INDUSTRI KREATIF MERCHANDISE OLAHRAGA DAN SUPORTER KLUB PERSATUAN SEPAKBOLA INDONESIA BANDUNG (PERSIB) (Studi Kasus: The Original Viking Persib Fanshop) Mochamad Aditya Septigap Rochman Achwan Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Depok 16424, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini meneliti perkembangan industri kreatif merchandise di dalam suporter klub sepak bola, khususnya suporter klub sepak bola Persib Bandung yang memiliki industri kreatif merchandise The Original Viking Persib Fanshop. Konsep yang digunakan adalah creative industry, contextual knowledge, arena, jaringan sosial, dan produk budaya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, peneliti melakukan wawancara mendalam dan observasi langsung terhadap subjek yang diteliti serta mengkaji berbagai literatur terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa inovasi produk yang dihasilkan oleh industri kreatif merchandise The Original Viking Persib Fanshop ini dipengaruhi oleh suporter Viking Persib Club dan masyarakat kota Bandung, serta adanya hubungan atau jaringan sosial dengan pihak terkait, seperti konveksi pakaian, industri kreatif lain (merek lain), media massa, pihak sponsor atau perusahaan, serta para pemain dan official Persib Bandung. Kata kunci: industri kreatif, merchandise, suporter, jaringan sosial Creative Sports Merchandise Industry and Club Supporters of Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (PERSIB) (Case Study: The Original Viking Persib Fanshop) ABSTRACT This paper examines the development of creative merchandise industries in the fans of football team, especially fans of Persib Bandung football team who has a creative merchandise industry called “The Original Viking Persib Fanshop”. The concept used is the creative industry itself, contextual knowledge, arena, social networks, and cultural products. This study uses a qualitative approach in which the researcher conducted in-depth interviews, direct observation of the studied subjects and review the related literature. The results of this study indicate that product innovation produced by the creative merchandise industry “The Original Viking Persib Fanshop” is influenced by Viking Persib Bandung supporters and the community, the association or social network with the related parties, such as convection industry of clothing, other creative industries (other brands), mass media, sponsors or companies, as well as the players and the official of Persib Bandung. Keyword: creative industry, merchandise, supporter, social network
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari oleh seluruh masyarakat didunia dan seiring dengan perkembangan zaman, popularitas sepak bola mampu menarik minat banyak penggemar baru yang membuatnya menjadi salah satu olahraga mendunia (fifa.com, 2012). Namun dibalik permainannya tersebut, sepak bola menyimpan potensi bisnis yang sangat menguntungkan. Banyak peluang bisnis yang dapat dikembangkan dalam dunia sepak bola. Salah satunya merchandise atau pernak-pernik dari klub sepak bola terkenal, baik itu klub sepak bola nasional maupun internasional. Di Indonesia, industri kreatif merchandise sepak bola masih dalam proses perkembangan, hanya ada beberapa klub besar yang memiliki suporter banyak dan sangat fanatik, seperti Persib Bandung, Arema Indonesia, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura, dan Sriwijaya FC (republika.co.id, 2013). Hal ini mendorong manajemen klub maupun suporter dalam memaksimalkan industri kreatif merchandise. Berdasarkan laporan ekonomi (2008: 2) dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia, bahwa kontribusi industri kreatif mampu menciptakan lapangan kerja dengan menyerap 5,4 juta tenaga kerja nasional dengan persentase sebesar 5,79% dan mempertinggi ekspor Indonesia pada tahun 2006 sebesar 9,13%. Dari data tahun 2010 (indonesia.go.id, 2010) bahwa industri kreatif yang paling berkembang di Indonesia terdapat pada sub-sektor fashion yang mencapai 40,8%, dimana merchandise masuk kedalam kategori tersebut. Menurut United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) (2008:9) industri kreatif sub-sektor fashion dapat dikatakan sebagai kreativitas artistik, karena berhubungan dengan imajinasi yang mampu menghasilkan bentuk gambar baru. Di Indonesia terdapat beberapa klub yang mempunyai suporter dengan jumlah yang besar dan sangat fanatik, sehingga mempunyai pangsa pasar merchandise yang besar. Hal inilah yang mendorong Arema Indonesia dan Suporter Viking Persib Club mengembangkan industri kreatif merchandise untuk membiayai keuangan klub dan suporter. Berkembangnya industri merchandise ini juga tidak lepas karena sepak bola di Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi menuju industrialisasi, dimana anggaran pengelolaan klub tidak lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melainkan berasal dari pengelolaan bisnis klub itu sendiri untuk memberikan pemasukan bagi keuangan klub. Hal ini karena adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59/2007, yang berisikan bahwa klub-klub tersebut tidak lagi menerima dana APBD
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
(persib.co.id, 2013). Hal ini secara tidak langsung mendorong klub-klub sepak bola di Indonesia harus bisa memaksimalkan aspek-aspek yang dapat memberikan pemasukan klub, salah satunya dengan mengembangkan industri kreatif merchandise. Hal ini membuat manajemen klub Arema Indonesia (wearemania.net, 2010) membuat sistem hang tag atau label resmi Arema Indonesia sejak musim kompetisi 2009-2010 hingga saat ini untuk membiayai keuangan klub. Melalui penjualan merchandise ini Arema mendapatkan 10% dari harga jual merchandise, sedangkan untuk anggota asosiasi mendapatkan 7,5% dari harga jual merchandise. Bukan hanya Arema Indonesia saja yang mempunyai industri merchandise, namun suporter Persib Bandung yang bernama Viking Persib Club (issuu.com, 2013) juga mempunyai industri kreatif merchandise yang telah berdiri sejak 8 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2006 yang merupakan awal mula The Original Viking Persib Fanshop dirintis. Berdirinya The Original Viking Persib Fanshop ini berawal dari tidak adanya merchandise resmi bagi para anggota suporter Viking Persib Club, yang membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan merchandise Persib Bandung. Terdapat dua industri kreatif yang dikelola oleh suporter klub sepak bola, namun yang membedakan keduanya adalah Aremania pada awalnya mengembangkan industri kreatif merchandise secara independen atau mandiri namun pada tahun 2009 pengelolaan dan pengembangannya bergabung dengan pihak klub sehingga adanya campur tangan dari pihak manajemen klub. Industri kreatif merchandise Viking Persib Club yang sejak awal berdiri hingga saat ini pengembangan dan pengelolaannya dilakukan secara independen atau mandiri tanpa ada campur tangan dari pihak klub. Penelitian yang akan dilakukan ini, akan melihat bagaimana industri kreatif merchandise Viking Persib Club yang bernama The Original Viking Persib Fanshop dapat berkembang dan bertahan sejak tahun 2006 hingga saat ini. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana industri kreatif dapat dikembangkan oleh suporter klub sepak bola, yang mempunyai latar belakang berbeda-beda dan beragam serta tidak adanya campur tangan dari pihak manajemen klub. Oleh karena itu, rumusan masalah yang diajukan adalah Bagaimana The Original Viking Persib Fanshop ini mengembangkan inovasi produk mereka agar dapat terus bersaing dan bertahan dipasar ekonomi hingga saat ini? Bagaimana jumlah suporter yang banyak ini berperan menjadi aktor yang dapat mempengaruhi perkembangan The Original Viking Persib Fanshop? Bagaimana The Original Viking Persib Fanshop ini mengembangkan jaringan sosial mereka? Bagaimana The Original Viking Persib Fanshop ini mengembangkan teknologi dan strategi pemasaran mereka, contohnya seperti teknologi produksi, media sosial,
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
dan sebagainya? Apakah jumlah suporter Viking Persib Club ini dapat berperan menjadi aktor yang mempengaruhi perkembangan The Original Viking Persib Fanshop? Penelitian ini dilakukan di Jl. Riau No. 199, Bandung. Alasan ini ditunjang karena di kota Bandung informan bertempat tinggal, juga di kota ini menjadi pusat dari kegiatan industri kreatif The Original Viking Persib Fanshop serta pusat berkumpul suporter Viking Persib Club. Selain itu, dalam waktu yang cukup lama peneliti akan rutin berkunjung ke lokasi tersebut, untuk melakukan pendekatan dengah seluruh aktor yang terlibat dalam perkembangan industri kreatif tersebut. Peneliti mempunyai thesis statement yang digunakan sebagai sangkar, yang nantinya akan dibuktikan dalam penelitian ini. Peneliti melihat bahwa adanya pengaruh dari suporter maupun masyarakat di kota Bandung terhadap inovasi produk mereka serta adanya kerjasama atau kelekatan dengan industri kreatif lain, pemerintah, dan pihak terkait lainnya. Hal inilah yang mendukung proses perkembangan The Original Viking Persib Fanshop sehingga mampu bertahan hingga saat ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan proses pengembangan inovasi produk, pengaruh jumlah suporter Persib Bandung, proses pengembangan jaringan sosial, seperti hubungan dengan industri kreatif lainnya, pemerintah, dan pihak-pihak terkait lainnya, serta pengembangan teknologi dan strategi pemasaran, seperti teknologi mesin untuk memproduksi, media sosial, dan sebagainya.
Tinjauan Teoritis Terkait dengan perkembangan industri kreatif, beberapa penelitian yang sudah dilakukan antara lain penelitian dari Rahab, Sulistyandari, dan Sudjono (2011) secara singkat menguji faktor individu (enjoyment in helping others) dan faktor organinasi (top management support) dalam proses berbagi pengetahuan dan apakah dapat memberikan pengaruh pada kemampuan dalam mengembangkan inovasi agar menjadi perusahaan yang unggul. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan survei dan hasilnya bahwa faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa kesediaan karyawan dalam menyumbangkan dan mengumpulkan pengetahuan dapat memungkinkan perusahaan dalam meningkatkan kemampuan berinovasi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Hongman Zhang, Jing Wang, dan Di Liu (2011) secara singkat merangkum perkembangan industri kreatif di negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman, lalu menawarkan enam langkah strategi untuk
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
mengembangkan industri kreatif di China. Pertama strategi pada tingkat nasional, harus meningkatkan pengakuan terhadap pentingnya dan mendesaknya pengembangan industri kreatif. Kedua, membentuk bakat-bakat pada sumber daya manusia yang merupakan inti dari daya saing suatu industri kreatif. Ketiga, memberikan kebijakan yang mendukung dalam hal pendanaan atau peminjaman, perpajakan, dan investasi. Keempat, memperkuat perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Kelima, mendukung perusahaan besar agar mau berintegrasi dengan industri kreatiif tertentu. Keenam, membangun merk sendiri dan melokalasasi tempat industri kreatif. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh June Gwee (2009) secara singkat menjelaskan bagaimana industri kreatif terjadi kota-kota di Singapura, membahas kebijakankebijakan penting yang berpengaruh terhadap pengembangan sistem inovasi cluster ini, dan mengusulkan sebuah pendekatan mengenai bagaimana sistem inovasi cluster ini dapat mengembangkan industri kreatif. Metode penelitian dilakukan dengan melakukan anilisis data sekunder dan hasilnya bahwa semenjak tahun 1980-an di Singapura mulai melakukan strategi diversifikasi dalam mengembangkan cluster terhadap industri kreatif dan mengalihkan fokus ekonomi dari manufaktur menjadi industri kreatif. Terdapat tiga kebijakan yang berpengaruh terhadap pengembangan inovasi cluster dan industri kreatif. Pertama, kebijakan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia agar dapat berinovasi dan bersaing dengan industri kreatif lainnya. Kedua, kebijakan untuk menciptakan infrastuktur dan lembaga, agar industri-industri kreatif yang ada di Singapura terlokalisasi dan mempunyai lembaga khusus yang membantu untuk mengembangkannya. Ketiga, kebijakan untuk melibatkan stakeholder dan mempromosikan budaya kedalam industri kreatif. Penelitian yang dilakukan oleh Yuniya Kawamura (2011), secara singkat menjelaskan remaja Jepang sebagai produsen street fashion. Peneliti menggabungkan observasi langsung, partisipan dengan non-partisipan, dengan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur untuk semakin mengenal dan pendekatan interaksionisme simbolik untuk mengerti proses komunikasi antara para remaja sebagai pendekatan induktif sampai pengertian perilaku manusia, dimana penjelasan berasal dari data. Hasil dari penelitian ini, di Jepang muncul adanya keterkaitan erat antara sense of belonging kaum muda dengan apa yang dipakai baik pakaian/make-up unik dan orisinal, berupa penampilan yang radikal, tidak sama seperti yang ada secara umum, ataupun lebay. Hal tersebut terkait dengan adanya collective activity, dimana fashion sebagai bagian dari seni. Selain itu, pengusaha memiliki organisasi sendiri sedangkan aktor kreatif memiliki dunia sendiri atau dunia yang terpisah satu sama lain. Pengusaha hanya menginginkan keuntungan komersial tanpa memperdulikan makna simbolik
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
dari produknya, hal terpenting adalah produknya digemari oleh para remaja dan aktor kreatif selalu berusaha menghasilkan produk yang memiliki makna simbolik dan menjadi sebuah produk budaya. Peneliti menggunakan konsep creative industry untuk menggolongkan The Original Viking Persib Fanshop masuk ke dalam kewiraswastaan ekonomi atau kewiraswastaan budaya. Contextual knowledge digunakan untuk melihat apakah inovasi yang kembangkan oleh The Original Viking Persib Fanshop ini dipengaruhi oleh lingkungannya atau karena kejeniusan dari creative designernya. Konsep Arena (field) untuk melihat siapa saja aktor yang terlibat dan berperan sehingga dapat mempengaruhi satu sama lain dan apakah setiap aktor memiliki modal yang berbeda atau beragam. Peneliti juga menggunakan konsep Jaringan Sosial untuk melihat bagaimana proses The Original Viking Persib Fanshop membangun jaringan sosial mereka dengan pihak lain, sehingga dapat memiliki jaringan sosial dengan pihak konveksi pakaian, industri kreatif lain (merek lain), sponsor atau perusahaan, dan para pemain serta official Persib Bandung. Lalu menggunakan konsep Produk Budaya yang digunakan untuk melihat proses bagaimana produk-produk dari The Original Viking Persib Fanshop ini mampu menjadi sebuah produk budaya dari suatu kelompok tertentu, yaitu suporter Viking Persib Club.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder diperoleh dari surat-surat pribadi, buku harian, sampai dokumen resmi pemerintah maupun instansi. Sumber lainnya adalah majalah, bulletin, publikasi hasil studi, hasil polling atau survey, dan website. Informan yang dipilih merupakan Orang yang memiliki informasi, yakni pengetahuan yang paling komprehensif tentang subyek penelitian tertentu, bukan responden yang hanya sekedar bersikap “tahu atau tidak tahu, setuju atau tidak setuju. Informan pada penelitian ini a pemilik dan creative designer dari The Original Viking Persib Fanshop dan merupakan anggota suporter dari Viking Persib Club. Pemilik merupakan informan yang dapat memberikan informasi mengenai perkembangan dari industri kreatifnya tersebut, mulai dari mengembangkan jaringan sosial, pemasaran, dan teknologi sehingga mampu bersaing dan bertahan hingga saat ini. Creative designer yang terdiri dari dua orang ini merupakan informan yang dapat memberikan informasi mengenai cara mengembangkan inovasi produk
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
mereka dan cara mengembangkan ide-ide mereka, sehinga melahirkan inovasi produk yang dapat diminati oleh para suporter Viking Persib Club. Setelah seluruh data siap disajikan, maka peneliti akan membuat analisa dengan konsep yang mendukung dan menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi untuk The Original Viking Persib Fanshop agar dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.
Hasil Penelitian Gambaran Umum Persib Bandung Persib Bandung berdiri muncul pada 14 Maret 1933 yang merupakan gabungan dari dua perkumpulan sepak bola yang ada di kota Bandung, yaitu Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 20 Agustus 2009 klub sepak bola Persib Bandung resmi menjadi sebuah badan hukum profesional agar mampu mendanai keuangan klub yang bernama PT. Persib Bandung Bermartabat. Hal ini disebabkan oleh peraturan yang dibentuk oleh PT Liga Indonesia pada tahun 2009 mewajibkan klub yang mengikuti mengubah statusnya menjadi badan hukum (profesional). Hal itu sebagai konsekuensi dari titel kompetisi Liga Super, dimana mereka (klub) bukan berstatus lagi amatir. Di lain pihak, klub berstatus profesional dilarang menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 yang direvisi menjadi Permendagri Nomor 59/2007. Persib Bandung juga mempunyai beberapa kelompok supporter, salah satunya Viking Persib Club, Bomber, Ultras Casuals, dan Hooligan. Untuk suporter Persib Bandung secara keseluruhan juga biasa disebut oleh orang sunda dengan Bobotoh yang artinya suporter sepakbola. Namun kelompok suporter Persib Bandung yang jumlah anggotanya paling besar adalah Viking Persib Club karena merupakan kelompok suporter yang pertama berdiri. Gambaran Umum Viking Persib Club Membahas The Original Viking Persib Fanshop maka akan lebih menarik jika terlebih dahulu membahas awal mula berdirinya Viking Persib Club. Viking Persib Club resmi berdiri pada 17 Juli 1993 di Jl. Kancra No. 34, Buah Batu, Bandung. Viking Persib Club mempunyai home base resmi di Jl. Gurame, Bandung. Pada tahun 1999-2014 Viking Persib Club semakin berkembang membuatnya mulai dilirik oleh berbagai perusahaan dan mulai menjalin kerjasama dalam sebuah acara, contohnya seperti perusahaan rokok, selular, distro, dll. Pada periode ini juga, Viking Persib Club mulai menjalin hubungan dengan pemerintah sekitar, seperti Wakil Gubernur Jawa
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Barat, Walikota Bandung, dan sebagainya.dari sisi komersil, contohnya seperti pada tahun 2006 dengan munculnya industri kreatif merchandise bernama The Original Viking Persib Fanshop serta situs resmi dari Viking Persib Club, yaitu www.vikingpersib.net yang membuat mereka semakin berkembang dan mengkoordinasi anggota dengan dibentuknya distrik di setiap wilayah di Indonesia. Mereka juga menjadi penyelenggara tour bagi para anggota Viking Persib Club untuk datang dalam pertandingan tandang Persib Bandung. Gambaran Umum The Original Viking Persib Fanshop The Original Viking Persib Fanshop berdiri pada tahun 2006 dengan modal Rp. 15.000.000,- dan di awali atas dasar pemikiran dari sekumpulan orang kreatif, orang-orang yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan serta membanggakan Persib Bandung maupun Viking Persib Club. The Original Viking Persib Fanshop sebagai distro resmi pertama dari Viking Persib Club yang menjual merchandise untuk para suporter Persib Bandung. Pada tahun 2006 The Original Viking Persib Fanshop membuka toko di Jl. Banda No. 9, Bandung sekitar 3 tahun. Lalu pada tahun 2009 pindah di Jl. Sumbawa, Bandung, dan terakhir menetap di Jl. Riau No. 199, Bandung dari tahun 2011 hingga saat ini. The Original Viking Persib Fanshop mempunyai bus store dan mobil box yang digunakan untuk berjualan, bus store yang diletakkan disekitar lingkungan Gedung Sate dan akan datang ke stadion disaat Persib Bandung bertanding serta mobil box berjualan di acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Bandung. Deskripsi Informan Informan MFH Informan MFH menjelaskan mengenai proses bagaimana The Original Viking Persib Fanshop dalam mengembangkan jaringan sosial dan strategi pemasarannya. Selain itu informan MFH juga menjelaskan bagaimana pengaruh jumlah suporter Viking Persib Club terhadap perkembangannya. Dijelaskan pada diagram dan tabel dibawah ini. Gambar 1 Diagram Jaringan Sosial The Original Viking Persib Fanshop
Sumber: Hasil Dokumentasi Peneliti
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Tabel 1. Strategi Pemasaran No.
Strategi Pemasaran
1.
Membuat katalog untuk produk-produknya
2.
Mempromosikan produk-produknya melalu media sosial, seperti facebook, twitter, dan path.
3. 4. 5.
6.
Membuat situs untuk mempromosikan produk terbaru dan menarik minat pihak-pihak tertentu agar mensponsori The Original Viking Persib Fanshop. www.theoriginalvikingfanshop.com Membuat produk edisi khusus, seperti edisi ulang tahun Persib Bandung dan Viking Persib Club Memasarkan produknya dengan menggunakan bus store dan mobil box yang dimiliki The Original Viking Persib Fanshop Menyelenggarakan acara yang bertempat di toko, seperti acara ulang tahun Persib Bandung dan Viking Persib Club Menjadi sponsor untuk kostum bertanding dan latihan Persib Bandung U-15, serta menjadi sponsor
7.
dalam beberapa acara yang diselenggarakan oleh radio, seperti mensponsori kuis yang diadakan oleh radio BobotohFM
Sumber: Hasil wawancara informan MFH, 22 April 2014
Tabel 2. Pengaruh Suporter Viking Persib Club No. 1. 2.
3.
4.
Pengaruh Suporter Viking Persib Club Memberikan masukan mengenai desain gambar maupun pakaian, sistem kerja ataupun pelayanan Memasarkan produk, baik itu secara langsung kepada anggota suporter lain maupun melalui dunia maya Menawarkan diri untuk menjual kembali produk The Original Viking Persib Club dengan membuka cabang di daerah lain, baik itu di dalam maupun di luar kota Bandung Menawarkan diri untuk menjadi karyawan dan terdapat juga beberapa anggota suporter yang dengan sukarela memberikan bantuan untuk mengembangkan The Original Viking Persib Fanshop
Sumber: Hasil wawancara informan MFH, 22 April 2014
Informan AP dan Informan RA Informan AP dan Informan RA menjelaskan bagaimana proses mengembangkan inovasi produk mereka sehingga produk The Original Viking Persib Fanshop dapat diminati oleh para suporter Viking Persib Club, seperti yang dijelaskan pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Cara Informan AP dan RA dalam Mengembangkan Inovasi Produk AP
RA
Menonton pertandingan Persib Bandung di stadion dan ikut serta dalam kegiatan Viking Persib Club di luar stadion Mendapat masukan dari para suporter Viking Persib Club, baik itu mengenai desain gambar maupun pakaian
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
AP dan RA saling berdiskusi dan berdiskusi juga dengan dan pengurus The Original Viking Persib Fanshop AP dan RA juga banyak mendapatkan inspirasi dari isu-isu dan momen penting yang ada pada suporter Viking Persib Club Mengikuti forum diskusi pada komunitas gambar Illuminator Melihat desain pada website komunitas gambar yang ada di Indonesia maupun luar negri Mendapatkan inspirasi dari desain band-band metal yang pernah dibuatnya
Berdiskusi dengan senior dan pengurus Viking Persib Club Melihat trend desain gambar dan pakaian yang sedang berkembang di kota Bandung Berdiskusi dengan creative designer dari distro lain, yang dikenalinya Melihat perkembangan merchandise suporter atau klub sepakbola di Eropa dan fashion di luar negri, melalui internet
-
Sumber: Hasil wawancara informan AP dan RA, 20 dan 21 April 2014
Pembahasan Kreativitas Lahir dari Lingkungan Sosial Perkembangan mode atau fashion yang terus berkembang dalam masyarakat kota Bandung, membuat informan AP dan informan RA selalu mempelajari konteks masyarakat sehingga inovasi yang dihasilkan pun akan terus berkembang. Selain itu, informan AP dan informan RA memperoleh inspirasi dengan menonton pertandingan Persib Bandung di stadion dan mengikuti kegiatan para suporter di luar stadion dan mendapatkan banyak masukan, baik itu mengenai desain gambar maupun pakaian yang berasal dari para suporter Viking Persib Club. Makna tersebut diterima oleh informan AP dan Informan RA, yang kemudian mereka tuangkan ke dalam sebuah desain gambar. Informan AP juga mendapatkan inspirasi dari desain band-band metal yang pernah ia buat dan melihat perkembangan desain pada situs komunitas gambar yang ada di Indonesia maupun luar negeri. Sedangkan informan RA memperoleh inspirasi dengan melihat perkembangan merchandise suporter atau klub sepak bola di Eropa dan fashion di luar negri melalui internet dan berdiskusi dengan creative desiner dari distro lain yang ia kenal. Dapat dilihat bahwa informan AP dan informan RA mempunyai sumber inspirasi yang berbeda, namun mempunyai tujuan yang sama untuk menghasilkan inovasi produk yang baru dan dihargai serta melambangakan identitas dari suporter Viking Persib Club. Hasil temuan tersebut dapat mendukung pemikiran Aspers bahwa kreativitas bukan lahir dari individu melainkan dari lingkungan sosial. Aspers memperkenalkan terminologi menarik mengenai “province of meaning” merupakan jaringan sosial antar aktor kreatif dengan latar belakang berbeda, yang dapat menjadi sumber inspirasi dalam mewujudkan suatu karya. Terminologi ini menjadi dasar
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
pemikiran bagi peneliti untuk melihat bagaimana informan AP dan informan RA mendapatkan sumber inspirasi yang berasal dari aktor kreatif tersebut. Berdasarkan data temuan yang diperoleh, bahwa informan AP dan informan RA ini banyak mendapatkan sumber inspirasi yang berasal dari hasil diskusi dengan anggota senior dan pengurus Viking Persib Club, serta mengikuti forum diskusi komunitas gambar bernama “Illuminator”. Aktoraktor kreatif yang menjadi sumber inspirasi ini mempunyai latar belakang berbeda-beda, yaitu fotografer, wartawan, penyiar radio, pengusaha, dll. Jaringan sosial antar aktor kreatif ini dapat memberikan informasi kepada informan AP dan informan RA mengenai perkembangkan mode atau fashion serta isu-isu yang sedang berkembang di dunia sepak bola. Berdasarkaan pemikiran Swedberg (2006: 260) mengenai kewiraswastaan budaya adalah menciptakan sesuatu yang baru dan dihargai di wilayah budaya. Walaupun keuntungan finansial merupakan komponen penting, namun komponen tersebut bukanlah fokus utama. Berdasarkan pemikiran tersebut informan MFH dan pengurus lainnya dapat digolongkan sebagai kewiraswastaan budaya, dimana beliau ingin menciptakan sesuatu yang baru dan dihargai serta belum pernah diciptakan oleh anggota suporter lainnya, yaitu inovasi produk merchandise serta ingin mempertahankan identitas dan budaya dari Viking Persib Club. Pemikiran Kawamura (2006) mengenai produk budaya yang mempunyai fungsi khusus sebagai identitas dan menjadi simbol bersama. Berdasarkan pemikiran tersebut, bahwa produk yang dihasilkan oleh The Original Viking Persib Fanshop merupakan produk budaya yang melambangkan identitas dan menjadi simbol suporter Viking Persib Club. Simbol tersebut berfungsi sebagai kendaraan untuk anggota suporter mengkomunikasikan ide-ide, tujuan, dan pemikiran mereka. Seluruh anggota suporter sadar mengenai komunikasi diantara mereka yang memanfaatkan simbol-simbol dan sejauh mana makna simbol tersebut digunakan, contohnya seperti tidak semua suporter yang berada di stadion itu saling mengenal satu sama lain namun karena menggunakan produk budaya (simbol) yang sama, membuat mereka melakukan komunikasi ide, tujuan, dan pikiran sehingga melahirkan suatu tindakan bersama dalam mendukung Persib Bandung. Produk Budaya menjadi Sebuah Produk Komersial Seiring perkembangan jumlah suporter Viking Persib Club yang semakin meningkat, membuat The Original Viking Persib Fanshop bukan hanya menjadi sebuah produk budaya namun telah menjadi sebuah produk komersial sehingga mampu bertahan sejak tahun 2006 hingga saat ini. The Original Viking Persib Fanshop yang awalnya hanya mempunyai satu gerai penjualan saja di Jl. Riau No. 199, Bandung, hingga saat ini telah memiliki 9 cabang
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
penjualan di dalam maupun di luar Provinsi Jawa Barat, salah satunya di Sukabumi dan Tangerang. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2011 yang dilakukan oleh pihak Promosi dan Marketing Persib Bandung, bahwa jumlah suporter Persib Bandung mencapai 5,3 juta orang yang terdapat di kota Bandung, Jakarta, Surabaya, dan 19 kota lainnya (finance.detik.com, 2012). Sedangkan untuk jumlah anggota Viking Persib Club pada tahun 2012 mencapai lebih dari 70 ribu orang di hampir seluruh provinsi, termasuk DKI Jakarta (bola.viva.co.id, 2012). Hal inilah yang membuat permintaan akan produk merchandise semakin meningkat, sehingga membuat informan MFH harus memproduksi dalam jumlah yang besar Gambar pada halaman sebelumnya merupakan data penjualan produk The Original Viking Persib Fanshop pada bulan februari, maret, dan april. Pada bulan februari, produk yang terjual pada gerai pusat sebanyak 1.689 produk, bus store sebanyak 778 produk, dan situs sebanyak 253 produk, total penjualan bulan februari 2.720 produk. Pada bulan maret, produk yang terjual pada gerai pusat sebanyak 1.464 produk dan bus store sebanyak 389 produk, total penjualan bulan maret 1.853 produk. Lalu pada bulan april, produk yang terjual pada gerai pusat sebanyak 1.792 produk dan bus store 446 produk, total penjualan bulan april 2.238 produk. Dari data penjualan produk tersebut, produk The Original Viking Persib Fanshop yang terjual setiap bulannya selalu mencapai angka sebanyak 1.000 produk, dalam waktu tiga bulan terjual 6.811 produk. Membangun Jaringan Sosial Jaringan sosial dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu kelekatan relasional (relational embeddedness) dan kelekatan struktural (structural embeddedness) (Granovetter, 1992 dalam Achwan, 2013). Ia mengatakan bila suatu kelompok memiliki kedua bentuk jaringan sosial tersebut bukan hanya mampu menyebarkan informasi namun juga membentuk struktur sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi tingkah laku. Informan MFH menguntungkan HJ secara sosial dan budaya, serta ekonomi. Sosial dan budaya, informan MFH membantu mempertahankan identitas dan simbol bersama dari Viking Persib Club sehingga mampu menunjukkan eksistensinya dalam dunia suporter klub sepak bola di Indonesia hingga saat ini, eksistensi ini juga membuat jumlah anggota suporter akan terus berkembang. HJ juga menguntungkan informan MFH secara sosial dan budaya, serta ekonomi. Sosial dan budaya, HJ sebagai ketua umum Viking Persib Club mempunyai otoritas lebih dibanding yang lainnya, membuat HJ dapat lebih mudah memasarkan produk dari The Original Viking Persib Fanshop sehingga produk-produknya diminati dan digunakan
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
oleh para anggota suporter yang membuat The Original Viking Persib Fanshop menjadi sebuah produk budaya. Hubungan dalam kelompok dyadic (informan MFH dan HJ) ini juga mampu melahirkan suatu hubungan dengan individu atau kelompok yang lebih luas, yang juga menghasilkan pertukaran sosial dan budaya serta ekonomi yang lebih menguntungkan. Hubungan ini memberikan keuntungan terhadap The Original Viking Persib Fanshop dan Viking Persib Club karena adanya hubungan erat antara informan MFH dan HJ. Informan MFH yang mempunyai hubungan dengan pihak wartawan yang bekerja di salah satu media cetak di kota Bandung. HJ mempunyai hubungan baik dengan pihak sponsor atau perusahaan yang menjadi sponsor untuk Viking Persib Club, hubungan yang baik ini juga ternyata memberikan keuntungan besar untuk The Original Viking Persib Fanshop. HJ selalu merekomendasi agar pihak sponsor atau perusahaan juga menjadi sponsor untuk The Original Viking Persib Fanshop karena produk-produknya diminati oleh para anggota suporter. Dalam kegiatan ekonomi ini Viking Persib Club memiliki peran sebagai lubang struktural karena memberikan informasi maupun saran agar pihak sponsor atau perusahaan juga menjalin kerjasama dengan The Original Viking Persib Fanshop. Hal inilah yang membuat informan MFH mendapat banyak jaringan sosial dengan pihak sponsor atau perusahaan, sehingga mampu membuat The Original Viking Persib Fanshop semakin terus berkembang. Teknologi Sederhana dan Pemasaran Unik The Original Viking Persib Fanshop merupakan industri kreatif merchandise yang hanya memiliki target pasar untuk para suporter Viking Persib Club sehingga tidak memerlukan teknologi canggih, cukup hanya dengan teknologi sederhana untuk melakukan kegiatan produksinya. Dalam melakukan kegiatan produksinya The Original Viking Persib Fanshop sudah mampu melakukannya sendiri serta menjalin kerjasama dengan pihak konveksi pakaian lain untuk beberapa produknya. Berbeda dengan jumlah yang besar atau massal diproduksi menggunakan teknologi canggih sehingga produknya ini tidak dibuat secara mendetail, yang terpenting adalah secepatnya memasarkan produk-produk tersebut tanpa memperdulikan kualitasnya. Seiring berjalannya waktu, The Original Viking Persib Fanshop terus berusaha berkembang dengan strategi pemasaran yang tepat agar mampu bersaing dan bertahan ditengah menjamurnya distro di kota Bandung. Strategi pemasaran yang digunakan The Original Viking Persib Fanshop pada umumnya sama dengan distro lainnya, melalui media sosial dan situs, seperti twitter, facebook, path, dan www.theoriginalvikingfanshop.com. The
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Original Viking Persib Fanshop menjadi distro suporter klub sepak bola pertama di Asia yang menggunakan bus store sebagai media pemasaran sejak tahun 2010 hingga saat ini. Bus store ini diletakkan di lingkungan luar Gedung Sate untuk mempermudah suporter Persib Bandung di luar kota serta turis-turis domestik maupun mancanegara yang ingin mencari produknya, karena Gedung Sate merupakan icon atau simbol dari kota Bandung sehingga dapat dengan mudah untuk menemukan lokasinya. Bus store ini bukan hanya berdiam saja di lingkungan luar Gedung Sate, namun juga akan datang di luar stadion saat Persib Bandung bertanding Bus store ini juga digunakan sebagai kendaraan tour para suporter Viking Persib Club untuk mendukung Persib Bandung dalam pertandingan tandang. Selain itu, The Original Viking Persib Fanshop juga menggunakan mobil box sebagai media pemasaran, namun mobil box ini hanya datang pada acara-acara rutin diakhir pekan yang diselenggarakan oleh pemerintah Bandung, contohnya seperti acara Braga Culinary Night. Lewat strategi pemasaran inilah, The Original Viking Persib Fanshop dapat membangun branding, packaging, dan kampanye media (Achwan, 2013: 60) yang unik dan berbeda dengan distro lain yang ada di kota Bandung, sehingga membuat para suporter Viking Persib Club membeli produknya. The Original Viking Persib Fanshop juga membuat produk edisi khusus, contohnya seperti edisi ulang tahun Persib Bandung dan Viking Persib Club. Informan MFH bersama tim pemasaran memang sengaja mengangkat isu atau momen yang memang dianggap penting oleh para anggota supporter. Arena Mendorong Aktivitas Ekonomi Terdapat beberapa aktor yang terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi industri kreatif The Original Viking Persib Fanshop ini, yaitu pengusaha, PT. Persib Bandung Bermartabat (PBB), pengurus Viking Persib Club, anggota suporter, dan industri konveksi pakaian. Aktor-aktor tersebut terlibat langsung dalam industri kreatif ini, dimana satu sama lain saling mempengaruhi, memiliki fungsi berbeda, dan terdapat aktor yang mendominasi sehingga dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi yang terjadi di dalam industri tersebut. Dalam sebuah arena tentu saja terdapat aktor yang paling mendominasi sehingga dapat mempengaruhi aktor lainnya, baik itu memberikan keuntungan maupun kerugian. Dalam arena ini suporter Viking Persib Club menjadi aktor yang paling mendominasi dibandingkan dengan aktor lainnya, aktivitas yang dilakukan oleh para suporter akan sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi dari aktor PBB, pengusaha, dan industri konveksi pakaian.
Kesimpulan
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Informan AP dan informan RA banyak mendapatkan pengaruh dengan melihat perkembangan desain gambar dan pakaian yang sedang menjadi trend di Indonesia dan di luar negeri serta perkembangan merchandise suporter atau klub sepakbola di Eropa. Sehingga creative designer mampu menciptakan sebuah inovasi produk yang unik dan menarik, yang diminati oleh para anggota suporter. Hasil temuan tersebut dapat mendukung argumentasi utama Aspers mengenai contextual konowledge bahwa kreativitas bukan lahir dari individu melainkan dari lingkungan sosial. Hasil temuan dari penelitian ini juga dapat memperkaya terminologi menarik Aspers mengenai “province of meaning” merupakan jaringan sosial antar aktor kreatif dengan latar belakang berbeda, yang dapat menjadi sumber inspirasi dalam mewujudkan suatu karya. Berdasarkan data temuan yang diperoleh oleh peneliti, bahwa informan AP dan informan RA ini banyak mendapatkan sumber inspirasi yang berasal dari hasil diskusi mereka dengan anggota senior dan pengurus Viking Persib Club, serta mengikuti forum diskusi pada komunitas gambar bernama “Illuminator”. Aktor-aktor kreatif yang menjadi sumber inspirasi ini mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, yaitu fotografer, wartawan, penyiar radio, pengusaha, dll. Ketika sebuah produk mampu memiliki fungsi khusus tersebut, maka produknya akan menjadi sebuah produk budaya. Produk tersebut dapat menjadi sebuah produk budaya karena bukan sekedar digunakan untuk menonton pertandingan Persib Bandung saja, namun juga digunakan untuk aktivitas setiap hari sehingga membentuk struktur sosial dan budaya di dalam masyarakat kota Bandung, bahkan di Jawa Barat. Hasil temuan tersebut dapat mendukung dan memperkaya pemikiran Kawamura (2006) mengenai produk budaya yang mempunyai fungsi khusus sebagai identitas dan menjadi simbol bersama. Hal ini berbeda dengan studi Kawamura yang menemukan bahwa pengusaha memiliki organisasi sendiri sedangkan aktor kreatif memiliki dunia sendiri atau dunia yang terpisah satu sama lain. Pengusaha hanya menginginkan keuntungan komersial tanpa memperdulikan makna simbolik dari produknya, hal terpenting adalah produknya digemari oleh para remaja dan aktor kreatif selalu berusaha menghasilkan produk yang memiliki makna simbolik dan menjadi sebuah produk budaya. Hal inilah yang membedakan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Kawamura. Informan MFH merupakan pengusaha yang memang memahami makna simbolik dari produk yang dijualnya, sehingga mendorong beliau untuk mendapatkan keuntungan komersial. Hal ini beliau lakukan dengan membangun jaringan sosial dan melakukan pemasaran yang membuat produk dengan makna simbolik ini dapat menjadi sebuah produk komersial yang menguntungkan.
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Dari data temuan ini dapat mendukung pengelompokkan dua bentuk jaringan sosial yang dikemukakan oleh Granovetter, yaitu kelekatan relasional (relational emdeddedness) dan kelekatan struktural (structural embeddedness) Ia mengatakan bila suatu kelompok memiliki kedua bentuk jaringan sosial tersebut bukan hanya mampu menyebarkan informasi namun juga membentuk struktur sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi tingkah laku. Dimana The Original Viking Persib Fanshop mampu berkembang dan bersaing bahkan bertahan hingga saat ini karena memiliki jaringan sosial yang luas. Dalam kegiatan ekonomi ini Viking Persib Club memiliki peran sebagai lubang struktural karena memberikan informasi maupun saran agar pihak sponsor atau perusahaan juga menjalin kerjasama dengan The Original Viking Persib Fanshop. Hal inilah yang membuat Informan MFH mendapat banyak jaringan sosial dengan pihak sponsor atau perusahaan, sehingga mampu membuat The Original Viking Persib Fanshop semakin terus berkembang. Hasil temuan ini juga dapat mendukung pemikiran Granovetter (2005) mengenai prinsip kerja jaringan sosial yang dapat mempengaruhi kinerja individu atau kelompok dalam kegiatan ekonomi, yaitu prinsip lubang
struktural (structural hole) dimana prinsip ini
menunjuk pada titik tertentu dalam wujud individu, kelompok atau organisasi. Terdapat beberapa aktor yang terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi industri kreatif The Original Viking Persib Fanshop ini, yaitu pengusaha, PT. Persib Bandung Bermartabat (PBB), pengurus Viking Persib Club, anggota suporter, dan industri konveksi pakaian. Aktor-aktor tersebut terlibat langsung dalam industri kreatif ini, dimana satu sama lain saling mempengaruhi, memiliki fungsi berbeda, dan terdapat aktor yang mendominasi sehingga dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi yang terjadi di dalam industri tersebut.
Saran The Original Viking Persib Fanshop harus berpikir untuk terus bertahan ketika jumlah anggota, loyalitas, dan fanatisme para suporter Viking Persib Club mengalami penurunan karena Persib Bandung yang tak kunjung juara ataupun mengalami kemunduran seperti klubklub sepak bola lain yang pernah merasakannya. Target pasar pun akan mengalami penurunan mengikuti jumlah anggota suporter yang menurun, sehingga produknya tidak terjual dan tidak mampu lagi melakukan kegiatan produksi. Fungsi khusus sebagai identitas dan simbol bersama pun sudah tidak berguna dan tidak akan menjadi sebuah produk budaya lagi, yang pada akhirnya akan membuat The Original Viking Persib Fanshop gulung tikar.
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Untuk manajemen The Original Viking Persib Club masih harus lebih dikembangkan untuk menjadi sebuah manajemen yang lebih profesional, salah satunya dalam manajemen waktu, pemilik harus membenahi jam kerja untuk para karyawannya sehingga sistem kerja pun akan terbentuk profesional. Pemilik juga harus banyak melakukan pertemuan dengan karyawannya untuk berdiskusi mengenai harapan, keluhan, maupun masalah yang terjadi di dalam The Original Viking Persib Fanshop, sehingga pemilik bersama-sama karyawannya dapat mencari solusi terbaik untuk menyelesaikannya. Menjalin hubungan dengan pemerintah maupun komunitas yang ada di kota Bandung, karena dapat dilihat bahwa pemilik tidak menjalin dengan pemerintah maupun komunitas, contohnya seperti The Original Viking Persib Fanshop sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Bandung Creative City Forum (BCCF) dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung komunitas atau wirausaha kreatif berkembang.
Daftar Pustaka Buku Achwan, Rochman. (2013). Sosiologi Ekonomi di Indonesia. Jakarta: UI Press. Aspers, Patrik. (2006). Contextual Knowledge. UK: Sage Publications. Bourdieu, P. (2005). “Principles of an Economic Anthropology”. dalam N. Smelser, & R. Swedberg, (eds.), The Handbook of Economic Sociology (2nd Edition). Princeton: Princeton University Press. Fourcade, M. (2007). “Theories of Market and Theories of Society”. American Behavioral Scientist, 50, pp. 1015-1034. Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press. Jonathan, Sarwono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Lofland, John dan Lyn H. Lofland. (1984). Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Anlysis. California: Wadsworth Publishing Company. Marshall, Catherin dan Gretchen B. Rosman. (1995). Designing Qualitative Research, Second Edition. London: Sage Publications. Moelyono, Mauled. (2010). Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: Rajawali Pers. Nasution, S. (2005). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
Nawawi, Hadari. (2003). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Sixth Edition. New York: Pearson Education. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2011). Teori Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik Sampi Pekembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Jakarta: Kreasi Wacana. Swedberg, R. (2003). Principles of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sunarto, Kamanto. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suryana. (2013). Ekonomi Kreatif. Ekonomi Baru: Mengubah Ide dan Menciptakan Peluang. Jakarta: Salemba Empat. Timpe, A.D. (1992). Kreativitas. Seri Manajemen Sumberdaya Manusia. Terjemahan Sofyan Cikmat. Jakarta: Elex Media Computindo. UNDP-UNCTAD. (2008). Creative Economy Report. USA: United Nations. W. Creswell, John. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Second Edition. California: Sage Publications. Artikel dan Jurnal Departemen Perdagangan RI. (2008). Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025. Jakarta: Departemen Perdagangan. Departemen Perdagangan RI. (2009). Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2010-2014. Jakarta: Departemen Perdagangan. Granovetter, M. (2005). “The Impact of Social Structure on Economic Outcomes”. Journal of Economic Perspectives 19 (1): 33-50. Granovetter, M. (1985). “Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness”. American Journal of Sociology 91: 481-510. Gwee, J. (2009). Innovation and the creative industries cluster: A case study of creative industries. Innovation : Management, Policy &
singapore's
Practice, 11(2), 240-252.
Kawamura, Yuniya. (2011). Japanese Teens as Producers of Street Fashion. UK: Sage Publications. Swedberg, R. (2006). The Cultural Entrepreneur and The Creatives Industries: Beginning in Vienna. Journal of Cultural Economics, 30: 243-261.
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014
The development of innovation capability of small medium enterprises through
knowledge
sharing process: An empirical study of indonesian creative industry. (2011). International Journal of Business and Social Science,
2(21).
Zhang, H., Wang, J., & Liu, D. (2011). Experiences of creative industries development in developed countries and enlightenments. Asian Social Science, 7(8), 237-240. Tesis Hidayat, Rokhmat Taufiq. (2010). Analisa atas laporan keuangan klub Sepakbola: studi pada klub sepakbola Arsenal, Juventus, dan Barcelona. Tesis Magister Akuntansi UI. Laman Internet http://www.fifa.com/classicfootball/history/game.html (diakses pada Selasa 26 Mar 2013, pukul 19.05 WIB) http://forum.kompas.com/sepakbola/223563-top-10-suporter-sepak-bola-di-dunia.html (diakses pada Selasa 26 Mar 2013, pukul 19.50 WIB) http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-industry/694-industri/11688industri-kreatif-masih-miskin-sdm-kompeten (diakses pada Rabu 25 Sept 2013, pukul 17.35 WIB) http://www.persib.co.id/main/in/klub/informasi-klub (diakses pada Minggu 13 Okt 2013, pukul 09.15 WIB) http://www.wearemania.net/aremania/aremania-voice/132-arema-harusnya-peloporsepakbola-modern (diakses pada Kamis 17 Okt 2013, pukul 20.26 WIB) http://issuu.com/inilahkoran/docs/21_mar_12/13 (diakses pada Kamis 17 Okt 2013, pukul 18.37 WIB) http://bola.viva.co.id/news/read/322273-sejarah-lahirnya-viking-persib-fans-club (diakses pada Senin 17 Agustus 2013, pukul 13.35 WIB) http://finance.detik.com/read/2012/03/13/143228/1865986/6/punya-53-juta-fans-persib-pedejual-saham-di-bursa (diakses pada Senin 17 Agustus 2013, pukul 15.54 WIB) http://republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/13/08/12/mre4er-12-klub-indonesiamasuk-50-klub-terbaik-dunia (diakses pada Senin 26 Agustus 2013, pukul 19.50 WIB) http://m.persib.co.id/main/in/klub/informasi-klub (diakses pada Senin 7 Juli 2014, pukul 00.38 WIB)
Industri kreatif…, Mochamad Aditya Septigab, FISIP UI, 2014