KEBIJAKAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN MELALUI MESIN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) DITINJAU DARI ASAS EASE OF ADMINISTRATION Larasati Pritania1 dan Haula Rosdiana2 1.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Salah satu pemanfaatan teknologi dalam administrasi perpajakan ialah pembayaran pajak secara online. Pembayaran pajak secara online dapat berbentuk pembayaran melalui ATM. Pembayaran pajak melalui ATM diterapkan bagi Usaha Kecil dan Menengah sebagai sarana mempermudah administrasi perpajakan, selain itu pembayaran online membuat cost of taxation relatif rendah sehingga sistem perpajakan selaras dengan Ease of Administration. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisis penerapan kebijakan pembayaran PPh melalui ATM bagi UKM serta menganalisis apakah kebijakan ini sudah sesuai dengan asas ease of administration. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode kombinasi. Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukan bahwa pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM belum memenuhi Asas Ease of Admnistration. Hal ini menjadikan kebijakan ini tidak efisien dan efektif. Kata Kunci : E-Payments, Kepatuhan Pajak, Biaya kepatuhan, Asas Ease of Administration, UKM
ABSTRACT One of the utilization of technology in tax administration is online tax payments. Online tax payment may take the form of payment by the Automatic Teller Machine (ATM). Tax payment through the ATM is applied for Small and Medium Enterprises as a means to simplify tax administration, in addition, tax online payments can make the cost of taxation relatively low so that the tax systems can be in harmony to the principle of ease of administration. The purpose of this research is to analyze the application of income tax payment through ATM’s policy for SMEs and to analyze whether this policy is in accordance with the principle of ease of administration. This research uses quantitative approach with mixed methods. The result if this research shows that income tax payment through the ATM for Small and Medium Enterprises have not fulfill the needs of the principle of ease of administration. This make the policy of this case is not effective and effcient. Kata Kunci : E-Payments, Tax Compliances, Cost of Taxation, Ease of Administration, SMEs
Pendahuluan Dalam era globalisasi, setiap negara saling berupaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang ada. Kemajuan teknologi dilihat sebagai suatu upaya yang dapat membantu kemajuan negara dalam segala bidang kehidupan di negara. Salah satu tujuan dari teknologi ialah untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih mudah, lebih efisien, lebih
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
efektif, lebih inovatif, dan menjadi lebih baik. Melalui teknologi dapat terjadi efisiensi terhadap waktu serta peningkatan usaha. Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi dalam pelayanan publik ialah e-Government. e-Government
mencakup
semua
pemanfaatan
berbagai
media
elektronik
dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Menurut beberapa penelitian yang ada, dengan penggunaan eGovernment, kualitas pelayanan pemerintah dapat meningkat (Vassilakis et al., 2004), partisipasi warga dalam aktivitas publik meningkat (Lytras, 2006), kepercayaan masyarakat pada pemerintah meningkat (Abie et al, 2004) dan birokrasi pemerintah dapat lebih akuntabel serta transparan (Eyob, 2004). Selain itu, urusan pajak dapat ditangani dengan lebih nyaman dan baik (Hwa Hu et al., 2009). Salah satu bentuk turunan dalam e-Government ialah e-Service. e-Service dapat didefinisikan sebagai pelayanan-pelayanan yang dapat diberikan secara elektronik (Javalgi, Martin, dan Todd, 2004). Melalui e-Service pemerintah dapat memberikan pelayanan publik dalam bentuk elektronik kepada masyarakat. Salah satu, jenis e-Service yang ada yang dapat diberikan oleh pemerintah ialah dalam hal pajak. Dengan adanya e-Government dan e-Service, maka penerapan teknologi dalam bidang perpajakan dapat dilakukan. Pemanfaatan teknologi dalam hal perpajakan banyak disebut sebagai e-Taxes (Electronic Taxes). e-Taxes mempunyai tujuan untuk mencapai peningkatan kualitas pelayanan dan peningkatan efisiensi administrasi perpajakan, serta diharapkan dapat mengurangi biaya-biaya yang akan dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam membayarkan pajaknya. Melalui e-Taxes, Wajib Pajak dapat melaporkan pajak, menyiapkan semua dokumen yang dibutuhkan untuk dilaporkan, dan membayar pajak terutang melalui teknologi yang disediakan pemerintah. Pemerintah Indonesia mengeluarkan salah satu kemudahan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu melalui pembayaran melalui Mesin Anjungan Tunai (ATM). Pembayaran pajak melalui mesin ATM ini ditujukan untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Milyar dalam setahun. Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Milyar dalam setahun merupakan Wajib Pajak yang bergerak dalam kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak dari sektor UKM, pemerintah menggunakan teknologi sebagai alat yang dapat mempermudah pelaksanaannya. Penggunaan teknologi ini merupakan salah satu pencerminan penerapan e-Goverment. Penggunaan teknologi dalam optimasilasi penerimaan pajak dari UKM ini ialah berupa kemudahan
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
pembayaran pajak melalui mesin ATM bagi pengusaha UKM. Kebijakan ini merupakan suatu bentuk bantuan pemerintah dalam membantu akselerasi pertumbuhan UKM. Untuk dapat melihat apakah kebijakan ini efektif dan efisien diterapkan bagi UKM, maka dilakukan penelitian mengenai kebijakan ini dengan meninjau kebijakan ini dari segi asas ease of administration. Kebijakan ini merupakan suatu kemudahan bagi Wajib Pajak UKM dalam membayarkan pajaknya, namun apakah dalam penerapannya kebijakan ini dapat berjalan sesuai dan apakah kebijakan ini telah memenuhi asas ease of Administration. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang menjadi acuan dalam kerangka berpikir dan melakukan analisis atas temuan yang didapatkan di lapangan yakni teori mengenai Ease of Administration. Teori ini memfokuskan apakah kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM dapat memenuhi empat indikator asas ease of administration. Keempat indikator tersebut adalah certainty, convinience, efficiency, dan simplicity (Rosdiana dan Irianto, 2012). Asas certainty menyatakan bahwa harus ada kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana pajak yang terutang harus dibayar. Kepastian ini menyangkut juga prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu prosedur pembayaran dan pelaporan, sertah hak-hak perpajakannya. Asas convinience menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang memudahkan Wajib Pajak. Saat yang memudahkan bagi Wajib Pajak misalnya saat Wajib Pajak mendapatkan gaji atau penghasilan. Asas efficiency dapat dilihat dari dua sisi, sisi Fiskus dan sisi Wajib Pajak. Dari sisi Fiskus, pemungutan dikatakan efisien jika biaya pemungutan tersebut lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Asas simplicity menitikberatkan pada peraturan yang sederhana, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Undang-Undang serta kebijakan-kebijakan perpajakan harus disusun berdasarkan asas kesederhanaan. Dalam menghitung pajak terutang atau dalam pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan harus didasarkan pada asas kesederhaan. Konsep dari asas ease of administration menjadi acuan utama dalam mengukur seberapa efesien dan efektif penerapan kebijakan pembayaran pajak penghasilan bagi UKM yang telah diterapkan. Selain itu, teori mengenai tax compliance menjadi teori lain yang digunakan dalam penelitian ini. Menurut Simon, seperti yang dikutip Gunadi (2005),
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
pengertian kepatuhan pajak adalah Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Kepatuhan pajak dapat mempengaruhi kesedian Wajib Pajak dalam melunasi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat berjalan dengan adanya kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang menggunakan metode kombinasi (Mixed Method). Pendekatan dengan metode kombinasi merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat pragmatisme. Menurut Creswell (2013), filsafat pragmatisme berpandangan bahwa dunia bukan merupakan kesatuan yang absolut. Dengan ini, penelitian kombinasi melihat dunia/realitas dari berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data, dan tidak hanya dengan satu macam pendekatan saja. Metode penelitian kombinasi merupakan metode yang menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan pada tujuan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan manfaat penelitian murni karena murni dilakukan untuk kepentingan akademis tanpa disponsori pihak manapun serta dengan waktu penelitian yang ditentukan oleh peneliti yakni pada bulan Maret 2014 hingga Juni 2014. Penelitian mengenai kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui mesin anjungan tunai mandiri (ATM) bagi usaha kecil dan menengah (UKM) ditinjau dari asas ease of admnistration diawali dari proses pengumpulan data kualitatif mengenai kebijakan ini dengan melakukan wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kebijakan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Kantor Pajak Pratama Tanah Abang 2, serta Akademisi. Selanjutnya penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif melalui penyebaran kuesioner kepada Wajib Pajak UKM. Populasi dan sampel yang diambil dalam penelitian ini ialah Wajib Pajak UKM di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City, sebagai site penelitian karena daerah tersebut merupakan contoh daerah dengan jumlah UKM terbesar dengan perputaran omset tertinggi setiap harinya. Sampel dipilih secara acak dengan non-probability random sampling. Dalam penelitian ini diteliti sebanyak 30 sampel UKM yang tersebar di dua site penelitian tersebut. Studi literatur dilakukan juga dalam penelitian ini sebagai data sekunder dalam mengolah data yang di dapat. Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber bahan cetak seperti buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, penelitian terdahulu, serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu, data sekunder juga diperoleh
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
melalui penelusuran internet terkait dengan data dan informasi yang dibutuhkan. Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pemilahan data melalui coding, analisis dan penyajian data, dan simpulan serta triangulasi informasi dengan informan-informan terkait untuk memperoleh gambaran menyeluruh terkait serta dengan analisis data kuantitatif dengan menggunakan metode SPSS untuk menghitung data kuesioner yang di dapatkan dalam penelitian mengenai kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bagi UKM ditinjau dari asas ease of administration. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penerapan Kebijakan Pembayaran Pajak Penghasilan melalui ATM bagi Pelaku UKM Penerapan kebijakan pembayaran Pajak Penghasilan melalui Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bagi pelaku UKM telah diterapkan pada bulan November 2013. Dengan penunjukan 4 Bank Persepsi, yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA). Dengan penunjukan 4 Bank Persepsi ini, para pelaku UKM dapat membayarkan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM-ATM Bank Persepsi tersebut. Penggunaan ATM sebagai sistem pembayaran pajak merupakan salah satu perwujudan dari penggunaan teknologi dalam pemerintahan, yaitu E-Government. Melalui EGovernment, pemerintah diharapkan dapat menyediakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, berinteraksi dengan masyarakat, dan dapat mendukung kerja pemerintah. Dengan munculnya konsep E-Government, maka pajak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan dapat menggunakannya. Dengan adanya teknologi, sistem pembayaran pajak dapat dilakukan secara online. Administrasi pajak yang tidak didukung oleh teknologi tidak akan berjalan dengan baik. Penggunaan teknologi dalam perpajakan merupakan sebuah modernisasi sistem yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak (Pandiangan dan Toruan, 2008). Sistem pajak yang menggunakan teknologi melibatkan orang ketiga di dalamnya, dalam kasus ini Bank berperan sebagai pihak ketiga. Sistem pembayaran dengan pihak ketiga merupakan sistem yang banyak digunakan pada umumnya.
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Terdapat beberapa perbedaan mengenai tata cara pembayaran melalui model konvesional, melalui Teller atau Pos, dan melalui metode online. Beberapa perbedaan tersebut antara lain
Tabel 1 Perbedaan Pembayaran Model Konvesional dengan Model Online Proses Penghitungan PPh
Konvesional (Teller Bank atau Pos Giro)
Online (ATM)
Sama
Sama
Surat Setoran Pajak (SSP)
Struk ATM
SSP harus diketik, diteliti
Tidak membutuhkan
Bukti Salinan
kembali, ditandatangan, dan
perlakuan seperti SSP.
Pembayaran
dicap oleh pihak terkait.
Hanya mencatatat perhitungan sesuai PP lalu bayar melalui ATM.
Harus mengantri dan waktu Waktu
24 Jam, 7 hari seminggu.
tidak fleksibel karena jam buka bank terbatas.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pajak Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dimana Wajib Pajak UKM termasuk di dalamnya, maka pelaku UKM dapat membayarkan Pajak terhutangnya melalui ATM. Hal ini dikarenakan konsep dimana membayar pajak boleh secara online maka Pajak Penghasilan terhutang dari UKM bisa juga dibayarkan secara online. Dengan menggunakan teknologi sebagai sarana pembayaran pajak, tercipta kemudahan baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Penggunaan sistem pembayaran melalui ATM memberikan beberapa kemudahan, khususnya dalam hal Cost of Taxation, bagi Fiskus hal ini dapat memangkas Cost of Administration sementara bagi Wajib Pajak hal ini dapat meminimalisir Compliance Cost. Kemudahan ini bagi Wajib Pajak ialah mengurangi Compliance Cost. Menurut Asas Ease of Administration, Compliance Costs merupaka biaya-biaya atau beban-beban yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak dalam membayarakan pajak terhutangnya. Slemrod membagi komponen dari Compliance Costs menjadi tiga, yaitu : Fiscal Cost, Time Cost, dan Psychological Cost. Ketiga biaya ini dapat dipangkas menjadi relatif rendah dengan kebijakan
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
pembayaran pajak penghasilan melalui ATM ini. Contohnya, Fiscal Cost, yang merupakan biaya yang dapat diukur dengan nilai uang, akan menjadi relatif rendah dengan membayar menggunakan mesin ATM. Mesin ATM pada umumnya dapat dijumpai disekitar sehingga Wajib Pajak tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membayarkan pajaknya. Selain itu, Wajib Pajak UKM juga akan terhindar dari biaya-biaya administrasi apabila Wajib Pajak harus melakukan pemindahbukuan tabungan karena Wajib Pajak harus membayar secara tunai melalui Kantor Pos. Selain itu, dilihat dari segi Time Cost, Wajib Pajak tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk membayarkan pajak terhutangnya karena pembayaran melalui ATM aksesnya relatif cepat dan mudah, tidak memerlukan waktu untuk mengantri apabila membayar melalui Kantor Pos. Penerapan kebijakan pembayaran pajak penghasilan bagi pelaku UKM diterapkan dengan melakukan sosialisasi kepada para pelaku UKM. Direktorat Jenderal Pajak sebagai policy-maker telah melakukan beberapa sosialisasi atas kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Namun pihak Direktorat Jenderal Pajak sebagai pembuat kebijakan tersebut tidak menitikberatkan sosialisasi pada cara pembayaran pajak penghasilan, melainkan lebih kepada mekanisme pengenaan pajak atas UKM yaitu sosialisasi atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sosialisasi secara nyata dilakukan oleh Kantor Pajak Pratama sebagai unit satuan dari Direktorat Jenderal Pajak. Salah satu Kantor Pajak Pratama yang diteliti ialah Kantor Pajak Pratama (KPP) Tanah Abang 2, dimana Kantor Pajak Pratama ini membawahi banyak sentra UKM di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat yang memiliki jumlah Wajib Pajak UKM cukup besar di Provinsi DKI Jakarta dengan perputaran omset yang besar setiap harinya. Sosialisasi mengenai kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM tentu dilakukan. Pemberian sosialisasi ini sama halnya seperti pemberian sosialisasi kebijakan-kebijakan yang ada sebelumnya, misalnya sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sosialisasi yang diberikan oleh KPP Tanah Abang 2 langsung disampaikan kepada Wajib Pajak. Dengan bekerjasama dengan asosiasi pelaku-pelaku UKM per blok-blok di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City. Namun, pada kenyataannya, sampai dengan bulan Maret 2014, respon pembayaran pajak penghasilan melalui ATM masih kurang efektif. Sampai dengan saat ini, pembayaran pajak penghasilan melalui ATM yang dilakukan oleh pelaku UKM di wilayah yang dibawahi KPP Tanah Abang 2 masih sedikit. Dari data yang diberikan oleh KPP Tanah Abang 2, sebanyak 3.769 Wajib Pajak yang merupakan Wajib Pajak Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, tidak lebih dari 10 yang menggunakan kebijakan pembayaran Pajak Penghasilan melalui ATM. Data ini mencatat Wajib Pajak Badan maupun Perorangan yang membayar Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Pajak Penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, dimana Wajib pajak yang membayar melalui ATM semuanya adalah Wajib Pajak Perorangan.
Tabel 2 Jumlah Wajib Pajak UKM yang Telah Menggunakan ATM sebagai sarana pembayaran Pajak Penghasilan Bulan Jumlah Pembayaran Pembayaran Pembayar Melalui Manual Melalui Pajak ATM 1 November 2013 1.305 1.299 6 2 Desember 2013 1.384 1.378 6 3 Januari 2014 1.403 1.397 6 4 Februari 2014 1.501 1.495 6 5 Maret 2014 2.520 2.512 8 Rendahnya pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM bukanlah kegagalan dari sosialisasi yang dilakukan. Pemberian sosialisasi memang bukan menitikberatkan kepada cara pembayarannya. Masih banyak Wajib Pajak merasa lebih aman dan nyaman membayar melalui cara lama, maka oleh karena itu Fiskus tidak dapat memaksakan. Sosialisasi mengenai kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM pasti dijalankan, namun pilihan untuk menggunakannya atau tidak tetap berada di tangan Wajib Pajak. Ternyata salah satu penyebab kurangnya respon pelaku UKM dalam menggunakan fasilitas ini ialah masih kecilnya jumlah Wajib Pajak yang sadar akan kewajiban perpajakannya. Selain kurangnya jumlah Wajib Pajak yang sadar akan kewajiban perpajakannya, hal lain yang menghambat kemajuan kebijakan ini ialah masalah habitual Wajib Pajak sendiri. Untuk saat ini Wajib Pajak UKM yang ada dibawah pengawasan KPP Tanah Abang 2, kebanyakan masih menggunakan pembayaran pajak dalam bentuk manual, yaitu menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk dapat memaksimalkan kebijakan ini maka perlu adanya kepastian dari pihak Bank dan Direktorat Jenderal Pajak mengenai keamanan dari pembayaran menggunakan ATM. Jika Wajib Pajak sudah membayar melalui ATM, maka Bank harus segera mencatat secara otomatis sehingga kas negara dapat langsung memvalidasi bukti pembayaran pajak tersebut. Jika Wajib Pajak sudah mempunyai bukti pembayaran maka kewajiban pembayarannya tuntas sudah. Selain itu, Bank juga harus menjamin bahwa dengan membayar melalui ATM maka urusan Wajib Pajak sudah selesai. Jika nanti ada keluhan, maka Bank dapat menyelesaikannya. Sistem pertanggungjawaban akan hal ini harus dirubah dan dipastikan. Selain Bank, Pihak Direktorat Jenderal Pajak juga harus memastikan bahwa
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Account Representative bekerja keras dalam mengawasi Wajib Pajak UKM. Fasilitas ini merupakan kemudahan bagi Wajib Pajak, namun apabila tidak diawasi oleh Fiskus maka kemudahan ini tidak akan ada gunanya. Selain itu, Sistem pembayaran pajak haruslah dibuat secara aman. Jika aman untuk negara tetapi tidak aman untuk Wajib Pajak maka sistem tersebut tidak sesuai dengan Asas Ease of Administration. Sistem pembayaran pajak tidak boleh menyulitkan Wajib Pajak Pembayaran Pajak Penghasilan melalui ATM bagi UKM merupakan suatu kemudahan atau fasilitas bagi pelaku UKM karena dengan adanya fasilitas ini pelaku-pelaku UKM tidak perlu repot menyetorkan pajaknya dengan mengantri di teller atau ke Kantor Pos. Cukup dengan mesin ATM dan memasukan NPWP maka pembayaran dapat dilakukan. Namun ternyata, masih kurangnya respon terhadap kebijakan ini menjadikan kebijakan ini kurang efektif. Contoh kasus di Tanah Abang dan Thamrin City membuktikan bahwa dengan kurangnya respon terhadap kesadaran akan membayar pajak menjadikan kebijakan ini tidak dimanfaatkan secara optimal. Padahal kebijakan ini merupakan kemudahan yang akan memangkas Cost of Taxation baik bagi Wajib Pajak maupun Fiskus. Kemudahan teknologi yang tidak didukung dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayarkan pajaknya hanya akan menjadikan teknologi sia-sia dalam penerapanya. Padahal teknologi merupakan sarana efektif bagi pemerintah dan masyarakat dalam berinterkasi. Penggunaan teknologi dalam pajak merupakan langkah utama dalam modernisasi perpajakan. Salah satu tujuan dari modernisasi pajak ialah untuk mencapai tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi, namun, dalam kebijakan ini, teknologi tidak mampu untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Dari kenyataan yang dicermati, tingkat kepatuhan Wajib Pajak UKM ternyata tidak dapat dipengaruhi dengan adanya kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui mesin ATM. Selain itu, dengan sedikitnya respon Wajib Pajak UKM yang menggunakan kebijakan ini, cost of taxation yang seharusnya relatif rendah ternyata tidak dapat terpengaruh melalui fasilitas ini. Wajib Pajak masih merasa bahwa mereka masih harus merogoh saku demi membayar pajak melalui ATM, hal ini dapat dilihat dari studi lapangan yang lakukan. Sementara itu, Fiskus masih harus mengeluarkan administrative cost karena rendahnya respon Wajib Pajak terhadap kebijakan ini.
Analisis Pemenuhan Asas Ease of Administration Dalam Kebijakan Pembayaran Pajak Penghasilan Melalui ATM bagi UKM Untuk melihat seberapa besar asas Ease of Administration terpenuhi dalam Kebijakan Pembayaran Pembayaran Pajak Penghasilan Melalui ATM bagi UKM, penelitian dilakukan Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
dengan menyebarkan kuesioner kepada sejumlah Wajib Pajak UKM di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City sebagai contoh sample UKM. Pemilihan site ini dikarenakan potensi UKM yang besar dan omset perputaran uang di Pasar Tanah Abang yang besar setiap harinya. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada sebanyak 30 Wajib Pajak UKM Perseorangan di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City untuk melihat apakah mereka mengerti, mengetahui, dan atau menggunakan Kebijakan Pembayaran Pajak Penghasilan Melalui ATM. Karena banyaknya jumlah UKM dan keterbatasan akan akses ke Wajib Pajak UKM, maka diambil sample 30 Wajib Pajak UKM yang kesemuanya Wajib Pajak Perorangan. Dari data sebelumnya yang disajikan di Tabel 2 terlihat bahwa memang Wajib Pajak yang menggunakan sistem pembayaran ini masih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang membayar manual, untuk itu disini akan disajikan data hasil rekapitulasi hasil penelitian dari kuesioner yang telah disebar. Pemenuhan Pembayaran melalui ATM Dari hasil penelitian melalui kuesioner yang telah disebarkan terlihat secara umum dari 30 sample Wajib Pajak UKM di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City bahwa mereka masih menggunakan sistem pembayaran melalui Bank, Kantor Pos, atau Giro. Tidak ada Wajib Pajak yang menggunakan ATM sebagai sarana pembayaran pajak penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Salah satu alasan yang di dapat dari wawancara dengan responden ialah ketidaknyamanan mereka untuk mengganti sistem pembayaran karena responden merasa “aman” dengan Bukti Penerimaan Negara yang ada, berupa SSP dibandingkan dengan struk ATM. Sementara itu dari pertanyaan kedua ialah tanggapan responden mengenai pengetahuan pembayaran pajak melalui ATM. Hasil kuesioner menunjukan bahwa sebanyak 28 responden mengetahui adanya kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM hanya 2 responden yang mengatakan tidak mengetahui adanya kebijakan ini. Dua responden tersebut mengatakan bahwa mereka kurang mengetahui perihal kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM. Pertanyaan ketiga yang ditanyakan adalah apakah responden membayarkan pajak penghasilannya melalui ATM dan hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada responden yang menggunakan ATM sebagi media pembayaran pajaknya. Menurut responden, pembayaran pajak penghasilan melalui ATM tidak memiliki perbedaan yang berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan yang ia lakukan, ia mengatakan bahwa bagaimanapun bentuk pembayarannya, pajak tetap dikenakan atas usahanya. Sehingga, tidak ada hal yang berubah dari kewajiban perpajakannya. Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Dari tiga pertanyaan yang diajukan terlihat bahwa dari 30 responden yang diteliti tidak ada satupun yang menggunakan ATM sebagai media pembayaran namun kebanyakan dari responden mengetahui bahwa ada kebijakan mengenai pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Terlihat bahwa Wajib Pajak masih menggunakan cara lama yaitu melalui Bank atau Pos daripada menggunakan ATM. Padahal kebijakan pembayaran menggunakan ATM mempermudah Wajib Pajak dalam menyetorkan pajak terutangnya. Dari hasil wawancara yang dilakukan ke berbagai pihak masalah “habitual” merupakan masalah utama, yaitu masih banyak Wajib Pajak yang enggan meninggalkan cara lama mereka membayar pajak. Selain itu bukti pembayaran pajak yang berbentuk struk dari ATM dianggap kurang aman oleh Wajib Pajak, mereka lebih merasa aman menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pemenuhan Asas Certainty Dalam asas certainty harus terdapat kepastian mengenai objek pajak yang dikenakan, subjek pajak yang dikenakan, dasar pengenaan tarif pajak, dan prosedur perpajakannya. Asas ini juga menyangkut kepastian akan prosedur pembayaran dan pelaporan Wajib Pajak atas pajak terutangnya. Ketentuan tata cara terkait pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 mengenai Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Selain itu pengaturan objek, subjek, dan tarif pajak atas kebijakan ini telah dituangkan di Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Selain dasar hukum dan prosedur pembayaran, hal lain yang harus dipastikan ialah cara Fiskus mensosialisasikan kebijakan ini. Penelitian memiliki empat butir pertanyaan yang diajukan kepada Wajib Pajak mengenai sosialisasi kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Hal pertama yang ditanyakan ialah adanya sosialisasi yang diberikan oleh Fiskus kepada Wajib Pajak. Sebanyak 5 responden menjawab sangat setuju dan sebanyak 25 responden menjawab setuju. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh kepada narasumbernarasumber yang telah disebutkan, sosialisiasi pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM memang telah dilakukan. Sosialisasi diberikan kepada pelaku UKM yang ada di Pasar Tanah Abang 2 dan Thamrin City mengenai kebijakan ini oleh KPP Tanah Abang 2. Sementara itu, salah satu responden yang dimintai keterangan, memang mengakui adanya sosialisasi yang diberika oleh Petugas Pajak, dalam bentuk seminar dan pamflet yang disebarkan.
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Sementara itu pertanyaan kedua yang ada di kuesioner penelitian ialah mengenai apakah sosialisasi yang diberikan oleh petugas pajak jelas dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Sebanyak 5 responden menjawab sangat setuju, 20 responden menjawab setuju, dan 5 responden menjawab cukup setuju.
Dari hasil wawancara, didapatkan bahwa memang
sosialisasi secara rutin dilakukan. Berbagai macam bentuk dilakukan, seperti dengan mengadakan sosialisasi dengan memanggil pihak UKM dan pihak lain yang berkepentingan, menaruh dropbox di tempat UKM berusaha, sampai dengan mendatangi UKM langsung. Dengan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh petugas pajak akan kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM memang dilakukan dan sosialisasi diberikan secara jelas sehingga UKM mudah mengerti. Namun, salah seorang responden mengatakan bahwa pemberitahuan mengenai kebijakan pembayaran pajak melalui ATM memang jelas dan kelihatan tidak berbelit-belit, namun yang masih menjadi hal sulit dimengerti ialah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 itu sendiri. Butir ketiga yang ditanyakan dalam kuesioner adalah apakah sosialisasi yang diberikan membuat Wajib Pajak termotivasi untuk menggunakan mesin ATM dalam membayarkan pajak terutang Wajib Pajak. Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa sebanyak 1 responden menjawab setuju, 15 responden menjawab tidak setuju, dan 14 responden menjawab sangat tidak setuju. Satu responden yang menjawab setuju mengatakan bahwa ia tertarik untuk mencoba melakukan pembayaran pajak melalui ATM karena terlihat mudah dari sosialisasi yang diberikan. Sementara mayoritas responden lain mengatakan bahwa mereka tidak berminat mengganti cara pembayaran pajak mereka. Butir keempat yang ditanyakan dalam kuesioner tersebut ialah apakah sosialisasi yang diberikan membuat Wajib Pajak memilih menggunakan mesin ATM dalam membayarkan pajaknya. Sebanyak 20 responden menjawab tidak setuju dan 10 responden menjawab sangat tidak setuju. Menurut beberapa responden, sosialisasi yang diberikan tidak membuat mereka pindah jalur karena beberapa alasan, alasan yang paling banyak dikemukan ialah bahwa sebagian besar dari mereka merasa tidak aman dengan
Bukti Penerimaan Negara yang
diterima, mereka lebih memilih SSP sebagai Bukti pembayaran karena SSP lebih aman disimpan. Dari hasil diatas diketahui bahwa 2 dari 4 indikator pertanyaan asas certainty tidak dapat dipenuhi dari hasil penelitian yang dilakukan.
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Pemenuhan Asas Convinience Dalam asas convinience menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang memudahkan Wajib Pajak. Saat yang memudahkan Wajib Pajak misalnya saat Wajib Pajak mendapatkan penghasilan. Asas ini menyatakan bahwa pajak harus dipungut pada saat yang tepat, penentuan tempo pembayaran pajak harus memudahkan Wajib Pajak, dan prosedur pembayarannya tidak berbelit-belit. Tiga butir pertanyaan diajukan kepada Wajib Pajak mengenai kemudahan kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Hal pertama yang ditanyakan ialah apakah pembayaran pajak melalui ATM lebih mudah dari sistem pembayaran sebelumnya. Sebanyak 20 responden menjawab tidak setuju dan sebanyak 10 responden menjawab sangat tidak setuju. Menurut sebagian besar responden, penghitungan pembayaran pajak penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sendiri masih rumit. Pembukuan yang kemungkinan tidak dilakukan dengan baik menjadi alasan mengapa mereka masih menganggap penghitungan pajak Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 masih rumit. Pembayaran pajak melalui ATM merupakan suatu kemudahan. Dalam hal ini teknologi diterapkan untuk membantu Wajib Pajak dalam mempermudah meyetorkan pajak terutangnya, namun pada kenyataanya responden mengaku bahwa sistem pembayaran pajak melalui ATM tidak lebih mudah dari sistem yang sudah ada sebelumnya. Pertanyaan kedua yang diajukan ialah mengenai apakah pembayaran pajak melalui ATM lebih memudahkan wajib pajak dalam menjalankan usaha mereka. Sebanyak 25 responden menjawab tidak setuju dan sisanya, 5 responden menjawab sangat tidak setuju.. Jadi menurut responden, dengan adanya pembayaran pajak melalui ATM tidak akan berpengaruh terhadap kemudahan usaha mereka. Menurut beberapa responden, pembayaran pajak tidak akan memudahkan usaha mereka. Karena terlihat bagi mereka bahwa membayar pajak masih menjadi suatu beban terhadap usaha mereka. Mereka berpendapat bahwa usaha mereka kecil-kecilan dan sepatutnya tidak dipungut pajak. Salah satu responden berujar dengan omset kecil yang didapat olehnya, membayar pajak menjadi beban karena harus menyisihkan sebagian dari pendapatan yang di dapatkan. Pertanyaan terakhir yang diajukan terkait dengan asas convinience ialah mengenai apakah pembayaran pajak melalui ATM harus dikembangkan lagi kedepannya. Sebanyak 5 responden menjawab sangat setuju dan 25 responden menjawab setuju. Menurut beberapa responden, pembayaran pajak melalui ATM perlu dikembangkan. Mereka berpendapat bahwa hal-hal seperti penambahan bank persepsi akan memudahkan pembayaran melalui ATM bagi mereka, sehingga mereka dapat dengan mudah melakukan pembayaran pajak dimana saja dan Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
kapan saja. Dari hasil diatas diketahui bahwa 2 dari 3 indikator asas convinience tidak dapat dipenuhi dari hasil penelitian yang dilakukan. Pemenuhan Asas Efficiency Dalam asas efficiency menyatakan bahwa saat pembayaran pajak dikatakan efisien jika biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam membayarkan kewajiban perpajakannya relatif lebih rendah atau tidak terdapat biaya tambahan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk membayarkan kewajiban perpajakannya. Efisien apabila Wajib Pajak tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar pajaknya (fiscal cost), waktu yang diperlukan dalam membayarkan pajaknya relatif singkat (time cost), dan tidak ditemukan biaya psikologis dalam membayarkan pajak terutangnya (psychological cost). Tiga butir pertanyaan diajukan kepada Wajib Pajak mengenai kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Hal pertama yang ditanyakan ialah apakah pembayaran pajak melalui ATM menghemat waktu responden dalam melunasi kewajiban perpajakannya. Sebanyak 30 responden menjawab tidak setuju. Dari data diatas ditemukan bahwa menurut responden pembayaran pajak melalui ATM tidaklah menghemat waktu mereka. Mereka beranggapan bahwa membayar pajak dengan ATM masih menghabiskan waktu mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa responden menilai demikian padahal pembayaran pajak melalui ATM didesain untuk menghemat biaya waktu responden dalam melunasi kewajiban perpajakannya. Menurut salah satu responden, membayar pajak justru hanya mengurangi waktu usaha mereka karena mereka harus mengantri setiap bulannya ke bank untuk membayarkan pajaknya, ia skeptis dengan kebijakan baru ini. Responden menilai bahwa kebijakan pembayaran pajak melalui ATM ini tetap akan mengurangi waktu usaha yang ia miliki. Penggunaan teknologi dan orang ketiga dalam sistem pembayaran pajak akan menghemat waktu Wajib Pajak dalam melunasi kewajiban perpajakannya, namun dalam praktek di lapangan mengenai kebijakan ini, 30 responden merasa tidak setuju bahwa dengan menggunakan ATM akan menghemat waktu mereka. Pertanyaan kedua yang diajukan ialah mengenai apakah pembayaran pajak melalui ATM menghemat biaya lain yang dikeluarkan responden untuk membayarkan pajaknya. Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 28 responden menjawab tidak setuju dan 2 responden menjawab sangat tidak setuju. Menurut responden pembayaran pajak melalui ATM tidaklah menghemat biaya lain yang mereka keluarkan. Menurut responden, membayar pajak dengan ATM tidak serta merta menghemat biaya administrasi yang mereka gunakan dalam membayarkan pajaknya. Responden beranggapan bahwa masih ada biaya yang perlu mereka Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
keluarkan dalam membayarkan pajaknya. Salah satu responden berpendapat bahwa pasti ada biaya tambahan yang dikeluarkan, apalagi ia mengaku tidak mempunyai rekening di 4 Bank Persepsi yang ditunjuk oleh DJP. Pertanyaan ketiga yang diajukan ialah mengenai apakah dengan membayar pajak melalui ATM memberikan banyak keuntungan bagi responden. Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 25 responden menjawab tidak setuju dan 5 responden menjawab sangat tidak setuju. Menurut salah satu responden, membayar pajak bagi dirinya bukanlah sebuah keuntungan. Dengan kemudahan kebijakan ini, tidak akan memberikan keuntungan bagi dirinya, karena tetap dikenai pajak atas omset usaha yang dilakukannya. Dari data di atas ditemukan bahwa menurut responden pembayaran pajak melalui ATM tidaklah memberikan banyak keuntungan bagi mereka. Tidak ada keuntungan yang didapatkan oleh responden apabila membayarkan pajaknya melalui ATM. Dari hasil diatas diketahui bahwa 3 dari 3 indikator asas efficiency tidak dapat dipenuhi dari hasil penelitian yang dilakukan. Pemenuhan Asas Simplicity Asas yang terakhir ialah asas simplicity. Dalam asas ini disebutkan bahwa peraturan perpajakan maupun kebijakan perpajakan serta administrasi perpajakan haruslah dibuat berdasarkan asas kesederhanaan. Pemungutan pajak yang sederhana akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melunasi kewajiban perpajakannya. Tiga butir pertanyaan diajukan kepada Wajib Pajak mengenai kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Hal pertama yang ditanyakan ialah apakah pembayaran pajak melalui ATM mudah digunakan bagi responden. Sebanyak 2 responden menjawab setuju, 19 responden menjawab tidak setuju dan 9 responden menjawab sangat tidak setuju. Salah satu responden berujar bahwa pembayarannya kelihatan mudah, maka ia ingin mencoba menggunakannya. Namun responden lain mengatakan bahwa pembayaran pajak melalui ATM terlihat riskan, sehingga ia tetap akan menggunakan cara manual. Pertanyaan kedua yang diajukan ialah mengenai apakah pembayaran pajak melalui ATM tidak sulit dilakukan. Sebanyak 5 responden menjawab setuju, 20 responden menjawab tidak setuju, dan 5 responden menjawab sangat tidak setuju. Pertanyaan ketiga ialah mengenai apakah pembayaran pajak melalui ATM sudah sempurna. Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 3 responden menjawab setuju, 17 responden menjawab tidak setuju, dan 10 responden menjawab sangat tidak setuju.
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Dari data diatas ditemukan bahwa menurut responden pembayaran pajak melalui ATM belum sempurna. Hal ini disebabkan karena pembayaran rasa khawatir responden mengenai bukti pembayaran pajak yang berupa struk, selain itu tingkat kepatuhan responden dalam membayarkan pajak masih kecil. Dari hasil diatas diketahui bahwa 3 dari 3 indikator asas simplicity tidak dapat dipenuhi dari hasil penelitian yang dilakukan. Rekapitulasi dan Analisis Data Kuesioner Dari hasil penyebaran kuesioner diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM pada kenyataannya terlihat belum cukup efektif dan efisien. Dari beberapa pertanyaan diatas, dapat disimpulkan hasil analisis diatas kedalam rekapitulasi nilai rata-rata responden pembayaran pajak melalui ATM bagi UKM. Diperoleh rata-rata penafsiran yaitu sebesar 2,364 berdasarkan skala interval yang telah ditentukan sebelumnya dan angka tersebut termasuk ke dalam kategori cukup baik. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM cukup baik, namun belum optimal karena masih ada beberapa hal yang harus diupayakan peningkatannya agar kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM dapat efektif dan efisien. Dari beberapa wawancara mendalam yang penliti lakukan terlihat bahwa memang data dari petugas pajak akan respon penggunaan kebijakan ini masih kurang. Walaupun sebenarnya kebijakan ini merupakan suatu fasilitas bagi wajib pajak Menurut Slemrod, seperti yang dikutip oleh Bird dan Zolt (2008), sebuah administrasi pajak yang baik tidak dapat berjalan tanpa adanya teknologi. Penggunaan pembayaran sistem online merupakan salah satu contoh penerapan penggunaan teknologi dalam perpajakan. Teknologi dalam perpajakan seharusnya dapat mempermudah kerja Fiskus serta Wajib Pajak dalam melunasi kewajiban perpajakannya. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya, banyak Wajib Pajak UKM yang masih belum menggunakan kebijakan ini sebagai sarana untuk melunasi kewajiban perpajakan mereka. Padahal, menurut Jones (2007), teknologi ada untuk dapat membantu kerja manusia. Menurut Pandiangan dan Toruan (2008), sebuah administrasi perpajakan yang modern mempunyai tujuan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan (compliance) Wajib Pajak. Namun, dalam hal ini, pembayaran secara online tidaklah serta merta membuat tingkat kepatuhan Wajib Pajak menjadi tinggi. Nyatanya, pada studi kasus di Pasar Tanah Abang dan Thamrin City, tingkat kepatuhan Wajib Pajak untuk melunasi pajak penghasilannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 masih sedikit. Masih banyak Wajib Pajak yang mangkir dari kewajiban perpajakannya. Menurut Gunadi, hal ini disebabkan pandangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 kurang adil. Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Untuk itu menurutnya perlu terdapat perbaikan dan perubahan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 merupakan peraturan yang dibuat dengan dasar presumptive taxes, sebuah model perpajakan bagi negara yang memiliki Wajib Pajak “hard to tax”, yaitu Wajib Pajak yang sulit dipajakai penghasilannya. Thuronyi (2003) menyebutkan beberapa faktor yang membuat kelompok ini sulit dikenakan pajak, salah satu faktor yang ia kemukakan ialah mengenai minimnya pembukuan yang dilakukan Wajib Pajak ini dan mengenai jumlah mereka yang banyak. Jika dicermati, maka UKM di Indonesia termasuk dalam kelompok hard to tax. UKM di Indonesia merupakan usaha sederhana yang teknologi pembukuannya belum begitu berkembang, untuk itu dibuatlah sistem model presumptive tax dalam memungut pajak dari mereka. Namun, kenyataannya penggunaan model presumptive tax serta penggunaan teknologi untuk membantu menunjang kewajiban perpajakan mereka tidak menaikan kepatuhan Wajib Pajak untuk membayarkan pajaknya. Sosialisasi yang diberikan oleh petugas pajak agar Wajib Pajak mau membayarkan pajaknya serta menggunakan ATM sebagai sarana mempermudah pembayaran pajak ternyata masih belum digunakan oleh Wajib Pajak, walaupun kebanyakan Wajib Pajak mengerti akan tata cara pembayaran pajak melalui ATM. Dari penelitian, terlihat bahwa Wajib Pajak masih menganggap pembayaran pajak melalui ATM masih menimbulkan cost of compliance bagi mereka. Padahal melalui teknologi pemungutan pajak dioptimalisasikan dengan menekan biaya administrasi dan biaya kepatuhan Wajib Pajak. Namun disini, Wajib Pajak masih memandang bahwa dengan menggunakan ATM mereka tetap harus membayar biaya tambahan. Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan, Wajib Pajak ternyata tidak termotivasi untuk membayarkan pajaknya melalui ATM walaupun sosialisasi telah diberikan oleh Fiskus. Wajib Pajak menyatakan bahwa dengan menggunakan media pembayaran online berupa ATM tidak akan meningkatkan hasil usaha mereka. Selain itu mereka juga menilai bahwa membayar pajak dengan ATM tidaklah mudah dilakukan. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui mesin ATM bagi UKM masih belum optimal. Penerapan kebijakan
ini dilakukan dengan pemeberian sosialisasi oleh Fiskus
kepada Wajib Pajak UKM dengan berbagai cara. Namun, masih sedikitnya Wajib Pajak yang menggunakan pembayaran melalui ATM, yaitu hanya sekitar 8 Wajib Pajak dari 2.520 Wajib Pajak yang membayar pajak di kawasan Tanah Abang dan Thamrin City, menjadi faktor Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
mengapa kebijakan ini belum optimal. Padahal, penggunaan teknologi pembayaran dalam pajak bertujuan untuk memangkas cost of taxation yang selama ini menjadi beban bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. Nyatanya, selain kurangnya respon terhadap kebijakan ini, ternyata tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melunasi kewajiban perpajakanya masih rendah. Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak tidak akan membuat kebijakan ini berkembang optimal, bahkan kebijakan manapun akan gagal apabila tingkat kepatuhan Wajib Pajak rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi yang tidak diimbangi dengan peningkatan tingkat kepatuhan Wajib Pajak hanya akan menjadikan kebijakan seperti ini siasia. Dari beberapa indikator asas ease of administration, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a.) Asas Certainty Dalam hal ini, sosialisasi telah diberikan oleh petugas pajak dan sosialisasi yang diberikan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Namun, menurut Wajib Pajak dengan adanya sosialisasi ini tidak membuat Wajib Pajak meninggalkan kebiasaan lama, sosialisasi ini tidak membuat Wajib Pajak termotivasi untuk membayarkan pajaknya melalui ATM dan menurut Wajib Pajak dengan adanya sosialisasi yang diberikan tidak membuat Wajib Pajak berpindah menggunakan kebijakan pembayaran pajak melalui ATM. b.) Asas Convinience Dalam hal ini, Wajib Pajak mengemukakan bahwa pembayaran pajak penghasilan melalui ATM tidak lebih mudah dari pembayaran manual dan pembayaran pajak melalui ATM tidak memudahkan Wajib Pajak dalam menjalankan usahanya, namun mereka berpendapat bahwa kebijakan pembayaran pajak melalui ATM harus dikembangkan ke depannya. c.) Asas Efficiency Dalam hal ini Wajib Pajak berpendapat bahwa dengan membayarkan pajak mereka melalui ATM tidak menghemat waktu yang ada, Wajib Pajak berpendapat masih ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan, dan
tidak ada keuntungan yang didapat melalui
pembayaran pajak menggunakan ATM. d.) Asas Simplicity Dalam hal ini wajib pajak berpendapat bahwa pembayaran pajak melalui ATM tidak mudah digunakan dan Wajib Pajak masih merasa sulit untuk membayarkan pajak terutangnya melalui ATM. Selain itu Wajib Pajak berpendapat bahwa pembayaran pajak melalui ATM belum sempurna.
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Saran Berdasarkan uraian pada kesimpulan di atas, disampaikan beberapa saran agar kebijakan pembayaran pajak penghasilan melalui ATM bagi UKM dapat tercapai seperti yang diharapkan. Hal utama yang harus dilakukan untuk dapat mengoptimalisasi kebijakan ini ialah dengan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Semakin patuh Wajib Pajak dalam membayarkan pajaknya, maka kebijakan pembayaran pajak melalui ATM akan semakin optimal digunakan. Peningkatan kepatuhan perpajakan bagi UKM bisa ditingkatkan melalui sosialisasi peraturan yang lebih mendalam serta dengan diadakannya pemeriksaan rutin terhadap UKM-UKM yang ada. Kurang terpenuhinya asas ease of administration dalam kebijakan ini menjadikan kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan baik oleh karena itu DJP dapat mengusahakan untuk mengevaluasi kebijakan ini dan mencari celah mengapa kebijakan ini kurang populer bagi UKM. Selain itu, sosialisasi secara menyeluruh harus rutin diadakan serta hal utama ialah meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak UKM sendiri untuk patuh membayar pajaknya. Referensi Buku Creswell, John. W. (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Pandiangan, Liberti dan Rayandra L Toruan. (2008). Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan: Berdasarkan UU Terbaru. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Kebijakan Pajak dan Implementasi di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting (Vol 1). USA : IMF Thuronyi, Victor. ( 2003). Comparative Tax Law. Kluwer Law International Jurnal Abie, H., Foyn, B., Bing, J., Blobel, B., Pharow, P., Delgado, J., Karnouskos, S., Pitkanen, O. and Tzovaras, D. (2004). The need for a digital rights management framework for the next generation of e-government services. Electronic Government, Vol 1, No. 1,. pp.8-28. Bird, R and Zolt, E., (2008). Technology and Taxation in Developing Countries: From Hand to Mouse. National Tax Journal, Vol LXI, No. 4, Part 2., pp 791-821 Boyer, K.K., Hallowell, R., and Roth, A.V. (2002). E-Services: Operating Strategy – a Case Study and a Method for Analyzing Operational Benefits. Journal of Operations Management, 20(2). pp 175-188 Eyob, E. (2004). E-government: breaking the frontiers of inefficients in the public sector. Electronic Government, Vol 1, No. 1,. pp.107-114 Gunadi. (2005). Kebijakan Pemeriksaan Pajak Pasca Berlakunya Undang-Undang Perpajakan Baru, Berita Pajak Hwa HU, P.J., Brown, S.A., Thong, J.Y.L., Chan, F.K.Y., and Tam, K.Y. (2009). Determinans of Service Quality and Continuance Intention of Online Services: The Case of eTax. Journal of The American Society for Informational Science and Technology, Vol. 60, No. 2,. pp.292-306 Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014
Javalgi, R.G., Martin, C.L., and Todd, P.R.,. (2004). E-Services in the age of Technology Transformation: Challenges and Implications for International Service Providers. Journal of Service Marketing 18(7), pp 560-573 Lytras, M. (2006). The Semantic Electronic Government: knowledge management for citizen relationship and new assesment scenarions. Electronic Government, an International 3(1), pp 5-17 Vassilakis, C., Lepouras, G., Fraser, J., Haston, S. and Georgiadis, P. (2006). Barriers to Electronic Service Development. e-Service Journal (4:1) 2005, pp. 41-63. Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Universitas Indonesia
Kebijakan pembayaran..., Larasati Pritania, FISIP UI, 2014