk meminta data-data mengenai kerahasiaan nasabah. Tindakan wajib pajak yang tidak melaporkan penghasilan mereka di offshore bank dapat tergolong sebagai penggelapan pajak karena tidak melaporkan penghasilan secara benar. Aturan jelas di Indonesia tentang offshore bank account bagi wajib pajak jelas sangat diperlukan. Selain itu penggunaan ketentuan pertukaran informasi dalam tax treaty juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah penggelapan pajak di Indonesia yang mungkin lebih efektif daripada hanya mengandalkan intelejen pajak di luar negeri.
4.2.3. Sistem Pencarian Data Wajib Pajak Oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Kerahasiaan Data Indonesia dapat memberikan informasi mengenai data wajib pajak tertentu kepada IRS di Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku pada FATCA sepanjang data yang diperoleh hanya digunakan untuk 60
kepentingan IRS dan IRS dapat menjaga informasi tersebut dari pihak lain. Undang-undang KUP memberikan izin atau kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data dan informasi dengan mewajibkan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya yang terlibat baik pemerintah maupun swasta untuk memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengetahui data tentang wajib pajak dari instansi pemerintah, asosiasi, atau pihak lain baik pemerintah maupun swasta. Selain itu Direktorat Jenderal Pajak juga dapat mengetahui data tentang wajib pajak warga AS dari laporan wajib pajak mereka sendiri atau wajib pajak lain, kegiatan pemeriksaan, pengaduan masyarakat, dan pertukaran informasi dengan negara lain. Selama
ini
tidak
adanya
peraturan khusus
sehingga
untuk
mendapatkan informasi mengenai data kerahasiaan tersebut sangat rumit dan memakan waktu yang cukup lama. Sangat diharapkan dengan adanya peraturan baru di Indonesia maka akses untuk melakukan pertukaran informasi akan mudah didapatkan. Dengan adanya transparasi dalam sistem perpajakan internasional, sebagaimana yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia maupun pemerintah Amerika Serikat tersebut otoritas pajak baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat akan dengan mudah melacak praktik tax avoidance dan tax evasion. Pemerintah Indonesia bahkan telah menandatangani Tax Information Exchange Agreement (TIEA) yaitu perjanjian perpajakan yang dibuat berbagai negara untuk melakukan pertukaran informasi perpajakan dengan negara lokasi pusat keuangan dimana offshore bank banyak berada. TIEA dapat digunakan sebagai dasar untuk membuka rekening bank tempat wajib
61
pajak menyembunyikan penghasilannya. Bermuda merupakan sebuah negara yang telah menjalin kesepakatan TIEA bersama dengan Indonesia untuk bekerja sama mengusut warga negara asing terutama wajib pajak warga Amerika Serikat yang menyembunyikan kekayaannya di sana guna untuk menghindari pajak. Karena berdasarkan penelitian, Bermuda merupakan negara dengan pendapatan per kapita tertinggi ketiga di dunia, 50% lebih tinggi dari pendapatan per kapita di Amerika Serikat. Sehingga tidak diragukan lagi, banyak wajib pajak Amerika Serikat yang menghindari penagihan pajak sesuai dengan ketentuan FATCA yang berlaku. Ada banyak cara pertukaran informasi seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 26 OECD Model Tax Convention. Saat ini pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat masih mengandalkan pertukaran informasi secara on-request. Cara ini dinilai kurang menguntungkan karena pemerintah Indonesia masih harus menunggu surat permohonan dari pemerintah Amerika Serikat terlebih dahulu untuk setiap kali akan melakukan pembukaan terhadap rahasia bank. Hal ini dinilai kurang luas dalam cakupan informasi yang akan di dapat, karena hanya sebatas data atas informasi yang sifatnya kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan saat ini perlu diketahui bahwa telah berkembang wacana mengenai automatic exchange of information. Sangat di sarankan dalam hal pertukaran informasi antara Indonesia dan Amerika Serikat ini menggunakan cara automatic exchange of information, yaitu pertukaran informasi yang dilakukan oleh masing-masing negara baik Indonesia
maupun
Amerika
Serikat
akan
mengirimkan
data
atau
informasinya secara otomatis mengenai pajak yang akan dipotong atau dipungut atas penghasilan wajib pajak yang berasal dari negara tersebut tanpa
62
harus menunggu surat permohonan dari masing-masing negara. Cara seperti ini dinilai lebih efektif dan lebih menguntungkan bagi masing-masing negara ketimbang harus menggunakan cara pertukaran informasi on-request. Dengan cara ini, proses perpajakan antara kedua negara akan lebih efisien dan cepat diurus tanpa harus memakan waktu yang lama. Selain itu, saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki dan mengembangkan sistem informasi yang terhubung dengan sistem informasi geografis (via satelit) sehingga dapat mengetahui dengan cepat dan tepat kondisi properti yang dimiliki oleh wajib pajak AS di Indonesia. Sistem ini memudahkan pejabat pajak Indonesia untuk melacak harta kekayaan yang dimiliki wajib pajak AS yang disembunyikan selain yang berada pada rekening di Bank Indonesia.
4.3.
Keuntungan dan Kerugian Penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) di Indonesia
4.3.1. Perjanjian Bilateral Antara Pemerintah Amerika Serikat Dengan Pemerintah Indonesia Pelaksanaan FATCA dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan (FFI) yang berada di Indonesia dan juga non-lembaga keuangan (NFFE) untuk dapat memberikan informasi data-data yang bersifat rahasia terkait dengan investasi yang dimiliki oleh wajib pajak warga negara atau badan Amerika Serikat yang berada diluar Amerika Serikat. FFI di Indonesia diharapkan bersedia untuk menandatangani kesepakatan dengan IRS sehubungan dengan penerapan peraturan FATCA tersebut. FFI sendiri sudah mulai bisa mendaftarkan diri untuk kesediannya menandatangani FATCA pada tanggal 19 Agustus 2013 – 25 April 2014 melalui sistem online di 63
FATCA Portal dan mendapatkan Global Intermediary Identification Numbers (GIIN). Sangat disarankan bagi Indonesia untuk menandatangani FATCA, agar memudahkan Indonesia untuk mengakses data-data ke Amerika Serikat. Karena jika Indonesia masih ingin menjadi “pemain dunia” maka Indonesia harus menandatangani ketentuan FATCA ini. Untuk mengurangi beban FFI dan memberikan keuntungan timbal balik bagi pemerintah Indonesia, IRS menawarkan untuk menandatangani perjanjian bilateral antara pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Indonesia, ini biasa disebut dengan Intergovernmental Agreement (IGA). Keuntungan dari penandatanganan perjanjian bilateral yang akan dirasakan oleh Indonesia, antara lain: 1. Memudahkan terjadinya pertukaran informasi antara pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia. Contoh: pemerintah Amerika Serikat mewajibkan institusi di Amerika Serikat untuk mengirimkan informasi mengenai orang Indonesia yang mempunyai akun rekening bank di Amerika Serikat kepada Direktorat Jenderal Pajak Indonesia. 2. Pemerintah Indonesia dapat berdiskusi atau bernegosiasi lebih lanjut dengan pemerintah Amerika Serikat untuk keuntungan-keuntungan lainnya
tidak
hanya
dalam
hal
pajak
saja
berdasarkan
hasil
penandatanganan perjanjian tersebut, sebagai timbal balik. 3. FFI tidak perlu melakukan pemotongan pajak penghasilan FATCA sebesar 30%, kecuali untuk recalcitrant account atau akun yang memang melanggar peraturan. Dalam penerapan ketentuan FATCA, Indonesia berencana akan memilih untuk menggunakan Intergovernmental Agreement (IGA) Model 1.
64
IGA Model 1 ini berarti FFI dapat melaporkan informasi atas akun milik wajib pajak warga AS melalui Direktorat Jenderal Pajak yang ada di Indoesia, kemudian Direktorat Jenderal Pajak tersebutlah yang akan melaporkan kepada IRS. Jadi data-data informasi yang didapat harus melalui audit dari Direktorat Jenderal Pajak terlebih dahulu, tidak secara langsung dikirim ke IRS. Tata cara untuk mendaftarkan memilih menggunakan IGA Model 1 adalah pertama-tama pemerintah Indonesia harus melakukan diskusi dengan pemerintah Amerika Serikat, kemudian membuat surat untuk melaporkan bahwa Indonesia bersedia untuk memilih menggunakan IGA Model 1 ke Menteri Keuangan, namun permohonan ini tidak langsung begitu saja diberi izin oleh Menteri Keuangan karena mendapat penundaan selama 6 bulan yang disebabkan kurangnya persiapan bagi perbankan di Indonesia. Sistem perbankan di Indonesia harus diubah jika bersedia aktif mengikuti ketentuan FATCA. Menteri Keuangan juga perlu melakukan negosiasi terhadap kepentingan-kepentingan warga negara Indonesia yang berada di Amerika Serikat jika ketentuan FATCA ini akan diberlakukan. IGA Model 1 ini sangat baik untuk Indonesia, karena banyak sekali keuntungan yang pemerintah Indonesia bisa ambil dari penerapan Model 1 ini. Beberapa keuntungan Model 1 bagi Indonesia, antara lain: 1. FFI tidak perlu menandatangani perjanjian FATCA dengan IRS, karena dengan ditandatanganinya IGA Model 1 oleh pemerintah Indonesia, itu artinya semua FFI di Indonesia dianggap sudah memenuhi ketentuan FATCA.
65
2. FFI tidak perlu mengirim laporan ke IRS dan dapat melaporkan informasi yang diminta oleh IRS kepada Kantor Pelayanan Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia. Untuk keuntungan timbal baliknya, Direktorat Jenderal Pajak dapat turut serta dalam negosiasi dengan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan timbal balik dari IRS berupa data-data warga negara Indonesia yang ada di Amerika Serikat. 3. Pemerintah Indonesia bisa juga melakukan negosiasi dengan US treasury terkait jenis Financial Account yang dapat dikecualikan dalam FATCA dan timeline pemberlakuan FATCA. 4. Perjanjian IGA Model 1 ini dilakukan secara reciprocal dan sangat ideal untuk negara yang memiliki peraturan kerahasiaan bank seperti Indonesia. Namun ternyata selain memberikan keuntungan bagi Indonesia, IGA Model 1 ini dalam kenyataannya juga dapat memberikan gambaran mengenai kemungkinan kelemahannya terhadap Indonesia, antara lain: 1. Apabila bank melaporkan seluruh data-data informasi nasabah milik wajib pajak warga AS tidak sesuai dengan laporannya secara lokal, Bank Indonesia berhak memberikan penalti terhadap bank tersebut. 2. Apabila pemerintah Indonesia sudah melaporkan seluruh data-data nasabah wajib pajak warga AS kepada IRS tetapi dalam kenyataannya
ditemukan
adanya
significant
compliance
itu
merupakan bukan kesalahan dari pemerintah Indonesia, pemerintah AS berhak mencabut keikut-sertaan bank tersebut sehingga bank tersebut tidak bisa ikut IGA Model 1.
66
3. Jika IGA Model 1 ini mulai diberlakukan, maka lembaga keuangan di Indonesia tidak perlu menutup akun nasabah tersebut melainkan bisa diganti dengan di report saja. Tetapi jika bank tidak menyetujui IGA Model 1 maka AS akan memberikan penalti ke bank tersebut sebesar 30% dan bank dalam negeri sendiri tidak bisa klaim apa-apa.
4.3.2. Respon dan Implikasi Terhadap Penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) Bagi Indonesia Pada kenyataannya, ketentuan FATCA dapat menimbulkan berbagai implikasi terhadap Indonesia dari berbagai aspek. Banyak pihak yang telah mengevaluasi penerapan ketentuan FATCA ini sebelum benar-benar akan diberlakukan di Indonesia. Berikut ini adalah respon serta dampak implikasi dari berbagai aspek di Indonesia, antara lain: 1. Aspek Hukum Besar kemungkinan penerapan ketentuan FATCA di Indonesia ini sudah pasti akan bertolak belakang dengan beberapa payung hukum yang ada di Indonesia. Ketentuan ini berpeluang sangat besar akan bertolak belakang dengan penerapan prinsip kerahasiaan bank yang selama ini sudah ditetapkan di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Jika memang nanti dalam praktiknya terbukti ketentuan FATCA ini memang bertentangan dengan UU Kerahasiaan Bank tersebut, maka lembaga keuangan Indonesia
harus
mendapatkan
Surat
Pernyataan
Pengabaian
Kerahasiaan Bank dari warga AS yang memiliki rekening di Bank Indonesia untuk dapat memberikan informasi kepada IRS. Kerugian 67
yang bisa saja terjadi antara lain, jika informasi tersebut telah disampaikan kepada IRS, IRS tidak memiliki kebijaksanaan atas informasi yang diperoleh sehingga dapat menyebarkan informasi tersebut kepada tax authority di seluruh dunia. Hal ini tentu akan mempengaruhi kepercayaan serta kenyamanan warga AS yang menjadi nasabah perbankan di Indonesia. Akibatnya potensi terjadinya pelanggaran hukum dan peraturan tidak hanya terbatas antara dua negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat saja namun juga dapat terjadi diseluruh negara. Di lain sisi, ternyata tidak hanya kerugian saja yang bisa berdampak pada Indonesia dari aspek hukum, namun ada keuntungan juga yang bisa Indonesia dapatkan dengan menerapkan ketentuan FATCA ini. Secara reciprocal, dengan adanya perjanjian persetujuan untuk saling bertukar informasi antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Indonesia dapat memperoleh datadata warga negara Indonesia yang menetap ataupun yang memiliki akun rekening di Amerika Serikat. Sehingga pemerintah Indonesia tidak kesulitan juga untuk melacak warga negara Indonesia yang mangkir dari pelaporan serta pembayaran pajaknya. 2. Aspek Investasi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, FATCA yang mewajibkan lembaga keuangan di Indonesia untuk melaporkan segala aktivitas rekening milik investor AS maupun rekening yang aliran dananya berasal dari AS dikhawatirkan akan mempengaruhi kenyamanan serta kepercayaan para investor AS untuk berinvestasi di Indonesia. Kerugian yang berasal dari rasa ketidak-nyamanan para investor AS
68
tersebut dapat mengurangi keinginan mereka untuk berinvestasi di Indonesia atau bahkan memicu adanya aliran modal keluar dari Indonesia. Dampak yang akan terjadi adalah Indonesia semakin kesulitan untuk menjadi ‘pemain dunia’ dalam perekonomian global, karena jika tidak ada lagi aliran dana investasi dari warga negara asing terutama dari warga AS yang kenyamanannya telah terusik dengan adanya ketentuan FATCA ini, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah Indonesia akan terkucilkan dari 80% perekonomian dunia. Namun sebaliknya, jika pemerintah Indonesia dan perbankan Indonesia sangat berpegang teguh dalam menjaga kepercayaan seluruh nasabahnya terutama nasabah wajib pajak warga AS yang selama ini merasa nyaman dengan sistem perbankan yang sudah ada di Indonesia terutama dalam menjaga kerahasiaan data-data nasabahnya dengan baik dan benar, maka keuntungan yang akan diperoleh bagi Indonesia ialah seluruh dunia baik nasabah yang berasal dari AS maupun negara lainnya yang ada di dunia tidak akan pernah merasa ragu jika akan berinvestasi di Indonesia karena tidak adanya hambatan dari segi financial. Dengan tidak adanya aliran modal yang lari keluar dari Indonesia, dapat membantu Indonesia dalam menciptakan perekonomian dalam negeri yang baik sehingga memperoleh tempat khusus di mata perekonomian dunia. 3. Aspek Teknis Operasional Ketentuan FATCA ini menyebabkan FFI di Indonesia harus melakukan penyesuaian dan juga menuntut kesiapan dalam beberapa hal, seperti teknik operasional dari sisi sumber daya manusia dan sisi
69
pengendalian internal yang terdiri dari sistem database, sistem dan mekanisme pelaporan, dan ketentuan internal lainnya. Sebagai konsekuensinya, penyesuaian tersebut tentu akan menyita waktu dan akan mempengaruhi biaya operasional serta efisiensi FFI itu sendiri secara keseluruhan. Kelemahan dari sisi operasional bank adalah belum adanya sistem database yang enhanced untuk memisahkan dan membedakan antara nasabah yang tergolong US individual atau US entity. Hal ini penting mengingat banyak sekali wajib pajak warga negara AS yang bertempat tinggal dan memiliki akun rekening di beberapa bank di Indonesia. Padahal untuk mengaktifkan sistem ini diperlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Sedangkan kelemahan FATCA dari sisi pemerintahan adalah penerapan ketentuan FATCA ini juga akan mempengaruhi operasional Multinational Corporations (MNCs) terutama dalam hal tambahan dokumentasi dan melakukan proses verifikasi untuk mendukung penerapan good corporate governance yang terkait dengan pelaksanaan aturan FATCA. Selain itu, meskipun penerapan FATCA ini digunakan sebagai pengaturan dalam hal pelaporan dan penagihan perpajakan, namun dalam kenyataannya
FATCA
ini
memiliki
potensi
untuk
memicu
kekhawatiran terhadap penerapan kebijakan capital control yang dapat mempengaruhi aliran investasi maupun aliran modal di Indonesia. Oleh karena itu, untuk membantu lembaga keuangan mempersiapkan FATCA, Oracle memperkenalkan Oracle Financial Services Foreign Account Tax Compliance Act Management. Oracle ini merupakan suatu sistem database dengan memanfaatkan praktik
70
due diligence – anti pencucian uang yang dirancang untuk mengetahui persyaratan nasabah, risiko operasional dan pelaporan peraturan. Sistem ini dapat membantu mengurangi risiko dan mempercepat kesiapan lembaga keuangan. Sistem ini sangat membantu untuk mempercepat waktu penyebaran informasi dari Indonesia ke Amerika Serikat
begitupun
sebaliknya
dan
mengoptimalkan
investasi
teknologi. Ini dibangun khusus untuk lembaga keuangan guna mendukung solusi kepatuhan terhadap perpajakan.
4.3.3. Respon dan Implikasi Terhadap Penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) di Negara Lain Bukan hanya di Indonesia saja rencana penerapan FATCA ini memiliki dampak dari berbagai aspek yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah Indonesia itu sendiri. Namun dalam praktiknya, rencana penerapan FATCA ini dapat menimbulkan implikasi yang luas juga di negara–negara lainnya melalui berbagai aspek yang sama. Dari aspek hukum misalnya, ketentuan FATCA ini berpotensi bertentangan dengan UU Kerahasiaan Bank di masing-masing negara. Ketentuan ini kemungkinan juga dapat menimbulkan masalah baru bagi para investor AS di negara-negara yang telah melakukan perjanjian dengan IRS, karena harus menanggung pajak berganda (double taxation). Selain itu, aturan ini dapat memicu permasalahan terhadap hak privacy dari warga negara AS terutama yang memiliki dual citizenship. Dari aspek operasional, ketentuan FATCA menyebabkan FFI harus melakukan penyesuaian dalam beberapa hal, antara lain memodifikasi sistem internal, kerangka kerja pengendalian internal, serta sistem dan prosedur pada 71
proses penerapan kepatuhan ketentuan FATCA. Dampak yang mungkin terjadi akibat penyesuaian tersebut tentu akan menyita waktu dan menelan biaya yang cukup besar. Penerapan ketentuan FATCA ini meskipun lebih ditujukan sebagai pengaturan perpajakan, namun dalam kenyataannya berpotensi untuk memicu kekhawatiran terhadap penerapan kebijakan capital control yang dapat mempengaruhi aliran investasi dan aliran modal di negaranegara berkembang. Berbagai respon telah disampaikan oleh banyak negara terhadap rencana penerapan FATCA ini. Negara-negara maju umumnya dapat menerima penerapan FATCA, meskipun beberapa diantaranya memberikan peraturan-peraturan kecil sebelum menerapkan ketentuan tersebut di negara bersangkutan. Diantara negara-negara maju yang telah menandatangani bilateral FATCA intergovernmental agreement dengan pemerintah AS adalah Inggris, Perancis, Italia, Spanyol, Jerman, Swiss, dan Jepang. Sementara negara-negara emerging seperti China, Brazil, dan Mesir, pada umumnya menolak atau memberikan peraturan yang tegas bahwa perlu peraturan khusus yang dapat memberikan kenyamanan serta kepercayaan bagi warga negara AS yang signifikan atas ketentuan ini untuk dapat diterapkan di negara mereka. Tahun-tahun perjalanan menuju 2050 akan menjadi tahun yang kritis bagi negara-negara Uni Eropa, beserta 27 anggotanya. Jerman, Inggris, Perancis dan Italia yang saat ini masuk ke dalam 7 ekonomi terkuat dunia, akan mengalami pertumbuhan ekonomi hanya 1,5 persen per tahun hingga 2050. Untuk itu sumbangan ekonomi ke-empat negara ini ke G-20 turun dari 24 persen tahun 2009 menjadi 10 persen tahun 2050. Pada tahun 2050,
72
Jepang menjadi seperti Inggris di tahun 1900. Kekuatan ekonomi Jepang akan terus tergerus. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi Jepang bergerak lamban 1,1 persen per tahun dan menjadi negara dengan pertumbuhan terendah di antara negara anggota G-20. Kekuatan ekonomi negara Asia yang terus berkembang, seperti Indonesia akan semakin menekan Jepang. Indonesia termasuk kekuatan ekonomi dunia yang diprediksikan masuk ke dalam 10 besar pada tahun 2050. Hal itu bisa dicapai jika Indonesia tidak salah dalam melangkah. Kekuatan Ekonomi G-20 diperkirakan akan tumbuh 3,5 persen per tahun, naik dari 38,3 triliun USD pada tahun 2009, menjadi 160 triliun USD tahun 2050. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,8% per tahun, opportunity yang dimiliki bangsa Indonesia untuk tumbuh berkembang dan maju dengan pesat sangat terbuka lebar. Negara-negara maju dan berkembang terpaksa memperkuat hubungan ekonomi mereka dengan Amerika Serikat dan menggalang balance of power dengan tetangga negara besar. Seperti halnya Inggris dan negara-negara Uni Eropa lainnya, Jepang akan memperkuat kerjasama di bidang ekonomi dengan Amerika Serikat. Dan pada 2030, diprediksi ekonomi Indonesia bukan saja menggeser Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris bahkan mengalahkan Jepang. Dalam satu dekade mendatang, Indonesia akan menempati posisi ke-sepuluh sebagai kekuatan ekonomi dunia. Indonesia berada di bawah Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris yang berada di urutan ke-enam hingga ke-sembilan. Namun, pada satu dekade berikutnya atau 2030, Indonesia bukan hanya mengalahkan empat negara tersebut. Indonesia bahkan akan mengalahkan Jepang yang sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke-tiga dunia setelah Amerika dan China. Hal tersebut memberi jawaban terhadap alasan dari 73
negara-negara maju dan berkembang yang ada di Uni Eropa dan Asia dalam dunia perekonomian terpaksa harus mengikuti kebijakan dari Amerika Serikat untuk melakukan reporting terhadap FATCA, begitu pun halnya dengan Indonesia. Karena baik Indonesia maupun negara-negara maju dan berkembang yang berada di kawasan Uni Eropa dan Asia, jika ingin tetap menjadi “pemain dunia” dalam bidang perkenomian bersaing dengan negara Amerika Serikat, maka sangat di sarankan untuk mau mengikuti dan patuh terhadap kebijakan FATCA ini. Dari aspek perbankan juga telah memberikan respon terhadap FATCA di beberapa kawasan. Bank-bank Eropa seperti Deutche Bank, Commerze Bank, HSBC, ING Group dan Credit Suisse telah memberikan respon dengan menutup brokerage account untuk seluruh nasabah AS sejak tahun 2011 lalu. Swiss Banking Association juga mengungkapkan bahwa diperlukan banyak penyesuaian pada sistem, prosedur, dan perhitungan risiko yang memerlukan biaya yang besar oleh aspek perbankan untuk mengantisipasi penerapan FATCA. Di kawasan Asia, asosiasi perbankan yang terdiri dari perbankan Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Brunei, Filipina, dan Cambodia telah memberikan respon secara bersama-sama atas FATCA melalui surat tentang “Comment on the proposed FATCA regulations-Reg-12164710”. Isi dari respon tersebut antara lain: 1. Ketentuan FATCA tidak bersifat reciprocal atau timbal balik dan aturan ini berpotensi bertentangan dengan UU Kerahasiaan Bank di masing-masing negara,
74
2. Beberapa payung hukum harus dibuat untuk memastikan kepatuhan terhadap FATCA, 3. Adanya penundaan pelaksanaan FATCA, karena diperlukan waktu untuk menerapkan FATCA bagi para Participating Foreign Financial Institution (PFFI) agar terhindar dari biaya yang akan terbuang sia-sia dari risiko-risiko lain yang disebabkan belum finalnya peraturan tersebut, 4. Mengusulkan agar FFI dan cabang lainnya yang berada dalam juridiksi yang bertentangan dengan kepatuhan FATCA, untuk dikecualikan dari 30% withholding tax. Penerapan
Foreign
Account
Tax
Compliance
Act
(FATCA)
Menggunakan IGA Model 2 di Negara Swiss Di bawah ini terdapat beberapa contoh penerapan FATCA yang menggunakan IGA Model 2 di Swiss. Contoh kasus di bawah ini menjelaskan berbagai macam dampak kerugian dari IGA Model 2 bagi perbankan di Swiss serta dampak yang mungkin saja terjadi di Indonesia, contoh kasus tersebut antara lain: 1. Kasus Wagelin and Co Bank tertua asal Swiss yaitu Wegelin and Co akan ditutup secara permanen setelah dinyatakan bersalah oleh pengadilan New York karena membantu warga AS menghindari kewajiban pajaknya. Wagelin and Co yang didirikan pada 1741 ini didenda sebesar US$ 57,8 juta atau sekitar Rp 554,8 miliar oleh pihak berwenang AS. Setelah denda ini dibayar, bank Wegelin and Co akan berhenti beroperasi. Bank ini mengakui telah menyembunyikan harta lebih dari 100 warga AS dengan nilai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 75
11,5 triliun dari badan pengawas pajak AS selama 10 tahun. Wagelin and Co menjadi bank asing pertama yang dinyatakan bersalah oleh pihak AS karena membantu penghindaran pajak. Bank ini telah berdiri 35 tahun sebelum deklarasi kemerdekaan AS dibuat. Jaksa AS menyatakan, bank ini telah melanggar ketentuan di saat bank-bank Swiss lainnya menghindari tindakan penghindaran pajak sesuai dengan hukum AS. Berdasarkan contoh kasus Wagelin and Co ini, dapat dilihat adanya beberapa kelemahan dari penerapan IGA Model 2 di Swiss. Pertama, karena IGA Model 2 ini sistem pelaporan data-data informasi kerahasiaan banknya langsung diserahkan kepada IRS sehingga pengadilan AS memiliki wewenang untuk mengadili secara langsung bank Wagelin and Co yang telah melakukan tindakan penghindaran pajak sesuai dengan hukum AS. Intervensi IRS di Amerika Serikat langsung ke Swiss terutama langsung berhubungan dengan wajib pajak AS yang berada di Swiss. Kedua, dengan adanya IGA Model 2 ini pemerintah Swiss tidak ada campur tangan sama sekali terhadap kasus bank Wagelin and Co. Sedangkan bagi Indonesia, jika melihat dari contoh kasus Wagelin and Co ini, Indonesia memang lebih cocok untuk menggunakan IGA Model 1 jika ingin menerapkan ketentuan FATCA nantinya di Indonesia. Karena bank-bank di Indonesia tidak harus melakukan intervensi secara langsung ke IRS melainkan melalui Direktorat Jenderal Pajak sebagai operator yang akan melakukan intervensi langsung ke IRS dengan dibantu oleh Menteri Keuangan. 2. Kasus UBS Menteri
Keuangan
Swiss
Hans-Rudolf
Merz
mengumumkan
pengunduran dirinya pada 6 Agustus 2010 di Bern, Swiss, setelah mendapat
76
kritik tajam karena dianggap tidak mampu melindungi dan membela kerahasiaan perbankan Swiss. Padahal, rahasia perbankan Swiss dianggap sudah menjadi peraturan mutlak di sana. Merz mendapat banyak ancaman dalam menangani krisis antara AS dan Swiss. AS meminta agar bank terbesar di Swiss, UBS, menyerahkan data ribuan nasabahnya warga negara AS yang dianggap telah menggelapkan pajak di AS. Perseteruan antara AS dan Swiss mengenai UBS sudah berlangsung beberapa tahun. AS menyatakan kecurigaannya bahwa banyak warga negara AS yang menggelapkan pajak atau menghindar dari pembayaran pajak dengan bantuan dari perbankan di Swiss seperti UBS. Setelah Presiden Amerika Serikat Barack Obama memerintahkan untuk membuat undang-undang guna mencegah penggelapan pajak warga AS, terjadilah kesepakatan antara Swiss, AS, dan UBS agar UBS memberikan data 4.450 nasabah yang dicurigai menggelapkan pajak. Pada contoh kasus kedua ini, pemerintahan Swiss dinilai sangat lemah dalam melindungi kerahasiaan perbankan terhadap FFI di Swiss. Sehingga IRS bisa melakukan intervensi secara langsung untuk meminta data-data 4.450 nasabah AS yang dicurigai menggelapkan pajak. Dengan adanya persetujuan yang dibuat antara Swiss, AS, dan UBS, maka berakhirlah sudah era menyembunyikan uang dengan aman di Swiss dan menyebabkan Menteri Keuangan Swiss mengundurkan diri karena merasa gagal dalam melindungi kerahasiaan perbankan di negaranya. Bagi Indonesia, dengan adanya rencana untuk menerapkan IGA Model 1 nantinya jika ketentuan FATCA sudah di aktifkan, pemerintah Indonesia memiliki beberapa regulasi terhadap IGA Model 1 ini antara lain, reciprocal, kerahasiaan bank, pemeriksaan terhadap FFI, dan penentuan FFI mana saja yang menjadi subjek berdasarkan
77
ketentuan FACTA. Sehingga pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak yang akan melakukan intervensi langsung ke IRS di Amerika Serikat.
78