TANTANGAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SITU BERKELANJUTAN Suryawan Setianto
Balai Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Sumber Daya Air Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta 12310 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 3 November 2011 ; Tanggal disetujui: 17 November 2011 ABSTRACT Lake is one of the ecosystem that serves as a temporary water catchment area. Thus, it role becomes important in the hydrologic water cycle. The importance of its role does not make people care about and want to protect the existence of the lake. On the contrary, there are many lake pollution and landfill. The emergence of these problems associated with weak supervision and uncertainty management. This research aims to determine the existing condition of situ in Jabodetabek and institutional issues that arise in order to formulate a strategy of sustainable management. The approach being used is qualitative descriptive because it can map out the role of stakeholders involved comprehensively. The results obtained shows that in order to realize the sustainable lake management, commitment of all stakeholders involved is needed, by considering the equality of sharing degree and, conversion of the local potential into collective action, as well as strengthening intergovermental networks. Keywords : institutional, stakeholders, commitment, sustainable ABSTRAK Situ adalah salah satu ekosistem yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air sementara. Dengan demikian, peran situ menjadi penting dalam siklus hidrologi air. Pentingnya peran situ tidak kemudian menjadikan masyarakat peduli dan mau melindungi keberadaan situ. Justru sebaliknya, situ banyak mengalami pencemaran serta pengurugan. Munculnya permasalahan ini terkait dengan lemahnya pengawasan serta ketidakjelasan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi eksisting situ di Jabodetabek dan permasalahan kelembagaan yang muncul untuk kemudian merumuskan strategi dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Pendekatan yang dipakai adalah kualitatif deskriptif karena dianggap bisa memetakan peran stakeholders yang terlibat dengan komprehensif. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa untuk bisa mewujudkan pengelolaan situ yang berkelanjutan diperlukan komitmen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dengan mempertimbangkan kesetaraan derajat sharing, konversi potensi lokal menjadi collective action, serta perkuatan intergovernmental networks. Kata kunci : kelembagaan, stakeholders, komitmen, berkelanjutan PENDAHULUAN Air adalah salah satu elemen penting yang dibutuhkan manusia dalam upaya untuk bertahan hidup, akan tetapi dewasa ini sangat sedikit yang mempunyai kepedulian untuk melestarikan atau setidaknya menjaga kualitas air tersebut. Permasalahan kemudian muncul terkait dengan sumberdaya air ini. Sekitar 1,2 miliar jiwa, atau sebanyak 1/5 penduduk dunia saat ini tinggal di daerah langka air, dan jumlah ini masih akan terus bertambah (FAO, 2007). Untuk kota Jakarta, menurut data yang dikeluarkan oleh Bappenas, kerugian yang ditimbulkan akibat banjir tiap tahunnya mencapai Rp. 4,1 triliun.
Alam sudah memiliki mekanismenya tersendiri untuk mendaur ulang kualitas air melalu siklus hidrologi. Situ adalah salah satu ekosistem perairan tergenang yang juga mempunyai peran dalam siklus hidrologi tersebut. Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan, sumber airnya berasal dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaaan. Hanya saja dalam perkembangannya dewasa ini situ-situ semakin tersisih dan menghadapi berbagai masalah antara lain pencemaran, sedimentasi dan juga pengurugan (Puspita dkk, 2005). Seiring berjalannya waktu, masyarakat seringkali tidak dapat membedakan antara Situ alami, Situ buatan, embung, atau danau
Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan Suryawan Setianto
Gambar 1. Perkembangan Pengelolaan Situ Jabodetabek dikarenakan setelah kurun waktu beberapa lama kondisi ekologis dan ekosistem prasaranaprasarana SDA tersebut terlihat sama. Situ, sebagai salah satu infrastruktur SDA yang kerap diabaikan keberadaannya, sebenarnya memainkan peran yang tak kalah penting. Terlebih pada musim penghujan yang berpotensi mendatangkan banjir sebagaimana dialami kota-kota besar di Indonesia belakangan ini. Situ, yang sejatinya merupakan wadah/tampungan air, pada kenyataannya tidak dapat lagi berfungsi optimal. Berbagai program dan kebijakan telah diluncurkan, namun kendala lemahnya regulasi dan aspek kelembagaan ternyata menjadi salah satu faktor penyebab utamanya. Dalam tulisan ini, penulis ingin memfokuskan pembahasan pada aspek kelembagaan sebagai prasyarat terwujudnya pengelolaan Situ yang berkelanjutan. Hingga saat ini, data mengenai jumlah situ di Jabodetabek masih bervariasi. Ditjen Sumberdaya Air Kementerian PU melaporkan jumlah situ yang terdapat di Jabodetabek ada 218 buah dengan luas total 2.116,5 Ha. Jumlah tersebut tersebar di kawasan DKI (35 buah), Bogor (122 buah), Tangerang (45 buah), dan Bekasi (16 buah). Namun karena berbagai hal luas Situ-situ tersebut kini menyusut menjadi 1.978,02 Ha dan jumlahnya telah semakin berkurang (www.bkprn.org). Pada tahun 2003, LIPI memperkirakan terjadi penurunan kualitas situ hingga mencapai 50%, prosesnya terjadi secara gradual selama 5-20 tahun (Kompas, Rabu 1 April 2009). Banyak peneliti telah melakukan studi pengelolaan situ dari berbagai aspek; antara lain pemantauan kualitas air situ-situ di DKI Jakarta (Hendrawan, 2005), kelembagaan pengelola situ di kota Depok (Listiani, 2005), pengaruh
perubahan lahan terhadap eksistensi situ (Rosnila, 2004), peran Situ terhadap sistem tata air di kota Depok (Permana, 2003), hingga pengelolaan dan pengembangan situ sebagai wahana rekreasi dan sumber Pendapatan Asli Daerah – PAD (Waryono, 2008). Sebagai salah satu infrastruktur SDA yang kerap diabaikan keberadaannya, sebenarnya situ memainkan peran yang tak kalah penting. Terlebih pada musim penghujan yang berpotensi mendatangkan banjir sebagaimana dialami kotakota besar di Indonesia belakangan ini. Situ, yang sejatinya merupakan wadah/tampungan air, pada kenyataannya tidak dapat lagi berfungsi optimal. Berbagai program dan kebijakan telah diluncurkan, namun kendala lemahnya regulasi dan aspek kelembagaan ternyata menjadi salah satu faktor penyebab utamanya. Guna mengatasi hal ini, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane Ditjen SDA Kementerian PU bersama Dinas PU Provinsi DKI Jakarta, Dinas PU Provinsi Jawa Barat, serta Dinas PU Provinsi Banten tengah menginisiasi kerjasama pengelolaan situ di wilayah Jabodetabek. Kerjasama ini dibentuk karena belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang spesifik mengamanatkan pengelolaan Situ. Diharapkan dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, ada kejelasan mengenai peran masing-masing pihak dalam upaya pengelolaan dan pelestarian situ di Jabodetabek. Dalam tulisan ini akan dianalisis aspekaspek kelembagaan dalam rencana kerjasama pengelolaan situ se-Jabodetabek, serta merumuskan strategi yang tepat untuk mengelola kerjasama agar memberikan dampak (benefit) yang optimal bagi terwujudnya kelestarian situ dan keselarasan pengelolaan SDA dari hulu ke hilir. Kelembagaan yang dimaksud adalah suatu tatanan dan pola hubungan antar anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan yang ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik, aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerja sama guna mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2003 dalam Listiani, 2005). Kelembagaan pada dasarnya mengatur 3 hal penting yaitu : penguasaan, pemanfaatan dan transfer teknologi. Lembaga bisa berwujud resmi (dalam Pemerintah) dan tidak resmi (di luar pemerintah). Kelembagaan adalah salah satu 151
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 150-159
unsur penting untuk mewujudkan pengelolaan situ yg efektif. Penulis ingin memfokuskan pembahasan pada aspek tata kelembagaan (institutional architecture) sebagai prasyarat terwujudnya pengelolaan situ yang berkelanjutan. Tata kelembagaan yang dimaksud mencakup regulasi, organisasi, sumberdaya manusia (SDM), serta pembiayaan. Selanjutnya, beberapa pertanyaan penelitian diformulasikan untuk menjawab permasalahan di atas yakni: 1) Bagaimana gambaran kondisi kelembagaan eksisting dalam pengelolaan Situ? 2) Kendala apa yang dihadapi para aktor dalam pengelolaan Situ? 3) Strategi apa yang harus ditempuh guna mengoptimalkan kinerja kerjasama pengelolaan Situ? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih karena dianggap dapat memetakan peran dengan baik. Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang. Lokasi ini di pilih karena berdasarkan laporan dan hasil studi yang pernah dilakukan, sebagian besar situsitu di wilayah ini tergolong kritis. Selain itu, kawasan Jabodetabek juga terletak dalam lingkup layanan fungsional DAS Ciliwung Cisadane. Oleh karena itu, lokasi ini dipilih sehingga Tim dapat memperoleh gambaran pengelolaan yang komprehensif (hulu - tengah - hilir), serta mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari “kesalahan” pengelolaan Situ di salah satu bagian terhadap keseimbangan DAS secara keseluruhan. Di lain hal, sebagai kawasan megapolitan yang terdiri dari ibukota negara beserta kabupaten/kota lain di sekelilingnya, Jabodetabek memegang peranan strategis dalam konstelasi sosial ekonomi politik, baik di lingkup regional, nasional, maupun internasional. Dari sekian banyak situ yang ada di Jabodetabek dipilih empat situ yaitu Situ Rawa Kelapa Dua, Situ Telaga Warna, Situ Citayam, dan Situ Tujuh Muara. Kriteria pemilihan lokasi melalui yaitu: 1. Mewakili tiap kabupaten/kota : Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, 2. Kondisi terawat : Situ Tujuh Muara, Rawa Kelapa Dua, Telaga Warna 3. Kondisi tidak terawat : Situ Citayam 4. Pengelolaan oleh Pemda : Telaga Warna, Rawa Kelapa Dua
5. Pengelolaan oleh pokja/lembaga swadaya : Situ Citayam, Situ Tujuh Muara Untuk teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan interview. Interview/wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan situ. Kriteria informan adalah aktor yang terlibat dalam pengelolaan situ dan mempunyai pengetahuan pengelolaan situ seperti penduduk lokal yang dituakan dan telah tinggal dalam waktu lama di sekitar situ, ketua atau sekretaris pokja, dan pihak instansi pemerintah. Jumlah informan yang diperlukan 1 orang untuk masing-masing situ. Observasi dipakai untuk mengamati keadaan situ dan juga lingkungan sekitar situ seperti saluran masuk atau keluar, keberadaan tempat pembuangan sampah, serta keramba ikan. Data yang didapat berupa foto lokasi yang di observasi. Sementara untuk teknik analisa data menggunakan pendekatan analisis dan pengembangan kelembagaan “Institutional Analysis and Development (IAD)” yang banyak digunakan oleh para peneliti dan praktisi dalam melakukan pemetaan stakeholder dan kelembagaan. Tema/field yang kerap menjadi arena aplikasi IAD ini pun beragam, mulai dari permasalahan dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut, danau (situ), hutan, jaringan irigasi, dan sumberdaya lainnya yang tergolong common pool resources (Ostrom, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Situ dan Kondisi Pengelolaan Situ 1. Situ Rawa Kelapa Dua Situ ini terletak dipinggir jalan raya Ciracas yang masuk areal pondok pesantren milik Pemda DKI, yaitu Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP). Terdapat fasilitas sosial seperti lapangan basket, lapangan futsal, dan tenis. Di sekeliling situ dipagari dengan pagar besi dengan tinggi sekitar 1 m. Pemukiman penduduk setempat terdapat di sebelah selatan situ. Pasar yang dekat dengan situ adalah pasar Ciracas dan pasar Cibubur. Fungsi utama Situ Rawa Kelapa Dua Wetan adalah untuk resapan, disamping itu aktivitas yang dijumpai adalah tempat memancing dan menangkap ikan oleh penduduk setempat. Pemukiman warga terdapat disekeliling situ. Luas areal permukiman ini ada sekitar 7 Ha. Sarana drainase pemukiman sebagian masuk ke situ terdapat pada bagian utara situ. Jarak permukiman ke situ sekitar 300 m. Jarak prasarana seperti lapangan basket 200 m, 152
Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan Suryawan Setianto
Foto 1. Keramba di Situ Rawa Kelapa Dua lapangan futsal 300 m. Ruang terbuka hijau terdapat disekeliling situ dengan luas 8 ha. Pepohonan yang ada sekitar situ adalah pohon jati, mangga, sawo, rambutan dan tanaman keras lainnya. Ikan utama yang terdapat pada situ adalah ikan mujahir, kemudian lele, gabus, sepat lele, nila, sapu-sapu dan patin. Warna air masih terlihat bening, dan relatif tidak tercemar. Tidak terdapat kawasan industri disekitar situ. Usaha masyarakat yang ada disekitar situ adalah usaha koperasi binaan ikan hias. Disebelah barat laut terdapat dam hasil swadaya masyarakat yang berbahaya, tinggi bendungan sama dengan tempat tinggal penduduk, dan lokasinya dekat sekali dengan bendungan tersebut. Jika dam ini jebol akan sangat berbahaya bagi penduduk. Dari sisi kelembagaan, situ Rawa Kelapa Dua berada di bawah pengawasan Dinas PU Jatibaru. PKP sendiri bisa memanfaatkan situ untuk keperluan pendidikan dan sebatas pada memberikan masukan kepada Dinas PU Jatibaru, untuk eksekusinya dikembalikan lagi ke Dinas PU. Selain Dinas PU serta PKP, ada juga dari Dinas Perikanan melalui kelurahan setempat pernah juga menjalankan program pembuatan keramba ikan hias di situ ini. 2. Situ Telaga Warna Telaga Warna terletak pada kawasan hutan konservasi yang dimiliki dan dikelola oleh BKSDA Prov. Jabar. Hutan ini tergolong hutan tropis (tropical rain forest) yang memiliki berbagai jenis keanekaragaman hayati. Jenis flora dan fauna yang mendominasi kawasan ini antara lain: Tebe, Anggrek, Kera, Surlili, Owa Jawa, Elang Jawa, dll. Karakteristik perairan telaga dapat digambarkan sebagai berikut:
Luas : 7.156 m2 Kedalaman bagian tengah : 15 m Kedalaman bagian tepi : 1 – 2 m Warna : hijau kecoklatan Jenis Situ/Telaga : alami Sumber mata air : berasal dari perairan telaga Outlet : mengalir ke sungai
Menurut keterangan Mang Jajang, salah seorang pengelola outbond, dalam aktivitas operasionalnya, beberapa pihak ketiga mengelola kawasan Telaga Warna untuk berbagai fungsi rekreasi yang bertema education, conservation, dan outbond berupa flying fox, perahu rakit, paint ball, lintas alam, dll. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Faqinah (2008), diketahui bahwa sebanyak 76% pengunjung berpendapat bahwa kawasan TWATW cukup menarik dan tepat jika dioptimalkan untuk konservasi. Dari segi kualitas air, Mang Jajang, pengelola outbond yang telah bekerja di telaga selama 3 tahun bisa melihat adanya perbedaan kondisi Situ. Dulu airnya jernih, sekarang sudah keruh. Dia juga bisa mengidentifikasi bahwa kekeruhan air bukan karena polusi atau pencemaran, mengingat tidak adanya saluran drainase yang masuk ke perairan Situ. Kekeruhan air lebih disebabkan karena banyaknya sedimen/gerusan tanah yang masuk ke badan air. Meskipun demikian, dari aspek ekonomi, nampaknya kawasan TWATW memberikan dampak positif yang cukup besar bagi para pedagang buah dan sayuran yang berada di luar gerbang Taman Wisata. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh Tim, tidak ada sampah yang berceceran di kawasan Taman Wisata Alam Telaga Warna (TWATW) ini. Mang Jajang menambahkan bahwa pengumpul sampah datang beberapa kali seminggu dan sampah dikelola dengan cukup baik. Fasilitas lain juga tersedia, seperti mushola dan WC. Salah satu karakteristik lain dari Situ/Telaga Alami adalah adanya mitos atau nilai budaya lokal yang memperkuat image
Foto 2. Situ Telaga Warna 153
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 150-159
Tabel 1. Perubahan Status Taman Wisata Alam Telaga Warna Tahun 1927 1954 1979 1981 1987 1996
Keterangan Ditetapkan sebagai kawasan hutan Ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 394/1979 dengan luas awal 23,25 Ha Perluasan kawasan Taman Wisata menjadi 350 Ha Ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Penataan batas kawasan Dikeluarkannya izin pariwisata
situ/telaga yang bersangkutan. Demikian halnya dengan Telaga Warna. Tampak di sebelah ujung perairan Telaga, terdapat sebuah petilasan/makam yang kerap dikunjungi untuk berdoa. Bahkan air telaga juga diambil karena dipercaya mampu memberikan khasiat tertentu. Pada tabel 1 diuraikan perubahan status kawasan TWATW yang didapat dari Pusat Informasi TWATW. Menurut informasi yang didapat dari Kantor Sekretariat TWATW, rata-rata harian pengunjung Telaga adalah 15 orang/hari. Meskipun kondisinya saat ini sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, namun sejuknya hawa pegunungan membuat pengunjung merasa betah berlama-lama duduk di pinggiran Telaga. Ketika Tim berada di sana, beberapa wisatawan asing maupun domestik juga terlihat sedang menikmati kawasan Telaga. 3. Situ Citayam Situ yang terletak tidak jauh dari Stasiun Citayam ini merupakan Situ Alami. Menurut pengamatan, baru 60% pinggiran Situ yang ditalud. Hal ini patut dijaga agar kelestarian ekosistem alamiah perairan dapat berlangsung. Dari aspek kualitas air, kondisi perairan tampak
hijau keruh. Rendahnya kualitas air ini menurut Bpk. H. Marhasan, Ketua Pokja Pengelola “Situ Citayam Bersih” diduga disebabkan karena dua Rumah Bersalin yang membuang limbah medisnya ke Situ; misal: bekas suntikan, kantung infus bekas, perban, dll. Ditinjau dari aspek kelembagaan pengelola, karena Situ ini terletak di wilayah administratif Kota Depok maka sebagaimana telah ditetapkan oleh Pemkot Depok bahwa seluruh Situ yang ada di Depok dikelola secara langsung oleh masyarakat melalui pembentukan Pokja. Peran Pokja ini antara lain: melakukan kerja bakti membersihkan Situ, mengatur keramba (yang diperbolehkan maksimal 5% luasan perairan Situ), mengelola rekreasi air (bebek air), hingga pengusulan program/kegiatan untuk pengelolaan Situ. Meskipun telah dikelola secara langsung oleh Pokja, Bpk. H. Marhasan sendiri mengakui bahwa agar pengelolaan Situ bisa optimal, maka Dinas/Badan/Lembaga terkait harus bekerjasama. Tidak boleh hanya satu instansi yang mengelola. Perlu keterlibatan sinergis antara pemerintah pusat hingga pemkab/kota. Potensi pengelolaan pariwisata dengan mengoptimalkan
Foto 3. Situ Citayam 154
Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan Suryawan Setianto
Foto 4. Situ 7 Muara Situ ini relatif cukup menguntungkan karena pendapatan mingguan yang diperoleh rata-rata sekitar Rp. 500.000. Pokja bahkan mampu menyetor Rp. 8 juta/bulan ke kas pemda dari hasil pengelolaan rekreasi airnya. Namun meskipun Situ Citayam potensial untuk pengelolaan lebih lanjut, satu hal yang perlu diperhatikan adalah perbaikan akses jalan menuju Situ yang kondisinya rusak. 4. Situ Tujuh Muara Situ Tujuh Muara atau biasa juga dikenal dengan nama Situ Ciledug terletak di Pamulang,
Tangerang Selatan. Situ ini berada di bawah pengelolaan sebuah lembaga swadaya yaitu GANESPA. Lembaga ini pada awalnya adalah sekolompok pecinta alam yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian situ yang kemudian telah dilegalkan kepengurusannya dan diberi wewenang mengelola Situ 7 Muara. Di beberapa titik situ ini sudah mengalami pendangkalan. Tepi situ banyak digunakan untuk pemukiman warga serta terdapat gereja, sekolah dan mall. Situ 7 Muara mempunyai banyak saluran masuk inlet sehingga mempunyai ancaman pencemaran yang cukup besar terlebih dari inlet yang melewati daerah perumahan. Resiko pembuangan limbah rumah tangga menjadi lebih tinggi pada saat musim hujan. Pihak pengelola mencoba mengurangi sampah yang masuk ke situ dengan memasang pagar bambu di saluran masuk. Kendala yang dihadapi para aktor dalam pengelolaan Situ Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan situ disebabkan karena berbagai faktor. Dari hasil kajian lapangan, dapat digarisbawahi sebagai berikut. Pertama, tumpang tindih peraturan serta banyaknya aktor yang terlibat namun tidak terdapat batasan kewenangan yang jelas. Sebagai ilustrasi sebagaimana ditemui di Situ Rawa Kelapa Dua. Secara administratif, situ ini masuk ke dalam
Tabel 2. Kondisi Eksisting Kelembagaan Situ-Situ No 1
Aspek kelembagaan Regulasi (dasar hukum kewenangan pengelolaan)
Situ Citayam
Situ 7 Muara
Situ Rawa Kelapa
Situ Telaga Warna
UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Draft Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antar Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bogor, Tangerang, Bekasi tentang kerjasama dalam rangka perlindungan dan pelestarian situ terpadu di Jabodetabek.
Ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 394/1979 dengan luas awal 23,25 Ha
Dinas PU Provinsi
Pihak Ketiga (swasta) Telaga Warna dimanfaatkan menjadi Taman Wisata oleh pihak ketiga yang sudah terbiasa mengadakan berbagai macam event outdoor. Swadana
Draft Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antar Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bogor, Tangerang, Bekasi tentang kerjasama dalam rangka perlindungan dan pelestarian situ terpadu di Jabodetabek. Surat keputusan Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Fungsi Situ-Situ. 2 3
Organisasi (lembaga pengelola) Sumberdaya manusia (kapasitas pengelola)
Pemda Depok melalui Pokja Situ Citayam Bersih Kondisi Pokja Situ Citayam Bersih menurut data terakhir tidak aktif lagi.
UU No 26 Tahun 2006 tentang Tata Ruang UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup PP 26 Tahun 2008 tentang RT/RW Nasional Kepres 32 Tahun 1990 tentang Klasifikasi Kawasan Lindung OKP GANESPA Aktif dalam memelihara, mengawasi dan mengelola situ.
Sumber daya manusia yang terlibat dalam pengawasan situ sangat minim karena hanya terdapat satu orang pengawas saja.
Swadana
APBD
Banyaknya sampah dan menjamurnya kontrakan di sekitar situ menunjukkan kurang berfungsinya Pokja.
4
Pembiayaan (sumber, jumlah, dan kontinuitas)
APBD
155
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 150-159
pengawasan Sudin PU Pengairan Jatibaru. Namun secara pengawasan PKP juga terlibat di dalamnya. Berdasarkan SK gubernur, pihak PKP boleh memanfaatkan situ untuk kepentingan pendidikan. Aktor lain yang pernah terlibat antara lain Dinas Perikanan yang masuk dengan program keramba ikan hias. Yang mana sebenarnya menurut peraturan, situ tidak boleh digunakan untuk keramba ikan karena akan menimbulkan pencemaran yang berasal dari makanan ikan Kedua, tiadanya kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada pemda. Setelah hearing BPK dengan beberapa instansi (pusat dan pemkab/kota di lingkungan Prov. Banten), disepakati bahwa pengelolaan Situ Tujuh Muara serta Situ-situ lain di Kota Tangerang Selatan menjadi kewenangan Pusat cq. Ditjen SDA Kementerian PU. Meskipun Pemkot Tangsel cq. Dinas Bina Marga dan SDA berkomitmen ingin melakukan pemeliharaan dan revitalisasi, namun karena secara yuridis kewenangan berada di Pusat maka keinginan tersebut tidak bisa dijalankan. Ketiga, rendahnya komitmen Pemda dalam membina pokja pengelola situ. Untuk wilayah Depok, kewenangan mengelola situ diberikan kepada pokja. Sebagai contoh terjadi pada Situ Citayam. Di Situ Citayam ini memang pokja yang bertugas mengawasi dan mengelola situ sudah ada, akan tetapi tidak nampak adanya kontribusi yang nyata oleh pokja Situ Citayam ini. Tapi hal yang sama tidak terjadi di Situ Pengasinan yang notabene berada dalam wilayah administratif yang sama. Pokja di wilayah Situ Pengasinan dapat bekerja dengan baik dan bahkan menghasilkan pendapatan untuk menambah pendapatan asli daerah. Keempat, lemahnya pengawasan dari pihak yang berwenang. Berdasarkan hearing yang pernah dilakukan setelah kasus jebolnya Situ Gintung, situ-situ di wilayah Tangerang Selatan dipindah kewenangan pengawasannya ke Pusat. Dengan demikian Pusat sendiri tentu tidak bisa dengan secara langsung mengawasi karena rentang birokrasi yang terlalu jauh. Jika dirumuskan dalam matriks, kondisi eksisting kelembagaan dari lokasi penelitian terlihat pada tabel 2. Berdasarkan pemetaan dari empat situ, didapatkan hasil bahwasanya semua situ sudah memiliki dasar regulasi untuk pengelolaan, sementara untuk lembaga pengelola di masingmasing situ tidak sama. Ada yang dikelola oleh pokja, oleh LSM, Pemda dan juga pihak swasta. Meskipun setiap situ sudah memiliki lembaga pengelola, bukan berarti kemudian pelestarian
situ berjalan dengan mulus karena dalam kenyataannya ada masalah yang muncul, salah satunya adalah kapasitas pengelola. Kapasitas pengelola di setiap situ menjadi salah satu komponen penting karena pengelola inilah yang merumuskan program dan kegiatan dalam rangka untuk melestarikan situ. Contoh pengelola yang berjalan dengan baik ada di Situ Tujuh Muara. OKP Ganespa selaku pengelola di Situ Tujuh Muara mempunyai program dan kegiatan yang terencana. Salah satunya adalah kegiatan membersihkan situ dari sampah. OKP Ganespa juga sedang dalam proses untuk mengurangi aktivitas pengurugan situ yang diindikasikan terjadi di Situ Tujuh Muara. Sementara di Situ Telaga Warna yang dikelola oleh pihak swasta, juga dimanfaatkan untuk acara outbond. Situ Citayam dan Situ Rawa Kelapa Dua menjadi situ yang meskipun mempunyai lembaga pengelola, namun lembaga tersebut tidak berjalan dengan baik. Situ Rawa kelapa Dua kurang bisa diawasi secara maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia. Hanya terdapat satu orang pengawas saja yang pastinya akan kesulitan untuk meng-cover seluruh situ yang luasnya kurang lebih 7 Ha. Situ Citayam mengalami permasalahan yang hampir sama dengan Situ Rawa Kelapa Dua. Situ Citayam ini dikelola oleh Pokja “Situ Citayam Bersih” yang pada awal pembentukannya dapat berjalan dengan baik dan menjadi tempat pembelajaran dari pokja lain di Kota Depok. Seiring berjalannya waktu, pokja Situ Citayam mengalami beberapa permasalahan. Salah satunya adalah konflik dengan para pemancing yang marah karena diminta membayar retribusi untuk memancing sementara mereka tidak mendapati adanya ikan di situ tersebut. Pokja Situ Citayam juga tidak mengambil tindakan tegas manakala di sekitar wilayah situ berdiri bangunan liar yang tidak sepatutnya berada di lokasi tersebut. Strategi Guna Mengoptimalkan Kinerja Kerjasama Pengelolaan Situ yang Tengah Diinisiasi Dalam literatur ilmu pemerintahan, Kerjasama Antar Daerah (KSAD) merupakan isu yang tengah merebak di kalangan pemerintah daerah (pemda). Hal ini dikarenakan begitu kompleksnya masalah dan kebutuhan masyarakat yang harus diatasi atau dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif (administrative boundaries). Meskipun sebagai daerah otonom kebupaten/kota wajib melaksanakan kewenangan di bidang pekerjaan umum (PU), kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, 156
Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan Suryawan Setianto
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PP No. 38 tahun 2007. Namun, dalam kenyataannya ada beberapa bidang kewenangan wajib yang pengelolaannya bersifat lintas wilayah seperti sektor PU dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, masing-masing daerah otonom menganggap perlu untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dalam pelaksanaannya. Secara umum, banyak sekali inisiatif kerjasama yang telah dirintis oleh beberapa pemda yang berdekatan. Untuk mengelola kerjasama ini, para aktor yang terlibat harus terlebih dahulu mengidentifikasi isu-isu strategis, memformulasi bentuk atau model kerjasama yang tepat, serta mematuhi prinsip-prinsip kerjasama guna menuju keberhasilan program. Selain diperlukan format kelembagaan, keuangan, sistem pendukung, dan kerangka regulasi yang tepat, peran strategis pemerintah provinsi (pemprov) juga menjadi prasyarat penting pelaksanaan KSAD di masa mendatang (Pratikno, 2007). Kesadaran para aktor (pusat dan provinsi) yang terlibat dalam pengelolaan situ untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi patut mendapat apresiasi karena, sebagaimana diungkapkan Pratikno, yang menjadi penyebab persoalan sekaligus pihak yang akan terkena dampak dari tidak dikelolanya layanan infrastruktur tidak hanya satu daerah otonom, tapi juga daerah lainnya yang berdekatan. Dalam konteks pengelolaan SDA pun demikian; situ-situ yang tidak dikelola dengan baik di daerah hulu, sudah hampir pasti akan berdampak pada daerahdaerah di sebelah hilir (salah satunya berupa bencana banjir yang tengah melanda beberapa wilayah di DKI Jakarta). Lantas, aspek apa yang perlu dikritisi dalam inisiatif kerjasama pengelolaan situ seJabodetabek ini? Serta bagaimana strategi yang tepat untuk mengelola kerjasama ini agar memberikan dampak (benefit) yang optimal bagi terwujudnya kelestarian situ dan keselarasan pengelolaan SDA dari hulu ke hilir? Setidaknya ada 3 (tiga) poin penting yang penulis tawarkan sebagai solusi kelembagaan. Pertama, derajat sharing sebagai potensi kekuatan kerjasama merupakan salah satu prasyarat utama keberhasilan KSAD. Kesetaraan posisi para aktor yang telah menyepakati KSAD dalam pemecahan masalah bersama terkait SDA, khususnya pengelolaan situ adalah sebuah keharusan. Perlunya reposisi pengaturan kelembagaan eksisting dirasa mendesak untuk
dilakukan, mengingat dominasi DKI Jakarta dalam lingkup regional ditambah egoisme masing-masing kabupaten/kota di sekelilingnya kerap menjadi kendala terwujudnya keterpaduan. Peran BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabodetabek sebagai sebuah lembaga yang seharusnya menahkodai koordinasi pembangunan wilayah di kawasan metropolitan ini perlu diperkuat kembali dengan dukungan sumberdaya dan (tentu saja) wewenang koordinatif. Amanat Perpres No. 54 Tahun 2008 yang menyerahkan wewenang koordinasi pembangunan kepada institusi ini sudah seharusnya diimplementasikan dengan segera, mengingat sudah kritisnya kondisi infrastruktur SDA (dan kondisi wilayah secara umum). Kedua, konversi potensi menjadi kapasitas aksi kolektif. Setiap kabupaten/kota di Jabodetabek memiliki karakteristik fungsional, peran strategis, serta potensi yang khas. Jakarta, disamping sebagai ibukota sekaligus pusat penyelenggaraan negara juga merupakan center of growth tempat dimana aktivitas ekonomi terjadi. Bekasi, Depok, Tangerang, sebagai kawasan hinterland, mau tidak mau juga harus turut mendukung luberan (spillover) aktivitas sosial ekonomi dari Jakarta, disamping tetap mengerahkan segenap sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan PAD mereka sendiri. Jika kepentingan ekonomi terus-menerus dikedepankan tanpa mengindahkan aspek lingkungan, sudah pasti deplesi SDA akan terjadi lebih cepat; yang pada akhirnya akan menyebabkan ketidakmampuan daya dukung lingkungan dalam memfasilitasi aktivitas sosial ekonomi penduduk. Untuk itu, selain perlu disepakati aturan main yang jelas mengenai pembagian peran dan fungsi dari masing-masing kabupaten/kota dalam memakmurkan kawasan Jabodetabek, potensi tiap daerah juga harus disinergikan agar menjadi kapasitas aksi kolektif (collective action) yang mendorong perkembangan wilayah secara bersama-sama. Belajar dari kasus Ranstad Holland1, peningkatan kapasitas daerah dan aksesibilitas Ranstad Holland adalah sebuah kawasan metropolitan di Belanda yang terdiri dari 4 (empat) kota besar yaitu Amsterdam, Rotterdam, the Hague, Utrecht, serta beberapa kota kecil lainnya. OECD (2007) menyebut kawasan ini sebagai polycentric urban area dikarenakan keempat kota besar dalam wilayah ini merupakan kota-kota besar sekaligus pusat pertumbuhan yang tidak hanya strategis secara nasional dan regional (kawasan Uni Eropa) tetapi juga cukup berperan dalam konstelasi sosial, ekonomi, dan politik global. 1
157
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 3 No. 3 November 2011 Hal. 150-159
infrastruktur merupakan salah satu kunci penyelesaian permasalahan regional di kawasan ini. Selain dengan penyediaan transportasi publik yang terpadu, baik dalam skala regional maupun lokal, melalui perbaikan/reformasi governance system (perkuatan kapasitas dan otoritas pemerintah kota2), outcome yang didapat cukup signifikan guna penyelesaian persoalan wilayah. Hal ini tidak dijumpai pada kasus BKSP Jabodetabek. Persoalan banjir misalnya, yang kemudian berkembang menjadi persoalan (dan berdampak pada ekonomi) regional tidak direspon secara optimal oleh para aktor di Jabodetabek melalui pendekatan terpadu. Tidak adanya koherensi antara kebijakan lokal – regional tersebut menyebabkan persoalan banjir terus terjadi setiap tahun tanpa ada solusi yang mujarab. Jadi, derajat sharing dan collective action sebagaimana dijadikan prinsip KSAD oleh Pratikno (2007), tidak sepenuhnya dipraktikkan pada kasus BKSP karena tidak adanya wewenang lebih dan sumberdaya yang capable melakukan fungsi-fungsi tersebut. Meskipun secara legal formal telah didukung oleh Perpres, namun dalam kenyataannya egosentris masing-masing daerah belum dapat dikalahkan dengan persoalan bersama (shared problem) yang semakin menuntut solusi. Sebagai ilustrasi, sebagaimana Penulis temui di Situ Rawa Kelapa Dua, Ciracas, Jakarta Timur; tumpang tindih peraturan dan ketidakjelasan kewenangan pengelolaan merupakan salah satu kendala belum optimalnya kinerja situ ini. Data menunjukkan, meskipun ada alokasi anggaran selama 5 (lima) tahun terakhir untuk menjaga kebersihan situ, tetapi tetap saja pada realisasinya, tidak nampak signifikansinya secara visual. Banyaknya sampah “kiriman” ditengarai menjadi penyebab semakin sulitnya upaya pengelolaan. Selain itu, benturan kepentingan antara Dinas PU Pengairan yang berkewajiban memelihara kebersihan situ dengan Dinas Perikanan melalui aparat kelurahan Ciracas yang hendak melakukan pembinaan pembibitan ikan hias kepada kelompok masyarakat sekitar juga menunjukkan ketidaksinkronan kegiatan. Esensi situ sebagai sebuah prasarana SDA yang tidak boleh tercemar oleh zat kimia apapun (melalui pakan ikan) seharusnya diperhatikan para pihak tersebut. Kasus sebaliknya Penulis jumpai di Situ Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Situ yang dikelola oleh Lebih lanjut OECD (2007:7) menjelaskan bahwa karena pemerintah kota (municipality) lebih mengetahui persoalan di lingkup lokal, maka perkuatan kapasitas dilakukan pada level ini. 2
Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (LPPBB) Situ Babakan ini dulu pernah mengalami over-eksploitasi. Banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan membuat aspek lingkungan situ semakin terabaikan. Namun karena saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya yang diamanatkan pengelolaannya dalam RTRW DKI Jakarta 2030, Penulis menilai para instansi terkait sudah cukup responsif dalam menindaklanjuti amanat Perda ini dengan membagi kewenangan pengelolaan sesuai tanggungjawabnya masing-masing secara terintegrasi. Selain itu, secara fisik areal situ juga telah ditata menjadi 2 (dua) cluster, yaitu area komersial/ekonomi, dan area ekowisata. Diharapkan, clustering ini juga akan berdampak pada peningkatan aspek sosial ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan. Ketiga, jaringan antar pemerintah (intergovernmental networks) sebagai sebuah mekanisme. Pola relasi dan interaksi horizontal/vertikal yang tengah dibangun harus diupayakan agar dapat berjalan. Seringkali karena kendala birokrasi (bureaucratic inertia), mekanisme ini tidak berjalan di tingkat daerah. Kesepakatan yang telah dicapai di tingkat provinsi, kerap gagal dikomunikasikan kepada level pemerintah di bawahnya. Untuk itu, Ditjen SDA c.q. BBWS Ciliwung Cisadane sebagai inisiator program seharusnya mampu pula berperan sebagai network manager dengan senantiasa mengadvokasi pemprov dan pemda dalam melaksanakan kewajiban/perannya. KESIMPULAN Banyaknya permasalahan yang melanda situ-situ di kawasan Jabodetabek ini bisa diidentifikasi sebagai berikut : 1. Tumpang tindih peraturan serta banyaknya aktor yang terlibat namun tidak terdapat batasan kewenangan yang jelas tumpang tindih wewenang. 2. Tiadanya kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada Pemda. 3. Rendahnya komitmen Pemda dalam membina pokja pengelola situ. 4. Lemahnya pengawasan dari pihak yang berwenang. Pada akhirnya, komitmen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam kerjasama inilah yang memegang peranan kunci untuk tidak membiarkan situ-situ terbengkalai dan terus menyusut luasannya. Dengan mempertimbangkan kesetaraan derajat sharing, konversi potensi lokal menjadi collective action, serta perkuatan intergovernmental networks, 158
Tantangan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ Berkelanjutan Suryawan Setianto
diharapkan tidak hanya terwujud pengelolaan situ yang lestari dan berkelanjutan, tetapi juga mampu mensinergikan pembangunan secara luas di lingkup regional Jabodetabek. DAFTAR PUSTAKA Dragos Aligica, Paul. 2006. Institutional and Stakeholders Mapping : Frameworks for Policy Analysis and Institutional Change, Public Organiz Rev (2006) 6: 79–90 Fahmi, FZ., dkk. 2010. Lessons from inter-local government cooperation effectiveness in Greater Yogyakarta, Working Paper No. 10. Regional and Rural Planning Research Group. SAPPK ITB, Bandung. Hendrawan, Diana. April 2005. Kualitas Air Sungai dan Situ di DKI Jakarta. Makara, Teknologi, VOL. 9, NO. 1, 13-19 http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_ KUALITAS%20AIR%20SUNGAI%20DAN% 20SITU%20DI%20DKI%20JAKARTA_Dian a.pdf Listiani, 2005. Aspek Kelembagaan dalam Pengelolaan Situ: Studi Kasus Pengelolaan Situ Rawa Besar di kota Depok. http://konservasisitudepok.wordpress.co m/situ-rawa-besar/penelitian-situ-rawabesar/listiani/ OECD. 2007. OECD Territorial Reviews: Ranstad Holland, Netherlands. OECD. Paris. Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur. Permana, Asep Arofah. 2003. Peranan Situ Terhadap Sistem Tata Air Kota Depok. Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegor. http://eprints.undip.ac.id/11358/1/2003 MPPWK2924.pdf Permendagri No. 22 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah. PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah. Pratikno, dkk. 2007. Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Penerbit S2 PLOD dan JIP UGM. Yogyakarta. Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Rakodi, C. & Firman, T., 2009, Planning for Extended Metropolitan Region in Asia: Jakarta, Indonesia, Case study prepared for
Revisiting Urban Planning: Global Reports on Human Settlements 2009, Available from http://www.unhabitat.org/grhs/2009. Rosnila. 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Keberadaan Situ (Studi Kasus Kota Depok) Master thesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor http://www.damandiri.or.id/file/ronilaipb abstrak.pdf UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Waryono, Tarsoen, 2008, Beberapa Aspek Pengelolaan dan Pengembangan Situ-Situ Sebagai Wahana Rekreasi dan Sumber PAD, http://konservasisitudepok.wordpress.co m/makalah-situ/tarsoen-waryono/
159