BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1 Tinjauan Teoritis Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa tinjauan teoretis yang mendasari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 2.1.1 Manajemen Laba 1. Pengertian Manajemen Laba Sulistyanto dan Wibisono (2008:6) mengemukakan bahwa manajemen laba adalah upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau memperbarui informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabuhi stakeholder yang ingin mempengaruhi kinerja dan kondisi perusahaan. Manajemen laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan, dan menurunkan laba (Gunawan, 2015). Menurut Sugiri (1998) dalam Suriyani (2015) definisi earnings management terbagi menjadi dua, yaitu: a. Definisi Sempit Earnings management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Earnings management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discreationary accruals dalam menentukan besarnya earnings.
9
10
b. Definisi Luas Earnings management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Manajemen laba dapat terjadi karena dalam penyusunan laporan keuangan menggunakan basis akrual. Akuntansi berbasis akrual menggunakan prosedur akrual, defferal, pengalokasian yang bertujuan untuk menghubungkan pendapatan, biaya, keuntungan, dan kerugian untuk menggambarkan kinerja perusahaan selama periode berjalan meski kas belum diterima dan dikeluarkan (Sulistyanto, 2008). Manajemen laba diproksikan dengan menggunakan Discretionary accruals dan non Discretionary accruals. Christiani (2014) menjelaskan konsep model akrual yang diungkapkan Healy memiliki dua komponen yaitu discretionary accruals dan non discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan (discretion) manajerial, sementara non discretionary accruals
merupakan
komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan. Manajer akan melakukan manajemen laba dengan memanipulasi akrual-akrual tersebut untuk mencapai tingkat keuntungan yang diinginkan. Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan
11
keuangan yang pada akhirnya menyesatkan pemegang saham dalam menilai prestasi ekonomi yang dicapai oleh perusahaan (Guna dan Herawaty, 2010). 2. Motivasi Manajemen Laba Safitri (2015)
menyampaikan kembali beberapa motivasi manajer dalam
melakukan manajemen laba sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Scott (2003:334), yakni: a. Rencana bonus (bonus scheme), manajer yang bekerja diperusahaan dengan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkan agar memaksimalkan bonus yang akan diterimanya. b. Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant), motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif, yaitu semakin dekat perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang, maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak. c. Motivasi politik (political motivation), perusahaan-perusahaan besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. d. Motivasi Perpajakan (taxation motivation), perpajakan merupakan suatu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan, maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. e. Pergantian CEO, CEO yang akan habis masa penugasannya akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian pula
f. dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. g. Penawaran saham perdana (initial public offering), saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospectus merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai dengan sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. 3. Faktor-Faktor Manajemen Laba Christiani (2015) menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya manajemen laba yang diajukan Watt dan Zimmerman (1996) : a. Bonus Plan Hypothesis Manajemen akan memilih metode yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus terbesar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer. Sebaliknya jika laba berada di atas cap, maka manajer juga tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, begitu pula sebaliknya. Jadi manajer hanya akan menaikkan laba jika laba bersih berada diantara bogey dan cap.
b. Debt to Equity Hypothesis
Manajer perusahaan cenderung memilih metode yang dampaknya mampu meningkatkan laba ketika terjadi pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi akan mendorong manajer perusahaan untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba, menyebabkan perusahaan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian hutang. c. Political Cost Hypothesis Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan laba yang tinggi membuat pemerintah akan segera mengambil tindakan seperti: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain. 4. Teknik Manajemen Laba Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) yang dikutip Safitri (2015) dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu: a. Memanfaatkan Peluang untuk Membuat Estimasi Akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi biaya garansi, amortisasi aktiva tak berwujud, dan lain-lain.
b. Mengubah Metode Akuntansi.
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. c. Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat/ menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, menunda/ mempercepat pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai. 5. Pola Manajemen Laba Scott (2003:345) mengidentifikasi adanya empat pola yang dilakukan oleh pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba yaitu: a. Taking a bath dilakukan ketika terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari, yaitu dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan. b. Income minimization dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian politis. c. Income maximization dilakukan dengan memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Dari positif accounting theory, para manajer dapat terlibat dalam maksimilasi laba bersih yang dilaporkan untuk tujuan bonus. d. Income smoothing dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi. Tindakan manajemen laba dapat dihitung melalui model akrual dan model akrual pilihan (Belkaoth, 2007:202) 1) Model Akrual
Dalam model ini, terdapat dua model umum yang digunakan untuk perhitungan akrual, yaitu pendekatan neraca dan pendekatan arus kas. Pendekatan neraca untuk perhitungan akrual total adalah sebagai berikut: Tat = ∆CAt - ∆Casht - ∆CLt + ∆DCLt - DEPt Keterangan: ∆CAt : perubahan dalam kas dan setara kas pada tahun t ∆Casht : perubahan kas pada tahun t ∆CLt
:perubahan dalam utang lancar pada tahun t
∆DCLt : perubahan dalam utang tidak pada tahun t DEPt : beban penyusutan dan amortisasi pada tahun t. Berdasarkan atas temuan bahwa studi-studi yang didasarkan pada pendekatan neraca tradisional untuk menghitung total akrual mengalami kelemahan akibat potensi kontaminasi dari perhitungan akrual total. 2) Model Akrual Pilihan a)
Model De Angelo Porsi pilihan dalam Model de Angelo adalah perbedaan antara akrual total ditahun
peristiwa t disimbolkan dalam aset total (At-1). Perhitungan akrual bukan pilihan (NDAt) bergantung pada akrual total di periode sebelumnya (TAt-1) disimbolkan dengan aset total keseluruhan (At-2) dengan kata lain: NDAt = TAt-1/ At-2 b) Model Healy
Dalam model healy, akrual bukan pilihan (NDAt) adalah niali rata-rata dari akrual total yang dilambangkan dengan total aset keseluruhan (At-1) dari periode estimasi. Dengan kata lain: NDAt = 1 / n∑y (TAy/Ay) Keterangan: NDAt : akrual bukan pilihan ditahun t yang dinyatakan dalam skala deng- an aset total keseluruhan n
: jumlah tahun diperiode estimasi
y
: lambang tahun waktu (t-n, t-n+1,…t-1) termasuk dalam periode estimasi.
Porsi pilihan adalah perbedaan antara akrual total ditahun peristiwa yang disimbolkan dengan At-1 dan NDAt. perbedaan utama antara model de angelo dengan model healy adalah bahwa NDA mengikuti proses acak dalam model de angelo dan suatu rata-rata kebalikan dalam model healy. c)
Model Jones Tujuan utama dari model jones adalah untuk mengendalikan pengaruh perubahan
dalam kondisi perusahaan pada akrual bukan pilihan. NDAt = β1(1/At-1) + β2(∆REVt / At-1) + β3(PPEt / At-1) Keterangan: NDAt
: Akrual pilihan di tahun t disimbolkan dengan aset total keseluruhan
∆REVt
: perubahan pendapatan dari tahun t ke tahun t-1
PPEt
: Aset tetap kotor ditahun t-1
Β1, β2, β3 : Parameter spesifik perusahaan Variasi dalam model jones mencakup suatu model yang memperluas model jones menambahkan akrual total keseluruhan dan pengembalian saham keseluruhan sebagai dua variabel menjelaskan tambahan serta suatu model yang menggantikan perubahan penjualan dalam model jones dengan mengganti penjualan tunai. d) Model Jones yang Modifikasi Untuk dapat mengeliminasi kecenderungan asumsi dalam model jones guna mengukur akrual pilihan dengan kesalahan pada saat pilihan dipergunakan terhadap pengakuan pendapatan, model yang di modifikasi memperhitungkan akrual bukan pilihan selama periode peristiwa sebagai berikut: NDAt = β1(1/At-1) + β2(∆REVt - ∆RECt/At-1) + β3(PPEit/At-1)εit Keterangan: ∆RECt : perubahan piutang bersih ditahun t dikurangi piutang bersih ditahun t-1 dan area variabel lainnya dipersamaan sebelumnya. Variabel manajemen laba seringkali diproksikan dengan discretionary accruals. Komponen akrual dapat dipisahkan menjadi discretionary accruals dan non discretionary accruals. Dalam perhitungan discretionary accruals yaitu menggunakan pendekatan arus kas, dengan menentukan terlebih dahulu besarnya total akrual suatu perusahaan dengan meghitung selisih antara jumlah laba ersih dan arus kas dari aset operasi suatu perusahaan. TAit = NIit – CFOit Keterangan: TAit
: Total akrual perusahaan i pada tahun t
NIit
: Laba bersih perusahaan i pada tahun t
CFOit : Kas dari perusahaan i pada tahun t Total akrual sebuah perusahaan adalah penjumlahan dari discretionary accruals dan non discretionary accruals. TAit = NDAit + DAit Keterangan: NDAit : Non discretionary accruals perusahaan i pada tahun t DAit
: Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
Selanjutnya diguakan model jones seperti yang digunakan pada perhitungan 1 untuk memisahkan discretionary accrual dan non discretionary accrual. Model ini merumuskan tingkat non discretionary accrual sebagai fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan piutang, dan tingkat dari tanah dan bangunan serta peralatan. Dengan model Jones nilai total akrual dengan persamaan regresi OLS yang telah disajikan dalam persamaan model akrual dengan koefisien regresi tersebut, nilai non discretionary accrual dihitung dengan menggunakan rumus: NDAt =β1’(1/Ait-1)+β2’(∆REVit- ∆RECit/At-1)+β3’(PPEit/At-1) Keterangan: NDAt
: Non discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
Ait-1
: Total perusahaan aset i pada tahun t-1
REVit
: Perusahaan pendapatan perusahaan i pada tahun t
RECit
: Perusahaan piutang bersih perushaan i pada tahun t
PPEit
: Aset tetap perusahaan i pada tahun t
β1, β2, β3
: Koefisien regresi model jones
β1’, β2’, β3’
: Fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi moel jones yang dimodifikasi
Selanjutnya, nilai discretionary accrual didapatkan dengan mengurangi total akrual dengan niali discretionary accrualnya. DAit = TAit / Ait-1 - NDAit e)
Model Industri Model industri melonggarkan asumsi bahwa akrual bukan pilihan adalah konstan
dari tahun ke tahun. Alih-alih membuat suatu model untuk menentukan akrual buka pilihan secara langsung, model industri berasumsi bahwa variasi dalam penentuan akrual bukan pilihan adalah umum terjadi di antara perusahaan industri yang sama. NDAt = β1 + β2 median (TAt / At-1) NDAt dihitung dengan model jones dan median TAt / At-1 adalah nilai median dari akrual total di tahun t yang disimbolkan dengan aset total keseluruhan untuk seluruh perusahaan yang tidak diambil contoh didalam industri klasifikasi industri standar. Parameter spesifik β1 dan β2 dihasilkan dari suatu regresi rata-rata biasa dalam suatu pengamatan diperiode estimasi. f)
Model Kang dan Sivaramakrishman Model Kang dan Sivaramakrishman bergantung pada pendekatan alternative
dimana (a) mengestimasi akrual yang dikelola dengan menggunakan tingkatan dari pada menggunakan perubahan dalam aset lancar dan utang lancar, mencakup harga pokok penjualan dan juga beban-beban lain dan tidak membutuhkan regresi menjadi tidak terkontaminasi. ABi,t = ϕ0 + ϕ1[ϐ1,i + REVi,t] + ϕ2[ϐ2,i + EXPi,t] + ϕ3[ϐ3,i + GPPEi,t] + Ui,t
Keterangan: ABi,t : Saldo akrual = ARi,t = INVi,t + OCAi,t - CLi,t - DEPi,t ARi,t
: Piutang, diluar pengembalian pajak
INVi,t : Persediaan OCAi,t : Aset lancar lainnya selain kas, piutang dan persediaan CLi,t
: Utang lancar tanpa pajak dan utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun.
DEPi,t : Penyusutan dan amortisasi REVi,t : Pendapatan penjualan bersih EXPi,t : Beban Operasi GPPEi,t: Aset tetap kotor 2.1.2 Leverage Dalam pengertian bisnis, leverage mengacu pada penggunaan aset dan sumber dana (sources of funds) oleh perusahaan dimana dalam penggunaan aset atau dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan biaya tetap atau beban tetap. Penggunaan aset atau dana tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan potensial bagi pemegang saham. Dalam suatu perusahaan dikenal dua macam leverage, yaitu leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Penggunaan kedua leverage ini dengan tujuan agar keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya aset dan sumber dananya. Dengan demikian penggunaan leverage akan meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham. Sebaliknya leverage juga dapat meningkatkan risiko keuntungan. Jika perusahaan mendapat keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka
penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang saham (Harjito & Martono, 2014:315). Menurut Hanafi (2014:327), secara harfiah (literal) pengertian leverage adalah pengungkit. Pengungkit biasanya digunakan untuk membantu mengangkat beban berat.dalam keuangan, leverage juga mempunyai maksud serupa. Lebih spesifik lagi, leverage bisa digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan. Meningkatnya tingkat keuntungan yang diharapkan sama dengan besarnya keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. Permasalahan agensi juga bisa terjadi antara manajer dengan kreditur yang memberikan pinjaman kepada perusahaan (Sulistyanto, 2008:93). Secara konseptual manajer akan menandatangani kontrak utang (lending contract) pada saat menyepakati utang piutang antara perusahaan dan kreditur. Kontrak utang ini dilakukan untuk menjamin bahwa manajer akan selalu melakukan aktivitasaktivitas ekonomi yang mengarah pada upaya untuk mengembalikan pinjaman yang diberikan tepat pada waktunya disertai dengan pembayaran sejumlah bunga pada saat tertentu. Hal ini mendorong kreditur secara periodic memantau seluruh aktivitas manajer dengan menggunakan laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Agar manajer selalu mentaati perjanjian itu maka dalam perjanjian itu juga diatur hukuman terhadap perusahaan apabila melanggarnya, seperti pembatasan tambahan utang. Pelanggaran perjanjian utang (debt covenant violations) membuktikan adanya manajemen laba dengan menaikkan laba dalam laporan keuangan tahunan perusahaan yang melanggar perjanjian itu (Sulistyanto, 2008:94). 2.1.3 Ukuran Perusahaan
Brigham dan Houston (2006:117) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah perusahaan dengan rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualan rendah kebutuhan terhadap sumber daya perusahaan juga. Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan sumber intern sudah digunakan semua, maka tidak ada pilihan lain bagi perusahaan untuk menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pihak manajer akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola peningkatan laba (income increasing) agar mendapat sumber dana yang berasal dari luar perusahaan, baik dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman atau menarik investor baru. 2.1.4 Good corporate governance Good corporate governance merupakan mekanisme yang digunakan untuk membatasi timbulnya masalah asimetri informasi yang dapat mendorong terjadinya manajemen laba (Guna dan Herawaty ,2010). Keputusan menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 mendefinisikan corporate governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai etika.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemangku kepentingan, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang saham. Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola usaha dalam rangka meningkatkan kemajuan usaha dan akuntabilitas perusahaan yang juga menekankan pada pentingnya pemenuhan tanggung jawab badan usaha sebagai entinitas bisnis dlam masyarakat dan stakeholders. Pada penelitian ini, peneliti memilih tiga proksi untuk Good corporate governance, yaitu: 1.
Komisaris Independen Menurut Komite Nasional Kebijakan GCG (2004) dalam Guna dan Herawaty
(2010) , komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komsaris lainnya dan pemgang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau semata-mata demi kepentingan perusahaan. 2.
Komite Audit Menurut Kep. 29/PM/2004, komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh
dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit memiliki tugas terpisah dalam membantu dewan komisaris terutama yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem laporan keuangan (FCGI, 2008) dalam (Suriyani, 2015). Keberadaan komite audit juga
untuk membantu komisaris mengawasi manajemen dalam menyusun laporan keuangan.Tujuan dari keberadaan komite audit menurut Guna dan Herawaty (2010) yaitu: a) Memberikan kepastian bahwa laporan keuangan yang dikeliarkan oleh manajemen perusahaan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta disajikan secara wajar dan tidak menyesatkan. b) Memberikan kepastian bahwa pengendalian internal perusahaan telah memadai. c) Melakukan pengawasan dan menindak lanjuti kemungkinan penyimpangan material dalam bidang keuangan dan implikasi hukumnya. d) Memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor eksternal yang akan melakukan audit perusahaan.
3.
Kualitas Audit Tujuan dari kualitas audit adalah untuk memberikan kepastian mengenai integritas
dari laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Kualitas audit didefinisikan oleh DeAngelo (1981) dalam (Christiani, 2014) sebagai probabilitas gabungan, bahwa kesalahan material yang ada pada laporan keuangan dapat dideteksi dan dilaporkan oleh seorang auditor. 2.1.5 Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba Leverage merupakan perbandingan antara total kewajiban dengan total aktiva perusahaan. Semakin tinggi nilai leverage maka risiko yang dihadapi investor akan
semakin tinggi dan para investor juga akan meminta keuntungan yang besar pula. Dengan demikian meningkatnya rasio leverage (dimana beban hutang semakin besar) maka hal tersebut akan berdampak terhadap profitabilitas yang diperoleh perusahaan, karena sebagian digunakan untuk membayar bunga pinjaman. Kurangnya pengawasan selain menyebabkan leverage yang tinggi juga akan meningkatkan perilaku oportunis manajemen seperti melakukan manajemen laba untuk mempertahankan kinerjanya di mata pemegang saham dan publik. Besarnya tingkat hutang perusahaan (leverage) dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Leverage yang tinggi disebabkan kesalahan manajemen dalam mengelola keuangan perusahaan atau penerapan strategi yang kurang tepat dari pihak manajemen. Hasil penelitian yang dilakukan Safitri (2015) menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Peneliti tersebut menyimpulkan besar kecilnya hutang tidak berpengaruh terhadap tindakan manajemen laba. Diduga dengan tingginya hutang akan meningkatkan resiko kegagalan bagi perusahaan, tetapi dalam hal ini manajemen menyadari kalau manajemen laba tidak dapat dijadikan sebagai mekanisme untuk menggurangi kegagalan tersebut, karena pemenuhan kewajiban hutang. Hal tersebut tidak konsisten dengan penelitian Guna dan Herawaty (2010) yang menunjukkan adanya pengaruh dari leverage terhadap manajemen laba. 2.1.6 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba Ukuran perusahaan di definisikan sebagai upaya penilaian besar kecilnya sebuah perusahaan. Biasanya ukuran perusahaan dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Ukuran perusahaan diduga mampu mempengaruhi besaran pengelolaan laba perusahaan, dimana jika pengelolaan laba tersebut oportunis maka
semakin besar perusahaan semakin kecil pengelolaan laba (berhubungan negatif) tapi jika pengelolaan laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan semakin tinggi pengelolaan labanya (berhubungan positif). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2015) di Surabaya dengan menggunakan sampel 10 perusahaan perbankan selama tiga periode,menunjukkan adanya pengaruh ukuran perusahaan terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al., (2015) di Singaraja dengan menggunakan sampel 18 perusahaan manufaktur, menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan belum tentu dapat memperkecil kemungkinan terjadinya manajemen laba, karena perusahaan besar lebih banyak memiliki aset dan memungkinkan banyak aset yang tidak dikelola dengan baik sehingga kemungkinan kesalahan dalam mengungkapkan total aset dalam perusahaan tersebut. 2.1.7 Pengaruh Komisaris Independen terhadap Manajemen Laba Komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris yang lain, dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang bisa memepengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Good corporate governance 2004) Keberadaan komisaris independen adalah sebagai penyeimbang dalam pengambilan keputusan guna melindungi para pemegang saham minoritas dan pihakpihak yang terkait dengan perusahaan. Namun keberadaan komisaris dalam perusahaan belum tentu mampu mendeteksi adanya prkatik manajemen laba. Teori tersebut
didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Guna dan Herawaty (2010) membuktikan bahwa komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan komisaris independen dalam perusahaan gagal menjadi salah satu mekanisme good corporate governance dalam mendeteksi manajemen laba. 2.1.8 Pengaruh Komite Audit terhadap Manajemen Laba Menurut Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem laporan keuangan. Apabila komite audit tidak dapat menjalankan tugasnya dalam memonitor pelaporan keuangan maka keberadaan komite audit tidak menunjukkan pengaruh atau gagal dalam mendeteksi adanya praktik manajemen laba. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Guna dan Herawaty (2010) yang menunjukkan tidak adanya pengaruh antara komita audit terhadap manajemen laba. 2.1.9 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Tujuan dari audit laporan keuangan adalah untuk memberikan kepastian tentang integritas dari laporan keuangan yang disajikan pihak manajemen perusahaan. Dalam Christiani (2014), De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas gabungan untuk mendeteksi dan melaporkan kesalahan yang material dalam laporan keuangan. Kualitas audit dipandang sebagai kemampuan untuk mempertinggi kualitas pelaporan keuangan perusahaan. Kualitas audit yang tinggi mampu meningkatkan
kepercayaan investor. Kualitas audit dalam penelitian ini diukur dengan proksi ukuran KAP, karena diasumsikan akan berpengaruh terhadap hasil audit yang dilakukan oleh auditornya. Auditor yang bekerja di KAP Big four dianggap lebih berkualitas karena auditornya dibekali serangkaian pelatihan dan prosedur serta memiliki program audit yang dianggap lebih akurat dan efektif dibandingkan dengan auditor dari KAP non-Big four (Isnanta, 2008). 2.1.10 Penelitian Terdahulu Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian kembali serta menjadi rujukan dalam penelitian ini. 1. Guna dan Herawaty (2010), dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Mekanisme Good corporate governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya terhadap Manajemen Laba”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage, kualitas audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen, independensi dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. 2. Marsono dan Veliandina.C (2013), dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba dengan Corporate Governance sebagai Variabel Pemoderasi”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel leverage berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, kepemilikan manajerial dan komisaris independen tidak terbukti menjadi variabel pemoderasi. Namun kualitas audit terbukti menjadi variabel pemoderasi dalam penelitiannya.
3. Amertha Indra et al., (2014) dalam penelitan yang berjudul “Analysis of Firm Size, Leverage, Corporate Governance on Earnings Management Practices (Indonesian Evidence)”. Penelitian tidak hanya bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan, leverage, dan tata kelola perusahaan pada praktik manajemen laba secara parsial, tetapi juga memasukkan variabel corporate governance (GCG) yang dianggap mampu memoderasi pengaruh variabel ukuran perusahaan dan leverage pada praktik manajemen laba. Akrual diskresioner sebagai proksi untuk manajemen laba diukur dengan Performance-Matched Discretionary Accruals Model. Menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA) dan Uji Residual, hasilnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan corporate governance berpengaruh signifikan pada manajemen laba, sedangkan leverage tidak berpengaruh signifikan. Selain itu, hasil studi ini menunjukkan bahwa corporate governance mampu memoderasi hubungan ukuran perusahaan dan leverage pada praktik manajemen laba. 4. Veronica,A (2015), dalam penelitiannya berjudul “The Influence of Leverage and Its Size on The Earnings Management”. Hasil penelitian menunjukkan 1) Leverage Operasi berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba sebesar 21,5% ; 2) Leverage Keuangan mempengaruhi manajemen laba sebesar 50,5%; 3) Ukuran perusahaan mempengaruhi manajemen laba sebesar 41,7%. Manajemen laba (Y) dapat dijelaskan dengan leverage operasi, leverage keuangan, dan ukuran perusahaan sebesar 60,3%, sedangkan sisanya 39,7% dapat dijelaskan oleh faktorfaktor lain. Dari hasil pengujian hipotesis F, diperoleh nilai F (2,082) < F tabel
(2,769) yang berarti bahwa tidak ada pengaruh leverage operasi, leverage keuangan, dan ukuran perusahaan secara bersama-sama terhadap manajemen laba. 5. Gunawan,K et al., (2015) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil penelitian menunujukkan bahwa ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. 6. Purbaningrat dan Widanaputra (2015), dalam penelitian berjudul “Pengaruh Good corporate governance dan Konservatisme Akuntansi pada Manajemen Laba” menunjukkan hasil bahwa good corporate governance yang diproksikan dengan komisaris independen menunjukkan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap manajemen laba. Semakin tinggi tingkat pengawasan komisaris independen pada kinerja perusahaan, maka kecil kemungkinan para manajemen melakukan manipulasi laba pada laporan keuangan. Konservatisme akuntansi juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Semakin tinggi konservatisme akuntansi, dapat meminimalkan tindakan manajer melakukan pemanipulasian dan overstatement pada laporan keuangan. 7. Safitri Defrita (2015), dalam penelitian berjudul “Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia” menunjukkan hasil bahwa variabel leverage dan ROA tidak berperngaruh signifikan terhadap manajemen laba. Namun, terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba yakni ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan diduga mampu mempengaruhi besaran pengelolaan laba
perusahaan, dimana jika pengelolaan laba tersebut oportunis maka semakin besar perusahaan semakin kecil pengelolaan laba (berhubungan negatif) tapi jika pengelolaan laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan semakin tinggi pengelolaan labanya (berhubungan positif).
2.2 Rerangka Pemikiran Leverage (LEV)
Ukuran Perusahaan (SIZE)
Manajemen Laba Komite Independen (KI)
(Disscretionary Accruals)
Komite Audit (KMA)
Kualitas Audit (K_AUD)
Sumber: Jurnal Guna dan Herawaty 2010 Gambar 1 Rerangka Pemikiran Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggambarkan rerangka pemikiran berpedoman pada teori yang ada. Rerangka pemikiran tersebut disusun guna mengetahui apakah ada pengaruh leverage, ukuran perusahaan, komisaris independen, komite audit dan kualitas audit terhadap manajemen laba.
2.3 Pengembangan Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah: H1:
Leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba perusahaan Property dan Real estate di Bursa Efek Indonesia.
H2: Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Proper- ty dan Real estate di Bursa Efek Indonesia. H3:
Komisaris Independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Property dan Real estate di Bursa Efek Indonesia.
H4:
Komite Audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Property dan Real estate di Bursa Efek Indonesia,
H5:
Kualitas Audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Property dan Real estate di Bursa Efek Indonesia.