PERAN KOMUNITAS BULUTANGKIS INDONESIA (KBI) DALAM UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI INSITUTISONAL TERHADAP WARGA KETURUNAN TIONGHOA TAHUN 2002-2006: STUDI KASUS PENGHAPUSAN PRAKTIK SURAT BUKTI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (SBKRI) Widyanita, Nuri Soeseno Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang peran Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) untuk menghapus diskriminasi institusional terhadap warga keturunan Tionghoa khususnya menghapus praktik Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran KBI dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tioghoa khususnya penghapusan praktik SBKRI dan bagaimana hasilnya. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teori gerakan sosial baru digunakan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah KBI melakukan tiga cara dalam upaya penghapusan diskriminasi tersebut, yaitu melalui advokasi, melalui framing, serta melalui jejaring. Penelitian ini juga menunjukkan adanya peran yang berbeda dan saling melengkapi antara KBI dan Ornop-Ornop. Dari peran yang dilakukan, KBI berhasil mengangkat isu diskriminasi hingga draft RUU Kewarganegaraan baru diangkat kembali. Sedangkan Ornop-Ornop berperan dalam merumuskan RUU Kewarganegaraan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa perjuangan KBI dan Ornop-Ornop berhasil dengan lahirnya UU Kewarganegaraan baru. Kata kunci: Diskriminasi, Framing Issue, Kewarganegaraan, Komunitas Bulutangkis Indonesia, Organisasi Non Pemerintah, dan Warga Keturunan Tionghoa.
ABSTRACT This research examines the role of Indonesian Badminton Community (KBI) to remove institutional discrimination against the people of Chinese descendants in particular removing certificate of Nationality (SBKRI) practice. The research focuses on answering how the KBI role in efforts to eliminate discrimination against the people of Chinese descendants and how the results are. This research is an explanatory research that uses qualitative methods. This research employs New Social Movement theory. The KBI utilize three ways to eliminate the discrimination, through advocacy, framing, as well as networking. This research showed the diffrerent role and completing between KBI and Non-govermental Organizations (NGOs). KBI has role on the new Citizenship draft back so then be discussed by the parliament. While NGOs also had role in making the new Citizenship law established. The research concluded that the struggle of KBI and NGOs succeeded with the new Citizenship Act passed. Keywords: Citizenship, Discrimination, Framing Issue, Non-govermental Organizations, People of Chinese Descent, and The Indonesian Badminton Community (KBI).
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Identitas menurut Nira Yuval-Davis sering dikaitkan dengan mitos-mitos tentang kesamaan asal usul atau nasib.1 Persamaan budaya, asal-usul, nasib, membentuk identitas warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Identitas warga keturunan Tionghoa sebagai keturunan
asing
membuat
Tionghoa
seringkali
dihubungkan
dengan
persoalan
loyalitas/nasionalisme terhadap Indonesia. Warga keturunan Tionghoa sering dianggap masih berkiblat ke negeri leluhur yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena masih melaksanakan budaya dan adat leluhur mereka. Atas dasar itu mereka dianggap pantas untuk dikenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia2 (SBKRI).3 . Sejak diberlakukan mulai tahun 1978, SBKRI ini merupakan praktik diskriminasi rasial bagi warga keturunan Tionghoa. Mereka diperlakukan berbeda dengan warga Bumiputera yang hanya perlu menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau akte kelahiran dalam pengurusan dokumen pribadi. Meskipun bersifat administratif, namun pemberlakuan SBKRI setidaknya telah menunjukkan adanya perilaku diskriminatif dalam berbagai hal, mulai dari proses administratif kewarganegaraan, pembuatan KTP, memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politiknya, sertifikasi tanah di BPN, berurusan dengan bank (kredit), bahkan sampai menikah dan meninggal dunia sekali pun.4 Selain menyulitkan, pemberlakuan SBKRI juga menjadi sumber korupsi. Pengurusan SBKRI relatif lama, rumit, dan tergolong mahal untuk warga Tionghoa berekonomi rendah sekitar Rp 2–7,5 juta5. Alasan pentingnya SBKRI sebagai lampiran pengurusan dokumen dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. Selama kurang lebih 20 tahun masalah SBKRI telah menjadi sumber pendapatan tambahan bagi para pejabat birokrasi.6
1
Nira Yuval Davis. “Gender and Nation, Serial Politics and Culture” dalam Nuri Soeseno. (2010). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu Kontemporer. Depok: Departemen Politik FISIP UI. Hlm. 75. 2 Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) adalah dokumen yang ditujukan bagi WNI keturunan asing yang telah dewasa tetapi tidak memiliki bukti kewarganegaraan. SBKRI berbentuk buku saku berwarna hijau menyerupai paspor. SBKRI kemudian menjadi dokumen wajib oleh warga keturunan di Indonesia khususnya warga keturunan Tionghoa. Aturan tentang SBKRI awalnya berdasarkan pada Peraturan Menteri Kehakiman Nomor JB.3/4/12 tahun 1978 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (Permenkeh No. JB.3/4/12 1978) yang menyebutkan bahwa setiap warganegara yang perlu membuktikan kewarganegaraannya dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh SBKRI.2 3 Wahyu Effendi dan Prasetyadji. (2008). Tionghoa Dalam Cengkraman SBKRI. Jakarta: Visimedia. Hlm. 43. 4 Frans Hendra Winarta. (2011). Penghapusan Diskriminasi Etnis Tionghoa Melalui Undang-undang Kewarganegaraan dan Praktik Pemberlakuan SBKRI. Law Rieview, Vol. X, No. 3. Hlm. 400. 5 Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI). 2010. Menggugat SBKRI. Jakarta: PT Suara Harapan Bangsa. Hlm. 82. 6 Artikel Kompas pada tanggal 24 Juni 2002 berjudul “Frans Winarta: SBKRI Jadi Sumber KKN” 1
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Perlakuan diskriminatif terhadap warga keturunan Tionghoa melalui SBKRI juga dialami atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa. Identitas sebagai warga keturunan Tionghoa membuat mereka tidak luput dari pemberlakuan SBKRI. Padahal banyak atlet bulutangkis Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa. Menurut Tan Joe Hok tahun 1960-1990an hampir 80% atlet bulutangkis Indonesia adalah keturunan Tionghoa dan banyak diantaranya yang sudah mengharumkan nama Indonesia di internasional. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya lima atlet keturunan Tionghoa dari sembilan atlet bulutangkis Indonesia yang telah menyumbangkan medali emas Olimpiade. Mereka adalah Susy Susanti, Alan Budikusuma, Tony Gunawan, Chandra Wijaya, dan Hendra Setiawan. Bulutangkis Indonesia memang identik dengan keturunan Tionghoa. Dimulai dengan Yap Eng Hoo, atlet Pinang yang pada tahun 1930 dianggap sebagai penyebar permainan bulutangkis di Indonesia khususnya di wilayah Jawa.7 Setelah bulutangkis masuk ke Indonesia nama-nama Tionghoa terus melekat pada olahraga ini. Njoo Kiem Bie, Tan Joe Hok, Liem Swie King, Rudy Hartono (Nio Hap Liang), Ivana Lie (Lie Ing Hoa), Susy Susanti (Wang Lien Siang), Hendrawan (Yap Sin Wan), Hendra Setiawan adalah sedikit dari banyak atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa. Meskipun menjadi mayoritas di bulutangkis, atlet keturunan Tionghoa tetap menjadi minoritas sebagai warganegara. Meskipun mereka dilahirkan di Indonesia atau nenek moyangnya telah hidup di Indonesia selama beberapa generasi, sebagai keturunan Tionghoa tetap dianggap imigran di Indonesia. Hanya karena mereka keturunan Tionghoa loyalitas/nasionalisme mereka diragukan. Ketidakadilan mereka rasakan melalui kebijakan pemberlakuan SBKRI. Ironis ketika mereka telah berjuang dan berprestasi untuk Indonesia namun mereka tetap belum bisa mengamankan status kewargaanegaraan Indonesia sebagaimana layaknya warganegara lainnya. Padahal dalam UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU 62/1958) telah diatur tentang pemberian kewarganegaraan dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau berjasa terhadap negara, yang berarti syarat pemberian warganegara biasa tidak berlaku. Atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa mengalami berbagai kesulitan karena pemberlakuan SBKRI. Rumit dan mahalnya mengurus SBKRI membuat mereka kesulitan memperolehnya. Kasus tersebut terjadi pada Ivana Lie pada tahun 1980-an yang sempat berstatus stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) karena tidak memiliki bukti 7
Colin Brown “Sport, Politics, and Ethnicity: Playing Badminton For Indonesia” Hlm. 4-6 diakses dari http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap. indo/1149868717 pada tanggal 31 Januari 2014 pukul 18.19 WIB. 2
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
kewarganegaraan padahal sudah berulangkali berprestasi untuk Indonesia. Dengan diberlakukan SBKRI, atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa kesulitan untuk mengurus paspor bahkan untuk kepentingan bertanding membawa nama Indonesia. Selain itu, kesulitan juga dalami Susy Susanti ketika mendaftarkan pernikahannya dengan Alan Budikusuma pada tahun 1997 karena belum memiliki SBKRI. Tahun 1996 sesungguhnya menjadi awal kegembiraan warga keturunan Tionghoa termasuk atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa. Melalui Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (Keppres 56/1996), pemerintah tidak lagi memberlakukan SBKRI. Namun, sayangnya kondisi di lapangan belum berubah, warga keturunan Tionghoa masih dimintai SBKRI-nya, setidaknya untuk pengurusan dokumen pribadi dan pengajuan kredit. Kasus itu terjadi pada Hendrawan menjelang Piala Thomas tahun 2002 yang kesulitan mendapat paspor karena SBKRI miliknya yang belum rampung sejak November 2001.8 Masih adanya praktek SBKRI memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah untuk tidak lagi memberlakukan SBKRI tidak berjalan efektif dan menimbulkan kekecewaan. Keppres 56/1996 tidak dihiraukan oleh petugas di lapangan karena ternyata UU 62/1958 yang menjadi dasar hukum adanya SBKRI masih berlaku. Tetap diberlakukannya SBKRI menimbulkan kekecewaan khususnya bagi warga keturunan Tionghoa. Dari kekecewaan tersebut muncul tuntutan penghapusan diskriminasi khususnya penghapusan praktik-praktik SBKRI. Tuntutan tersebut juga dilakukan oleh Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) yang beranggotakan mantan atlet bulutangkis Indonesia dan diprakarsai serta diketuai langsung oleh Tan Joe Hok. Sejak tahun 2002 berbagai upaya dilakukan KBI untuk menyampaikan tuntutannya. Secara khusus KBI menuntut penghapusan SBKRI dan segala bentuk diskriminasi terhadap atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa dan warga keturunan Tionghoa lainnya. KBI memperjelas
tuntutannya
dengan
mengajukan
penghapusan
pasal
tentang
bukti
kewarganegaraan dari RUU Kewarganegaraan baru pengganti UU 62/1958. KBI tidak berjuang sendirian. Upaya penghapusan SBKRI telah dilakukan juga oleh sejumlah Ornop yang menentang perlakuan diskriminatif terhadap warga keturunan Tionghoa. KBI dan berbagai Ornop ini dengan cara dan kapasitas masing-masing bergerak untuk memperjuangkan penghapusan diskriminasi institusional khususnya penghapusan praktik SBKRI. Terkait dengan hal ini, kemudian peneliti merumuskan pertanyaan penelitian 8
“Pejuang Itu Berjuang Meraih SBKRI” (10 Mei 2003) diakses http://hukumonline.com/detail.asp?id=7981&cl=Fokus pada tanggal 2 Februari 2014 pukul 15.16 WIB.
dari
3
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
sebagai berikut: “Bagaimana peran KBI dalam upaya penghapusan diskriminasi institusional terhadap warga keturunan Tionghoa khususnya penghapusan praktik-praktik SBKRI?” Berdasarkan dari penjelasan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan peranan dari KBI dalam upaya penghapusan diskriminasi institusional terhadap warga keturunan Tionghoa karena praktik SBKRI sejak tahun 2002. Selain itu, penelitian ini juga akan menjelaskan hubungan KBI dengan berbagai Ornop yang memiliki tujuan yang sama dalam gerakan penghapusan diskriminasi institusional terhadap warga keturunan Tionghoa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk memahami praktik diskriminasi institusional terhadap warga keturunan Tionghoa yang telah terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya mengenai identitas warga keturunan Tionghoa di Indonesia dan memicu penelitian selanjutnya mengenai permasalahan lainnya yang dialami warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Kerangka Teori Gerakan Sosial Baru Menurut David Miller perbedaan identitas dapat memuculkan tuntutan-tuntutan. Tuntutan berupa pengakuan politik (politic of recognition) dan afirmasi terhadap identitas mereka yang berbeda.9 Menurut Miller, tuntutan tersebut berdasarkan keinginan agar sistem politik yang demokratis dapat menerima kehadiran serta memperlakukan mereka secara adil dan setara.10 Tuntutan tersebut kemudian diaplikasikan dalam gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak dari kelompok yang merasa terpinggirkan. Seperti perjuangan hak untuk mendapat perlakuan yang sama, mendapatkan perwakilan, dan hak untuk mendapatkan pengakuan atas keberbedaan. Tuntutan mengenai identitas kelompok etnis berkaitan dengan hak-hak polietnis menurut Will Kymlicka. Awalnya kelompok menuntut hak untuk menyatakan secara bebas kekhasan mereka tanpa takut akan prasangka atau diskriminasi dalam masyarakat dominan. Namun kemudian tuntutan itu berkembang menjadi langkah-langkah positif untuk membuang diskriminasi dan prasangka terhadap minoritas. Langkah-langkah tersebut untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan secara efektif mengarah pada hak-hak umum warganegara bukan mengkualifikasi sebagai hak warganegara kelompok yang dibedakan.11 Menurut Kymlicka 9
David Miller. “Citizenship and National Identity” dalam Nuri Soeseno. Op.cit., Hlm. 81. Ibid., Hlm. 83 11 Will Kymlicka (Terj.). (2002). Kewarganegaraan Multikultural. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Hlm 45. 10
4
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
pembela kelompok minoritas etnis dan bangsa menekankan perlunya kesetaraan bagi semua warga dengan mensyaratkan hak-hak yang sama tanpa memandang ras atau etnisitas.12 Tuntutan-tuntutan tersebut dapat diaplikasikan melalui gerakan sosial baru. Adanya gerakan sosial baru ini dipengaruhi oleh munculnya gerakan-gerakan sosial yang tidak mendasarkan gerakannya pada kesadaran kelas dan ideologi tertentu, melainkan pada identitas dan kesadaran/ perhatian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat secara luas.13 Gerakan sosial baru ini juga tidak mengutamakan kekerasan dan mobilisasi masa.14 Seperti yang juga diungkapkan oleh Iris Marion Young bahwa munculnya gerakan sosial baru dikarenakan dua alasan. Pertama, isu yang ditampilkan tidak semata menyangkut hak dasar manusia atau hak di bidang ekonomi tetapi lebih pada kepentingan sosial. Kedua, bentuknya bukan gerakan masa dari parpol/ organisasi tapi gerakan kelompok lokal yang punya prinsip dan gaya sendiri.15 Sedangan menurut Johnston, Larana, dan Gusfield gerakan sosial baru mempunyai ciri-ciri yaitu tidak memiliki hubungan/struktur yang jelas dengan para pengikutnya, karakteristik ideologinya berbeda dengan perjuangan kelas Marxist, sering memunculkan dimensi identitas yang sebelumnya sangat lemah dan memfokuskan pada sektor budaya, masalah-masalah simbolik yang berkaitan dengan masalah identitas ketimbang masalah ekonomi, hubungan individu dan kelompok tidak jelas, dan selalu melibatkan individu dan aspek pribadi dari hidup manusia.16 Keberhasilan dari gerakan sosial baru dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Dough Mc. Adam keberhasilan itu dipengaruhi karena kuatnya organisasi di akar rumput, adanya introspeksi kolektif terhadap berbagai prospek menuju keberhasilan, dengan memanfaatkan kesempatan politik ketika terbuka, dan adanya respon dari pihak yang memiliki kekuatan.17 Sedangkan Alberto Melucci menyebutkan adanya jaringan tersembunyi (hidden networks) dalam gerakan sosial baru. Meskipun jaringan tersembunyi terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang terpisah namun karena individu dan informasi yang beredar melalui jaringan
12
Ibid., Hlm. 162. Steven M. Buechler “News Social Movement Theories” diakses dari http://www.jstor.org/stable/4120774 pada tanggal 27 Januari 12.38 WIB 14 Hank Johnston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (Ed.). (1994). New Social Movemets: From Ideology to Identity. Philadelphia: Temple University Press. Hlm. 8. 15 Iris Marion Young. Political Theory: An Overview dalam Robert E. Godin dan Hans Dieter Klingermann. (1996). A New Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press Inc. Hlm. 492. 16 Hank Johnston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (Ed.). Op.cit., Hlm 6-8. 17 Dough Mc. Adam, Sidney Torrow, dan Charles Tilly. Toward An Integrated Perspective on Social Movement and Revolution, dalam Mark Irving Lichbach and Alan S. Zuckerman. 1997. Comparative Politics, Rationality, Culture, and Structure. US: Cambridge University Press. Hlm 143. 13
5
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
menjamin kesatuan diantaranya. Jaringan tersembunyi memungkinkan keanggotaan ganda dan membutuhkan komitmen pribadi dan solidaritas afektif dari anggotanya. 18 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih agar dapat menggambarkan, mengidentifikasi, dan memaknai fenomena sosial yang terdapat didalam masyarakat.19 Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif untuk mengkaji alasan atau keterhubungan diantara fenomena yang terjadi.20 Sumber data primer dan sekunder akan digali untuk mengumpulkan informasi terkait dengan penelitian ini. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan 15 narasumber yang terdiri dari pengurus KBI, atlet dan mantan atlet bulutangkis keturunan Tionghoa, pengurus Ornop-Ornop, pengamat tentang keturunan Tionghoa, dan perwakilan dari lembaga tinggi negara. Selain itu, penelitian juga akan dilakukan melalui studi pustaka dalam upaya memperoleh data sekunder. Studi pustaka dilakukan dengan mencari literatur yang berasal dari dokumen resmi seperti peraturan-perturan dan surat-surat resmi, serta artikel baik cetak maupun elektronik. Pembahasan Menurut Yusril Ihza Mahendra akar dari pemberlakuan SBKRI adalah Maklumat Pemerintah Tiongkok pada tahun 1950.21 Maklumat tersebut berisikan kebijakan one policy yang menyatakan bahwa setiap orang keturunan Tionghoa di dunia merupakan warga negara Tiongkok dan memiliki kewajiban untuk berbakti kepada negara leluhur dan memiliki tanggung jawab atas pembangunan negara Tiongkok.22 Untuk itu kemudian warga keturunan Tionghoa dianggap masih berkiblat pada Tiongkok dan tetap dianggap imigran di Indonesia. Warga keturunan Tionghoa dianggap sama yaitu imigran asing meskipun mereka sudah lama tinggal di Indonesia, sudah menjadi WNI, mengikuti pemilu 1955, bermata pencaharian layaknya penduduk Indonesia pada umumnya, dan bahkan telah berjasa bagi Indonesia. 18
Albert Melucci dalam Hank Johnston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (Ed.). Op.cit., Hlm. 127. W. Laurence Neuwman. (2003). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches, 5thEdition. Boston : Allyn and Bacon. Hlm. 78. 20 Jane Ritchie dan Jane Lewis. (2003). Qualitative Research A Guide for Social Students and Researchers. London: Sage Publication. Hlm. 28. 21 Artikel Gatra pada tanggal 27 Juli 2002 berjudul “Maklumat Akar Masalah” 22 Yudhanty Parama Sany. (2013). Kewarganegaraan di Indonesia: Studi Kasus Kontestasi Konstruksi Identitas Pada Orang Cina Benteng. Depok: UI-Tesis. Hlm. 2. 19
6
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
HP 5/13/14 3:01 PM Deleted: Dari k
Persepsi imigran tersebut membuat warga keturunan Tionghoa masih perlu membuktikan kewarganegaraannya melalui Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Berbagai peristiwa yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Tiongkok turut melatarbelakangi kebijakan SBKRI ini. Bermula dari kebijakan one policy, dilanjutkan dengan penandatanganan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRT tahun 1955, kemudian Perpres No. 10 Tahun 1959 tetang larangan usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibukota daerah swatantra tingkat I dan II dan residen yang berakibat pada eksodus besar-besaran warga keturunan Tionghoa termasuk mereka yang sudah menjadi WNI. Perpres tersebut berdampak pada pemanggilan dan penarikan warga keturunan Tionghoa di Indonesia untuk kembali ke Tiongkok yang ternyata permasalahan karena banyak yang tidak terangkut. Padahal mereka sudah melepas status kewarganegaraan Indonesia sehingga tetap tinggal di Indonesia dengan tidak memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia. Sedangkan yang sudah kembali ke Tiongkok justru merasa tidak betah dan ingin kembali ke Indonesia sehingga mereka masuk kembali ke Indonesia dengan menjadi imigran gelap. Menanggapi perisitiwa tersebut pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehakiman mengeluarkan kebijakan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) pada tahun 1969. Kebijakan SKKRI pada tahun 1977 dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti menjadi SBKRI melalui Keppres 52 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk. Keppres tersebut dilanjutkan oleh Menteri Kehakiman dengan mengeluarkan Permenkeh JB.3/4/12 Tahun 1978 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia diikuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB 3/31/3 Tahun 1978. Dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa SBKRI ditujukan kepada semua kaum peranakan, misalnya golongan Tionghoa, Arab, dan India. WNI keturunan dapat diberikan SBKRI untuk syarat mengurus berbagai keperluan seperti KTP, permohonan paspor, pendaftaran Pemilu, untuk pendidikan, menikah, meninggal dunia, dan lainnya. Merujuk pada Permenkeh dan Surat Edaran tersebut SBKRI digunakan untuk membuktikan kewarganegaraan Indonesia dalam berbagai proses administatif publik,
HP 5/14/14 2:54 PM Deleted: tersebut dilanjutkan dengan
HP 5/14/14 2:43 PM Deleted:
HP 5/14/14 2:43 PM Deleted: surat edaran tersebut
HP 5/14/14 2:43 PM Deleted:
dari pembuatan KTP, memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politik, membuat surat HP 5/14/14 2:46 PM
perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia.
Deleted: No.
Sebelum Keppres, Permenkeh, dan Surat Edaran tersebut, kebijakan tentang bukti kewarganegaraan sudah diatur dalam UU 62 Tahun 1958. Dalam Pasal IV Peraturan Penutup
HP 5/14/14 2:47 PM Deleted: Tahun
HP 5/14/14 2:47 PM
undang-undang tersebut disebutkan:“Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warganegara
Deleted: tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai
Deleted: UU
7
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
HP 5/14/14 2:47 PM
atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat meminta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warganegara Republik Indonesia atau tidak, menurut acara perdata biasa.”. Sesuai peraturan tersebut seharusnya SBKRI ditujukan untuk WNI namun tidak memiliki bukti kewarganegaraan. Namun dalam pelaksanaanya SBKRI hanya diterapkan kepada warga keturunan Tionghoa tanpa terkecuali.23 Kesulitan dan penderitaan dialami warga keturunan Tionghoa karena kebijakan SBKRI. Praktik pungutan dan kerumitan dalam pengurusan SBKRI membuat warga keturunan Tionghoa kesulitan mendapatkan SBKRI. Pada akhirnya banyak warga keturunan Tionghoa yang tidak memiliki SBKRI. Oleh karena itu, warga keturunan Tionghoa tetap dianggap asing atau tanpa kewarganegaraan (stateless) karena tidak memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia. Karena tidak memiliki SBKRI warga keturunan Tionghoa tidak bisa mengajukan permohonan paspor, kredit, akte kelahiran dan KTP, serta dokumen lainnya. Kesulitan dialami warga keturunan Tionghoa bukan hanya karena belum memiliki SBKRI, namun berlanjut ketika SBKRI sudah didapatkan. Ketika sudah memiliki SBKRI, warga keturunan Tionghoa harus tetap menyertakan SBKRI dalam berbagai keperluan. Berbeda dengan warga Bumiputera yang hanya perlu menyertakan KTP dalam mengurus keperluannya. Kesulitan dan penderitaan tersebut juga dialami oleh atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa. Tan Joe Hok, Liem Swie King, Ivana Lie, Susy Susanti, Alan Budikusuma, dan Hendrawan adalah contoh nama dari banyaknya atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi korban kebijakan SBKRI. Ivana Lie yang sempat berstatus tanpa kewarganegaraan (stateless), Tan Joe Hok dan Hendrawan kesulitan untuk mengurus akte kelahiran anaknya, Liem Swie King tidak bisa mengajukan kredit, Susy Susanti kesulitan mendaftarkan pernikahannya dengan Alan Budikusuma, Hendrawan dan banyak atlet bulutangkis Indonesia lainnya kesulitan mendapatkan paspor. Meskipun berstatus sebagai pahlawan dibidang olahraga dan telah berprestasi mengharumkan nama Indonesia, mereka tetap harus memiliki SBKRI dan menyertakan SBKRI dalam pengurusan dokumen sama halnya dengan warga keturunan Tionghoa pada umumnya. Ketentuan SBKRI memang bersifat administratif. Namun, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya menempatkan WNI keturunan Tionghoa pada status hukum WNI yang masih dipertanyakan (status quo).24 Selain dianggap “bukan asli”, Timur 23
Wahyu Effendi dan Prasetyadji. Op.cit., Hlm. 42. Chris Verdiansyah (Ed.). (2007). Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Hlm. 9. 24
8
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Asing, dan atas nama hukum, mereka warga keturunan Tionghoa dipaksa untuk memiliki surat bukti kewarganegaraan yang disebut dengan SBKRI, meskipun sudah berpuluh-puluh generasi etnis Tionghoa menjadi WNI. Kebijakan SBKRI juga seakan mempertanyakan kewarganegaraan dari atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa yang telah mengharumkan nama dan bangsa Indonesia. Pernyataan itu pula yang diyakini oleh Susy sehingga membuat dia bertanya-tanya (mengapa) dia yang sudah memberikan bukti kesetiaannya terhadap bangsa Indonesia namun masih diragukan kewarganegaraannya. Pada tahun 1996 pemerintah sudah berupaya untuk tidak lagi memberlakukan SBKRI. Presiden Suharto menyatakan bahwa Keppres No. 56 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa kebijakan SBKRI sudah tidak lagi diberlakukan. Namun, kondisi di lapangan masih memperlihatkan bahwa SBKRI tetap digunakan sebagai syarat pengurusan dokumen. Salah satu alasan tetap diberlakukannya SBKRI karena UU No. 62 Tahun 1958 yang dianggap menjadi dasar kebijakan bukti kewarganegaraan masih berlaku atau belum dicabut. Hal tersebut diakui oleh Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan HAM pada saat itu, yang menyatakan bahwa SBKRI tidak mungkin sepenuhnya dihapuskan, sebab UU No. 62 Tahun 1958 masih berlaku.25 Jadi, selama UU tersebut masih berlaku, petugas birokrasi pemerintah masih
ada
alasan
untuk
memberlakukan
SBKRI.
Diperlukannya
sebuah
UU
Kewarganegaraan baru pada saat itu untuk menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 jika ingin benar-benar menghentikan praktik SBKRI. Pada akhir tahun 1990-an Departemen Kehakiman sudah menyiapkan RUU Kewarganegaraan pengganti UU No. 62 Tahun 1958. Namun, sayangnya dalam Bab V RUU tersebut masih mengatur tentang Bukti Kewarganegaraan. Dalam Pasal 39 ayat 1 RUU tersebut disebutkan bahwa: “Setiap orang yang perlu membuktikan kewarganegaraan Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu, dapat mengajukan permohonan kepada Menteri atau Pejabat untuk memperolehnya”. Maka dari itu jika RUU ini kemudian disahkan justru akan melanggengkan kebijakan SBKRI yang diskriminatif. Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) dan berbagai Organisasi Non Pemerintah (Ornop) kemudian menuntut penghapusan pasal tersebut dan penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa pada umumnya. Komunitas
Bulutangkis
Indonesia
(KBI)
beranggotakan
mantan-mantan
atlet
bulutangkis Indonesia. Mereka tergerak untuk turut menyuarakan penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa khususnya penghapusan praktek SBKRI. Setelah kasus 25
Artikel The Jakarta Post pada tanggal 5 Februari 2003 berjudul “Govt Appears to be Reluctant to End Discriminatory Policies” 9
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
yang terjadi pada Hendrawan ditahun 2002, mantan-mantan atlet ini terpanggil untuk turut menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang dialami atlet bulutangkis Indonesia keturunan Tionghoa pada khususnya dan warga keturunan Tionghoa pada umumnya. KBI diprakarsai dan diketuai langsung oleh Tan Joe Hok. Sebagian dari anggota KBI juga merupakan korban dari praktik SBKRI yang diskriminatif. Dalam mewujudkan tujuannya yaitu penghapusan diskriminasi khususnya penghapusan praktik SBKRI terhadap warga keturunan Tionghoa setidaknya sejak tahun 2002 KBI telah melakukan tiga hal. Pertama, melakukan advokasi ke pemimpin lembaga tinggi negara. Latar belakang anggota KBI sebagai atlet yang telah berjasa untuk bangsa dan negara Indonesia, membuat mereka dengan mudah diterima jika berkunjung ke lembaga-lembaga tinggi negara. Kesempatan ini dimanfaatkan KBI untuk mengadvokasi dan menyampaikan langsung tuntutan mereka. Pemimpin lembaga tinggi negara baik eksekutif maupun legislatif seperti Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Kehakiman serta Ketua MPR dan Anggota DPR berhasil mereka temui langsung untuk menyampaikan tuntutannya. Dari pertemuan tersebut KBI menyadarkan pemimpin lembaga-lembaga tinggi negara bahwa praktik SBKRI masih berjalan dan perlu upaya lebih lanjut dari mereka agar praktik SBKRI benar-benar berhenti. Sebelum bertemu denga Presiden Megawati, KBI membuat surat tertanggal 24 Juni 2002 yang berisi petisi dengan ditandatangani oleh 36 atlet dan mantan atlet serta didukung oleh 8 Ornop seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang juga menuntut penghapusan praktek diskriminasi. Berikut adalah daftar kegiatan advokasi KBI beserta hasilnya: Tabel 1. Bentuk dan Hasil Advokasi KBI No. 1.
Nama Lembaga Presiden Megawati
Tanggal Juli 2002
2.
Presiden Megawati
14 April 2004
Bentuk Advokasi Melalui surat tertanggal 24 Juni 2002 yang di dalamnya terdapat petisi yang ditandatangi oleh 36 atlet adan 8 Ornop pada 2 Juli 2002. Surat diserahkan bersamaan ketika audiensi secara langsung
Komentar Lembaga dan Hasil Advokasinya Surat resmi Presiden kepada Menteri Kehakiman dan HAM tanggal 12 Agustus 2002 tentang arahan Presiden untuk tidak lagi mengeluarkan SBKRI dan memberitahu kepada seluruh instansi terkait untuk tidak lagi mempersyaratkan SBKRI. Presiden juga menghimbau untuk menghilangkan pasal bukti kewarganegaraan dalam RUU Kewarganegaraan dan aragan presiden untuk melibatkan stakeholder dalam perumusan RUU Audiensi kedua kalinya untuk Presiden menegaskan bahwa tidak ada menjelaskan permasalahan pembeda bagi seluruh warganegara. Presiden diskriminasi dan menceritakan mengatakan bahwa hanya ada dua jenis diskriminasi yang dirasakan olet warganegara yaitu WNI dan WNA. Penegasan atlet bulutangkis keturunan ini ditindaklanjuti melalui SE Dirjen Imigrasi Tionghoa. Kemudian memohon yang bersifat mengikat bagi seluruh kantor agar pemberlakuan SBKRI benar- imigrasi tentang permohonan paspor yang tidak benar dihapuskan perlu mempersyaratkan SBKRI
10
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
3.
Wapres Hamzah Haz bersama Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra
12 Maret 2003
Audiensi langsung dengan menceritakan kasus diskriminasi yang dialami atlet bulutangkis keturunan Tionghoa. KBI memohon agar diskriminasi dihilangkan di peraturan dan praktik-praktiknya
4.
Ketua MPR, Amien Rais
6 Mei 2003
5.
Anggota DPR Komisi VII, Rekso Agung Herman Bank Indonesia (BI)
21 Januari 2004
Audiensi langsung untuk menuntut penghapusan diskriminasi khususnya pemberlakuan SBKRI dan meminta agar dihapuskan aturan hukum lainnya yang bersifat diskriminatif terhadap warga keturunan Tionghoa Audiensi langsung dengan perwakilan anggota DPR
6
12 Mei 2004
Surat KBI yang ditujukan kepada gubernur BI tentang permohonan pemberitahuan ke perbankan nasional agar syarat pelampiran SBKRI dapat dihapuskan Sumber: Dioleh oleh Penulis dari berbagai sumber
Wapres menganggap masih berlakunya SBKRI karena kurang sosialisasi baik aparat maupun masyarakat. Kemudian Wapres meminta Yusril untuk membuat insruksi kepada instansi terkait untuk tidak lagi mempersyaratkan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Wapres mengeluarkan Setwapres No. B.3/3 Tahun 2003 yang memerintahan berbagai instansi untuk menertibkan dan meninda aparat yang masih memberlakukan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa Ketua MPR mendesak Presiden untuk mengeluarkan Dekrit tentang SBKRI berupa Keppres /PP karena SE Menteri bisa tidak ditanggapi di lapangan dan harus ada sanksi yang melekat dan meminta pemerintah untuk mencabut 30 PP dan peraturan tentang kewajiban memiliki SBKRI Berjanji menindaklanjuti tuntutan pencabutan SBKRI dan segala bentuk diskriminasi bagi warga keturunan Tionghoa Melalui Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan dikeluarkan SE BI No. 6/281/DPNP/ICPnP tanggal 11 Juni 2004 yang ditujukan kepada Bank Umum agar dalam pemberian jasa dan layanan perbankan tidak lagi mempersyaratkan SBKRI
Selain mengadvokasi dengan melakukan audiensi dan surat resmi, KBI juga melakukan berbagai kegiatan sosial untuk mencari dukungan masyarakat luas. KBI mengadakan acara lelang dan menggelar pertandingan yang hasilnya digunakan untuk tujuan sosial. Dalam setiap kegiatan mereka, KBI selalu menekankan dan menyampaikan perihal tuntutan penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Melalui penyampaian dalam kegiatan-kegiatan mereka tersebut, KBI mendapat dukungan dari masyarakat untuk berjuang menghapus diskriminasi. Kedua, KBI melalukan framing issue. Framing issue dilakukan ketika KBI melalukan berbagai kegiatannya dengan memanfaatkan media. Framing menurut Erving Goffman adalah proses pemilihan fakta atau aspek tertentu dalam realitas, sehingga realitas yang sudah diseleksi tersebut menjadi lebih menonjol.26 Menurut konsep framing, keberhasilan gerakan sosial tergantung pada keberhasilan mendefinisikan masalah dari suatu peristiwa dan membuat alternatif penyelesaiaan yang masuk akal untuk mengatasi masalah tersebut.27 26
Erving Goffman. (1974). Frame Analys: An Essay on the Organization of Experience. London: Harper and Row. Hlm. 21. 27 Robert M. Entman. Farming: Toward Clarification of Fractured Paradigm. Journal of Communication, Vol 3, No. 4. Hlm. 51. 11
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Framing dilakukan KBI dengan menggunakan kasus yang dialami oleh atlet bulutangkis keturunan Tionghoa sebagai contoh dari ketidakadilan yang juga dirasakan oleh warga keturunan Tionghoa. Meskipun atlet bulutangkis keturunan Tionghoa sudah menyumbangkan banyak medali dan mengharumkan nama Indonesia, karena identitas sebagai warga keturunan Tionghoa tetap saja terkena dampak dari kebijakan SBKRI. Dengan menonjolkan kasus yang dialami oleh atlet bulutangkis keturunan Tionghoa, KBI mengajak berlogika bahwa sebagai orang yang berjasa tetap mengalami diskriminasi, kemudian (bagaimana) dengan warga keturunan Tionghoa biasa. Melalui framing, KBI ingin menunjukkan bahwa diskriminasi dialami oleh semua warga keturunan tanpa terkecuali. Melalui media KBI mengenalkan kepada masyarakat luas permasalahan diskriminasi yang dialami oleh warga keturunan Tionghoa khususnya yang dialami oleh atlet bulutangkis keturunan Tionghoa. Melalui media pula, KBI melakukan framing sehingga permasalahan diskriminasi diketahui oleh masyarakat luas. Berikut adalah hasil dari framing melalalui press conference yang dilakukan oleh KBI: Tabel 2. Daftar Artikel Hasil Press Conference KBI No. Tanggal Penerbit 1. 3 Juli 2002 Bisnis Indonesia 2 3 Juli 2002 Sinar Harapan 3. 3 Juli 2002 Suara Karya 4. 3 Juli 2002 Koran Tempo 5. 3 Juli 2002 Warta Kota 6. 4 Juli 2002 Kompas 7. 14 Juli 2002 The Jakarta Post 8. 27 Juli 2002 Gatra 9. 31 Januari 2003 The Jakarta Post 10. 13 Maret 2003 Berita Kota 11. 13 Maret 2003 Rakyat Merdeka 12. 13 Maret 2003 Koran Tempo 13. 13 Maret 2003 Kompas 14. 13 Maret 2003 Sinar Harapan 15. 7 Mei 2003 Media Indonesia 16. 8 Mei 2003 Kompas 17. 8 Mei 2003 The Jakarta Post 18. 10 Mei 2003 Hukum Online 19. 19 Mei 2003 Kompas 20. 29 Januari 2006 Jawa Pos Sumber: Diolah oleh Penulis
Judul Komunitas Bulutangkis Minta SBKRI Dicabut Masyarakat Bulutangkis Tolak SBKRI Diskriminasi Di Bulutangkis Harus Diakhiri Hapuskan SBKRI Enyahlah Diskriminasi Kewarganegaraan dari Indonesia SBKRI Digunakan Untuk Memperkuat Identitas Stateless and Discriminated Against In Their Country Maklumat Akar Masalah Govt Told to End Discrimination Atlet Keturunan Temui Wapres Masih Ada Diskriminasi Atlet Keturunan: JANGAN BEDAKAN KAMI! Komunitas Bulutangkis Keluhkan Diskriminasi Kewarganegaraan WNI Keturunan Tak Perlu Punya SBKRI KTP Diskriminasi Itu Bernama SBKRI Etnis Tionghoa Jangan Dipersulit Jadi WNI Megawati Didesak agar Keluarkan Dekrit Soal SBKRI” Athlete Protes Discriminatory Laws Pejuang Itu Berjuang Meraih SBKRI SBKRI Langgar UUD 1945 Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
Dari peliputan media ini, isu mengenai diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa berkembang menjadi isu nasional yang diketahui masyarakat luas. Berkembangnya isu membuat DPR sadar dan terdesak untuk segera mengeluarkan UU Kewarganegaraan baru pengganti UU 62/1958 yang merupakan dasar kebijakan diskriminatif. Sebelum isu ini berkembang, UU Kewarganegaraan baru tidak menjadi prioritas oleh DPR karena tidak mengetahui dan tidak menganggap bahwa UU 62/1958 menimbulkan permasalahan. 12
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Ketiga adalah jejaring KBI dengan Ornop-Ornop. Selain KBI, ada berbagai Ornop yang juga bergerak untuk menghapus diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa. Berbagai Ornop didirikan setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Kesempatan politik yang terbuka dimanfaatkan untuk mendirikan dan mengaktifkan Ornop-ornop yang sempat mati suri pada pemerintahan Orde Baru. Ornop-ornop didirikan pasca Mei 1998 seperti Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB), Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), PSMTI, dan Perhimpunan INTI. Ornop-Ornop tersebut beragam bentuknya, namun dipersatukan dengan komitmen untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan bagi warga keturunan Tionghoa serta perlawanan terhadap kebijakan dan praktik diskriminasi. FKKB dan Gandi sejak tahun 1999 telah melakukan perumusan RUU yang mandeg di Departemen Kehakiman. Dengan membentuk Panitia Kerja Pengkajian Peraturan Diskriminatif (Panja P3D Komnas HAM) yang terdiri dari Komnas HAM, Gandi, dan FKKB, Ornop-Ornop ini mengambil alih dan merevisi draft RUU. Penyerapan aspirasi ke daerah juga dilakukan untuk melengkapi draft tersebut. Hasil revisi draft tersebut kemudian diserahkan kepada Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR RI) agar segera dibahas di DPR. Tahun 2002 sempat ada pembahasan RUU antara Ornop dengan Baleg DPR RI. Tepatnya pada 14 Februari 2002 dan 27 Juni 2002 Tim Asistensi Baleg DPR RI bersama Panja P3D Komnas HAM melakukan pertemuan untuk membahas RUU Kewarganegaraan. Namun pada saat itu sempat mengalami kebuntuan karena UU Kewarganegaraan tidak dianggap penting dan belum diprioritaskan. Padahal sesungguhnya UU Kewarganegaraan baru sudah menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2000-2004 namun kemudian justru dipandang bukan menjadi RUU prioritas yang harus segera dibahas. Dari sinilah kemudian muncul pemikiran bahwa isu mengenai diskriminasi dengan pemberlakuan SBKRI harus dipersoalkan dan diangkat ke ruang publik terlebih dahulu agar akhirnya diterima oleh DPR untuk dibahas RUU-nya. Tan Swie Ling dari media Sinergi Indonesia melihat adanya peluang yang terbuka untuk “menggelindingkan” isu penghapusan SBKRI seperti “bola salju”. Tan Swie Ling merasa bahwa isu SBKRI bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal politik. Isu mengenai SBKRI harus digulirkan menjadi isu politik oleh orang yang punya bobot dan bisa diterima oleh semua pihak bukan hanya oleh Ornop-Ornop. Tan Swie Ling kemudian membentuk Forum Pemilik/Pemegang SBKRI dengan mengajak tokoh-tokoh masyarakat terkait seperti Tan Joe Hok dan Dr. Frans Tsai untuk “menggulirkan bola salju isu” penghapusan SBKRI
13
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
menjadi isu politik dengan skala nasional.28 Sosialisasi dilakukan oleh forum ini untuk mewujudkan tujuannya dan mendapatkan dukungan. Setelah mendapat dukungan dari berbagai pihak, pembahasan RUU Kewaraganegaraan baru bisa berjalan di DPR. Isu SBKRI semakin membesar ketika Tan Joe Hok berhasil menggerakkan mantanmantan atlet bulutangkis melalui KBI untuk menuntut penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa khususnya tentang pratik SBKRI. Menurut Tan Swie Ling atas peran dan jasanya terhadap bangsa dan negara baik secara kelompok atau individu, anggota KBI paling mungkin didengar dan diterima untuk menggulirkan isu SBKRI.29 Setelah “bola salju” permasalahan SBKRI menggelinding semakin kencang, DPR semakin terdesak untuk segera membahas RUU Kewarganegaraan menggantikan UU 62/1958 yang telah diabaikan. Selain oleh KBI isu mengenai diskriminasi ini juga sempat dikembangkan oleh Komite Pembela Hak-Hak Sipil dan Anti Diskriminasi. Ratusan tokoh, seperti atlet, politisi, agamawan, artis, sejarahwan, dan wartawan bergabung di dalamnya dan menandatangani petisi yang akan disampaikan oleh Presiden (ditembuskan ke DPR dan lembaga tinggi negara lainnya). Petisi tersebut dicetuskan oleh Ketua KBI, Tan Joe Hok; ekonom Drajad Wibowo; advokat Frans Hendra Winarta; Ketua Umum Partai Perjuangan Bhinneka Tunggal Ika, Frans Tshai; Ketua Gandi, Wahyu Effendi; dan Pedeta Ronny Sigarlaky. Petisi yang disampaikan secara terbuka pada Selasa 3 Februari 2004 dengan ditandatangani oleh 214 orang30 dan pada 19 Februari 2004 sudah meliputi 25 kota di seluruh Indonesia dengan jumlah penandatangan sekitar 500 orang dari berbagai profesi atau pekerjaan, tidak kurang dari 106 jenis31. Perkembangan isu penghapusan diskriminasi direspon oleh DPR dengan segera dilakukan pembahasan RUU Kewarganegaraan baru. RUU yang memang sudah ada di Departemen Hukum dan HAM diambil alih oleh DPR. Pada tahun 2005 DPR berinisiatif untuk mengambil alih usulan RUU dan kemudian membahasnya. Tepatnya pada tanggal 27 Mei 2005 dilayangkan Surat Pengusul kepada Pimpinan DPR RI tentang penyampaian RUU Usul. Proses pembahasan RUU Kewarganegaraan bergulir pada tahun 2005 hingga 2006. Selama pembahasan RUU tingkat I dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang berbagai Ornop termasuk Ornop yang bertujuan menghapus diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa. Pada RDPU pertama tanggal 7 September 2005 28
Tan Swie Ling. (2010). G30S, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm. 480. 29 Ibid., Hlm. 480. 30 “Minta UU Diskrimintatif Dicabut, Ratusan Tokoh Sampaikan Petisi ke Presiden” diakses dari http://gandingo.org/index.php?option=com_content&limitstart=85 pada tanggal 2 Februari pukul 15.14 WIB 31 “Dukungan Atas Petisi Anti Diskriminasi Makin Meluas” diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9724/dukungan-atas-petisi-anti-diskriminasi-makin-meluas pada tanggal 17 Mei 2013 pukul 17.50 WIB 14
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
mengundang Koalisi Kewarganegaraan Republik Indonesia yang terdiri dari Gandi, FKKB, SNB, dll. Pada RDPU kedua dan ketiga tanggal 21 September 2005 dan 21 November 2005 mengundang Perhimpunan INTI dan PSMTI. Beberapa usulan seperti pengertian warganegara, pengertian orang Indonesia asli, tidak dituliskannya bukti kewarganegaraan dalam UU tersebut, dwi kewarganegaraan terbatas untuk anak, dan perempuan yang boleh mewariskan kewarganegaraan kepada anaknya disampaikan oleh Ornop-Ornop tersebut. Setelah terlibat langsung, Ornop-Ornop tersebut terus mengawal pembahasan RUU tersebut.32 Dalam pembahasan RUU Kewarganegaraan di DPR tersebut KBI tidak terlibat. Hal ini diakui oleh Gandi Sulistiyanto bahwa peran serta KBI tidak mencakup hingga pembahasan RUU dan ia mengakui bahwa anggota KBI tidak memiliki kapasitas dalam bidang hukum. Menurutnya, pada tahap pembahasan RUU di DPR perjuangan KBI lebih pada perjuangan moril. Dalam pembahasan RUU di DPR, KBI menitipkan perjuangannya kepada DPR dan Ornop lainnya yang lebih memiliki kapasitas dalam perumusan undang-undang untuk menyusun dan segera mengesahkan UU Kewarganegaraan baru.33 Masing-masing kegiatan KBI, Ornop, dan DPR dapat disimpulkan sebagai berikut: Tabel 3. Kegiatan KBI, Ornop, dan DPR dalam Upaya Penghapusan SBKRI No 1.
Tanggal Tahun 2000
Kegiatan KBI Tergabung dalam Forum Pemilik/Pemegang SBKRI
2. 3. 4.
Januari 2002 Mei 2002 Juni 2002
5. 6.
Juli 2002 Maret 2003
7.
Mei 2003
8.
Januari 2004
9.
April 2004
10.
Mei 2004
Kasus Hendrawan terjadi Pembuatan Petisi dan Surat kepada Presiden Audiensi dengan Presiden Audiensi dengan Wapres dan Menteri Kehakiman dan HAM Audiensi dengan Ketua MPR Audiensi dengan Anggota DPR Audiensi kedua dengan Presiden Surat kepada Bank Indonesia dan kegiatan sosial
11.
Januari 2005
Kegiatan Ornop Panja P3D Komnas HAM (FKKB dan Gandi) mengambil draft RUU di Dephukham dan dirumuskan kembali Pembahasan di Baleg Pembahasan di Baleg
Kegiatan DPR RUU Kewarganegaraan merupakan bagian dari prolegnas namun belum diagendakan pembahasannya Pembahasan di Baleg Pembahasan di Baleg -
Sosialisasi ke berbagai kelompok dan pemetaan dukungan
Akhir jabatan DPR periode 1999-2004 Awal jabatan DPR periode 2004-2006. RUU Kewarganegaraan kembali menjadi agenda prolegnas dan diprioritaskan
Kegiatan sosial
32 33
Risalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI Wawancara dengan Gandi Sulistiyanto pada tanggal 30 April 2014 15
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
12.
Mei 2005
-
13.
November 2005
-
-
14. 15.
September 2005 Agustus 2006
-
Turut serta dalam RDPU -
Usulan RUU melalui hak inisiatif DPR Pembahasan RUU tingkat 1 RDPU pembahasan RUU Pengesahan UU Kewarganegaraan 12/2006
Sumber: Diolah oleh Penulis
Pada Agustus 2006 disahkan UU Kewarganegaraan baru No. 12/2006 yang otomatis menggantikan UU Kewarganegaraan lama No. 62/1958. UU 12/2006 juga menghapus ketentuan pembuktian kewarganegaraan RI yang sebelumnya diatur dalam UU 62/1958. Secara prinsip hukum, persoalan SBKRI sudah terselesaikan dengan adanya UU 12/2006 karena UU 12/2006 menghapus dikotomi rasial Indonesia asli dan bukan asli. Dengan peraturan tersebut secara prinsip hukum kewarganegaraan, WNI Tionghoa yang menjadi WNI sejak lahir tidak lagi membutuhkan pembuktian kewarganegaraan RI. Karena sejak lahir telah menjadi WNI dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, WNI keturunan Tionghoa digolongkan menjadi orang Indonesia asli menurut UU 12/2006. Sesudah UU ini disahkan kemudian pemerintah secara tegas menyatakan tidak perlu ada bukti kewarganegaraan khusus seperti SBKRI untuk warga keturunan Tionghoa. Sama seperti WNI lainnya, bukti kewarganegaraan bagi warga keturunan Tionghoa hanya cukup dengan menggunakan akte kelahiran dan KTP.34 Setelah UU 12/2006 disahkan praktis perjuangan KBI dan beberapa Ornop lainnya dalam penghapusan praktik SBKRI terhadap warga keturunan Tionghoa telah berhasil. Kesimpulan Setelah sekitar 30 tahun warga keturunan Tionghoa mengalami diskriminasi melalui kebijakan SBKRI, pada akhirnya kebijakan ini dihapuskan melalui dihilangkannya pasal bukti kewarganegaraan dalam UU 12/2006. Dalam UU ini warga keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia dinyatakan sebagai orang Indonesia yang asli yang kemudian tidak perlu membuktikan kewarganegaraannya melalui bukti khusus. Lahirnya UU ini disambut meriah oleh masyarakat Indonesia khususnya warga keturunan Tionghoa. Dengan lahirnya UU ini perjuangan tuntutan penghapusan diskriminasi telah memuai hasil. Perjuangan penghapusan yang dilakukan KBI berhasil membawa isu diskriminasi ini sampai akhirnya dilakukan pembahasan RUU ini di DPR pada tahun 2005. Melalui advokasi ke lembaga eksekutif dan legislatif (Presiden, Wapres, Menteri Kehakiman dan HAM, Ketua MPR, Anggota DPR), melalui framing issue di media, dan jejaring dengan Ornop-Ornop yang 34
Wawancara dengan Slamet Effendy Yusuf pada tanggal 24 April 2014 16
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
dilakukan oleh KBI membuat isu ini diketahui dan disadari oleh lembaga tinggi negara dan masyarakat luas. Latar belakang anggota KBI yang merupakan mantan atlet yang berjasa bagi bangsa Indonesia membuat KBI diterima semua kalangan untuk menggulirkan isu ini. Selain KBI, ada beberapa Ornop yang bertujuan sama yaitu penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa. Beberapa Ornop melakukannya peranannya dengan turut merumuskan RUU Kewarganegaraan sebelum akhirnya disahkan menjadi UU 12/2006. Ornop-Ornop seperti PSMTI, INTI, Gandi, FKKB, dan SNB turut memberikan masukananya dalam RDPU pembahasan RUU tersebut. Selain turut merumuskan, Ornop-Ornop terus mengawal sampai RUU ini disahkan menjadi UU 12/2006. KBI dan Ornop-Ornop mewujudkan tujuannya sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Meskipun bergerak secara sendiri-sendiri namun dengan kegiatan yang dilakukan, secara tidak disadari mereka memiliki jaringan tak terlihat yang saling melengkapi dalam mewujudkan penghapusan praktik SBKRI terhadap warga keturunan Tionghoa. Jerjaring yang ada pada KBI dan Ornop-Ornop seperti yang dikatakan oleh Alberto Melucci tentang adanya jaringan tersembunyi (hidden networks) dalam gerakan sosial baru. Tuntutan penghapusan SBKRI itu sebelumnya dilakukan karena melihat kasus yang dialami oleh warga keturunan Tionghoa yang mengalami diskriminasi karena identitasnya sebagai warga keturunan asing di Indonesia. Meskipun telah lahir, menetap dan mengabdikan diri bagi bangsa Indonesia, warga keturunan Tionghoa tetap dianggap entitas yang berbeda dan kemudian dibedakan perlakuannya dari penduduk Bumiputera lainnya. Tuntutan tersebut lahir karena keinginan untuk memperoleh pengkuan sebagai warga negara Indonesia seutuhnya serta keinginan mendapatkan perlakuan yang adil dan setara sebagai WNI. Secara keseluruhan, penelitian ini berkesimpulan bahwa peran yang dilakukan oleh KBI dan Ornop-Ornop berhasil membawa permasalahan diskriminasi melalui kebijakan SBKRI sehingga kemudian lahir UU 12/2006. Keberhasilan ini salah satunya karena adanya kesempatan politik yang terbuka setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru sehingga KBI dan Ornop-Ornop dapat melakukan peranannnya. Melalui peranan yang dilakukan KBI dan Ornop berhasil mewujudkan tujuannya yaitu penghapusan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa khususnya penghapusan praktik SBKRI. Daftar Referensi Sumber Buku Effendi, Wahyu dan Prasetyadji. (2008). Tionghoa Dalam Cengkraman SBKRI. Jakarta: Visimedia. 17
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Godin, Robert E. dan Hans Dieter Klingermann. (1996). A New Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press Inc. Goffman, Erving. (1974). Frame Analys: An Essay on the Organization of Experience. London: Harper and Row. Johnston, Hank, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield (Ed.). (1994). New Social Movemets: From Ideology to Identity. Philadelphia: Temple University Press. Kymlicka, Will (Terj.). (2002). Kewarganegaraan Multikultural. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Lichbach, Mark Irving and Alan S. Zuckerman. 1997. Comparative Politics, Rationality, Culture, and Structure. US: Cambridge University Press. Ling, Tan Swie. (2010). G30S, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu. Neuwman, W. Laurence. (2003). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches, 5thEdition. Boston : Allyn and Bacon. Ritchie, Jane dan Jane Lewis. (2003). Qualitative Research A Guide for Social Students and Researchers. London: Sage Publication. Soeseno, Nuri. (2010). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu Kontemporer. Depok: Departemen Politik FISIP UI. Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI). 2010. Menggugat SBKRI. Jakarta: PT Suara Harapan Bangsa. Verdiansyah, Chris (Ed.). (2007). Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Tinjauan Kritis. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Pengalaman
dan
Buechler, Steven M. “News Social Movement Theories” diakses http://www.jstor.org/stable/4120774 pada tanggal 27 Januari 12.38 WIB
dari
Jurnal dan Laporan
Brown, Colin “Sport, Politics, and Ethnicity: Playing Badminton For Indonesia” diakses dari http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.i ndo/1149868717 pada tanggal 31 Januari 2014 pukul 18.19 WIB. Entman, Robert M. Farming: Toward Clarification of Fractured Communication, Vol 3, No. 4.
Paradigm. Journal of
Winarta, Frans Hendra. (2011). Penghapusan Diskriminasi Etnis Tionghoa Melalui Undang undang Kewarganegaraan dan Praktik Pemberlakuan SBKRI. Law Rieview, Vol. X, No. 3. Skripsi, Tesis, dan Disertasi
18
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014
Sany, Yudhanty Parama. (2013). Kewarganegaraan di Indonesia: Studi Kasus Kontestasi Konstruksi Identitas Pada Orang Cina Benteng. Depok: UI-Tesis. Artikel dari Koran Internet Artikel Gatra pada tanggal 27 Juli 2002 berjudul “Maklumat Akar Masalah” Artikel Kompas pada tanggal 24 Juni 2002 berjudul “Frans Winarta: SBKRI Jadi Sumber KKN” Artikel The Jakarta Post pada tanggal 5 Februari 2003 berjudul “Govt Appears to be Reluctant to End Discriminatory Policies” “Dukungan Atas Petisi Anti Diskriminasi Makin Meluas” diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9724/dukungan-atas-petisi-antidiskrimin asi -makin-meluas pada tanggal 17 Mei 2013 pukul 17.50 WIB “Minta UU Diskrimintatif Dicabut, Ratusan Tokoh Sampaikan Petisi ke Presiden” diakses dari http://gandingo.org/index.php?option=com_content&limitstart=85 pada tanggal 2 Februari pukul 15.14 WIB “Pejuang Itu Berjuang Meraih SBKRI” (10 Mei 2003) diakses dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=7981&cl=Fokus pada tanggal 2 Februari 2014 pukul 15.16 WIB.
19
Peran komunitas…, Widyanita, FISIP UI, 2014