PERBEDAAN RESPONS PARTAI POLITIK BERBASIS KESAMAAN ETNIS DI MALAYSIA; STUDI KASUS: DEMOCRATIC ACTION PARTY DAN MALAYSIAN CHINESE ASSOCIATION TERHADAP NEW ECONOMIC POLICY PADA TAHUN 1981-1990 Bimo Raharjo, Cecep Hidayat Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas respons Democratic Action Party (DAP) dan Malaysian Chinese Association (MCA) yang merupakan parpol dengan basis konstituen etnis Tionghoa di Malaysia terhadap kebijakan New Economic Policy (NEP). Kebijakan perekonomian ini bersifat affirmative action (tindakan afirmasi) bagi etnis Melayu, namun diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain eksplanatif, data-data diperoleh dari studi pustaka. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perbedaan respons kedua parpol yaitu: Pertama, perbedaan kelas sosial pada etnis Tionghoa yang merupakan konstituen kedua parpol; Kedua, perbedaan posisi kedua parpol di Parlemen Malaysia; Ketiga, perbedaan kepentingan politik. Kata Kunci: Pasca-Kerusuhan 1969, New Economic Policy, Democratic Action Party, Malaysian Chinese Association, UMNO, Barisan Nasional.
The Differences in the Response of Political Parties based on Ethnic Ties in Malaysia; Case Studies: Democratic Action Party and Malaysian Chinese Association towards New Economic Policy in 1981-1990
ABSTRACT This study discuss the response of DAP (Democratic Action Party) and MCA (Malaysian Chinese Association), a Chinese ethnic constituent base political party in Malaysia towards the New Economic Policy (NEP). The economic policy provide an affirmative action for the Malay ethnic, but discriminative to the Chinese ethnic. This research uses qualitative methods with an explanative design, the data obtained from literature study. There is three factors which affects the different responses between the two political parties: First, social class differences in the Chinese ethnic constituents of both political parties; Second, the positions of both political parties in Malaysia Parliament; Third, different political interests. Keyword: After the Riots of 1969, New Economic Policy, Democratic Action Party, Malaysian Chinese Association, UMNO, National Front.
1 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Sebelum munculnya NEP, terjadi kerusuhan rasial di tahun 1969. Pemicu pada kerusuhan di tahun 1969 dikarenakan naiknya suara dari parpol (partai politik) oposisi. Hal ini menggambarkan bahwa munculnya konflik antaretnis merupakan suatu luapan dari kesenjangan politik pada etnis Tionghoa terhadap etnis Melayu, sebaliknya kesenjangan ekonomi dirasakan oleh etnis Melayu terhadap etnis Tionghoa. Pasca-Kerusuhan 1969, rekonstruksi politik dilakukan dengan membentuk koalisi parpol (partai politik) di Parlemen Malaysia yang disebut dengan BN (Barisan Nasional). Sedangkan di tahun 1971, pemerintahan Malaysia di bawah Perdana Menteri (PM) Tun Abdul Razak mengeluarkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan NEP (New Economic Policy) sebagai upaya rekonstruksi ekonomi. NEP merupakan suatu tindakan afirmasi untuk masyarakat bumiputra (masyarakat asli di Malaysia/etnis Melayu) agar dapat bersaing pada sektor ekonomi terhadap etnis Tionghoa.1 Hal ini memperlihatkan bahwa bentuk resolusi konflik antaretnis hanya ditujukan untuk mengedepankan kepentingan etnis Melayu. Terpuruknya etnis Melayu pada sektor ekonomi dapat dilihat pada tahun 1970. Mereka hanya menguasai 2,4 persen akumulasi kapital pada skala nasional, sedangkan etnis Tionghoa menguasai 34 persen, lalu 60 persen lebih dikuasai oleh investor asing, pada sektor pendidikan 90 persen mahasiswa/i teknik di University of Malaya adalah non-Melayu.2 Buruknya SDM (Sumber Daya Manusia) pada etnis Melayu, berimplikasi dengan buruknya kualitas hidup mereka karena sulitnya memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi. Implementasi NEP dilakukan pada tahun 1971 hingga 1990 atau dari masa pemerintahan Razak hingga Mahathir Mohamad, merupakan kebijakan affirmative action (tindakan afirmasi).3 Tujuan utama dari kebijakan ini agar etnis Melayu dapat menguasai 30 persen dari seluruh kegiatan ekonomi dan industri.4 Selain itu, kebijakan ini bersifat jangka panjang yang berfungsi untuk mencegah terjadinya kerusuhan di kemudian hari akibat suatu kesenjangan ekonomi. 1
Penggunaan terminologi “Tionghoa” pada penelitian ini dimaksudkan agar menghindari sifat diskirminatif dalam merujuk etnis Tionghoa sebagai masyarakat pendatang dan bukan masyarakat utama di Malaysia. Penggunaan kata “Chinese” merujuk pada partai politik MCA (Malaysian Chinese Assosiation). 2 James Chin, “The Malaysian Chinese Dilemma: The Never Ending Policy (NEP),” Chinese Southern Diaspora Studies Volume 3 (2009), hlm. 168. 3 affirmative action mengacu pada langkah positif yang ditujukan untuk memperkerjakan orang-orang dari kelompok yang sebelumnya dan saat ini mengalami diskriminasi atau ketertinggalan. Penggunaan kuota yang bersifat numerik dapat dibenarkan jika diperlukan untuk mengatasi hal ini. Lihat Tom L. Beauchamp, “In Defence of Affirmative Action,” The Journal of Ethics Volume 2 Nomor 2 (1998), hlm. 143. 4 R.S. Milne dan Diane K. Mauzy, Malaysian Politics under Mahathir (London: Routledge, 1999), hlm. 52.
2 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Selama NEP diimplementasikan, kebijakan ini berhasil menaikkan GDP (Gross Domestic Products) Malaysia dari tahun 1960 hingga 1990, sehingga pertumbuhan GDP Malaysia meningkat hingga tujuh kali lipat.5 Kebijakan ini juga mengurangi angka kemiskinan etnis Melayu hingga 75 persen di tahun 1990.6 Selain itu, ketergantungan Malaysia pada modal asing semakin berkurang, pada tahun 1970 modal asing menguasai sekitar 60 persen akumulasi kapital di Malaysia namun menjadi 25 persen pada tahun 1990.7 Hal ini akan mereduksi kesenjangan ekonomi dan mengurangi konflik antaretnis setelah NEP telah usai, sekaligus melepaskan ketergantungan Malaysia terhadap pemodal asing. Walaupun, setelah usainya implementasi NEP di tahun 1990, target dari kebijakan ini tidak tercapai karena sumber daya kapital etnis Melayu hanya mencapai sekitar 19 persen.8 NEP yang mendorong etnis Melayu untuk dapat bersaing dengan etnis non-Melayu (khususnya etnis Tionghoa), berimplikasi dengan tindakan diskriminatif pada sektor ekonomi dan pendidikan. Walaupun diskriminasi terjadi, etnis Tionghoa tetap mendominasi sektor ekonomi. Hal inilah yang disebutkan oleh Mahathir dalam bukunya “The Malay Dilemma”, karena budaya etnis Melayu yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan pemerintah Malaysia untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti bisnis.9 Pada pertengahan periode dijalankannya NEP, peningkatan GDP disertai dengan perkembangan industri Malaysia yang mengalami perkembangan pesat baik pada sektor pengolahan SDA (Sumber Daya Alam), maupun pada industri otomotif yang menjadi sektor andalan Malaysia. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Malaysia tidak tetap tidak bisa dilepaskan dari peran etnis Tionghoa. Karakteristik parpol komunal lekat pada dinamika politik di Malaysia, hal ini muncul setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.10 Bahkan, kemunculan dari parpol non-komunal tidak dapat dilepaskan dengan basis konstituen dari etnis tertentu. 11 Terdapat tiga parpol yang 5
Ismail Mudh Salleh dan Saha Dhevan Meyanathan, The Lesson of East Asia: Malaysia Growth, Equity, and Structural Transformation (Washington, D.C.: The World Bank, 1993), hlm. ix. 6 Roslan dalam Cheng Ming Hua, The Impact of Ethnicity on the Regional Economic Development in Malaysia. Tesis Hiroshima University, 2011, hlm. 11. 7 Nobuyuki Yasuda, “Malaysia’s New Economic and the Industrial Co-ordination Act”, The Developing Economies Volume 24 Nomor 4 (Desember 1991), hlm. 330-331. 8 Third Malaysia Plan, Fifth Malaysia Plan, dan mid-term review Malaysia Plan dalam Yasuda, Ibid, hlm. 338. 9 Milne dan Mauzy, Op. Cit., hlm. 53. 10 Gordon P. Means, Malaysian Politics (Singapore, Hodder and Stoughton Limited, 1970), hlm. 12. 11 Menurut Berghe dan Francis, ras merujuk pada pendefinisian kelompok sosial atas dasar fisik. Sedangkan etnis merupakan sekelompok komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik. Lihat Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), hlm. 144-145.
3 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
kemunculannya berlatar belakang atau berbasis etnis Tionghoa, seperti: MCA (Malaysia Chinese Association), DAP (Democratic Action Party), dan GRM (Malaysian People's Movement Party).12 Kedua parpol ini merupakan parpol dengan basis konstituen etnis Tionghoa terbesar. Perbedaannya, MCA yang merupakan parpol dengan latar belakang etnis Tionghoa tergabung di dalam BN yang didominasi oleh etnis Melayu, sedangkan DAP berperan sebagai parpol oposisi. DAP tidak dapat mengelak dari masa pertengahan implementasi hingga usainya NEP, bahwa etnis Melayu tetap tidak bisa mengimbangi etnis Tionghoa pada sektor ekonomi. Selain itu, DAP yang merupakan parpol oposisi tidak dapat menghentikan implementasi NEP. Hal ini dikarenakan suara DAP di Parlemen Malaysia tidak sebanding dengan jumlah suara parpol koalisi. Sedangkan MCA yang memiliki basis konstituen etnis Tionghoa yang sama halnya dengan DAP, tetap bergabung dengan BN. Kajian ini menjadi menarik ketika respons MCA dan DAP berbeda dalam melihat suatu kebijakan ekonomi,13 padahal kebijakan itu sendiri berdampak langsung terhadap etnis Tionghoa. MCA yang menerima NEP berada diantara kepentingan politik untuk tetap tergabung di dalam BN, karena akan tersedianya jabatan politik di dalam kabinet maupun adanya akses bagi konstituen MCA yang merupakan pebisnis untuk melindungi kegiatan ekonominya dari NEP. Penolakan yang dimaksudkan oleh DAP terhadap NEP tidak hanya sebatas karena kebijakan ini bersifat diskriminatif, namun dikarenakan relasi yang tidak sehat di antara elit Melayu, pebisnis Tionghoa, dan MCA. Elit Melayu yang dimaksud yaitu kader UMNO dan jajaran birokrasi yang diisi oleh etnis Melayu. Di tahun 2008 DAP yang diwakili oleh Lim Guang Eng mengatakan bahwa DAP menolak NEP karena kebijakan ini tidak memberikan peluang yang sama bagi seluruh etnis di Malaysia, bahkan NEP itu gagal dikarenakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).14 Kebijakan ini membentuk suatu status-quo terhadap etnis Melayu, karena kuota tersebut dapat membentuk suatu pertahanan bagi mereka khususnya di
12
DAP dan GRM merupakan parpol non-komunal, namun merupakan parpol dengan basis konstituen etnis Tionghoa. Lihat Colin Barlow, peny., Modern Malaysia in the Global Economy: Political and Social Change into the 21st Century (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2001), hlm. 169-170. 13 Kata respons dalam penelitian ini adalah perbedaan pendapat pada suatu partai politik, khususnya partai oposisi. Menurut Kaare Strøm dan Lars Svåsand di dalam buku Parties Without Partisans: Political Change in Advanced Industrial Democracies oleh Russel J. Dalton dan Martin P. Wattenberg (2000), fungsi dari partai politik di pemerintahan adalah mengorganisasi partai oposisi dan perbedaan pendapat. Mengutip Dahl di dalam buku yg sama, Menurutnya partai oposisi menawarkan alternatif lain dari apa yg dilakukan pemerintah (partai koalisi). Sedangkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “respons” merupakan sinonim dari “tanggapan” atau “reaksi”. 14 “Malaysia: PAS Youth Defends Guang Eng Over NEP”, Mysinchew.com: 14 Maret, 2008, diunduh dari http://www.mysinchew.com/node/8585 diakses pada tgl 6/2/14, pkl. 15.25 WIB.
4 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
sektor ekonomi agar tidak tergeser oleh etnis Tionghoa. Posisi strategis yang dimilik etnis Melayu di perusahaan besar dan jabatan di pemerintahan membuat pebisnis Tionghoa memiliki ketergantungan terhadap mereka, pola hubungan ini disebut sebagai hubungan “Ali Baba”.15 Malaysia bukan merupakan negara demokrasi, dominasi BN di Parlemen Malaysia di bawah kepemimpinan UMNO memperlihatkan bahwa Malaysia memiliki sifat pemerintahan yang otoriter. Menurut Przeworski, demokrasi adalah “democracy is a system in which parties lose elections” (Demokrasi adalah sistem yang dapat membuat suatu parpol kalah dalam Pemilu).16 UMNO dari masa koalisi Partai Perikatan hingga terbentuknya BN selalu memenangkan perolehan mayoritas kursi di Parlemen Malaysia, termasuk selalu menempati pemimpinnya sebagai PM.17 Akibatnya, pemerintahan di Malaysia bersifat otoriter. Keberadaan BN dapat mengonsolidasikan parpol lainnya sehingga terdapat akumulasi suara dan tidak memungkinkannya parpol oposisi untuk menyaingi akumulasi suara BN. Hal ini menyebabkan kebijakan NEP tetap diimplementasikan, walaupun kebijakan ini bersifat diskriminatif.
Kerangka Konsep Konstituen Peran konstituen tidak dapat dilepaskan terhadap eksistensi parpol di dalam parlemen, karena mereka memilih calon anggota parlemen ketika pemilu (pemilihan umum) dilaksanakan. Konstituen dapat didefinisikan sebagai berikut: Pertama, sekelompok orang yang memilih pada sebuah perwakilan tertentu (anggota legislatif atau parpol); Kedua, sekelompok orang yang sudah memiliki syarat untuk memilih; Ketiga, sekelompok orang yang tertarik pada anggota legislatif atau parpol setelah mereka terpilih.18 Konstituen itu sendiri merupakan suatu kelompok masyarakat atau suatu bentuk utuh dari masyarakat, sedangkan pada masyarakat terdapat masyarakat yang homogen dan heterogen. Oleh karena itu, suatu wilayah yang terdiri dari masyarakat heterogen terdiri dari beberapa kelompok masyarakat, sehingga konstituen itu sendiri dapat dikelompok sebagai berikut: Pertama, berdasarkan pembagian suara atau pembagian kelompok masyarakat berdasarkan kelompok 15
Chin, Op. Cit., hlm. 168. Przeworski dalam Jiří Holík, “Malaysia: Betwwen Democracy and Authoritarianism,” Association for International Affairs, Volume 5 (September 2011), hlm. 2. 17 Partai Perikatan merupakan koalisi parpol pemerintahan Malaysia sebelum menjadi Barisan Nasional. 18 Andrew Rehfeld, The Concept of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, and Instituional Design (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 35. 16
5 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
masyarakat yang memilih parpol atau anggota legislatif tertentu; Kedua, berdasarkan kelas sosial, digunakan pada wilayah yang masih menggunakan stratifikasi sosial; Ketiga, berdasarkan etnis atau agama; Keempat; ciri-ciri deskriptif, merupakan suatu pengelompokan konstituen berdasarkan pengelompokan khusus seperti kelas ekonomi atau pekerjaan; Kelima, kelas yang sengaja dibentuk untuk tujuan tertentu (involuntary class), pengelompokan konstituen ini digunakan untuk tindakan afirmasi pada masyarakat yang dikelompokan berdasarkan orientasi seksual, ras, etnis, pekerjaan, kelas ekonomi, dan hal lainnya berdasarkan menggambarkan suatu kesenjangan.19 Sesuai pada kelompok konstituen di atas, pada penelitian ini digunakan kelompok konstituen berdasarkan etnis dan ciri-ciri deskriptif. Terdapat persamaan basis konstituen antara DAP dan MCA, yakni berasal dari etnis Tionghoa. Sedangkan etnis Tionghoa itu sendiri memiliki perbedaan khususnya pada kelas sosial, sehingga berpengaruh terhadap preferensi mereka dalam memilih suatu parpol.
1.5.2 Sistem Parlementer Pada sistem parlementer terjadi peleburan antara badan eksekutif dan badan legislatif, PM dan menteri berasal dari anggota badan legislatif dan dapat diberhentikan bila badan legislatif menarik mosi percaya.20 Pada sistem ini, badan eksekutif dan badan legislatif saling bergantung, kabinet dibentuk dan bertahan dari dukungan yang berasal dari badan legislatif yang mencerminkan kekuatan politik.21 Dukungan kabinet atau diloloskannya suata RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berasal dari kabinet, harus memperoleh kepercayaan dan dukungan yang berasal dari badan legislatif. Sedangkan badan legislatif terdiri dari banyak partai, maka dibutuhkan dukungan yang dapat diraih dari mayoritas (2/3 suara yang berasal dari Anggota Parlemen) suatu parpol di badan legislatif atau terbentuknya suatu kabinet berasal dari koalisi beberapa parpol.22 Mayoritas suatu parpol di badan legislatif dan memiliki hak untuk membentuk kabinet adalah parpol yang memenangkan pemilu.23
19
Ibid., hlm. 37-38. Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terj. Ibrahim. et. al. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 37-38. 21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 297 22 Ibid. 23 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 170. 20
6 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Parpol yang menang secara mutlak dengan memenangkan 2/3 kursi di parlemen memang dapat membentuk kabinet yang anggotanya berasal dari Anggota Parlemen yang berasal dari parpolnya, tetapi sulitnya untuk mencapai mayoritas ini membuat parpol mayoritas untuk membentuk suatu koalisi dengan parpol lainnya. Parlemen itu sendiri terdiri dari banyak parpol, namun masing-masing parpol memiliki ideologi masing-masing yang menjadi dasar dari perbedaan antara satu parpol dengan parpol lainnya. Idealnya, suatu parpol mayoritas akan membentuk koalisi bersama dengan parpol yang memiliki kedekatan ideologi, namun terdapat pula parpol mayoritas yang membentuk koalisi berdasarkan kepentingan (pragmatisme). Menurut Tsabelis dan Ha, penjelasan dari terbentuknya koalisi yaitu: Pertama, pembentuk pemerintahan (partai mayoritas) adalah parpol yang memiliki lokasi sentral di antara parpol lainnya; Kedua, parpol lain memiliki peluang tinggi untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan, apabila memiliki kedekatan ideologi dengan parpol pembentuk pemerintahan sebagai sentral dari spektrum politik.24 Pada kenyataanya, koalisi parpol tersebut tidak dapat dilepaskan pula pada kepentingan politik. Pada koalisi yang terjadi di Parlemen Malaysia yang dinamakan dengan BN, koalisi terjadi di antara pada parpol komunal dan non-komunal. Parpol ini saling membawa kepentingan etnisnya, bahkan pada parpol non-komunal memiliki basis konstituen dari etnis tertentu. Walaupun terdapat kedekatan ideologi di antara parpol mayoritas/pembentuk pemerintahan (UMNO) dan MCA, karena kedua parpol ini berideologi konservatisme, namun koalisi ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik. Contohnya, koalisi ditujukan untuk memperoleh akumulasi suara dari basis konstituen yang dimiliki masingmasing parpol ketika dilakukan Pemilu Parlemen. Selain itu, tergabung suatu parpol di dalam BN akan diperolehnya jabatan strategis di dalam kabinet, sehingga hal ini dapat menguntungkan parpol atau konstituennya.
1.8 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain eksplanatif, dalam memperoleh data berasal dari tinjauan pustaka. Data-data yang digunakan bersifat numerik dan non-numerik. Contohnya, dalam menganalisis kepentingan politik kedua parpol dibutuhkan data non-numerik. Sedangkan dalam menganalisis perolehan kursi di Parlemen Malaysia, distribusi
24
George Tsebelis dan Eunyoung Ha, “Coalition theory: a veto players’ approach,” European Political Science Review (September 2013), Hlm. 1-27.
7 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
sektor ekonomi antaretnis, dan populasi penduduk, harus menggunakan data numerik. Penelitian eksplanatif menjelaskan adanya hubungan tiga faktor dalam mempengaruhi perbedaan respons DAP dan MCA terhadap NEP, yaitu: Pertama, perbedaan kepentingan politik; Kedua, perbedaan posisi parpol di Parlemen Malaysia; Ketiga, perbedaan kelas sosial pada konstituen DAP dan MCA). Menurut White, Woodfield, dan Ritchie, kunci dari penelitian kualitatif terdapat pada otoritas penulis karena apapun yang disampaikan peneliti (penulis) atau partisipan bermaksud untuk mempresentasikan penjelasan deskriptif atau eksplanatif.25 Menurut Strauss dan Corbin definisi dari penelitian kualitatif adalah “By the term 'qualitative research' we mean any type of research that produces findings not arrived at by statistical procedures or other means of quantification” (Istilah dari “penelitian kualitatif” berarti jenis penelitian yang menghasilkan suatu temuan yang tidak berasal dari prosedur statistik atau dengan kata lain dengan cara kuantifikasi).26 Ketersediaan data yang bersifat numerik pada penelitian ini, bukan berarti penelitian ini adalah kuantitatif. Hal ini dikarenakan, penelitian yang semata-mata hanya mempergunakan data kuantitatif tetapi mempergunakan tolak-ukur kualitatif sering tidak dinilai sebagai suatu penelitian kuantitatif, sehingga sering dijumpai penelitian kualitatif yang mempergunakan data kuantitatif.27
Pembahasan Naiknya pertumbuhan ekonomi Malaysia yang disebabkan oleh dorongan pemerintah yang ditujukan bagi etnis Melayu tidak hanya memberikan kuota minimal bagi mereka, sebaliknya kuota minimal ini akan berimplikasi pada hambatan bagi etnis Tionghoa. NEP yang merupakan kebijakan afirmasi yang ditujukan bagi etnis Melayu memang mendorong mereka yang tertinggal pada sektor ekonomi. Pada konteks NEP dan Malaysia, kebijakan ini memang memajukan etnis Melayu namun sebaliknya mendiskriminasi etnis Tionghoa. Untuk memasuki universitas, etnis Tionghoa diberikan beban yang lebih berat dari etnis Melayu. Mereka harus membayar biaya pendidikan jauh lebih mahal dari pada etnis Melayu, sehingga banyak dari mereka yang mengundurkan diri dan menempuh pendidikan ke luar negeri, hal ini membuat 25
Jane Ritchie dan Jane Lewis, peny. Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers (London: Sage Publications, 2003), hlm. 320. 26 Ibid., hlm. 3. 27 Dedy N. Hidayat, “Penulisan Proposal Penelitian untuk Pengembangan Ilmu”. Makalah pada Workshop Pengembangan Kegiatan Peneltian Staf Pengajar FISIP-UI (Depok: Universitas Indonesia, Maret 1996), hlm. 7.
8 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
mahasiswa/i etnis Tionghoa asal Malaysia merupakan pelajar terbanyak yang bersekolah ke luar negeri.28 Walaupun pada data sebelumnya menunjukan bahwa etnis Tionghoa memiliki tingkat pendapatan yang tinggi pada tiap kepala keluarga, tetapi masih terdapat etnis Tionghoa yang berada di wilayah rural dan berada pada kelas menengah ke bawah. Sulit dan mahalnya pendidikan, akan membuat mereka terhambat dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Gencarnya industrialisasi di Malaysia membuat banyak dibutuhkan angkatan kerja pada ilmu teknik, hal ini membuat Pemerintah Malaysia untuk membuat universitas teknik sebagai universitas terbesar di Malaysia, universitas tersebut bernama UiTM (Universiti Teknologi MARA). Universitas teknik ini sudah ada sebelum NEP diimplementasikan, namun gencarnya industrialisasi dan upaya untuk mendorong etnis Melayu maka universitas ini lebih diperuntukan bagi etnis Melayu dan berkembang pesat menjadi universitas terbesar di Malaysia.29 Terhambatnya etnis Tionghoa pada sektor pendidikan tidak hanya dengan mahalnya biaya pendidikan, karena terdapat perbedaan program pendidikan yang akan ditempuh. Pelajar di Malaysia harus menempuh program pra-universitas yang terbagi atas dua program, yaitu program matrikulasi dan STPM (Sijil Tinggi Pelajaran Malaysia). Program matrikulasi ditempuh selama setahun, program ini terdapat pada setiap negara bagian (kecuali negara bagian Sabah dan Sarawak, program matrikulasi dilakukan di Pulau Labuan) dan universitas besar di Malaysia, seperti UiTM atau University of Malaya.30 Program ini ditujukan bagi etnis Melayu, namun terdapat kuota maksimal bagi etnis non-Melayu sebanyak 10 persen.31 Sedangkan pada STPM, pelajar harus menempuh program ini selama dua tahun.32 Padahal, program matrikulasi hanya menerima 10 persen dari total pelajar etnis non-Melayu, sehingga 90 persen angkatan pelajar etnis non-Melayu di tahun yang sama harus menempuh pendidikan lebih lama dari etnis Melayu. Tujuan dari kedua program ini untuk membentuk kelayakan seorang pelajar sebelum memasuki universitas, seorang pelajar yang lebih lama menempuh program pra-universitas ini akan menghambat mereka untuk cepat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
28
Chin, Op. Cit., hlm. 178. Ibid., hlm. 171. 30 Erlina, “Pre-university Programme: Malaysia Marticulation (Program Matrikulasi”, Malaysia Student, 11 Maret 2013, diunduh dari http://www.malaysia-students.com/2008/11/pre-u-programme-malaysia-matriculation.html diakses pada tgl 25/6/14 pkl. 12.00 WIB. 31 Ibid. 32 Chin, Op. Cit., hlm. 172. 29
9 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Pada sektor ekonomi, NEP membuat etnis non-Melayu agar memiliki ketergantungan terhadap etnis Melayu. Hal ini ditujukan agar etnis Melayu dapat memiliki peran pada sektor ekonomi, ketika ICA akan diluncurkan terdapat penolakan pada kelompok pebisnis Tionghoa ataupun dari pemodal asing.33 Ketergantungan ini terlihat pada Act 156: Industrial Co-ordination Act 1975, Pasal 3 Nomor 1, “No person shall engage in any manufacturing activity unless he is issued a licence in respect of such manufacturing activity.” (Tidak ada seorang pun yang ikut terlibat dalam kegiatan manufaktur kecuali ia memiliki lisensi untuk melakukan kegiatan pada sektor manufaktur).34 Oleh karena itu, pebisnis Tionghoa mengalami ketergantungan izin terhadap etnis Melayu yang mendominasi pemerintahan. Kuota maksimal dan regulasi pada kegiatan ekonomi yang lebih sulit membuat terhambatnya akumulasi kapital etnis Tionghoa, sedangkan pada etnis Melayu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Walaupun pada tahun 1990 NEP tidak berhasil mencapai target 30 persen bagi etnis Melayu, namun berhasil mengurangi porsi akumulasi kapital nonMelayu. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
WNM Melayu Tionghoa Lain-lain
Modal asing 1969
1970
1975
1982
1985
1988
1990
Sumber: Telah diolah kembali dari Malaysia 1971 2MP: tabel 3-1 dalam Ishak Yusof, Malaysia’s Economy: Past, Present, & Future (Malaysia: Malaysian Strategic Research Centre, 2009), hlm. 10; Third Malaysia Plan, Fifth Malaysia Plan dan, mid-term review Malaysia Plan dalam Nobuyuki Yasuda, “Malaysia’s New Economic and the Industrial Co-ordination Act”, The Developing Economies Volume 24 Nomor 4 (Desember 1991), hlm. 338.
Grafik 1 Akumulasi Kapital WNM (Warga Negara Malaysia) dan WNA (Warga Negara Asing), serta Etnis Melayu dan Tionghoa pada Tahun 1969-1990 (dalam persen)
33
Yasuda, Op. Cit. The Commissioner of Law Revision Malaysia, Act 156: Industrial Co-ordination Act 1975 (Malaysia: Percetakan Nasional Berhad, 2006), hlm. 6. 34
10 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Pada tabel di atas, dapat dianalisis beberapa hal yaitu: pertama, NEP berimplikasi dengan semakin naiknya pertumbuhan ekonomi etnis Melayu secara signifikan, ketika kerusuhan rasial terjadi etnis Melayu hanya menguasai satu persen akumulasi kapital pada sektor ekonomi nasional. Pada tahun 1990, etnis Melayu dapat menguasai 21 persen; Kedua, etnis Tionghoa memiliki kecenderungan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang stagnan setelah terjadinya industrialisasi dan krisis ekonomi dunia di tahun 1980-an, hal ini bersamaan dengan penurunan pada tersedianya pekerja profesional pada etnis Tionghoa; Ketiga, etnis non-Melayu (kecuali Tionghoa) mengalami penurunan terburuk di tahun 1975 ketika ICA diiplementasikan; Keempat, implikasi dari NEP itu sendiri lebih berakibat kepada pemodal asing dan etnis non-Melayu lainnya dari pada etnis Tionghoa itu sendiri. Selain itu, akumulasi kapital WNM dan WNA mengalami perbandingan yang terbalik. Hal ini membuat perekonomian Malaysia lepas dari ketergantungan modal asing. Perbedaan respons antara DAP dan MCA, tidak lepas dari tiga faktor penting. Walaupun etnis Tionghoa merupakan basis konstituen bagi kedua parpol, analisis dari ketiga faktor di bawah ini dapat memberikan penjelasan penyebab dari perbedaan respons kedua parpol.
Perbedaan Kelas Sosial pada Basis Konstituen DAP dan MCA Pada dasarnya, para pendiri MCA merupakan pedagang dan kelompok bisnis. Sebagai parpol, MCA juga memiliki peran untuk melindungi kepentingan mereka. Sedangkan, DAP yang para pendirinya merupakan aktivis politik, munculnya NEP dirasakan kedua parpol yang merupakan kelompok bisnis dan aktivis.35 Kemunculan DAP dikarekanakan, ketidapuasan etnis Tionghoa terhadap MCA sebagai parpol yang mewakili kepentingan etnis Tionghoa di pemerintahan. Ideologi konservatisme yang dibawa MCA tidak lagi dapat membawa kepentingan etnis Tionghoa, munculnya parpol alternatif dengan ideologi sosial-demokratik dapat menaikkan partisipasi etnis Tionghoa untuk memilih pada Pemilu Parlemen, khususnya kalangan etnis Tionghoa yang memiliki penghasilan rendah (kelompok menengah kebawah). 36
35
Heng Pek Koon, “The New Economic Policy and the Chinese Community in Penisular Malaysia,” The Developing Economies Volume 35 Nomor 3 (September 1997), hlm. 262. 36 Heng Pek Koon, “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96,” Southeast Asian Studies Volume 34 Nomor 3 (Desember 1996), hlm. 509.
11 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Etnis Tionghoa yang terkonsentrasi pada wilayah urban, banyaknya kelas menengah ke atas dan atas yang terdiri merupakan basis konstituen dari MCA.37 Sedangkan konstituen DAP, merupakan etnis Tionghoa yang berada di wilayah rural walaupun terdapat pula di wilayah urban.38 Oleh karena itu, kelas bawah akan memiliki DAP dan kelas atas akan memiliki MCA, sehingga kelas menengah merupakan kelas yang diperebutkan oleh kedua parpol. Apalagi, posisi DAP yang berada di luar pemerintahan dan tidak sebandingnya jumlah parpol oposisi dengan yang tergabung pada BN, membuat rival sesungguhnya dari DAP adalah MCA itu sendiri. Kedua parpol akan berusaha mengumpulkan suara dari basis konstituen mereka ketika Pemilu Parlemen diadakan. Terlepas dari perbedaan kelas sosial di antara etnis Tionghoa yang mendukung MCA dan DAP, terdapat enam negara bagian yang memiliki konsentrasi tinggi etnis Tionghoa. Negara bagian tersebut akan diperebutkan kedua parpol ketika Pemilu Parlemen dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Angkatan Kerja dan Populasi Etnis Tionghoa dan Etnis Melayu berdasarkan Negara Bagian dan persentase Wilayah Rural pada Tahun 1980* Negara Bagian
Wilayah Rural (dalam persen)
Populasi
Tionghoa
Melayu
Angkatan Kerja
Johor 64,8 634.662 899.722 350.133 Kedah 85,6 210.319 803.374 118.837 Kelantan 71,9 48.388 831.717 30.190 Melaka 76,6 178.252 249.694 102.614 Negeri Sembilan 67,4 211.644 265.298 156.617 Pahang 73,9 211.514 532.976 117.907 Pulau Pinang 52,5 526.070 312.828 322.176 Perak 67,8 737.959 809.312 397.901 Perlis 91,1 23.976 116.202 13.718 Selangor 65,8 572.611 671.923 336.214 Terengganu 57,1 26.933 510.917 17.046 Sabah 79,4 171.126 663.121 99.135 Serawak 82,0 394.664 939.178 217.191 Kuala Lumpur 0 512.036 320.532 328.105 Catatan: *Angkatan kerja hanya merujuk etnis Tionghoa. ** Merupakan hasil pengurangan jumlah Populasi dan Angkatan Kerja. Baris yang diberikan warna menunjukan negara bagian yang memiliki konsentrasi etnis Tionghoa. Sumber: Telah diolah kembali dari Department of Statistic Malaysia 2001 dalam Ishak Yusof, Malaysia’s Economy: Past, Present, & Future (Malaysia: Malaysian Strategic Research Centre, 2009), hlm. 49; Department of Statistic Malaysia dalam Cheng Ming Hua, The Impact of Ethnicity on the Regional Economic Development in Malaysia. Tesis Hiroshima University, 2011, hlm. 15.
37 38
Milne dan Mauzy, Op. Cit., hlm. 93. Heng, “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96,” Op. Cit., hlm. 510.
12 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Pada tabel di atas menunjukan bahwa terdapat enam negara bagian di Malaysia yang memiliki konsentrasi tinggi terhadap keberadaan etnis Tionghoa. Hal ini diikuti pula dengan tingginya angkatan kerja yang bersamaan dengan tingginya populasi. Pada Negara Bagian Johor, angkata kerja etnis Tionghoa memang tinggi, tetapi hal ini tidak bersamaan dengan rendahnya perbandingan populasi etnis Tionghoa terhadap etnis Melayu. Selain itu, baik Negara Bagian Pada Negara Bagian Kedah, angkatan kerja Tionghoa lebih tinggi dibandingkan pada negara bagian Melaka, tetapi populasi etnis Tionghoa di Negara Bagian Kedah tidak sebanding dengan populasi etnis Melayu. Pada Negara Bagian Melaka, wilayah rural mencapai 76.6 persen, maka banyak etnis Tionghoa yang berada di wilayah tersebut berada pada kelas menengah ke bawah. Sebaliknya, Negara Bagian Johor dan Pahang memiliki potensi untuk perolehan suara bagi DAP, hal ini dikarenakan banyaknya wilayah rural, tetapi kekalahan pada Negara Bagian ini dikarenakan rendahnya dukungan etnis Tionghoa di wilayah rural, sehingga DAP mengandalkan etnis Tionghoa yang berada di wilayah urban.39 Tingginya angkata kerja etnis Tionghoa di wilayah urban menunjukan bahwa banyak terdapat kelas menengah, dan pada wilayah yang memiliki banyak wilayah rural banyak terdiri dari kelas menengah ke bawah.
Perbedaan Posisi Kedua Parpol di Parlemen Malaysia Turunnya perolehan suara bagi MCA, menunjukkan bahwa kekhawatiran yang dimaksudkan MCA akibat menerima NEP terjadi. Kampanye yang dibawa oleh DAP dengan respons dalam menolak NEP lebih menarik bagi konstituen etnis Tionghoa. Selain itu, basis konstituen DAP tidak hanya berada di wilayah kota namun terdapat di wilayah pedesaan yang berisi etnis Tionghoa yang berpendapatan rendah.40 Pada Pemilu Parlemen dari tahun 1978, sebelum memasuki pemerintahan Mahathir hingga tahun 1986, BN sudah tentu selalu menjadi mayoritas perolehan kursi anggota Parlemen Malaysia. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
39
Sankaran Ramanathan dan Mohd. Hamdan Adnan, Malaysia’s General Election 1986: The Urban-Rural Dichotomy (Singapura: Institute of Southeast Asia Studies, 1988), hlm. 57. 40 Heng, “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96,” Op. Cit., hlm. 510.
13 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Tabel 2. Perolehan Kursi di Parlemen Malaysia yang diperoleh BN, MCA, dan DAP pada Tahun 1978-1986 Tahun Total Kursi yang Kursi yang MCA* DAP Kursi di diperoleh BN dimenangkan Parlemen BN (dalam persen) 1978 154 131 85,1 17 16 1982 154 132 85,8 24 9 1986 177 148 83,7 17 24 Catatan: Hasil yang diperoleh MCA merupakan bagian dari Kursi Parlemen yang diperoleh BN. Sumber: Telah diolah kembali dari. Harold Crouch, Malaysia’s 1982 General Election (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1982), hlm. 59; Khong Kim Hoong, Malaysia’s General Election 1990: Continuity, Changer, and Ethnic Politics (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), hlm.18; Sankaran Ramanathan dan Mohd. Hamdan Adnan, Malaysia’s General Election 1986: The Urban-Rural Dichotomy (Singapura: Institute of Southeast Asia Studies, 1988), hlm. 51.
Walaupun terjadi penurunan pada tahun 1978, MCA tetap unggul dalam memperoleh Kursi di Parlemen Malaysia bila dibandingkan oleh DAP. Kenyataanya, naik dan turunnya perolehan Kursi di Parlemen Malaysia oleh BN, tidak dapat dikalahkan oleh parpol oposisi. Pada tabel di atas juga memperlihatkan bahwa di pertengahan implementasi NEP, BN selalu mendominasi Parlemen Malaysia di atas 80 persen. Bahkan, bila MCA keluar dari BN akibat menolak NEP, BN akan tetap mendominasi Parlemen Malaysia. Koalisi besar BN, pada dasarnya bersifat terbuka dan MCA memiliki kebebasan untuk tetap bergabung atau keluar. Menurut Chee, dominasi UMNO di BN adalah suatu bentuk dari sistem politik yang disebut dengan “a hegemonial transactional model” (model transaksional hegemoni).41 Model pemerintahan seperti ini membentuk suatu pertukaran dari elit yang berasal dari satu parpol. Dilakukannya Pemilu Parlemen di tahun 1982, tidak lepas oleh mandat yang diberikan oleh Mahathir setelah menggantikan Hussein Onn di tahun 1981. Mahathir mengambil waktu yang tepat untuk melakukan Pemilu Parlemen lebih awal ketika terjadinya resesi ekonomi dunia yang berimplikasi dengan buruknya sumber daya finansial yang dimiliki oleh parpol oposisi. 42 Selain itu, NEP menyebabkan bertumbuhnya perekonomian dan banyak munculnya kelas menengah pada etnis Melayu menimbulkan terjadinya urbanisasi. Berpindahnya etnis Melayu dari wilayah rural menuju wilayah urban, menyebabkan terjadinya perubahan komposisi rasial di kota.43 Pertumbuhan pesat kelas menengah pada etnis Melayu terjadi di tahun 1970 hingga 1980 41
Chee dalam Francis Loh Kok Wah dan Khoo Boi Teik, peny., Democracy in Malaysia: Discourses and Practices (Surrey: Curzon Press Richmond, 2002), hlm. 26. 42 Ramanathan dan Adnan, Op. Cit., hlm. 18. 43 Ibid., hlm. 23.
14 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
membuat banyak etnis Melayu yang berkecimpung di bidang profesional, sehingga pada tahun 1980-an banyak etnis Melayu yang menjadi kelompok masyarakat komersial. 44 Hal ini menyebabkan perubahan pada komposisi masyarakat kota. Perubahan komposisi pada masyarakat kota membuat perolehan kursi DAP di Parlemen Malaysia pada tahun 1982 mengalami penurunan yang signifikan, DAP kehilangan sepuluh kursi di Semanjung Malaysia.45 Pada Pemilu Parlemen di tahun 1986 lebih berkaitan dengan krisis yang terjadi di dalam UMNO dan MCA itu sendiri, khususnya pemimpin MCA yang tersandung skandal korupsi. Hal ini berimplikasi pada buruknya perolehan kursi anggota parlemen MCA di Pemilu Parlemen tahun 1986. Masalah internal di dalam MCA dikarenakan adanya perebutan kursi jabatan Presiden MCA setelah Lee San Choon mengundurkan diri dari jabatan menteri di kabinet Mahathir sekaligus sebagai Presiden MCA. Dari masuknya pemerintahan Mahathir hingga berakhirnya implementasi NEP, terjadi tarik-menarik konstituen etnis Tionghoa di antara DAP dan MCA. Pada Pemilu Parlemen di tahun 1986, DAP memperoleh kenaikan yang signifikan dengan memperoleh 24 kursi di Parlemen Malaysia. Situasi ini menaikkan posisi parpol oposisi dan meyakinkan isu kampanye dan advokasi yang dibawa oleh DAP dengan menolak NEP. Selain itu, hal ini memperlihatkan bahwa MCA lebih memfokuskan pada kepentingan internal parpol dengan adanya perebutan jabatan Presiden MCA daripada kepentingan etnis Tionghoa.46 Pilihan MCA untuk tergabung di dalam BN akan membawa konseukensi. NEP yang merupakan keputusan di bawah BN sebagai upaya rekonstruksi ekonomi harus diterima oleh MCA. Walaupun hal ini akan bertentangan dengan kepentingan basis konstituennya. Mengedepankan harmonisasi di antara masyarakat Malaysia, pada akhirnya diterima oleh konstituen MCA. Hal ini tidak lepas dari kepentingan politik MCA, pilihan untuk tergabung di dalam BN adalah upaya untuk mengamankan pebisnis Tionghoa dari NEP. Bahkan, pada Pemilu Parlemen 1986, kekecewaan MCA terhadap rendahnya jabatan Menteri di Kabinet Malaysia tetap membuat parpol ini untuk tetap tidak merubah posisinya di dalam Parlemen Malaysia. Oleh karena itu, untuk menjadi parpol yang tergabung dalam pemerintahan, MCA harus menerima implikasi dominasi UMNO di dalam BN atau implikasi NEP terhadap konstituennya.
44
Colin Mackerras, peny., Ethnicity in Asia (London: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 95. Loh dan Khoo, Op. Cit., hlm. 22. 46 Heng, “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96,”Op. Cit., hlm. 510. 45
15 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Sedangkan pada DAP, langkah konsisten parpol ini untuk menjadi parpol oposisi tentunya tetap dilakukan. Sebelum NEP diimplementasikan, parpol ini sudah berperan sebagai parpol oposisi. Implementasi NEP yang membuat dirugikannya etnis Tionghoa, membuat parpol ini untuk tetap menolak dominasi BN di Parlemen Malaysia. Apalagi, BN dipimpin oleh UMNO yang merupakan parpol bagi etnis Melayu semakin memperkuat posisi etnis Melayu dengan implementasi NEP.
Perbedaan Kepentingan Politik Koalisi yang dibentuk pada masa pemerintahan Mahathir, mayoritas jabatan menteri yang terdapat pada kabinet diisi oleh kader UMNO. Jabatan strategis pada menteri-menteri yang berkaitan dengan ekonomi dan pendidikan tentu saja tidak diberikan kepada etnis Tionghoa. Hal ini menjadi langkah Mahathir untuk meneruskan NEP dengan baik tanpa adanya pengaruh kuat dari parpol non-Melayu. Walaupun MCA tidak dapat memperoleh jabatan Menteri Keuangan seperti sebelum NEP dimplementasikan, tetapi jabatan menteri yang diperoleh MCA merupakan kepentingan politiknya untuk memperoleh jabatan pada badan eksekutif. MCA menjadi satusatunya parpol dengan basis konstituen etnis Tionghoa yang berada di dalam kabinet. Kader MCA memperoleh jabatan menteri pada sektor pelayanan publik, sedangkan UMNO yang mewakili etnis Melayu menempati jabatan pada sektor ekonomi dan pendidikan. Hal ini bersamaan dengan fokus NEP yang mendorong etnis Melayu pada sektor ekonomi dan pendidikan. Menurut Means, hal ini merupakan suatu bentuk penegasan bahwa adanya tawarmenawar diantara elit parpol, hal ini diperoleh bukan dari proses konsultasi di antara parpol namun merupakan suatu bentuk negosiasi antara PM (pemimpin UMNO) dengan pemimpin parpol lainnya.47 Oleh karena itu, komposisi kabinet yang terbentuk tidak lepas dari kepentingan politik di antara elit parpol dalam mempertahankan posisi mereka di pemerintahan. Pada tahun 1980-an dengan semakin giatnya pembangunan ekonomi di Malaysia. Elit parpol yang merupakan etnis Melayu (UMNO) memperoleh kemenangan untuk memegang suatu tender, namun pebisnis Tionghoa yang mengimplementasikan proyek tersebut, hubungan patronase ini disebut sebagai “Ali Baba”.48 Hubungan “Ali Baba” ini terjadi selama implementasi NEP, dan tentunya akan semakin menguat ketika tahun 1980-an dengan gencarnya
47 48
Means dalam Loh dan Khoo, Op. Cit. Heng, “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96,”Op. Cit., hlm. 518.
16 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
industrialisasi di Malaysia. Situasi seperti ini menumbuhkan sumber daya kapital pada kedua pihak, baik pada elit etnis Melayu maupun pada pebisnis Tionghoa. Dalam hubungan ini, advokasi untuk etnis Tionghoa oleh DAP yang diakibatkan oleh NEP, lebih ditujukan bagi etnis Tionghoa kalangan menengah dan menengah kebawah. Sedangkan, hubungan “Ali Baba” ini hanya menguntungkan pebisnis Tionghoa. Hal ini menjadi kritik dari implementasi NEP, kebijakan ini dianggap hanya menguntungkan beberapa etnis Melayu dan etnis Tionghoa kaya, selain itu terdapat anggapan bahwa NEP merupakan konsesi di antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa.49 MCA berusaha untuk melindungi pebisnis Tionghoa dari implementasi NEP, apalagi setelah
Presiden
MCA
tidak
lagi
menjadi
Menteri
Keuangan.
Pebisnis
Tionghoa
dikonsolidasikan oleh MCA dan anggota senior parpol berlatar belakang etnis Tionghoa yang tergabung dalam BN untuk membentuk Multi-Purpose Holdings Berhad (MPHB) di tahun 1970an.50 Sedangkan dalam mengkonsolidasi modal pebisnis Tionghoa, dibuat sistem keuangan yang disebut sebagai Deposit-Taking Cooperatives (DTCs) di bawah lembaga keuangan KSM (Koperatif Serbaguna Melayu) yang didirikan oleh MCA, hal ini merupakan upaya MCA untuk melindungi dan menghubungkan pebisnis Tionghoa dengan elit Melayu.51 Pada tahun 1975 dan di bawah NEP, ICA diimplementasikan sehingga membuat pebisnis Tionghoa memiliki ketergantungan dengan etnis Melayu yang berada di pemerintahan. Baik dengan adanya hubungan langsung pebisnis Tionghoa terhadap elit Melayu ataupun melalui MCA, pola hubungan “Ali Baba” akan terbentuk dan menjadi hal yang biasa ketika elit Melayu menjadi “silent partner” dengan keuntungan yang diperoleh, dan disaat mereka tidak terlibat langsung terhadap proyek yang dilakukan oleh pebisnis Tionghoa.52 Kepentingan politik DAP memang tidak seperti MCA, DAP lebih bersifat untuk melakukan advokasi kepada basis konstituennya yang merupakan etnis Tionghoa kelas menengah ke bawah. Di sisi lain, respons DAP terhadap NEP, dan dampak yang diberikan NEP kepada etnis Tionghoa membuat naiknya dukungan dari konstituen mereka ketika Pemilu Parlemen dilaksanakan, sehingga DAP memiliki keuntungan dari NEP itu sendiri. Kenyataanya, 49
Ramanathan dan Adnan, Op. Cit., hlm. 39. Graham K. Brown, “Balancing the Risks of Corrective Surgery: The political economy of horizontal inequalities and the end of the New Economic Policy in Malaysia,” Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE) (April 2005), hlm. 4. 51 Ibid., hlm. 4. 52 Ibid., hlm. 4-5. 50
17 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
naiknya perolehan suara DAP dikarenakan turun dan naiknya disparitas ekonomi akibat NEP, bila kesenjangan diantara etnis Melayu dan etnis Tionghoa rendah, maka suara yang diperoleh DAP akan meningkat, hal ini terjadi khusus pada hasil Pemilu Parlemen 1986.53 Melihat fenomena dari perolehan suara yang diterima DAP, maka tidak hanya MCA yang berada pada posisi dilematis. Sebelumnya, bila MCA tetap menerima NEP, maka MCA akan ditinggalkan oleh basis konstituennya. Kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis yang semakin rendah, maka perolehan suara DAP akan semakin tinggi. Padahal tujuan dari NEP memang untuk menghilangkan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Rendahnya disparitas ekonomi antara kedua etnis memang merupakan cara untuk tercapainya masyarakat yang harmonis, tetapi DAP menolak bila rendahnya disparitas ekonomi yang dikarenakan naiknya pertumbuhan ekonomi etnis Melayu dikarenakan NEP yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, sehingga keseimbangan ekonomi yang terjadi bukan berasal dari kegiatan ekonomi dan pendidikan yang adil bagi seluruh kelompok masyarakat di Malaysia.
Kesimpulan Terdapat dua konsep yang digunakan, konsep konstituen dan sistem parlementer. Faktor perbedaan kelas sosial pada konstituen DAP dan MCA dianalisis dengan konsep konstituen. Pada konteks penelitian ini, konstituen dapat dikategorikan berdasarkan etnis dan kelas sosial. Baik DAP dan MCA memiliki kesamaan basis konstituen yang merupakan etnis Tionghoa, namun etnis Tionghoa yang khususnya berada pada kelas atas memilih MCA dan pada kelas bawah memilih DAP ketika Pemilu Parlemen dilakukan. Perbedaan basis konstituen ini, sekaligus memberikan perbedaan fokus perjuangan dan kepentingan politik kedua parpol. Pada konsep sistem parlementer dapat digunakan untuk menjawab faktor perbedaan posisi kedua parpol di Parlemen Malaysia dan perbedaan kepentingan politik. Untuk memastikan bahwa BN menjadi parpol mayoritas di Parlemen Malaysia, maka diperlukan koalisi besar di antara parpol. Pilihan MCA untuk tergabung di dalam BN tidak lepas dari kepentingan politik (pragmatis). Konsolidasi yang dilakukan oleh MCA terhadap pebisnis Tionghoa berupa berdirinya perusahaan maupun lembaga keuangan tidak dapat dilepaskan dari persetujuan Pemerintah Malaysia yang dijalankan oleh BN. Sedangkan DAP, parpol ini lebih bersifat idealis. Posisinya yang selalu berperan sebagai parpol oposisi di Parlemen Malaysia karena menolak dominasi 53
Ibid., hlm. 7.
18 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
etnis Melayu termasuk NEP tidak lepas dari konsekuensi, yakni sulitnya mengimplementasikan advokasi yang ditujukan kepada etnis Tionghoa kelas menengah ke bawah dan bawah.
Daftar Referensi Sumber Buku: Barlow, Colin. peny. Modern Malaysia in the Global Economy: Political and Social Change into the 21st Century. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2001. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Crouch, Harold. Malaysia’s 1982 General Election. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1982. Khong Kim Hoong. Malaysia’s General Election 1990: Continuity, Changer, and Ethnic Politics. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1991. Lijphart, Arend. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Terj. Ibrahim. et. al. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Loh Kok Wah, Francis dan Khoo Boi Teik. peny. Democracy in Malaysia: Discourses and Practices. Surrey: Curzon Press Richmond, 2002. Mackerras, Colin. peny. Ethnicity in Asia. London: RoutledgeCurzon, 2003. Means, Gordon P. Malaysian Politics. Singapore, Hodder and Stoughton Limited, 1970. Milne, R.S. dan Diane K. Mauzy. Malaysian Politcs under Mahathir. London: Routledge, 1999. J. Dalton, Russel dan Martin P. Wattenberg. peny. Parties Without Partisans: Political Change in Advanced Industrial Democracies. New York: Oford University Press, 2000. Ramanathan, Sankaran dan Mohd. Hamdan Adnan. Malaysia’s General Election 1986: The Urban-Rural Dichotomy. Singapura: Institute of Southeast Asia Studies, 1988. Rehfeld, Andrew. The Concept of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, and Instituional Design. Cambridge: Cambridge University Press, 2005 Ritchie, Jane dan Jane Lewis, peny. Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: Sage Publications, 2003. Salleh, Ismail Mudh, dan Saha Dhevan Meyanathan. The Lesson of East Asia: Malaysia Growth, Equity, and Structural Transformation. Washington, D.C.: The World Bank, 1993. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 1992. 19 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014
Sumber Jurnal: Beauchamp, Tom L. “In Defence of Affirmative Action.” The Journal of Ethics Volume 2 Nomor 2 (1998), hlm. 143-158. Brown, Graham K. “Balancing the Risks of Corrective Surgery: The political economy of horizontal inequalities and the end of the New Economic Policy in Malaysia.” Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE) (April 2005), hlm. 1-19. Chin, James. “The Malaysian Chinese Dilemma: The Never Ending Policy (NEP).” Chinese Southern Diaspora Studies Volume 3 (2009), hlm. 167-182. Heng Pek Koon. “Chinese Responses to Malay Hegemony in Penisular Malaysia 1957-96.” Southeast Asian Studies Volume 34 Nomor 3 (Desember 1996), hlm. 500-523. ----------.“The New Economic Policy and the Chinese Community in Penisular Malaysia.” The Developing Economies Volume 35 Nomor 3 (September 1997), hlm. 262-292. Holík, Jiří. “Malaysia: Between Democracy and Authoritarianism.” Association for International Affairs, Volume 5 (September 2011), hlm. 1-15. Tsebelis, George dan Eunyoung Ha. “Coalition theory: a veto players’ approach.” European Political Science Review (September 2013), Hlm. 1-27. Yasuda, Nobuyuki. “Malaysia’s New Economic and the Industrial Co-ordination Act.” The Developing Economies Volume 24 Nomor 4 (Desember 1991), 330-349. Yusof, Ishak. Malaysia’s Economy: Past, Present, & Future. Malaysia: Malaysian Strategic Research Centre, 2009. Sumber Tesis: Cheng Ming Hua. The Impact of Ethnicity on the Regional Economic Development in Malaysia. Tesis, University of Hiroshima, 2011. Makalah Seminar: Hidayat, Dedy N. “Penulisan Proposal Penelitian untun Pengembangan Ilmu”. Makalah pada Workshop Pengembangan Kegiatan Peneltian Staf Pengajar FISIP-UI. Depok: Universitas Indonesia, Maret 1996 Sumber Internet: Erlina. “Pre-university Programme: Malaysia Marticulation (Program Matrikulasi”. Malaysia Student, 11 Maret 2013. Diunduh dari http://www.malaysia-students.com/2008/11/pre-uprogramme-malaysia-matriculation.html diakses pada tgl 25/6/14, pkl. 12.00 WIB. “Malaysia: PAS Youth Defends Guang Eng Over NEP”. Mysinchew.com: 14 Maret, 2008. Diunduh dari http://www.mysinchew.com/node/8585 diakses pada tgl 6/2/14, pkl. 15.25 WIB.
20 Perbedaan respons..., Bimo Raharjo, FISIP UI, 2014