6
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PROPOSISI 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Efektivitas Berikut ini adalah definisi efektivitas dari beberapa ahli sebagai berikut : 1. Anthony and Vijay (2003:149) Efektivitas
adalah
hubungan
antara
keluaran
suatu
pusat
pertanggungjawaban dengan sasaran yang harus dicapainya. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian tersebut, maka dapat dikatakan semakin efektif pula unit tersebut. 2. Tunggal (2000:12) Efektivitas adalah ukuran keluaran (measure of output). Efektivtas dalam garis-garis besar dapat dirumuskan sebagai hal yang berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan yang ditetapkan telah tercapai. 3. Supriyono (2002:24) Efektivitas adalah hubungan antara keluaran pusat pertanggungjawaban dengan tujuannya. Semakin besar kontribusi
keluaran suatu pusat
pertanggungjawaban terhadap pencapaian tujuan perusahaan semakin efektif kegiatan pertanggungjawaban tersebut. 4. Kartikahadi (2004:15) Efektivitas adalah bahwa produk akhir suatu kegiatan operasi telah mencapai tujuannya baik ditinjau dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas
7
hasil kerja maupun batas waktu yang ditargetkan, sedangkan efisiensi berarti bertindak dengan cara yang dapat meminimalir kerugian atau pemborosan sumber daya dalam melaksanaka atau menghasilkan sesuatu. 2.1.2 Pengertian Pajak Para ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi berbeda-beda tentang pajak namun demikian mempunyai tujuan yang sama. Berikut ini adalah definisi pajak dari beberapa ahli sebagai berikut : 1. Resmi (2003:1) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. 2. UU Nomor 28 Tahun 2007 Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi/badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 3. Zain (2003:10) Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
8
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Dari definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, sebagai berikut : 1. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah berdasarkan dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung jumlah antara jumlah pembayaran pajak dengan kontraprestasi secara individual. 3. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai public investment, sehingga tujuan yang utama dari pemungutan pajak adalah sebagau sumber keuangan negara (budgetair). 4. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang. 2.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut Golongan, Sifat, dan Pemungutannya Menurut Mardiasmo (2003:3) pajak dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Menurut Golongan a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : PPh
9
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepihak lain. Contoh : PPN dan PPnBM 2. Menurut Sifat Pembagian
pajak
menurut
sifat
dimaksudkan
pembedaan
dan
pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip. a. Pajak subyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan wajib pajak. Contoh : PPh b. Syarat obyektif adalah pajak yang berasal pada obyeknya tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak. Contoh : PPN dan PPnBM 3. Menurut Pemungut dan Pengelolaanya a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea Materai b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame dan Pajak Hiburan. 2.1.4 Pajak Daerah Menurut Siahaan (2005:7) pajak daerah adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terhutang oleh wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontraprestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk
10
membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Sedangkan menurut Kaho (1985:17) pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public investment. Selain itu para pakar yang lain mengemukakan pendapatnya tentang pajak daerah yaitu : 1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah sendiri. 2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tapi pendapatan tarifnya dilakukan oleh Pemda. 3. Pajak yang dipungut ditetapkan oleh Pemda. 4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi pungutannya kepada, dibagi hasilkan dengan atau dibebani pungutan tambahan oleh Pemda (Davey, 1984:19). 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Tata cara pemungutan pajak daerah atau sistem pemungutan pajak daerah berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 yang menegaskan mekanismenya sebagai berikut : 1. Pajak Terutang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Dalam mekanisme pertama, pajak dibayar oleh wajib pajak setelah ditetapkan oleh kepala daerah melalui surat ketetapan pajak daerah atau
11
dokumen lain yang disamakan dengan itu, seperti karcis atau nota perhitungan. Mekanisme pertama tersebut dalam sistem pemungutan pajak dikenal sebagai cara official assesment system, yakni sistem pemungutan pajak untuk
menentukan
besarnya
pajak terutang ditentukan oleh
fiskus/aparat pajak. Wajib pajak bersifat pasif menunggu surat ketetapan pajak dari fiskus. Wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan menggunakan surat ketetapan pajak daerah atau dokumen yang disamakan dengan itu. Wajib pajak yang jumlah pajaknya ditetapkan oleh kepala daerah, pembayarannya menggunakan surat ketetapan pajak daerah atau dokumen yang disamakan yang ditetapkan oleh kepala daerah. 2. Pajak terutang dibayar sendiri oleh wajib pajak Dalam mekanisme kedua pajak dibayar sendiri oleh wajib pajak, wajib pajak
mendaftarkan
diri,
menghitung,
memperhitungkan,
membayar/menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dengan surat pemberitahuan pajak daerah. Dalam sistem pemungutan pajak, mekanisme ini dikenal sebagai cara self assessment system, dalam sistem ini wajib pajak harus bersifat aktif dan fiskus bersifat pasif, yakni hanya melakukan penyuluhan, pengawasan, dan pemeriksaan dalam rangka uji kepatuhan dari laporan wajib pajak atas jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak yang memenuhi kewajiban pembayaran pajak dengan cara membayar sendiri/menggunakan sistem self assessment,
12
diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan surat pemberitahuan pajak daerah. Apabila dalam pelaksanaan pemungutan pajak ternyata wajib pajak yang diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka atas dasar tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar dan atau surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan sebagai sarana untuk melakukan penagihan pajak yang terutang. 3. Mekanisme With Holding System Dalam sistem pemungutan pajak yang terdapat dalam perpajakan di Indonesia, masih terdapat satu lagi sistem pemungutan pajak, yaitu with holding system. Mekanisme dalam with holding system menyatakan bahwa sistem pemungutan pajak untuk menentukan besarnya yang terutang ditentukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh pejabat. Sehingga, baik fiskus maupun wajib pajak bersifat pasif. Pihak ketiga melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2.1.6 Jenis-Jenis Pajak Daerah Dibawah ini jenis-jenis pajak daerah berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ditetapkan 11 jenis pajak daerah yaitu 4 jenis pajak provinsi dan 7 jenis pajak kabupaten/kota. 1. Jenis pajak provinsi terdiri dari (Undang-Undang No. 34 Tahun 2000) :
13
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Yaitu pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan disemua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor dan peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Kendaraan di atas air adalah semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan yang digunakan di atas air b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Yaitu pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Yaitu pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar tang digunakan untuk kendaraan di atas air.
14
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Yaitu pajak atas pengambilan dan pemanfaatn air bawah tanah dan atau air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat. Air bawah tanah adalah air yang berada diperut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah diatas permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut. 2. Jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari (Undang-Undang No. 34 Tahun 2000) : a. Pajak Hotel Yaitu pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/beristirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran. b. Pajak Restoran Yaitu pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk jasa boga atau catering.
15
c. Pajak Hiburan Yaitu pajak atas penyelenggaraan hiburan yang meliputi semua jenis pertunjukkan, permainan, permainan ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama atau bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut dibayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga. d. Pajak Reklame Yaitu pajak atas penyelenggaraan
reklame, yaitu benda, alat
perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh semua kecuali yang dilakukan oleh pemerintah. e. Pajak Penerangan Jalan Yaitu pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. f. Pajak Parkir Yaitu pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
16
bermotor
dan
garasi
kendaraan
bermotor
yang
memungut
pembayaran. g. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Yaitu pajak atas eksploitasi bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.7 Dasar Hukum Pajak Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut suatu daerah, provinsi, kabupaten dan kota harus terlebih dahulu ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2.1.8 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak 1. Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2 unsur pokok, yaitu : a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor b. Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 1,5% untuk kendaraan bermotor bukan umum, 1% untuk kendaraan bermotor umum, 0,5% untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan besar. Dasar pengenaan
17
Pajak Kendaraan di Atas Air dihitung berdasarkan nilai jual kendaraan di atas air. Tarif ditetapkan 1,5%. 2. Dasar Pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air adalah nilai jual kendaraan bermotor. Tarifnya ditetapkan sebagai berikut : a. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama 10% untuk kendaraan bermotor bukan umum, 10% untuk kendaraan bermotor umum, dan 3% untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. b. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan kedua dan selanjutnya : 1% untuk kendaraan bermotor bukan umum, 1% untuk kendaraan bermotor umum, dan 0,3% untuk kendaraan bermotor alatalat berat dan besar. c. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan karena warisan : 0,1/% untuk kendaraan bukan umum, 1% untuk kendaraan bermotor umum, dan 0,3% untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. d. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama ditetapkan 5%, untuk penyerahan kedua dan selanjutnya sebesar 1% dan untuk penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar 0,1%. 3. Dasar Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor. Tarifnya ditetapkan sebesar 5%.
18
4. Dasar Pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Tarifnya ditetapkan paling tinggi 10%. 5. Dasar Pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Tarifnya ditetapkan paling tinggi 10%. 6. Dasar Pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Tarifnya ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. 7. Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa reklame. Tarifnya ditetapkan paling tinggi sebesar 20%. 8. Dasar Pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah nilai jual tenaga listrik. Tarifnya ditetapkan paling tinggi 20%. 9. Dasar Pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Tarif ditetapkan paling tinggi sebesar 20%. 10. Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah nilai jual eksploitasi bahan galian golongan C. Kegiatan eksploitasi menggunakan alat mekanisme per m3 sebesar 20%. Kegiatan eksploitasi menggunakan non alat mekanisme per m3 sebesar 10%. 2.1.9 Perhitungan Pajak Daerah Untuk mempermudah menyusun laporan pajak maka ada cara-cara perhitungan yang harus diikuti. Perhitungan pajak dapat dilakukan berdasarkan dari jenis-jenis pajak, karena tarif yang dikenakan untuk masing-masing pajak
19
ditetapkan berdasarkan jenis-jenisnya. Besarnya pokok pajak daerah yang terhutang untuk masing-masing jenis pajak daerah dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajaknya. 1. Pajak Hotel Pemungutan pajak hotel dapat dilakukan dengan official assessment system yakni berdasarkan penetapan kepala daerah melalui penerbitan surat ketetapan pajak daerah atau secara self assessment system yakni dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Pajak Hotel Terutang=Penghasilan Bruto dalam 1 bulan x Tarif pajak 2. Pajak Restoran Besarnya pokok pajak restoran yang terhutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Pajak Restoran Terhutang=Penghasilan Bruto dalam 1 bulan x Tarif Pajak 3. Pajak Hiburan Untuk menghitung pajak hiburan didasarkan atas objek pajak hiburan yang terdiri dari pertunjukan film, pertunjukan kesenian dan sejenisnya, pergelaran musik dan tari, diskotik, karaoke, klub malam, permainan biliard, permainan ketangkasan dan sejenisnya, panti pijat dan mandi uap, pertandingan olahraga, taman wisata, dan sejenisnya.
20
Pajak Hiburan Terhutang = Jumlah Pembayaran atau yang Seharusnya Dibayar Untuk Menonton Atau Menikmati Hiburan x Tarif Pajak 4. Pajak Reklame Besarnya pokok pajak reklame yang terhutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame. Pajak Reklame Terhutang = Nilai Sewa x Tarif Pajak Nilai sewa adalah menjumlahkan nilai strategis dan nilai jual objek pajak. Nilai strategis adalah tempat yang sudah ditentukan nilai jualnya/meter persegi berdasarkan tabel yang ditetapkan kepala daerah. 5. Pajak Penerangan Jalan Besarnya pokok pajak penerangan jalan yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik. Pajak Penerangan Jalan Terutang = Nilai Jual Listri x Tarif Pajak 6. Pajak Parkir Besarnya pokok pajak parkir terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak daerah. Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Pajak Parkir Terutang = Pembayaran yang Dibayar Untuk Pemakaian Tempat Parkir x Tarif Pajak
21
7. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual hasil kegiatan eksploitasi pengambilan, pengolahan, penjualan dan pengangkutan bahan galian golongan C. Tata cara perhitungan pajak adalah dasar pengenaan dikalikan tarif pajak. Pajak Pengambilan dan Pengolahaan Bahan Galian Golongan C Terutang = Nilai Hasil Kegiatan Eksploitasi Pengambilan, Pengolahan, Penjualan Dan Pengangkutan Bahan Galian Golongan C x Tarif Pajak 2.1.10 Definisi APBD Menurut Sony Yuwono, Tengku Agus Indrajaya (2005:92) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (APBD) yang disetujui oleh DPRD. Sedangkan menurut UU No. 17 Tahun 2003 pasal (1) butir 8 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun
22
anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. 2.1.11 Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, fungsi APBD adalah sebagai berikut:
23
1. Fungsi Otorisasi Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan Anggaran
daerah
merupakan
pedoman
bagi
manajemen
dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan 6. Fungsi Stabilisasi Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. 2.1.12 Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah
24
sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu : 1. Kesatuan Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran. 2. Universalitas Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. 3. Tahunan Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. 4. Spesialitas Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. 5. Akrual Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas. 6. Kas Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah.
25
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambat-¬lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. 2.1.13 Hak dan Kewajiban Daerah yang Terkait Dengan APBD Sony Yuwono, Tengku Agus Indrajayam Hariyadi (2005:93) berpendapat, menurut pasal 23 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah (APBD) yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya yang dimaksud dengan Hak Daerah sesuai dengan Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 meliputi beberapa hal: 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya 2. Memilih Pemimpin Daerah 3. Mengelola Apratur Daerah 4. Mengelola Kekayaan Daerah 5. Memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 6. Mendapatkan bagian dari hasil pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya lainnya yang berada di daerah 7. Mendapakan sumber-sumber pendapatan lain yang sah 8. Mendapatkan hak lain yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban daerah sesuai Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 meliputi beberapa hal berikut:
26
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat 3. Mengembangkan kehidupan demokrasi 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan 6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan 7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak 8. Mengembangkan Sistem Jaminan Sosial 9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah 10. Mengembangkan Sumber Daya produktif di daerah 11. Melestarikan lingkungan hidup 12. Mengelola administrasi kependudukan 13. Melestarikan nilai sosial budaya 14. Membentuk dan menerapkan persatuan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya 15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2.1.14 Struktur APBD Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, tapi apabila terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus atau jumlah defisit anggaran. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
27
1. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan daerah terdiri atas: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari : 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah; 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain PAD yang sah, terdiri dari : a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; c. Jasa giro; d. Pendapatan bunga; e. Tuntutan ganti rugi; f. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan g. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. b. Dana Perimbangan, terdiri dari : 1. Dana Bagi Hasil
28
2. Dana Alokasi Umum (DAU), dan 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah, meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat. 2. Belanja Daerah Belanja Daerah menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertantu yang menjadi beban daerah. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2004, Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih pada tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja basis akrual kewajiban pemerintah yang diakui sebagai
pengurang
nilai
kekayaan
bersih,
(PP
Standar
Akuntansi
Pemerintahan Nomor 24 Tahun 2005). Belanja
daerah
dipergunakan
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
29
perundang-undangan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi keunggulan daerah. Belanja penyelenggaraan urusan wajib tersebut diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan,
fasilitas
sosial
dan
fasilitas
umum
yang
layak
serta
mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari: a. Klasifikasi Berdasarkan Urusan Pemerintahan Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. b. Klasifikasi Fungsi Pengelolaan Keuangan Negara
30
Sedangkan klasifikasi belanja menurut fungsi pengelolaan keuangan negara digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari : 1.
Pelayanan umum;
2.
Ketertiban dan keamanan;
3.
Ekonomi;
4.
Lingkungan hidup;
5.
Perumahan dan fasilitas umum;
6.
Kesehatan;
7.
Pariwisata dan budaya;
8.
Agama;
9.
Pendidikan; serta
10. Perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: a.
Belanja pegawai;
b.
Belanja barang dan jasa;
c.
Belanja modal;
d.
Bunga;
e.
Subsidi;
f.
Hibah;
g.
Bantuan sosial;
31
h.
Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan
i.
Belanja tidak terduga.
Penganggaran dalam APBD untuk setiap jenis belanja berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 3. Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup: a. SILPA tahun anggaran sebelumnya; b. Pencairan dana cadangan; c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Penerimaan pinjaman; dan e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman. Pengeluaran pembiayaan mencakup: a. Pembentukan dana cadangan; b. Penyertaan modal pemerintah daerah; c. Pembayaran pokok utang; dan d. Pemberian pinjaman. Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.
32
2.1.15 Jenis-Jenis APBD Jenis APBD menurut PP Nomor 24 Tahun 2005 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah, dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil SDA (Sumber Daya Alam), DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), dana otonomi khusus, dana penyesuaian, bagi hasil pajak, pendapatan dana darurat, dan pendapatan bagi hasil lainnya. 2. Belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja aset tetap lainnya. 1.1.16 Proses Penyusunan APBD 1. Siklus Anggaran APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
APBD
disusun
sesuai
dengan
kebutuhan
penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Dalam pelaksanaan tugastugas pemerintahan, pemerintah melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran yang secara garis besar terdiri dari: a.
Penyusunan dan Penetapan APBD;
b.
Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD;
c.
Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD.
33
Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan
bernegara.
APBD,
perubahan
APBD,
dan
pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD ditetapkan setiap tahun dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian atas tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan dianggarkan secara bruto dalam APBD. 2. Penyusunan Rancangan APBD Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut: a.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD.
b.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN.
c.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
34
d.
Penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
kabupaten/kota
yang
penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota. Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus
memiliki
dasar
hukum
penganggaran.
Anggaran
belanja daerah
diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 1.
Rencana Kerja Pemerintahan Daerah Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah
Daerah. Karena itu kegiatan pertama dalam penyusunan APBD adalah penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Pusat. RKPD tersebut memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Secara khusus, kewajiban daerah mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan
35
peraturan keterkaitan
perundang-undangan. dan
konsistensi
RKPD antara
disusun
untuk
perencanaan,
menjamin
penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan. Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. 2. Kebijakan Umum APBD Setelah Rencana Kerja Pemerintah Daerah ditetapkan, Pemerintah daerah perlu menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang menjadi acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Kepala daerah menyusun rancangan KUA berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri tersebut memuat antara lain: a. Pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan c. Teknis penyusunan APBD d. Hal-hal khusus lainnya. Rancangan KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi
36
pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya. Programprogram diselaraskan dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan asumsi yang mendasari adalah pertimbangan atas perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun, disampaikan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah kepada kepala daerah, paling lambat pada awal bulan Juni. Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan KUA yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan. 3. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah menyusun rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Rancangan PPAS tersebut disusun dengan tahapan sebagai berikut: a. Menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan
37
b. Menentukan urutan program untuk masing-masing urusan c. Menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS yang telah disusun kepada DPRD untuk dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan PPAS yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan. KUA serta PPAS yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD. Dalam hal kepala daerah berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani nota kepakatan KUA dan PPAS. 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS, TAPD menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup: a. PPAS yang dialokasikan untuk setiap program SKPD berikut rencana pendapatan dan pembiayaan
38
b. Sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja SKPD berkenaan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan c. Batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD d. Hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD terkait dengan prinsip-prinsip peningkatan efisiensi, efektifitas, tranparansi dan akuntabilitas penyusunan anggaran dalam rangka pencapaian prestasi kerja e. Dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format RKASKPD, analisis standar belanja dan standar satuan harga. Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA¬SKPD diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Berdasarkan pedoman penyusunan RKA-SKPD, kepala SKPD menyusun RKA-SKPD. RKA-SKPD disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran
berdasarkan
prestasi
kerja.
Pendekatan
kerangka
pengeluaran jangka menengah daerah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju. Prakiraan maju tersebut berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.
39
5. Penyiapan Raperda APBD Selanjutnya, berdasarkan RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD dilakukan pembahasan penyusunan Raperda oleh TAPD. Pembahasan oleh TAPD dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD. RKA-SKPD
yang
telah
disempurnakan
oleh
kepala
SKPD
disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran. Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya rancangan peraturan daerah tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD
40
disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan. Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah. 6. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut disertai dengan nota keuangan. Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk mendapatkan persetujuan bersama, disesuaikan dengan tata tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut berpedoman pada KUA, serta PPA yang telah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Dalam hal DPRD memerlukan tambahan penjelasan terkait dengan pembahasan
41
program dan kegiatan tertentu, dapat meminta RKA-SKPD berkenaan kepada kepala daerah. Apabila DPRD sampai batas waktu 1 bulan sebelum tahun anggaran berkenaan, tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, maka kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya
untuk
membiayai
keperluan
setiap
bulan.
Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan tersebut, diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah untuk memperoleh pengesahan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak DPRD tidak menetapkan keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah. 7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Rancangan peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lama 3
42
(tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada Gubernur untuk dievaluasi. Penyampaian rancangan disertai dengan: a. Persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD b. KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD c. Risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD d. Nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota keuangan pada sidang DPRD. Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota. 8. Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan
43
kepala daerah tentang penjabaran APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD tersebut dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. 2.1.17 Efektivitas Pajak Daerah Untuk menganalisis efektivitas APBD, diperlukan perbandingan presentase Pajak Daerah dalam realisasi APBD dan presentase pajak daerah dalam anggaran APBD. Menurut Machmudfauzi.wordpress.com (2007), efektivitas itu sendiri mempunyai arti dapat memilih tujuan-tujuan yang tepat dari seperangkat alternatif atau pilihan cara dan menentukan suatu pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga berarti pengukuran keberhasilan dalam tujuan-tujuan yang ditentukan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa efektivitas pajak daerah adalah pengukuran penggunaan pendapatan yang berasal dari pajak daerah sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
2.2 Rerangka Pemikiran Di era otonomi daerah, daerah dituntut untuk bisa menggali potensi daerahnya sendiri. Maka dari itum pajak yang merupakan salah satu unsur
44
penerimaan daerah diharapkan dapat berperan secara maksimal dalam APBD. Supaya daerah tidak terlalu tergantung pada pinjaman pemerintah pusat. Potensi daerah diharapkan dapat memberikan peran yang maksimal dalam anggaran. Jika total pajak daerah dalam realisasi lebih besar dari total pajak daerah dalam anggaran maka pajak telah memberikan kontribusi yang besar terhadap daerah. Uraian latar belakang masalah maka antara variabel dapat digambar dalam kerangka konseptual penelitian sebagai berikut: APBD
Realisasi APBD
PAJAK DAERAH
Pajak Daerah
EVALUASI 2.3 Proposisi Berdasarkan rumusan masalah di atas, tinjauan teori, dan kerangka konseptual yang telah dijabarkan diatas, maka dapat diajukan suatu proposisi sebagai berikut: Dengan membandingkan antara total Pajak Daerah dalam anggaran dengan total Pajak Daerah dalam realisasinya dapat dilihat seberapa besar efektivitas Pajak Daerah tersebut.