ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH DI KABUPATEN SUMBAWA (Perspektif Ekonomi Kelembagaan)
YADI HARTONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Yadi Hartono NRP H351090071
ABSTRACT YADI HARTONO, 2012. Institutional Analysis in Sub Watershed Management of Batulanteh, Sumbawa Regency (Institutional Economics Perspective). Under direction of ACENG HIDAYAT and AHYAR ISMAIL. During 21 years (1984 till 2005), more than half of the watershed were demaged (282 of 468 existing watershed). All this time, the secure efforts were limited to optimization natural resources, human resources, and man-made capital. Institutional factor was neglected, so the performance of watershed management has not yet been satisfactory. Therefore, this interesting study done, with the aim are analyzing legislation, the response of government and society to the Act, the variety of property rights, analyze stakeholders, and redesign institutional of sub watershed. The results showed 71,15 percent disposition the authority that was regulated in the Act is not appropriate. This phenomenon means preversi authority and resistive to optimal and sustainability forest management. In the measurement of response rate, both government and community level responses classified as good but not effectively to solve critical land problem in watershed. Property rights regime consist of state property and private property. Those regime have three problems : first, private property is not effective in public domain; secondly, there is illegal utilization in state property caused government incapabilty to protect their property rights; last, unclear position KPH organization, due to loss of exclusion. In the stakeholder analysis shows the fact that the overall stakeholder have mutual support against the interes of each other. But overall the stakeholders have not been fully involved in the management of sub watershed, including stakeholders who have great influence. The result from analysis of institutional design recommend to correction the act level and organization structure. Key word : preversi authority, institutional design, property rights, Batulanteh Sub Watershed
RINGKASAN Yadi Hartono, Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan). Dibimbing oleh Aceng Hidayat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi pembimbing. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah ekosistem tempat dimana air tersebut mengalir dari hulu hingga hilir. Atas fungsi tersebut, keberadaannya dipandang sangat penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan nasional. Namun pengelolaannya seringkali tidak optimal, sehingga trend kerusakannya, terus meningkat setiap tahun. Dalam kurun waktu 21 tahun (1984 s.d 2005), lebih dari separuh DAS telah rusak (282 dari 468 DAS). Kasus kerusakan tidak hanya terjadi pada DAS di atas yang masuk kategori DAS regional, namun juga melanda DAS lokal, salah satu Sub DAS Batulanteh di Kab. Sumbawa. Upaya penyelamatan yang telah dilakukan sejak 1980-an, dinilai hanya terbatas pada optimasi tiga faktor (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan man-made capital) dari empat faktor kunci yang mempengaruhi kinerja keberhasilan pengelolaan DAS. Faktor pranata kelembagaan sedikit diabaikan, sehingga wajar kalau kinerja pengelolaan DAS hingga kini belum memuaskan. Untuk itulah, studi ini ditujukan untuk mempelajari substansi peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan main dalam penyelenggaran pengelolaan DAS. Penelitian ini juga dihajatkan untuk melihat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap amanat peraturan perundang-undangan, kemudian memetakan regim hak kepemilikan lahan, stakeholder yang terlibat dan pada tahap terakhir melakukan redesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh. Untuk menjawab tujuan pertama, menggunakan pendekatan analytic comparation, dimana dalam analisisnya dilakukan dalam dua tahapan: pertama mempelajari jenis urusan-urusan yang ditaur; kemudian memetakan peletakan kewenangan atas sejumlah urusan tersebut pada organisasi di tingkat makro, meso dan mikro. Untuk tujuan kedua, sejumlah amanat perundang-undangan tersebut, dilihat kesesuaiannya dengan program kerja pemerintah daerah yang terdokumentasi dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa sebagai instansi yang memiliki kesesuaian fungsi pokoknya dengan isu penyelenggaraan DAS. Sedangkan tingkat respon masyarakat diukur dengan melihat keterlibatannya dalam sejumlah program daerah dan inisiatif yang pernah dilakukan bagi kelestarian Sub DAS. Sedangkan untuk pemetaan ragam hak kepemilikan lahan dilakukan dalam tiga tahap: pertama, mengidentifikasi hak kepemilikan yang ada, kedua, melalui pendekatan Hanna (1995), informasi tahap pertama ditindak-lanjuti dengan melihat apakah para pemilik hak telah melaksanakan hak dan kewajibanya atau belum. Terakhir, dilakukan pendalaman lagi dengan melihat strata hak kepemilikan berdasarkan pendekatan Schlager dan Ostrom (1992), yaitu : hak Acces dan Withdrawal; hak Management, hak Exclusion, dan hak Alienation. Untuk analisis stakeholder, diawali dengan mengidentifikasi stakeholder yang terlibat, kemudian kepentingannya, sikap, dan terakhir tingkat pengaruh dan keterlibatannya. Untuk tujuan terakhir, didasari atas hasil pada tahap sebelumnya.
Pada analisis konten UU, hasil penelitian menunjukkan ketidaktepatan peletakan kewenangan atas sejumlah urusan khusus yang diatur dalam UU No.41/1999 masih tergolong besar. Fenomena ini dimaknai sebagai preversi kekuasaan yang berpotensi menghambat pencapain tujuan pengelolaan hutan untuk menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi. Pada pengukuran tingkat respon, baik pemerintah maupun masyarakat tingkat responnya tergolong baik, namun respon yang baik belum juga cukup menyelesaikan persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS. Kemudian pada analisis hak kepemilikan, diketahui regim hak kepemilikan yang ada terdiri dari state property dan private property. Kedua rezim tersebut, mengandung tiga persoalan yaitu : (i). Private property tidak mampu menjadi insentif bagi pengelolaan lahan yang optimal secara ekologis dalam domain publik; (ii). State property belum bebas dari pemanfaatan tidak sah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga hak kepemilikannya dari tindak pidana kehutanan; dan (iii). Ketidakjelasan kedudukan organisasi KPH sebagai pengelola state property, akibat hilangnya hak Exclusion. Dalam klasifikasi Scalger dan Ostrom (1992), organisasi KPH dalam kedudukannya sebagai pengelola seharusnya mempunyai hak Acces and Withdrawal. Hasil analisis stakeholder memperlihatkan fakta bahwa keseluruhan stakholder memiliki sikap saling mendukung terhadap kepentingan satu sama lain, sehingga sikap yang demikian bisa menjadi modal dalam mensukseskan program-program yang ada bagi keberlanjutan manfaat Sub DAS kedepannya. Namun secara keseluruhan stakeholder belum terlibat secara penuh dalam pengelolaan Sub DAS, termasuk stakeholder yang memiliki pengaruh besar. Rata-rata stakeholder memiliki tingkat keterlibatan dalam kategori sedang. Hasil analisa terakhir menerangkan dalam rangka penguatan kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh, perlu dilakukan pembenahan mulai dari aturan main baik pada level peraturan perundangundangan maupun regulasi di level daerah (Raperda pengelolaan terpadu Sub DAS) sampai pada bentuk pengorganisasian yang ada yaitu komisi irigasi.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.
ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH DI KABUPATEN SUMBAWA (Perspektif Ekonomi Kelembagaan)
YADI HARTONO
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, MSIr. Ahyar Ismail, MS
Judul Tesis
: Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan)
Nama
: Yadi Hartono
NRP
: H351090071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr Anggota
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc
Tanggal Ujian: 29 Desember 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr
Tanggal Lulus:
Desember 2011
PRAKATA Alhamdulillah, itulah ungkapan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas Rahmat dan KaruniaNya tugas akhir ini bisa diselesaikan. Rampungnya tugas ini berarti berakhir pula rangkaian studi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang mengambil tema: “Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan)”, dipilih atas dasar rasa ingin tahu penulis dibalik buruknya kinerja pengelolaan DAS, khususnya Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa. Penulis menyadari, rampungnya penulisan karya ilmiah ini, tidak lepas dari arahan komisi pembimbing. Untuk itu ucapan terima kasih dan penuh hormat penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku Anggota yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga bagi karya ini. Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa hormat yang setinggitingginya juga kepada : 1. Ketua Program Studi ESL sekaligus dosen saya, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan dosen ESL lainnya atas ilmu dan pengetahuan yang telah mereka tularkan selama ini. Kemudian Teh Sofi berserta seluru staf Departemen ESL yang tidak bisa saya sebut satu per satu atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana. 2. Orang-orang istimewa dalam kehidupan saya sejak lahir, masa kanak-kanak, hingga kini yaitu kedua orang tua saya Ayahanda M.Yasin Tahir dan Ibunda Halimah tercinta atas doa dan perjuangannya yang tulus buat anak-anaknya dalam menempuh studi. Kemudian Mertua saya Muzakkir Beddu dan Sahema Dea Manwari atas doanya. 3. Wanita kedua yang sangat penting dalam hidup saya, istriku Evy Ariani atas doa dan kata rindunya yang selalu diucapin sehingga membuat saya semakin mengerti arti sebuah tanggung jawab, kemudian memaksakan saya untuk segera menuntaskan semua ini. Selanjutnya untuk adiki-adik saya, Yuli Kusumah Putri dan Yahandra Muslimin atas suntikan semangatnya.
4. Saudara Bapak saya yaitu Bibi
Suryati yang biasa saya panggil iya dan
suaminya (Paman Man) serta saudara ibu saya DR. Sanapiah Faesal atas “pamendi ke panulung” selama ini. 5. Teman-teman di Samawa Center, UNSA, Bappeda, Dishutbun, Dinas PU, Dinas Pertanian, DPRD, KSDA, Kades Desa Batudulang atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Teman-teman di ESL dan ESK, angkatan 2009, ada Bang Hamdan, Kong Said, Ongen, Novan, Kadek, Maria, Venti, Asti, Rogib, Bundo Eka, Fadli, Irin, Ida, Saipul dan Rio atas semangat kebersamaannya. 7. Teman-teman di asrama NTB, atas candanya; K’ Sukri, Opan, Pak Eni, Anas, Didint, Dedi, Riski dan Taher. Akhirnya, sebagaimana Albert Einsten pernah mengatakan“ kesempurnaan adalah bukan ketika tidak ada lagi yang ditambahkan, namun ketika tidak ada lagi yang dikurangi”. Terinspirasi oleh kata-kata Enstein tersebut, maka penulis memandang karya sederhana ini tidak akan pernah selesai jika harus menunggu kesempurnaan dengan terus menambah dan memperkaya bahasannya, karena memang tidak akan pernah habis.
Tetapi paling tidak, dengan temuan yang
diungkapkan dalam karya ini, mampu menambah khasanah keilmuan dan pengetahuan.
Bogor, Januari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Poto, Sumbawa pada tanggal 31 Oktober 1982 dari pasangan M. Yasin Tahir dan Halimah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Gelar Sarjana Pertanian, penulis peroleh dari Universitas Mataram pada tahun 2007. Kurang lebih selama 2 tahun (2007 s.d 2009) penulis menjadi staf pengajar di lingkungan Universitas Samawa-Sumbawa Besar dan menjadi staf peneliti di Samawa Center, yaitu sebuah lembaga yang concent terhadap isu-isu pengelolaan sumberdaya alam dan HESB ( hak ekonomi sosial dan budaya). Dalam sejumlah programnya, lembaga yang didirikan 11 tahun silam bermitra dengan beberapa lembaga donor diantaranya : Pathnership Kemitraan, Samanta Foundation, LP3ES Jakarta, World Bank, NZAID, Yayasan TIFA Jakarta dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Pada tahun 2009, penulis kemudian melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xxi
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 1.4. Definisi Operasional ..................................................................... 1.5. Batasan Operasional .....................................................................
1 7 9 10 11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kelembagaan .................................................................... 2.2. Teori Perubahan Kelembagaan ..................................................... 2.3. Kelembagaan Dalam Pengelolaan DAS ........................................ 2.4. Hak Kepemilikan Sumber Daya .................................................... 2.5. Definisi Stakeholder ...................................................................... 2.6. Analisis Stakeholder ...................................................................... 2.7. Tata kelola Kawasan DAS .............................................................
13 15 20 22 25 27 28
III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 4.3. Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 4.4. Metode Analisis Data ................................................................... 4.4.1. Analisis Isi/Konten Peraturan ............................................. 4.4.2. Analisis Respon Terhadap Peraturan .................................. 4.4.3. Pemetaan Ragam Hak Kepemilikan ................................... 4.4.4. Analisis Stakeholder ........................................................... 4.4.5. Desain Kelembagaan .........................................................
39 39 39 42 42 43 44 45 46
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Wilayah Administrasi dan Kependudukan ................................... 5.1.1. Wilayah Administrasi Sub DAS Batulanteh ....................... 5.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ....................................... 5.1.3. Struktur Penduduk, Pendidikan dan Lapangan Usaha ........
47 47 49 50
xiv
5.2. Kondisi Fisik wilayah Sub DAS Batulanteh ................................ 5.2.1. Topografi ............................................................................. 5.2.2. Iklim .................................................................................... 5.2.3. Geologi ................................................................................ 5.2.4. Hidrologi ............................................................................. 5.2.5. Tanah ................................................................................... 5.2.6. Erosi dan Sedimentasi ......................................................... 5.3. Pola Penggunaan Lahan ................................................................ 5.4. Nilai Strategis Kawasan Sub DAS Batulanteh ............................. 5.4.1. Taman Wisata Alam Samongkat ......................................... 5.4.2. Hasil Hutan Bukan Kayu .................................................... 5.5. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam .............. VI. ANALISIS URUSAN DAN PELETAKAN KEWENANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 6.1. Urusan yang diatur dalam Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan; Peraturan Pemerintah No.3/2008 perubahan dari Peraturan Pemerintah No.6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dan Peraturan Pemerintah No.76/2008 tentag rehabilitasi dan reklamasi hutan ........................................ 6.1.1. Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro, meso dan mikro ............................................................................ 6.2. Urusan yang diatur dalam Undang-Undang No.7/2004 tentang sumber daya air dan Peraturan Pemerintah No.42/2008 tentang pengelolaan sumber daya air......................... 6.2.1. Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro, meso dan mikro ............................................................................ 6.3. Implikasi ketidaktepatan peletakan wewenang urusan .................... VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 7.1. Respon pemerintah daerah ............................................................... 7.1.1. Mempertahankan Kecukupan Hutan Minimal 30 Persendari Total Luas DAS/Sub DAS dengan Sebaran Proporsional (Pasal 18 ayat 1UU No.41/1999 Tentang Kehutanan ........................................................................... 7.1.2. Menyelenggarakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Mendorong Peran Serta Masyarakat dalam Bidang Kehutanan yang Berdaya Guna dan Berhasil Guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan Pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999 Tentang Kehutanan) .................................
54 54 56 56 57 58 59 60 62 62 62 63
65 75
79 89 93
95
96
98
xv
7.1.3. Perlindungan Hutan di Dalam dan Luar Kawasan (Pasal 48 ayat (1) dan (5) UU No.41/1999 Tentang kehutanan) ........................................................................... 7.1.4. Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air dan Mata Air ( Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air) ............................................................... 7.1.5. Membentuk Wadah Koordinasi atau Dengan Nama Lain (Pasal 86 UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air) ...................................................................................... 7.1.6. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) beserta Infrastrukturnya oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah Sesuai Kewenangannya ( Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2007 perubahan dari PP No.6/2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan) .................... 7.1.7. Kepatuhan pemerintah daerah terhadap amanat peraturan .............................................................................. 7.1.8. Relevansi respon terhadap permasalahan Sub DAS ............ 7.2. Respon Masyarakat ...................................................................... VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH ............................................. 8.1. Private property rights dalam domain publik ............................... IX.
100
102
103
104 105 108 110
113 116
ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH ..........................................................................
119
DESAIN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH ..........................................................................
123
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
127
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
131
LAMPIRAN ..................................................................................................
137
X.
XI.
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perubahan tingkat kekritisan DAS Kabupaten Sumbawa .......................
3
2.
Tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh.............................................
4
3.
Laju deforestasi di 7 pulau besar di Indonesia periode 2000-2005.........
4
4.
Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level .........
19
5.
Tipe hak kepemilikan beserta hak-hak dan kewajibanya........................
22
6.
Perbandingan antara daerah hulu dan hilir..............................................
30
7.
Tujuan, jenis dan sumber data penelitian ................................................
38
8.
Komposisi responden berdasarkan instansi, jabatan dan jumlah ............
39
9.
Strata hak berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostrom ........................
42
10. Analisis stakeholder pengelolaan Sub DAS Batulanteh .........................
44
11. Wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh ............................................
46
12. Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Batulanteh ..........................
48
13. Persentase penduduk menurut kelompok umur di wilayah Sub DAS Batulanteh ......................................................................................
49
14. Persentase penduduk usia >15 tahun yang melek huruf menurut kecamatan di wilayah Sub DAS Batulanteh ...........................................
50
15. Persentase rumah tangga menurut lapangan pekerjaan utama di wilayah Sub DAS Batulanteh .................................................................
50
16. Luas lahan berdasarkan tingkat kemiringan lereng.................................
52
17. Luas Sub DAS Batulanteh berdasarkan ketinggian tempat ....................
53
18. Keadaan iklim di wilayah Sub DAS Batulanteh .....................................
54
19. Neraca sumber daya air di enam SSWS/DAS di Kabupaten Sumbawa .................................................................................................
55
20. Jenis tata guna lahan Sub DAS Batulanteh .............................................
58
21. Produksi madu anggota jaringan madu hutan sumbawa tahun 2009 ........................................................................................................
61
22. Luas lahan kritis Kabupaten Sumbawa tahun 2009 ...............................
97
23. Bentuk pelanggaran dan denda yang dapat dikenakan kepada setiap pelaku tindak pidana kehutanan....................................................
98
24. Jumlah kasus tindak pidana kehutanan periode 2005-2010 berdasarkan jenis pelanggarannya ..........................................................
99
25. Jumlah kasus berdasarkan proses justisi perkara dan jumlah hukuman sepanjang periode 2005-2010 .................................................
100
xviii
26. Jumlah titik mata air yang direhabilitasi di Kab. Sumbawa periode 2007-2010 ...............................................................................................
101
27. Nama dan luas KPH berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Sumbawa ................................................................................................
103
28. Matrik indikator tingkat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan .............................
105
29. Matrik relevansi antara respon dengan permasalahan Sub DAS ............
107
30. Kelompok konservasi lahan Sub DAS Batulanteh .................................
109
31. Idenstifikasi jenis hak kepemilikan atas lahan di kawasan Sub DAS ........................................................................................................
112
32. Rasio antara personil pengamanan hutan dengan luas hutan ..................
113
33. Analisis stakeholder menurut sikap dan pengaruh dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh ...........................................................
117
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Laju deforestasi di 7 pulau besar di Indonesia periode 2000-2005.........
5
2.
Hubungan antara hak kepemilikan dan akses .......................................
23
3.
Kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik .................................................................................
28
4.
Sistem pengelolaan DAS secara umum ..................................................
31
5.
Hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS terpadu ...........................
32
6.
Alur kerangka pemikiran ......................................................................
36
7.
Matriks peletakan kewenangan urusan berdasarkan peraturan tertentu ...................................................................................................
40
Tingkat keterlibatan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh ..............................................................................
44
Peta sungai utama Sub DAS Batulanteh ...............................................
45
10. Peta wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh ...................................
47
11. Wilayah Desa Pelat (zona tengah Sub DAS Batulanteh) .......................
51
12. Peta tingkat kemiringan lahan Sub DAS Batulanteh ............................
52
13. Peta ketinggian tempat Sub DAS Batulanteh .......................................
53
14. Peta jenis tanah pada Sub DAS Batulanteh ..........................................
56
15. Peta tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh .....................................
57
16. Laju erosi pada Sub DAS Batulanteh ...................................................
57
17. Peta tata guna lahan pada kawasan Sub DAS batulanteh .....................
59
18. Peta fungsi kawasan Sub DAS Batulanteh ............................................
59
19. Peta kawasan taman wisata alam Semongkat ........................................
60
20. Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 52 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ........................................
76
21. Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 47 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ........................................
90
22. Tata guna lahan pada wilayah Sub DAS Batulanteh ............................
95
23. Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu ....................................
110
24. Ragam hak kepemilikan lahan pada kawasan Sub DAS Batulanteh .............................................................................................
112
25. Tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh .............................................................................
119
8. 9.
xx
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daftar amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU .............................................................
132
Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.41/1999; PP No.3/2008; dan PP No.76/2008 ..............................................................
133
Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.7/2004 dan PP No.42/2008 .............................................................................................
135
Nilai sikap, pengaruh dan tingkat keterlibatan stakeholder berdasarkan penilaian responden ............................................................
137
Tingkat pencapain target pelaksanaan program kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan tahun 2010 ..................................................
138
Tingkat pencapain target pelaksanaan program kerja Dinas Pekerjaan Umum tahun 2010 ..................................................................
139
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enam belas tahun silam, Sarageldin Wakil Presiden Bank Dunia, (1995) memprediksi bahwa perang dimasa depan tidak lagi dipicu oleh kelangkaan sumber daya minyak, melainkan oleh kelangkaan sumber daya air1. Ramalan tersebut, barangkali oleh sebagian orang dinilai berlebihan dan tidak mendasar. Namun kasus konflik pemanfaatan sumber daya air yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) seakan menegaskan kepada kita bahwa Indonesia sedang menapaki ramalan tersebut. AUSAID, LP3ES dan BAPPEDA NTB, (2002) melaporkan bahwa konflik pemanfaatan sumber daya air di NTB terjadi antara petani dengan pemilik kolam ikan, petani dengan PDAM dan antar pengguna irigasi. Meskipun kasus konflik tersebut, terbilang masih dalam skala kecil, namun konflik dalam skala besarpun sebagaimana ramalannya Sarageldin bisa saja terjadi bila mencermati trend kebutuhan air dunia saat ini yang terus meningkat. UNEP (2005) diacu dalam Santoso (2006), melaporkan bahwa peningkatan akan kebutuhan air mencapai dua sampai tiga persen per tahun, sementara ketersediaannya senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama ditinjau dari segi kualitas. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah ekosistem tempat dimana air itu mengalir dari hulu hingga hilir. Hal tersebut dipertegas dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, yang mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Selain definisi biofisik sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, Kartodihardjo et.al, (2004) memandang DAS dari aspek kajian kelembagaan, sebagai sumber daya alam yang berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau
1
www.esp.or.id/saling-silang/komunikasi-strategis
2
kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat. Kedua definisi di atas, menegaskan kepada kita bahwa keberadaan DAS cukup penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan nasional. “Penting dan strategis” itulah dua kata kunci yang kemudian mendorong pemerintah untuk tetap meningkatkan daya dukung DAS sebagaimana tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Dalam rangka memenuhi tuntutan apa yang diamanatkan oleh UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, maka sudah semestinya pengelolaan DAS kedepannya harus didasarkan pada prinsip “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan”. Manik dan Setiawan, (2010) memaknai prinsip tersebut sebagai model pengelolaan yang berbasis ekosistem dan atas asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian dan keadilan. Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 400 DAS yang pengelolaannya berada ditangan masing-masing pemerintah daerah. Dengan jumlah DAS yang relatif besar, Indonesia kini terlihat kewalahan dalam meminimalisir kerusakan DAS-nya. Menurut Sumampouw et.al (2009), beban pengelolaan DAS yang ditanggung oleh Indonesia memang terbilang cukup tinggi, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dimana satu DAS besar seperti DAS Mekong dikelola secara bersama-sama oleh enam negara, yakini : Laos, Myanmar, Kamboja, China dan Thailand. Beban yang besar tersebut selanjutnya berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan, sehingga tidak heran kalau banyak DAS yang kritis dan segera membutuhkan pengelolaan yang terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, (1999) melaporkan trend kerusakan DAS di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1994 dengan luasan mencapai 12.517.632 ha. Selanjutnya pada tahun 2000 telah mencapai 42 DAS yang kritis dengan luas
3
23.714.000 ha, kemudian naik menjadi 62 DAS pada tahun 2002 dan pada tahun 2005 diperkirakan telah meningkat lebih dari 4 kali lipat, yakni sekitar 282 DAS dari 470 DAS yang ada (Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2005). Kondisi kritis tersebut, ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyimpan air, selanjutnya berdampak pada berkurangnya debit air, terjadinya banjir, longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Departemen Kehutanan, 2009). Trend peningkatan kerusakan DAS, sejatinya tidak hanya terbatas pada DAS di atas yang notabene masuk kategori DAS regional. Namun, kondisi serupa juga dialami oleh DAS yang masuk kategori DAS lokal, diantaranya DAS Rhee, DAS Moyo Hulu dan DAS Ampang yang ada di Kabupaten Sumbawa. Ketiganya merupakan DAS lokal yang kini tengah menghadapi masalah penurunan fungsi. Tingkat kekritisan dari ketiga DAS tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur NTB No. 393 Tahun 2006 tentang Kondisi DAS Kabupaten Sumbawa. Berikut pada Tabel 1, disajikan perubahan tingkat kekritisan DAS di Kabupaten Sumbawa. Tabel 1.Perubahan tingkat kekritisan DAS Kabupaten Sumbawa No
DAS
Luas (Km2)
2 1 Rhee 1.335 2 Ampang 1.059 3 Bako 753.9 4 Beh 2.255 5 Moyo Hulu 956 6 Pulau Moyo 454,1 Sumber: SK Gubernur NTB Sumbawa, 2008
2005 2006 Total Tingkat Total Tingkat Nilai Kekritisan Nilai Kekritisan 2,90 Sedang 3,70 Kritis 3,30 Kritis 3,30 Kritis 1,50 Tidak kritis 1,50 Tidak kritis 2,10 Sedang 2,10 Sedang 3,30 Kritis 3,50 Kritis 1,90 Tidak kritis 1,90 Tidak kritis No. 393 Tahun 2006 diacu dalam DPRD Kabupaten
Gambaran kekritisan DAS di atas, selanjutnya diperkuat oleh temuan Bappeda Sumbawa et.al (2008), yang menyimpulkan bahwa kawasan Sub DAS Batulanteh yang notabene bagian dari DAS Rhee telah mengalami degradasi lingkungan ekologis yang cukup berat yang tercermin dari tingkat erosi lahan dan 2
Sub DAS Batulanteh masuk dalam wilayah DAS Rhee berdasarkan SK Gubernur No.122 Tahun 2005 tentang pembagian DAS.
4
tingkat bahaya erosi yang sudah dalam kategori sedang (lihat Tabel. 2). Degradasi lingkungan tersebut telah berdampak pada menurunnya kemampuan lingkungan dalam fungsinya sebagai kawasan konservasi. Tabel 2.Tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh Tingkat Bahaya Erosi
Luas (Ha)
Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat Jumlah
127,383 2149,708 9680,629 3036,868 1017.672 17172.26
Persentase (%) 7,50 12,52 56,37 17,68 5,93 100
Kekritisan Lahan Potensial kritis Semi kritis Semi kritis Kritis Sangat kritis
Sumber : Bappeda Sumbawa et.al, 2008 Massifnya tingkat kerusakan DAS baik yang terjadi pada DAS regional maupun DAS lokal, umumnya dipicu oleh laju kerusakan hutan yang relatif tinggi, sebagai turunan dari “perilaku menyimpang” masyarakat seperti : illegal logging dan perambahan hutan. Departemen Kehutanan, (2009) melaporkan sepanjang tahun 2000-2005, hutan Indonesia telah mengalami kerusakan seluas 5,4 juta Ha, dengan laju kerusakan rat-rata sebesar 1,09 juta Ha/tahun (lihat Tabel 3 dan Gambar 1). Sementara untuk kasus NTB, laju kerusakan hutannya sepanjang tahun 2002 mencapai ± 4 ribu Ha dengan perkiraan kerugiaan negara sekitar Rp. 4,9 miliar (Julmansyah, 2007) Tabel. 3 Laju deforestasi di tujuh pulau besar di Indonesia periode 2000-2005
Sumber : Departemen Kehutanan, 2009
Thousands Ha
5
600 500 400 300 200 100 -
2000-2001 2001-2000 2002-2003 2003-2004 2004-2005
Gambar 1. Laju deforestasi di tujuh pulau besar di Indonesia periode 2000-2005 (Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2009) Maraknya ‘perilaku menyimpang” masyarakat tersebut, diyakini oleh banyak pihak sebagai turunan dari sistem tata kelola yang buruk, penegakan aturan yang lemah, ketidakjelasan property rights, dan mahalnya biaya pengawasan. Sistem tata kelola yang demikian telah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa dalam sistem tata pemerintahan yang bersifat sentralistik, dimana setiap kebijakan mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi dilakukan secara top-down dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat lokal yang notabene sangat tergantung dengan sumber daya hutan. Ironisnya, meskipun telah terjadi pergeseran pendekatan pembangunan, dari tata-pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoritarian, serba seragam dan cenderung mengabaikan inisiatif lokal menjadi pendekatan yang memiliki semangat partisipatif-kolaboratif dan berbasis pada sumber kekuatan lokal seiring diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tetang pemerintahan daerah, akan tetapi belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dalam tata kelola sumber daya alam dan lingkungan termasuk DAS. Hal ini, diduga kuat sebagai akibat masih adanya tumpang tindih kebijakan, kewenangan dan peraturan perundangundangan yang ada pada setiap level pemerintahan mulai dari level makro (pusat), meso (provinsi) sampai pada mikro (kabupaten/kota), sehingga berdampak pada
6
tidak selaras dan sinkronya antara kebijakan pusat dan daerah. Persoalan lain juga sebagaimana diungkapkan oleh Departemen Kehutanan, (2008) terkait dengan kurangnya pemahaman pemerintah daerah tentang konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas administrasi, kurang keterpaduan antar sektor dan antar wilayah (hulu-tengah-hilir) dan sikap pemerintah daerah yang cenderung mementingkan peningkatan pendapatan asli daerah. Beragam upaya dalam rangka penyelamatan DAS, sebetulnya telah dilakukan oleh pemerintah sejak 1980-an diantaranya program penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA), program gerakan nasional rehabiltasi lahan (GNRL) dan program gerakan nasional penyelamatan air (GNPA). Keseriusan pemerintah dalam meminimalisir tingkat kekritisan DAS, juga tercermin dari lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya : Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan beberapa peraturan pemerintah dan peraturan setingkat menteri. Tidak hanya sebatas di tingkat pusat, pemerintah Kabupaten Sumbawa pun menunjukkan keseriusan dengan menyusun rancangan peraturan daerah (RAPERDA) tentang pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Peraturan perundang-undangan tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya pedoman penyelenggaraan pengelolaan DAS yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 Tahun 2001 dan No. 326 Tahun 2005 tentang kriteria penetapan prioritas DAS. Kemudian pemerintah juga menyusun pola umum, kriteria dan standar pengelolaan DAS terpadu berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. PP No. 38 Tahun 2007 tersebut menyebutkan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan menetapkan pola umum, kriteria, prosedur dan standar pengelolaan DAS, penyusunan rencana DAS terpadu dan penetapan urutan DAS prioritas. Sedangkan pemerintah propinsi berwenang menyelenggarakan pengelolaan DAS lintas
kabupaten/kota
dan
pemerintah
kabupaten/kota
menyelenggarakan
pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. (Departemen Kehutanan, 2009).
7
Upaya-upaya tersebut, oleh Kartodiharjo et.al (2004) dipandang hanya terbatas pada optimasi tiga faktor dari empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan DAS, yaitu : faktor sumber daya alam, sumber daya manusia, man-made capital. Sementara faktor pranata kelembagaan, baik formal maupun informal sedikit diabaikan, sehingga menurutnya wajar kinerja pengelolaan DAS sampai saat ini masih belum memuaskan. Berangkat dari pandangan tersebut, maka dalam pengelolaan DAS termasuk Sub DAS Batulanteh sebaiknya tidak hanya difokuskan pada optimasi natural capital, human capital dan man-made capital, namun penataan sekaligus penguatan sistem kelembagaan harus juga dilakukan, agar kedepan dalam pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Oleh karena itu, studi “kajian kelembagaan pengelolan DAS ditinjau dari perspektif ekonomi kelembagaan” menarik untuk dilakukan. 1.2 Perumusan Masalah Sub DAS Batulanteh dengan tiga sungai utamanya (Sungai Setongo, Sungai Sampa dan Sungai Batulanteh) memiliki peran yang strategis, karena di samping sebagai pemasok tunggal air bagi PDAM Sumbawa, juga berperan sebagai sumber air untuk 2 daerah irigasi yaitu 3reban aji dan reban pungka yang mengairi sekitar 600 ha lahan persawahan yang tersebar diempat kecematan yakni : Kecamatan Sumbawa, Unter Iwis, Labuhan Badas dan Kecamatan Rhee (DPRD Kabupaten Sumbawa, 2008). Kini Sub DAS tersebut tengah menghadapi permasalahan yang cukup serius, ditandai oleh adanya perubahan pada kondisi bio-fisiknya, akibat sebagian dari kawasan hutannya yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung telah kehilangan vegetasinya. Hal tersebut, umumnya dipicu oleh pemanfaatan yang terus menerus oleh penduduk baik untuk kayu bakar maupun untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran (Bappeda Sumbawa et.al, 2008). Bappeda Sumbawa et.al, (2008) lebih lanjut melaporkan bahwa sebagian besar lahan pada zona hulu yang mencakup hutan negara dan lahan milik masyarakat dengan slope >40% dan berada pada ketinggian >500 mdpl sudah dalam kondisi kritis dan vegetasinya tidak lagi menunjang aspek konservasi tanah 3
Nama lokal untuk daerah irigasi
8
dan air sehingga fungsinya sebagai kawasan lindung daerah bawahan dan resapan air tidak lagi optimal. Hal yang sama juga terjadi pada lahan di zona tengah dengan slope 25- 40 % dan berada pada ketinggian <500 mdpl. Lahan yang sebagain besar hak milik masyarakat telah diusahakan secara intesif untuk budidaya pertanian tadah hujan dengan tanaman palawija. Teknologi konservasi tradisional sebetulnya telah dilakukan seperti terasering, namun belum dilengkapi dengan saluran-saluran drainase dan penutup rumput pada tebing teras. Akibatnya dalam satu dekade terakhir kerap terjadi berbagai kasus seperti lonsor
pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, erosi, banjir yang melanda kota Sumbawa Besar dalam empat tahun terakhir dan debit air yang semakin berkurang yang dialami oleh petani sejak tahun 2007, khususnya bagi petani pengguna air untuk dua daerah irigasi (Aji dan Pungka). Penurunan debit air ini, ditandai dengan perubahan jumlah/pola tanam dari 3 kali (dua kali padi dan satu kali palawija) menjadi 2 kali (1 kali padi dan 1 kali palawija) dan bahkan pada musim tanam pertama (MT I) tahun 2009, diketahui ada 271,25 Ha lahan pertanian yang gagal tanam (JMHS, 2010). Tekanan yang kini dihadapi oleh Sub DAS Batulanteh, tidak terlepas dari tiga faktor (Bappeda, et.al, 2008) : pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dicirikan dengan tingkat pendidikan rendah dan ketergantungan akan lahan relatif tinggi akibat keterbatasan pilihan dalam mengakses sumber ekonomi lain. Kondisi inilah, yang memaksakan masyarakat untuk tetap memanfaatkan lahan meskipun kemampuan produktivitasnya rendah, berada pada ketinggian >500 mdpl dan tingkat kelerengang >40% dengan topografi yang bergelombang. Kedua, ketiadaan insturmen hukum yang berfungsi untuk melakukan pengaturan secara tegas atas penggunaan lahan kawasan dengan kemiringan tinggi dan instrument hukum yang berfungsi mengatur mekanisme insentif bagi lahan-lahan milik masyarakat, guna memanfaatkan lahannya dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang memiliki nilai-nilai konservasi. Terakhir, lemahnya intervensi pemerintah daerah yang tercermin dari absennya program-program pemberdayaan yang mengarah pada rehabilitasi lahan dan manajemen lahan baik pada lahan pertanian milik masyarakat maupun lahan milik negara yang ada dalam kawasan Sub DAS. Para stakeholder terutama Dinas Kehutanan dan
9
Perkebunan dan Dinas Perkerjaan Umum yang notabene sebagai aktor utama dengan segala kewenangan dan tanggung jawabnya masih terkesan bekerja sendiri-sendiri dan belum ada keterpaduan rencana dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya DAS. Meskipun di tingkat pusat diketahui telah dibentuk tim koordinasi kebijaksanaan pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelestarian DAS dengan Kepres No. 9 Tahun 1999 serta tim koordinasi pengelolaan sumber daya air melalui Kepres No. 123 Tahun 2001. Berdasarkan permasalahan di atas, diduga sistem kelembagaan yang lemah adalah salah satu faktor pemicu dibalik peningkatan kekritisan Sub DAS Batulanteh, selain persoalan-persoalan teknis lainnya. Penelitian ini, diharapkan mampu memberikan gambaran, apakah urusan-urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peletakan kewenangannya mampu menjawab persoalan terkait isu dinamika penggunaan lahan terutama pada kepemilikan masyarakat yang tersebar pada zona hulu dan tengah Sub DAS yang kini tengah kritis? Apakah respon pemerintah dan masyarakat terhadap sejumlah amanat peraturan perundang-undangan, efektif dalam menjawab persoalan lahan kritis pada zona hulu dan tengah dari Sub DAS? Kemudian apakah ragam kepemilikan mampu menjadi insentif bagi pengelolaan lahan di kawasan Sub DAS yang lestari? Apakah stakeholder sudah memainkan peran dan fungsinya secara optimal dalam meminimalisir kekritisan lahan kritis pada zona hulu dan tengah dari kawasan Sub DAS? Dari hasil analisis sebelum, pada bagian akhir studi ini, diharapkan bisa meredesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan DAS menyangkut jenis urusan dan peletakan kewenangan dari urusan-urusan tersebut pada organisasi di tingkat makro, meso dan mikro; 2. Menganalisis respon pemerintah dan masyarakat terhadap amanat peraturan perundang-undangan tersebut; 3. Memetakan ragam hak kepemilikan sumber daya lahan dalam kawasan Sub DAS Batulanteh;
10
4. Menganalisis stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh; dan 5. Meredesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya kelembagaan yang kuat dan temuannya sekaligus akan menjadi entry point dalam penyusunan strategi guna penguatan dan penataan kelembagaan pengelolaan DAS khusunya Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa yang lebih baik, sehingga ke depan diharapkan keberadaan Sub DAS Batulanteh dapat memberikan manfaat secara optimal, berkeadilan dan berkelanjutan. 1.4 Definisi Operasional 1. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: undang-undang dan peraturan pemerintah. 2. Stakeholder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat hulu, tengah, masyarakat hilir, dan pemerintah daerah 3. Masyarakat hulu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang terdaftar sebagai penduduk Desa Batudulang 4. Masyarakat tengah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tergabung dalam kelompok konservasi lahan di zona tengah Sub DAS Batulanteh 5. Masyarakat hilir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga pengguna jaringan irigasi Aji dan Pungka yang tergabung dalam 5 kelompok P3A serta PDAM Sumbawa 6. Pemerintah daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para pimpinan SKPD beserta jajarannya, yang bertugas di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa, BAPPEDA Kabupaten Sumbawa, Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa dan DPRD Kabupaten Sumbawa.
11
1.5 Batasan Operasional Peraturan perundang-undangan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi : a. Undang-undang • Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan • Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air b. Peraturan pemerintah • Peraturan Pemerintah No.3/2008 perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan • Peraturan Pemerintah No.76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan • Peraturan Pemerintah No. 42/2008 tentang pengelolaan sumber daya air 2. Analisis respon pemerintah dan masyarakat terhadap peraturan perundangundangan dibatasi pada respon pemerintah daerah selaku eksekutor peraturan di daerah dan masyarakat hulu selaku penerima dampak dari pelaksanaan peraturan tersebut. Pembatasan tersebut atas pertimbangan, Sub DAS yang menjadi objek kajian adalah masuk dalam kategori DAS lokal, dimana tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya berada ditangan pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa. 3. Pengukuran tingkat respon masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini, dibatasi dengan melihat keterlibatan masyarakat dalam sejumlah program pemerintah dan serangkaian upaya atau inisiatif yang pernah dilakukan masyarakat dalam rangka pelestarian Sub DAS.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kelembagaan Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai saat ini masih belum terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari kelembagaan (Yustika, 2008). North (1990), seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Senada dengan North, Schmid (1972) mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang. Sebelum ketiga ilmuwan di atas, Hamilton (1932) mengartikan kelembagaan sebagai cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu. Sementara Commons (1931), lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan (property rights) dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan ekonomi, transaksi ekonomi dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan dilihat sebagai pencapain dari proses formal dan informal dari resolusi konflik. Menurut Knight (1992), kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interaksi dalam sebuah komunitas. Sedangkan Ostrom (1990), mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagaan adalah aturan main yang
14
berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial (Hidayat, 2007). North (1990), membagi kelembagaan menjadi dua berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) yaitu: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundangundangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang berlaku baik pada level internasional, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal. Terkadang kelembagaan formal merupakan hasil evolusi dari kelembagaan informal. Perubahan tersebut merupakan reaksi atas perubahan kehidupan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Bisa juga dikatakan sebagai tuntutan atas terjadinya perubahan zaman dan dinamika kehidupan. Masyarakat tradisional dengan kehidupannya yang serba sederhana dengan potensi konflik yang sangat minim tentu tidak membutuhkan peraturan tertulis yang rinci. Lain halnya dengan masyarakat modern dengan segala kompleksitas kehidupannya. Selain North (1990), Kasper dan Streit (1998) juga membagi kelembagaan berdasarkan atas proses kemunculannya menjadi dua, yaitu : internal dan external institution. Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari budaya masyarakat seperti nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat. Institusi eksternal adalah institusi yang dibuat oleh pihak luar/ketiga yang kemudian diberlakukan pada suatu komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah termasuk external institution. Apapun bentuknya, baik formal maupun informal, eksternal ataupun internal kelembagaan bertujuan mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi (North, 1990), atau untuk meningkatkan derajat kepastian
15
dalam interaksi antar individu (Kasper dan Sterit, 1998). Sedangkan menurut Ostrom (1990), tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis. Selain itu, Libecap (1989), menerangkan kelembagaan juga harus dapat membatasi prilaku manusia yang cenderung berfikir strategik, rasional dan mengutamakan kepentingan diri sendiri serta harus mampu mendistribusikan sumber daya ekonomi secara adil dan merata. 2.2 Teori Perubahan Kelembagaan Institusi bersifat dinamis. Keberadaannya dalam sebuah komunitas selalu berubah, beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas tersebut (Hidayat, 2007). Sejalan dengan Hidayat (2007), Yustika (2008) juga menyatakan bahwa kelembagaan tidak bersifat statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Di luar itu, sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan Begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu pertama, perubahan kepentingan antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dengan pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi atau mengatur kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrument untuk mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju pada meningkatnya perbedaan prinsipprinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan (Manig, 1991). Lebih lanjut Manig (1991), menyatakan bahwa tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang
16
kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi permanen merupakan bagian penting dari perubahan kelembagaan. Wiliamson (2000), menganalisis perubahan institusi terjadi dalam empat tingkatan, berdasarkan atas cepat atau lambatnya perubahan tersebut, yaitu pada: 1. Level sosial (masyarakat) Perubahan kelembagaan pada level masyarakat adalah perubahan yang terjadi pada kelembagaan yang keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat (social embeddedness) seperti : norma, kebiasaan, tradisi, hukum adat, dan lain-lain. Pada level ini, perubahan kelembagaan dapat berlangsung dalam waktu yang sangat lama, antara 100 sampai 1000 tahun. 2. Level kelembagaan formal (formal institutional environment). Perubahan kelembagaan yang terjadi pada lingkungan kelembagaan formal. Yang dimaksud kelembagaan formal adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah. Namun demikian, hal ini bukan merupakan kriteria mutlak, karena menurut Ruddle (1993), banyak kasus kelembagaan formal yang merupakan hasil evoluasi dari kelembagaan informal sebagaimana undang-undang perikanan di Jepang yang berasal dari hukum adat atau tradisi yang hidup dan menyatu dalam masyarakat selama ratusan tahun. Perubahan kelembagaan pada level ini dapat berlangsung dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun 3. Level tata kelola (governance) Perubahan kelembagaan yang terjadi pada level governance (tata kelola), yaitu, serangkaian peraturan (rule of the game) dalam sebuah komunitas yang membentuk struktur tata kelola (governance structure), lengkap dengan tata cara penegakan, pemberian sanksi, dan perubahan dari rule of the game tersebut. Wiliamson (2000), menganggap hal ini merupakan isu sentral ekonomi kelembagaan yang ia asumsikan bahwa penegakan governance tidak bebas biaya (costless). Demikian juga, lahirnya sebuah struktur tata kelola yang
17
baik yang menjamin kepastian interaksi dan transaksi antar aktor/pihak-pihak terkait (yaitu adanya resolusi konflik, kepastian sistem kontrak, dan lain-lain) membutuhkan biaya. Governance akan selalu berubah menuju governance yang lebih efisien, yaitu governance yang dapat meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan pada level governane berlangsung relatif cepat, yaitu antara 1sampai 10 tahun. 4. Perubahan bersifat kontinyu. Bila perubahan kelembagaan pada level ketiga masih berlangsung secara discontinue, perubahan kelembagaan pada level keempat berlangsung kontinyu (sepanjang waktu) mengikuti perubahan insentif ekonomi, harga alokasi sumber daya dan tenaga kerja. Dengan kata lain, kelembagaan berubah mengikuti perubahan harga input produksi. Perubahan input produski menyebabkan perubahan kelembagaan. Secara teoritis, hal ini dapat dipahami tapi bagaimana mengukur dampak perubahan tersebut terhadap realitas kehidupan ekonomi masih sulit dilakukan. Analisis perubahan kelembagaan model Williamson ini agak sulit dipahami, karena perbedaan pada setiap level bersifat tidak jelas, kecuali pada level satu dan dua. Oleh karena itu, kerangka analisis tersebut kurang begitu operasional dibandingkan dengan yang dikembang oleh Ostrom (1990), dimana kerangka analisis perubahan kelembagaan dibagi dalam tiga level, yaitu : 1.
Operasional rule yang berada pada operasional choice level. Aturan main yang berlaku dalam keseharian. Aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi, misalnya terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam. Operasional rule merupakan instrument pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumber daya alam. Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan, semuanya diatur dalam operasional rule. Operasional rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumber daya, budaya, keadaan ekonomi dan lain-lain.
18
2.
Collective choice rule yang berada pada level collective choice. Menyangkut aturan mengenai bagaimana operasional rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada opersional rule
3.
Constitutional rule yang berada pada level constitutional choice. Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama. Sebagai contoh, Perda mengenai pengelolaan sumber daya air disebuah kabupaten merupakan operasional rule. Perda ini dibuat oleh DPRD yang memiliki aturan main bagaimana Perda tersebut dibuat. Aturan main ini disebut collective choice rule. Selain itu ada juga aturan main yang mengatur tentang anggota DPRD, mengapa seseorang terpilih menjadi anggota DPRD, sampai kapan mereka berhak menjadi anggota DPRD dan lain-lain. Aturan main ini bisa merupakan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari sebuah Perda. Menurut kerangka analisis Ostrom, undang-undang yang mengatur tentang anggota DPRD tersebut berada pada level constitutional choice dan disebut constitutional rule. Terlepas dari model perubahan kelembagaan yang dikemukan oleh
Williamson dan Ostrom, North (1995) menyatakan bahwa karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan terdiri dari : 1.
Interaksi kelembagaan dan organisasi terjadi secara terus menerus dalam setting ekonomi kelangkaan dan kemudian diperkuat oleh kompetisi merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan;
2.
Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan
19
persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan; 3.
Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum;
4.
Persepsi berasal dari konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku; dan
5.
Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkatkan dan memiliki jalur ketergantungan. Yeager (1999), menyatakan bahwa dalam konteks perubahan kelembagaan
diperlukan alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada Negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Sementara Diehl (1998), menerangkan bahwa dalam upaya mencapai fokus perubahan kelembagaan perlu dibuat target, variabel kunci, tindakan pada berbagai level dan jenis kelembagaan yang dibutuhkan sehingga sekaligus variabel-variabel tersebut dapat digunakan sebagai parameter. Khusus mengenai perubahan kelembagaan formal, tampak bahwa pada level makro harus terdapat peraturan yang tegas berkenaan dengan fungsi dan kewenangan bank sentral serta pemberdayaan anggaran Negara untuk mendukung kegiatan perekonomian. Sedangkan pada level mikro, perubahan kelembagaan formal yang dibutuhkan adalah hukum mengenai hak kepemilikan sehingga terdapat kepastian berusaha serta pedoman ke luar dan masuk bagi individu-individu yang bertransaksi di pasar. Tentu saja target dari perubahan kelembagaan mikro ini adalah mencoba menurunkan
biaya
transaksi. Tidak
berhenti
sampai
disini,
perubahan
kelembagaan informal juga harus dikreasikan sehingga baik secara makro maupun mikro turut menyokong tujuan perubahan kelembagaan formal, seperti yang terlihat masalah reputasi, consensus social, perilaku individu dan sikap terhadap resiko menjadi perhatian penting dari perubahan kelembagaan informal. Secara lengkap target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Tabel 4.Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level Aspek/Level Target variabel kunci tindakan Kelembagaan formal
Kelembagaan informal
Makro Stabilitas uang, nilai tukar manajemen negara Bank sentral, kewenangan anggaran negara
Mikro Efisiensi Harga Pilihan individu
Meso Inovasi Pengetahuan Interaksi Infrastruktur, sistem pendidikan, asosiasi perdagangan sikap terhadap resiko, faktor mobilitas, perilaku menabung
reputasi, consensus sosial terhadap cara pandangan perilaku
Sumber : Diehl, 1998. 2.3 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliaran Sungai (DAS) Sinukaban (2007), menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan dalam
pengelolaan
DAS
dibutuhkan
penguatan
kelembagaan,
karena
kelembagaan yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Yudono dan Iwanudin (2008), menerangkan ada tiga bentuk kelembagaan DAS yaitu : 1. Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak. Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu masingmasing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara. Salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Sedangkan kelemahan dari sistem polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hirarki, maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan pusat dan permasalahan yang terlalu kompleks; 2. Monocentric; dalam kelembagaan ini, otoritas terpusat di satu titik. Hubungan antar anggota tidak setara, tetapi dibawah komando dari pusat. Kelebihan
21
sistem ini adalah bersifat sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river, one plan and multi management, dan ada arahan yang jelas dari pusat. Sedangkan kelemahan kelembagaan monocentric, antara lain : pengelolaan DAS hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari mereka; dan 3. Gabungan polycentric dan monocentric; kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga polycentric dengan monocentric. Artinya, masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan dan pedoman monitoring dan evaluasi. Kelembagaan atau institusi oleh Kartodihardjo, et.al (2004), dipandang sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dan dapat menjadi aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktivitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumber daya alam di sekitarnya. Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) terhadap sumber daya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya, dan aturanaturan perwakilan (rules of representation) dalam pemanfaatan sumber daya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya (Sinukaban, 2007). Menurut Kartodihardjo, et.al, (2004) kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand. Ketergantungan terhadap sumber daya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di
22
Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada. 2.4 Hak Kepemilikan Sumber Daya Fauzi (2006), menyatakan bahwa ketidakjelasan hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya alam terutama yang bersifat open acses seringkali menimbulkan dampak negatif berupa ketidak seimbangan antara manfaat yang diperoleh dari sumber daya dengan biaya sosial yang harus ditanggung dan masalah eksternalitas. Fauzi (2006), lebih lanjut menerangkan bahwa sumber daya alam sering dikategorikan “free of gift” dimana hak kepemilikan sering menjadi problematik. Dengan demikian diperlukan adanya kejelasan konsep dari hak kepemilikan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Fauzi (2006), mendefinisikan hak kepemilikan sebagai klaim yang sah terhadap sumber daya atau pun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Meskipun hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain4 dan ketidaklengkapan (incompletenss)5. Dari definisi tersebut, Tietenberg (1992), mengidentifikasi ada tiga karakteristik dari hak kepemilikan yaitu: 1. Ekslusifitas yaitu seluruh manfaat dan biaya dari pemanfaatan sumber daya, secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut; 2. Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindah-tangankan ke pihak lain secara suka rela melalui jual beli, sewa, hibah dan lain-lain; dan 3. Enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakan, dihormati dan dijamin dari praktik perampasan/penjarahan pihak lain. Bromley (1989), menjelaskan bahwa harus dibedakan antara sumber daya dan rezim kepemilikan terhadap sumber daya tersebut. Karena satu sumber daya 4
Fauzi (2006), mencontohkan bahwa seseorang bisa tidak berhak melakukan penambangan mineral dipekarangan rumahnya sendiri, namun pihak lain dapat melakukannya. 5 Fauzi (2006), menyatakan bahwa ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforment, misalnya hutan ditebang secara illegal, maka hak Negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya biaya pengawasan hutan dan penegakan hukum atas tindakan illegal tersebut.
23
bisa saja mempunyai berbagai hak kepemilikan. Umumnya, ada empat tipe hak kepemilikan terhadap sumber daya, yaitu terdiri dari (Hanna, 1995): 1. Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi); 2. Common property atau communal property, dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumber daya yang dikelola bersama; 3. State property, dimana klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah; dan 4. Open acces, dimana tidak memiliki klaim yang sah atas sumber daya. Karakeristik
dari
masing-masing
tipe
hak
kepemilikan
tersebut
berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemiliki serta kewajiban pemilik disajikan pada Tabel. 5 Tabel 5.Tipe hak kepemilikan beserta hak-hak dan kewajibannya Tipe
Pemilik
Pemilik/pemegang Akses Hak Kewajiban Akses, pemanfaatan, Mencegah kontrol pemanfaatan yang merugikan sosial
Kepemilikan Pribadi
Individu
Kepemilikan Bersama
Kolektif
Kepemilikan Negara
Negara/warga Akses, pemanfaatan, Menjaga negara kontrol tujuan/manfaat (menentukan aturan) sosial
Akses Terbuka Tidak ada (tanpa kepemlikan)
Akses, pemanfaatan, Merawat, mengatur kontrol (pengecualian tingkat kepada non pemilik) pemanfaatan
Pemanfaatan
Tidak ada
Sumber : Hanna, 1995. Dari penjelasan tentang tipe hak kepemilikan diatas, Fauzi (2006) mencoba menggambarkan keterkaitan antara hak kepemilikan dan akses sebagaimana disajikan dalam Gambar 2. Dengan mengambil contoh dua tipe akses yang berbeda, yakni akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access), Fauzi (2006) menyatakan kemungkinan ada empat kombinasi antara hak pemilikan dan akses, yaitu :
24
1. Hak kepemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumber daya yang lestari; 2. Sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Kondisi ini, maka karateristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; 3. Kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses terbuka. Kombinasi inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) akan melahirkan “the tragedy of the common”6; dan 4. Sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka (garis terputus pada Gambar. 2)7. Kombinasi menyebabkan sumber daya tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.
Komunal
Hak kepemilikan
Terbuka (Open access)
Negara
Individu (privat)
Akses
Terbatas (limited))acces s)
Gambar 2. Hubungan antara hak kepemilikan dan akses (Sumber : Fauzi, 2006) Saad (2003), memberikan contoh pengalihan status hak atas sumber daya alam, dan mengenai mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan oleh negara tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu, seperti yang terjadi di Benggala Barat (India) dalam bentuk growing associations. Dengan cara melalui sistem pengalihan ini, sekelompok petani tak bertanah atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada dibawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih kepadanya. Rezim hak 6
Fauzi (2006), menyatakan bahwa tragedi terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna. 7 Fauzi (2006), menyatakan bahwa kombinasi ini jarang terjadi.
25
penguasaan atas sumber daya alam (lahan) tetap ditangan negara. Sedangkan petani hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut. Selanjutnya mengenai rezim milik pribadi, secara umum sudah diakui bahwa hak milik swasta merupakan rezim yang paling jelas di atas rezim-rezim lainnya. Tietenberg (1992), berpandangan bahwa hak milik swasta memiliki karateristik yang sangat memadai untuk mengelola sumber daya alam yang optimal secara ekonomis dan ekologis. Namun, menurut Bromley (1988) terdapat dua fenomena yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak kasus perampasan sumber daya alam (lahan) terjadi di berbagai belahan dunia, bukan sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan di tangan individu-individu dari keluarga yang kuat. Misalnya, yang terjadi di sebagian besar negara-negara bagian ketiga seperti Amerika Latin. Kedua, hak kepemilikan pribadi seringkali mengarah pada apa yang disebut highest and best use of land, dimana sebagian besar tanah subur menjadi padang pengembalaan, sementara tanaman pangan berada di tanah kering. Lahan subur telah diswastakan, sedangkan lahan yang tidak subur dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley (1990), yang termasuk kategori public domain adalah state property, common property dan open access. 2.5 Definisi Stakeholder Ramirez (1999) menerangkan bahwa kata stakeholder pertama kali digunakan pada tahun 1708 dengan makna “seseorang yang memegang kartu dalam sebuah pertaruhan”; definisi tersebut sekarang ini berubah makna menjadi “orang
yang
berkepentingan/peduli
terhadap
sesuatu.
Freeman
(1984)
mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Senada dengan Freeman (1984), Grimble dan Chan (1995) mendefinisikan stakeholder adalah semua yang mempengaruhi, dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari suatu sistem. Sedangkan Meyers (2001) mendefinisikan stakeholder sebagai sekelompok orang yang mempunyai hak dan kewajiban dalam suatu sistem. Istilah stakeholder katanya juga dapat diartikan sebagai ‘orang-orang yang mempunyai ‘stake’, klaim atau pamrih – yaitu mereka
26
yang memberikan sesuatu yang penting bagi organisasi, tetapi mengharapkan imbalan”. Selanjutnya Meyers (2001) mencontohkan dalam kebijakan kehutanan, dimana stakeholder bisa meliputi masyarakat yang tinggal di hutan atau dekat hutan, orang yang tinggal jauh dari hutan namun memanfaatkan hutan tersebut, pemerintah, perusahan yang bergerak di sektor kehutanan, akademis, LSM, pecinta lingkungan dan lain-lain. Disamping dua definis di atas, Rolling dan Wagemakers (1998) mendefinisikan stakeholder dalam konteks manajemen sumber daya alam sebagai pengguna dan pengelola sumber daya alam. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif aktor terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez, 1999). Dalam analisis stakeholder untuk suatu kebijakan, Meyers (2001) mengkategorikan stakeholder sebagai berikut : 1.
Stakeholder langsung primer adalah pihak penerima langsung keuntungan sebagai dampak dari sebuah kebijakan;
2.
Stakeholder sekunder adalah bukan pihak penerima keuntungan, tetapi pihak yang hanya terpengaruh oleh suatu kebijakan; dan
3.
Stakeholder sekunder adalah pihak selain kedua kelompok di atas tetapi terlibat dalam proses. Berdasarkan kekuatan, posisi penting dan pengaruh aktor terhadap suatu
isu, stakeholder dapat dikategorikan kedalam beberapa kelompok. ODA (1995), mengelompokkan stakeholder ke dalam stakeholder utama, pendukung dan stakeholder kunci. 1.
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tokoh masyarakat;
2.
Stakeholder pendukung adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program dan proyek, tetapi memiliki kepedulian dan keprihatinan sehingga turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah, misalnya lembaga pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki
27
tanggung jawab langsung; lembaga pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat, perguruan tinggi, dan pengusaha (badan usaha) yang terkait; dan 3.
Stakeholder kunci merupakan yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi Kelompok-kelompok stakeholder sering digolongkan menurut aspek sosial
ekonomi seperti tingkatan pendidikan, kelompok pekerja dan status ketenaga kerjaan atau menurut tingkat keterlibatan formal di dalam proses pengambilan keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal. 2.6 Analisis Stakeholder Grimble dan Chan (1995) mendefinisikan analisis stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi stakeholder kunci di dalam sistem dan menilai kepentingan masing-masing
di
dalam
sistem
tersebut.
Sedangkan
Ramirez
(1999)
menerangkan bahwa analisis stakeholder mengacu pada seperangkat alat untuk mengidentifikasi dan mendiskripsikan stakeholder atas dasar atributnya, hubungan timbal baliknya dan kepentingannya dalam kaitannya dengan isu atau sumber daya yang ada. Ramirez (1999) lebih lanjut menerangkan bahwa analisis stakeholder mencakup hal-hal antara lain: kekuatan dan kepentingan relatif masing-masing stakeholder; kepentingan dan pengaruh yang dimiliki masingmasing stakeholder; atribut yang melekat atau dikenakan oleh setiap stakeholder; dan jaringan dan kondisi tempat stakeholder berada. Beberapa alasan yang mendorong perlunya dilaksanakan analisis stakeholder (Engel, 1997), yaitu : a. Untuk menemukan pola interaksi yang ada secara empiris; b. Untuk meningkatkan intervensi secara analitis; c. Sebagai alat manajemen dalam pembuatan kebijakan; dan d. Sebagai alat untuk memprediksi adanya konflik. Selanjutnya menurut Grimble et.al (1995) ada enam tahapan dalam melakukan analisis stakeholder yaitu : pertama, tentukan tujuan utama analisis;
28
kedua, kembangkan pemahaman sistem dan pembuat keputusan dalam sistem; ketiga, temukan stakeholder utama; keempat, pelajari kepentingan karakteristik dan lingkungan stakeholder; kelima, temukan pola dan konteks interaksi antar stakeholder; dan keeman, definisikan pilihan untuk manajemen. Di samping tahapan di atas, dalam kerangka analisis stakeholder dan manajemen konflik, Ramirez (1999) menggambarkan kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Dalam kerangka kerja konseptual tersebut, diterangkan ada 9 proposisi dan dibagikan dalam dua kelompok proposisi yaitu : pertama, kelompok proposisi 1 sampai 5. Kelompok propisis pertama ini relevan dengan situasi dimana tidak ada krisis, hal ini lebih ditekankan pada usaha satu pihak untuk mencoba memahami dinamika isu manajemen sumber daya alam; dan kedua, kelompok propisisi 6 sampai 9, dimana lebih sfesifik untuk prilaku pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang dihadapkan pada konflik sosial. 2.7 Tata Kelola Kawasan DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. Selanjutnya Sub DAS disebut sebagai bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama (Departemen Kehutanan, 2009). Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling terkait. Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumber daya alam, maka sumber daya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir.
29
Mulai dari sini ketika proaktif, dalam situasi non konflik
Proposisi 9 : Sistem resolusi perselisihan melibatkan penggunaan mediator dan menuntut agar pihak yang bersengketa menyingkirkan “posisi” dan menegosiasikan “interest”
Proposisi 1 : Analisis stakeholder harus mencakup 3 dimensi yang saling berkaitan : sifat permasalahan, batas-batasnya dan mereka yang “mempunyai permasalahan tersebut (own the problem)”
Proposisi 8 : Proses kerjasama melalui tiga fase utama : penetapan masalah, penetapan arah, dan pelaksanaan
Proposisi 2 : Kecenderungan stakeholder untuk diperhatikan dan dilibatkan adalah merupakan fungsi beberapa atribut termasuk diantaranya power, urgensi dan legitimasi
Proposisi 7 : Stakeholder akan melakukan negosiasi bila menganggapnya sebagai alternatif terbaik bagi apa yang bisa mereka dapat “tanpa perundingan
Proposisi 6 : Stakeholder akan membuat pilihan di antara 3 kelas prosedur yang berbeda-beda untuk menangani konflik sosial : pengambilan keputusan bersama, pengambilan keputusan pihak ketiga, dan tindakan terpisah
Mulai dari sini ketika dalam sebuah reaksi, situasi konflik
Proposisi 3 : Group atau organisasi manapun yang mencoba untuk memprakarsai stakeholder lain pertama-tama harus menganalisis peran dan tujuan serta hubungannya sendiri dengan stakeholder yang akan diundang Proposisi 4 : Atribut stakeholder merupakan fungsi jaringan sosial mereka dan multiperan yang mereka mainkan
Proposisi 5 : Stakeholder dapat saja diidentifikasi, tetapi hanya yang mempunyai pengetahuan dan kapasitas saja yang berpartisipasi sebagai aktor sosial
Gambar 3. Kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik (Sumber : Ramirez, 1999)
30
Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti tegalan dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat (lihat Tabel 6). Oleh karena itu, ada keterkaitan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun, tidak selalu daerah hulu menerima dampak dari kegiatan atau aktivitas ekonomi di hilir. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya di dalam DAS secara terpadu untuk dapat mengakomodir semua kepentingan (Cahyono dan Purwanto, 2006). Berdasarkan topografi, dimana DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir dan memiliki keterkaitan yang erat, maka Gill (1979), memandang DAS sebagai
suatu
sistem.
Oleh
karena
itu,
menurut
Gill
(1979)
dalam
pembangunannya, harus diperlakukan sebagai suatu sistem, sehingga sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik yaitu: 1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari; 2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh stakeholder di dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan bersifat lentur, sehingga walaupun ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang terkena bencana; dan 3. Dapat menjamin kelestarian sumber daya air. Salah satu faktor penting yang harus diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi
31
DAS sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu, fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumber daya air yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS. Tabel 6. Perbandingan antara daerah hulu dan hilir Hulu
Hilir Faktor-faktor biofisik
Berlereng miring Rentan terhadap erosi Relatif sedikit sedimentasi Beragam Masih cukup banyak sisa hutan Lapisan olahnya dangkal, kritis Umumnya lahan kering Sistem usahatani beragam Pertanian ekstensif
Datar Tidak rentan terhadap erosi Relatif banyak sedimentasi Seragam Sedikit hutan yang tertinggal Lapisan olahnya tebal dan subur Umumnya lahan teririgasi Sistem usahatani sejenis, padi Pertanian intensif
Fakto-faktor Sosial Ekonomi
keragaman etnis/suku besar Kelompok etnis minoritas Terpencil Infrastruktur yang buruk Pendidikan lebih rendah Pekerja keluarga Kemampuan ekonomi rendah, miskin Kredit sukar diberikan Berorientasi subsisten Bukan pusat aktivitas Hak kepemilikan tanah rumit Banyak tanah milik negara
Teknologi yang sederhana Pilihan teknologi Proses difasilitasi Relevan dengan tata guna lahan Pelayanan penyuluhan kurang baik
Keragaman etnis/suku yang kecil Budaya mayoritas Mudah dicapai Infrastruktur yang baik Pendidikan lebih tinggi Pekerja buruh Kemampuan ekonomi lebih baik Kredit lebih mudah diberikan Berorientasi pasar Pusat aktivitas, pengambilan keputusan Hak kepemilikan tanah jelas Kepemilikan tanah perseorangan
Pendekatan Penyuluhan
Teknologi yang kompleks Paket teknologi Paket diberikan Fokus pada sistem pertanian Pelayanan penyuluhan baik
Teknologi yang menentukan Konservasi tanah dan air Konservasi unsur hara Pola tanam intercropping tanaman tahunan
Penyediaan air/irigasi Jenis tanaman unggulan dengan Pengendalian hama pemupukan berimbang
penyakit,
Sumber: Anonnymous, 1997 Senada dengan pandangan Gill (1979), Nugroho et.al (2008) memandang pengelolaan
DAS
sebagai
sebuah
sistem
perencanaan
produksi
yang
menggunakan pengelolaan input dengan input alam untuk menghasilkan output
32
berupa barang dan jasa, dengan konsekuensi efek pada sistem alam di on-site dan off-site (lihat Gambar. 4). Nugroho et.al (2008) selanjutnya mengatakan bila dilihat dari sisi ekonomi, sistem pengelolaan DAS adalah suatu cara proses produksi dengan mengeluarkan biaya untuk input dan pengelolaan serta mendapat manfaat ekonomi dari output yang dihasilkan.
Gambar 4. Sistem pengelolaan DAS secara umum (Sumber : Nugroho et.al, 2008)
Berbeda dengan Gill (1979) dan Nugroho et.al (2008), Sinakuban (2007) memandang pengembangan/pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara sumber daya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka setiap kegiatan dalam DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila pembangunan itu dapat mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara simultan yaitu pendapatan yang cukup tinggi, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan degradasi lingkungan dan teknologi tersebut dapat diterima
33
(acceptable) dan dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumber daya lokal yang dimiliki. Sementara Tejowulan dan Suwardji, (2008), lebih menitik beratkan pengelolaan DAS pada bagian hulu. Mereka menyatakan bahwa perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Sementara pengelolaan DAS hilir menurut mereka, menentukan seberapa besar keuntungan yang secara potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 5. Dari bagian ini tampak, bahwa pengelolaan DAS hulu bertujuan rangkap: pertama, meningkatkan harkatnya sebagai lahan usaha dan atau lahan permukiman; dan kedua, memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki keadaan DAS hilir. Selanjutnya pengelolaan DAS hilir berperan melipatkan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi, maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai conditioning environtment. Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi commanded environment. Dengan demikian, pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu sistem.
DAS hulu semula
DAS Hulu terbenahi Harkat meningkat
Pengelolaan Dampak menguntungkan DAS hilir semula
DAS hilir terbenahi
Harkat meningkat Harkat berlipat
Gambar 5. Hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS terpadu (Sumber : Tejowulan dan Suwardji, 2008)
34
Selain konsep hulu-hilir dalam pengelolaan DAS terpadu yang digambarkan oleh Tejowulan dan Suwardji, (2008), di sisi lain Easter et.al (1986) memandang pengelolaan DAS terpadu adalah proses formulasi dan implementasi suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumber daya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan faktorfaktor institusi yang ada di DAS tersebut dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS ditujukan pada kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Disamping konsep pengelolaan DAS terpadu oleh Tejowulan dan Suwardji, (2008) dan Easter et.al (1986), Dharmawan et.al (2004) juga menyatakan bahwa dalam pengelelolaan DAS ada tiga model dalam CoManajemen pengelelolaan DAS yaitu : 1. Model nested Ostrom Dalam model ini semua ketegori sumber daya alam termasuk yang bersifat common dimasukkan ke dalam sistem kepemilikan. Ini berarti sumber daya alam yang sebelumnya menjadi hak ulayat masyarakat, akan terkooptasi pada regime kepemilikan jenis ini. Akibatnya, hak ulayat lenyap dan hal ini bisa menjadi penyebab semakin terancamnya tingkat pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan; 2. Model Vertical Harvard Ponsacs/watershead Center Program Dalam model ini hak kepemilikan atas sumber daya alam dibagi mengikuti hirarki administrasi pemerintahan sedemikian rupa sehingga bisa saja terjadi bahwa sumber daya alam yang bersifat common pool, yang secara ekologik perlu di bawah satu ketatalaksanaan terbagi-bagi kedalam berbagai yuridiksi. Dan ini lebih lanjut akan mengakibatkan tidak singkronnya pola tata laksana atasnya. Ini juga bukanlah tawaran yang memberi solusi, karena bisa menjadi kontraproduktif; dan 3. Model Co-Existence Model ini menganjurkan agar satuan-satuan administrasi dibentuk atas pertimbangan ekologik sedemikian rupa, sehingga memberikan lingkungan kebijakan pemanfaatan atasnya yang sekaligus sudah memperhitungkan syarat-
35
syarat ekologi, dan dengan demikian mampu menjamin tingkat pemanfaatan yang berkelanjutan. Terlepas dari beberapa konsep pengelolaan DAS sebagaimana dijelaskan diatas, namun dalam beberapa kasus, pengelolaan DAS masih terbilang lemah dan intensitas konflik antar aktor masih tinggi. Hal ini terlihat, misalnya pada kasus pengelolaan DAS di Sembilan sungai yang tersebar di empat benua dan lintas negara. Kesembilan sungai tersebut yaitu : Mekong, Ganges-Brahmaputra, Niger, Danube, Indus, Senegal, Elbe, Colorado dan Rio Grande (Kartodihardjo et.al, 2004). Menurut Kartodihardjo et.al (2004), lemahnya pengelolaan DAS pada kesembilan sungai tersebut, karena masih menggunakan model ideal yang biasanya disebut sebagai kelembagaan dengan tujuan ganda yaitu berupaya memperlakukan seluruh wilayah DAS menjadi satu kesatuan dan seluruh wilayah itu dapat mencapai keseimbangan hubungan yang adil. Kartodihardjo et.al (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa pembelajaran yang bisa diambil dari kasus pengelolaan DAS di sembilan sungai tersebut, adalah : pertama, institusi yang dibentuk dengan kewenangan yang sangat luas dengan yurisdiksi mencakup seluruh wilayah DAS tidak selalu berhasil, misalnya di Niger. Sebaliknya, institusi yang tidak mempunyai kewenangan terhadap seluruh kawasan DAS, seperti di Mekong, justru cukup efektif dalam menjalankan pengelolaan DAS dan dalam kasus Mekong, faktor penentu keberhasilan adalah tingginya spirit kerjasama; dan kedua, pentingnya pembedaan antara struktur formal dari kerangka institusi yang dibangun dengan fungsi mereka secara de facto. Di Niger misalnya, kerjasama institusional secara formal cukup kuat, tetapi secara de facto sebenarnya lemah. Di Mekong secara kontras menunjukkan tanda-tanda adanya konflik di kemudian hari, meskipun baik secara formal maupun de facto mempunyai kerjasama yang kuat, tetapi hanya menguntungkan sebatas di wilayah hilir Sungai Mekong. Sementara itu wilayah Cina yang menjadi bagian dari hulu sungai tetap menjalankan pembangunan ekonomi secara masif yang dapat mengancam wilayah hilir dan memungkinkan terjadinya konflik.
III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan studi literatur, hasil penelitian terkait Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa, diketahui bahwa saat ini kondisi Sub DAS Batulanteh sudah mengalami penurunan fungsi, salah satunya sebagai pengatur tata air. Penurunan fungsi tersebut ditandai oleh penurunan debit air, banjir, dan erosi sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Ada dugaan bahwa salah satu pemicu dibalik degradsinya fungsi Sub DAS tersebut adalah masih lemahnya kinerja sistem kelembagaan yang ada, di samping faktor-faktor teknis lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada kajian kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh ditinjau dari perspektif ekonomi kelembagaan. Berangkat dari definisi kelembagaan, maka penulis menilai sedikitnya ada tiga faktor yang perlu diidentifikasi dan dianalisis yaitu: pertama, peraturan yang ada (formal maupun informal); kedua, masalah property rights; dan ketiga, aktoraktor yang terlibat. Atas dasar itu, analisis kelembagaan dalam penelitian ini akan diawali dengan analisis konten atas peraturan perundang-undangan. Analisis ini bertujuan untuk mempelajari jenis urusan yang diatur dan peletakan wewenang dari urusan-urusan tersebut pada organisasi di tingkat makro (menteri/dirjen), meso (gubernur) dan mikro (bupati/walikota). Analisis ini penting untuk dilakukan, karena ketidakjelasan aturan main akan memunculkan free-riders. Menurut Olson (2002), bahwa kejelasan aturan main misalnya pengaturan tentang pemberian hukuman dan insentif dalam teori collective action dapat mengatasi masalah free-riders dan desain collective action yang matang yang ditandai dengan kejelasan aturan main merupakan jalan keluar bersama dalam pengelolaan sumber daya yang bersifat kepemilikan bersama atau open akses. Olson (2002) lebih lanjut menerangkan determinan penting untuk keberhasilan collective action adalah ukuran, homogenitas dan tujuan kelompok. Dari analisis konten peraturan perundang-undangan di atas, maka dilanjutkan dengan analisis respon pemerintah daerah dan masyarakat atas sejumlah amanat peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan tentang hak-hak kepemilikan atas sumber daya lahan pada kawasan Sub DAS Batulanteh. Pemetaan ini penting dilakukan, karena menurut Van den Berg (2001) menerangkan bahwa hak kepemilikan perlu
38
dilindungi dan didefinisikan secara jelas agar dapat bekerja secara efisien, Senada dengan Van den Berg (2001), Fauzi (2006) juga menerangkan bahwa ketidakjelasan hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya alam terutama yang bersifat open acses sering kali menimbulkan dampak negatif berupa ketidak seimbangan antara manfaat yang diperoleh dari sumber daya dengan biaya sosial yang harus ditanggung dan masalah eksternalitas. Tahapan keempat, melakukan analisis stakeholder guna menentukan dan menetapkan stakeholder yang diikut-sertakan dalam perumusan kebijakan pengelolaan Sub DAS. Dari empat tahapan analisis sebelumnya, maka pada bagian akhir penelitian ini, diharapkan mampu mendesain kembali kelembagaan pengelolaan DAS sebagai upaya penyerpurnaan atas kelembagaan yang ada. Secara sistematis kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Lemahnya kinerja sistem kelembagaan
Kerusakan dan kekritisan Sub DAS Batulanteh
Analisis kelembagaan
Analisis isi peraturan & respon terhadap peraturan
Pemetaan property right
Analisis stakeholder
Rekomendasi desain kelembagaan
Terdistribusinya manfaat Sub DAS secara optimal, berkeadilan dan berkelanjutan
Gambar 6. Alur kerangka pemikiran
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Sub DAS Batulanteh dengan memilih Desa Batudulang, Kecamatan Untir Iwis dan Kecamatan Sumbawa sebagai daerah sampel. Pemilihan lokasi tersebut, atas pertimbangan ketiganya dianggap sudah representatif untuk mewakili bagian hulu, tengah dan hilir dari Sub DAS Batulanteh, dimana Desa Batudulang berada di bagian hulu, Kecamatan Untir Iwis berada di zona tengah dan Kecamatan Sumbawa berada di bagian hilir. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden melalui wawancara secara mendalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur. Sementara data sekunder diperoleh dari studi literatur dan data-data statistik yang berasal dari instansi-instansi terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, BPDAS Dodokan Moyosari, Badan Pusat Statistik, BAPPEDA Kabupaten Sumbawa, DPRD Kabupaten Sumbawa, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, dan PDAM Kabupaten Sumbawa. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling, dimana responden ditentukan berdasarkan pertimbangan keterwakilan, sehingga nantinya responden dikelompok menjadi 3 yaitu : kelompok masyarakat hulu, kelompok masyarakat tengah-hilir dan pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan. Dalam pengumpulan data akan menggunakan panduan kuesioner yang tersturktur. Untuk jumlah responden pada kelompok masyarakat hulu didekati dengan teknik Nomogram Harry King. Metode ini berlaku untuk populasi 30 – 2000 dengan tingkat kesalahan 0.3 -15% dan faktor pengali yang disesuaikan dengan taraf kesalahan, dimana
dalam nomogram untuk confiden interval (interval
40
kepercayaan) 80% faktor pengalinya = 0,780; untuk taraf kepercayaan 85% faktor pengalinya = 0,875; untuk taraf kepercayaan 90% faktor pengalinya = 1,132; untuk taraf kepercayaan 95% faktor pengalinya = 1,195; dan untuk taraf kepercayaan 99% faktor pengalinya = 1,573. Tabel 7. Tujuan, jenis dan sumber data penelitian No Tujuan Penelitian Jenis Data 1 Menganalisis UU dan Peraturan peraturan Pemerintah menyangkut jenis urusan dan peletakan kewenangan dari urusan tersebut
Sumber Data Kementerian Kehutanan dan Kementerian PU
2
Menganalisis respon Pemda dan masyarakat terhadap sejumlah amanat peraturan
- Program kerja di masing-masing SKPD - Bentuk keterlibatan dan inisitaif masyarakat dalam pelestarian sumber daya alam termasuk DAS
Dishutbun Kab. Sumbawa, Dinas PU Kab. Sumbawa, BAPPEDA Kab. Sumbawa, studi literatur, wawancara
3
Memetakan ragam Hak kepemilikan
Data pola penggunaan lahan
BPDAS Dodokan Moyosari, Dishutbun Kab. Sumbawa, wawancara
4
Menganalisis stakeholder
Kepentingan, sikap, pengaruh dan tingkat kerlibatan eksisting setiap stakeholder
wawancara
5
Meredesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS
- Infrastruktur kelembagaan (eksisting) - Struktur kelembagaan (eksisting)
output dari tujuan 1- 4
analisis
Penentuan jumlah sampel dengan metode ini dilakukan dengan cara menarik garis dari jumlah populasi dengan melewati garis tingkat kesalahan, misalnya 10% sehingga diperoleh persentase besarnya sampel yang kemudian dikalikan dengan jumlah populasi dan faktor pengali dari taraf kepercayaan 90% yakni : 1,132 (Sugiyono, 2008). Dengan metode Nomogram Harry King, maka jumlah sampel yang didapatkan dengan tingkat kesalahan 10% dan faktor pengali
41
dari taraf kesalahan 90% (1,132) adalah sebanyak 58 KK
8
dari 256 Kepala
Keluarga (KK)9 yang ada di Desa Batudulang berdasarkan data BPS tahun 2010. Sedangkan jumlah responden pada kelompok masyarakt tengah-hilir dan pemerintah daerah ditentukan secara sengaja, dengan tetap memperhatikan aspek posisi dan peran mereka dalam organisasinya masing-masing. Berikut Tabel 8 di bawah ini, menyajikan komposisi responden untuk kelompok masyarakat hilir dan pemerintah daerah berdasarkan nama instansi, posisi/jabatan dan jumlahnya, yaitu: Tabel 8. Komposisi responden berdasarkan insatansi, jabatan dan jumlah Nama Instansi BAPPEDA Sumbawa
Posisi/ Jabatan
Kab.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sumbawa Dinas Pekerjaan Umum Kab. Sumbawa Dinas Pertanian Sumbawa
Kab.
DPRD Kab. Sumbawa
PDAM GP3A *P3A
Kelompok konservasi lahan Lemak Sewe Kelompok konservasi lahan Batu Balomo Kelompok konservasi lahan Karya Baru Total
Jumlah (orang) 1 Kepala Bappeda 1 Kabid atau Kasi yang membidangi terkait objek penelitian 1 Kepala Dinas 1 Kabid atau Kasi yang membidangi terkait objek penelitian 1 Kepala Dinas 1 Kabid atau Kasi yang membidangi terkait objek penelitian Kepala Dinas 1 1 Kabid atau Kasi yang membidangi terkait objek penelitian Ketua DPRD 1 1 Ketua komisi yang membidangi terkait objek penelitian Direktur PDAM 1 Ketua GP3A 1 Ketua pada setiap P3A masing-masing 1 5 orang Ketua kelompok 1 Ketua kelompok
1
Ketua kelompok
1 20
Ket.*) ada 5 P3A pada irigasi Aji dan Pungka. 8
Untuk memilih responden sebanyak 58 KK dalam penelitian ini, menggunakan teknik simple random sampling, dimana teknik dipilih atas pertimbangan bahwa responden relatif homogen. 9 Dalam penelitian ini, KK dijadikan sebagai jumlah populasi dalam suatu wilayah, bukan jumlah penduduk sebagaimana yang lazim digunakan.
42
4.4 Metode Analisis Data Sugiyono (2008), menerangkan bahwa analisis data adalah suatu proses mencari dan menyusun data yang telah diperoleh secara sistematis dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta terakhir membuat kesimpulan. Dari definisi di atas, maka dibawah ini disajikan penjelasan mengenai teknik analisis dalam rangka menjawab tujuan penelitian, yaitu : 4.4.1 Analisis Isi/Konten Peraturan 10
Analisis isi/konten adalah pemahaman makna peraturan melalui
identifikasi issue atau aturan tertentu secara berjenjang mulai yang ada pada Undang-undang kemudian dilanjutkan dengan melakukan pendalaman terhadap peraturan pemerintah yang terkait. Undang-undang dan peraturan pemerintah yang dijadikan objek kajian dalam penelitian ini adalah sebagaimana disebutkan dalam batasan operasional. Analisis ini akan menggunakan metode analytic comparation. Dalam analisisnya, dilakukan dalam dua tahapan yakni :pertama, mempelajari
jenis urusan apa saja yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersebut. Kedua, dari informasi pada tahap pertama, selanjutnya dilakukan pemetaan peletakan wewenang atas sejumlah urusan tersebut pada organisasi tingkat makro, meso dan organisasi tingkat mikro dengan menggunakan matrik peta sebagaimana disajikan pada Gambar 7. KEWENANGAN
Makro ( Menteri) Meso (Gubernur)
Mikro (Bupati/Walikota)
NAMA PERATURAN
Mikro (Kabupaten)
Meso (Propinsi) URUSAN
Makro (Pusat)
Gambar 7. Matrik peletakan kewengan urusan berdasarkan peraturan tertentu Sumber : Ismanto, 2010 (dimodifikasi) 10
Untuk menghindari kesalahan penafsiran dan penilaian dalam analisis ini, maka nantinya dalam proses analisis akan selalu dilakukan rekonfirmasi pada stakeholder yang berkompeten, misalnya DPR dan lain-lain
43
Berdasarkan matrik di atas, dapat diketahui apakah urusan-urusan tertentu telah ditempatkan kewengannya pada organisasi yang sesuai atau belum. Terdapat dua kemungkinan yang terjadi yaitu : pertama, peletakan wewenang suatu urusan pada organisasi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pada gambar tersebut tercermin adanya urusan-urusan yang berada di atas atau dibawah garis (sel) diagonal. Kedua, urusan telah diletakkan secara tepat, apabila berada pada sel-sel diagonal atau bagian yang diarsir. Jika kolom “kewenangan” sebagai ordinat (sumbu) Y) dan baris “urusan” sebagai axis (sumbu X), maka posisi kebijakan dan institusi akan terklasifikasikan ke dalam 9 kelompok, yakni sebagai berikut : Institusi (1,1) : kebijakan dan institusi tingkat mikro telah diletakkan secara tepat pada tingkat semestinya; Institusi (1,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat mikro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat meso; Institusi (1,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat mikro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro; Institusi (2,1) : kebijakan dan institusi tingkat meso telah diletakkan secara tepat pada tingkat semestinya; Institusi (2,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat mikro; Institusi (2,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro; Institusi (3,1) : kebijakan dan institusi tingkat makro telah diletakkan secara tepat pada tingkat semestinya; Institusi (3,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat mikro; dan Institusi (3,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat meso. 4.4.2 Analisis Respon Terhadap Peraturan Analisis respon terhadap peraturan, merupakan tindak lanjut dari analisis konten di atas. Fokus dari analisis ini adalah melihat apakah urusan atau tugas dan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mulai dari undangundang samapai dengan peraturan pemerintah yang sebelumnya dibahas dalam
44
analisis konten di atas sudah dilaksakan atau belum oleh pemerintah daerah yang notabene sebagai eksekutor di tingkat daerah dan masyarakat hulu sebagai penerima dampak dari peraturan atau kebijakan tersebut. Untuk mengukur respon pemerintah daerah terhadap peraturan adalah dengan melihat kesesuaian antara substansi/amanat dari peraturan perundangundangan tersebut dengan program kerja yang terdokumentasi dalam rencana strategis (RENSTRA) dan laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP) pada setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang telah disusun dalam periode 2005-2010. Substansi/amanat dari peraturan perundangan-undangan yang dijadikan acuan perbandingan dengan program kerja SKPD terlampir (lihat lampiran 1). Sedangkan untuk mengukur respon masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam batasan operasional adalah dengan melihat keterlibatan masyarakat dalam sejumlah program pemerintah dan upaya atau inisiatif yang pernah dilakukan dalam rangka pelestraian Sub DAS. 4.4.3 Pemetaan Ragam Hak Kepemilikan Pemetaan hak kepemilikan dalam penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap : pertama, mengidentifikasi hak kepemilikan yang ada, guna memberikan gambaran tentang regims hak kepemilikan yang ada, apakah kepemilikan pribadi, kepemilikan pemerintah, kepemilikan bersama, akses terbuka atau kombinasi diantara keempatnya; kedua, melalui pendekatan Hanna (1995), informasi pada tahap pertama kemudian ditindak-lanjuti dengan melihat apakah para pemilik hak atau pemegang akses baik pemerintah maupun masyarakat telah melaksanakan hak dan kewajibanya terhadap hak kepemilikannya atau belum. Selanjutnya dalam tahap ini juga akan dilakukan pendalaman lagi dengan melihat strata hak kepemilikan melalui pendekatan Schlager dan Ostrom (1992) sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Strata hak kepemilikan berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostrom Strata Hak Pemilik Access and Withdrawal X Management X Exclusion X Alienation X Sumber : Schlager dan Ostrom (1992)
Pengelola X X X
Penyewa X X
Pengguna X
45
Acces adalah hak memasuki areal atau sumber daya tertentu yang telah ditetapkan batas-batas secara fisik Withdrawal adalah hak memanfaatkan produk dari sumber daya tertentu Management adalah hak mengubah/memanipulasi sumber daya menjadi produk tertentu dan hak untuk mengatur manfaatnya. Exclusion adalah sebagai hak menentukan siapa yang akan dan tidak mendapatkan akses dan hak menentukan cara tersebut dapat dialihkan Alienation adalah sebagai hak menjual dan atau menyewakan sumber daya tersebut. 4.4.4 Analisis Stakeholder Ramirez (1999) menerangkan bahwa analisis stakeholder mengacu pada seperangkat alat untuk mengidentifikasi dan mendiskripsikan stakeholder atas dasar atributnya, hubungan timbal baliknya dan kepentingannya dalam kaitannya dengan isu atau sumber daya yang ada. Adapun tahapan analisis stakeholder dalam penelitian ini adalah: 1. Membuat tabel stakeholder, yang berisi informasi mengenai : a. Daftar stakeholder b. Kepentingan stakeholder, yaitu motif dan perhatiannya pada kebijakan. c. Sikap stakeholder, yaitu reaksi dari setiap stakeholder dalam memutuskan pandangan terhadap kebijakan. Untuk penilaian sikap akan menggunakan skala likert yaitu dari 3 hingga -3, dimana : 3 = sangat mendukung; 2 = cukup mendukung; 1 = netral; -2 = cukup menentang; dan -3 = sangat menentang. d. Pengaruh
dari
masing-masing
stakeholder
mengacu
pada
tingkat
kewenanganya. Untuk penilaian tingkat pengaruh akan menggunakan skala likert yaitu antara 1 sampai 5, dimana : 5 = sangat kuat; 4 = kuat; 3 = ratarata; 2 = lemah; dan 1 = sangat lemah. e. Nilai total yaitu perkalian antara sikap dan pengaruh f. Keputusan menyangkut kebutuhan keterlibatan. Untuk memutuskan kebutuhan keterlibatan stakeholder dalam kebijakan, dimana jika nilai total kurang dari 6 maka stakeholder dapat diabaikan dan jika lebih dari atau sama dengan 6 maka stakeholder harus dilibatkan.
46
g. Tingkat
keterlibatan
eksisting
stakeholder,
dimana
penilaiannya
menggunakan skala likert yaitu 1 sampai 5, dimana: 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = sedang; 2 = rendah; dan 1 = sangat rendah. Tabel 10. Analisis stakeholder pengelolaan Sub DAS Batulanteh Stakeholder
Kriteria evaluasi Kepentingan Sikap Pengaruh Total
Keputusan keterlibatan
Tingkat keterlibatan eksisting
Sumber : Wijayanti, 2009 (dimodifikasi) Dari informasi pada Tabel 10, maka selanjutnya disusunlah diagram untuk menggambarkan tingkat pengaruh dan keterlibatan masing-masing stakeholder. Tinggi (I) Keterlibatan
(II)
(III) (IV)
Rendah
Pengaruh
Tinggi
Gambar 8. Tingkat keterlibatan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh (Sumber : Wijayanti, 2009) (dimodifikasi)
4.4.5 Re-Desain Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Kelembagaan didefinisikan sebagai aturan main yang membentuk interaksi dalam masyarakat. Dalam konteks yang lebih konkret kelembagaan adalah aturan formal maupun informal beserta bentuk pengorganisasianya. Hasil analisis pada tahap sebelumnya mulai dari analisis peraturan perundang-undangan, kemudian respon terhadap peraturan, struktur hak kepemilikan lahan sampai pada analisis stakeholder yang terlibat akan menjadi input dalam melakukan re-desain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh.
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Wilayah Administrasi dan Kependudukan 5.1.1 Wilayah Administasi Sub DAS Batulanteh Sub DAS Batulanteh atau yang dikenal dengan sebutan Sub DAS Setongo Sebaung, memiliki luas ± 28.000 Ha atau 280 Km2. Luasan tersebut berbeda dengan data yang dirilis oleh Bakosurtanal empat tahun silam dalam Hasanuddin (2008) yakni seluas 17.172,60 Ha atau 171,726 Km2. Bappeda mengkalim bahwa perbedaan atau selisi ± sebesar 10.800 Ha tersebut sebagai dampak dari dilakukannya perluasan zona atas wilayah yang masuk dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Perluasan tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai konservasi. Penyebutan sebagai Sub DAS Batulanteh, dikarenakan sebagian besar daerah tangkapan airnya (DTA) berada di wilayah Kecamatan Batulanteh yaitu
11
Olat Batu Pisak dengan
ketinggian ± 1.763 mdpl
Gambar 9. Peta sungai utama Sub DAS Batulanteh (Sumber : Hasanuddin, 2008) Sub DAS dengan tiga sungai utamanya yakni Sungai Batulanteh, Sungai Setongo, dan Sungai Sampa (lihat Gambar 9), secara administrasi meliputi 5 (lima) Kecamatan yaitu : Kecamatan Batulanteh, Moyo Hulu, Untir Iwis, Labuhan Badas, dan Kecamatan Rhee dengan 11 (sebelas) Desa yaitu : Desa Batudulang, 11
Nama pegunungan
48
Kelungkung, Sempe, Mokong, Pernek, Kerekeh, Pelat, Kerato, Jorok, Karangdima, dan Desa Luk (lihat Gambar 10). Adapun gambaran tentang sebaran desa per kecamatan yang masuk dalam wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh Kabupaten
Kecamatan
Desa
Luas (Km2) (Ha) (%) Batulanteh Batudulang 70,24 7.024 16 Batulanteh Kelungkung 48,30 4.830 11 Moyo Hulu Sempe 63,02 6.302 15 Moyo Hulu Mokong 52,72 5.272 12 Moyo Hulu Pernek 28,70 2.870 7 Sumbawa Untir Iwis Kerekeh 23,00 2.300 5 Untir Iwis Pelat 18,00 1.800 4 Untir Iwis Kerato 4,57 457 1 Untir Iwis Jorok 4,78 478 1 Labuhan Badas Karangdima 32,14 3.214 8 Rhee Luk 81,85 8.185 19 Jumlah 5 11 427,32 42.732 100 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa, 2007 dan BPS Kabupaten Sumbawa Dalam Angka, 2010 Tabel 11 di atas, menginformasikan bahwa dari sebelas desa, empat diantaranya (Desa Kerekeh, Pelat, Kerato dan Desa Jorok) masuk dalam wilayah Kecamatan Untir Iwis, tiga desa lainnya (Desa Sempe, Mokong, dan Desa Pernek) merupakan wilayah Kecamatan Moyo Hulu. Kemudian dua desa berikutnya (Desa Batudulang dan Desa Kelungkung) masuk dalam wilayah Kecamatan Batulanteh dan masing-masing satu desa (Desa Karangdima dan Desa Luk) masuk wilayah Kecamatan Labuhan Badas dan Rhee. Dari sebelas desa tersebut, Desa Luk memiliki luas wilayah paling besar yakni 81,85 km2 atau 19 persen, kemudian Desa Batudulang 70,24 km2 atau 16 persen dan yang terkecil adalah Desa Kerato 4,57 km2 atau 1 persen. Informasi yang disajikan pada Tabel 20 sekaligus menegaskan bahwa luas Sub DAS Batulanteh bukanlah keseluruhan dari total luas sebelas desa tersebut, melainkan hanya sebatas 66 persen dari total luasan yang ada. Misalnya, dari hasil analisis spasial Bakosurtanal dalam Hasanuddin, (2008) diterangkan bahwa meskipun Desa Luk dengan status luas wilayah paling besar diantara sebelas desa tersebut, namun hanya 1.246 Ha atau 12,46 km2 atau 15
49
persen dari luas wilayahnya yang masuk dalam wilayah Sub DAS Batulanteh. Kemudian wilayah Desa Batudulang yang masuk dalam wilayah Sub DAS Batulanteh ± separuh yakni 3.526 Ha atau 35,26 km2 atau 49,80 persen dari luas wilayahnya yang mencapai 70,24 km2.
Gambar 10. Peta wiyalah administrasi Sub DAS Batulanteh (Sumber: Hasanuddin,2008) 5.1.2 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk dari sebelas desa yang masuk dalam wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh pada tahun 2010 tercatat sebanyak 26.111 jiwa, terdiri dari 13.129 laki-laki dan 12.982 perempuan. Dari jumlah tersebut, 878 Jiwa diantaranya merupakan penduduk Desa Batudulang dengan komposisi 427 lakilaki dan 451 perempuan, kemudian 1.648 jiwa lainnya adalah penduduk Desa Kelungkung. Selanjutnya sebanyak 1.072 jiwa ialah penduduk Desa Sempe, 2.144 jiwa penduduk Desa Mokong, 1.725 jiwa penduduk Desa Pernek, 2.166 Jiwa penduduk Desa Kerekeh, 4.335 Jiwa penduduk Desa Pelat, 3.760 Jiwa penduduk Desa Kerato, 1.346 jiwa penduduk Desa Jorok, 5.524 Jiwa penduduk Desa Karangdima, dan sisanya 1.513 jiwa merupakan penduduk Desa Luk dengan komposisi
824 laki-laki dan 689 perempuan. Adapun gambaran jumlah dan
kepadatan penduduk dari sebelas desa yang masuk dalam wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh disajikan pada Tabel.12
50
Tabel 12. Jumlah dan kepadatan penduduk desa-desa Sub DAS Batulanteh Jumlah Penduduk Luas (Km2) L P (jml) Batudulang 70,24 427 451 878 Kelungkung 48,30 819 829 1.648 Sempe 63,02 575 497 1.072 Mokong 52,72 1.066 1.078 2.144 Pernek 28,70 840 885 1.725 Kerekeh 23,00 1.055 1.111 2.166 Pelat 18,00 2.110 2.225 4.335 Kerato 4,57 1.921 1.839 3.760 Jorok 4,78 665 681 1.346 Karangdima 32,14 2.827 2.697 5.524 Luk 81,85 824 689 1.513 Jumlah/rerata 427,32 13.129 12.982 26.111 Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa Dalam Angka, 2010 Desa
(%) 3,36 6,31 4,11 8,21 6,61 8,30 16,60 14,40 5,15 2116 5,79 100
Kepadatan (Jiwa/ Km2) 13 34 17 41 60 94 241 823 282 172 18 61
Tabel 12 di atas, menginformasikan bahwa Desa Karangdima sebagai desa dengan jumlah penduduk terbanyak, kemudian diikuti oleh Desa Pelat dan Desa Kerato. Sementara desa dengan jumlah penduduk terkecil yakni Desa Batudulang. Selanjutnya tingkat kepadatan penduduk dari masing-masing desa cukup beragam. Tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi ditempati oleh Desa Kerato yakni 823 Jiwa/km2, kemudian dikuti oleh Desa Jorok dan Desa Pelat dengan tingkat kepadatan masing-masing sebesar 282 Jiwa/km2 dan 241 Jiwa/km2. Sementara kepadatan yang paling rendah menjadi milik Desa Batudulang yaitu hanya 13 jiwa/km2 dan tingkat kepadatan tersebut terbilang sangat jarang. Selanjutnya apabila dilihat kepadatan rata-ratanya, maka wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh dengan total luasan sebesar 42.732 Ha atau 427,32 Km2 memiliki kepadatan penduduk rata-rata 61 jiwa/km2. Namun, apabila dibandingkan dengan luas wilayah Sub DAS Batulanteh yang hanya mencapai ± 28.000 Ha atau 280 Km2, maka rata-rata kepadatan penduduknya menjadi 93 jiwa/km2 atau terdapat selisi sebanyak 32 jiwa. 5.1.3 Struktur Penduduk, Pendidikan dan Lapangan Usaha Struktur umur penduduk dalam wilayah Sub DAS Batulanteh dibagi dalam 3 kategori yaitu : 0 -14 tahun, 15 – 64 tahun, dan ≥ 65 tahun. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, wilayah Sub DAS Batulanteh yang tersebar di lima kecamatan rata-rata didominasi oleh kelompok usia produktif (penduduk berumur
51
15 s.d 64 tahun) yakni 66,03 persen, angka tersebut sedikit dibawah rata-rata kabupaten yakni 66,45 persen. Namun pada kelompok usia 0 – 14 tahun Sub DAS Batulanteh sedikit lebih tinggi dari rata-rata kabupaten. Dominasi usia produktif tersebut
menggambarkan
keberhasilan
program
kependudukan
(keluarga
berencana) dalam satu atau dua dekade kebelakang. Tabel 13. Persentase penduduk menurut kelompok umur di wilayah Sub DAS Batulanteh Kecamatan Sub DAS Klp. Batulante Kab. Batulanteh Moyo Untir Lab. Rhee Umur Sumbawa Hulu Iwis Badas 0-14 32,28 31,69 27,87 31,41 33.51 30,80 30,10 15-64 65,32 63,12 67,91 65.87 63,60 66,03 66,45 ≥ 65 2,40 5,19 4,21 2.72 2,89 3,17 3,45 JML 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Kabupeten Sumbawa Dalam Angka,2010
100
100
Tabel 13 menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur. Kelompok umur 0 - 14 tahun di wilayah Sub DAS Batulanteh sebesar 30,80 persen, dimana pada kelompok umur ini Kecamatan Rhee memiliki persentase paling tinggi yakni 33,51 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Batulanteh sebesar 32,28 persen, dan persentase paling rendah yakni Kecamatan Untir Iwis sebesar 27,87 persen. Selenjutnya untuk kelompok umur 15 - 64 tahun, dengan persentase paling tinggi ditempati oleh Kecamatan Untir Iwis yakni 67,91 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Labuban Badas sebesar 65,87 persen dan yang terendah yaitu Kecamatan Moyo Hulu sebesar 63,12 persen. Sementara untuk kelompok umur ≥ 65 tahun diwilayah Sub Das Batulateh yaitu sebesar 3,17 persen. Pada kelompok umur ini, Kecamatan Moyo Hulu memiliki persentase paling tinggi yakni 5,19 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Untir Iwis sebesar 4,21 peresen, dan yang paling rendah yakni Kecamatan Batulanteh sebesar 2,40 persen.
52
Tabel 14. Persentase penduduk usia > 15 tahun yang melek huruf menurut kecamatan di wilayah Sub DAS Batulanteh Kecamatan
Jumlah penduduk Jumlah penduduk usia usia >15 tahun >15 yang melek huruf Batulanteh 7.306 6.395 Moyo Hulu 14.720 13.537 Untir Iwis 13.229 12.199 Labuhan Badas 18.661 16.396 Rhee 4.857 3.726 Jumlah 58.733 52.253 Sumber : Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010
Persentase (%) 87.53 91.96 92.21 87.86 76.71 88,91
Tingkat pendidikan adalah salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas manusia di suatu wilayah. Tabel 14 menggambar struktur penduduk usia 15 tahun ke atas berdasarkan angka melek huruf. Secara umum angka melek huruf bagi penduduk di atas 15 tahun di lima kecamatan wilayah Sub DAS Batulanteh tergolong cukup tinggi yakni rata-rata sudah mencapai 88,91 persen. Angka tersebut sedikit dibawah rata-rata kabupaten yang sudah mencapai 89,43 persen. Artinya sampai dengan tahun 2010, penduduk Sumbawa di atas 15 tahun yang tidak bisa membaca dan menulis masih ada sekitar 10,57 persen atau ± masih separuh di atas target nasional yakni di bawah 5 persen. Begitu juga dengan kasus drop out, pada tahun 2010 dilaporkan ada 421 kasus di Kabupaten Sumbawa, diantaranya : 63 kasus terjadi di level SD/MI, kemudian 123 kasus lainnya ada pada level SMP/sederajat; dan sisanya 235 kasus terjadi pada level SMA/sederajat. Penuntasan buta aksara dan meminimalisir angka drop out dengan tetap memperhitungkan peluang pertumbuhan penduduk, menjadi necessary condition untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu wilayah. Tabel 15. Persentase rumah tangga menurut lapangan pekerjaan utama di wilayah Sub DAS Batulanteh Kecamatan Sub DAS Lapangan Batulanteh Moyo Untir Lab. Rhee Batulanteh Usaha Hulu Iwis Badas Pertanian 88,83 73,68 75,61 53,95 59,99 70,41 Industri 2,30 6,40 0,35 2,28 4,99 3,26 10,25 Perdag. 4,02 5,50 6,59 15,16 19,98 Jasa 1,51 3,12 4,47 0,00 10,04 3,83 Lainnya 3,33 11,30 12,99 28,61 4,99 12,25 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Kabupeten Sumbawa Dalam Angka, 2010
53
Karakteristik wilayah Sub DAS Batulanteh sebagai daerah agraris sangat mempengaruhi aktivitas usaha kehidupan masyarakatnya, hal ini diketahui dari sajian Tabel 15 yang menginformasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat di wilayah Sub DAS Batulanteh yakni sebanyak 70,41 persen, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan sebesar 10,25 persen. Ketergantungan pada sektor pertanian, akan membuka peluang pada penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai konservasi, sebagaimana kasus yang tengah terjadi di Desa Pelat (lihat Gambar 11). Praktek penggunaan lahan yang demikian tentunya berkontribusi pada peningkatan sedimentasi wilayah sungai. Sedangkan aktivitas masyarakat di sektor industri masih sangat minim, dimana baru 3,26 persen. Begitu juga halnya di sektor jasa, meskipun persentasenya sedikit lebih baik yakni 3,83 persen, namun angka tersebut masih tergolong sangat rendah. Meskipun demikian, jika kegiatan industri, perdagangan dan jasa bisa memiliki keterkaitan sektoral dengan aktivitas pertanian, maka akan dapat memberikan nilai tambah (value added) terhadap produk-produk pertanian, sehingga pada gilirannya nilai tambah tersebut akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam kawasan Sub DAS Batulanteh kedepannya.
Gambar 11. Wilayah Desa Pelat (zona tengah Sub DAS Batulanteh)
54
5.2 Kondisi Fisik Wilayah Sub DAS Batulanteh 5.2.1 Topografi Kemiringan lereng di wilayah Sub DAS Batulanteh terbagi dalam 5 kategori yaitu : 0 - 8˚ sebesar 39,46 persen, 8 –15˚ sebesar 23,81 persen, kemudian 15 – 25˚ sebesar 29,51 persen, 25 – 40˚ sebesar 7,15 persen, dan >40˚ sebesar 0.07 persen. Secara rinci luas lahan berdasarkan tingkat kemiringan disajikan pada Tabel. 16 Tabel 16. Luas lahan berdasarkan tingkat kemiringan lereng Tingkat kemiringan
Luas (Km2) (Ha) 0 – 8˚ 110,56 11.005,78 8– 15˚ 66,39 6.639,49 15 – 25˚ 82,29 8.229,10 25 – 40˚ 19,93 1.992,79 >40˚ 0,21 20,63 Jumlah 280 28.000 Sumber : Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010
(%) 39,46 23,81 29,51 7,15 0,07 100
Tabel 16 di atas, menunjukkan bahwa luas lahan yang berada pada tingkat kemiringan 15 – 40˚ relatif besar yakni 10.222 Ha atau 102,22 km2 atau sebesar 36,65 persen, sehingga akan menjadi suatu tantangan tersendiri dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan mobilitas sumber daya.
Gambar 12. Peta tingkat kemiringan lahan Sub DAS Batulanteh (sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010)
55
Berdasarkan kriteria pengelolaan kawasan lindung yang diatur dalam Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 menerangkan bahwa lahan dengan tingkat kemiringan > 40˚ masuk kategori kawasan lindung, Sementara lahan dengan tingkat kemiringan < 40˚ bukan berarti pemanfaatannya bebas, namun harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan, terutama pada lahan-lahan yang peka terhadap erosi. Sedangkan luas Sub DAS Batulanteh berdasarkan tingkat ketinggian tempat, secara rinci disajikan pada Tabel 17. Tabel 17.Luas Sub DAS Batulanteh berdasarkan ketinggian tempat Ketinggian tempat Luas 2 (mdpl) (Km ) (Ha) 0 – 100 70,94 7.094,38 100 – 500 122,64 12.268,24 500 – 750 48,57 4.857,41 750 - 1000 22,40 2.240.48 >1000 14,31 1.430,51 Jumlah 280 28.000 Sumber : Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010
(persen) 25,44 43,99 17,42 8,03 5,13
100
Tabel 17 diatas, menjelaskan bahwa ketingginan tempat di wilayah Sub DAS Batulanteh juga terbagi dalam 5 kategori yaitu : 0 – 100 mdpl sebesar 25,44 persen, 100 – 500 mdpl sebesar 43,49 persen, kemudian 500 – 750 mdpl sebesar 17,42 persen, 750 – 1000 mdpl sebesar 8,03 persen, dan >1000 mdpl sebesar 5,13 persen.
Gambar 13. Peta ketinggian tempat Sub DAS Batulanteh (sumber : Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010)
56
Berdasarkan kriteria pengelolaan kawasan lindung yang diatur dalam KEPPRES No. 32 tahun 1990, maka luasan dengan ketinggian 0-1000 mdpl dengan luasan ± mencapai 26.569,49 Ha atau 94,87 persen dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, kemudian ketinggian di atas 1000 mdpl dengan luas ± 1.430,51 Ha atau 5,13 persen sebaiknya tetap dipertahankan sebagai daerah penyangga atau daerah tangkapan air (DTA), sehingga keberlangsungan manfaat Sub Das tetap terjaga. 5.2.2 Iklim Menurut Schmith dan Ferguson, iklim di wilayah Sub DAS Batulanteh termasuk iklim tipe D, E dan F, dengan suhu udara rata-rata 28 oC dan kelembaban 70 persen. Secara rinci disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Keadaan iklim di wilayah Sub DAS Batulanteh No. 1
2 3 4 5
Uraian Suhu Udara Min Max rata-rata Kelembaban udara Curah Hujan Hari Hujan Rata-rata kecepatan angin
Satuan o
C C o C Persen Mm/bulan Hari/bulan Knot/bulan o
Nilai 18.03 37.04 28.00 70 94,82 8 5
Sumber : BPS Kabupaten Sumbawa Dalam Angka, 2010
Tabel 18 memberikan gambaran bahwa suhu udara berkisar antara 18,03 0C sampai dengan 37,04 0C, dengan kelembaban udara 70 persen dan rata-rata kecepatan angin 5 knot per bulan. Sedangkan rata-rata curah hujan adalah 94,82 mm/bulan dengan 8 hari hujan perbulan. 5.2.3 Geologi Berdasarkan peta tatanan geologi dan gunung berapi Indonesia, menempatkan Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu daerah yang terletak dalam ring of fire, karena posisinya yang berada pada pertemuan 2 lempeng aktif dunia yaitu lempeng Indo-Australia (bagian selatan) dan lempeng Eurasia (bagian utara). Kondisi geologis yang demikian menyebabkan Kabupaten Sumbawa kaya akan deposit sumber daya mineral sekaligus rawan terhadap bencana alam, seperti : tzunami, gempa bumi, banjir dan tanah longsor, dimana Kecamatan Batulanteh
57
dan Labuhan Badas masuk kategori daerah rawan bencana. Selanjutnya prakiraan potensi sumber daya mineral potensial yang dimiliki, berupa emas sebesar 180 ribu m3, tembaga : 1,575 juta m3, kemudian lempung/tanah liat sebesar 5,9 juta m3, batu gamping : 274,29 juta m3, marmer : 43,06 juta m3, pasir besi : 304,5 m3, sirtu : 793 ribu m3 dan batu bangunan sebesar 269,22 juta m3 (Bappeda, 2010). 5.2.4 Hidrologi Jasa aliran air Sub DAS Batulanteh, sudah dimanfaatkan oleh PDAM Kabupaten Sumbawa, disamping dua daerah irigasi (Aji dan pungka) yang mengairi ± 600 Ha lahan persawahan sejak tahun 2007. Pemanfatan air tersebut diperuntukan untuk melayani ± 4.500 pelanggan, dengan jumlah produksi 464.945 m3/bulan (JMHS, 2010). Sub DAS Batulanteh yang diketahui bagian dari DAS Rhee pernah dilaporkan oleh Balai Hidorologi NTB empat tahun silam bahwa sub satuan wilayah sungai (SSWS) Rhee atau DAS Rhee adalah satu dari dua SSWS yang mengalami defisit. Besaran defisitnya mencapai 52,96 mcm, angka tersebut lebih baik dari SSWS Moyo Hulu yang defisitnya mencapai 107,49 mcm. Di sisi lain SSWS Beh, Pulau Moyo, Ampang dan SSWS Bako mengalami surplus, dengan besaran surplus yang beragam. Surplus tertinggi terjadi pada SSWS Beh yakni sebesar 829,34 mcm, kemudian dikuti oleh SSWS Ampang sebesar 638,13 mcm, dan surplus terendah adalah SSWS Pulau Moyo sebesar 171,17 mcm. Secara rinci disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Neraca sumber daya air tahun 2007 SSWS/DAS Potensi Nama Luas (mcm) Dom. (Km2) (mcm) Rhee 1.335 468 9,62 Moyo 956 144 5,11 Hulu Pulau 454 173 0,05 Moyo Ampang 1.059 940 2,50 Beh 2.255 990 2,89 Bako 754 422 2,27 Jumlah 6.813 3.137 22,44 Sumber : Balai Hidrologi, 2007
di enam SSWS/DAS di Kabupten Sumbawa Kebutuhan Pert. Indust. (mcm) (mcm) 273,22 149,66 185,95 1,02 1,41 250,62 110,38 76,94 898,52
Jml Lain2 (mcm) (mcm) 88,64 520,96 59,41 251,49
Neraca (mcm) -52,96 -107,49
-
0,37
1,83
171,17
3,66 3,66 2,64 160,64
45,09 43,73 37,63 274,69
301,87 160,66 119,48 1.356,29
638,13 829,34 302,52 1.780,71
58
5.2.5 Tanah Jenis tanah di wilayah Sub DAS Batulanteh diklasifikasikan dalam 4 kelompok yaitu : (a). asosiasi latisol coklat dan latisol coklat kemerahan; (b). kompleks meditarian coklat dan meditarian coklat kemerahan; (c). kompleks meditarian coklat dan litisol; dan (d). kompleks litisol dan meditarian coklat. Untuk lebih jelas disajikan pada Gambar 14
Gambar 14. Peta jenis tanah pada Sub DAS Batulanteh (sumber : Hasanuddin, 2008) Gambar 14 di atas, menginformasikan bahwa jenis asosiasi latisol coklat dan latisol coklat kemerahan merupakan jenis tanah yang paling dominan di wilayah Sub DAS Batulanteh, yang tersebar pada zona hulu dan tengah. Kemudian diikuti oleh jenis kompleks meditarian coklat dan meditarian coklat kemerahan pada zona hilir dan sisanya berjenis kompleks meditarian coklat dan latisol yang berada pada zona tengah. Ketiga jenis tanah tersebut masing-masing masuk kategori agak peka erosi, kurang peka erosi, dan sangat peka erosi berdasarkan kriteria klasifikasi tingkat kepekaan erosi yang tertuang dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/II/1980 (Bappeda NTB, 2008). Artinya kawasan Sub DAS Batulanteh didominasi oleh jenis tanah agak peka erosi. Senada dengan hasil analisis spasial Hasanuddin (2008) yang menyatakan bahwa tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh masuk kategori sedang (lihat Gambar 15).
59
Gambar 15. Peta tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh (sumber: Hasanuddin, 2008) 5.2.6 Erosi dan Sedimentasi Laju erosi di wilayah Sub DAS Batulanteh dibagi dalam 5 kelas yaitu : kelas I (<15 ton/ha/thn); kelas II (15 – 60 to/ha/thn); kelas III (60 – 180 ton/ha/thn); kelas IV (180 – 400 ton/ha/thn); dan kelas V (>400 ton/ha/thn). Menurut Hasanuddin (2008), laju erosi di Sub DAS Batulanteh sebagian besar masuk dalam kelas II yaitu : 15 – 60 to/ha/thn, dan sebagian wilayahnya lagi terutama pada zona tengah dan hilir masuk dalam kelas III dan kelas IV yaitu masing-masing : 60 – 180 ton/ha/thn 180 – 480 to/ha/thn. Untuk lebih jelas dapat disajikan pada Gambar 16
Gambar 16. Laju erosi pada Sub DAS Batulanteh (sumber: Hasanuddin, 2008)
60
5.3 Pola Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Batulanteh cukup beragam, peruntukannya mulai dari pemukiman, sawah, perkebunan, hutan, semak belukar, ladang, padang rumput, rawa dan lain-lain. Bentuk tata guna lahan yang dominan yakni berupa semak belukar sebesar 10.489,49 Ha atau 37,46 persen, kemudian hutan 9.741,07 Ha atau 34,79 persen, dan peruntukan paling kecil adalah hutan bakau 0,04 Ha atau 0,00013 persen. Secara rinci disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Jenis tata guna lahan Sub DAS Batulanteh Luas Jenis Penggunaan lahan (Ha) Area terisi air 72,01 Hutan 9.741,07 Hutan bakau 0.04 Padang rumput 659.07 Pemukiman 522.68 Perkebunan 917.98 Sawah irigasi 854,60 Sawah tadah hujan 391,01 Semak belukar 10.489.49 Tanah ladang 4.332,11 Tanah rawa 2,28 Lain-lain 17,99 Jumlah 28.000 Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010
(persen) 0,26 34,79 0,00013 2,35 1,87 3,28 3,05 1,40 37,46 15,47 0,01 0,06 100
Gambaran pola penggunaan lahan di wilayah Sub DAS, masih tergolong baik dengan mempertahankan lahan berupa hutan minimal 30 persen dari total luas Sub DAS, sebagaimana yang disyaratakan dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan. Namun tetap perlu diwaspadai, karena tidak menutup kemungkinan lahan berupa hutan yang notabene berfungsi sebagai kawasan penyangga atau catchment area akan beralih fungsi menjadi kawasan budidaya. Kawasan Sub DAS Batulanteh berdasarkan fungsi atau peruntukannya dibagi dalam empat kategori yaitu :(a). sebagai kawasan penyangga; (b). sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan; (c). sebagai kawasan budidaya tanaman semusim; dan (d). sebagai kawasan pemukiman.
61
Gambar 17. Peta tata guna lahan pada kawasan Sub DAS Batulanteh (Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010) Dari tampilan yang disajikan pada Gambar 18 diperoleh informasi bahwa sebagian besar kawasan Sub DAS Batulanteh berfungsi sebagai kawasan budidaya baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, kumudian sebagian lagi berfungsi sebagai kawasan penyangga dan sisanya sebagai kawasan pemukiman. Celakanya, pemanfaatan lahan untuk budidaya tanaman semusim maupun tahunan tidak hanya terjadi pada zona hilir, tetapi sudah menjalar sampai zona hulu.
Gambar 18. Fungsi kawasan Sub DAS Batulanteh (Sumber : Hasanuddin, 2008)
62
5.4. Nilai Strategis Kawasan Sub DAS Batulanteh 5.4.1 Taman Wisata Alam Samongkat Taman wisata alam Semongkat yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No: 428/kpts-II/1999 dengan luas 100,50 Ha memiliki keanekeragaman flaura dan fauna serta kekayaan non hayati yang terbilang cukup tinggi. Tanaman jenis kumis kucing, pakis haji, pakis sarang burung, kemudian burung elang bondol, burung koakiau adalah sebagian dari kekayaan flaura dan fauna yang ada di taman wisata alam tersebut. Dengan potensi yang ada memungkinkan untuk dikembangkan beragama paket wisata diantaranya : wisata alam berupa jugle
tracking, outbond, camping ground, photo hunting, animal watching; dan atau wisata ilmiah berupa studi tour, studi banding, dan penelitian. Selanjutnya dengan aksesibilitas yang mudah serta dekat dengan pusat kota memberikan peluang untuk menjadi objek wisata unggulan di Kabupaten Sumbawa (Balai konservasi SDA NTB, 2011)
Gambar 19. Peta kawasan taman wisata alam Semongkat (BKSDA, 2011)
5.4.2
Hasil Hutan Bukan Kayu Madu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang tidak
kalah potensialnya dengan rotan yang sudah duluan dikenal. Jenis HHBK ini banyak dijumpai di wilayah Sub DAS Batulanteh salah satunya di Desa Batudulang. Hasil monitoring internal JMHS tahun 2009 dilaporkan bahwa
63
kapasitas produksi yang dihasilkan oleh para petani madu Desa Batudulang sebanyak 60 kepala keluarga (KK) mencapai 11.533 kg atau ± setara dengan 288 juta rupiah dengan asumsi harga jual madu di level petani sebesar 25 ribu rupiah per kilogram. Jumlah produksi tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan delapan desa anggota lain dari JMHS. Secara rinci disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Kapasitas produksi madu anggota Jaringan Madu (JMHS) tahun 2009 Desa Anggota Kapasitas Produksi Hargasatuan (Kg) (Rp) Batudulang 11.533 25.000 Punik 7.930 25.000 Semongkat 3.190 25.000 Sampa 1.810 25.000 Seseng 9.138 25.000 Dusun Beru 7.325 25.000 Gapit 2.400 25.000 Batubangka 1.005 25.000 Olat Rawa 1.700 25.000 Jumlah 46.076 25.000 Sumber : Julmansyah, 2010
Hutan Sumbawa Nilai (Rp) 288.325.000 198.250.000 79.750.000 45.250.000 228.450.000 183.125.000 60.000.000 25.125.000 42.500.000 1.151.900.000
5.5 Kearifan lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Kearifan lokal merupakan istilah untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami, dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan (Tjahjono et al, 1999, Prijono, 2000, dan Prijono, 2000 dalam BPP-PSPL, 2005). Selanjutnya Koentjaraningrat (1964) dalam BPP-PSPL, 2005 menjelaskan bahwa kearifan lokal memiliki dimensi sosial dan budaya yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas perlakuan berpola manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam ranah kebudayaan. Sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Masyarakat sumbawa umumnya seperti masyarakat-masyarakat lain memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam menjaga kelestarian hutannya, namun kebiasaan tersebut seringkali tidak menjadi bagian dalam pengelolaan sumber
64
daya hutan yang direncanakan atau dilakukan oleh pemerintah. Sehingga kebiasan masyarakat tersebut, hanyalah menjadi kekuatan yang mengikat sebatas pada komunitas itu sendiri atau dengan kata lain kearifan masyarakat dalam interaksinya dengan alam hanya menjadi kekuatan normatif yang mengatur pada tataran komunitas lokal saja. Kini kearifat lokal yang pernah hidup di tengah masyarakat tersebut, sebagian besar sudah hilang yang diyakini sebagai akibat pergeseran dan perubahan sistem nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kearifan yang dimaksud salah satunya adalah prosesi pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan penebangan kayu bagi keperluan pembangunan baik rumah maupun masjid. Prosesinya yang diawali dengan meminta
12
sandro untuk
menentukan waktu yang baik, kemudian dilanjuti dengan ritual tilik tua ero (survei lokasi) dan terkahir tahap menentukan lahan yang akan dibuka atau kayu yang boleh ditebang. Dalam penetapan lokasi lahan yang boleh dibuka atau pohan yang ditebang, biasanya sandro memilih dan menetapkan lokasi yang jauh dari sumber mata air, karena lokasi tersebut dipercayai memiliki penghuni gaib, dalam masyarakat sumbawa disebut “baeng lar lamat”.
Sementara bentuk
kearifan lokal lain yang juga diyakini mampu meminimalisir kerusakan hutan dan masih tetap hidup di dalam masyarakat Sumbawa sampai sekarang ialah 13
nganyang. Terminologi nganyang, oleh sebagian orang diyakini lahir atas dasar
“pameri” (kegemaran atau hobi), sehingga nganyang dengan prosesinya yang sarat dengan sederet ritual dan lasimnya dilakukan secara bersama-sama dengan menggunakan anjing sebagai binatang buruan, tidak dimaknai sebagai aktivitas ekonomi, melainkan lebih kepada sebuah permainan rakyat.
12 13
Sebutan lokal untuk orang pintar atau dukun Sebutan lokal untuk kegiatan berburu rusa
VI. ANALISIS URUSAN DAN PELETAKAN KEWENANGAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Peraturan sebagai rules of the game, yang mengatur perilaku mahkluk hidup dalam interaksinya dengan sumber daya alam perlu dipahami secara utuh dengan mempelajari urusan apa saja yang diatur dan bagaimana pelatakan kewenangan atas urusannya, pada tataran makro, meso dan mikro? Kedua hal tersebut, dibahas dalam bab ini. Pembahasan diawali dengan UU No.41/1999 tentang kehutanan beserta peraturan turunannya, kemudian dilanjutkan dengan UU No.7/2004 tentang sumber daya air beserta peraturan turunannya.
6.1 Urusan-urusan yang diatur dalam Undang-Undang No.41/1999; Peraturan Pemerintah No.3/2008 perubahan dari Peraturan Pemerintah No.6/2007; dan Peraturan Pemerintah No.76/2008 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan dua peraturan turunannya merupakan satu dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isu pengelolaan DAS. Undang-undang yang terdiri dari tujuh belas (17) bab dengan delapan puluh empat (84) pasal beserta dua peraturan turunannya secara garis besar mengatur dan menjabarkan tentang tata cara pengelolaan hutan mulai dari : (1). Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2). Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; (3). Rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan (4). Perlindungan dan konservasi alam. Ismanto (2010) membedakan keempat kegiatan tersebut dalam dua kelompok yaitu : kelompok pertama terdiri dari kegiatan (1), (3) dan (4), dimana disebutkan sebagai kegiatan yang berupa proses untuk menghasilkan sesuatu; dan kelompok kedua adalah kegiatan (2), dimana disebutkan sebagai kegiatan yang berupa tindakan atas hasil (output) dari proses pengelolaan hutan. Dari pengelompokan tersebut, kemudian Ismanto (2010) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan hirarki antara pengelolaan dengan pemanfaatan. Di samping empat urusan utama tersebut, juga diatur hal-hal terkait dengan kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan; pengawasan; dan kelembagaan. Dalam rangka memperoleh gambaran yang utuh tentang urusan-urusan apa saja yang diatur dalam undang-undang tersebut beserta dua peraturan turunannya,
66
maka dalam proses analisisnya, difokuskan pada mempelajari isi dari pasal-pasal yang menyangkut empat isu/urusan utama yang menjadi pusat perhatian dari peraturan perundang-undangan tersebut, sebagaimana disebutkan di atas. Namun sebelumnya, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan besar dari penyelenggaraan kehutanan. Dalam pasal 3 UU No. 41/1999 disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, salah satunya dengan meningkatkan daya dukung DAS. Dalam rangka itu, pada pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No.41/1999 diterangkan bahwa pemerintah diberikan wewenang untuk menetapkan dan mempertahakan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS minimal 30 persen dari luas DAS guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui apa pertimbangan pemerintah tentang penetapan penutupan hutan minimal 30 persen untuk setiap DAS, maka bisa didapatkan dalam penjelasan umum dari pasal 18 tersebut, dimana diterangkan bahwa
“…………. Indonesia merupakan Negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air…….”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30%, tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentinganya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% perlu menambah luas hutannya” Kewenangan pemerintah dalam mempertahankan dan menetapkan kecukupan luas kawasan hutan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 di atas, diatur pada pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No.41/1999 dimana dijelaskan bahwa negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pengurusan tersebut, sebagaimana diterangkan dalam pasal 10 ayat (1) UU
67
No.41/1999 ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna dan lestari. Pengertian tentang manfaat serbaguna yang dimaksudkan oleh undang-undang ini dapat diambil dari paragraph 7 dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : “………Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan bukan kayu,
tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan hutan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan sehingga manfaat hutan lebih optimal”. Berdasarkan urain di atas, selanjutnya dilihat apakah urusan-urusan yang diatur dalam empat tahapan kegiatan yang notabene bagian dari pengelolaan hutan sudah mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan kehutanan tersebut? Berikut uraian atas isi pasal-pasal dari empat kegiatan utama tersebut, yaitu : a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan Pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dalam pasal 22 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU No.41/1999 dimaksudkan untuk pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari melalui pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi, dan rencana pemanfaatan hutan. Kemudian blok-blok tersebut dibagi dalam petak-petak untuk disusun rencana pengelolaannya untuk jangka waktu tertentu berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Untuk memperoleh pemahaman apa yang menjadi harapan dari pembagian kawasan hutan dalam blok-blok kemudian dalam petak-petak dalam konteks pengelolaan hutan, bisa didapatkan dalam penjelasan umum dari pasal tersebut, dimana disebutkan : “………..untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan
memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat. Dalam upaya untuk lebih memahami tentang pelaksanaan tata hutan, maka perlu mempelajari peraturan turunannya, dimana dalam pasal 1 ayat (3) PP No.3/2008 diterangkan bahwa tata hutan didefinisikan sebagai kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Dari definisi di atas, selanjutnya pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) dari PP
68
tersebut, disebutkan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan diseluruh kawasan hutan baik di hutan konservasi, lindung, dan produksi, dimana kawasan hutan tersebut terbagi dalam bentuk kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Pembentukan KPH disebutkan dalam pasal yang sama adalah “…..sebagai bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten/kota”. Selanjutnya dalam pasal 6 dan 7 PP tersebut
disebutkan
bahwa
KPH
ditetapkan
dalam
‘……satu
wilayah
adaministrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan dan penetapan luas wilayahnya dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS……” Selain dalam pasal 3 di atas, penjelasan tentang pelaksanaan kegiatan tata hutan di tingkat KPH kembali dipertegas dalam pasal 11 PP tersebut, dimana disebutkan bahwa tata hutan dilaksanakan di setiap KPH di semua kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi). Dalam pasal berikutnya (pasal 12) disebutkan bahwa kegiatan tata hutan di KPH meliputi : tata batas; inventarisasi hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan pemetaan. Keseluruhan kegiatan tata hutan di KPH dilaksanakan oleh organisasi KPH. Kegiatan inventarisasi hutan yang disebutkan dalam pasal 12, pada pasal 13 UU No.41/`1999 dikenal ada empat tingkatan yakni : inventarisasi hutan tingkat nasional, wilayah, DAS, dan unit pengelolaan. Dari kegiatan tata hutan tersebut, disusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan pendek oleh organisasi KPH dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan sebagaimana diterangkan dalam pasal berikutnya yakni pasal 13 ayat (2) PP No.3/2008. Bagi wilayah KPH yang belum terbentuk organisasi KPH, dalam pasal 16 PP tersebut disebutkan bahwa penyusunan rencana dan kegiatan pengelolaan hutan dilakukan oleh instansi kehutanan yang ditunjuk oleh Menteri. Berdasarkan ketentuan pasal 3 dan 11 di atas, diperolehlah pemahaman bahwa tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilakukan di tingkat KPH. Namun ketentuan dalam pasal tersebut juga sekaligus menunjukkan tidak konsistennya dengan peraturan di atasnya (konflik norma), dimana dalam pasal 17
69
UU No.41/1999 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan dibentuklah tiga tingkatan wilayah pengelolaan, yaitu : pengelolaan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan
14
unit pengelolaan. Artinya selain di tingkat KPH
atau unit pengelolaan, kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan yang notabene bagian dari pengelolaan hutan juga dikenal ditingkat wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penjelasan umum UU No.41/1999, diterangkan bahwa wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan di wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari. Sedangkan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. b. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam pasal 23 UU No.41/1999
ditujukan
untuk
memperoleh
manfaat
yang
optimal
bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada pasal berikutnya yakni pasal 24 disebutkan pemanfaatan yang dimaksud pada pasal 23 dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Alasan pembatasan pemanfaatan pada hutan cagar alam serta taman nasional bisa didapatkan pada penjelasan umum dari pasal 24 tersebut, dimana diterangkan bahwa “………. Karena keadaaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan
dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung alami sedangkan taman nasional mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam” Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (4) dan pasal 17 PP No.3/2008 sebagai turunan dari UU No.41/1999, dijelaskan bahwa pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil guna memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Namun 14
unit pengelolaan sebagaiman diterangkan dalam penjelasan pasal 17 UU No.41/1999 diartikan sebagai kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil yang dapat dikelolah secara lestari dan efisien
70
dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan tersebut harus tetap disesuaikan dengan fungsi hutan. Pemanfaatan hutan lindung misalnya, dalam pasal 26 ayat (1) UU No.41/1999 hanya dikenal pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Artinya pemanfaatan hutan lindung di luar peruntukan sebagaimana disebutkan di atas tidak dibenarkan. Berbeda dengan bentuk pemanfaatan di hutan lindung, pada hutan produksi lebih beragam dan luas, sebagaimana diterangkan pada pasal 28 ayat (1) UU No.41/1999 yakni pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sama halnya dengan kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana disebutkan pada pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) PP No.3/2008 juga dilakukan di tingkat KPH. Kegiatan pemanfaatan tersebut baik pada hutan lindung maupun hutan produksi diberikan dalam bentuk ijin-ijin usaha. Pada pasal 19 PP No.3/2008 diterangkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan yang dilakukan wajib disertai ijin pemanfaatan meliputi : (1). Ijin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK); (2). Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL); (3). Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK); (4). Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK); (5). Ijin
pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK); dan (6). Ijin
pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK). Kesemuan bentuk ijin usaha tersebut diberikan kepada pengguna yang berbeda-beda antara lain : perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta (BUMS) nasional, badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dan dalam jangka waktu dan luasan pemanfaatan yang berbedabeda pula. Di dalam pasal 29 ayat (1 ) dan (2) UU No.41/1999 dan pasal 28 dan 29 PP No.3/2008 misalnya disebutkan bahwa IUPK pada hutan lindung hanya diberikan kepada perorangan dan koperasi, dengan jangka waktu paling lama 10 tahun sesuai dengan jenis kegiatan dan wilayah kerja paling luas 50 ha. Sedangkan IUPJL pada hutan lindung selain diberikan kepada perorangan dan koperasi juga diberikan kepada BUMS nasional dan BUMN atau BUMD, dengan jangka waktu paling lama 35 tahun untuk pemanfaatan wisata alam dan luas wilayah kerja maksimal 10 persen dari luas blok pemanfaatan. Selain itu, ijin
71
tersebut juga bisa dipindah tangankan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemberi ijin, namun areal izin pemanfaatan hutannya tidak dapat dijadikan jaminan, agunan atau dijaminkan ke pihak lain. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 20 PP No.3/2008. Atas pemberian ijin pemanfaatan tersebut, selanjutnya negara selaku pemberi ijin menerima iuran dan dana pemanfaatan hutan, dimana pendapatan tersebut masuk kategori penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan tersebut dalam pasal 79 disebutkan diantaranya : iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provisi sumber daya hutan (PSDH), dan dana reboisasi (DR). Setiap pemegang ijin dalam pasal 70 PP No.3/2008 dijelaskan berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperoleh. Di samping hak tersebut, dalam pasal selanjutnya dikatakan bahwa setiap pemegang izin usaha berkewajiban diantaranya : (a). Menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja; (b). Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan; (c). Melaksanakan penataan batas areal kerja; (d). Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya; (e). Menata-usahakan keuangan kegiatan usahanya sesuai standar akuntasi kehutanan; (f). Mempekerjakan tenaga profesional; (g). Melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat; dan (h). Membangun kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat bagi BUMSN, BUMN dan BUMD pemegang IUPJL, IUPHHK dan IUPHHBK. Berdasarkan penjelasan diatas, diperolehlah pemahaman bahwa pemanfaatn hutan tidak terbatas menjadi tugas dan fungsi dari organisasi KPH sendiri sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 pada PP No.3/2008, tetapi memungkinkan pihak luar untuk melakukan pemanfaatan melalui mekanisme atau skema perizinan. c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan Kegiatan rehabilitasi hutan pada pasal 40 dan 41 UU No.41/1999 dimaksudkan untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaaan tanaman atau penerapan teknis konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif, sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Sedangkan kegiatan reklamasi pada pasal 44 ayat (1) UU No.41/1999 dimaksudkan untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat
72
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Untuk tujuan tersebut, dalam pasal 52 PP No.76/2008 disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui konsultasi publik, kemitraan dan penyampain informasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai kegiatan rehabilitasi dan reklamasi ini, bisa didapatkan dengan mempelajari isi pasal-pasal selanjutnya yang diatur dalam PP No.76/2008. Pada pasal 4 ayat 2 PP No.76/2008 disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelengaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan adalah penggunaan DAS sebagai unit pengelolaan. Untuk memahami tentang “penggunaan DAS sebagai unit pengelolaan” yang dimaksud oleh PP tersebut dapat dilihat pada penjelasan umumnya dimana diterangkan bahwa “perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi rehabilitasi
dilaksanakan dengan mendasarkan DAS sebagai unit analisis terpadu. Selain prinsip dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi juga dikenal kriteria dan standar. Pada pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) disebutkan bahwa kriteria dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan meliputi tiga aspek yaitu : kawasan, kelembagaan dan teknologi. Aspek kawasan meliputi kepastian penanganan kawasan yang ditentukan melalui analisis perencanaan berdasarkan ekosistem DAS, kejelasan status penguasaan lahan dan berdasarkan fungsi kawasan. Kemudian aspek kelembagaan meliputi sumber daya manusia yang kompeten, organisasi yang efektif menurut kerangka wewenang masing-masing dan tata hubungan kerja. Sedangkan aspek teknologi meliputi penerapan teknologi yang ditentukan oleh kesesuaian lahan atau tapak setempat, tingkat partisipasi masyarakat setempat dan penyediaan input yang cukup. Ketiga aspek tersebut dalam penjelasan umum dijelaskan bahwa dilaksanakan dalam satu sistem manajemen. Kegiatan rehabilitasi dalam pasal 8 ayat (1) dan pasal 9 ayat (2) PP No.76/2008 disebutkan dapat dilakukan di dalam dan di luar kawasan hutan dan berdasarkan wilayah DAS yang diprioritaskan. Selanjutnya pada pasal 11 dalam PP tersebut disebutkan kegiatan rehabilitasi diselenggarakan dalam dua tahapan yaitu : perencanaan dan pelaksanaan. Dalam perencanaan sendiri dikenal istilah rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan DAS (RTkRHL)-DAS; rencana
73
pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan (RPRHL); dan rencana tahunan rehabilitasi hutan dan lahan (RTnRHL) sebagaiman dijelaskan pada pasal 12 PP tersebut. Kemudian pada pasal berikutnya pasal 13, 15 dan 17 secara berturutturut disebutkan bahwa RTkRHL-DAS disusun dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, rencana tata ruang dan rencana pengelolaan DAS terpadu, dimana dalam dokumen perencanaannya minimal memuat : (a). Rencana pemulihan hutan dan lahan; (b). Pengendalian erosi dan sedimentasi; (c) Pengembangan sumber daya air; dan (d). Kelembagaan. Sementara RPRHL disusun berdasarkan RTkRHL-DAS, wilayah administrasi, rencana pengelolaan hutan dan potensi sumber daya yang tersedia, dimana dalam dokumen perencanaannya minimal memuat : (a). Kebijakan dan strategi; (b). Lokasi; (c). jenis kegiatan; (d). Kelembagaan; (e). Pembiayaan; dan (f). Tata waktu. RPRHL tersebut selanjutnya terdiri dari : RPR di dalam kawasan hutan (RPRH), dan RPR di lahan (RPRL). Sedangkan RTnRHL disusun berdasarkan RPRHL, dimana dalam dokumen perencanaannya minimal memuat : (a). Rancangan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan; (b). Detil lokasi dan volume kegiatan fisik; (c). kebutuhan biaya; (d). Tata waktu, (e). Kelembagaan; (f). Pembinaan, pelatihan, pendampingan dan penyuluhan; (g). Pemantauan, dan evaluasi. Selanjutnya pada tahapan pelaksanaan, dalam pasal 22 PP No.76/2008 disebutkan rehabilitasi hutan dan lahan, disesuaikan dengan RTnRH dan RTnRL yang telah disusun sebelumnya. Di dalam pasal berikutnya, dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dilakukan melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah. Sedangkan rehabilitasi lahan pada pasal 28 disebutkan akan dilakukan melalui kegiatan penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif. Sementara ketentuan pelaksanaan dari kegiatan rehabilitasi hutan berbeda untuk ke tiga fungsi hutan (konservasi, lindung dan produksi). Misalnya di dalam pasal 35 ayat 3 PP No.76/2008 diterangkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi dilaksanakan dengan ketentuan harus menanam jenis tumbuhan asli setempat, menanam tumbuhan yang sesuai dengan habitat setempat dan menanam dengan berbagai jenis tanaman hutan. Sedangkan kegiatan rehabilitasi pada hutan lindung dan produksi yang diatur dalam pasal 36
74
ayat 3 PP No.76/2008 dilaksanakan dengan ketentuan jenis tanaman yang ditanam harus sesuai dengan fungsi hidrologis, bersifat monokultur dan campuran serta menghindari jenis tumbuhan eksotis atau asing. Dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut, disamping kegiatan utamanya pada pasal 34 PP tersebut disebutkan beberapa kegiatan pendukung yang dapat dilakukan meliputi : (a). Pengembangan pembenihan; (b). Teknologi rehabilitasi hutan dan lahan; (c). Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; (c). Penyuluhan, pelatihan, dan pembinaan atau pemberdayaan masyarakat; dan (d). Pengawasan. Berbeda dengan kegiatan rehabilitasi yang hanya dikenal dua tahapan kegiatannya, tahapan kegiatan pada reklamasi hutan sebagaimana disebutkan pada pasal 43 ayat 1 PP No.76/2008 meliputi : (1) Invetarisasi lokasi; (b) Penetapan lokasi; (c). Perencanaan; dan (d). Pelaksanaan reklamasi. Di dalam pasal selanjutnya (pasal 44) disebutkan bahwa, invetarisasi lokasi merupakan kegiatan pengumpulan data dan informasi terhadap seluruh areal kawasan hutan yang akan terganggu dan/atau terganggu akibat penggunaan kawasan hutan. Kemudian penetapan lokasi merupakan kegiatan pemilihan dan penunjukan lokasi-lokasi yang terganggu sebagai akibat penggunaan kawasan hutan yang siap direklamasi. d. Perlindungan dan konservasi alam Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam pada pasal 46 UU No.41/1999 disebutkan bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Selanjutnya pada pasal 47 UU No.41/1999 diperjelas lagi, dimana disebutkan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya dalam pasal 48 ayat 5 dan pasal 50 ayat 3 UU No.41/1999 disebutkan bahwa dalam pelaksanaanya perlu mengikutsertakan masyarakat dan melarang setiap orang untuk mengerjakan dan
75
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah hutan; melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dalam radius 500 meter dari tepi waduk atau danau; 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai, dan…….” Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, diketahui bahwa untuk mencapai tujuan penyelenggaraan kehutanan, maka diatur hirarki kegiatan kehutanan mulai dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, rehabiltasi dan reklamasi hutan, dan terakhir perlindungan dan konservasi alam. Selanjutnya urusan pada masing-masing tahapan atau tingkatan kegiatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tingkat kewenangan sendiri-sendiri. Pertanyaan selanjutnya apakah peletakan wewenang dari setiap urusan tersebut sudah sesuai dengan hirarki makro, meso dan mikro.
6.1.1 Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro,meso dan mikro Peletakan posisi kewenangan yang terbaik pada prinsipnya adalah apabila wewenang tersebut ditempatkan sesuai dengan urusan, mandat atau kepentingan langsungnya. Untuk memudahkan dalam analisis peletakan wewenang atas sejumlah urusan yang diatur dalam peraturan perundangan tersebut, maka pertama dilakukan pengklasifikasian atas organisasi pengelolaan hutan. Goldman (2000) mengklasifikasikan organisasi pengelolaan hutan dalam tiga tingkatan, yaitu : (1). Orgnanisasi yang menangani wilayah pengelolaan hutan tingkat nasional dan provinsi digolongkan sebagai institusi tingkat makro; (2). Organisasi
yang
bekerja pada pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota dikategorikan sebagai institusi tingkat meso; dan (3). Organisasi yang mengurus pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan (KPH) adalah institusi tingkat mikro. Berdasarkan pengklasifikasian Goldman (2000) di atas, maka bisa dikatakan bahwa keseluruhan dari urusan tersebut menjadi kewenangan organisasi KPH, apabila merujuk pada pasal 8 serta pasal 9 PP No.3/2008 yang menyebutkan bahwa Menteri menetapkan organisasi KPH konservasi (KPHK), KPH lindung (KPHL) dan KPH produksi (KPHP) dengan salah satu tugas dan fungsinya adalah menyelenggarakan pengelolaan hutan melalui : (a). Tata hutan dan
76
penyusunan rencana pengelolaan hutan; (b) Pemanfaatan hutan; (c) Rehabilitasi hutan dan reklamasi; (d) Perlindungan hutan dan konservasi alam. Namun hasil identifikasi sebagaimana yang diinformasikan oleh Gambar 20, bahwa dari 52 urusan yang diatur, hanya 15 urusan atau sebesar 28,85 persen yang peletakan kewenangannya telah diposisikan secara tepat. Sedangkan sejumlah 71,15 persen menempatkan urusan pada tataran yang lebih tinggi dari yang seharusnya, dan tidak ada yang ditempatkan pada tataran yang lebih rendah. Bahkan separuh dari urusan-urusan tersebut diangkat ke peringkat yang lebih tinggi yakni menjadi kewenangan Menteri, hal ini menunjukkan adanya bias kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan kekuatan birokrasi. Temuan ini senada dengan hasil penelitian Ismanto (2010) yang melakukan analisis terhadap 60 peraturan menteri yang terbit sepanjang tahun 2000 sampai 2008, dimana dilaporkan dari 82 aspek yang diatur, hanya 44 persen aspek yang peletakan kewenangan tepat, selebihnya sebanyak 56 persen diletakan lebih tinggi dari seharusnya. Lima belas urusan tersebut antara lain menyangkut : (1). Penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan pendek; (2). Penetapan rencana pengelolan jangka pendek; (3). Pembangunan KPH dan infrastrukturnya; (4). Pelaksanaan penataan hutan meliputi : tata batas; inventarisasi hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan pemetaan); (5). Pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK; (6). Pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IPHHK; (7). Usulan alokasi dan penetapan areal untuk pembangunan HTR; (8). Pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan produksi dan lindung yang pengelolaannya di bebani hak; (9). Pelaksana rehabilitasi lahan yang dibebani hak; (10). Pelaksana pemeliharaan tanaman pada hutan produksi dan lindung; (11). Pemeliharaan tanaman pada hutan yang dibebani hak; (12). Pelaksana pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi lahan yang dibebani hak; (13). pelaksana reklamasi pada hutan hak; (14). Pengamanan hasil reklamsi pada hutan hak; (15). Perlindungan hutan pada hutan hak. Sementara 37 urusan yang dinilai belum tepat peletakan kewenagannya antara lain meliputi : (1). Penyusunan rencana dan kegiatan pengelolaan yang belum terbentuk organisasi KPH; (2). Penetapan rencana jangka panjang; (3).
77
Penetapan luas wilayah KPH; (4). Penetapan organisasi KPH; (5). Pemberian dan evaluasi ijin pemanfaatan hutan (IUPK & IUPJL); (6). Pemberian dan evaluasi ijin IUPHHK pada (restorasi ekosistem, HTI, HTR dan HTHR) dalam hutan alam; (7). Pendampingan guna penguatan kelembagaan bagi pemegang IUPHHK HTR; (8). Pemberian dan evaluasi ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK); (9). Pemberian dan evaluasi ijin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK); (10). Pemberian dan evaluasi ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK); (11). Perpanjangan ijin (IUPK, IUPJL, IUPHHBK, dan IPHHBK); (12). Pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK; (13). Pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK-HTR; (14). Pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHBK; (15). Pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) yang telah disusun oleh pemegang IUPHHBK; (16). Pembentukan lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI dan HTR; (17). Mengalokasikan dan penetapan areal tertentu untuk pembangunan HTR; (18). Penetapan harga dasar penjualan kayu pada HTR; (19). Penyusunan dan penetapan RTkRHL-DAS; (20). Penetapan RPRH pada hutan produksi dan lindung; (21). Penetapan RPRH pada hutan konservasi; (22). Penetapan RPRL; (23). Penyusunan RTnRH yang belum dibebani hak/izin; (24). Penetapan RTnRL; (25). Pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan konversi; (26). Pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan lindung; (27). Pendampingan atas pelaksanaan rehabilitasi hutan oleh pemgang hak; (28). Pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan lindung dan produksi yang tidak dibebani hak; (29). Pelaksana rehabilitasi lahan; (30). Pelaksana pemeliharaan tanaman pada hutan konservasi; (31). Pemeliharaan tanaman pada hutan taman raya; (32). Pelaksana pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi lahan; (33). Penilaian dan persetujuan recana reklamasi; (34). Pelaksana reklamasi pada areal bencana alam secara murni; (35). Penetapan besaran dana jaminan reklamasi atas usulan pemegang izin; (36). Penilaian keberhasilan pelaksanaan reklamasi; (37). Perlindungan hutan pada hutan negara.
78
KEWENANGAN
Makro ( Menteri) Makro (Gubernur) Meso (Bupati/ Walikota) Mikro (Kepala KPH/ Pemegang hak/izin)
2,3,9,10,11,12,13,15,16, 22,24,25,26,28,30,32,35, 39,45,48,49,50,51 9,12,13,14,15,19,20,33, 35,36,41,45,48,49,51 9,11,12,13,14,15,18,19, 20,27,29,31,33,35,36,37, 40,41,44,45,48,49,51
6 26
26
6 6
1,4,8,17,21,23,34,38,40, 42,43,46,47,52
UU No.41/1999; PP No.3/2008; & PP. No.76/2008
Mikro KPH
Meso (Kab)
Makro (Linkab.)
Makro (Linprov)
URUSAN
Ket.Angka : kode urusan (terlampir)
Gambar.20 Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 52 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut (Sumber : Data sekunder diolah, 2011) Perilaku yang berorientasi pada pengumpulan kekuatan birokrasi sebagaimana disebutkan di atas, sejalan dengan pendapat Osborn dan Plastrik (2001) yang menyatakan bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya dengan mengkondisikan peraturan yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan atau dikenal dengan istilah perversi kekuasaan. Indikasi perilaku perversi kekuasaan tersebut, salah satunya terlihat dari hilangnya hak exclusion, dimana berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostrom (1992), organisasi KPH sebagai pengelola seharusnya memiliki hak access and witdrwal, management dan hak
exclusion. Hak exclusion yang dimaksud adalah hak dalam pemberian ijin usaha pemanfaatan hutan. Kewenangan dalam pemberian ijin seharusnya tidak perlu menjadi urusan Bupati/Walikota, Gubernur ataupun Menteri, tetapi cukup menjadi kewenangan organisasi KPH, karena ijin tersebut hanya sebagai sebuah kontrak jual beli dalam pemanfaatan hutan atau hanya sebatas hubungan transaksional individual dalam satu KPH sebagai wilayah kerjanya. Ismanto (2010) memprediksi bahwa perilaku preversi kekuasaan tersebut akan berakibat buruk bagi aktivitas pengelolaan hutan karena resiko terkooptasinya organisasi KPH oleh pihak-pihak yang berkuasa lebih besar ketimbang dengan menjadikan organisasi pengelola tersebut sebagai sebuah entitas yang mandiri.
79
6.2 Urusan-urusan yang diatur dalam Undang-Undang No. 7/2004; dan Peraturan Pemerintah No. 42/2008 Dari segi struktur, Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air terdiri dari 18 bab dan 100 pasal. UU ini merupakan satu dari dua UU yang menjadi bahasan utama dalam riset ini. Fokus dari UU ini, serta peraturan turunannya yakni PP No. 42 tahun 2008 tentang pengelolaan sumber daya air lebih kepada pengaturan pengelolaan air di sungai dan badan sungai mulai dari
kegiatan konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air. Namun di samping itu, juga diatur hal-hal terkait dengan pembangunan sarana dan prasarana, distribusi serta kelembagaan. Guna memperoleh gambaran lebih utuh tentang isu atau urusan-urusan yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2004 beserta PP No.42 Tahun 2008, maka sama halnya pada analisis peraturan perundangundangan sebelumnya, difokuskan pada mempelajari isi atas pasal-pasal yang menjadi pusat perhatian dari peraturan perundangan-undangan tersebut, sebagaimana telah disebutkan di atas (tulisan cetakan tebal). Untuk memulai dalam mempelajari isi atas pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut, pertama akan diawali dengan melihat fungsi atas sumber daya air. Pada pasal 4 UU No.7/2004 disebutkan ada tiga fungsi sumber daya air yaitu sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Pengertian dari ketiga fungsi tersebut, bisa didapatkan dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : “….fungsi sosial berarti bahwa sumber daya air untuk kepentingan umum lebih
diutamakan daripada kepentingan pribadi. Fungsi lingkungan hidup berarti bahwa sumber daya air menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna. Sedangkan fungsi ekonomi berarti bahwa sumber daya air dapat didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha” Atas ketiga fungsinya itulah, dalam pasal 5 UU No.7/2004 disebutkan negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Dalam upaya tersebut, negara memberikan kewenangan kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana disebutkan pada pasal berikutnya (pasal 6) untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air sesuai kewenangannya. Kewenangan tersebut dalam pasal 14, 15 dan 16 disebutkan meliputi : (a). Menetapkan kebijakan sumber daya air; (b). Menetapkan pola pengelolaan
80
sumber daya air pada wilayah sungai; (c). Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; (d). Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai; (e). Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; (f). Mengatur, menetapkan dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai; (g). Membentuk dewan sumber daya air; (h). Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai. Penyelenggaraan sebagaimana
pengelolaan
diterangkan
dalam
sumber
pasal
6,
daya
air
oleh
didefinisikan
pemerintah
sebagai
upaya
merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan, dan pengendaliaan daya rusak air (pasal 7 ayat 1). Pengelolaan itu sendiri, pada pasal 3 UU No.7/2004 disebutkan akan dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-sebesarnya
kemakmuran
rakyat.
Pengertian
pengelolaan
secara
menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan yang dimaksud dalam pasal 3 di atas, dapat diambil dalam penjelasan umumnya sebagai berikut : “…..pengelolaan
yang
mencakup
semua
bidang,
meliputi
konservasi,
pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi dengan melibatkan semua pemilik kepentingan antar sektor dan antar wilayah administrasi dan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan” Selain pendekatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3, pada pasal 4 PP No.42/2008 diterangkan pula bahwa pengelolaan sumber daya air harus berlandaskan pada tiga hal yaitu : (a). Kebijakan pengelolaan sumber daya air di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b). Wilayah sungai dan cekungan air tanah yang ditetapkan; dan (c). Pola pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No.7/2004 dan atau 4 PP No.42/2008 di atas, maka dalam pasal 11 UU No.7/2004 disebutkan bahwa
81
“………disusunlah pola pengelolaan berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah serta keseimbangan antara konservasi sumber daya air dan pendayagunaan sumber daya air dengan melibatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya”. Pola pengelolaan tersebut diartikan dalam pasal 1 ayat (8) UU No.7/2004 sebagai kerangka
dasar
dalam
merencanakan,
melaksanakan,
memantau,
dan
mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Sama halnya pada analisis sebelumnya, setelah memperoleh penjelasan tentang tujuan umum dari penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air, maka tahapan selanjutnya adalah melihat apakah urusan-urusan yang menyangkut ke tiga kegiatan tersebut sudah mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air. Berikut uraian isi pasal-pasal dari tiga kegiatan tersebut, yaitu : a. Konservasi sumber daya air Konservasi sumber daya air, pada pasal 1 ayat (18) UU No.7/2004 didefinisikan sebagai upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Sementara tujuan dari konservasi itu sendiri dijelaskan dalam pasal berikutnya (pasal 20 ayat 1) adalah untuk menjaga kelangsungan keberadaan sumber daya air, daya dukung, daya tampung dan fungsinya. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan daya dukung dan daya tampung, maka bisa dilihat pada penjelasan umumnya sebagai berikut : “ …..daya dukung sumber daya air adalah kemampuan sumber daya air untuk
mendukung prikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sedangkan daya tampung sumber daya air adalah kemampuan air dan sumber air untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Dalam upaya mencapai tujuan konservasi tersebut, pada pasal yang sama (pasal 20 UU No.7/2004) juga disebutkan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, dan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Bentuk kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air yang dimaksud pada pasal 20 di atas, dalam pasal 21 disebutkan
82
bahwa, akan dilakukan melalui kegiatan yaitu : (a). Pemeliharaan kelangsungan fungsi resepan air dan daerah tangkapan air; (b). Pengendalian pemanfaatan air; (c). Perlindungan sumber air dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air; (d). Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu; (e) pengaturan daerah sempadan sumber air; dan (f). Rehabilitasi hutan dan lahan. Kemudian kegiatan pengawetan air, dalam pasal 22 disebutkan akan dilakukan melalui : (a). Menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu diperlukan; (b). Menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau (c). Mengendalikan penggunaan air tanah. Sedangkan kegiatan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran dalam pasal 23 disebutkan akan dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas pada sumber dan prasarana sumber daya air. Kegiatan pemeliharaan kelangsungan fungsi resepan air dan daerah tangkapan air yang dimaksud dalam poin (a) pasal 21 di atas, dalam pasal 51 PP No. 42/2008 disebutkan bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya untuk: (a). Menunjuk dan/atau menetapkan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air; (b). Menetapkan peraturan untuk melestraikan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air pada kawasan; (c). Mengelola kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air; (d) Menyelenggarakan program pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan air pada kawasan; (e). Melaksanakan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan air pada kawasan. Selanjutnya kegiatan pengendalian pemanfaatan sumber daya air yang dimaksud dalam poin (b) dari pasal 21 di atas, dalam pasal 52 PP No.42/2008 disebutkan bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya menyelenggarakan program pengendalian pemanfaatan sumber daya air melalui pemantauan dan pengawasan berdasarkan ketentuan pemanfaatan zona pada sumber air. Kemudian kegiatan perlindungan sumber air dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air dalam poin (c) pasal 21, pada pasal 55 PP No.42/2008 disebutkan bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air
83
dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya menyelenggarakan perlindungan sumber air melalui pengaturan terhadap kegiatan pembangunan dan/atau pemanfaatan lahan sesuai dengan ketetapan pemanfaatan zona pada sumber air. Poin (d) dalam pasal 21 yang menyangkut pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu, pada pasal 56 PP No.42/2008 disebutkan bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya menyelenggarakan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu guna mencegah lonsor, mengurangi laju erosi tanah, mengurangi tingkat sedimentasi pada sumber air dan prasarana sumber air, dan atau meningkatkan resapan air ke dalam tanah. Kemudian menyangkut pengaturan daerah sempadan sumber air pada poin (e) dari pasal 21, disebutkan pada pasal 57 dan 58 PP No.42/2008 bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya menetapkan daerah sempadan air setelah berkonsultasi dengan wadah koordinasi dan melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengaturan sempadan air serta mempertahankan fungsi daerah sempadan air melalui (i). Mencegah pembuangan air limbah yang tidak memenuhi baku mutu, limbah padat, dan/atau limbah cair; (ii). Mencegah pendirian bangunan dan pemafaatan lahan yang dapat menggangu aliran air; mengurangi kapasitas daya tampung sumber air atau tidak sesuai dengan peruntukannya; dan (iii). Merevitalisasi daerah sempadan air guna mempertahakan fungsi daerah sempadan air. Selanjutnya menyangkut rehabilitasi hutan dan lahan pada poin (f) dalam pasal 21, disebutkan pada pasal 59 PP No.42/2008 bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dan sekaligus menyelenggarakan pemantauan dan pengawasan atas pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut. Kemudian terkait dengan urusan menyimpan air, menghemat air dan mengendalikan penggunaan air tanah masing-masing pada poin (a), (b), dan (c) dalam pasal 22, disebutkan pada pasal 61, 62 dan 63 PP No.42/2008 bahwa Menteri yang terkait dengan sumber daya air dan/atau
84
pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya mengaktifkan peran masyarakat dalam menyimpan air, melakukan upaya penghematan diantaranya dengan menerapkan tarif penggunaan air yang bersifat progresif; menggunakan air secara efisien dan efektif untuk segala macam kebutuhan dan memberikan insentif bagi pelaku penghemat air dan disinsentif bagi pelaku boros air serta melakukan pengendalian air tanah dengan prinsip mengutamakan penggunaan air dari sumber air permukaan dan membatasi penggunaan air tanah dalam hal ketersedian sumber air permukaan terbatas, dengan tetap mengutamakan penggunaan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Terkahir, urusan yang menyangkut perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air yang diatur pada pasal 23 UU No.7/2004, pada pasal 64 PP No.42/2008 disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya melakukan perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air melalui : (a). Penetapan kelas air dan baku mutu air pada sumberair; (b). Pemantauan kualitas air pada sumber air; (c). Pengendalian kerusakan sumber air; (d). Penanggulangan pencemaran air pada sumber air; dan (e). Perbaikan fungsi lingkungan untuk mengendalikankualitas air. b. Pendayagunan sumber daya air Pendayagunaan sumber daya air dalam pasal 1 ayat (19) diartikan sebagai upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Sementara tujuan dari pendayagunaan tersebut, dalam pasal 26 ayat (2) dijelaskan untuk memanfaatakan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil. Untuk tujuan tersebut, maka pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dijelaskan pada pasal 26 ayat (4) diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik antar sektor, antar wilayah maupun antar kelompok masyarakat dengan mendorong pola kerja sama. Untuk
memperoleh
gambaran
lebih
lanjut
mengenai
kegiatan
penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan sumber daya air yang notabene bagian dari kegiatan pendayagunaan sumber daya air adalah dengan mempelajari isi atas pasal-pasal dalam PP No.42/2008. Berikut
85
dibawah ini uraian dari ke lima bentuk kegiatan pendayagunaan sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (19) UU No.7/2004 : 1. Penatagunaan sumber daya air, pada pasal 65 disebutkan bahwa penatagunaan sumber daya air dihajatkan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air. Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 66 ayat (4) dan (5) menetapkan zona pemanfaatan sumber air dengan mempertimbangkan rekomendasi wadah koordinasi pada wilayah sungai bersangkutan. Namun sebelum penetapan perlu dilakukan perencanaan, dimana dalam pasal 66 ayat (2) disebutkan bahwa dalam merencanakan penetapan zona pemanfaatan sumber air, Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai wewenang dan tanggung jawabnya melakukan kegiatan diantaranya berupa inventarisasi jenis pemanfaatan yang sudah ada, menganalisis kelayakan lingkungan dan potensi konflik kepentingan antar jenis pemanfaatan yang ada. Penetapan zona itu sendiri dalam pasal 66 ayat (1) ditujukan untuk mendayagunakan fungsi atau potensi yang terdapat pada sumber air secara berkelanjutan. Sedangkan peruntukan air dalam pasal 67 ditujukan untuk mengelompokan penggunaan air ke dalam beberapa golongan penggunaan air termasuk baku mutu air. Sementara penyusunan peruntukannya, dalam pasal 68 disebutkan akan dikoordinasikan melalui wadah koordinasi pada wilayah sungai bersangkutan dan penyusunannya dilakukan dengan memperhatikan : (a). Daya dukung sumber air, (b). Jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya, (c). Penghitungan dan proyeksi kebutuhan air, dan (d) Pemanfaatan air yang sudah ada. 2. Penyedian sumber daya air, dalam pasal 69 dilakukan berdasarkan prinsip yaitu: (a). Mengutamakan penyediaan air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat pada sistem irigasi yang sudah ada; (b). Menjaga kelangsungan penyedian air untuk pemakai air lain yang sudah ada; dan (c). Memperhatikan penyediaan air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi penduduk yang berdomisili di dekat sumber air dan atau sekitar jaringan pembawa air. Ketiga prinsip tersebut sebagaimana diterangkan dalam pasal 70 akan menjadi dasar penetapan urutan prioritas penyediaan
86
sumber daya air pada setiap wilayah sungai, oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dengan pertimbangan wadah koordinasi pada wilayah sungai bersangkutan, dimana prioritas utamanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk memenuhi kebutuhan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada. Masih dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa dalam hal penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air menimbulkan kerugian bagi pemakai, maka pemerintah atau pemerintah daerah mengatur konpensasi bagi pemakai yang dirugikan sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. 3. Penggunaan sumber daya air, pada pasal 73 ayat (1) dan (3) ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media dan/atau materi dan dilakukan dengan prinsip penghematan penggunaan, ketertiban dan keadilan, ketepatan penggunaan, keberlanjutan penggunaan, dan penggunaan yang saling menunjang antara air permukaan dan air tanah dengan memprioritaskan penggunaan air permukaan. Dalam hal penggunaan sumber daya air, pada pasal berikutnya disebutkan bahwa pengelola berkewajiban diantaranya menjamin alokasi sumber daya air bagi pengguna, memelihara sumber daya air dan prasarananya dan memantau dan mengawasi penggunaan sumber daya air. Selanjutnya pada pasal 75 dijelaskan bahwa penggunaan sumber daya air baik oleh perseorangan, kelompok masyarakat pemakai air, badan sosial, dan atau badan usaha didasarkan pada hak guna air. Masih dalam pasal yang sama disebutkan bahwa hak guna air terdiri dari hak guna pakai air dengan izin dan tanpa izin serta hak guna usaha air. Hak guna pakai air tanpa izin hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada. Artinya penggunaan di luar itu termasuk pemenuhan kebutuhan pokok seharihari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat dengan cara mengubah kondisi alami sumber air, kebutuhan pokok sehari-hari yang dilaksanakan oleh kelompok orang dan badan sosial dan keperluan irigasi pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada wajib disertai izin dari Menteri,
87
Gubernur dan atau Bupati/Walikota sesuai wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 101. Para pemegang izin penggunaan sumber daya air, pada pasal 104 dan 105 disebutkan tentang kewajiban dan haknya. Kewajiban bagi pemegang izin diantaranya : (a). Membayar biaya jasa pengelolaan air; (2). Melindungi dan memelihara fungsi sumber daya air; dan (3). Memberikan akses untuk penggunaan air dari sumber air yang sama bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat di sekitar lokasi kegiatan. Sedangkan haknya diantaranya : menggunakan air dan membangun sarana dan prasarana air. 4. Pengembangan sumber daya air, pada pasal 76 disebutkan akan dilakukan melalui perencanaan dan pelaksanaan, dimana dalam pasal selanjutnya yakni pasal 77 disebutkan perencanaan tersebut dilakukan sesuai dengan standar, norma, pedoman dan manual yang ditetapkan oleh Menteri terkait, dengan mengacu pada kegiatan survei dan investigasi. Sementara pelaksanaannya dalam pasal 78 disebutkan akan diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah serta mempertimbangkan daya dukung sumber daya air, kekhasan dan aspirasi daerah dan masyarakat setempat, dan kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air. Pengembangan air yang dimaksud dalam pasal 76, pada pasal 79 disebutkan meliputi : air permukaan pada sungai, rawa, danau, dan sumber air pada permukaan lain, air tanah pada cekungan air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 5. Pengusahaan sumber daya air, pada pasal 84 disebutkan akan dilaksanakan setelah terpenuhinya keperluan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada dan dengan memperhatikan fungsi sosial dan lingkungan hidup. Pasal tersebut menegaskan bahwa tidak dibenarkan pengusahaan air untuk keperluan lain sepanjang keperluan yang menjadi prioritas utama pemanfaatan belum terpenuhi. c. Pengendalian daya rusak air Pengendalian daya rusak air pada pasal 1 ayat (21) UU No.7/2004 diartikan sebagai upaya untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Pencegahan,
88
yang dimaksud, dalam pasal 53 UU No.7/2004 disebutkan akan dilakukan melalui kegiatan fisik dan atau non fisik serta melalui penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai. Pencegahan melalui kegiatan non fisik lebih diuatamakan. Pengertian tentang kegiatan fisik, non fisik dan penyeimbangan hulu dan hiir wilayah sungai yang dimaksud dalam pasal 53, bisa didapatkan dalam penjelasan umunya sebagai berikut : “….. kegiatan fisik adalah pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka
mencegah kerusakan atau bencana, sedangkan kegiatan non fisik adalah meliptui pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Sementara yang dimaksud penyeimbangan hulu dan hilir adalah penyelarasan antara upaya kegiatan konservasi di bagian hulu dengan pendayagunaan di bagian hilir”. Sederet kegiatan non fisik di atas mulai dari pengaturan, pembinaan, pengawasan hingga pengendalian, bisa didapatkan penjelasan lebih lanjutnya dalam pasal 87 PP No. 42/2008, dimana disebutkan bahwa kegiatan pengaturan diantaranya meliputi penetapan kawasan rawan bencana dan penetapan sistem peringatan dini; kegiatan pembinaan salah satunya penyebarluasan informasi dan penyuluhan;
kegiatan
pengawasan
salah
satunya
meliputi
pengawasan
penggunaan lahan pada kawasan rawan bencana; dan kegiatan pengendalian salah satunya meliputi pengendalian penggunaan lahan pada kawasan rawan bencana. Kesemuan kegiatan tersebut, secara berturut-turut dalam pasal 88, 89 dan 91 PP No. 42/2008 disebutkan akan dilakukan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Selanjutnya terkait kegiatan penanggulangan dalam pasal 54 disebutkan akan dilakukan dengan mitigasi bencana yang dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Penyusunan, penetapan hingga sosialisasi prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan atau bencana akibat daya rusak air sebagaimana disebutkan dalam pasal 93 PP No.42/2008 dilakukan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Terkhir terkait kegiatan pemulihan, dalam pasal 57 UU No.7/2004 disebutkan akan dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana sumber daya air. Pemulihan yang
89
dimaksud dalam pasal 57 tersebut, pada pasal 94 PP No.42/2008 dijelaskan akan dilakukan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya melalui kegiatan rehabilitasi dan konstruksi. Berdasarkan uraian urusan atau ketentuan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan di atas, diperolehlah pemahaman bahwa isu yang terkait perilaku dan aktivitas orang dan makhluk hidup lain yang saling berinteraksi di dalam DAS atau dinamika penggunaan lahan pada kepemilikan masyarakat (private property) kurang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Demikian pula untuk aspek kelembagaan, penekanannya hanya pada organisasi pengelola sumber daya air yang sifatnya koordinatif dari nasional hingga kabupaten/kota dan antar sektor. Minimnya pengaturan tentang kedua isu tersebut, maka praktis kehadiran dari UU No. 7/2004 belum mampu menjawab persoalan yang ada, salah satu terkait meningkatnya lahan kritis dalam kawasan DAS. Padahal DAS adalah ekosistem tempat dimana air tersebut mengalir dari hulu hingga hilir. Terlepas dari kelemahannya, diketahui bahwa urusan pada masingmasing kegiatan yang diatur dalam peraturan perundang-undang tersebut memilki tingkat kewenangan sendiri-sendiri. Pertanyaan selanjutnya bagaimanakah pengaturan penempatan tugas dan wewenang pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada tataran hirarki makro, meso dan mikro.
6.2.1 Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro,meso dan mikro Guna memudahkan dalam analisis, maka sama halnya dalam pemetaan posisi peletakan kewenangan atas peraturan perundang-undangan sebelumnya, dalam
konteks
peraturan
perundang-undangan
ini
juga,
dilakukan
pengklasifikasian organisasi pengelolaan sumber daya air untuk setiap wilayah sungai dengan tetap merujuk pada klasifikasi Goldman (2000) dengan sedikit modifikasi. Klasifikasi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu : organiasi yang menangani pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai tingkat nasional atau lintas provinsi digolongkan sebagai institusi tingkat makro, kemudian organiasi yang menangani pengelolaan sumber daya air pada wilayah tingkat provinsi atau lintas kabupaten digolongkan sebagai institusi tingkat meso, dan organiasi yang menangani pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang berada dalam satu kabupaten digolongkan sebagai institusi tingkat mikro. Hasil identifikasi
90
menunjukkan ada 47 urusan utama yang diatur oleh peraturan perundangundangan tersebut dengan posisi peletakan kewenangannya masing-masing, seperti disajikan pada Gambar 21. Matrik peletakan kewenangan tersebut, menginformasikan bahwa dari 47 urusan tersebut, 45 urusan atau 95,74 persen diantaranya telah diposisikan pada tingkat makro, meso dan mikro secara tepat. Sedangkan sisanya sebanyak 4,26 persen diletakan pada tataran lebih tinggi, dan tidak ada yang ditempatkan pada tataran yang lebih rendah. Urusan-urusan dengan peletakan kewenanagan yang sudah tepat antara lain menyangkut : (1). Penetapan kebijakan sumber daya air; (2). Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; (3). Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; (4). Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai; (5). Pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; (6). Pengaturan, penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai; (7). Pengaturan, menetapakan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai; (8). Pembentukan dewan sumber daya air; (9). Fasilitasi penyelesaian sengketa dalam pengelolaan air; (10). Perlindungan dan pelestarian sumber daya air; (11). Penunjukan dan penetapan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air; (12). Penetapan peraturan untuk pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan; (13). Pengelolaan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air; (14). Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi resapan air; (15). Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan air; (16). Pelaksanaan perlindungan sumber air; (17). Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu; (18). Penetapan daerah sempadan air; (19). Melakukan pemantauan dan pengawasan atas pelaksanaan pengaturan sempadan air; (20). Mempertahankan fungsi daerah sempadan air; (21). Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sekaligus pemantauan dan pelaksanaan dari kegiatan rehabilitasi; (22). Penerapan tarif penggunaan air yang bersifat progresif; (23). Pemberian insentif dan disinsentif bagi pengguna air; (24). Penetapan kelas dan baku mutu air pada sumber air; (25).
91
Penanggulangan pencemaran air pada sumber air; (26). Perbaikan fungsi lingkungan untuk pengendalian kualitas air; (27). Penetapan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air; (28). Inventarisasi jenis pemanfaatan air yang sudah ada; (29). Pemetaan potensi konflik kepentingan antar jenis pemanfaatan yang sudah ada; (30). Penetapan urutan prioritas penyediaan air pada setiap wilayah sungai; (31). Penetapan dan perubahan rencana penyediaan sumber daya air tahunan; (32). Pemberian, pembatalan, pembekuan atau diberlakukan lagi izin pengusahaan/penggunaan air; (33). Pemberian izin pelaksanaan konstruksi pada sumber air; (34). Penetapan jangka waktu izin penggunaan air; (35). Penetapan kawasan rawan bencana pada setiap wilayah sungai; (36). Penetapan sistem peringatan dini pada setiap wilayah sungai; (37). Penyebarluasan informasi dan penyuluhan; (38). Pelaksanaan penanggulangan kerusakan dan atau bencana akibat daya rusak air melalui mitigasi bencana; (39). Penyusunan dan penetapan prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air; (40). Sosialisasi prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air; (41). Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk pemulihan akibat becana; (42). pengelolaan sistem informasi sumber daya air; (43). Penyediaan anggaran pembiayaan pengelolaan sumber daya air; (44). Penetapan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air; (45). Penyusunan dan penetapan pedoman perhitungan dan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Sedangkan dua urusan yang belum diletakan secara tepat menyangkut penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pengelolaan air serta penetapan wilayah sungai yang masing-masing diatur dalam pasal 14 UU No.7/2004 dan pasal 12 PP No.42/2008. Informasi pada Gambar 21 tersebut, sekaligus memberikan pemahaman bahwa peraturan perundang-undangan ini (UU No.7/2004 dan PP No.42/2008) memiliki tingkat kesesuaian antara urusan dengan peletakan kewenangannya lebih baik daripada peraturan perundang-undangan sebelumnya (UU No.41/1999 tentang kehutanan; PP No.3/2008 perubahan dari PP No.6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan; dan PP No. 76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan). Meskipun masih terdapat
92
ketidakpatutan dalam peletakan kewenangan, namun hal tersebut belum dikategorikan sebagai bias kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah preversi kekuasaan yang diperkenalkan oleh Obsorn dan Plastrik (2001), karena kedua urusan tersebut dipandang sudah selayaknya menjadi kewenangan Menteri atau pemerintah pusat. Keduanya masuk kategori kebijakan publik yang mengatur kepentingan yang bersifat umum dan berdampak nasional. Namun dalam penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pengelolaan air, sebaiknya pemerintah pusat tetap memperhatikan karakteristik atau kekhasan lokal yang mungkin antara daerah satu dengan daerah lain berbeda.
Makro ( Menteri) 10,11 KEWENAN G A N
1,2,3,4,5,6,7,8,9, 12,13,14,15,16, 17,18,19,20,21, 22,23,24,25,26, 27,28,29,30,31, 32,33,34,35,36, 37,38,39,40,41, 42,43,44,45,46, 47
Meso (Gubernur)
Mikro (Bupati/ Walikota)
UU No.7/2004 & PP No.42/2008
10,11
1,2,3,4,5,6,7,8,9, 10,1112,13,14, 15,16,17,18,19, 20,21,22,23,24, 25,26,27,28,29, 30,31,32,33,34, 35,36,37,38,39, 40,41,42,43,44, 45,46,47
1,2,3,4,5,6,7,8,9, 12,13,14,15,16,17, 18,19,20,21,22,23, 24,25,26,27,28,29, 30,31,32,33,34,35, 36,37,38,39,40,41, 42,43,44,45,46,47 Mikro (Kabupaten)
Meso (Propinsi) URUSAN
Makro (Pusat)
Ket. Angka dalam sel adalah kode dari urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Gambar 21. Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 47 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut (Sumber: Data Sekunder diolah, 2011)
93
6.3 Implikasi ketidaktepatan peletakan kewenangan urusan Ketidaktepatan peletakan wewenang dengan menempatkan urusan pada tataran lebih tinggi dari seharusnya, sebagaimana kasus pada UU No. 41/1999 tentang kehutanan, tentunya membawa implikasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pertanyaannya, bagaimana implikasi atas masalah institusi kehutanan tersebut? di bawah ini, diuraikan implikasi yang mungkin ditimbulkan. Ketidaktepan yang dimaksud ialah mengangkat urusan pada tataran yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini tentu bukan saja tidak berada dalam satu tingkatan yang sama, namun juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan rentang kendali. Bayangkan urusan-urusan di level mikro, tetapi kewenangannya berada pada organisasi di level meso atau makro tentunya memiliki rentang kendali yang jauh dan pada gilirannya diperlukan pengawasan yang ekstra kuat. Ketika pengawasan tidak dapat dioptimalkan akibat mahalnya biaya pengawasan, maka dipastikan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi guna memproduksi multiproduk yang memberi manfaat lingkungan, sosial dan manfaat ekonomi yang optimal sebagaimana dikehendaki undang-undang sulit terpenuhi. Salah satu contoh urusan dalam UU No.41/1999 yang dinilai tidak tepat dan berimplikasi pada tidak optimalnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS ialah penyusunan dan penetapan rencana teknis rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS (RTkRHL-DAS). Urusan tersebut menjadi kewenangan Menteri (lihat lampiran), yang semestinya cukup menjadi kewenangan organisasi KPH sebagai organisasi penyelenggara pengelolaan hutan, karena Menteri tentu memiliki keterbatasan informasi atas kondisi biofisik dan karakteristik DAS yang khas, akibat persoalan rentang kendali yang demikian jauh tadi. Penyusunan RTkRHL-DAS, tanpa ditunjang oleh informasi yang cukup, dipastikan dokumen yang dihasilkan kurang relevan untuk diaplikasikan guna menjawab persoalan lahan kritis dalam kawasan DAS. Namun, dengan menjadikan urusan tersebut sebagai kewenangan organisasi KPH (KPH Batulanteh) praktis akan jauh lebih efektif, karena organisasi tersebut dinilai memiliki cukup informasi atas kondisi Sub DAS, sebagai landasan mereka dalam penyusunan RTkRHL-DAS tersebut. Informasi yang dimaksud misalnya
94
menyangkut luasan dan tingkat kekritisan lahan, struktur kepemilikan lahan dalam kawasan Sub DAS, kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Sub DAS dan informasi lainnya. Dengan dukungan informasi yang lengkap tentunya akan menghasilkan dokumen RTkRHL-DAS yang sesuai dengan kondisi dan karateristik Sub DAS Batulanteh. Implikasi lebih lanjut atas persoalan rentang kendali yang jauh, ketidaklengkapan infromasi dan tidak optimalnya pengawasan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu hadirnya moral hazard problem. Permasalahan ini muncul manakala praktek pengelolaan hutan di KPH Batulanteh nantinya diserahkan pada pihak swasta melalui skema perizinan. Kasus muncul persoalan
moral hazard di sektor kehutanan dapat dijumpai dari hasil penelitian penelitian Ismanto (2010) yang menerangkan bahwa dari hasil penilaian integritas perusahaan pemegang IUPHHK tahun 2008 dan 2009, hanya 15 persen perusahaan contoh yang dapat menempatkan secara perioritas kegiatannya untuk pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas.
VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Setelah memahami apa yang menjadi urusan di dalam peraturan perundang-undangan, kemudian kondisi pelatakan kewenangan atas sejumlah urusan tersebut, maka tahapan selanjutnya perlu diketahui tentang respon pemerintah daerah selaku eksekutor peraturan di tingkat daerah dan masyarakat atas sejumlah ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Informasi tentang tingkat respon ini penting untuk digali, guna memudahkan dalam mengungkap sekaligus memastikan, apakah persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS saat ini, sebagai turunan dari buruknya kualitas respon atau ada persoalan lain. Untuk tujuan tersebut, pada bagian ini dilakukan penelusuran terhadap rencana strategis (RENSTRA) di dua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa. Pemilihan atas kedua instansi tersebut, atas pertimbangan ada kesesuaian tugas dan fungsi pokok serta wewenangnya dengan isu penyelenggaraan pengelolaan DAS. Dari penelusuran tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan memeriksa laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP) dari kedua SKPD tersebut untuk melihat persentase implementasi dari setiap program yang dicanangkan dalam RENSTRA. Dua tahapan tersebut, merupakan instrumen yang digunakan dalam riset ini dalam rangka mengukur tingkat respon pemerintah daerah terhadap enam amanat peraturan perundang-undangan. Sementara untuk mengukur respon masyarakat selaku penerima dampak kebijakan, adalah dengan melihat bentuk keterlibatan mereka dalam sejumlah program pemerintah dan juga inisiatif yang pernah mereka lakukan terkait upayanya dalam pelestarian Sub DAS.
7.1 Respon Pemerintah Daerah Ke-enam amanat peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan dalam mengukur tingkat respon pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut :
96
7.1.1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU No.41/1999 kepada pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya adalah meningkatkan daya dukung DAS dengan menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna mengoptimalkan manfaat baik lingkungan, sosial maupun manfaat ekonomi masyarakat setempat. Angka 30 persen tersebut didasari atas pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Sebagai amanat UU, tentunya pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melaksankannya. Berdasarkan data pola penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Batulanteh tahun 2010, diperoleh informasi bahwa dari 28.000 Ha luas Sub DAS Batulanteh, 9. 741,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan (lihat Gambar 22). Jumlah tersebut sedikit lebih baik dari syarat minimal yang ditetapkan oleh UU No.41/1999 yakni minimal 30 persen dari total luas DAS. Namun terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan yaitu : pertama, sebarannya tidak proporsional, sebagaimana terlihat dalam peta tata guna lahan, dimana kawasan yang masih berupa hutan hanya terkonsentrasi pada bagian hulu dari Sub DAS.
Kedua, angka tersebut juga jauh menyusut pada saat dilaporkan tahun 2007. Hasil analisis spasial Bakosurtanal dalam Hasanuddin (2008) melaporkan bahwa luas kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± seluas 14.000 Ha atau 50,78 persen, artinya dalam kurun waktu empat tahun telah terjadi penurunan luasan kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± sebesar 15 persen. Penyusutan yang terbilang besar, barangkali jawaban atas kesalahan persepsi dalam memaknai angka minimal 30 persen, padahal dalam penjelasan umum dari pasal 18 ayat (1) UU No.41/1999 tentang kehutanan diterangkan secara eksplisit tentang larangan bagi setiap provinsi dan atau kabupaten/kota untuk mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan, dimana luas minimal tidak boleh dijadikan dalih
97
untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan mengingat pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Pertanyaan berikutnya, kemana arah konversi? Mencermati data perubahan luasan lahan berupa ladang sebesar 5,3 persen dari tahun 2007, menguatkan dugaan telah telah dilakukan konversi kawasan hutan menjadi ladang. Konversi tersebut barangkali dapat dimaknai sebagai konsekuensi atas ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sekaligus barangkali
sebagai sikap pemerintah daerah yang cenderung mempertahankan besaran kontribusi sektor pertanian dalam struktur perekonomian daerah. BPS, (2010) melaporkan kontribusi sektor ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) pada tahun 2009 sebesar 42,83 persen, dimana 24,89 persen diantaranya
merupakan share dari sub sektor tanaman bahan makanan.
Gambar 22. Tata guna lahan pada wilayah Sub DAS Batulanteh (Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010)
98
7.1.2 Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Pada paragraf 2 dan 3 dalam penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan dijelaskan kedudukan hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sekaligus sebagi modal pembangunan nasional yang perlu dijaga kelestariannya salah satu melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan guna dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Sebagai bentuk respon atas perintah UU, berbagai skema dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan dengan mengikutsertakan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah daerah, diantaranya hutan kemasyarakatan (social forestry) pada tahun 2003 dan 2004 dilaksanakan di tiga lokasi (Desa Serading, Semamung dan Kanar). Program ini meliputi usaha penanaman empon-empon dibawah tegakan. Kemudian program dana reboisasi (DR) pada tahun 2002 seluas 200 Ha di dua lokasi (Desa Semamung dan Desa Lunyuk), program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) seluas 300 Ha di tiga lokasi (Desa Semamung, Kanar dan Desa Serading), dimana program ini menanam tanaman multipusposes tree species (MPTS); dan program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) ± 900 Ha dilaksanakan di tiga lokasi yaitu : Desa Serading, Semamung dan Desa Kanar (P3P Unram dan MFP, 2006). Di samping itu, sepanjang periode 2005 sampai 2010 pun, begitu banyak ditemukan program dengan semangat yang sama sebagaimana terdokumentasi dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa. Secara garis besar, dari hasil penelusuran menunjukkan ada 5 program yang dihajatkan untuk menurunkan luasan lahan kritis, yaitu : (a). Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan; (b). Meningkatkan perlindungan fungsi dan status kawasan hutan; (c) Penegakan hukum dan perlindungan hutan; (d) Pemeliharaan wilayah tangkapan sumber air dan sumber-sumber mata air; dan (e). Meningkatkan keterampilan masyarakat perkebunan dan membangun pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, melalui pengembangan hutan tanaman rakyat dan pembinaan kelompok madu. Namun, mencermati hasil review BPDAS Dodokan Moyosari terhadap lahan kritis di Kabupaten Sumbawa tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa tingkat
99
keberhasilan atas sejumlah program rehabilitasi hutan dan lahan yang sudah diupayakan masih terbilang rendah. Keberadaan lahan kritis pada tingkat kekritisan agak kritis, kritis sampai dengan sangat kritis yang tersebar di dalam dan luar kawasan serta di kawasan budidaya, diketahui masih mencapai ± 129 ribu Ha atau 32,47 persen dari total luas hutan Kabupaten Sumbawa yang mencapai 398.105,35 Ha. Secara rinci disajikan pada Tabel 22 Tabel 22. Luas lahan kritis Kabupaten Sumbawa tahun 2009 Tingkat Luas kawasan (Ha) Jumlah kekritisan Budidaya Dalam kawasan Luar kawasan Sangat kritis 42,09 0,07 1.729,59 1.771,75 Kritis 3.889,08 4.297,63 458,14 8.644,84 Agak kritis 59.824,07 32.925,94 26.108,98 118.858,99 Jumlah 63.755,24 37.223,64 28.296,71 129.275,58 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kondisi demikian, barangkali juga sebagai turunan dari ketidakmampuan daerah dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam skala luas. Sepanjang periode 2005 - 2010, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dilaporkan hanya mampu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan sebatas 18.764 Ha atau setara dengan 3.753 Ha per tahun. Sebuah kemampuan yang tergolong kecil, mengingat dengan kemampuan yang demikian, maka dibutuhkan waktu ± 34 tahun untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi terhadap lahan kritis tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan lahan kritis baru. Angka luasan lahan kritis yang ada saat ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram dan Multistakeholder Forestry Programme (MFP), (2006), tidak terlepas dari puncak kerusakan yang berlangsung pada periode 1999 – 2001. Pada momentum itulah terjadi kevakuman kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan khususnya kawasan hutan
15
eks
Perum Perhutani, yang kemudian mendorong masyarakat sekitar hutan kembali memasuki kawasan untuk melakukan penyerobotan.
15
Perum perhutani keluar dan meningggalkan kawasan hutan tanaman industry (HTI) pada tahun 1998
100
7.1.3 Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999) Penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan merupakan salah satu instrumen yang dinilai cukup efektif dalam melakukan perlindungan hutan. Pada pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 41/1999 disebutkan beberapa bentuk pelanggaran tindak pidana kehutanan yang dapat dikenakan denda kurungan maupun dalam bentuk materi. Adapun jenis pelanggaran dan denda disajikan pada Tabel 23. Sepanjang periode 2005 - 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa telah menangani tindak pidana kehutanan sebanyak 96 kasus, dengan beragam bentuk pelanggaran. Tabel 23. Bentuk pelanggaran dan denda yang dapat dikenakan kepada setiap pelaku tindak pidana kehutanan Bentuk pelanggaran pidana Denda No Kurungan Materi 1 Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan 10 tahun 5 Miliar 2 Pemilik ijin usaha melakukan pemanfaatan yang 10 tahun 5 Miliar merusak hutan 3 Menduduki kawasan hutan secara tidak sah 10 tahun 5 Miliar 4 Merambah kawasan hutan 10 tahun 5 Miliar 5 Melakukan penebangan pada radius di luar 10 tahun 5 Miliar ketentuan UU 6 Membakar hutan dengan sengaja 15 tahun 1,5 Miliar 7 Menebang pohon atau memungut hasil hutan 10 tahun 5 Miliar tanpa ijin/tanpa memiliki hak 8 Menerima, membeli, menyimpan dan atau 10 tahun 5 Miliar memiliki hasil hutan yang diketahui atau diduga diambil secara tidak sah 9 Melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, dan 10 tahun 5 Miliar atau eksploitasi bahan tambang tanpa izin 10 Mengangkut dan atau memiliki hasil hutan yang 5 tahun 10 Miliar tidah dilengkapi dengan surat keterangan sahnya 11 Mengembalakan ternak yang tidak ditunjuk 3 bulan 10 juta secara khusus untuk tujuan tersebut 12 Membawa alat-alat berat atau lainnya yang 5 tahun 5 Miliar diduga digunakan untuk mengangkut hasil hutan tanpa izin 13 Membawa alat-alat yang lazimnya digunakan 3 tahun 1 Miliar untuk menebang dalam hutan tanpa izin 14 Membuang benda-benda yang dapat 3 tahun 1 Miliar menyebabkan kebakaran 15 Mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar 1 tahun 50 juta yang dilindungi UU tanpa izin Sumber : UU No.41/1999 tentang kehutanan
101
Tabel 24 menyajikan jumlah kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan jenis pelanggaran sepanjang periode 2005 - 2010. Dari 96 kasus yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun, 25 kasus atau 26 persen diantaranya terjadi pada tahun 2009, dengan jenis pelanggaran terbanyak sepanjang periode tersebut, berupa pengangkutan hasil hutan berupa kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah dan penebangan tanpa izin. Tabel 24. Jumlah kasus tindak pidana kehutanan periode 2005 - 2010 berdasarkan jenis pelanggarannya Jenis Pelanggaran Pasal Jumlah kasus per tahun JML pelanggaran 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penebangan tanpa izin 50 ayat 3 5 6 5 2 3 20 point (e) Memiliki, menimbun 50 ayat 3 2 2 4 dan membawa kayu point (f) tanpa dukumen Mengangkut kayu 50 ayat 3 3 11 8 3 25 tanpa dilengkapi point (h) dokumen yang sah Merambah kawasan 50 ayat 3 1 1 hutan/peladangan liar poin (b) 16 13 25 10 48 Jumlah 9 19 14 19 25 10 96 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kedua jenis pelanggaran tersebut dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 ayat 5 UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan akan diancam dengan 10 tahun kurungan/penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah. Namun yang perlu menjadi catatan dari data tersebut, ancaman hukuman yang tergolong berat belum mampu meredam “prilaku menyimpang” masyarakat dalam interaksinya dengan hutan. Mengambil contoh di tahun 2008, terlihat ada terjadi penambahan pelanggaran tindak pidana sebanyak 5 kasus dari tahun sebelumnya (2007), kemudian kembali bertambah sebanyak 6 kasus pada tahun 2009. Meskipun pada tahun 2010 menunjukkan penurunan sampai 40 persen dari tahun sebelumnya (2009), namun belum mampu diprediksi apakah kondisi positif tersebut akan berlangsung lama, mengingat data dalam lima tahun terakhir cendrung fluktuatif. Pertanyaan selanjutnya bagaimana proses penangan perkara atas sejumlah kasus tersebut? Berikut pada Tabel 25 disajikan jumlah kasus 16
Tidak ada keterangan tentang jenis pelanggaran
102
tindak pidana kehutanan selama periode 2005 - 20210 berdasarkan proses justisi dan jumlah hukuman. Tabel 25. Jumlah kasus berdasarkan proses justisi perkara dan jumlah hukuman sepanjang periode 2005 - 2010 Tahun Jumlah Proses justisi Vonis hukuman kasus Lidik & sidik SP3 P21 >2 thn 1-2 thn <1 thn 2005 9 9 0 9 0 0 9 2006 19 19 0 19 0 0 19 2007 14 14 0 14 0 0 14 2008 19 19 0 19 0 0 19 2009 25 25 0 25 0 0 25 2010 10 10 0 10 0 0 10 jumlah 96 96 0 96 0 0 96 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa,2011 Patut diapresiasi, apabila melihat proses atas penanganan perkara yang berhasil diselesaikan atas sejumlah kasus yang ada, artinya tidak ada tunggakan perkara
yang
proses
justisinya
tidak
berlanjut
atau
tidak
termonitor
perkembanganya. Namun yang patut disayangkan, kualitas vonis dari perkara yang disidangkan tergolong rendah. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sangat ringan, jika merujuk dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Secara keseluruhan hukuman diberikan kurang dari satu tahun. Vonis hakim yang tergolong rendah menggambarkan bahwa pemerintah belum tegas dalam melakukan penegakan hukuman atas tindak pidana kehutanan yang terjadi, sehingga tidaklah mengherankan bila tidak memberikan efek jerah bagi pelaku kejahatan di sektor kehutanan.
7.1.4 Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Benjamin Fangklin seorang penemu dan sekaligus diplomat Amerika mengatakan “manakala sumurnya kering – kita baru mengetahui betapa berharganya air” (Postel,1995). Tidak mau menunggu sumur benar-benar kering, UU No.7/2004 tentang sumber daya air dalam pasal 21 ayat (1) dan (2) memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya akan perlunya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian atas sumber air dan mata air, mengingat pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia. Tabel 26,
103
menyajikan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan rehabilitasi mata air sepanjang periode 2007- 2010. Tabel 26. Jumlah titik mata air yang direhabilitasi di Kabupaten Sumbawa selama periode 2007-2010 Kemampuan rehabilitasi titik mata air per tahun Jumlah 2007 2008 2009 2010 8 7 6 4 25 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Tidak adanya data resmi tentang kondisi terkini dari 153 titik mata air yang ada di Kabupaten Sumbawa, namun dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa sebagian besar titik mata air perlu mendapat penanganan serius. Jika diasumsikan sebesar 50 persen dari jumlah titik mata air yang perlu penanganan serius dan dengan kemampuan rehabilitasi rata-rata sebanyak 5 titik mata air per tahun, maka masih dibutuhkan 10 tahun lagi untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi mata air tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan jumlah baru titik mata air yang rusak.
7.1.5 Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal 86 UU No.7/2004) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan aksi untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Atas dasar itulah, UU No.7/2004 memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya untuk membentuk wadah koordinasi untuk setiap wilayah sungai. Tugas pokok wadah koordinasi adalah menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air. Mengingat peran dan tugasnya, maka wadah koordinasi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi keberlangsungan pengelolaan sumber daya air yang optimal, equity dan berkelanjutan. Sebagai necessary condition, maka wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air harus dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Sumbawa telah membentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi. Sesuai hajat pembentukannya yakni memudahkan koordinasi para pihak yang berkepentingan terhadap sumber
104
daya air, maka komisi irigasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, berunsurkan pemerintah dan non pemerintah. Instansi pemerintah yang terlibat antara lain : Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian. Sedangkan unsur non pemerintah adalah LSM, akademisi, dan P3A. Secara umum komisi irigasi tersebut diberikan wewenang dalam menyusun rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi irigasi. Syarat unsur keanggotaan tersebut, sudah terpenuhi bilamana merujuk pada pasal 86 ayat 4 UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan bahwa wadah koordinasi beranggotakan unsur pemerintah dan unsur non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Namun yang perlu menjadi catatan bahwa pemerintah daerah terbilang lalai dalam hal ini, dimana untuk menghadirkan wadah koordinasi tersebut, dibutuhkan waktu 6 tahun sejak UU diterbitkan tahun 2004.
7.1.6 Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) Tuntutan akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya hutan secara efisien dan lestari, UU No.41/1999 tentang kehutanan beserta peraturan turunannya Peraturan Pemerintah No.3/2007 perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan, melahirkan konsep pengelolaan hutan dalam bentuk unit terkecil atau yang biasa dikenal dengan istilah kesatuan pengelolaan hutan terkecil atau biasa disingkat dengan KPH. Sama halnya dengan pembentukan wadah koordinasi yang diatur dalam 16 undang-undang No.7/2004 tentang sumber daya air, pembentukan KPH pun dipandang sebagai syarat perlu (necessary condition) untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Sebagai syarat perlu, tentunya keberadaan KPH menjadi sebuah keharusan dan pemerintah selaku penerima mandat dari undang-undang sesuai kewenangannya berkewajiban menghadirkannya, karena tanpa KPH maka tidak bisa dijamin akan terjadinya atau berlangsungnya praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Jumlah KPH yang telah terbentuk sampai dengan tahun 2011, seperti terlihat pada Tabel 27.
105
Tabel 27. Nama dan luas KPH berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Sumbawa sampai tahun 2011 Nama KPH Luas KPH (Ha) Jumlah Rasio atas (Ha) luas hutan Hutan lindung Hutan produksi Batulanteh 12.193,5 18.796,17 30.989,67 7,78 Puncak Ngegas 27.489,46 16.754,24 44.243,7 11,11 Orong Telu 20.840 40.024,59 60.864,59 15,29 Brang Beh 11.364 48.561,94 59.925,94 15,05 Rinti Labangka 53.493,60 18.109,80 71.603,40 17,99 Jaran Pusang 14.103,30 19.338,56 33.441,86 8,40 Ampang Sili 22.532,07 15.172,02 37.704,09 9,47 Ampang Riwo 23.078,05 22.800,50 45.878,55 11,52 Jumlah 185.093,98 199.557,82 384.651,80 96,62 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah mencapai 96,62 persen, jumlah ini sudah cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien. Pertanyaannya kemudian, apakah infrastuktur dari KPH tersebut telah terbentuk? Karena diketahui, untuk mengoperasionalkan KPH tersebut, perlu dikuti dengan melengkapi organisasi pengelolaanya, berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personil atau sumber daya manusia dan sarana-prasarananya. Dari 8 KPH yang telah dinyatakan terbentuk, diperoleh informasi bahwa kesemuaanya telah dilengkapi dengan organisasi pelaksananya, namun masih diperlukan pembenahan atas sarana-prasarana yang ada dan penambahan personil di setiap KPH, mengingat luasnya wilayah kerja dan perlu juga dilakukan.
7.1.7 Kepatuhan Pemerintah Daerah Terhadap Amanat Peraturan Pelaksanaan atas ke
enam
amanat Undang-undang sebagaimana
diterangkan dalam uraian respon di atas, menjadi pentunjuk bahwa tingkat kepatuhan pemerintah daerah terbilang cukup baik (lihat Tabel 28). Kepatuhan tersebut dapat
dimaknai
sebagai
keseriusan
pemerintah
daerah
dalam
meminimalisir tekanan yang tengah dihadapi oleh Sub DAS Batulanteh. Bentuk kesungguhan tersebut, tercermin pula pada inisiatif mereka dalam menghadirkan produk hukum berupa Raperda pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Inisiatif tersebut patut diapresiasi, mengingat kehadiran Raperda tersebut, terbilang murni sebagai reaksi pemerintah daerah atas permasalahan yang tengah terjadi pada kawasan Sub DAS Batulanteh. Tidak ditemukannya amanat undangundang yang secara eksplisit memerintahkan pemerintah daerah untuk
106
menghadirkan PERDA tentang pengelolaan DAS, menjadi indikator bahwa Raperda tersebut lahir atas inisiatif daerah. Raperda yang terdiri atas 14 bab dengan 50 pasal, secara garis besar mengatur tiga hal : pertama, perencanaan pengelolaan Sub DAS dan tata cara pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan serta konservasi hutan, lahan dan air dalam kawasan Sub DAS (diatur dalam pasal 6-38); kedua, hak dan kewajiban masyarakat hulu (diatur dalam pasal 40-41); dan terakhir, pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS yang berunsurkan pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang relevan (diatur dalam pasal 45-46). Mencermati urusan yang diatur dalam Raperda tersebut, diprediksi kehadirannya belum mampu sepenuhnya menjawab persoalaan Sub DAS. Semestinya Raperda tersebut mengakomodir isu terkait perilaku makhluk hidup yang saling berinteraksi dalam DAS atau dinamika penggunaan lahan pada kepemilikan masyarakat yang notabene kurang diatur dalam UU No.7/2004. Isu lainnya, yang mungkin perlu juga diatur, misalnya menyangkut mekanisme cost sharing antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, mekanisme pemanfaatan dana internasional, serta sistem insentif dan disinsentif. Hal ini perlu dilakukan, karena Seidman and seidman (2004) menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya “perilaku menyimpang” masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun “perilaku menyimpang” tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkap dan atau tidak tegas. Tingkat kepatuhan yang tergolong cukup baik, ternyata belum cukup menjawab persoalan lahan kritis yang tersebar pada zona tengah kawasan Sub DAS Batulanteh. Lahan yang sebagai besar milik masyarakat telah dimanfaatkan secara intensif untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran. Intervensi kedepan sudah semestinya lebih diarahkan pada rehabilitasi dan manajemen lahan pada kepemilikan masyarakat dan perlu diatur mekanisme insentif yang mampu menggerakkan masyarakat, dari pola pemanfaatan saat ini beralih pada pengelolaan lahan menurut kontur dan mengembangkan budidaya tanaman agroforestry yang memiliki nilai konservasi selain nilai keekonomiannya.
Tabel 28. Matriks indikator tingkat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan Amanat peraturan perundangan-undangan
Kondisi faktual
Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999 tentang kehutanan) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999 tentang kehutanan) Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999 tentang kehutanan)
Dari 28.000 Ha luas Sub DAS Batulanteh, 9. 741,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan, namun sebarannya tidak proporsional. Skema rehabilitasi hutan dan lahan dengan keterlibatan masyarakat, diantaranya program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM.
Tidak ada tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut atau tidak termonitor perkembanganya. Artinya proses penanganan perkara berhasil diselesaikan. Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal Telah terehabilitasi 25 titik mata air sepanjang periode 200721 ayat (1) & (2) UU No.7/2004 tentang sumber daya air) 2010
Keterangan Amanat UU tidak sepenuhnya dipatuhi Amanat UU dipatuhi, namun tingkat keberhasilan program masih rendah Amanat UU dipatuhi, namun kualitas vonis sangat rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun kemampuan rehabilitasinya masih rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun pembentukan terbilang lamban. Amanat UU sudah dipatuhi, namun masih
Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal Pada tahun 2010, telah dibentuk wadah koordinasi dengan 86 UU No.7/2004 tentang Sumber daya air) nama komisi irigasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, yang berunsurkan pemerintah dan non pemerintah Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah mencapai 96,62 persen. Jumlah ini sudah cukup sebagai sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien perlu dilakukan perubahan dari PP No. 6/ 2007 tentang tata hutan dan pembenahan terhadap penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan organisasi pengelola. hutan)
107
108
7.1.8 Relevansi Respon Terhadap Permasalahan Sub DAS Telah dipahami dari pembahasan sebelumnya, bahwa respon pemerintah daerah yang terbilang cukup baik atas sejumlah amanat undang-undang, belum juga mampu memberikan perubahan yang signifikan atas persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kondisi tersebut, memunculkan keraguan akan relevansi respon dengan permasalahan Sub DAS sebenarnya. Pada bagian ini, dibahas bagaimana relevansi antara respon dengan kondisi lahan Sub DAS yang kritis. Mencermati sajian Tabel 29, barangkali sulit melihat relevansi secara lansung antara respon dengan permasalahan lahan kritis Sub DAS. Hal ini dapat dipahami, karena amanat peraturan perundang-undangan yang direspon oleh pemerintah daerah tidak terbatas peruntukkannya khusus untuk menjawab persoalan lahan kritis pada Sub DAS Batulanteh, melainkan amanat tersebut bersifat makro yang dihajatkan untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya alam secara umum yang optimal dan lestari. Relevansinya akan terlihat, manakala didalami semangat yang melekat pada setiap amanat yang direspon. Keluaran respon 1 sampai 4 misalnya, bermuara pada meminimalisir peningkatan lahan kritis baik di dalam dan luar kawasan Sub DAS. Demikian juga dengan respon 5 dan 6 ditujukan untuk menjawab kesulitan koordinasi antar setiap aktor yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS dan terselenggaranya pengelolaan sumber daya hutan yang efisien dan lestari. Adanya jalinan koordinasi yang intensif antar aktor, memungkinkan pemerintah selaku aktor di level kebijakan mampu menyelami kebutuhan masyarakat sebagai aktor yang bergantung atas lahan dalam kawasan Sub DAS dan pada gilirannya akan muncul solusi yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat pemilik lahan dengan kepentingan publik sebagai pemanfaat jasa Sub DAS. Untuk itu, bisa dikatakan permasalahan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS, bukan dikarenakan ketiadaan relevansi respon, melainkan lebih disebabkan oleh bentuk intervensi yang belum spesifik dan optimal khusus pada lahan kritis milik masyarakat. Semestinya perlu pendekatan khusus, misalnya dengan mengatur mekanisme insentif, melalui mekanisme payment for environmental service (PES).
Tabel 29. Matrik relevansi antara respon dengan permasalah Sub DAS Respon
Permasalahan Sub DAS
Kategori Relevan Tidak relavan - Lahan dengan slope >40% dan berada √ pada ketinggian >500 mdpl masuk kategori kritis, yang ditandai oleh tutupan lahan yang tidak menunjang aspek √ konservasi tanah dan air. Struktur kepemilkan lahan sebagian besar miliki Negara dan sisanya milik masyarakat.
Mempertahankan kecukupan hutan di atas angka minimal 30% (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan peran serta masyarakat seperti program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM. (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Melakukan perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan, - Lahan dengan slope 25-40% dan berada melalui penegakan hukum (respon atas amanat yang diatur pada ketinggian 100-500 mdpl juga masuk kategori kritis. Struktur kepemilkan lahan dalam pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Memebentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi sebagian besar milik masyarakat dan telah (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 86 UU dibudidayakan secara intensif untuk tanaman palawija dan sayuran. No.7/2004) Membentuk KHP dalam jumlah yang cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) *Menghadirkan produk hukum berupa RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh Ket. *). Bukan bagian dari amanat yang diperintahkan UU
√ √ √
√
109
110
7.2 Respon Masyarakat Pada paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan perolehan atas manfaat sumber daya hutan, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan fungsi pokoknya (konservasi, lindung, dan produksi) dan menjaga keberlangsungannya melalui kegiatan perlindungan dan rehabilitasi serta reklamasi dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat juga diungkapkan pada paragraf 7 penjelasan umum UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan perlunya melibatkan seluas-luasnya peran serta masyarakat mulai dari penyusunan pola pengelolaan, kemudian perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, sampai pada pemantauan serta pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air. Pertanyaannya, Bagaimana bentuk peran serta atau keterlibatan masyarakat? Adakah inisiatif lokal yang berkontribusi bagi kelestarian sumber daya tersebut? Apakah inisiatif lokal tersebut lahir atas dasar pemahaman mereka akan kehendak undang-undang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dibahas pada bagian ini. Bentuk keterlibatan masyarakat yang dikehendaki undang-undang, sebenarnya sudah relatif banyak ditemukan pada sejumlah program pemerintah daerah, sebagaimana telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, misalnya program hutan kemasyarakatan, (HKm), kemudian program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM), program gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN), program dana reboisasi (DR), dan program hutan tanaman rakyat (HTR) serta termasuk program konservasi-NTB WRMP di wilayah Sub DAS Batulanteh yang dimulai sejak tahun 2008 - 2010 kerjasama antara Pemda, Uni Eropa, World Bank dan LP3ES. Program konservasi lahan-NTB WRMP tersebut, dalam pelaksanaannya di samping telah berhasil membentuk 6 kelompok konservasi dengan wilayah kerja tersebar di zona hulu dan tengah Sub DAS Batulanteh (lihat Tabel 30), juga berhasil membentuk wadah yang bernama forum komunikasi hulu-hilir Sub DAS Batulanteh. Forum yang beranggotakan dari unsur pemerintah, LSM, perguruan tinggi, GP3A/P3A, PDAM dan masyarakat hulu dipersiapkan untuk memfasilitasi proses pengembalian manfaat air yang diterima oleh PDAM dan P3A atau GP3A Aji dan Pungka ke wilayah hulu.
111
Tabel 30. Kelompok konservasi lahan Sub DAS Batulanteh Nama kelompok Lokasi Waktu pembentukan Desa Kecamatan Karya Baru Kerekeh Untir iwis April 2010 Ai Bulu Kelungkung Batulanteh Juni 2010 Lemak Sewe Pelat Untir iwis April 2010 Batu Balomo Kerekeh Untir iwis Juni 2010 Batudulang Utama Batudulang Batulanteh April 2010 Sumber : LP3ES, 2011
Jumlah anggota 14 19 29 12 18
Kesemuan program tersebut, memiliki semangat yang sama yakni membuka akses masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dengan tetap mengedepankan pengelolaan yang lestari. Perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya hutan saat ini, barangkali sebagai respon atas ungkapan Nancy Peluso yakni “Rich forest poor people - hutan banyak mengandung kekayaan, namun masyarakat disekitarnya miskin”, meskipun saat ini hutannya telah terkuras, masyarakatnya tetap miskin (Julmansyah, 2007). Keterlibatan masyarakat dalam berbagai skema kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, menjadi indikasi baiknya respon masyarakat. Lagi-lagi respon yang relatif baik, belum juga bisa menyelesaikan persoalan lahan kritis. Rendahnya tingkat keberhasilan program salah satu pemicunya adalah ketidak efektifan respon tersebut. Secara keselurahan program seringkali pelaksanaannya tidak tuntas, dikarenakan kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk tidak bisa bertahan lama. Kelompok tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya seiring selesainya kegiatan pendampingan oleh pemerintah atau pihak ketiga. Masyarakat selaku sasaran program menilai kondisi demikian dikarekan kelompok yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah atau pihak ketiga belum mandiri pada saat proses pendampingan berakhir. Untuk itu, setiap program kedepannya sudah semestinya memiliki konsep exit strategy yang jelas. Mengakhiri pembahasan tentang peran serta masyarakat melalui programprogram pemerintah di atas, selanjutnya bagaimana dengan inisiatif lokal yang juga berkontribusi bagi kelestarian Sub DAS? Mari melihat apa yang dilakukan masyarakat Desa Batudulang di hulu Sub DAS Batulanteh, dalam merawat dan
112
memelihara pohon yang mereka sebut sebagai “17pohon boan”. Masyarakat menganggap pohon itulah salah satu yang juga “merawat dan memelihara” kelangsungan dapur mereka, karena pada pohon itulah aktivitas berburu madu tetap hidup dalam masyarakat sampai saat ini. Selain itu, masyarakat Desa Batudulang juga telah memulai melakukan praktek pemanfaatan lahan tiga dekade silam yang diketahui memiliki nilai konservasi tinggi. Usaha tersebut yakni budidaya tanaman kemiri yang dilakukan secara swadaya dengan luasan mencapai ± 249 Ha. Namun dua contoh inisiatif tersebut bukanlah lahir atas dasar pemahaman mereka akan pentingnya kelestarian sumber daya hutan sebagaimana dikehendaki UU, melainkan hanya atas motivasi ekonomi. Masyarakat tidak berpikir atas kepentingan publik atau kepentingan jangka panjang atas apa yang mereka lakukan, melainkan hanya bagaimana mereka dan keluarga mereka bisa bertahan hidup. Perilaku semacam ini oleh Suparmoko (1997) dalam konsep ruang dan waktunya akibat ketidakberdayaan ekonomi masyakat tersebut, dimana dijelaskan masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi cenderung membuat pertimbangan untuk diri dan lingkungannya sendiri dan juga bersifat jangka pendek. Namun konsep tersebut tidak sepenuhnya benar, karena faktanya kerusakan sumber daya alam saat ini justru lebih besar disebabkan oleh kerakusan kelompok-kelompok kaya. Ruang
Waktu
Gambar 23. Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu (sumber : Suparmoko, 1997) 17
Pohon boan adalah pohon yang menjulang tinggi dan sering menjadi tempat bersarangnya madu.
VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa “the China’s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan lahan sebetulnya, jauh lebih komplek di Indonesia. Lahan di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan perdesaan sebagaimana di Cina, namun juga menjadi masalah perkotaan. Di Cina tidak dikenal kepemilikan perorangan sementara di Indonesia kepemilikan lahan bisa berada di tangan perorangan, sehingga tidaklah mengherankan ketika lahan dibutuhkan untuk keperluan kepentingan publik, maka sering menimbulkan konflik karena tergangggunya proses transfer pemanfaatan lahan dari perorangan ke kepentingan publik. Persoalan lainnya, terkait dengan masalah property right yang tidak tertangani dengan baik, yang kemudian memicu degradasi lahan ”(Fauzi, 2010). Pertanyaannya, bagaiman ragam hak kepemilikan atas lahan di kawasan Sub DAS Batulanteh? Apakah pemilik hak sudah melaksanakan hak dan kewajibanya sebagaimana diterangkan dalam konsep Hanna (1995)? Dan bagaimana stara hak yang dimiliki pemiliki hak berdasarkan pendekatan Schlager dan Ostrom (1992). Pertanyaan-pertanyaan tersebut, diulas pada bagian ini. Pada penjelasan bab sebelumnya mengenai tata guna lahan, telah dapat dipahami bahwa secara umum hak kepemilikan sumber daya lahan dalam kawasan Sub DAS Batulanteh telah terdefinisikan dengan jelas yaitu terdiri dari state property dan private property. Hak kepemilikan negara terdiri dari : hutan, hutan bakau, padang rumput, area terisi air, rawa, dan semak belukar. Sedangkan yang berupa private property yaitu : perkebunan, sawah, ladang dan pemukiman. Lahan dengan status hak kepemlikan masyarakat umumnya dijumpai pada zona tengah dan hilir dari Sub DAS Batulanteh. Sedangkan pada bagian hulu persentase kepemilikan masyarakat relatif kecil. Zona hulu lebih didominasi oleh hutan Negara. Ilustrasi ragam hak kepemilikan dalam kawasan Sub DAS Batulanteh, disajikan pada Gambar 24.
114
1
3
11
7 10
8 6 9
5 4 2
Sebagai pimilik hak, tentunya dilengkapi hak dan kewajiban atas Gambar 24: Peta ragam hak kepemilikan lahan kawasan Sub DAS Batulanteh (Sumber : Hasanuddin, 2008 (dimodifikasi) Ket.: 1: area terisi air; 2 : hutan; 3 : hutan bakau; 4 : padang rumput; 5: pemukiman; 6: perkebunan; 7: sawah irigasi; 8: sawah tadah hujan; 9: semak belukar; 10: ladang; 11: rawa
Sebagai pemiliki hak, tentunya dilengkapi hak dan kewajiban atas kepemilkannya. Secara rinci hasil identifikasi jenis hak kepemilikan lahan khususnya di zona hulu kawasan Sub DAS Batulanteh, disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Identifikasi jenis hak kepemilikan atas lahan dikawasan hulu Sub DAS Batulanteh Jenis Hak Pemilik Hak Akses Memanfaatkan Mengatur Ekslusif Mengalihkan Masyarakat √ Batudulang KPH Batulanteh √ Sumber : Data Primer, 2011
√
√
√
√
√
√
Tabel 31, menerangkan bahwa hak kepemilikan masyarakat Batudulang 18 atas lahan telah terkukuhkan dengan baik, yang tercermin pada hak mereka untuk memasuki areal lahan sekaligus memanfaatkannya, hak untuk mengatur pemanfaatannya guna menghasilkan manfaat yang optimal dan lestari, kemudian
18
Kepemilikan lahan masyarakat Batudulang dalam kawasan Sub DAS Batulanteh berupa ladang seluas 156,25 Ha dan perkebunan selauas 404,47 Ha. Komoditi utama yang dihasilkan dari pemanfaatan lahan tersebut adalah kopi dan kemiri.
115
hak untuk menentukan siapa yang dapat dan tidak dapat mengakses lahan mereka dan hak untuk memindah-tangankannya baik melalui menjual, mewariskan atau menyewakannya. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat Batudulang sebagaian besar untuk tanaman-tanaman perkebunan seperti kopi dan kemiri yang diketahui cukup memiliki nilai konservasi. Hal ini berbeda dengan pola pemanfaatan lahan pada zona tengah yang diketahui sebagian besar milik masyarakat. Lahan-lahan pada zona ini telah diupayakan secara intensif oleh pemiliknya untuk tanaman palawija dan sayuran. Pola pemanfaatan yang demikian diketahui sangat beresiko tinggi terhadap erosi. Lebih lanjut Tabel 31, menginformasikan bahwa pada kasus state property, terlihat ada dua persoalan yaitu : pertama, ketidaklengkapan hak yang dimiliki oleh KPH Batulanteh atau ketidakjelasan kedudukan organisasi KPH sebagai pengelola, akibat sebagaian dari keberadaan haknya hilang. Berdasarkan klasifikasi Scalger dan Ostrom (1992), organisasi KPH dalam kedudukannya sebagai pengelola sebagaimana diatur dalam pasal 9 PP No.3/2008 perubahan dari PP No.6/2007 seharusnya mempunyai hak Acces and Withdrawal, management, dan hak Exclusion. Namun faktanya hak Exclusion tidak dimiliki oleh organisasi KPH dengan tidak memberikan wewenang dalam membuat hubungan transaksional atas hasil yang diproduksi melalui aktivitas pengelolaan hutan. Kewenangan ini menjadi milik Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Kedua, ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga hak kepemilikannya, yang diindikasikan oleh masih banyak ditemukan tindak pidana kehutanan, seperti illegal logging. Mahalnya biaya pengawasan dan minimnya personil yang tidak sebanding dengan luas hutan yang harus diamankan diyakini sebagai pemicunya. Seperti yang disajikan pada Tabel 32, diketahui bahwa 1 orang personil, bertugas melakukan pengamanan hutan seluas lebih dari 5 ribu Ha. Kondisi ini diperparah lagi, dengan keberadaan sarana-prasarana penunjang seperti pos jaga dan kendaraan patroli yang terbatas. Tabel 32. Rasio antara personil pengaman hutan dengan luas hutan Personil Pengaman hutan Luas Hutan Rasio (orang) (Ha) 69 398.108,35 1 : 5.769,69 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011
116
8.1 Private Property Rights Dalam Domain Publik Tientenberg
(1992),
menilai
hak
kepemilikan
pribadi
memiliki
karakteristik yang sangat memadai untuk mengelola sumber daya alam yang optimal secara ekonomis dan ekologis. Namun, tidak demikan halnya dalam konteks ini. Hak kepemilikan masyarakat atas lahan di zona tengah kawasan Sub DAS Batulanteh, tidak bisa menjadi insentif bagi terciptanya pengelolaan lahan yang optimal secara ekologis bagi kelestarian Sub DAS. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa lahan dengan topografi bergelombang serta kemampuan produktivitasnya rendah, tetap dibudidayakan secara intensif untuk tanaman palawija dan sayuran yang tidak memiliki nilai konservasi dan beresiko tinggi terhadap erosi. Minimnya pilihan dalam mengakses sumber ekonomi lain menjadi pemicu ketergantungan akan lahannya sangat tinggi. Lahan dinilai sebagai asset vital bagi tulang punggung ekonomi dan “tumpuan terakhir” mereka, yang harus diambil manfaat ekonominya secara optimal, meskipun dalam pemanfaatannya menghasilkan eksternalitas negatif bagi masyarakat hilir selaku selaku penikmat jasa yang dihasilkan oleh Sub DAS. Pada prinsipnya domain publik harus dilindungi. Artinya, konflik kepentingan antara masyarakat hulu dan tengah selaku pemilik lahan dengan masyarakat hilir selaku pemanfaat jasa Sub DAS saat ini, harus sesegera mungkin disikapi dengan menghadirkan kelembagaan yang mampu menjembatani kedua kepentingan tersebut. Dalam konteks yang lebih konkret, kelembagaan tersebut berupa aturan formal ataupun informal yang mengatur insentif bagi masyarakat hulu dan tengah, sehingga dampak dari aktivitas ekonomi di hilir dari pemanfaatan jasa Sub DAS dapat juga dirasakan oleh masyarakat di hulu dan tengah. Mekanisme payment for environmental service (PES), barangkali salah satu instrumen yang bisa diaplikasikan guna memberikan manfaat balik pada masyarakat hulu dan tengah yang akan dibebankan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan dan air. Mekanisme ini, juga bisa diperankan sekaligus sebagai sarana berbagi tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber daya yang dilandasi semangat keadilan. Sepanjang ini, mekanisme tersebut terbilang cukup efektif, sebagaimana telah dipraktekkan pada DAS Cidanau - Banten. Dalam prakteknya, sejumlah anak perusahaan dibawah Krakatau Steel (PT. Krakatau
117
Tirta Industri) memberikan sejumlah kompensasi kepeda kelompok tani di hulu, yang difasilitasi oleh Forum komunikasi DAS Cidanau (FKCD). Pemberian kompensasi telah berlangsung sepanjang periode 2005 – 2008. Pengendalian pemanfaatan lahan yang menghasilkan eksternalitas melalui mekanisme PES di atas, dikenal sebagai instrument yang berbasis pasar (market based). Pendekatan lain yang juga bisa diterapkan untuk melakukan pengendalian tersebut atau menjawab persoalan ketidakefektifan private property dalam domain publik adalah melalui instrumen command and control. Melalui instrumen ini, misalnya diatur mengenai larangan bagi setiap pemilik lahan untuk memanfaatkan lahan yang tidak sesuai kontur atau kewajiban untuk menerapkan teknologi tertentu dalam pemanfaatan lahan dengan ketinggian dan kemiringan tertentu. Namun, pendekatan terakhir ini terbilang kurang “lembut” dan berpotensi menimbulkan konflik ketika pelanggaran terjadi.
IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan dan pengaruhnya berbeda-beda, sehingga keberhasilannya pun sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang berperan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Hasil analisis stakeholder menetapkan ada tiga kelompok stakeholder yang terlibat langsung dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh yakni pemerintah daerah, masyarakat hulu dan masyarakat hilir, dengan kepentingan, sikap dan tingkat pengaruhnya masingmasing seperti terlihat pada Tabel 33. Meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda, namun yang menarik, semua stakeholder memiliki sikap saling mendukung terhadap kepentingan satu sama lain, sehingga sikap yang demikian bisa menjadi modal dalam mensukseskan program-program yang ada bagi keberlanjutan manfaat Sub DAS kedepannya. Pemerintah
daerah
sebagai
unsur
pemegang
otoritas
kebijakan
direpresentasikan oleh 5 instansi sektoral yaitu: Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan DPRD. Dari 5 stakeholder tersebut, dua diantaranya dinilai memiliki pengaruh paling kuat yakni: Bappeda dan DPRD. Bappeda memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menyusun perencanaan tata ruang DAS dan memasukkan pengelolaan DAS dalam program pembangunan daerah (RPJP dan RPJM). Sedangkan DPRD memiliki fungsi legelislasi, penganggaran dan pengawasan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pekerjaan Umum masuk kategori kuat. Kedua instansi ini ditetapkan sebagai leading sector atau aktor utama dalam konteks pengelolaan Sub DAS, dimana Dinas Kehutanan dan Perkebunan bertanggung jawab bagi kelestarian di bagian hulu, dengan sejumlah agenda antara lain : mereview lahan kritis setiap lima tahun, menjaga dan mempertahankan kawasan hutan dan sempadan sungai, melakukan rehabilitasi lahan kritis dan reboisasi dan mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
.
120
Tabel 33. Analisis stakeholder menurut sikap dan pengaruh dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh Satkeholder Pemerintah daerah : a. Bappeda b. DPRD Kabupaten Sumbawa
Kepentingan
- Terpeliharanya sumber-sumber mata air dan daerah tangkapan air (DTA)
c. Dinas Kehutanan dan Perkebunan - Terdistribusinya manfaat Sub DAS secara optimal, adil dan berkelanjutan Kabupaten Sumbawa d. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten - Masyarakat sekitar hutan atau Sumbawa masyarakat hulu semakin berdaya e. Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa
Kriteria Evaluasi Sikap Pengaruh Total
Keputusan
3
5
15
Dilibatkan
3
5
15
Dilibatkan
3
4
12
Dilibatkan
3
4
12
Dilibatkan
3
3
9
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
3
2
6
Dilibatkan
Masyarakat hilir : PDAM
Terdistribusinya manfaat Sub DAS secara optimal, adil dan berkelanjutan
GP3A/P3A Masyakat Hulu
Sumber : Data Primer diolah, 2011
Memperoleh insentif atau imbal jasa atas sejumlah inisiatif dan upaya dalam pelestarian sub DAS
121
Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dibebankan tanggung jawab di bagian hilir, dengan tugas diantaranya membangun dan menyediakan sarana dan prasarana jaringan irigasi, membangun dan menyediakan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air, dan menyusun rencana induk tata guna sumber daya air. Dinas Pertanian yang masuk kategori cukup kuat, bertanggung jawab dalam mengembangkan teknik budidaya yang memiliki nilai konservasi. Sementara PDAM, GP3A/P3A (representasi dari masyarakat hilir) dan masyarakat hulu, merupakan stakeholder yang memiliki tingkat pengaruh rendah. Meskipun demikian, hasil analisis stakeholder memutuskan bahwa ketiganya tetap dipandang perlu diikutsertakan dalam pengelolaan Sub DAS. Hal ini senada dengan semangat undang-undang yang menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaku pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya termasuk DAS, misalnya pada Paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan menerangkan bahwa “….peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilan dari penyelanggaraan kehutanan”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana tingkat keterlibatan stakeholder tersebut dalam pengelolaan Sub DAS, dengan tingkat pengaruh dan peran yang dimilikinya? Hasil análisis stakeholder lebih lanjut didapatkan informasi bahwa secara keseluruhan stakeholder belum terlibat secara penuh dalam pengelolaan Sub DAS, termasuk stakeholder-stakeholder yang memiliki pengaruh besar (lihat Gambar 25). Rata-rata stakeholder memiliki tingkat keterlibatan dalam kategori sedang. Semestinya stakeholder, terutama yang memiliki fungsi dan kewenangan yang tinggi dan berada pada level operasional (eksekusi kebijakan) misalnya Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian harus terlibat secara penuh dalam rangka memerankan fungsinya, sehingga mampu memberikan pengaruh yang signifikan bagi perbaikan Sub DAS. Demikian pula halnya dengan DPRD, meskipun bukan sebagai stakholder yang berada pada level pelaksana kebijakan, namun fungsi legislasi dan penganggaran yang dimilikinya, menjadikan lembaga ini penting untuk dioptimalkan perannya, misalnya dalam konteks menghadirkan regulasi sebagai aturan main bagi setiap stakeholder dalam bertindak di level operasional kebijakan, mengingat regulasi tersebut menjadi syarat perlu (necessary condition)
122
bagi terselenggaranya pengelolaan DAS yang optimal dan lestari. Keberadaan regulasi tersebut semakin penting untuk sesgera mungkin dihadirkan untuk mengisi kekosongan akibat ketiadaan aturan di level atas yang secara spesifik mengatur tentang penyelenggaraan pengelolaan DAS. Peraturan perundangundangan yang ada saat ini, misalnya UU No.7/2004 tentang sumber daya air belum cukup menjadi “penawar” atas persoalan yang terjadi pada Sub DAS Batulanteh. Selanjutnya masyarakat hulu dengan pengaruh dan kewenangan yang relatif rendah, tidak kemudian menjadikan stakeholder ini tidak perlu dioptimalkan perannya. Keterlibatannya perlu dioptimalkan sehingga terjadi sinergisitas, mengingat masyarakat hulu adalah stakeholder dengan intensitas interaksi paling tinggi terhadap sumber daya Sub DAS. Akitivitasnya di hulu akan memberikan dampak (positif atau negatif) pada daerah hilir. Sehingga intervensi pada daerah hulu harus dijadikan perioritas oleh stakeholder pada level pembuat kebijakan. Eratnya keterkaitan antara hulu dan hilir, menjadikan masyarakat hilir sebagai stakeholder yang mengambil manfaat atas jasa yang dihasilkan Sub DAS tidak kalah pentingnya dengan stakeholder lain untuk dioptimalkan perannya. Bentuk keterlibatannya barangkali bisa didekati dengan makanisme PES, sehingga dampak dari aktivitas ekonomi di hilir dapat dinikmati oleh masyarakat hulu sebagai penyedia jasa. 6
I
II
Tingkat keterlibatan
5 Dishutbun
Bappeda
4
3
Masy. Hulu Dinas PU
2
GP3A/ P3A
PDAM DPRD
D. Pertanian
1
IV
III
1
2
3
4
5
6
Tingkat pengaruh
Gambar 25. Tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh (Sumber: Data primer diolah, 2011)
123
6.6 Re-Desain Kelembagaan Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Telah dipahami bersama bahwa syarat terselenggaranya pengelolaan DAS yang berkelanjutan adalah adanya keterpaduan tindak atau aksi para pihak dengan prinsip “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan”. Untuk menyokong prinsip pengelolaan yang demikian, maka menghadirkan kelembagaan yang efektif dan efisien menjadi necessary condition. Pada bagian terakhir dari tesis ini, dibahas mengenai desain kelembagaan yang memungkinkan untuk dikembangkan khusus dalam konteks Sub DAS Batulanteh. Mencermati kondisi eksisting yang terungkap dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan yang ada, mulai dari aturan main berupa peraturan perundang-undangan sampai pada bentuk pengorganisasiannya berupa komisi irigasi yang telah dibentuk berdasarkan SK Bupati : No. 407/kpts/2010 belum begitu efektif dalam menjawab persoalan lahan kritis di kawasan Sub DAS Batulanteh. Hasil analisis terhadap aturan main yang ada, misalnya masih banyak ditemukan kasus ketidaktepatan peletakan kewenangan atas urusan yang diatur. Kemudian minimnya pengaturan terkait isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat. Demikian pula pada tataran pelaksanaan peraturan sebagai bentuk respon pemerintah daerah dan masyarakat, juga belum optimal dan efektif. Kondisi aturan main dan respon tersebut diperparah lagi oleh ketidakefektifan rezim kepemilikan pribadi di dalam domain publik serta keterlibatan stakeholder terutama stakeholder dengan kewenagan tinggi masih relatif rendahnya. Didasari pada hasil diagnosa di atas, maka kelembagaan yang ada perlu dilakukan koreksi atau pembenahan baik pada level aturan main maupun bentuk pengorganisasiannya. Pada level aturan main dimulai dari : pertama, penataan peraturan perundang-undangan menyakut peletakan kewenangan atas sejumlah urusan yang dinilai tidak tepat. Penataan ini diperlukan karena ketidaktepatan tersebut, bukan saja tidak berada pada satu tingkatan yang sama, tetapi akan menghadirkan permasalahan terkait dengan rentang kendali dan pada akhirnya akan membutuhkan pengawasan yang ekstra kuat. Ketika pengawasan tidak bisa dioptimalkan, akibat mahalnya biaya pengawasan maka pengelolaan hutan yang dijahatkan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi sulit dipenuhi.
124
Sebagaimana telah diungkap pada bab sebelumnya, salah satu contoh urusan yang dinilai tidak tepat peletakan kewenangannya dan berimplikasi pada tidak optimalnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS ialah penyusunan dan penetapan rencana teknis rehabilitasi hutan dan lahan dalam kawasan DAS (RTkRHL-DAS) yang diatur dalam UU No.41/1999. Urusan tersebut menjadi kewenangan Menteri, yang semestinya cukup menjadi kewenangan organisasi KPH sebagai organisasi penyelenggara pengelolaan hutan, karena Menteri tentu memiliki keterbatasan informasi atas kondisi biofisik dan karakteristik DAS yang khas, akibat persoalan rentang kendali yang demikian jauh tadi. Penyusunan RTkRHL-DAS, tanpa ditunjang oleh informasi yang cukup, dipastikan dokumen yang dihasilkan kurang relevan untuk diaplikasikan guna menjawab persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kedua, penyempurnaan regulasi pada level daerah, dalam hal ini RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Penyempurnaan tersebut perlu dilakukan, mengingat urusan yang diatur terbatas pada tata cara pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, kemudian hak dan kewajiban masyarakat hulu serta pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS. Mengutif kembali ungkapan Saidman and saidman (2004) yang menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya “perilaku menyimpang” masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun “perilaku menyimpang” tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkapdan atau tidak tegas. Penyempurnaan ini dihajatkan agar kehadiran regulasi tersebut nantinya mampu mengisi kekosongan atas ketiadaan aturan main yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS di level atas. Isu-isu yang mungkin bisa diakomodir dalam rangka penyempurnaannya, antara lain : mekanisme cost sharing antara pemerintah, pemda, swasta, masyarakat, kemudian mekanisme pemanfaatan dana internasional; sistem insentif dan disinsentif dalam merespon isu dinamika penggunaan lahan pada hak kepemilikan masyarakat yang notabene belum mampu diakomodir oleh UU No.7/2004 serta kejelasan batasan wewenang peran, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dari hulu sampai hilir.
125
Setelah pembenahan pada aturan main, kemudian ditindaklanjuti pada aspek pengorganisasiannya dalam hal ini komisi irigasi. Sesuai dengan semangatnya untuk meretas persoalan sulitnya berkoordinasi, maka wadah ini harus dioptimalkan keberadaannya untuk mampu berperan lebih besar dengan menambah beban kerja dan wewenangnya, serta unsur keanggotaannya diperluas dengan jumlah yang seimbang dengan prinsip keterwakilan, sehingga tidak hanya terbatas pada zona hilir sebagai wilayah tanggung jawabnya, namun mampu menjembatani kepentingan hulu dan hilir serta mampu membuka peluang kerjasama dengan pihak luar. Dengan pembenahan aturan main dan wadah koordinasi-tempat para pihak menyusun strategi dan rencana aksi secara kolektif, maka diharapakan akan lahir pendekatan “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan” dalam penyelenggaraan pengelolaan dan pemanfaatan Sub DAS Batulanteh kedepannya.
XI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil analisis dalam pembahasan, dapat dikemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ketidaktepatan dalam peletakan kewenangan atas sejumlah urusan yang diatur dalam UU No.41/1999 beserta dua peraturan turunannya yakni PP No.3/2008 perubahan dari PP No.6/2007 dan PP No. 76/2008, masih tergolong besar yakni 71,15 persen dari 52 urusan pokok yang diidentifikasi. Ketidaktepatan yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan pada tataran yang lebih tinggi dari seharusnya. Fenomena tersebut dalam istilah Osborn dan Plastrik (2001) disebut sebagai preversi kekuasaan (kecendrungan birokrasi untuk memperkuat
kekuasaannya
dengan
mengkondisikan
peraturan
yang
diciptakan). Sementara pada kasus UU No.7/2004, kepatutan peletakan kewenangan relatif baik. Meskipun masih ditemukan penempatan urusan padatataran lebih tinggi dari seharusnya, sebesar 4,26 persen dari 47 urusan utama yang diidentifikasi, tetapi ketidaktepatan ini belum dikategorikan sebagai bias kebijakan yang mengarah pada preversi kekuasaan sebagai yang diperkenalkan oleh Osborn dan Plastrik (2001). Keduanya dipandang sebagai kebijakan yang bersifat umum dan berdampak nasional. 2. Respon pemerintah daerah atas sejumlah perintah peraturan perundangundangan tergolong cukup baik dengan indikator sebagai berikut : a. Mampu mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 18 ayat 2 UU No. 41/1999, meskipun sebarannya tidak proporsional. b. Telah menyelenggarakan sejumlah program rehabilitasi hutan dan lahan dengan mendorong peran serta masyarakat sebagaimana diperintahkan dalam pasal 42 ayat (1) dan (2); danpasal 70 ayat (2) UU No.41/1999. Program-program tersebut terdokumentasi dengan jelas dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, meskipun kemampuan penyelenggaraan masih tergolong terbatas. c. Telah melakukan perlindungan hutan melalui penegakan hukum tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat (1) & (5); dan
128
pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) UU No.41/1999. Penegakan hukum tersebut tercermin dari tidak adanya tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut atau tidak termonitor terhadap 62 kasus yang terjadi sepanjang periode 2005 – 2010, meskipun vonis hakim tergolong rendah dari yang di atur UU dengan rata-rata dibawah 1 tahun. d. Telah melakukan perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air sebagaimana di amanatkan dalam pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004 melalui kegiatan rehabilitasi titik mata air sebanyak 25 titik mata air, selama periode 2007 sampai 2010. e. Telah membentuk dewan sumber daya air dengan nama komisi irigasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 16 UU No.7/2004, meskipun terbilang lambat. Komis irigasi telah dibentuk pada tahun 2010 berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010 yang berunsurkan dari instasi pemerintah non pemerintah sebagaimana disyaratkan oleh UU. f. Telah
membentuk
kesatuan
pengelolaan
hutan
(KPH)
beserta
infrastrukturnya sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 1 PP No.3/2007 perubahan dari PP No. 6/ 2007. KPH yang telah terbentuk sebesar 96,62 persen dan jumlah tersebut sudah cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien, meskipun masih perlu dilakukan pembenahan terhadap organisasi pengelolaa terkait dengan rasio personil dan sarana-prasarana yang ada. Sementara respon masyarakat terhadap amanat UU juga tergolong cukup baik, ditandai oleh keterlibatannya pada sejumlah program yang ditawarkan pemerintah diantaranya : program hutan kemasyarakatan (HKM) pada tahun 2003 dan 2004; program dana reoboisasi (DR) pada tahun 2002 seluas 200 Ha; program Gerhan tahun 2005 seluas 200 Ha; program PSDHBM; program HTR; dan program konservasi lahan-NTB WRMP pada lahan masyarakat di zona hulu dan tengah Sub DAS. Sementara inisiatif masyarakat yang diketahui berkontribusi bagi perbaikan ekosistem DAS, namun bukan lahir atas dasar pemahaman mereka akan pentingnya kelestarian sumber daya hutan sebagaimana dikehendaki UU, ialah upayanya dalam merawat dan memelihara pohon yang mereka sebut “pohon boan” (pohon tempat seringnya
129
bersarang madu). Meskipun respon pemerintah dan masyarakat tergolong cukup baik, namun belum cukup juga dalam menyelesaikan persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS. 3. Struktur hak kepemilikan lahan di kawasan Sub DAS Batulanteh terdiri dari dua rezim yaitu : state property dan private property. Kedua rezim tersebut, mengandung tiga persoalan yaitu : (i). Private property tidak mampu menjadi insentif bagi pengelolaan lahan yang optimal secara ekologis dalam domain publik; (ii). State property belum bebas dari pemanfaatan tidak sah, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga hak kepemilikannya dari tindak pidana kehutanan; dan (iii). Ketidakjelasan kedudukan organisasi KPH sebagai pengelola state property, akibat hilangnya hak Exclusion. Dalam klasifikasi Scalger dan Ostrom (1992), organisasi KPH dalam kedudukannya sebagai pengelola seharusnya mempunyai hak Acces and Withdrawal, management, dan hak Exclusion. 4. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS terdiri dari pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh 5 instansi yaitu Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan DPRD, kemudian masyarakat hilir diwakili oleh PDAM dan GP3A/P3A, serta masyarakat hulu. Keseluruhan stakholder tersebut memiliki sikap saling mendukung terhadap kepentingan satu sama lain, sehingga sikap yang demikian bisa menjadi modal dalam mensukseskan program-program yang ada bagi keberlanjutan manfaat Sub DAS kedepannya. Namun, stakeholder belum
terlibat secara optimal dalam memainkan perannya, termasuk
stakeholder-stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi. 5. Dalam rangka penguatan kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh, perlu dilakukan pembenahan mulai dari aturan main baik pada level peraturan perundang-undangan maupun regulasi di level daerah (Raperda pengelolaan terpadu Sub DAS) sampai pada bentuk pengorganisasian yang ada yaitu komisi irigasi.
130
Saran Sehubungan dengan kesimpulan di atas, berikut disampaikan beberapa saran berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan pengembangan studi ke depan, yakni sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penataan kembali atas sejumlah urusan yang peletakan kewenangannya masih pada tataran lebih tinggi dari yang seharusnya, karena persoalannya bukan saja tidak dalam satu tingkatan yang sama, namun juga menimbulkan
permasalahan
yang
berkaitan
dengan
rentang
kendali,
kemampuan pengawasan dan ketidak lengkapan informasi. 2. Perlunya menghadirkan kelembagaan yang berfungsi menjembatani persoalan ketidakefektifan private property dalam domain publik. Dalam konteks yang lebih konkret kelembagaan tersebut ialah aturan baik formal maupun informal beserta bentuk pengorganisasiannya yang berfungsi mengatur pelaksanaan pengendalian pemanfaatan lahan yang menghasilkan eksternalitas, baik melalui instrument berbasis pasar (market based) maupun command and control. 3. Memperjelas konsep exit strategy dari setiap program pemberdayaan pemerintah, karena ketidakjelasan tersebut, bukan saja persoalannya terbatas pada output yang minim, tetapi dalam jangka panjang akan berdampak pada kejenuhan
dan
ketidakpercayaan
masyarakat
atas
sejumlah
program
pemerintah yang coba ditawar pada periode berikutnya. 4. Mengoptimalkan wadah koordinasi yang telah terbetuk dengan cara menambah beban kerja dan wewenangnya, serta unsur keanggotaannya diperluas dengan jumlah yang seimbang dengan prinsip keterwakilan, sehingga tidak hanya terbatas pada zona hilir sebagai wilayah tanggung jawabnya, namun mampu menjembatani kepentingan hulu, tengah dan hilir. 5. Kajian kelembagaan dalam perspektif ekonomi kelembagaan pada riset ini hanya pada level Sub DAS, sehingga kesimpulan yang dihasilkan lebih spesifik. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian lebeih lanjut pada skala DAS.
131
DAFTAR PUSTAKA Anonnymous. 1997. Pengelolaan sumber daya lahan kering di Indonesia. [AusAid] Australia Agency International Development, [LP3ES] Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah NTB. 2002. Sumber daya air di NTB krisis, kompetisi dan konflik. Prosiding lokakarya pengelolaan dan pemanfatan sumber daya air di NTB Balai Hidrologi. 2007. Booklet informasi potensi hidrologi di provinsi NTB [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTB. 2011. Draf rencana pengelolaan taman wisata alam Semongkat kelompok hutan Batulante (RTK 61) Kabupaten Sumbawa. [BPP-PSPL]. 2005. Kajian kearifan lokal masyarakat Sabang Mawang, Sededap dan Pulau Tiga Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna Provinsi Riau. Universitas Riau. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumbawa, Uni Eropa dan Word Bank. 2008. Baseline data sosial ekonomi dan biofisik (need assesment) program konservasi lahan Kabupaten Sumbawa. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumbawa 2010. Rencana pembangunan jangka menengah daerah. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah NTB. 2008. Data pokok pembangunan provinsi NTB [BPS] Badan Pusat Satistik Kabupaten Sumbawa. 2010. Kecamatan Batulanteh dalam angka tahun 2010. ……… . 2010. Sumbawa dalam Angka Bromley, D. W. 1989. Economic interes and institution. Blackwell, London --------------. 1988. Property rights and the enviroment : natural resource policy in intransition. Published by the Ministry for the enviroment. Wellington, New Zealand. Cahyono, S. A dan Purwanto. 2006. Imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan daerah aliran sungai. Disampaikan pada seminar peran stakeholder dalam pengelolaan jasa lingkungan DAS Cicatih Hulu. Commons, J. R. 1931. Institutional economics. American economic review. Vol. 21,1993,pp.648.-657. Departemen Kehutanan. 2009. Pedoman penyusunan rencana pengelolaan daerah aliran sungan terpadu. Jakarta ------------------. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Jakarta Dharmawan A. H, Krisnamurthi B, Tanjung D, Tonny F, Prasetyo L. B, Fauzia L, Prasodjo N. W, Suharno, Indaryanti Y dan Mardiyaningsih D. I. 2004. Desentralisasi pengelolaan dan sistem tata-pemerintahan sumber daya alam daerah aliran sungai Citanduy. Cetakan I. Penerbit Pusat Studi
132
Pembangunan-Institut Pertanian Bogor berkerjasama dengan Partnership For Governance Reform in Indonesia-UNDP. Bogor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kabupaten Sumbawa. 2010. laporan akuntabilitas kinerja pemerintah periode 2010 …………. 2011. Rencana Strategis periode 2011-2015 Dinas Perkejaan Umum Kabupaten Sumbawa. 2010. Laporan akuntabiltas pemerintah periode 2010. Diehl, M. 1998. The role of institutions in the economic transition process : the reform of state-owned enterprises in Vietnam. Journal for institutional inivation, development, and transition. Vol 2: 49-59. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Luas lahan kritis di Indonesia dan statistik dalam angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan. Jakarta. [DPRD] Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Sumbawa. 2008. Draf naskah akademik RAPERDA tentang pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Sumbawa Besar. Easter K. W, Dixon J. A dan Hufschmidt. 1986. Watershed resources management: an integrated framework with studies from Asia and The Pacific. Westview Press. Colorado Engel, P. 1997. The social organization of innovation : a focus on stakeholder intraction. Royal Tropical Institut, Amsterdam, Netherlands. Fauzi, A. 2006. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta ……….. Peran ekonomi kelembagaan dalam pengelolaan lahan berkelanjutan. Didownload pada tahun 2010. Sumber: http://www.landpolicy.or.id/ Freeman, R. E. 1984. Strategic management: a stakeholder approach. Pitman, Boston Gill, N. 1979. Watershed development with special reference to soil and water conservation. FAO. Soil. Bull. No. 44. Goldman, I. 2000. Micro to macro : policies and institution empowering the rural poor. www transport.links.org. downloaded juni 2011 Grimble, R dan Chan M. K. (1995). Stakeholder analysis for natural resource management in developing countries. Natural resources forum, vol. 19 No.2, pp. 133-124 Grimble R, Chan M. K, Aglionby J dan Quan J. (1995) Trees and trade-offs. A stakeholder approach to natural resource manajemen. Gatekeeper series, vol. 52. London. UK : IIED Hamilton, W. H. 1932. Institution. In Seligman ERA and Johnson A (Eds.). Encyclopedia of the social sciences. Vol.8 Hanna, S. 1995. An introduction to property rights and the environment. In: Hanna S and Munasinghe M (eds.). Property rights and the environment:
133
social and ecological issues. The Beijer International Institute of Ecological Economics, World Bank. Hardin, G. 1968. “The tragedy of the commons”. Science 162 : 1243-1248 Hasanuddin. 2008. Pengaruh simulasi penggunaan lahan terhadap besarnya debit banjir puncak dan erosi pada Sub DAS Setongo Sebaung di Kabupaten Sumbawa [Tesis] Penerbit Program Pascasarjana Universitas Barawijaya Malang Hidayat, A. 2007. Pengantar ekonomi kelembagaan. [Modul Kuliah]. Bogor Ismanto, A. D. 2010. Pengaruh perubahan institusi terhadap respon pemerintah dan perusahaan, dan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. [Disertasi]. Penerbit Sekolah Pascasarjana IPB. [JMHS] Jaringan Madu Hutan Sumbawa. 2010. Solusi antisipasi kehancuran hutan Batulanteh. [Majalah]. Edisi 2 Juni –Juli 2010. Sumbawa Besar. Julmansyah. 2007. Prakarsa di tengah krisis air dan kemiskinan: praktek pembayaran jasa lingkungan oleh masyarakat lokal. Penerbit Samawa Center. Sumbawa Besar. ………….. 2010. Madu hutan menekan deforestasi. Jalan lain konservasi DAS dan adaptasi perubahan iklim. Penerbit JMHS Kartodihardjo H, Murtulaksono K dan Sudadi U. 2004. Institusi pengelolaan daerah aliran sungai: konsep dan pengantar analisis kebijakan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Kasper, W and Streit, M. E. 1998. Institutional economics, social order and policy. Edward Elgar. Cheltenham, UK. and Northampton, MA. USA. Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Sambutan Sekretaris Menteri lingkungan hidup. Disampaikan pada lokakarya : Revitalisasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Bogor Knight, J. 1992. Institution and social conflict. Cambridge University Press. Libecap, G. 1989. Distributional issues in contracting for property rights. Journal of institutional and theoretical economics. Vol. 145. [LP3ES] Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. 2011. Laporan kemajuan program konservasi NTB-WRMP Kabupaten Sumbawa. Manik dan Setiawan, A. 2010. Kelembagaan dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Konferensi dan seminar BKPSL Indonesia. Pekanbaru, Riau, 14 – 16 Mei 2010 Manig, W. 1991. Rural social and economic structure and socila development. In Manig W: Stability and change in rural institutions in North Pakistan. Socio-economic studies on rural development. Vol. 85. Alano. Aachen Meyers, J. 2001. Stakeholder power analysis. IIED North, D.C. 1990. Institutions, institutional change and economics performance. Cambridge University Press.
134
------------. 1995. The new institutional economic and third world developmnet. In Harris J, Hunter J, and Lewis CM: The new institutional economic and third world development. London : Routledge Nugroho, Priyono dan Cahyono. 2008. Teknologi pengelolaan daerah aliran sungai: cakupan, permasalahan, dan upaya penerapannya. Penerbit : Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS [ODA] Overseas Devolopment Administration. 1995. Guidance note on how to do stakeholder analysis of aid programmes. Social development departemen, London Olson, M. 2002. The logic of collective action : public goods and theory of group (twentieth printing). Harvard University Press. USA Ostrom, E. 1990. Governing of the common. The evolution of institutions for collective action. Cambridge University Press. Osborn, D dan Plastrik. 2002. Memangkas birokrasi : lima strategi menuju pemerintahan wirausaha. Pusat pengembangan manajemen. Jakarta [P3P Unram dan mfp]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan Universitas Mataram dan multysatkeholder forestry programme. 2006. Laporan akhir studi dinamika kebijakan kehutanan di nusa tenggara : peluang dan tantangannya. Postel, S. 1995. Menghadapi kelangkaa air. Dalam buku masa depan bumi penerbit Yayasan Obor Indonesia. Ramirez, R. (1999). Stakeholder analysis and conflict management, in Buckles D (ed). Conflict and collaboration in natural resource management, Ottawa and Wasington : IDRC and the World Bank, pp. 101-126 Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Jakarta ------------. 2004. Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Jakarta -------------. 2005. Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang rencana pemabngunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2004-2009. Jakarta Rolling, N and Wagemakers, M. 1998. facilitating sustainable agriculture : participatory learning and adaptive management in times of environmental uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, UK Ruddle, K. 1993. External forces and change in traditional community-based fisheries management system in the Asia-Pacific Region. Maritime anthropological studies. Vol. 6 (1-3): 1-37. Santoso, B. 2006. Pola pengelolaan sumber daya air di sistem Kedung Ombo: tinjauan terhadap aspek kelembagaan. Jurnal teknik sipil. Vol. III, No. 2. Juli 2006: 49 – 59
135
Saad, S. 2003. Politik hukum perikanan Indonesia. Penerbit percetakan Dian Pratama. Jakarta Seidman, A and Seidman, R. B. 2001. penyusunan rancangan undang-undang dalam perubahan social yang demokratis. Jakarta. ELIPS II Schmid, A. 1972. The economic theory of social institution. American journal of agricultural economics. 54:893-901 Schotter, A. 1981. The economic theory of social institutions. Cambridge, Cambridge University Press. Schlager and Ostrom E. 1992. Property right regimes and natural resource : a conceptual analysis. Land economic 68 (3) : 249-262. Sumampouw M, Arsyad I, Syafrizaldi, Yuniati S, Widodo S dan Sutisna W. 2009. Satu kelola, satu rasa, satu aksi sejuta manfaat. Sebuah panduan pengelolaan das skala kecil. Penerbit USAID, Departemen Kehutanan, BAPPENAS dan ESP Sinukaban, N. 2007. Peranan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Penyunting : Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Cetakan ke empat. Penerbit Alfabeta, Bandung. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan (suatu pendekatan teoritis) edisi 3. Penerbit BPFE Yogyakarta Tejowulan dan Suwardji. 2008. Sistem ekologi dan manajemen daerah aliran sungai. Penerbit: Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL) Universitas Mataram. Mataram Tietenberg, T. 1992. Enviromental and natural resource economic. Third edition. Harper Collins publishers Inc. New York USA. 678 pp. Wijayanti, P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta. [Tesis] Penerbit Sekolah Pascasarjana IPB. Wiliamson. 2000. The new institutional economics: taking stock, looking ahead. Journal of economic literature. Vol. 38, pp. 595-613 Van den Berg, H. 2001. Economic growth and development. Mac Graw HillIrwin, Singapore Yeager, T. J. 1999. Institutional, transaction economic and economic development. Political economy of global interdependence. Oxford. Yudono, H dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS : mulai dari yang kecil , mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja) Yustika, A. E. 2008. Ekonomi kelembagaan. Definisi, teori dan strategi. Edisi kedua, cetakan pertama. Penerbit Bayumedia Publishing. Malang
137
Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU No 1 2
3 4 5 6
Amanat pertauran perundang-undangan Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999 tentang kehutanan) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999 tentang kehutanan) Perlindungan Hutan baik di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999 tentang Kehutanan) Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004 tentang sumber daya air) Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal 86 UU No.7/2004 tentang Sumber daya air) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) beserta infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2007 perubahan dari PP No. 6/ 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan)
138
Lampiran 2. Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.41/1999; PP No.3/2008; dan PP No.76/2008 Substansi Aturan Penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
urusan
(1) Penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan pendek (2) Penyusunan rencana dan kegiatan pengelolaan yang belum terbentuk organisasi KPH (3) Penetapan rencana jangka panjang (4) Penetapan rencana jangka pendek (5) Penetapan luas wilayah KPH (6) Pembangunan KPH dan infrastrukturnya (7) Penetapan organisasi KPH (8) Pelaksanaan penataan hutan meliputi : tata batas; inventarisasi hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan pemetaan) (9) Pemberian dan evaluasi ijin pemanfaatan hutan (IUPK & IUPJL) Pemanfaatan dan penggunaan (10) pemberian dan evaluasi ijin IUPHHK pada (restorasi ekosistem, HTI, HTR dan HTHR) dalam hutan kawasan hutan alam (11) pendampingan guna penguatan kelembagaan bagi pemegang IUPHHK HTR (12) pemberian dan evaluasi ijin (IUPHHBK) (13) pemberian dan evaluasi ijin (IPHHK) (14) pemberian dan evaluasi ijin (IPHHBK) (15) perpanjangan ijin (IUPK, IUPJL, IUPHHBK, dan IPHHBK) (16) pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK (17) pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK (18) pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHK-HTR (19) pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IUPHHBK (20) pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) yang telah disusun oleh pemegang IUPHHBK (21) pengesahan/persetujuan rencana kerja usaha jangka panjang yang telah disusun oleh pemegang IPHHK (22) pembentukan lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI dan HTR (23) usulan alokasi dan penetapan areal untuk pembangunan HTR (24) mengalokasikan dan penetapan areal tertentu untuk pembangunan HTR (25) penetapan harga dasar penjualan kayu pada HTR
Tingkat urusan Letak Kewenangan (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) 1 1 2 2 2 2 3 3 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 8 8 9 10
9
9
11 12 13 14 15 16 17 18
11 12 13 14 15
12 13 14 15
11 12 13 15 16
17 18
19
20 21 22 23 24 25
9 10
19
19
20
20
21 22 23 24 25
139
Rehabilitasi dan (26) penyusunan dan penetapan RTkRHL-DAS 26 reklamasi hutan (27) penetapan RPRH pada hutan produksi dan lindung 27 (28) penetapan RPRH pada hutan konservasi 28 (29) penetapan RPRL 29 (30) penyusunan RTnRH yang belum dibebani hak/izin 30 (31) penetapan RTnRL 31 (32) pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan konversi 31 (33) pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan lindung 31 (34) pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan produksi dan lindung yang pengelolaannya di bebani hak 34 (35) pendampingan atas pelaksanaan rehabilitasi hutan oleh pemgang hak 31 (36) pelaksana rehabilitasi hutan pada hutan lindung dan produksi yang tidak dibebani hak 36 (37) pelaksana rehabilitasi lahan 37 (38) pelaksana rehabilitasi lahan yang dibebani hak 38 (39) pelaksana pemeliharaan tanaman pada hutan konservasi 39 (40) pelaksana pemeliharaan tanaman pada hutan produksi dan lindung 40 (41) pemeliharaan tanaman pada hutan taman raya 41 (42) pemeliharaan tanaman pada hutan yang dibebani hak 42 (43) pelaksana pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi lahan yang dibebani hak 43 (44) pelaksana pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi lahan 44 (45) penilaian dan persetujuan recana reklamasi 45 (46) pelaksana reklamasi pada hutan hak 46 (47) pengamanan hasil reklamsi pada hutan hak 47 (48) pelaksana reklamasi pada areal bencana alam secara murni 48 (49) penetapan besaran dana jaminan reklamasi atas usulan pemegang izin 49 (50) penilaian keberhasilan pelaksanaan reklamasi 50 (51) perlindungan hutan pada hutan negara Perlindungan 51 dan konservasi (52) perlindungan hutan pada hutan hak 51 alam Ket.: (a) : KPH; (b). Kab.; (c). Lintas- kab.; (d). Lintas- prop.; (e). Pemegang hak/izin; (f). KPH; (g). Bup; (h). Gub; (i). Ment Sumber : UU No.41/1999; PP No.3/2008; dan PP No.76/2008
26 27 28 29 30 31 32 33
33
35 36 37
35 36
34 35
38 39 40
40 41
41
44 45
45
45
48 49
48 49
51
51
48 49 50 51
42 43
46 47
52
140
Lampiran 3. Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.7/2004; dan PP No.42/2008 Urus. Pokok Aturan Kebijakan umum pengelolaan sumber daya air
Substansi Urusan
Tkt. urusan Tkt. Kewenangan (a) (b) (c) (d) (e) (f) 1. penetapan kebijakan sumber daya air 1 1 1 1 1 1 2. penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai 2 2 2 2 2 2 3. penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai 3 3 3 3 3 3 4. penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai 4 4 4 4 4 4 5. pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai 5 5 5 5 5 5 6. pengaturan, penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber 6 6 6 6 6 6 daya air pada wilayah sungai 7. pengaturan, menetapakan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan 7 7 7 7 7 7 pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai 8. pembentukan dewan sumber daya air 8 8 8 8 8 8 9. fasilitasi penyelesaian sengketa dalam pengelolaan air 9 9 9 9 9 9 10. penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pengelolaan sumber daya air 10 10 10 10 11. penetapan wilayah sungai 11 11 11 11 Konservasi 12. perlindungan dan pelestarian sumber daya air 12 12 12 12 12 12 sumber daya air 13. penunjukan dan penetapan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air 13 13 13 13 13 13 14. penetapan peraturan untuk pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan 14 14 14 14 14 14 15. pengelolaan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air 15 15 15 15 15 15 16. pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi resapan air 16 16 16 16 16 16 17. pelaksanaan pengendalian pemanfaatan air 17 17 17 17 17 17 18. pelaksanaan perlindungan sumber air 18 18 18 18 18 18 19. pelaksanaan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu 19 19 19 19 19 19 20. penetapan daerah sempadan air 20 20 20 20 20 20 21. Melakukan pemantauan dan pengawasan atas pelaksanaan pengaturan sempadan air 21 21 21 21 21 21 22. Mempertahankan fungsi daerah sempadan air 22 22 22 22 22 22 23. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sekalgus pemantauan dan pelaksanaan dari kegiatan rehabilitas 23 23 23 23 23 23 24. Penerapan tarif penggunaan air yang bersifat progresif 24 24 24 24 24 24 25. Pemberian insentif dan disinsentif bagi pengguna air 25 25 25 25 25 25 26. Penetapan kelas dan baku mutu air pada sumber air 26 26 26 26 26 26 27. Penanggulangan pencemaran air pada sumber air 27 27 27 27 27 27
141
28. Perbaikan fungsi lingkungan untuk pengendalian kualitas air Pendayagunaan 29. Penetapan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air sumber daya air 30. Inventarisisasi jenis pemanfaatan air yang sudah ada 31. Pemetaan potensi konflik kepentingan antar jenis pemanfaatan yang sudah ada. 32. Penetapan urutan prioritas penyediaan air pada setiap wilayah sungai 33. Penetapan dan perubahan rencana penyediaan sumber daya air tahunan 34. Pemberian, pembatalan, pembekuan atau diberlakukan lagi izin pengusahaan/penggunaan air 35. Pemberian izin pelaksanaan konstruksi pada sumber air 36. Penetapan jangka waktu izin penggunaan air 37. Penetapan kawasan rawan bencana pada setiap wilayah sungai Pengendalian daya rusak air 38. Penetapan sistem peringatan dini pada setiap wilayah sungai 39. Penyebarluasan informasi dan penyuluhan 40. Pelaksanaan penanggulangan kerusakan dan atau bencana akibat daya rusak air melalui mitigasi bencana 41. Penyusunan dan penetapan prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air 42. Sosialisasi prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air 43. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk pemulihan akibat becana 44. Pengelolaan sistem informasi sumber daya air Sistem informasi pembiayaan 45. Penyediaan anggaran pembiayaan pengelolaan sumber daya air 46. Penetapan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air 47. Penyusunan dan penetapan pedoman perhitungan dan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air Ket. : (a). Kab.; (b). lintas-kab.; (c). lintas-prov.;(d). Bup.(e). Gub.(f). Ment Sumber : UU No.7/2004; dan PP No.42/2008
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
42 43 44
42 43 44
42 43 44
42 43 44
42 43 44
42 43 44
45 46 47
45 46 47
45 46 47
45 46 47
45 46 47
45 46 47
142
Lampiran 4. Nilai sikap, pengaruh dan tingkat keterlibatan stakeholder berdasarkan penilaian responden No. Nilai sikap stakeholder Nilai pengaruh stakeholder Nilai keterlibatan stakeholder Resp. (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) 1 3 3 3 3 3 3 3 2 4 5 4 4 3 2 3 2 4 3 3 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 5 5 4 3 2 2 3 3 2 4 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 5 4 5 4 4 2 2 2 3 2 3 4 3 1 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 2 4 5 5 5 3 2 2 3 4 2 3 3 3 2 3 2 5 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 4 5 4 3 3 3 3 2 3 2 3 3 2 3 6 3 3 3 3 3 3 3 3 5 4 4 5 2 3 2 1 3 2 3 3 3 3 2 2 7 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4 4 4 4 2 2 3 2 2 3 3 3 2 3 3 8 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 5 4 4 2 2 3 3 2 3 3 3 2 1 2 9 3 3 3 3 3 3 3 3 4 5 4 5 2 2 3 2 3 2 3 3 3 1 1 2 10 3 3 3 3 3 3 3 2 5 4 4 4 5 2 2 2 3 2 3 2 2 2 1 3 11 3 3 3 3 3 3 3 3 4 5 5 4 5 2 3 2 3 2 3 2 2 1 2 3 12 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 5 4 2 2 3 3 2 2 2 2 2 1 3 13 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4 3 5 4 2 2 2 5 2 5 3 2 1 2 3 14 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 5 4 5 2 3 3 4 2 4 2 2 1 2 1 15 3 3 3 3 3 3 3 3 5 4 4 4 3 2 3 2 4 2 3 2 2 2 1 3 16 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 4 4 2 4 3 3 5 2 4 3 2 1 2 3 17 3 3 3 3 3 3 3 3 4 5 4 5 4 2 2 3 4 2 4 2 2 2 1 2 18 3 3 3 3 3 3 3 3 5 4 5 4 3 3 3 2 5 2 5 2 2 1 2 3 19 3 3 3 3 3 3 3 2 5 4 4 4 4 3 2 2 4 2 5 3 2 1 1 3 20 3 3 3 3 3 3 3 2 5 5 5 5 3 2 3 2 4 2 4 3 2 1 2 2 Jml 60 60 60 60 60 60 60 52 90 91 86 89 69 46 49 48 71 41 70 53 49 33 35 53 Rata2 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 4 4 3 2 2 2 4 2 4 3 2 2 2 3 Ket. (a). Bappeda kab. Sumbawa; (b). DPRD Kab. Sumbawa; (c). Dinas kehutanan & perkebunan kab. Sumbawa; (d). Dinas PU kab. Sumbawa; (e). Dinas pertanian kab. Sumbawa; (f). PDAM kab. Sumbawa; (g). Gp3A/P3A; (h). Masyarakat hulu
143
Lampiran 5. Tingkat pencapaian target pelaksanaan program kerja Dinas kehutanan dan perkebunan tahun 2010 Program
Target
Pemanfaatan • Pengembangan hutan tanaman seluas 75 Ha di sumber daya lahan masyarakat dan lahan Negara hutan • Perencanaan dan pengembanga hutan kemasyarakatan
Rehabilitasi hutan dan lahan
• Pembuatan bibit/benih tanaman kehutanan sebanyak 80 ribu batang/tahun • Peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan seluas 200 ha • Penyusunan rancangan teknis kegiatan kehutanan seluas 120 ha • Rehabilitasi daerah tangkapan air dan sumber air seluas 80 ha • Rehabilitasi lahan kritis dalam dan luar kawasan seluas 100 ha • Peningkatan konservasi tanah dan air seluas 200 ha
Indikator Kinerja Keluaran Manfaat • Terfasilitasi kelompok masyarakat dalam • Terselenggaranya rehabilitasi hutan dan rehabilitasi hutan dan konservasi tanah konservasi tanah di wilayah DAS • Tersusunnya dokumen lokasi pencadangan • Adanya pemanfaatan ruang kawasan hutan HTR dan HKM melalui pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) • Adanya bibit bakti sosial untuk • Meningkatnya luasan dalam kegiatan penghijauan serta rehabilitasi lahan kritis rehabilitasi lahan kritis • Menguatnya kelembagaan masyarakat • Meningktanya kesadaran masyarakat terhadap dalam program PSDHBM rehabilitasi hutan melalui kelembagaan HKM • Adanya dokumen perencanaan rehabilitasi • Memudahkan pelaksanaan rehabilitasi sumber sumber mata air mata air • Terlaksanannya rehabilitasi sumber mata • Berkurangnya tingkat kekritisan daerah air tangkapan dan sumber mata air • Terlaksananya rehabilitasi lahan kritis • Berkurangnya lahan kritis luar dan dalam dalam dan luar kawasan kawasan • Terjaganya areal DAS hulu dan hilir • Kawasan DAS tetap lestari
Perencanaan dan • Penyusunan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan • Adanya dokumen RPRHL pengembangan dan lahan hutan • Pendampingan kelompok usaha perhutanan rakyat • Terlibatnya kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan hutan Perlindungan & • Penyuluhan dampak perusakan hutan di 5 lokasi • Meningkatnya orang tersuluh konservasi sumber daya • Fasilitasi konflik tata batas kawasan hutan • Adanya kejelasan tata batas hutan • Pengamanan dan perlindungan hutan pada 7 KPH • Terlaksanannya operasi pengamana hutan dan hasil hutan Peningkatan • Pengembangan lahan perkebunan kopi seluas 150 • Adanya lokasi-lokasi baru dalam ketahanan pangan ha pengembangan tanaman perkebunan kopi & perkeb. Sumber: LAKIP Dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten Sumbawa,2010
• Memudahkan dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan • Meningkatnya partisipasi kelompok masyarakat • Tumbuhnya kesadaran masyarakat akibatnya perusakan hutan • Berkurangnya intensitas konflik • Berkurangnya tingkat pidana kehutanan
akan
• Adanya peningkatan produksi tanaman kopi
Capaian 100%
100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
100% 100% 100% 100%
1000%
144
Lampiran 6. Tingkat pencapaian target pelaksanaan program kerja Dinas Pekerjaan Umum tahun 2010 Program
Target
Pengembangan dan • Pelaksanaan normalisasi sungai pengelolaan jaringan irigasi, • Perencanaan rehabilitasi/pemeliharaan rawa dan jaringan jaringan irigasi pengairan lainnya • Rehabilitasi/pemeliharaan jaringan irigasi
Indikator Kinerja Keluaran • Normalisasi alur sungai
Manfaat • Alur sungai yang terpelihara, DAS yang bebas banjir • Dokumen perencanaan • Penunjang pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi • Pelaksanaan pemeliharaan jaringan irigasi • Jaringan irigasi yang baik dalam rangka mendukung peningkatan hasil pertanian • Pemeliharaan jaringan irigasi di 24 daerah • Membaiknya kondisi jaringan irigasi irigasi • Tersediannya sarana pengelolaan dan • Tertatanya distribusi air ke areal pertanian organisasi pengelolaan air • Dokumen perencanaan • Penunjang pelaksanaan pemeliharaan prasarana pengambilan dan saluran pembawa • Pemeliharaan bendungan dan sungai • Bendungan dan sungai yang terpelihara
• Optimalisasi fungsi jaringan irigasi yang telah dibangun Penyediaan dan • Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air pengelolaan air baku • Perencanaan pemeliharaan prasarana pengambilan dan saluran pembawa • Pemeliharaan prasarana pengambilan saluran pembawa Pengembangan • Perencanaan pemeliharaan dan rehab • Adanya dokumen perencanaan • Acuan pelaksanaan pemeliharaan pengelolaan dan embung dan bangunan penampung konservasi sungai, lainnya danau dan sumber • Pemeliharaan dan rehabilitasi embung dan • Rehabilitasi dan pemeliharaan embung • Terpeliharanya jaringan irigasi dan bendungan daya air bangunan penampung lainnya dan bangunan penampung lainnya yang telah di bangun Sumber: LAKIP Dinas Pekerjaan Umum,2010
Capaian 97,77%
99,51 99,75% 99,38% 90,74% 97,52% 97,65% 99,81%
100%