BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Organisasi Sektor Publik Organisasi sektor publik merupakan sebuah entitas ekonomi yang memiliki keunikan tersendiri. Disebut sebagai entitas ekonomi karena memiliki sumber daya ekonomi yang tidak kecil, bahkan bisa dikatakan sangat besar. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang atau jasa kepada publik yang dibayarkan melalui pajak atau pendapatan Negara lain yang diatur dengan hukum (Mahsun 2006: 11). Menurut Ulum (2004: 6) secara kelembagaan sektor publik antara lain meliputi badan-badan pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik Negara, yayasan, organisasi politik dan organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas, dan organisasi nirlaba lainnya. Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomis semata, akan tetapi faktor politik, sosial budaya, dan historis juga memiliki pengaruh yang signifikan. 2.1.2 Kinerja Kinerja (performance) menurut Mahsun (2006: 145) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
7
8
Sedangkan menurut Mardiasmo (2002: 119), kinerja adalah gambaran pencapaian
pelaksanaan
suatu
kegiatan/program/kebijaksanaan/dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Daftar apa yang ingin dicapai, tertuang dalam perumusan perencanaan strategi (strategic planning) pada suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu tersebut dan mempunyai kriteria keberhasilan yang ditetapkan, Kriteria keberhasilan ini berupa tujuantujuan atau target tertentu yang hendak dicapai. Oleh karena itu, tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui kualitasnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya tolok ukur kinerjanya. 2.1.3 Pengukuran Kinerja 1. Pengertian Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja (Performance measurement) menurut Robertson dalam (Mahsun, 2011: 141) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan; hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Menurut Simons dalam (BPKP, 2000) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja membantu manajer dalam memonitor implementasi strategi bisnis dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan
9
strategis. Jadi pengukuran kinerja adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi
serta
meningkatkan
kualitas
pengambilan
keputusan
dan
akuntabilitas. Pengukuran kinerja adalah suatu sistem yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dari pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan dengan campuran penilaian strategi: ukuran hasil dan pembangkit, ukuran finansial dan non finansial, serta ukuran internal dan eksternal (Tjakrawala, 2003: 79). Sedangkan menurut Abdul Halim, Ahmad Tjahjono, dan M. Fakhri Husein (2000: 208) pengukuran kinerja merupakan suatu proses yang harus dilakukan dalam pengendalian manajemen yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid tentang perilaku dan kinerja anggota organisasi. Unsur-unsur Kunci dalam Pengukuran Kinerja (Veithzal Rivai et al., 2008: 24-30) mendiskripsikan beberapa unsur kunci dalam pengukuran kinerja perusahaan sebagai berikut: a. Pendefinisian misi, penetapan tujuan dan sasaran-sasaran perusahaan. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, karena penetapan tujuan merupakan pengembangan dari pernyataan misi yang berisi kebijakan jangka panjang dan jangka pendek yang akan dilakukan dalam upaya mencapai suatu sasaran tertentu.
10
b. Penetapan rencana strategis dan kebijakan operasional perusahaan. Perencanaan strategis membantu pengambilan keputusan untuk memilih secara rasional di antara berbagai kemungkinan, sumber daya yang harus dialokasikan, sejalan dengan tujuan dan sasaran, serta hasil yang diharapkan dari perusahaan bersangkutan. Di sisi lain, penetapan kebijakan operasional merupakan bagian dari penetapan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran. c. Penetapan dari pengembangan indikator-indikator kinerja. Indikator kinerja merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur. Indikator kinerja ini disusun sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan dan harus dapat menggambarkan tingkat keberhasilan pencapaiannya. d. Pengukuran kinerja dan penilaian hasil pengukuran. Indikator-indikator yang telah ditetapkan kemudian diterapkan untuk mengukur kinerja perusahaan menggunakan data-data aktual perusahaan. e. Pelaporan hasil-hasil secara formal. Pelaporan hasil kinerja ini dapat berfungsi sebagai pertanggung jawaban atas hasil yang dicapai dan juga sebagai umpan balik dalam rangka meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. f. Penggunaan informasi kinerja. Informasi kinerja ini dapat digunakan untuk mengetahui pencapaian kinerja pada periode tertentu dan juga sebagai bahan acuan perbaikan untuk periode berikutnya.
11
Maka dapat disimpulkan, bahwa penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian
misi
(mission
accomplishment)
melalui
hasil-hasil
yang
ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses. Setiap kegiatan organisasi harus diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan visi dan misi organisasi. Produk dan jasa akan kehilangan nilai apabila kontribusi produk dan jasa tersebut tidak dikaitkan dengan pencapaian visi dan misi organisasi. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. 2. Tujuan Sistem Pengukuran Kinerja Menurut Mardiasmo (2002: 122) secara umum, tujuan pengukuran kinerja adalah: a. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan bottom up). b. Untuk mengukur kinerja finansial dan non-finansial secar berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi. c. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan level bawah. d. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif yang rasional. 3. Manfaat Pengukuran Kinerja Menurut Mardiasmo (2002: 122) secara umum, manfaat pengukuran kinerja antara lain:
12
a. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kerja manajemen b. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. c. Untuk
memonitor
dan
mengevaluasi
pencapaian
kinerja
dan
membandingkannya dengan target kinerja, serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja. d. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaaan dan hukuman (reward & punishment) secara objektif atas pencapaian prestasi, yang diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati. e. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi. f. Membantu
mengidentifikasikan
apakah
kepuasan
pelanggan
sudah
terpenuhi. g. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah; dan h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja memberikan informasi kepada manajer mengenai kondisi proses yang sedang berlangsung, apakah telah sesuai dengan rencana atau tidak. Pengukuran kinerja memberikan informasi untuk membantu proses pengambilan keputusan yang dituangkan ke dalam bentuk laporan kinerja yang kemudian dievaluasi sebagai umpan balik.
13
4. Elemen-Elemen Pengukuran Kinerja Menurut M. Mahsun (2011: 142) Berdasarkan beberapa definisi mengenai pengukuran kinerja diatas, dapat disimpulkan dari elemen pokok suatu pengukuran kinerja antara lain: a. Menetapkan Tujuan, Sasaran, dan Strategi Organisasi Tujuan adalah pernyataan secara umum (belum secara eksplisit) tentang apa yang ingin dicapai organisasi. Sasaran merupakan tujuan organisasi yang dinyatakan secara eksplisit dengan disertai batasan waktu yang jelas. Strategi adalah cara atau teknik yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Tujuan, Sasaran, dan Strategi tersebut ditetapkan dengan berpedoman pada visi dan misi organisasi. Berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi tersebut selanjutnya dapat ditentukan indikator dan ukuran kinerja secara tepat. b. Merumuskan Indikator dan Ukuran Kinerja Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja. Ukuran kinerja mengacu penilaian kinerja secara langsung. c. Mengukur Tingkat Ketercapaian Tujuan dan Sasaran-Sasaran Organisasi Mengukur tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi adalah membandingkan hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Analisis antara hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja ini menghasilkan penyimpangan positif, penyimpangan negatif, atau penyimpangan nol. Penyimpangan positif berarti pelaksanaan kegiatan
14
sudah berhasil dicapai serta melampaui indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Penyimpangan negatif berarti pelaksanaan kegiatan belum berhasil mencapai indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Sedangkan penyimpangan nol berarti pelaksanaan kegiatan sudah berhasil atau sama dengan indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. d. Evaluasi Kinerja Evaluasi kinerja akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Pencapaian kinerja organisasi dapat dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi pencapaian kinerja dapat dijadikan feedback dan reward-punishment, penilaian kemajuan organisasi dan dasar peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. 5. Siklus Pengukuran Kinerja Menurut Bastian (2006: 281) Terdapat lima tahap untuk melakukan pengukuran kinerja, yaitu: a. Perencanaan Strategi Siklus pengukuran kinerja dimulai dengan proses pengskemaan strategi, yang berkenaan dengan penetapan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program, operasional, dan kegiatan/aktivitas. b. Penciptaan Indikator Kinerja Setelah perumusan strategi, instansi pemerintah perlu mulai menyusun dan menetapkan ukuran/indikator kinerja. Ada beberapa aktivitas dari jenis program yang dilaksanakan dalam proses ini untuk menghasilkan indikator
15
kinerja yang mudah dan sederhana, dimana indikator kinerja berupa input, process, output, outcomes, benefit, atau impacts. Indikator yang mudah adalah untuk aktivitas yang dapat dihitung, misalnya adalah jumlah klaim yang diproses. c. Mengembankan Sistem Pengukuran Kinerja Ada kegiatan dalam tahap ini adalah pertama, meyakinkan keberadaan data yang diperlukan dalam siklus pengukuran kinerja. Kedua, mengukur kinerja dengan data yang tersedia dan data yang dikumpulkan. Terakhir, penggunaan data pengukuran kinerja yang dihimpun, harus dipresentasikan dalam cara-cara yang dapat dimengerti dan bermanfaat. d. Penyempurnaan Ukuran Pada tahapan ini, pemikiran kembali atas indikator hasil (outcome) dan indikator dampak (impact), menjadi lebih penting dibandingkan pemikiran kembali atas indikator masukan (inputs) dan keluaran (outputs). e. Pengintegrasian dengan Proses Manajemen Bagaimana menggunakan ukuran kinerja tersedia secara efektif merupakan tantangan selanjutnya. Penggunaan data organisasi dapat dijadikan alat untuk memotivasi tindakan dalam organisasi. 6. Aspek-Aspek Pengukuran Kinerja Sektor Publik Aspek-aspek dalam pengukuran kinerja sektor publik terdiri dari beberapa kelompok yaitu: a. Kelompok masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
16
b. Kelompok proses (process) adalah ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. c. Kelompok keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). d. Kelompok hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah yang mempunyai efek langsung. e. Kelompok manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. f. Kelompok dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. 2.1.4 Indikator Kinerja 1. Definisi Indikator Kinerja Definisi Indikator Kinerja menurut Bastian (2006: 267), indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts). Adapun rinciannya: a. Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan, perundang-undangan dan sebagainya.
17
b. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik. c. Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). d. Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. e. Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif terhadap setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. 2. Syarat-Syarat Indikator yang Ideal Indikator kinerja bisa berbeda untuk setiap organisasi, namun setidaknya ada persyaratan umum untuk terwujudnya suatu indikator yang ideal. Menurut Palmer (1995), syarat-syarat indikator yang ideal adalah sebagai berikut: a. Consistency. Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi. b. Comparibility. Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak. c. Clarity. Indikator harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami. d. Controllability. Pengukuran kinerja terhadap manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan.
18
e. Contingency. Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal. f. Comprehensiveness. Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek perilaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manjerial. g. Boundedness. Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi. h. Relevance. Berbagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu. i. Feasibility. Target-target yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realistis dan dapat dicapai. 2.1.5 Balance Scorecard 1. Sejarah Balance Scorecard Balance Scorecard pertama kali diperkenalkan di USA yang pada awalnya ditujukan untuk mengatasi problem tentang kelemahan sistem pengukuran kinerja eksekutif yang berfokus pada aspek keuangan. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di USA yang diketuai oleh David P. Norton, mensponsori studi tentang “Pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”, studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan suatu ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan
19
perusahaan bersifat sustainable (jangka panjang). Kinerja keuangan yang dihasilkan eksekutif harus merupakan akibat dari pelaksanaan proses bisnis intern yang produktif dan cost effective (hemat biaya) serta pembangunan personil yang produktif dan berkomitmen. Setelah keberhasilan penerapan Balance Scorecard sebagai perluasan pengukuran kinerja eksekutif, Balance Scorecard kemudian diterapkan pada tahap manajemen yang lebih strategik sebelum penilaian kinerja. Balance Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan implementasi konsep tersebut. Pada tahun 2000 telah menjadi inti sistem manajemen strategik, tidak hanya eksekutif, namun meluas sebagai pendekatan dalam penyusunan rencana strategi. Di dalam buku Kaplan dan Norton yang berjudul “Balance Scorecard” terjemahan Peter R. Yosi Pasla, M.B.A dengan topik “Menerapkan Strategi Menjadi Aksi” tahun (2000) yang didalamnya menjelaskan tentang memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja non keuangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehensif ke dalam empat perspektif. 2. Konsep Balance Scorecard Konsep Balance Scorecard berkembang sejaalan dengan perkembangan pengimplementasian konsep. Balance Scorecard terdiri dari kartu skor (scorecard) dan berimbang (balance). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh personil di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang akan diwujudkan personel di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan ini
20
digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personel yang bersangkutan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, antar kinerja jangka panjang dan jangka pendek, serta antar kinerja yang bersifat intern dan yang bersifat ekstern. Balance Scorecard lebih dimanfaatkan sebagai alat efektif untuk perencanaan strategi yaitu sebagai alat untuk menerjemahkan misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar dan strategi organisasi ke dalam rencana tindakan (action plans). Kekuatan sesungguhnya Balance Scorecard bukan terletak pada kemampuannya sebagai pengukuran kinerja eksekutif, namun justru pada kemampuan alat perencanaan strategis. 3. Pengertian Balance Scorecard Balance Scorecard melengkapi seperangkat ukuran finansial kinerja masa lalu dengan ukuran pendorong (drivers) kinerja masa depan (Kaplan dan Norton, 2000: 8). Tujuan dan ukuran Balance Scorecard diturunkan dari visi dan strategi dan memandang kinerja perusahaan dari empat perspektif yaitu: a. Perspektif keuangan (financial perspective) b. Perspektif pelanggan (costumer perspective) c. Perspektif proses bisnis internal (internal business processes perspective) d. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning an growth perspective)
21
Gambar 1 Kerangka kerja Balance Scorecard Menurut Hansen Don R. dan Maryanne M Mowen dalam Akuntansi Manajemen (2004: 509) yang diterjemahkan oleh Dewi Fitriasari dan Deny Amos Kwary yaitu “Balance Scorecard menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam tujuan operasional dan ukuran kinerja dalam empat perspektif, yaitu: perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (infrastruktur)”. Sedangkan menurut Kaplan dan Norton (2000: 7) Balance Scorecard melengkapi seperangkat ukuran finansial kinerja masa lalu dengan ukuran pendorong kinerja masa depan. Tujuan dan ukuran Scorecard diturunkan dari
22
visi dan strategi. Tujuan dan ukuran memandang kinerja perusahaan dari empat perspektif,
yaitu:
finansial,
pelanggan,
proses
bisnis
internal,
serta
pembelajaran dan pertumbuhan. Dari uraian diatas, ciri-ciri sistem Balance Scorecard, mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Merupakan suatu aspek dari strategi perusahaan. b. Menetapkan ukuran kinerja melalui mekanisme komunikasi antara tingkatan manajemen. c. Mengevaluasi hasil kinerja secara terus menerus guna perbaikan pengukuran kinerja pada kesempatan selanjutnya. Selanjutnya dalam menerapkan Balance Scorecard, Robert Kaplan dan David Norton, mensyaratkan dipegangnya lima prinsip utama berikut: a. Menerjemahkan sistem manajemen strategis berbasis Balance Scorecard ke dalam terminologi operasional sehingga semua orang dapat memahami. b. Menghubungkan dan menyelaraskan organisasi dengan strategi itu. Ini untuk memberikan arah dari eksekutif kepada staf garis depan. c. Membuat strategi merupakan pekerjaan bagi semua orang melalui kontribusi setiap orang dalam implementasi strategi. d. Membuat strategi suatu proses terus menerus melalui pembelajaran dan adaptasi organisasi. e. Melaksanakan agenda perubahan oleh eksekutif guna memobilisasi perubahan. Maka dapat disimpulkan Balance Scorecard lebih mengukur finansial dan non finansial masa lalu dan masa depan, untuk strategi perusahaan yang
23
dilaksanakan secara eksplisit dan ketat kedalam berbagai tujuan dan ukuran yang nyata. Bila Balance Scorecard digunakan secara tepat maka akan memperoleh umpan balik sebuah strategi yang sistematis. 4. Manfaat Balance Scorecard Menurut Kaplan dan Norton (2000: 17) manfaat yang sebenarnya dari Balance scorecard muncul ketika Scorecard tersebut ditransformasikan dari sebuah sistem pengukuran menjadi sebuah sistem manajemen. Dengan semakin banyaknya Balance Scorecard diterapkan di berbagai perusahaan, maka dapat dilihat bahwa Balance Scorecard dapat digunakan untuk: a. Mengklarifikasi dan menghasilkan konsensus mengenai strategi. b. Mengkomunikasikan strategi ke seluruh perusahaan. c. Menyelaraskan berbagai tujuan departemen dan pribadi dengan strategi perusahaan. d. Mengaitkan berbagai tujuan strategis dengan sasaran jangka panjang dan anggaran tahunan. e. Mengidentifikasikan dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis. f. Melaksanakan peninjauan ulang strategis secara periodik dan sitematik, dan g. Mendapatkan umpan balik yang dibutuhkan untuk mempelajari dan memperbaiki strategi. Balance Scorecard menutup lubang yang ada di sebagian besar sistem manajemen yakni kurangnya proses sistematis untuk melaksanakan dan memperoleh umpan balik sebuah strategi. Proses manajemen yang dibangun di seputar Scorecard memungkinkan adanya keselarasan dan pemusatan perhatian
24
kepada pelaksanaan strategi jangka panjang. Bila digunakan secara tepat, Balance Scorecard merupakan dasar pengelolaan perusahaan di abad informasi. 5. Perspektif Balance Scorecard Empat perspektif Balance Scorecard mengandung kesatuan tujuan karena semua ukuran diarahkan kepada pencapaian strategi terpadu antar lain: a. Perspektif Finansial Menurut Luis (2008: 21) tidak bisa dipungkiri lagi bahwasannya keuangan merupakan hal penting bagi setiap organisasi, apakah organisasi itu diharapkan untuk menghasilkan laba atau tidak (nirlaba). Keuangan adalah penting karena diperlukan keuangan yang baik untuk mengelolah suatu organisasi, apalagi organisasi yang memang bertujuan untuk mengakumulasi laba. Keuangan organisasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pendekatan keuangan yang bertujuan jangka pendek, strategi yang digunakan adalah strategi peningkatan produktivitas, meliputi upaya-upaya yang dapat dilakukan agar produktivitas dapat optimal. Strategi produktivitas ini dapat dicapai dengan perbaikan struktur biaya dan pemaksimalan utilitas aset. Menurut Gasperz (2005: 47) adapun pengukuran-pengukuran Balance Scorecard yang ada pada umumnya digunakan dalam perspektif finansial, meliputi: 1) Rasio Profitabilitas (Profitabilitas Ratios), Yaitu rasio yang mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui keuntungan
(laba)
25
yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan. Menurut Hanafi (2004: 36) ada beberapa rasio yang dapat digunakan, yaitu: a) Net Profit Margin Net Profit Margin menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Rasio ini bisa di interpretasikan sebagai kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya (ukuran efisiensi) diperusahaan pada periode tertentu. Profit Margin yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit Margin dirumuskan sebagai berikut: Laba Bersih Net Profit Margin =
x 100% Penghasilan
b) Return On Asset (ROA) Return On Asset (ROA) mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat asset yang tertentu. ROA sering juga disebut ROI (Return On Investment). Rasio yang tinggi menunjukkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan asset, yang berarti semakin baik. Formula untuk ROA adalah: Laba Bersih Return On Asset =
x 100% Total Asset
c) Return On Equity (ROE) Return On Equity (ROE) mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan modal tertentu. Rasio ini
26
merupakan ukuran profitabilitas dilihat dari sudut pandang pemegang saham. Angka yang tertinggi untuk ROE menunjukkan tingkat profitabilitas yang tinggi. ROE dirumuskan sebagai berikut: Laba Bersih Return On Equity =
x 100% Modal Sendiri
d) Revenue Growth Rate
Revenue growth rate digunakan untuk mengukur tingkat pertumbuhan penghasilan perusahaan dengan membandingkan persentase kenaikan penghasilan dari periode sebelumnya sehingga dapat diketahui kemampuan perusahaan dalam meningkatkan penghasilannya dari tahun ke tahun. Penghasilan thn.X – Penghasilan thn. X-1
Revenue Growth Rate =
x 100% Penghasilan tahun X
2) Rasio Aktivitas (Activity Ratios), Yaitu rasio yang mengukur efektivitas manajemen perusahaan menggunakan semua sumber daya yang berada di bawah
pengendalian manajemen. Rasio aktivitas melibatkan
perbandingan antara tingkat penjualan dan investasi pada berbagai jenis harta (aset). Rasio aktivitas menganggap sebaiknya terdapat suatu keseimbangan yang layak dari penjualan dengan berbagai sumber aset, seperti: inventori, piutang, aset tetap dan aset lainnya. ada beberapa rasio aktivitas diantaranya yaitu:
27
a) Rata-Rata Umur Piutang Rata-rata umur piutang melihat berapa lama waktu yang diperlukan untuk melunasi piutang yang dipunyai oleh perusahaan (mengubah piutang menjadi kas). Semakin lama rata-rata umur piutang, berarti semakin besar dana yang tertanam pada piutang. Piutang Dagang Rata-rata Umur Piutang =
x 365 Penjualan
b) Rasio Perputaran Persediaan Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004: 75) rasio ini mengukur berapa lama rata-rata barang berada di gudang. Pemikirannya adalah bahwa kenaikan persediaan disebabkan oleh aktivitas, atau karena perubahan kenijakan persediaan. Jika terjadi kenaikan persediaan yang tidak proporsional dengan peningkatan aktivitas, maka berarti terjadi pemborosan dalam pengelolaan persediaan. Rasionya dinyatakan sebagai berikut: Harga Pokok Penjualan Perputaran Persediaan = Total Persediaan
c) Perputaran Aktiva Tetap Rasio ini mengukur seberapa banyak penjualan bisa diciptakan setiap rupiah aktiva yang dimiliki. Karena itu rasionya adalah: Penjualan Perputaran aktiva tetap = Total Aktiva
28
3) Rasio Utang (Debt Ratio), Yaitu rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai oleh utang, artinya rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memenuhi jangka panjangnya. Perusahaan yang tidak solvabilitas adalah perusahaan yang total utnganya lebih besar dibandingkan dengan total asetnya. Rasio ini memfokuskan pada sisi kewajiban perusahaan. ada beberapa macam rasio Leverage yang bisa dihitung yaitu: a) Rasio Total Utang terhadap Total Aset (Debt to Equity Ratio) Rasio yang tertinggi berarti perusahaan menggunakan utang atau financial leverage yang tinggi. Penggunaan utang yang tinggi akan meningkatkan profitabilitas, di lain pihak utang yang tinggi juga akan meningkatkan resiko. Jika penjualan tinggi, maka perusahaan bisa memperoleh keuntungan yang tinggi (karenanya membayar bunga yang sifatnya tetap). Sebaliknya, penjualan turun, perusahaaan terpaksa bisa mengalami kerugian, karena adanya beban bunga yang harus dibayarkan. Karena itu rasionya adalah: Total Utang Debt to Equity Ratio = Total Aktiva
b) Rasio Times Interest Earned (TIE) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan membayar utang dengan laba sebelum bunga dan pajak. Rasio tersebut menghitung seberapa besar laba sebelum bunga dan pajak yang tersedia untuk menutup beban tetap bunga. Rasio yang tinggi menunjukkan situasi
29
yang aman, karena tersedia dana yang lebih besar untuk menutup pembayaran bunga. Kalau TIE hanya menggunakan bebean bunga sebagai
pembaginya, rasio fixed charge coverage mengukur
kemampuan perusahaan membayar total beban tetap, yang biasanya mencakup biaya bunga dan sewa. angka yang tinggi untuk rasio fixed charge coverage menunjukkan situasi yang lebih aman (resiko rendah), meskipun dengan profitabilitas yang juga lebih rendah. Laba sebelum bunga dan pajak Times Interest Earned (TIE) = Bunga
EBIT + Biaya Sewa Fixed Charge Coverage = Bunga + Biaya Sewa
4) Rasio Likuiditas (Liquidity ratios), Yaitu rasio yang mengukur kemempuan perusahaan dalam memenuhi keuangan kewajiban (utang) jangka pendek perusahaan dengan melihat besarnya aktiva lancar relative terhadap utang lancarnya. Ada beberapa jenis rasio likuiditas yaitu: a) Rasio Lancar (Current Ratio) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi utang jangka pendeknya (jatuh tempo kurang dari 1 tahun) dengan menggunakan aktiva lancar. Rasio yang rendah menunjukkan likuiditas jangka pendek yang rendah. Rasio lancar yang tinggi menunjukkan kelebihan aktiva lancar (likuiditas tinggi dan resiko
30
rendah), tetapi mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap profitabilitas perusahaan. Aktiva Lancar Current Ratio =
x 100% Utang Lancar
b) Rasio Cepat (Quick ratio) Rasio cepat mengeluarkan persediaan dari komponen aktiva lancar. Dari ketiga komponen aktiva lancar (kas, dagang, piutang dagang, dan persediaan), persediaan biasanya aset yang paling tidak likuid. Pada rasio cepat ini angka yang tinggi mencerminkan likuiditas yang tinggi dan sebaliknya. Aktiva Lancar - Persediaan Quick Ratio =
x100% Utang Lancar
b. Perspektif Pelanggan Bagian ini merupakan sumber pendapatan perusahaan yang merupakan salah satu komponen dari sasaran keuangan perusahaan. Perspektif pelanggan menggambarkan tampilan perusahaan di mata pelanggan, hal ini merupakan konsekuensi usaha yang semakin ketat, sehingga perusahaan dituntut memahami kenutuhan pelanggan. Menurut S. Yuwono et al (2006: 33-35), perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pegukuran, yaitu: 1. Customer Core Measurement Customer Core Measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention, customer acquisition, customer statisfaction, dan customer profitability.
31
a) Market Share: pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan. b) Customer Retention: mengukur tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen. Dapat dirumuskan sebagai berikut: Jumlah Pelanggan Customer Retention =
x 100% Jumlah Pelanggan tahun sebelumnya
c) Customer Acquisition: mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru. Rumus yang digunakan untuk menghitung akuisisi pelanggan adalah: Kenaikan pelanggan Customer Acquisition =
x 100% Jumlah pelanggan tahun sebelumnya
d) Customer Statisfaction: menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition. Jumlah pelanggan yang komplain Customer Complain =
x 100% Jumlah Pelanggan
e) Customer Profitability: mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut. 2. Customer Value Propositions Customer Value Propositions merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai
32
berikut: product/service atribute, customer relationship, dan image relationship. a) Product/Service Attribute: meliputi fungsi produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasi apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya, pengukuran kinerja ditetapkan berdaarkan hal tersebut. b) Customer Relationship yaitu menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses oembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian produk ke pelanggan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka. c) Image Relationship yaitu menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan. c. Perspektif Proses Bisnis Internal Dalam perspektif proses bisnis internal, perusahaan melakukan identifikasi berbagai proses yang sangat penting, dimana perusahaan harus
33
melakukan dengan sebaik-baiknya karena proses internal tersebut memiliki nilai-nilai yang diinginkan pelanggan dan akan dapat memberikan pengambilan yang diharapkan oleh pemegang saham. Menurut Kaplan dan Norton (2000: 83) pendekatan Balance Scorecard membagi pengukuran perspektif proses bisnis internal menjadi tiga bagian yaitu: proses inovasi, proses operasi, (membuat dan menjual produk) dan proses purna jual. Gasperz membagi proses bisnis internal tersebut ke dalam tiga komponen, yaitu: 1) Proses inovasi yang mengindentifikasi kebutuhan pelanggan masa kini dan masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan pelanggan itu. 2) Proses operasional yang mengidentifikasi sumber-sumber pemborosan dalam proses operasional serta mengmbangkan solusi masalah yang terdapat dalam proses operasional itu demi meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan kualitas produk dan proses, memperpendek waktu siklus (cycle time), sehingga meningkatkan penyerahan produk berkualitas tepat waktu, dan lain-lain. 3) Menurut pelayanan
Gasperz (2005: 59) Proses pelayanan berkaitan dengan kepada
pelanggan,
seperti
pelayanan
purna
jual,
menyelesaikan masalah yang timbul pada pelanggan dalam kesempatan pertama secara tepat, melakukan tindak lanjut secara proaktif dan tepat waktu, memberikan sentuhan pribadi (personal touch), dan lain-lain.
34
d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Perspektif keempat dalam Balance Scorecard merupakan faktor pengendali dan pendorong tujuan-tujuan perspektif sebelumnya tercapai. Jika, tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya (perspektif finansial, pelanggan, dan proses bisnis internal) ditujukan untuk mencapai keberhasilan kinerja perusahaan dalam menciptakan loyalitas pelanggan, efektivitas dan efisiensi proses yang nantinya dapat mendongkrak kinerja keuangan perusahaan. Maka, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan memberikan sarana yang memungkinkan tujuan-tujuan ketiga perspektif tersebut tercapai. Menurut Kaplan dan Norton (2000: 110), terdapat tiga kategori utama dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu: 1) Kapabilitas Pekerja Salah satu perubahan yang paling dramatis dalam pemikiran manajemen selama 15 tahun terakhir adalah pergeseran peran para pekerja perusahaan. Saat ini pekerja dituntut untuk lebih kritis dan melakukan evaluasi terhadap proses dan lingkungan, dan memberikan usulan perbaikan bagi perusahaan di masa depan. 2) Kapabilitas Sistem Informasi Motivasi dan keahlian pekerja saja tidak cukup dalam menunjang pencapaian tujuan proses bisnis internal, tanpa adanya informasi yang tepat waktu, cepat dan akurat sebagai umpan balik.Dengan kemampuan sistem
informasi
yang
memadai,
kebutuhan
seluruh
tingkatan
35
manajemen dan pekerja atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. 3) Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan a) Employee Productivity merupakan pengaruh yang agregat terhadap pencapaian skill pegawai dan moral, inovasi, penyempurnaan proses internal dan memuaskan pelanggan. Rumusnya adalah: Jumlah pendapat (penjualan) Employee Productiviy = Jumlah tenaga kerja
b) Employee Retention merupakan presentasi dari Key Staff Turn Over turnover yang mengukur pegawai yang member nilai pada perusahaan yaitu pegawai yang loyal, mempunyai pengetahuan dan sensitive terhadap keinginan pelanggan, mempunyai minat jangka panjang terhadap perusahaan akan ditahan dalam perusahaan agar dilakukan investigasi untuk menghindari kehilangan Intellectuall Capital dan bisnis. Formula untuk Employee Retension adalah: Jumlah karyawan yang keluar Employee Retention =
x 100% Total karyawan
c) Employee Satisfaction merupakan moral pegawai dan tingkat kepuasannya secara keseluruhan. Total Absen Employee Absenteeism =
x 100% Total hari kerja efektif
36
6. Cara Pengukuran dalam Balance Scorecard Sasaran strategik yang dirumuskan untuk mencapai visi dan tujuan organisasi melalui strategi yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran pencapaiannya. Ada dua ukuran yang perlu ditetapkan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategik, yaitu: ukuran hasil dan ukuran pemacu kinerja. Ukuran hasil merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat keberhasilan pencapaian sasaran strategik, sedangkan ukuran pemacu kinerja merupakan ukuran yang menyebabkan hasil yang dicapai. Cara pengukuran dalam Balance Scorecard adalah mengukur secara seimbang antara perspektif yang satu dengan perspektif yang lainnya dengan tolok ukur masing-masing perspektif. Menurut Mulyadi (2001) menyatakan bahwa kriteria keseimbangan digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana sasaran strategik kita capai seimbang di semua perspektif. Skor dalam tabel kriteria keseimbangan adalah skor standar, jika kinerja semua aspek dalam perusahaan adalah “baik”. 7. Hubungan Balance Scorecard antara Visi, Misi, dan Strategi Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi dijabarkan dalam tujuan dan sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di masa depan. Tujuan juga menjadi salah satu landasan bagi perumusan strategi untuk mewujudkannya. Setiap sistem pengukuran seharusnya adalah untuk memotivasi semua manajer dan pekerja agar melaksanakan strategi unit bisnis dengan berhasil. Perusahaan yang dapat menerjemahkan strategi ke dalam sistem pengukuran
37
akan
jauh
lebih
mampu
melaksanakan
strategi
karena
dapat
mengkomunikasikan tujuan dan sasaran. Komunikasi ini memfokuskan mereka kepada berbagai faktor pendororng penting, yang memungkinkan keselarasan investasi, inisiatif dan tindakan dengan pencapaian tujuan strategi. maka Balance Scorecard yang berhasil adalah mengkomunikasikan strategi melalui sekelompok ukuran finansial dan non finansial yang terpadu. Kaplan dan Norton (2000: 27) memperkenalkan tiga prinsip yang memungkinkan Balance Scorecard dikaitkan dengan strategi perusahaan. Tiga prinsip tersebut yaitu: a. Hubungan sebab akibat Sebuah strategi adalah sekumpulan hipotesis tentang hubungan sebabakibat yang dapat dinyatakan dengan suatu urutan pernyataan jika-maka (ifthen). Atau suatu hubungan yang dapat diekspresikan melalui kaitan antara pernyataan if-then. b. Faktor pendorong kerja Semua Balance Scorecard menggunakan ukuran generik yang cenderung ukuran utama hasil, yang mencerminkan tujuan bersama berbagai strategi dan struktur yang serupa. Balance Scorecard yang baik memiliki bauran ukuran (langging indicator) dan faktor pendorong kerja (leading indicator) yang sesuai dengan strategi bisnis. Bauran ukuran mempunyai tujuan bersama
berbagai
strategi
yang dimiliki
semua
industri,
seperti
profitabilitas, pangsa pasar, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan dan keahlian pekerja. Sedangkan, faktor pendorong kinerja adalah faktor-faktor
38
khusus yang terdapat pada unit bisnis tertentu yang mencerminkan keunikan dari strategi itu. c. Keterkaitan dengan masalah keuangan Keberhasilan perusahaan dalam mencapai berbagai tujuan seperti kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan karyawan tidak akan memberikan perbaikan apabila hal tersebut hanya dianggap tujuan akhir. Sebuah Balance Scorecard harus tetap menitikberatkan kepada hasil, terutama yang bersifat keuangan seperti nilai tambah ekonomis. 2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran Balance Scorecard yang disajikan dalam penelitian ini adalah:
Kinerja Manajemen
Visi
Misi
Balance Scorecard
Perspektif Keuangan
Perspektif Pelanggan
Perspektif Proses Bisnis Internal
Gambar 2 Rerangka Pemikiran
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan