HUBUNGAN DERAJAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP PENERIMAAN SOSIAL PADA MANTAN PENDERITA PENYAKIT KUSTA (Studi Eksplanatif tentang Stigmatisasi dan Penerimaan Sosial Pada Mantan Penderita Penyakit Kusta di Desa Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan)
ARTIKEL
Disusun oleh: Aditya Candra Lesmana NIM: 071014073
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Gasal / Tahun 2013/2014
Abstract Former Leprosy patients still get the stigma and discrimination in society though has been declared cured of his illness. The stigma and discrimination against former Leprosy patients indirectly disrupt the lives of former Leprosy patients either in social or economic life. Stigma and discrimination against former leper allegedly because people have the degree of public knowledge about the disease is low. This study intends to answer the relations degree of knowledge about the disease against social acceptance of the former leprosy patients. Theories used were the social pathology Kartini Kartono, model of behavior change by Lawrence Green, attitude change models by Kelman, behavioral adjustment by Robert K. Merton, as well as a reaction to changes by Widjaja. This study uses quantitative research methods with the type of research that using formulas explanative Pearson Product Moment correlation. While the sampling technique used is the technique Cochran with sampling method is cluster random sampling. This study conducted in the village Sidomukti, District Brondong, Lamongan with a sample of 100 respondents was taken. The results obtained in this study known if the degree of public knowledge about leprosy is low. It is also known that the social acceptance of the former leprosy patients is low. These two variables then tested and showed that there is a relationship between the degree of public knowledge about leprosy to the social acceptance of the former leper. Keywords : Former Leprosy Patients, The Stigma, Discrimination, Degree of Public Knowledge, Social Acceptance
1
PENDAHULUAN Penyakit kusta atau yang lebih dikenal sebagian besar orang dengan nama penyakit lepra (leprosy) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang masuk melalui kulit dan mukosa hidung. Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1873.1 Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan pada para penderita penyakit kusta.2 Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit tropis atau tropical disease yang mewabah di Indonesia dan belum dapat ditanggulangi sepenuhnya oleh pemerintah karena masih banyaknya orang yang menderita penyakit tersebut. Penyakit tropis atau tropical disease merupakan penyakit yang muncul pada daerah-daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis seperti Indonesia. Usaha Indonesia untuk menangani permasalahan penyakit kusta yang terjadi pada masyarakatnya memperlihatkan keberhasilan ketika Indonesia berhasil mencapai angka eliminasi kusta di tahun 2000 di mana pada tahun itu jumlah prevalensi penderita kusta di Indonesia dapat ditekan hingga di bawah 1 per 10.000 penduduk di Indonesia. Provinsi Jawa Timur merupakan Provinsi yang menyumbang angka penderita kusta terbesar di Indonesia. Penderita penyakit kusta di Jawa Timur juga mengalami kenaikan dan penurunan jumlah penderitanya, hal ini dilihat berdasarkan data yang didapatkan dari tahun 2009 hingga tahun 2012. pada tahun 1
Depkes R.I. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2007. 2 Subdirektorat Kusta dan Frambusia. Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. 2007.
2
2009 jumlah penderita penyakit kusta yang dapat ditemukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur diketahui sebanyak 6.392 jiwa. 3 Jumlah penderita kusta di Jawa Timur kemudian mengalami penurunan pada tahun 2010, dari data yang diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur diketahui pada tahun tersebut jumlah penderita penyakit kusta sebanyak 5.496 jiwa. Namun jumlah penderita penyakit kusta kembali naik menjadi 6.157 jiwa pada tahun 2011. Jumlah penderita penyakit kusta di Jawa Timur kembali mengalami penurunan pada tahun 2012, dari data yang berhasil didapatkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur diketahui bahwa pada tahun tersebut jumlah penderitanya adalah sebanyak 5.570 jiwa. Adapun beberapa wilayah Kabupaten atau Kota di provinsi Jawa Timur yang menjadi daerah endemik dari penyakit kusta seperti Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Pamekasan, Kota Tuban, Kota Probolinggo dan Kabupaten Lamongan. Daerah – daerah tersebut memiliki prevalensi rate penderita penyakit kusta cukup tinggi yaitu lebih dari 1 : 10.000 penduduk.4 Penyakit kusta tidak hanya menimbulkan permasalahan medis, akan tetapi juga menimbulkan permasalahan non-medis. Dalam hal ini, penanganan penyakit kusta secara non-medis juga diperlukan oleh para penderita karena permasalahan penyakit kusta tidak hanya menyangkut pada permasalahan medis saja, akan tetapi permasalahan penyakit kusta juga merupakan suatu permasalahan sosial. Kusta dapat menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang disebabkan karena munculnya persepsi yang beragam yang berkembang di masyarakat terhadap penyakit
3 4
Dinkes Provinsi Jawa Timur. Analisa Tahunan P2 Kusta. 2012. Ibid.
3
kusta itu sendiri. Adanya persepsi yang salah mengenai penyakit kusta menyebabkan para penderita penyakit kusta mengalami berbagai macam problematika dalam kehidupan sosialnya. Hingga sampai pada saat ini penyakit kusta masih dianggap oleh masyarakat sebagai penyakit kutukan dan merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Adanya anggapan dari masyarakat tentang orang yang mendapatkan kutukan, mendapatkan penyakit berbahaya dan harus dijauhi menyebabkan para penderita penyakit kusta sering mendapatkan diskriminasi di dalam kehidupan sosialnya. Selain terjadi tindakan diskriminasi yang diterima, para penderita penyakit kusta juga mendapat stigma dari masyarakat yang diduga disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta. Stigma adalah cap atau persepsi negatif seseorang atau golongan akan kehidupan kita atau kegiatan yang kita lakukan.5 Stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap penderita penyakit kusta akan terus melekat terhadap penderita penyakit kusta meskipun penderita kusta tersebut secara medis telah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta yang dideritanya. Dugaan mengenai kurangnya pengetahuan pada masyarakat mengenai penyakit kusta semakin diperkuat dengan masih terjadinya diskriminasi dan stigma yang diberikan terhadap para mantan penderita kusta. Adanya stigma yang melekat pada penyakit kusta juga membuat para mantan penderita kusta mengalami hambatan untuk melaksanakan aktivitas sehari-harinya. Meskipun sudah dinyatakan sembuh dari penyakitnya, perlakuan diskriminatif terhadap mantan penderita kusta masih
5
“Hidup Dalam Stigma Hidup Terpenjara,” http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/01/16/hidupdalam-stigma-hidup-terpenjara-431333.html (diakses pada tanggal 31 Maret 2013).
4
terjadi di lingkungan tempat tinggalnya di mana masyarakat mengucilkan dan tidak mau bergaul dengan para mantan penderita kusta tersebut karena adanya perasaan takut ketularan bahkan ada beberapa penderita kusta yang diceraikan oleh istrinya karena pernah mengidap penyakit kusta.6 Dengan terjadinya banyak kasus yang merujuk pada tindakan diskriminasi dan pemberian stigma terhadap mantan penderita kusta memperkuat adanya dugaan mengenai rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit kusta. Sehingga berdampak pada munculnya berbagai persepsi di antara masyarakat dalam penerimaan sosial terhadap para mantan penderita kusta. Adanya anggapan berbeda tersebut muncul dengan melihat pada realitas di lapangan di mana terdapat sebagian masyarakat yang menerima dan sebagian masyarakat yang masih menolak kehadiran dari para mantan penderita kusta tersebut karena dianggap memiliki penyakit yang mudah menular, tidak dapat disembuhkan dan penyakit kutukan Tuhan. Penerimaan sosial merupakan segala bentuk usaha dan perlakuan baik bersifat menerima ataupun menolak yang diberikan pada masyarakat terhadap orang lain di mana dalam hal ini orang lain yang dimaksudnya dapat merupakan anggota masyarakat di lingkungannya (intern) ataupun yang berasal dari luar masyarakatnya (ekstern). Dalam usaha untuk melakukan penerimaan sosial, masyarakat tidak hanya sekedar untuk mempersilahkan seseorang untuk hidup di lingkungannya, akan tetapi juga melakukan kontak sosial seperti berinteraksi dan berkomunikasi seperti pada umumnya. 6
“Keluh Kesah Mantan Penderita Kusta,” http://www.tempo.co/read/news/2012/07/18/173417675/Keluh-Kesah-Mantan-Penderita-Kusta (diakses pada tanggal 31 Maret 2013).
5
Pada uraian di atas telah dijelaskan bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh mantan penderita kusta dalam kehidupannya sehari-hari. Masalah yang terjadi pada mantan penderita kusta tersebut menarik untuk dilakukan kajian dalam bentuk studi atau penelitian untuk mengetahui bagaimana hubungan derajad pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta. Adapun lokasi yang digunakan dalam studi ini adalah di Desa Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Desa Sidomukti diambil karena desa tersebut merupakan salah satu desa yang menjadi kantung kusta di Kecamatan Brondong. Kecamatan Brondong sendiri merupakan salah satu kantung kusta yang ada di Jawa Timur. Pemilihan lokasi diperkuat dengan adanya anggapan yang berbeda mengenai mantan penderita kusta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dengan tipe penelitian eksplanatif. Adapun penarikan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan sampel berupa cluster random sampling dengan jumlah sampling sebanyak 100 responden yang tiap-tiap respondennya mewakili 1 kepala keluarga yang ada di Desa Sidomukti.
KAJIAN TEORITIK Untuk dapat menjawab permasalahan pada studi ini tentunya digunakan teoriteori yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Adapun teori-teori tersebut antara lain adalah teori Penyesuaian Perilaku dari Robert King Merton, model 6
perubahan sikap dari Kelman, model perubahan perilaku dari Lawrence Green teori patologi sosial serta teori reaksi terhadap perubahan atau inovasi. Teori yang digunakan tersebut memiliki relevansi dengan rumusan masalah yang diambil di mana untuk dapat mengetahui derajat pengetahuan masyarakat digunakan teori patologi sosial serta perubahan perilaku Lawrence Green. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana penerimaan sosial terhadap mantan penderita penyakit kusta digunakanlah teori penyesuaian perilaku dari Merton, model perubahan sikap dari Kelman, serta konsep reaksi terhadap perubahan. Berikut akan dijelaskan mengenai masing – masing teori tersebut. Pada teori Patologi Sosial dijelaskan bahwa dalam suatu masyarakat yang sehat paling tidak akan ditemukan kelompok masyarakat yang mengalami patologi dan abnormalitas, seperti adanya kelompok-kelompok masyarakat yang berbuat jahat.7 Pada studi ini, kelompok masyarakat yang mengalami patologi dan abnormalitas bukanlah kelompok yang berbuat jahat, akan tetapi para mantan penderita kusta. Kondisi dari para mantan penderita kusta yang pernah mengalami penyakit kusta dianggap menyimpang karena kondisi yang dialami oleh para mantan penderita penyakit kusta tersebut dianggap tidak normal, tidak diinginkan atau buruk sehingga dapat disebut sebagai patologis. Menurut pendapat kaum patologis, yang dianggap menyimpang adalah suatu kondisi umum yang tidak sehat dan didasarkan pada parameter anggota masyarakat yang memiliki norma-norma umum bertingkah
7
Tuti Budirahayu, Buku Ajar Sosiologi Perilaku Menyimpang, (Surabaya: Revka Petra Media, 2013), hal. 75.
7
laku yang dapat diterima (sehat). Jadi orang-orang atau situasi yang menyimpang atau berbeda dari harapan masyarakat adalah mereka yang dianggap “sakit”. Teori kedua yang digunakan dalam studi ini adalah model perubahan perilaku Lawrence Green, di mana menurut Green kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor yaitu faktorfaktor predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap suatu program dan terhadap kesehatan pada umumnya. 8 Derajat pengetahuan akan sangat mempengaruhi bagaimana penerimaan sosial terhadap para mantan penderita penyakit kusta, disamping itu juga perlu diketahui bagaimana faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap mantan penderita kusta. Setelah mengetahui bagaimana model perubahan perilaku Lawrence Green, selanjutkan akan dibahas bagaimana model perubahan sikap kelman untuk mengukur
8
Solita Sarwono, Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hal. 64-65.
8
penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta. Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan beberapa tahap yaitu kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi.
9
Kelman menekankan pentingnya
proses internalisasi nilai-nilai di dalam masyarakat agar terjadi perubahan sikap terhadap suatu penyakit. Proses internalisasi harus didukung oleh peran aktif tenaga medis dan tokoh masyarakat yang kemudian menjadi panutan bagi masyarakat agar tercipta internalisasi di dalam diri individu-individu yang ada di masyarakat. Selain menggunakan model perubahan sikap Kelman, penerimaan sosial juga di ukur dengan menggunakan teori penyesuaian perilaku yang dijabarkan oleh Robert King Merton. Teori penyesuaian perilaku dari Merton terdiri dari lima kategori bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya (dalam hal ini adalah kehadiran para mantan penderita penyakit kusta). Adapun kelima kategori tersebut yaitu kepatuhan (conformity), ritualisme (ritualism), pemberontakan (rebellion), inovasi (innovation), dan menarik diri (retreatism). Conformity adalah bentuk adaptasi yang paling umum dilakukan oleh anggota masyarakat. Konformitas adalah melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan norma-norma masyarakat dan tidak melakukan penyimpangan. Atau dengan kata lain, tindakan antara tujuan-tujuan cultural dan cara-cara yang sah terinstitusional sejalan.10 Sedangkan innovation adalah salah satu bentuk adaptasi yang melibatkan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara kultural oleh masyarakat. 11
9
Ibid,. hal. 69. Tuti Budirahayu, Op.Cit. hal. 134. 11 Ibid,. hal. 135. 10
9
Ritualism adalah bentuk adaptasi dengan tindakan ritual. Ritualisme adalah tindakan yang diambil individu dengan menjadi ritualis (orang yang selalu taat atau tunduk kepada tata cara atau aturan atau orang yang menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat tanpa mengharapkan untuk mendapatkan tujuan-tujuan status atau kulturalnya (menghindari kehidupan atau kemewahan duniawi).12 Retreatism adalah bentuk adaptasi dengan melakukan tindakan pengasingan atau penarikan diri karena menganggap bahwa tujuan kelompok yang ingin dicapai tidak lagi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh individu tersebut sehingga individu tersebut kemudian melakukan tindakan menarik diri dari masyarakat. Individu tersebut akan mengucilkan diri dari rekan-rekan sekelompok atau sama sekali pergi meninggalkan kelompok tersebut.13 Rebellion adalah bentuk adaptasi dengan melakukan pemberontakan. Tindakan tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau mencapai atau mengabaikan tujuan-tujuan statusnya dan melakukan pemberontakan terhadap hal-hal yang sudah lazim. Melalui pemberontakan tersebut mereka mencoba untuk menyusun suatu struktur sosial yang baru atau berubah sama sekali dari yang sudah ada dan menata tujuan-tujuan dan cara-cara yang baru, daripada mereka harus menyesuaikan diri dengan cara-cara tradisional yang telah ditetapkan oleh masyarakat.14 Teori terakhir yang digunakan dalam studi ini adalah reaksi terhadap perubahan yang dikemukakan oleh Widjaja di mana menurut Widjaja terdapat 5 12
Ibid. Ibid. 14 Ibid. 13
10
faktor yang menjadi penentu penerimaan sosial terhadap adanya perubahan baik di bidang teknik, kesehatan maupun kebudayaan. Faktor pertama adalah keterbukaan masyarakat di mana masyarakat yang terbuka akan lebih mudah untuk menerima terjadinya perubahan di masyarakat. Faktor kedua adalah intensitas unsur keagamaan di mana jika aspek keagamaan dalam suatu masyarakat sangat mendominasi, maka besar kemungkinan perubahan pemikiran terhadap mantan penderita kusta akan susah untuk terjadi. Faktor ketiga adalah struktur sosial masyarakat di mana pada struktur masyarakat yang otoriter, perubahan akan susah untuk diterima kecuali perubahan yang terjadi tersebut dianggap memiliki manfaat bagi pemimpinnya. Faktor keempat adalah kemiripan dengan unsur budaya asli di mana apabila perubahan yang terjadi dianggapnya memiliki kesamaan dengan budaya yang lama sehingga akan lebih mudah diterima. Sedangkan faktor terakhir adalah bukti kemanfaatan ide baru itu, dalam hal ini Anggota masyarakat akan lebih mudah menerima suatu inovasi yang dapat dibuktikan kemanfaatannya secara nyata, daripada sesuatu yang abstrak.
PEMBAHASAN Berdasarkan data yang telah didapatkan di lapangan, diketahui bahwa pada variabel derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta adalah rendah. Hal ini dibuktikan dengan total skoring yang dilakukan setelah melakukan wawancara dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner terhadap responden yang merupakan sample dalam studi ini. Berikut ini adalah total skoring pada variabel derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta : 11
Total Skoring Variabel Derajat Pengetahuan Masyarakat tentang Penyakit Kusta Kategori Frekuensi Persentase Rendah (38-78) 51 51 Sedang (79-119) 41 41 Tinggi (> 120) 8 8 Total 100 100
Apabila melihat dari data yang ada pada tabel di atas, dapat diketahui jika masyarakat di desa Sidomukti tergolong memiliki derajat pengetahuan tentang penyakit kusta yang rendah dengan persentase sebesar 51%. Rendahnya derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta tersebut dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara-cara penularan penyakit kusta. Dengan mengetahui penularan penyakit kusta, masyarakat seharusnya tidak lagi takut dengan penyakit kusta yang selama ini dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan. Penyakit kusta memang menular melalui udara, demikian pula dengan air dan melakukan hubungan intens dengan penderita kusta itu sendiri, namun masyarakat banyak yang tidak mengetahui bagaimana cara-cara penularan penyakit kusta tersebut. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya salah pemahaman tentang penyakit kusta yang sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat. Pemahaman yang salah tersebut dapat diketahui dari masyarakat yang menganggap bahwa penyakit kusta dapat menular melalui makanan dan minuman. Disamping itu masyarakat juga banyak yang tidak tahu jika penyakit kusta disebabkan oleh bakteri dan munculnya bakteri tersebut disebabkan oleh pola hidup tidak bersih serta lingkungan yang kotor. Rendahnya derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta, selain karena sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang cara-cara penularan 12
penyakit kusta, juga disebabkan karena masyarakat tidak mengetahui gejala penyakit kusta seperti munculnya bercak-bercak putih, kulit yang mati rasa dan atau kesemutan, munculnya bercak-bercak merah, serta rontoknya bulu mata orang yang terkena penyakit kusta. Pengetahuan tentang gejala penyakit kusta sangatlah perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi ini sangatlah perlu apabila melihat kondisi masyarakat yang masih menganggap bahwa penyakit kusta adalah penyakit kutukan Tuhan, penyakit keturunan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti apa yang ada dalah pemahaman masyarakat dalam studi ini. Dengan mengetahui bagaimana gejala penyakit kusta, masyarakat akan dapat mengambil tindakan dini apabila menderita penyakit kusta sehingga resiko kecacatan akan dapat diminimalisir. Apabila penderita kusta mengalami kecacatan, maka kecacatan inilah yang kemudian menyebabkan dirinya mendapatkan tindakan diskriminasi serta menerima stigma dari masyarakat sebagai orang yang menerima penyakit kutukan dari tuhan, orang yang memiliki penyakit menyeramkan dan sebagainya. Masyarakat sampai saat ini juga masih menganggap bahwa penyakit kusta tidak dapat disembuhkan. Dalam hal ini, masyarakat juga masih tidak mengetahui tipe penyakit kusta karena yang diketahui masyarakat hanyalah penyakit kusta adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun demikian, masyarakat mengetahui jika pada saat ini telah ada obat untuk menyembuhkan penyakit kusta. akan tetapi masyarakat masih tidak percaya jika obat tersebut dapat menyembuhkan penderita penyakit kusta. Apabila melihat ketidakpercayaan dari masyarakat jika penyakit kusta dapat disembuhkan tersebut, dapat diketahui bagaimana kuatnya stigma yang ada di masyarakat terhadap penyakit kusta. Para penderita seringkali mendapatkan tindakan 13
diskriminatif karena adanya stigma tentang penyakit kusta, diskriminasi tersebut tidak akan hilang begitu saja meskipun penderita telah dinyatakan sembuh dari penyakit kustanya. Sosialisasi tentang penyakit kusta perlu untuk dilakukan, karena pengobatan saja tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan penyakit kusta. Sosialisasi juga diperlukan untuk mengurangi stigma serta tindakan diskriminasi yang diberikan terhadap mantan penderita penyakit kusta. Akan tetapi pada kenyataannya sosialisasi tentang penyakit kusta hingga saat ini tidak pernah dilakukan terhadap masyarakat sehingga masyarakat masih belum menerima informasi tentang penyakit kusta dan cara penyembuhannya. Karena tidak adanya sosialisasi tersebut, kemudian membuat pemikiran masyarakat hanya berputar pada ketakutan-ketakutan yang disebabkan dari penderita kusta yang dianggap menyeramkan. Sedangkan pada variabel penerimaan sosial pada mantan penderita kusta diketahui jika masyarakat di desa Sidomukti memiliki penerimaan sosial yang rendah terhadap mantan penderita kusta. Berikut total skoring pada variabel penerimaan sosial pada mantan penderita kusta : Total Skoring Variabel Penerimaan Sosial pada Mantan Penderita Kusta
Kategori Rendah (24-48) Sedang (49-72) Tinggi (> 73) Total
Frequency 65 25 10 100
14
Percent 65 25 10 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bagaimana penerimaan sosial masyarakat di desa Sidomukti pada mantan penderita kusta. Masyarakat masih menolak kehadiran mantan penderita kusta di lingkungan mereka yang dibuktikan dengan masih rendahnya penerimaan sosial pada mantan penderita dengan persentase sebesar 65%. Penolakan dari masyarakat tersebut terlihat karena sebagian besar masyarakat merasakan dirinya tidak nyaman dengan kehadiran mantan penderita kusta di lingkungan mereka. Ketidaknyamanan masyarakat tersebut terlihat dari masyarakat yang tidak menyukai adanya mantan penderita kusta di lingkungan mereka. Selain tidak nyaman, masyarakat juga menolak eksistensi mantan penderita kusta dalam bermasyarakat. Adapun contoh dari penolakan tersebut adalah masyarakat yang enggan untuk mengundang para mantan penderita kusta ketika memiliki acara/hajatan. Disamping itu, masyarakat juga memberikan pembedaan terhadap piring dan gelas yang diberikan terhadap mantan penderita kusta apabila mantan penderita kusta tersebut hadir dalam acara atau hajatan di rumah anggota masyarakat. Piring dan gelas yang dibedakan tersebut, pada umumnya akan dibuang agar tidak menularkan penyakit kusta terhadap dirinya. Anggapan ini jelas sekali menunjukkan jika mantan penderita kusta belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Adanya penolakan tersebut juga disebabkan karena masyarakat memiliki derajat pengetahuan rendah tentang penyakit kusta. Selain tidak mengundang mantan penderita kusta dalam acara hajatan, sebagian besar masyarakat juga tidak mau menghadiri acara hajatan yang dilakukan di rumah mantan penderita penyakit kusta, jika hadir dalam acara tersebut, pada umumnya masyarakat tidak akan bersedia makan dan minum suguhan yang diberikan 15
oleh mantan penderita penyakit kusta. Masyarakat bersedia makan dan minum apabila makanan dan minuman tersebut adalah air minum kemasan serta makanannya pesan atau catering. Masyarakat kemudian juga tidak bersedia untuk makan dan minum menggunakan peralatan yang dimiliki oleh mantan penderita kusta. Pengetahuan tentang penyakit kusta memang menjadi kunci bagaimana penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta, hal ini disebabkan karena masyarakat yang melakukan stigma dan diskriminasi terhadap mantan penderita kusta memiliki kecenderungan tidak banyak tahu tentang penyakit kusta. Karena tidak mengetahui bagaimana penyakit kusta itu, menyebabkan masyarakat melakukan penolakan-penolakan baik secara sosial ataupun ekonomi. Penolakan secara sosial tersebut diperkuat dengan adanya anggota masyarakat yang tidak mau membantu mantan penderita kusta dalam acara kerja bakti di Desa. Penolakan dalam bentuknya yang lain juga dapat dilihat dari respon masyarakat ketika duduk di dekat mantan penderita kusta dalam acara hajatan di Desa. Masyarakat cenderung enggan untuk duduk di dekat mantan penderita penyakit kusta, akan tetapi masih terdapat sebagian masyarakat yang mau untuk duduk di dekat mantan penderita kusta meskipun memiliki ketakutan akan tertular penyakit kusta. Secara ekonomi, penolakan terhadap mantan penderita kusta juga terlihat dari respon masyarakat ketika memiliki teman kerja yang merupakan mantan penderita kusta. Masyarakat menolak untuk bekerja sama dengan mantan penderita kusta dalam pekerjaan yang dilakukannya. Disamping itu, masyarakat juga tidak menginginkan untuk memiliki pekerja yang merupakan mantan penderita penyakit kusta, meskipun demikian masih terdapat warga yang menerima mantan penderita kusta untuk bekerja 16
di sawah ataupun usaha miliknya. Lebih jauh dalam pertanyaan yang dilontarkan pada masyarakat, diketahui jika masyarakat masih ragu-ragu untuk menerima mantan penderita kusta di lingkungan mereka. Setelah melakukan pengukuran terhadap variabel derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta dan penerimaan sosial pada mantan penderita kusta, kemudian dilakukan tes statistik dengan menggunakan tes statistik product moment Pearson untuk mengetahui bagaimana hubungan dua variabel tersebut. Berdasarkan hasil tes statistik yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat hubungan antara variabel derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta dengan koefisien korelasi sebesar 0,697 dengan taraf kepercayaan sebesar 99%. Korelasi antara kedua variabel tersebut dikatakan kuat atau reliabel karena koefisien korelasi dari hubungan kedua variabel tersebut terletak di antara 0,61 s.d. 0,80. Hasil analisis yang terdapat pada tabel di atas juga menunjukkan bahwa korelasi antara derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap peneriman sosial pada mantan penderita penyakit kusta memiliki pola hubungan yang searah atau positif. Oleh karena korelasi di antara kedua variabel tersebut menunjukkan pola hubungan positif atau searah, maka dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta, maka semakin tinggi penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta.
KESIMPULAN 17
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Derajat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan tergolong rendah. Rendahnya derajat pengetahuan tersebut dapat diketahui melalui hasil skoring yang dilakukan terhadap jawaban dari responden. Disamping itu rendahnya derajat pengetahuan diketahui karena sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bagaimana cara-cara penularan penyakit kusta, apakah yang menjadi penyebab penyakit kusta, bagaimana gejala penyakit kusta, berapa lama masa inkubasi dari penyakit kusta bagaimana cara mengobati penyakit kusta. 2. Penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta di Desa Sidomukti tergolong rendah. Rendahnya penerimaan sosial tersebut disebabkan karena masyarakat memiliki pemahaman yang salah tentang penyakit kusta, sehingga berdampak terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita kusta. Masyarakat menganggap bahwa mantan penderita kusta masih mengidap penyakit kusta, anggapan ini didasarkan atas pemahaman sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Terdapat hubungan antara derajat pengetahuan tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,697 pada taraf kepercayaan 99%. Hubungan di antara kedua variabel tersebut dikatakan kuat dan memiliki arah hubungan yang positif, artinya semakin tinggi derajat pengetahuan 18
masyarakat tentang penyakit kusta, maka semakin tinggi pula penerimaan sosial pada mantan penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA Depkes R.I. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2007. Subdirektorat Kusta dan Frambusia. Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. 2007. Dinkes Provinsi Jawa Timur. Analisa Tahunan P2 Kusta. 2012. Widyanto, Eko. Keluh Kesah Mantan Penderita Kusta. Sumber diperoleh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/07/18/173417675/Keluh-KesahMantan Penderita-Kusta. Diakses pada tanggal 31 Maret 2013. Yuniar, Mochamad. Hidup dalam Stigma=Hidup Terpenjara. Sumber diperoleh dari http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/01/16/hidup-dalamstigma- hidup-terpenjara-431333.html. Diakses pada tanggal 31 Maret 2013. Budirahayu, Tuti. Buku Ajar Sosiologi Perilaku Menyimpang (Surabaya: Revka Petra Media. 2013) Sarwono, Solita. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2007)
19