1
ANALISIS TINGKAT KEBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMODITAS BUAH BELIMBING PADA KELOMPOK TANI BELIMBING DI KECAMATAN PANCORAN MAS, KOTA DEPOK Widiyaningsih, Mohammad Riduansyah Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini membahas tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, karena memakai asumsi teori yang telah ada yaitu teori dari Suharto mengenai indikator keberdayaan. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian mixed methods (kuantitatif dan kualitatif). Kuantitatif karena melakukan survey dengan kuesioner, kualitatif karena didukung wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok rendah. Rekomendasi yang diberikan adalah petani harus meningkatkan kemauan dan kemampuan diri. Kelompok tani harus diaktifkan. Pemerintah harus memonitoring dan mengevaluasi program pemberdayaan dengan melakukan survey dan kajian lanjutan sehingga diperoleh data statistik yang lengkap mengenai tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Kata kunci: Tingkat keberdayaan; Petani belimbing; Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok ABSTRACK T This research discuss about the level of starfruit farmers’ empowerment in Pancoran Mas Sub District Municipality of Depok. The purpose of this research is to describe of starfruit farmers’ empowerment level in Pancoran Mas Sub District, Depok. The research is categorized as quantitative research which based on theory from Suharto about indicators of empowerment. Based on the technique of data collection it is categorized as mixed methods (quantitative and qualitative). It is called quantitative because using survey by questionnaire and called qualitative because supported by in depth interviews. The result of this research showed that the level of starfruit farmers’ empowerment in Pancoran Mas Sub District was low. The advices are farmers should increase their self-awareness and self-ability. The farmer’s organized should be more active. The last advice addressed to the government that they have to do monitoring and evaluation by using survey and continuous study so the statistical data of starfruit farmers’ empowerment level can be completed. Keywords: The Level of Empowerment; Starfruit Farmers; Pancoran Mas Sub District, Municipality of Depok
Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
2
PENDAHULUAN Pembangunan (development) dapat diartikan sebagai perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang lebih baik dan direncanakan. Akhir-akhir ini, pembangunan menjadi permasalahan pokok pada masyarakat di negara sedang berkembang (developing nations). “Para pendiri negara-negara berkembang yang hampir seluruhnya baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua menyadari bahwa telah mengalami ketertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju yang sebagian besar adalah penjajah atau eks-penjajah”, (Sumodiningrat, 2005, p.1). Oleh karena itu, yang menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah mengejar ketertinggalan dengan melakukan perancangan dan perencanaan atas perubahan sosial yaitu melalui pembangunan. Persoalan pembangunan yang kerap terjadi di negara berkembang adalah pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. “Pada dasarnya pembangunan di banyak negara berkembang dipusatkan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi, “ (Rakhmat, 2012, p.3). Pada kenyataannya, pembangunan yang hanya bersandar pada pertumbuhan ekonomi tidak mampu membawa pada kesejahteraan rakyat seluruhnya. Pembangunan semacam ini hanya mampu memberikan keuntungan pada masyarakat kelas atas yang memiliki akses modal yang besar, tidak untuk masyarakat bawah. Indonesia, sebagai salah satu Developing Countries mengalami permasalahan yang sama. Kemiskinan di Indonesia tetap tinggi, dengan ketimpangan distribusi pendapatan penduduk semakin melebar. Koefisien gini penduduk Indonesia naik dari 0,38 pada tahun 2011, menjadi 0,41 pada tahun 2012. Koefisien tersebut menggambarkan bahwa 20% dari penduduk Indonesia menguasai 48% pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80% menguasai 52% pendapatan domestik bruto (Redaksi Bisnis, 2012). Ketimpangan kemiskinan tidak hanya terjadi antar bagian barat Indonesia dengan timur Indonesia, atau ketimpangan antar wilayah Jawa dengan luar Jawa. Ketimpangan kemiskinan tersebar di seluruh regional, bahkan regional yang berdekatan langsung dengan pusat pemerintahan yaitu DKI Jakarta. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan provinsi DKI Jakarta. Namun, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Jumlah penduduk perkotaan yang miskin di provinsi Jawa Barat mencapai 2 65.469. 000 jiwa (BPS, 2011). Penambahan tingkat angka kemiskinan di Jawa Barat, banyak disebabkan oleh tingginya urbanisasi karena beberapa wilayah kota/kabupaten memiliki daya tarik yang tinggi sebagai tempat urbanisasi. Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
3
Kota Depok yang merupakan salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat, sejak ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administrasi baru di Propinsi Jawa Barat mendorong Depok lahir menjadi kota baru. Letaknya yang strategis, diapit dua kota besar yaitu Jakarta dan Bogor menyebabkan Depok berkembang pesat sebagai kota satelit yaitu kota penunjang bagi kota-kota besar di sekitarnya. Tidak hanya itu, tumbuhnya titik-titik potensi ekonomi di Kota Depok seperti adanya Universitas Indonesia sebagai universitas terbesar di Indonesia menjadikan Depok sebagai kota primadona. Dampak dari berkembangnya Kota Depok menjadi kota primadona tujuan urbanisasi secara tidak langsung berimpliksi pula pada keberlangsungan masyarakat minoritas di dalamnya. Dari grafik 1.1 dapat dilihat bahwa masyarakat petani merupakan salah satu kelompok minoritas yang ada di Kota Depok. Jumlah petani di Kota Depok hanya mencapai 3% dari seluruh jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja.
Grafik 1.1 Penduduk 15 Tahun ke atas yang Bekerja Menurut Pekerjaan Utama Sumber: BPS Depok, 2010
Masyarakat marginal ini perlu untuk ditolong, diberdayakan dan diberikan power untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seutuhnya. Masyarakat minoritas yang perlu diberdayakan di Kota Depok adalah kelompok petani. Selain dari jumlah petani yang sedikit, Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
4
petani perkotaan di Kota Depok diharuskan mampu bertahan menghadapi arus urbanisasi serta desakan dari penduduk pendatang, sedangkan mempertahankan lahan dan
tetap
menjalani profesi petani dalam arus urbanisasi bukan suatu hal yang mudah. Salah satu pertanian yang sangat berpotensi untuk diberdayakan di Kota Depok adalah pertanian belimbing. Belimbing Depok atau yang sering disebut sebagai belimbing dewa telah dijadikan sebagai ikon Kota Depok. Belimbing dewa dapat tumbuh subur hampir di semua kecamatan di Kota Depok. Buah belimbing dewa ini sangat cocok dikembangkan di Kota Depok karena kondisi tanah dan iklim yang sangat kondusif. Bahkan, tanaman ini menempati posisi pertama dalam produksi tanaman buah-buahan yang prospektif di Kota Depok dibanding dengan jenis buah lainnya. Melihat potensi besar tersebut, sejak tanggal 29 Oktober 2007 belimbing dewa ditetapkan menjadi ikon Kota Depok, dan program pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan komoditas buah belimbing terus dilakukan seperti pemberian modal; tunjangan sarana seperti pembentukan Puskop/Koperasi belimbin; prasarana seperti pupuk, obat-obatan, dan berbagai peralatan; serta pelatihan dan penyuluhan terkait SOP (Standard Operating Procedure) Bahkan, pada setiap kelurahan dibentuk kelompok-kelompok tani
belimbing, dan setiap kecamatan terdapat Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) belimbing. Terbentuknya kelompok-kelompok tani belimbing ini diharapkan mampu menyerap teknologi pertanian, memudahkan penyebaran informasi dan memudahkan pemerintah melalui dinas/instansi terkait dalam memberikan bantuan, baik berupa bimbingan pelatihan maupun bantuan permodalan. Pancoran Mas adalah sebuah kecamatan yang secara geografis cukup strategis karena sangat berdekatan dengan pusat Pemerintahan Kota Depok. Meskipun berada di lingkungan pusat perkotaan, Kecamatan Pancoran Mas memiliki potensi pertanian belimbing yang cukup besar. Kecamatan Pancoran Mas merupakan kecamatan yang memiliki luas areal dan populasi tanaman belimbing yang tinggi. Kecamatan Pancoran Mas menjadi sentra utama produksi belimbing di Kota Depok, sehingga tidak heran jika jumlah kelompok tani belimbing di kecamatan ini lebih banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menjadikan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas ini sebagai objek penelitian. Sejak Depok ditetapkan sebagai Kota Belimbing tahun 2007 hingga sekarang tahun 2012/2013, banyak masyarakat mempertanyakan keberhasilan program pemberdayaan kelompok tani belimbing ini. Belimbing Dewa dianggap masih tidak banyak beredar dengan Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
5
harga cederung mahal. (Redaksi Wartakotalive, 2012). Semua program pemberdayaan atau penanggulangan kemiskinan di negeri ini, baik yang diprakarsai oleh Pemerintah Pusat maupun yang bermitra dengan Pemerintah Daerah, menerapkan konsep pemberdayaan. Namun, sampai sekarang masih jarang didapat data statistik yang melaporkan tentang peningkatan keberdayaan masyarakat setelah program-program tersebut dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan itulah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai “Analisis Tingkat Keberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Komoditas Buah Belimbing pada Kelompok Tani Belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.” Penulis ingin mengetahui lebih mendalam dengan mengukur tingkat keberdayaan masyarakat petani belimbing, karena suatu perubahan akan lebih efektif jika dilakukan pengukuran. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. TINJAUAN TEORITIS Terdapat beberapa studi terdahulu yang telah dilakukan mengenai belimbing dewa dan pemberdayaan masyarakat. Pertama, Hilmi (2011), menggambarkan tentang pelaksanaan dan faktor-faktor pendukung dan penghambat tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi lokal melalui pemberdayaan pertanian belimbing, studi kebijakan Pemerintah Kota Depok dalam PPK IPM (Program Pengembangan Kecamatan-Indek Pembangunan Manusia) Bidang Daya Beli, tahun anggaran 2008/2009. Kedua, Herviantoro (2009) menjelaskan mengenai gambaran dan kebermanfaatan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan berbasis komunitas yang dilakukan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Bina Mandiri bagi warga belajar di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Ketiga, Nuryadin (2001) menjelaskan mengenai proses dan hasil pemberdayaan yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Program Pendampingan Sosial oleh Sekretariat Bina Desa di Jakarta Utara. Konseptual teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pembangunan terutama model pembangunan manusia yang bertujuan memberdayakan masyarakat seutuhnya. Kartasasmita (1995, p.18) menegaskan bahwa memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan adalah sebuah proses yang alamiah. Begitu alaminya. Namun, pemberdayaan
Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
6
tetap harus dimanajemeni, dalam hal ini berkaitan dengan seni memanajemeni bukan mengendalikan atau merobotkan. “Pemberdayaan adalah sebuah konsep bahwa meskipun kehidupan adalah proses alami, kehidupan pun perlu dan harus dimajemeni. Konsep “memanajemeni” berbeda dengan “rekayasa” karena manajemen lebih fokus pada meningkatkan nilai tambah dari suatu asset. Jadi, pemberdayaan bukanlah semata-mata konsep politik dalam pembangunan, melainkan lebih pada suatu konsep manajemen, dan sebagai konsep manajemen, pada akhirnya pemberdayaan harus mempunyai indikator keberhasilan” (Wrihatnola dan Dwidjowijoto, 2007, p.9). Banyak ilmuwan yang menjelaskan konsep pemberdayaan (empowerment) dengan mengambil kata asalnya, yaitu “power” (kekuatan/kekuasaan). Oleh karena itu, untuk memahami empowerment digunakan konsep “power” untuk menjelaskannya. Untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang tersebut berdaya atau tidak, sehingga ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan
pada
spek-aspek
apa
saja
dari
sasaran
perubahan.
Berikut
indikator/parameter keberdayaan yang di ungkapkan oleh Suharto (2009, p. 65) a. Kekuasaan di dalam (power within) Kesadaran dan keinginan untuk berubah. Gagasan kekuasaan mengacu pada kesadaran diri, harga diri, identitas dan ketegasan (know how tobe). Hal ini mengacu pada bagaimana individu dapat mempengaruhi kehidupannya dan membuat perubahan. b. Kekuasaan untuk (power to) Kemampuan meningkatkan kapasitas untuk memperoleh akses. Kekuasaan untuk meningkatkan kemampuan individu untuk berubah, meningkatkan kesempatan untuk memperoleh akses c. Kekuasaan atas (power over) Kemampuan menghadapi hambatan. Perubahan pada hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro, kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatan-hambatan tersebut. d. Kekuasaan dengan (power with) Kemampuan berkelompok dan solidaritas. Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk menghadapi hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro. Secara kolektif, orang Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
7
merasa memiliki kekuatan saat dapat berkumpul dan bersatu dalam mencari tujuan umum, atau ketika dapat berbagi visi yang sama. Apabila melihat pada latar belakang dan pokok permasalahan yang menunjukkan bahwa kondisi pertanian komoditas buah belimbing di Kota Depok masih belum banyak dikenal oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat di Kota Depok mengalami kesulitan untuk mendapatkan buah belimbing dengan harga yang dinilai mahal, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah, “tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok adalah rendah.” METODE PENELITIAN Peneliti ini menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai dasar pemikiran dalam alur penelitian. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, memakai asumsi dasar teori yang telah ada yaitu teori dari Suharto (2009) mengenai indikator/parameter keberdayaan untuk menjadi sumber utama kegiatan penelitian, kemudian berusaha menguji teori tersebut secara objektif. Ciri-ciri dari pendekatan kuantitatif ini adalah terstruktur, berpola, data yang lebih bersifat statistik (Simamora, 2004, p. 99). Penelitian ini, berdasarkan tujuannya dikategorikan ke dalam jenis penelitian deskriptif. “Penelitian yang bertujuan menggambarkan fenomena sosial” (Bungin, 2010, p. 36). Penelitian deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah menjelaskan gambaran tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Berdasarkan manfaat penelitian, termasuk jenis penelitian murni. Penelitian murni karena berorientasi pada sumbangsih ilmu pengetahuan, yaitu berusaha menjawab pertanyaan peneliti terkait dengan permasalahan penelitian, yakni mengenai tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak memiliki keterikatan atau tuntutan dari pihak manapun sebagai pemberi sponsor. Penelitian ini berdasarkan dimensi waktu penelitian, dikategorikan dalam jenis penelitian cross sectional karena hanya mengambil satu bagian dari gelajah (populasi) pada satu waktu tertentu dan tidak dilakukan pada waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan Oktober 2012 - Maret 2013. Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini termasuk jenis penelitian campuran (kuantitatif dan kualitatif) atau biasa disebut mixed methods. Kuantitatif karena Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
8
melakukan survey dengan menyebarkan kuesioner. Kualitatif karena selain melakukan survey, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan. “Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti” (Hasan, 2002, p. 58). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh petani belimbing yang tergabung dalam kelompok tani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Populasi target dalam penelitian ini meliputi: a) Isi, yaitu petani belimbing yang tergabung dalam kelompok tani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok b) Cakupan, yaitu di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok c) Batasan waktu, yaitu pada bulan Oktober 2012-Maret 2013 “Sampel adalah wakil yang representatif dari keseluruhan populasi yang digunakan untuk memprediksi dan membuat generalisasi kondisi populasi” (Hasan, 2002, p. 58). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok yaitu perwakilan anggota Kelompok Tani Belimbing Kalilicin, Sarijaya, RJB Rawa Denok, Dewi Merah dan Laris Jaya. Pemilihan teknik pengambilan sampel merupakan upaya penelitian untuk mendapat sampel representatif (mewakili).Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk dalam Probability Sampling tepatnya Stratified Random Smpling-proposional. Probability Sampling karena kerangka sampel dapat diketahui yaitu menggunakan daftar nama anggota kelompok. Stratified Random Sampling, dipilih karena peneliti mengangap populasi penelitian yaitu antar kelompok tani belimbing heterogen. Proposional karena menarik sampel secara proposional dari masing-masing strata merupakan kondisi yang ideal agar dapat secara tepat menggambarkan karakteristik populasi penelitian. Besar kecilnya suatu sampel tidak menjamin ketepatan suatu simpulan penelitian. Sampel yang menjamin ketepatan kesimpulan adalah sampel yang representatif (Bungin, 2004, p. 103). Oleh karena itu, peneliti cukup menggunakan proposi 30%. Dengan mengambil proposi 30% ini, peneliti telah mendapatkan total sampel lebih dari 30 responden, sedangkan berdasarkan pendapat para ahli minimal sampel untuk penelitian survey adalah 30 responden (Bungin, 2004, p. 103). Tabel 1.1 Tahapan Penarikan Stratified Random Sampling- Proposional Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
9 Sarijaya Populasi % Sampel Sampel
31 30% 9
RJB Rawa Kalilicin Denok 20 15 30% 30% 6 5
Laris Jaya
Dewi Merah 20 30% 6
21 30% 6
Total Sampel 107 30% 32
Sumber: Bungin dengan olahan Peneliti, 2012
Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan teknik analisis univariat karena penelitian ini hanya terdiri dari satu variabel, yaitu keberdayaan masyarakat. Seluruh indikator dan subindikator dari variabel kemudian dianalisis dan dikalkulasikan untuk menentukan tingkat keberdayaan masyarakat yaitu tinggi atau rendah. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Alat bantu pengolahan data yang digunakan adalah Statistical Product and Service Solution (SPSS). Keterbatasan dalam penelitian ini adalah masih banyaknya data yang belum terdokumentasi dengan baik oleh pihak pemerintah, sehingga menyulitkan penelitian. Namun, kendala ini dapat diminimalisir dengan memanfaatkan teknologi internet dan komunikasi yang baik dengan berbagai pihak sehingga data terbaru dapat ditemukan. HASIL PENELITIAN Untuk mengukur tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, peneliti meminjam teori/pemikiran dari Suharto (2009, p.65) mengenai indikator/parameter tingkat keberdayaan yang terdiri dari 4 (empat) indikator. Keempat indikator tersebut adalah 1.) power within (kemampuan berubah), 2.) power to (kemampuan memperoleh akses), 3.) power over (kemampuan menghadapi hambatan), dan 4.) power with (kemampuan berkelompok dan solidaritas). Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan survey kepada 32 responden diketahui bahwa tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, masih rendah yaitu 63%. Rendahnya tingkat keberdayaan ini dipengaruhi oleh keempat indikator penyusun variabel tingkat keberdayaan yang sebagian besar masuk kategori rendah. (Lihat grafik 1.3 perbandingan keempat indikator tingkat keberdayaan). Indikator power with menyumbang nilai terbesar dengan prosentase kategori rendah mencapai 59%, kemudian disusul indikator power to dan indikator power over dengan kategori rendah masing-masing 56%. Meskipun untuk indikator power within kategori rendah hanya mencapai 47%. Namun, dari gabungan keempat indikator, menunjukan bahwa kategori rendah lebih mendominasi
Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
10
sehingga hasil akhir tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok masuk kategori rendah. n=32
Grafik 1.2 Tingkat Keberdayaan Petani Belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok
Grafik 1.3 Perbandingan Keempat Indikator Tingkat Keberdayaan Sumber: Data Primer Peneliti, 2013
Sumber: Data Primer Peneliti, 2013
PEMBAHASAN Indikator power within atau kemampuan untuk melakukan perubahan. Dalam penelitian ini untuk mengukur indikator power within, peneliti menggunakan 3 subindikator yaitu 1. ) kesadaran perubahan pola pikir, 2.) perubahan identitas, dan 3.) perubahan metode. Sebanyak 53% dari total responden memiliki power within yang tinggi, dan sisanya 47% responden memiliki power within yang rendah. Tingginya tingkat power within petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas ini didukung karena banyaknya petani yang mampu memenuhi 2 (dua) subindikator yaitu “perubahan pola pikir” dan “perubahan identitas”. Petani yang mampu melakukan perubahan pola pikir adalah petani yang menyadari bahwa pertanian belimbing adalah suatu hal positif yang memiliki potensi luar biasa. Dari 32 (tiga puluh dua) responden yang diteliti, 19 (sembilan belas) responden mampu melakukan perubahan pola pikir yaitu mampu memandang pertanian belimbing sebagai pertanian yang berpotensi memberikan keuntungan yang besar. Hanya beberapa responden yang belum mampu melakukan perubahan pola pikir dan masih memiliki pandangan negatif terhadap pertanian belimbing sehingga memilih bertani belimbing dengan keterpaksaan. Subindikator kedua dari power within yaitu perubahan identitas, masuk dalam kategori tinggi. Sebanyak 23 (dua puluh tiga) dari 32 responden mampu untuk melakukan perubahan identitas. Maksud dari perubahan identitas adalah perubahan petani untuk benar-benar serius Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
11
menjalani pertanian belimbing. Tingkat power within atau kemampuan berubah petani belimbing di Kecamatan Mas, Kota Depok tinggi mencapai 53%, tetapi jika di lihat lebih jeli angka tersebut belum cukup memuaskan karena masih dalam angka kepala lima (50’an persen). Hal ini dikarenakan subindikator ketiga dari power within yaitu perubahan metode petani di Kecamatan Pancoran Mas masih rendah. Perubahan metode yang dimaksud adalah perubahan metode tanam belimbing dari metode tanam tradisional menjadi metode tanam sesuai SOP (Standard Operating Procedures). Sebanyak 23 (dua puluh tiga) dari 32 responden menjawab belum mampu melakukan melakukan perubahan metode. Sebagian besar petani masih menggunakan metode tradisional dalam budidayakan belimbing karena berbagai alasan seperti malas membaca SOP, tidak ada waktu untuk membaca SOP, terbiasa telah menggunakan metode tradisional, lebih mudah menggunakan metode tradisional dan lain sebagainya, yang menandakan tidak adanya kemauan dalam diri petani untuk melakukan perubahan. Indikator power to atau kemampuan untuk mendapatkan akses. Untuk menganalisis indikator power to atau kemampuan untuk mendapatkan akses, terkait pemberdayaan pertanian belimbing, peneliti menggunakan 6 (enam) subindikator yaitu 1.) kemampuan akses informasi, 2.) kemampuan akses komunikasi, 3.) kemampuan akses lahan, 4.) kemampuan akses modal, 5.) kemampuan akses pasar, 6.) kemampuan akses pendapatan. Dari hasil penelitian didapat tingkat “power to” atau kemampuan untuk mendapatkan akses petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok adalah “rendah” yaitu 56%. Rendahnya indikator power to, dikarenakan sebagian besar responden belum mampu mendapatkan 3 (tiga) subindikator yaitu akses komunikasi, akses modal, dan akses pendapatan. Sebanyak 66% atau 21 (dua puluh satu) dari 32 total responden, mengaku petanipetani ini mengalami kesulitan komunikasi dengan pihak-pihak lain dalam mengembangkan pertanian belimbing. Alasan petani-petani ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses komunikasi dengan pihak-pihak eksternal cukup beranekaragam, seperti karena malas menjalin networking dengan pihak lain, memilih bekerja di lapangan daripada menjalin networking, tidak mengetahui bagaimana menjalin komunikasi, alasan usia yang sudah tua, dan menyerahkan komunikasi hanya dilakukan oleh pengurus kelompok. Alasan-alasan tersebut lebih cenderung karena faktor internal dari dalam diri petani sendiri yang kurang memiliki kemauan dan usaha untuk mendapatkan akses komunikasi tersebut. Sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53 % dari 32 responden mengaku kesulitan untuk Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
12
mendapatkan akses modal. Sebagian besar petani yang mengalami kesulitan modal menjawab sulitnya modal dikarenakan modal belimbing yang besar tetapi harga belimbing murah. Selain itu, koperasi bermasalah juga menyebabkan petani-petani sulit untuk mendapatkan akses modal. Semasa koperasi masih berfungsi, banyak petani terbantu dengan adanya koperasi yang selalu memasok modal melalui pinjaman uang, maupun pinjaman obat-obatan. Namun, semenjak koperasi tidak berfungsi, petani kesulitan mendapatkan bantuan modal untuk mendukung budidaya pertanian belimbing, bahkan kini hasil dari penjualan sering menjadi piutang oleh tengkulak. Sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53% dari 32 responden menjawab tidak mampu mendapatkan akses pendapatan. Hal ini, dikarenakan sebagian besar petani tidak mampu untuk memanajemen keuangannya dari pendapatan pertanian belimbing, sehingga berapa pun besar pendapatan yang diterima tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ketidakmauan petani untuk melihat peluang permintaan ekspor juga menjadikan penyebab petani tidak mampu mendapatkan akses pendapatan. Ketiga subindikator lainnya dari kelompok power to, yaitu akses informasi, akses lahan, dan akses pasar. Sebagian besar responden telah mampu untuk mendapatkan ketiga akses tersebut. Sebanyak 18 (delapan belas) atau 56% dari 32 responden menyatakan mengalami kemudahan dalam akses informasi terkait dengan pertanian belimbing. Informasiinformasi tersebut didapatkan melalui tukar informasi sesama petani, kelompok tani, Dinas Pertanian, Balai Penyuluh Pertanian, maupun aktif mencari sendiri membaca buku. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53% dari 32 responden menyatakan mampu untuk mendapatkan akses lahan. Sebagian besar petani yang mampu mendapatkan akses lahan dikarenakan petani-petani ini memiliki lahan tetap, baik lahan sendiri atau lahan warisan orang tua. Selain itu, beberapa petani juga mendapat dukungan dari pinjaman lahan saudara, kenalan/teman dengan harga nol rupiah. Namun, permasalahan lahan untuk pertanian belimbing tetap menjadi perhatian pokok, karena ke depan akan semakin sedikit petani yang memiliki lahan pribadi. Selain itu, petani yang saat ini masih mendapat pinjaman lahan dari saudara/teman suatu saat dapat kehilangan lahannya karena ditarik kembali oleh pemilik lahan. Sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53% dari 32 responden menyatakan mampu untuk mendapatkan akses pasar. Hal ini disebabkan, karena petani-petani ini selain memproduksi buah belimbing, juga menjual belimbing produksinya ke pasar-pasar baik skala kecil maupun besar. Beberapa petani memiliki teman yang membantu untuk mendistribusikan buah Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
13
belimbingnya. Subindikator-subindikator kemampuan mendapatkan akses informasi, akses lahan, dan akses pasar inilah yang menyumbang nilai power to untuk kategori tinggi mencapai 44%. Indikator power over atau kemampuan menghadapi hambatan-hambatan. Dalam penelitian ini indikator power over memiliki 6 (enam) subindikator, yaitu 1.) kemampuan mengahadapi hambatan pembibitan, 2.) kemampuan menghadapi hambatan pemupukan, 3.) kemampuan menghadapi hambatan pengairan, 4.) kemampuan menghadapi hambatan pengobatan, 5.) kemampuan menghadapi hambatan pembungkusan, dan 6.) kemampuan menghadapi hambatan produksi. Tingkat power over atau kemampuan untuk menghadapi hambatan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok masih rendah yaitu 56%. Hanya 44% responden yang telah mencapai kategori tinggi. Rendahnya, tingkat power over dikarenakan sebagian besar petani belum mampu menghadapi hambatan pengobatan. Sebanyak 20 (dua puluh) atau 63% dari total 32 responden mengaku tidak mampu menghadapi hambatan pengobatan. Hal ini disebabkan karena sebagian dari petani tidak mengtahui cara membuat obat alternatif, tidak percaya dengan obat alternatif, atau bahkan malas untuk belajar cara membuat obat alternatif. Pada subindikator kemampuan menghadapi hambatan pembibitan, sebagian besar yaitu sebanyak 20 (dua puluh) atau 63% dari 32 responden menjawab mampu untuk menghadapi hambatan pembibitan karena petani-petani ini memproduksi bibit sendiri, atau meminta kepada penyuluh untuk mendapatkan bibit berkualitas. Beberapa petani juga memilih untuk meminta kepada petani lain jika mengalami kesulitan dalam pembibitan. Untuk subindikator kemampuan menghadapi hambatan pemupukan, sebagain besar yaitu 19 (sembilan belas) atau 59% dari 32 responden telah mampu untuk memberikan solusi pemupukan. Petani-petani ini memilih menggunakan pupuk alternatif seperti pupuk kompos, pupuk dari kotoran ayam, pupuk dari sekam, atau pupuk kandang untuk mengganti pupuk anorganik yang mahal. Selain itu, beberapa petani juga memiliki inisiatif yang baik dengan stok pupuk/membeli banyak pupuk di waktu harga turun. Sebanyak 18 (delapan belas) atau 56% dari 32 responden juga telah mampu menghadapi hambatan pengairan. Meskipun harga mesin untuk pengairan cenderung mahal, petani menghadapi hambatann ini melalui upaya membeli mesin, mencicil mesin, meminjam mesin ataupun merawat mesin agar mesin dapat bertahan lebih lama. Sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53% dari 32 reponden menjawab mampu menghadapi
hambatan pembungkusan. Kesulitan dalam mendapatkan bahan pembungkus seperti karbon, Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
14
mendorong petani-petani ini memberikan solusi altenatif melalui pembungkusan dengan menggunakan plastik, molsa, koran maupun daun pisang kering. Untuk kesulitan kuli pembungkus, petani melakukan kerjasama dengan bebeberapa teman untuk melakukan pembungkusan bersama, melakukan regenerasi kuli bungkus juga dilakukan untuk menciptakan tenaga-tanaga pembungkus baru. Berikutnya kemampuan menghadapi hambatan produksi. Sebanyak 19 (sembilan belas) atau 59% dari 32 responden menjawab mampu menghadapi hambatan produksi. Untuk menghadapi hambatan produksi seperti gagal panen atau produksi menurun petani-petani ini memberikan solusi melalui perbaikan perawatan, melakukan pengukuran yang tepat untuk waktu pemupukan dan waktu pembungkusan. Beberapa petani juga berinisiatif dengan berkoordinasi dengan teman sesama petani terkait penyebab penurunan produksi sehingga mampu memberikan solusi untuk mengatasinya. Sebagian besar petani memang telah mampu untuk menghadapi hambatan pembibitan, hambatan pemupukan, hambatan pengairan, hambatan pembungkusan dan hambatan produksi. Namun, selisih antara responden yang mampu dengan responden yang tidak mampu dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut tidak terlalu jauh, sehingga untuk tingkat power over masih masuk ke dalam kategori rendah. Indikator power with atau kemampuan berkelompok dan bersolidaritas. Dalam penelitian ini indikator power with menggunakan 3 (tiga) subindikator yaitu 1.) kesediaan mengikuti kegiatan kelompok, 2.) kesediaan menjadi pengurus kelompok, 3.) kesediaan solidaritas kelompok. Tingkat power with petani masih rendah yaitu mencapai 59%, hanya 41% dari total 32 (tiga puluh dua) responden yang telah memiliki power with yang tinggi. Rendahnya tingkat power with dikarenakan sebagian besar petani belum mampu untuk memenuhi subindikator kesediaan menjadi pengurus kelompok dan subindikator kemampuan bersolidaritas kelompok. Sebanyak 18 (delapan belas) atau 56% dari 32 responden bersedia mengikuti kegiatan kelompok yang diselenggarakan baik itu oleh kelompok maupun dari pihak pemerintah seperti Dinas Petanian dan Balai Penyuluh Pertanian. Alasan petani-petani ini bersedia mengikuti kegiatan kelompok adalah karena ajakan teman, ingin tahu, sharing, maupun ingin kumpul-kumpul. Nilai power with petani menjadi rendah karena sebagian besar petani menolak untuk terlibat langsung dalam kepengurusan kelompok. Sebanyak 22 (dua puluh dua) atau 69% dari 32 responden tidak bersedia untuk menjadi pengurus kelompok. Alasan-alasan yang sering Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
15
diberikan oleh petani adalah karena tidak memiliki waktu, tidak ingin terikat, merasa posisi bawah, lelah, sudah usia tua dan lain sebagainya yang menyatakan ketidakbersediaan menjadi pengurus kelompok dengan berbagai alasan yang ada pada diri masing-masing individu. Rendahnya nilai power with juga disebabkan karena solidaritas kelompok dalam diri petani masih rendah. Sebanyak 17 (tujuh belas) atau 53% dari 32 responden mengaku tidak bersedia menolong petani-petani lainnya dalam menghadapai hambatan. Keterbatasan modal, kondisi fisik yang sudah tua, serta senang bekerja sendiri-sendiri merupakan alasan petani mengapa tidak bersedia untuk memberikan bantuan kepada petani lainnya. Lemahnya solidaritas kelompok dan tidak bersedianya petani terlibat langsung dalam kepengurusan kelompok merupakan faktor penyumbang terbesar tingkat power with atau kemampuan berkelompok dan bersolidaritas petani di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok masuk kategori rendah hingga 59%. Terlihat bahwa keberadaan kelompok kurang memberikan sense of belonging dan rasa persaudaraan yang kuat diantara anggota. Kelompok hanya dijadikan sebagai wadah formal untuk kegiatan kumpul-kumpul, sharing atau arisan, tetapi ketika kembali ke lapangan petani berjalan sendiri-sendiri. SIMPULAN Tingkat keberdayaan petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok adalah rendah. Penyebab rendahnya tingkat keberdayaan disebabkan oleh 2 (dua) faktor 1.) faktor internal yaitu faktor yang berasal dari diri petani itu sendiri yaitu ketidak mauan dan ketidak mampuan untuk berusaha lebih mandiri dan berdaya 2.) faktor eksternal yaitu yang berasal dari pihak luar seperti koperasi (Puskop)
yang gagal menjadi wadah untuk
pengembangan budidaya belimbing; lembaga informal kelompok tani belimbing yang beberapa diantaranya tidak aktif; serta lembaga formal yaitu pemerintah (Dinas Pertanian dan Balai Penyuluh Pertanian Kota Depok) yang belum serius dalam menjalankan programprogram terkait pemberdayaan. REKOMENDASI Pemberdayaan merupakan model pembangunan manusia yang menjadikan manusia menjadi centra utama dalam pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, rekomendasi ini lebih ditujukan pada manusia yaitu; 1. petani belimbing agar lebih meningkatkan kesadaran diri dan kemauan tinggi untuk berubah melalui pemanfaatan program
pemberdayaan dengan maksimal; 2. SDM kelompok tani Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
16
belimbing perlu diaktifkan melalui pembinaan hubungan komunikasi yang baik antara pemerintah dengan anggota kelompok tani; 3. monitoring dan evaluasi kegagalan koperasi belimbing; 4. peningkatan keseriusan pemerintah baik Dinas Pertanian, maupun Balai Penyuluh Pertanian Kota Depok dalam menjalankan program pemberdayaan melalui monitoring dan evaluasi terhadap program pemberdayaan,
misalnya melakukan survey
seperti ini agar ditemukan data statistik yang memperlihatkan berhasil tidaknya suatu program pemberdayaan untuk kajian program selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA BUKU: Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2012). Kota Depok dalam Angka 2011. Depok: BPS Depok Bungin, M. Burhan. (2005). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Departemen Pertanian Republik Indonesia. (2003). Belimbing: Averrhoa Cambola L. Jakarta: Direktorat Jenderal Holtikultura Dinas Pertanian Kota Depok. (2007). Blangko Pencatatan SOP Belimbing Kota Depok. Depok: Satlak Daya Beli Hasan, Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia Rakhmat. (2012). Dimensi Strategis Manajemen Pembangunan. Yogyakarta: Graha Ilmu Suharto, Edi. (2009). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Rakyat Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Sumodiningrat, Gunawan; Riant Nugroho D. (2005). Membangun Indonesia Emas: Modal Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Negara yang Unggul dalam Persaingan Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Wrihatnolo. (2007). Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar untuk Memberdayakan Masyarakat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo JURNAL DAN KARYA ILMIAH Kartasasmita, Ginandjar. (1995). Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat, dalam Bestari, Nomor 20 tahun VIII Agustus-Desember 1995 Nuryadin, La Ode Taufik. (2001). Pemberdayaan Masyarakat Nelayan: Studi Kasus Pelaksanaan Program Pendampingan Sosial di Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara oleh Sekretariat Bina Desa/INDHRRA Jakarta Utara, Tesis
Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013
17
Herviantoro, Ardiego. (2009). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Berbasis Komunitas (Studi Deskriptif pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Mandiri, Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan), Skripsi Hilmi,
Muhammad. (2011). Pelaksanaan Pembangunan Ekonomi Lokal Melalui Pemberdayaan Sektor Pertanian Belimbing di Kota Depok Tahun Anggaran 2008/2009, Skripsi
PERATURAN PEMERINTAH: Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat 11 Depok, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3828 WEB: Redaksi. (2012, July 3). Pertumbuhan Ekonomi Tak Optimal, Angka Kemiskinan Hanya Bisa Ditekan 0,5%. [online]. http://www.bisnis.com/articles/pertumbuhan-ekonomi-takoptimal-angka-kemiskinan-hanya-bisa-ditekan-0-5-percent. [diunduh: 16 September 2012] Redaksi. (2012, Juni 6). Ikon Belimbing Dewa dipertanyakan. [online].http://www.wartakotalive.com/detil/berita/85028/Ikon-Belimbing-DepokDipertanyakan. [diunduh: 14 Sepetember 2012] Redaksi. (2012, January 2). BPS: Jumlah Penduduk Miskin di Jabar Bertambah. [online]. http://www.suarapembaruan.com/home/bps-jumlah-penduduk-miskin-dijabar-bertambah/15451. [diunduh: 16 September 2012]
Universitas Indonesia
Analisis tingkat..., Widiyaningsih, FISIP UI, 2013