HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS Sahat M. Pasaribu dan Kedi Suradisastra Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
Masalah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) selama dua dekade terakhir disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan, pengembangan pemukiman, pembangunan industri dan lain-lain. Pengutamaan investasi kehutanan yang mengabaikan fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai tumpuan kesejahteraan rakyat, hilangnya akses dan kontrol terhadap lingkungan oleh masyarakat dan semakin meningkatnya industri kehutanan, juga dicatat sebagai permasalahan besar terkait dengan mundurnya kinerja pengelolaan DAS (Khalid 2010). Kondisi sebagian besar DAS di Indonesia saat semakin kritis. Kerusakan daerah hulu terjadi akibat peladangan liar maupun penebangan hutan untuk keperluan pertanian ataupun eksploitasi produk hutan. Perusakan hutan bukan hanya diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk miskin, tetapi bisa juga diakibatkan oleh semakin terbukanya hak pengelolaan hutan maupun para investor yang masuk ke wilayah pedalaman (Wunder dan Verbist 2003). Disamping itu, terutama di bagian tengah dan hilir, terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian. Jumlah penduduk yang semakin meningkat juga membuat aktivitas di daerah hilir semakin intensif. Bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau memperburuk kelangkaan ketersediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Kondisi DAS yang tidak optimal disebabkan antara lain oleh ketidakterpaduan antarsektor dan antarwilayah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di wilayah DAS tersebut. Koordinasi dan sinkronisasi pengelolaan DAS yang buruk juga terlihat dari jalannya pemerintahan otonomi yang umumnya berlomba memacu meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya alam setempat. Kebijakan yang diambil pemerintah pusat sering tidak sesuai dengan keputusan yang diambil di daerah. Masalah ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini menjadi sangat kompleks pada DAS meliputi wilayah lintas kabupaten/kota dan lintas provinsi (institutional scarcity). Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi oleh kondisi bagian hulu, khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang rawan terhadap ancaman gangguan kegiatan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Kebijakan pengelolaan integratif DAS melalui kelembagaan yang terkoordinasi diharapkan dapat mendorong keharmonisan pelaksanaan program pemulihan kerusakan DAS dan lebih kuat menanggulangi permasalahan secara efektif dan efisien. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan alternatif kelembagaan yang diduga lebih sesuai dengan kondisi kelembagaan pengelolaan DAS saat ini di Indonesia.
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Degradasi DAS DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumber daya alam tanah, air dan vegetasi, serta sumber daya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumber daya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban yang sangat berat karena tekanan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumber daya alam yang intensif. Hal ini mengakibatkan penurunan kondisi DAS yang ditandai oleh peningkatan kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Persoalan pengelolaan sumber daya air belakangan ini semakin disorot karena ketersediaan air yang semakin langka serta kekurangan perhatian atas pengendalian kerusakan lingkungan yang justru merupakan sumber permasalahan krisis air tersebut. Saat ini “kekurangan” dan “kelebihan” air di Indonesia hampir selalu terjadi setiap tahun. Pada musim hujan sering terjadi banjir di berbagai daerah berikut tanah longsor yang disebabkan oleh gerusan aliran air permukaan sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Arus air yang besar ini tidak tertahan oleh vegetasi yang memadai dan menimbulkan “kelebihan air”. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi kekeringan, khususnya di lahan pertanian maupun di pemukiman karena air yang mengalir dari hulu sungai jauh berkurang, penurunan cadangan air di waduk, serta peningkatan kedalaman permukaan air tanah, yang secara keseluruhan mengakibatkan “kekurangan air”. Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah yang paling sering mengalami krisis air karena luas wilayah yang sempit (hanya 7 persen dari luas wilayah Indonesia), namun dihuni oleh 65 persen total penduduk. Lebih jauh lagi, cadangan air tawar di Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan populasi 65 persen tersebut hanya 4,5 persen dari cadangan air nasional (Bappenas 2004). Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Indonesia saat ini berada dalam keadaan kritis. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan kebutuhan sumber daya di wilayah DAS, yaitu air, lahan serta produk hutan, semakin tinggi. Pemenuhan kebutuhan penduduk menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan melebihi kapasitas lestari. Di sisi lain, jumlah pihak berkepentingan dalam pemanfaatan DAS sangat besar disamping sebagian besar instansi pemerintah juga terlibat dalam pengelolaan DAS. Hal seperti itu dapat dipahami karena berbagai kegiatan ekonomi yang berlangsung di DAS sangat besar jumlahnya. Bagian hulu, selain berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan konservasi dengan mempertahankan keberadaan hutan, juga dimanfaatkan untuk pariwisata, dan pada taraf tertentu untuk kegiatan pertanian. Daerah tengah umumnya digunakan untuk permukiman dan pertanian dan wilayah hulu dimanfaatkan untuk permukiman dan industri. Agar DAS tetap mampu memberikan manfaat optimal untuk kegiatan berbagai sektor dalam jangka panjang, semua pihak yang berkepentingan harus mengelola DAS secara terpadu. Namun kondisi demikian sulit diwujudkan karena pengelolaan DAS oleh berbagai pihak dilakukan secara sendiri-sendiri sehingga sangat sulit memberikan hasil optimal. Dalam kondisi demikian sangat perlu mengambil langkah 315
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
bersama untuk memenuhi tuntutan berbagai kepentingan dan kebutuhan yang berpihak kepada masyarakat dan kelestarian lingkungan, termasuk menentukan kewajiban, insentif maupun sangsi bagi semua pihak yang terlibat. DAS merupakan wilayah yang sangat mempengaruhi ketersediaan air untuk berbagai penggunaan. Sistem DAS kini terus mengalami degradasi karena kerusakan lingkungan dan kelemahan penanganan secara terintegrasi. Guna mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pendekatan pengelolaan kelembagaan DAS secara terintegrasi untuk menahan kerusakan lingkungan yang semakin berat, sekaligus mempertahankan ketersediaan air secara berkesinambungan untuk berbagai keperluan. Masalah pengelolaan DAS yang semakin kompleks memerlukan kerangka penanganan menyeluruh yang menggambarkan keterkaitan hubungan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan DAS dan wilayah sungai secara komprehensif. Kerangka pendekatan tersebut harus dibangun dan dimplementasikan untuk menyusun langkah-langkah strategis sebagai pintu masuk (entry point) pemecahan masalah pengelolaan DAS. Tabel 1 menyajikan gambaran sumbangan setiap DAS terhadap produksi pangan nasional. Sumbangan terhadap produksi pangan nasional ini didasarkan pada areal sawah yang mendapat air irigasi dari DAS yang bersangkutan. Di samping itu, juga dipertimbangkan kerusakan lingkungan di DAS tersebut yang umumnya diklasifikasikan pada kategori kerusakan berat. Tabel 1. Daftar Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Tingkat Kerusakannya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama DAS Brantas Bengawan Solo Pekalen Sampean Citarum Cimanuk Jratun Seluna Pemali Comal Asahan (Sumut) Musi (Sumsel) Jeneberang (Sulsel)
Luas sawah yang diairi*) (ha)
Tingkat kerusakan lingkungan
300.000 300.000 340.000 240.000 180.000 193.000 192.000 310.000 362.000 99.245
Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat
Kontribusi terhadap sumber energi nasional (6.530 MW) 12,4 MW PLTA 20 MW 180 MW 210 MW 16.3 MW
Potensi produksi gabah (ton) 3.190.800 3.168.000 3.616.240 2.479.200 1.859.400 2.018.394 2.007.936 2.600.280 2.679.524 920.994
*) Termasuk dukungan terhadap ketahanan pangan nasional
Profil beberapa diantara DAS penting disajikan dibawah ini untuk menunjukkan beratnya tingkat kekritisan DAS yang sangat mempengaruhi ketersediaan air untuk berbagai keperluan: 316
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
DAS Brantas DAS Brantas di Provinsi Jawa Timur meliputi 10 kabupaten (Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo) seluas 13.529 km2 (1.352.935 ha) dan 7 kota (Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, Pasuruan, Surabaya, Batu) seluas 678 km2 (67.822 ha). Jumlah penduduk pada tahun 2006 di 10 kabupaten tersebut adalah 12.559.579 jiwa dan di 7 kota sebanyak 4.295.949 jiwa atau total 16.855.528 jiwa. Kepadatan penduduk di wilayah kabupaten adalah 928 jiwa/km2 dan di wilayah kota 6.334 jiwa/km2. Luas lahan kritis di wilayah kabupaten adalah 189.738 ha dan di wilayah kota adalah 17.903 ha, atau total luas lahan kritis sebesar 207.641 ha (14,6 persen). Di DAS Brantas terdapat delapan bendungan yang berguna untuk irigasi maupun PLTA, yaitu Karangkates (Sutami), Sengguruh, Lahor, Selorejo, Wlingi, Lodoyo, Wonorejo dan Bening dengan volume tampungan awal 484,1 juta m3 (BPDAS Brantas, 2006) dan suplai listrik 6.530 MW atau 35 persen dari pasokan listrik di Pulau Jawa. Jumlah pabrik di DAS Brantas sebanyak 1.054 pabrik yang mana 40 pabrik diantaranya berpotensi mencemari DAS Brantas dengan limbah sebanyak 125 ton per hari. Jumlah pencemaran, jika ditambah dengan limbah domestik (rumah tangga dan rumah sakit), menjadi sebanyak 330 ton per hari (Kapanlagi.com, 2006). DAS Brantas juga berstatus rawan banjir dan longsor serta gagal panen padi akibat penebangan hutan secara legal maupun ilegal. Tahun 1993 tinggi banjir rata-rata 20 cm, tetapi tahun 2003 menjadi 4 meter (Antara, 2008).
DAS Bengawan Solo DAS Bengawan Solo dengan sungai utamanya Bengawan Solo (merupakan sungai terpanjang di Indonesia, mencapai 527 km) melintasi Jawa Tengah (8 kabupaten/kota), 1 kabupaten di DI Yogyakarta, dan Jawa Timur (10 kabupaten). Wilayah Sungai Bengawan Solo meliputi wilayah administratif kabupaten/kota sebagai berikut: Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ponorogo. Jumlah penduduk di sepanjang DAS ini sebanyak 7,1 juta jiwa. Pada musim kemarau sungai ini mampu mengairi 6.484 ha dengan menggunakan pompa air sebanyak 206 buah. Luas hutan di DAS Bengawan Solo sekitar 15 persen dari total luas DAS. Lahan kritis di Wonogiri sebagai wilayah hulu mencapai luas 145.000 ha. Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri dibangun pada tahun 1981 dan diharapkan bisa berfungsi hingga tahun 2081. Daya tampung air waduk ini semula sebesar 660 juta m3, tetapi karena pendangkalan yang sangat cepat sekarang daya tampungnya tinggal 500 juta m3. Bahkan kedalaman air yang semula 40 meter kini tinggal 10 meter. Luas kerusakan sawah akibat banjir pada akhir tahun 2007 seluas 51.704 ha di 13 kabupaten, dengan korban jiwa sebanyak 84 orang serta 45.000 rumah tenggelam (Walhi, 2008). Di 317
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Bojonegoro dan Lamongan kerugian akibat banjir mencapai lebih dari Rp 100 miliar. Luas tanaman yang terendam 12.262 hektare, meliputi padi yang puso (gagal panen) 8.500 hektare, jagung 723 hektare, dan palawija 22 hektare. Perkiraan produksi 7.200 ton gabah kering panen (GKP) turun menjadi 2.800 ton GKP. Kondisi air Bengawan Solo juga sudah sangat tercemar. Berbagai parameter kimia air seperti klorin bebas, fluorida, amoniak, minyak/lemak, COD, BOD, DO, besi, mangan, tembaga, dan seng telah melampaui ambang batas. Klorin bebas mencapai 0,400 miligram per liter (mg/l), padahal nilai maksimum yang diizinkan adalah 0,03 mg/l. Pencemaran yang berasal dari minyak/lemak paling parah, yaitu mencapai 13,2 mg/l, padahal yang diizinkan hanya 1 mg/l. Pada musim kemarau tahun 2008 pasokan listrik Waduk Gajah Mungkur hanya mencapai 6,2 MW dari potensi 12,4 MW karena debit air turun sebanyak 50 persen. Selain Waduk Gajah Mungkur, waduk potensial di wilayah Bengawan Solo adalah Waduk Prijetan dengan luas layanan irigasi sawah 4.513 ha, Waduk Gondang dengan luas layanan 10.588 ha, dan Waduk Pacal dengan luas layanan 17.546 ha.
DAS Citarum DAS Citarum di Provinsi Jawa Barat melintasi beberapa kabupaten. Sungai Citarum berhulu di Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Karawang. Panjang sungai Citarum sekitar 315 km dengan tiga anak sungai utama yaitu S. Cisangkuy, S. Cikapundung dan S. Cisokan. Wilayah sungai Citarum meliputi sembilan wilayah administratif kabupaten/kota, yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bekasi. DAS Citarum dibangun untuk mengairi sawah seluas 240.000 ha di Provinsi Jawa Barat. DAS Citarum memiliki Bendungan Jatiluhur yang dibangun pada tahun 1957 dan dioperasikan tahun 1967. Waduk lainnya di DAS ini adalah waduk Saguling dan Cirata. Selain untuk pembangkit listrik, bendungan Jatiluhur juga dimanfaatkan untuk mengairi sawah seluas 240.000 ha. Kerusakan DAS Citarum diindikasikan oleh seringnya banjir yang semakin meningkat frekuensinya karena kerusakan hutan di hulu. Di samping itu pencemaran oleh rumah tangga dan industri juga semakin tinggi. Pada tahun 1983 luas hutan mencapai 85.138 ha atau 36 persen luas DAS Citarum. Tahun 2002 luas hutan menyusut lebih dari separuhnya, yaitu tinggal 39.150 ha. Di DAS Citarum terdapat tiga PLTA, yaitu PLTA Saguling berkapasitas 700 MW, Jatiluhur 150 MW dan Cirata dengan kapasitas 1.000 MW diperkirakan kemampuan pasonya pada musim kemarau diperkirakan akan berkurang 50 persen.
DAS Cimanuk DAS Cimanuk merupakan salah satu DAS utama dari 40 DAS di Provinsi Jawa Barat. Lokasi DAS Cimanuk terletak di bagian timur provinsi tersebut dan mencakup beberapa kabupaten yaitu kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu 318
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 3,5 juta jiwa di tahun 2001. Bagian hulu Cimanuk terletak di kabupaten Garut, yaitu di Gunung Cikuray dan mengalir ke Utara dan bermuara di Laut Jawa, Kabupaten Indramayu. DAS Cimanuk sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang bermukim sepanjang DAS tersebut. DAS Cimanuk dengan luas sekitar 3.483,66 km2 memiliki sisa hutan primer sebesar 2.48 persen dari luas semula, dan hutan sekunder tersisa 11,51 persen. Luas daerah budidaya yang dicirikan oleh kebun campuran, ladang/tegalan, perkebunan dan sawah mencapai luas 73,83 persen dari seluruh luas DAS, masing-masing secara berturut-turut sebesar 27,7; 12,23; 16,66 dan 17,24 persen. Luas daerah pemukiman dan kawasan industri masing-masing adalah sebesar 4,34 dan 0,05 persen. Tabel 2. Perkembangan lahan kritis DAS Cimanuk Uraian
Luas lahan (Ha)
Luas lahan kritis (Ha)
Rasio lahan kritis terhadap total
DAS Cimanuk 1) - Tahun 2001
348.366
26.213
0,0752
Kab Garut 2) - Tahun 1998 - Tahun 2003
306.519 306.519
35.265 42.978
0,1150 0,1402
Kab Majalengka2) - Tahun 1998 - Tahun 2003
120.424 120.424
21.178 20.749
0,1759 0,1723
Kab Indramayu2) - Tahun 1998 - Tahun 2003
204.011 204.011
18.830 97.530
0,0923 0,4781
Sumber:
1) 2)
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat (2003); diolah. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2003,1998); diolah.
Tabel 2 menunjukkan luas lahan kritis DAS Cimanuk (sekitar 26.213 km2) dan total lahan kritis untuk lima kabupaten yang dilintasi DAS Cimanuk. Sekitar 20 persen adalah luas wilayah lahan kritis yang ada dalam DAS Cimanuk. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa masalah lahan kritis DAS Cimanuk perlu segera ditangani secara serius. Akibat kondisi perubahan lingkungan adalah penurunan debit air di bagian hulu dan semakin besarnya debit air di bagian tengah dan hilir seperti yang terlihat dalam Tabel 3. Selama lima tahun terakhir (1997-2002) laju pertumbuhan untuk wilayah hulu menurun 3,5 persen per tahun sedangkan di daerah hilir naik sekitar 4,7-9,6 persen per tahun. Penurunan debit air di bagian hulu diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan dan peningkatan pemanfaatan air 319
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
di bagian hulu. Peningkatan debit air di bagian tengah dan hilir disebabkan oleh kurangnya penyerapan air ke dalam tanah setelah air tersebut dimanfaatkan sehingga aliran sungai semakin besar. Tabel 3. Perkembangan Rata-Rata Debit Air di Beberapa Lokasi dalam DAS Cimanuk Lokasi Cimanuk-Bojongloa Cimanuk-Wado Cimanuk-Tomo
Wilayah Hulu Tengah Tengah
1997 (m3/detik) 5,78 23,1 33,9
2002 (m3/detik) 4,76 34,23 41,96
Rate (%/tahun) -3,533 9,633 4,755
Sumber: Puslitbangair (2003), Bandung (diolah) Keterangan: 1) 2) 3)
Lokasi Cimanuk-Bojongloa: Terletak di Kec. Bayongbong, Kamp. Bojongloa, Kab. Garut; 5 km dari Garut ke arah Bayongbong; di Kamp. Munjul belok kanan 1 km melalui jalan sawah hingga Kamp. Bojongloa; di sisi aliran sungai Cimanuk Lokasi Cimanuk-Wado: Terletak Kamp. Pangkalan, Kab. Sumedang; 32 km dari Garut; dari Sumedang ke arah Wado, dari kec. Wado ke Kamp. Pangkalan di sebelah kanan aliran sungai Lokasi Cimanuk-Tomo: Terletak di kec. Tomo, desa Tomo, Kab. Sumedang; 25 km dari Sumedang ke arah Kadipaten; sampai di Jembatan Cimanuk Tomo, 50 m di hilir jembatan dan di sebelah kanan aliran sungai.
Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Dinamika Kelembagaan Salah satu kesulitan dalam pengkajian kelembagaan tradisional, termasuk lembaga pengelola sumber daya air dan daerah aliran sungai adalah sikap komunitas ilmuwan yang sering menganggap lembaga tradisional atau indigenous institution dianggap sebagai “anak yatim” atau orphan factor (Suradisastra, 1997) sehingga kurang layak untuk diperhatikan. Lebih jauh lagi strategi pendekatan parsial dalam pembangunan kelembagaan pertanian umumnya menimbulkan persaingan dan ketidak-seimbangan kelembagaan (institutional competition and imbalance). Kedua hal ini merupakan penghambat besar dalam upaya integrasi kelembagaan ke dalam strategi pendekatan pembangunan pertanian secara terpadu. Sejarah pengelolaan sumber daya air dicirikan dengan kegiatan kolektif komunitas pengguna air yang terikat oleh kebutuhan yang sama. Pada saat kelompok-kelompok sosial mulai mengubah pola hidup berpindah-pindah ke pola menetap (sedenter) dan memulai kegiatan bercocok tanam, air tidak hanya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja, namun juga untuk memenuhi kebutuhan kegiatan bercocok tanam. Pola pengelolaan sumber daya juga tidak hanya dipusatkan pada sumber daya air (sungai, mata air, danau), tetapi kini meluas menjadi wilayah yang tergantung pada, atau memiliki 320
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
keterkaitan dengan, sumber daya air (DAS). Ketika kegiatan pertanian berkembang, pengelolaan sumber daya air dan daerah alirannya memerlukan curahan tenaga dan biaya serta korbanan lain yang cukup besar. Dalam mengelola sumber daya air dan DAS serta kegiatan lain yang memerlukan tenaga dan biaya besar, yang tidak mampu dipenuhi bila dilakukan secara individual, petani dan keluarga tani bekerja secara kolektif. Kegiatan kolektif tersebut dikontrol lembaga kepemimpinan informal dalam suatu kelembagaan tradisional yang diikat oleh norma dan tata peraturan lokal. Kelembagaan tradisional pengelola air dan daerah aliran sungai umumnya bersifat tekno-sosial dan memiliki struktur kelembagaan sederhana. Lembaga pengelola DAS dapat berupa kelompok formal atau informal, seperti struktur kepemimpinan tradisional, kelompok pengelola sumber daya air, kelompok petani pengguna air, kelompok lingkungan pengelola mata air, dan berbagai bentuk kelembagaan kolektif lainnya. Dalam beberapa ekosistem dan kelompok sosial, manfaat lembaga pengelola air atau DAS sangat penting seperti kelompok pengelola air kolektif mayorat di Jawa Barat yang dikepalai ulu-ulu, mayor atau mantri cai (Suradisastra, 2006). Peran ulu-ulu antara lain adalah mengawasi distribusi air untuk keperluan irigasi di beberapa kanomeran (lingkungan pesawahan). Di berbagai daerah di Indonesia, lembaga tradisional pada umumnya memiliki sifat kemerataan (ekuitabilitas) tinggi (Suradisastra et al., 1990). Kelembagaan tradisional kegiatan produksi lebih menitik beratkan pada kebutuhan dan keutuhan hubungan sosial masyarakat daripada tuntutan ekonomi dan volume hasil (Suradisastra, 2006). Akan tetapi pengelolaan air untuk kegiatan usahatani merupakan tanggung jawab gender pria, sedangkan pemenuhan kebutuhan air bagi keperluan rumah tangga adalah tanggung jawab gender wanita. Pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an, ketika strategi pembangunan kelembagaan top-down diterapkan, lembaga mantri cai digantikan oleh lembaga organisasi mitra cai atau kelompok petani pengguna air (P3A). Organisasi P3A ini adalah sebuah lembaga introduksi atau induced institution (Suradisastra, 2006). Dalam dekade tersebut terjadi pula perubahan struktur organisasi komunitas pengelola air dan daerah aliran sungai. Akan tetapi berbagai lembaga petani pengguna air mampu bertahan dan berevolusi sesuai dengan kebutuhan anggota dan perubahan lingkungan. Salah satu contoh klasik di Indonesia adalah lembaga organisasi subak di Bali. Pada mulanya subak merupakan kelompok petani pengguna air, namun mampu berkembang dan berevolusi menjadi organisasi petani lahan basah (subak sawah) dan kelompok petani lahan kering (subak abian). Sebagai organisasi tradisional, subak mampu bertahan selama berabad-abad dan berevolusi menjadi berbagai bentuk kelembagaan dengan struktur yang beragam (Suradisastra, Tarigan dan Suryani 2009; Suradisastra, Hastuti, Wiryono, Budhi dan Tarigan, 2009). Subak yang bermula dari lembaga pengguna air berorientasi tekno-sosial berkembang menjadi lembaga semibisnis dan bisnis komersil multi-kegiatan yang berorientasi tekno-ekonomi (Tabel 4).
321
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Tabel 4. Tabel Dua-Arah Perubahan Struktur Kelembagaan No.
Tipologi kelembagaan Tradisional Semi-bisnis Orientasi bisnis Orientasi kegiatan Tekno-sosial Tekno-sosio-ekonomi Tekno-ekonomi Struktur Monosentris Polisentris Polisentris Akuntabilitas Relatif Tinggi Tinggi Kemerataan Tinggi Sedang Proporsional Keragaman ekologi dan sosial Tinggi Sedang Rendah Karakterisasi
Sumber: Suradisastra, Hastuti, Wiryono, Budhi dan Tarigan. 2009; Suradisastra, Tarigan dan Suryani, 2009; dan Suradisastra, Sejati, Supriatna, dan Hidayat. 2002.
Kelembagaan dibentuk dan berubah atau berkembang karena kebutuhan komunal. Anggota kelembagaan mengembangkan tujuan idealis (Skogstadt 2004) dan tujuan materi sesuai kebutuhan stakeholder kelembagan tersebut. Tujuan materi dikembangkan dari insentif yang diperoleh dan dampak norma dan peraturan yang mempengaruhi pola perilaku dan distribusi kekuasaan dan sumber daya. Mahoney (2000) menegaskan bahwa kelembagaan akan bertahan bila didukung kekuatan kolektif sosial yang memperoleh keuntungan dari peraturan dan norma lembaga tersebut. Kedua kondisi di atas menunjukkan bahwa tindakan kolektif anggota kelembagaan merupakan kunci sukses keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan suatu kelembagaan.
Pola Hubungan Struktural Kelembagaan Suatu lembaga organisasi memiliki struktur dasar yang jelas dan memiliki hierarki dan perbedaan kekuasaan antara kelompok pemilik kewenangan (governan)) dengan kelompok yang tidak berkuasa. Suradisastra (2009) merinci struktur kelompok dalam sebuah lembaga sebagai center (Inti) dan periferi (Plasma). Inti adalah kelompok yang memiliki kewenangan (governan) dalam bentuk struktur kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan. Inti dan Plasma berbagi kepentingan atau tujuan kelembagaan yang sama, namun akses Inti terhadap sumber daya lebih besar dari akses Plasma. Konsekuensinya adalah perolehan (benefit) yang didapat pihak Inti dan Plasma menjadi berbeda walaupun kedua belah pihak berusaha bersama-sama mencapai tujuan kelembagaan tersebut. Kesenjangan tersebut menimbulkan disharmoni hubungan antara Inti dan Plasma dalam satu kelembagaan. Pola hubungan struktural internal dan eksternal kelembagaan digambarkan dalam Gambar 1.
322
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
DISHARMONI INTI PLASMA
HARMONI
INTI DISHARMONI PLASMA
Gambar 1. Hubungan struktural hipotetis kelembagaan pengelola DAS dengan kelembagaan lain (diadaptasi dari Suradisastra, 2009) Hubungan harmonis antarkelembagaan umumnya terjadi antar dua atau lebih kelompok Inti. Dalam simulasi di atas, lembaga pengelola DAS-A dan DAS-B berbagi kepentingan yang sama dan keduanya berbagi benefit dengan kesetaraan posisi dan status Inti dalam lembaga masing-masing. Akan tetapi di kedua lembaga tersebut terdapat hubungan disharmonis antara Inti dan Plasma masing-masing karena perbedaan status struktural dan kewenangan dalam mengambil keputusan. Guna membangun harmonisasi internal dalam kelembagaan DAS diperlukan upaya mengubah kondisi kesenjangan perolehan antara Inti dan Plasma menjadi pembagian perolehan yang lebih bersifat proporsional, baik berupa keuntungan ekonomi maupun keuntungan sosial dan politik.
Upaya Harmonisasi Kesenjangan perolehan antara pihak Inti dan Plasma dapat dikurangi dengan mengkaji kebutuhan dan tanggung jawab individual dalam kelembagaan tersebut. Pembagian air dalam organisasi subak yang dilakukan secara proporsional menurut luasan lahan yang dikuasai seseorang ternyata mampu mengurangi disharmonisasi hubungan Inti-Plasma subak tersebut. Keberhasilan organisasi subak seperti itu terjadi karena kekuatan dan pengaruh kelompok governan yang menerapkan manajemen aspiratif melalui pertemuan 323
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
bulanan rutin yang disebut sangkepan. Sangkepan merupakan wadah pertemuan anggota kelembagaan subak untuk mendiskusikan situasi, masalah dan solusinya serta arah pengelolaan sumber daya produksi subak dalam lingkungan kesetaraan (Suradisastra et al. 2002). Kesetaraan dalam sangkepan dicirikan antara lain oleh pola komunikasi multiarah antar dan antara anggota dengan kelompok governan subak tersebut. Secara kelembagaan, subak juga merupakan suatu lembaga tekno-sosio-religius yang menerapkan falsafah bahwa unsur-unsur sosial dan ekologi selalu dikaitkan dengan, dan merupakan bagian dari kehidupan beragama. Upaya harmonisasi dalam dan antar kelembagaan dapat dilakukan dengan menerapkan aspek kemerataan proporsional, memperkuat ikatan tekno-sosial, menerapkan gaya manajemen aspiratif dan meningkatkan kualitas komunikasi melalui pola komunikasi multiarah. Di sisi lain diperlukan upaya mempersempit kesenjangan status struktural antara pihak governan dengan anggota dan stakeholder kelembagaan pengelola sumber daya air dan DAS. Pada umumnya kelembagaan pengelola DAS bersifat lokal spesifik. Guna menciptakan hubungan harmonis internal dan antar kelembagaan diperlukan kejelasan batas fisik dan non-fisik bagi wilayah kegiatan kelembagaan tersebut yang menunjukkan sifat lokal dan spesifik kelembagan DAS tersebut. Sistem atau wilayah kegiatan kelembagaan DAS yang memiliki batas-batas yang jelas merupakan dasar bagi melakukan tindakan kolektif, membangun konsensus internal, mempermudah membagi tanggung jawab dalam melakukan kegiatan dan mengevaluasi hasil kerjanya.
Peran Kelembagaan Pengelolaan DAS DAS adalah suatu sistem yang kompleks. Sumber daya DAS digunakan untuk berbagai kepentingan oleh berbagai pengguna. Sumber daya dalam satuan biofisik dan kelembagaan yang mengelolanya berjenjang-jenjang. DAS dicirikan oleh gerak lateral air, sedimen, hara, dan substansi lainnya seperti pestisida dan pupuk. Tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang dapat mempunyai dampak jauh ke depan sehingga eksternalitas yang dihasilkan berpeluang memunculkan konflik antarpelaku. Guna menghindari hal tersebut diperlukan suatu forum untuk membuka peluang negosiasi dan merupakan mekanisme resolusi konflik antara berbagai stakeholders. Aturan-aturan tertentu diperlukan dalam alokasi dan pemeliharaan sumber daya, termasuk hak kepemilikan dan insentif melalui berbagai kegiatan dalam DAS. Selain itu diperlukan pula struktur kelembagaan untuk melaksanakan kegiatan kegiatan kolektif, baik bersifat formal maupun informal dalam bentuk gotong royong. Masalah lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan DAS adalah hal-hal yang menyangkut keterkaitan batas-batas biofisik dan batas-batas administrasi sosial. DAS atau berbagai sub-DAS jarang yang sesuai dengan batas-batas unit administrasi seperti desa, kecamatan atau kabupaten. Oleh karena itu, manajemen yang optimal untuk DAS tidak 324
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
berkorespondensi dengan keputusan keputusan yang terjadi di tingkat masyarakat. Guna mengantisipasi hal ini diperlukan kegiatan kolektif yang memiliki lingkup lebih luas, misalnya kegiatan kolektif antar desa. Kegiatan-kegiatan kolektif dapat dilakukan melalui unit-unit administrasi, namun pengelolaannya dilakukan dengan pendekatan menurut jenjang sistem biofisik dalam DAS. Mengapa diperlukan partisipasi semua stakeholders? Karena di dalam DAS terdapat berbagai pengguna dan penggunaan airnya memerlukan pengaturan bersama. Dalam suatu komponen sistem seperti pertanian banyak kepentingan yang perlu diperhatikan. Sebagian tanaman berumur pendek dan ada yang berumur panjang, sebagian memerlukan air dalam jumlah yang banyak dan sebagian lain memerlukan air relatif sedikit. Keragaman demikian membawa pengaruh terhadap lingkungan. Hak atas air perlu diatur terutama diwaktu terjadi kekurangan air. Bila sebagian stakeholders tidak terlibat, pemangku yang lebih kuat akan mengambil kontrol terhadap sumber daya yang tersedia. Guna mengantisipasi peluang tersebut diperlukan suatu kelembagan pengelolaan air terpadu yang merupakan bagian integral pengelolaan wilayah sungai. Kegiatan kolektif merupakan salah satu perwujudan kelembagaan sebagai refleksi saling ketergantungan dan pemahaman tentang sebab akibat dalam pengelolaan sumber daya. Konsep analisis kelembagaan pengelolaan sumber daya air secara terpadu berkaitan dengan identifikasi kondisi yang diperlukan bagi kegiatan kolektif untuk mengelola “common pool resources” dalam wilayah sungai (Kurian dan Dietz 2004). Konsep ini diperlukan untuk membangun distribusi keuntungan yang adil antara berbagai stakeholders dalam mengelola sumber daya dalam wilayah sungai dan dalam mengurangi kemiskinan yang terjadi secara agregat. Dalam kerangka analisis kelembagaan berbagai bentuk pelayanan perlu dievaluasi seperti misalnya, peranan pemerintah, swasta, dan pendekatan pengelolaan bersama (co-management). Pengelolaan DAS harus memerhatikan hierarki di wilayah sungai tersebut. Tingkatan hierarki terdiri atas: (a) hierarki pada tingkat paling bawah atau tingkat komunitas dimana terdapat norma yang dipakai untuk mengelola sumber daya air, termasuk kelompok petani pemakai air, (b) otonomi yang diberikan kepada kabupaten/kota berdasarkan Undangundang Otonomi Daerah, dan (c) wilayah sungai atau DAS sebagai unit operasional. Umumnya keputusan di kabupaten/kota atau wilayah sungai sering mengabaikan kepentingan masyarakat. Di tingkat masyarakat terdapat rumah tangga yang umumnya sebagai pengguna langsung, khususnya petani atau rumah tangga pedesaan. Di tingkat kabupaten/kota lebih banyak lagi pengguna, yaitu di samping rumah tangga juga terdapat kegiatan industri maupun pemukiman perkotaan. Sedang di tingkat wilayah sungai mencakup pengguna yang jauh lebih besar, termasuk keterkaitan antar kabupaten/kota dan antar sektor. peristiwa yang terjadi di tingkat paling bawah akan memberikan peran yang memadai kepada pemerintah kabupaten/kota maupun wilayah sungai sebagai unit. Dalam hal ini perlu diterapkan pendekatan polycentric governance (Pasandaran 2003).
325
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Skenario Pengelolaan DAS Terintegrasi Selama ini terdapat indikasi bahwa proyek-proyek DAS yang dilakukan secara partisipatif menunjukkan peluang keberhasilan yang lebih besar dibandingkan dengan proyek-proyek yang dilaksanakan secara “top-down” (Kerr et al., 1998). Pengelolaan partisipatif adalah melibatkan stakeholders secara langsung dalam pengambilan keputusan dan proses pengelolaan, misalnya petani, aparat pemerintah setempat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan peneliti menyusun rencana dan menetapkan prioritas pengelolaan DAS. Namun demikian, dalam praktiknya dijumpai berbagai tipe partisipasi yang muncul dalam pengelolaan DAS (Lilja dan Ashby, 1999). Pada saat dominasi birokrasi pemerintah tinggi, partisipasi yang diharapkan dari pelaku lainnya hanyalah melakukan pekerjaan yang bersifat kontraktual. Tahap partisipasi yang lebih maju terjadi apabila terjadi konsultasi terhadap pelaku-pelaku lainnya sebelum melaksanakan pembangunan dalam rangka pengelolaan DAS. Pendekatan kolaboratif sering dilakukan dalam penelitian, yaitu para pelaku setempat secara bersama-sama dengan peneliti dari luar membuat keputusan bersama, sedangkan pelaksanaannya dikerjakan oleh pelaku setempat. Pendekatan yang bersifat kolegial memberikan tempat kepada pelaku setempat untuk melaksanakan pengelolaan DAS, sedangkan pelaku-pelaku dari luar memberi advokasi tanpa memaksakan kehendak. Pada tahap lebih lanjut dapat terjadi bahwa para pelaku setempat melakukan uji coba sendiri dan membuat keputusan sendiri. Tipe partisipasi yang paling sesuai tergantung pada tujuan yang akan dicapai dan masing masing tipe mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Tipe partisipasi kontraktual walau dianggap sebagai tahap awal partipasi masyarakat setempat ternyata cukup berhasil dalam melaksanakan pengelolaan DAS yang kecil di wilayah sungai Wupi, distrik Wuhua, China (Wu Deyi, 2004). Demikian pula pelembagaan pengelolaan DAS yang bertumpu pada kemampuan masyarakat setempat menunjukkan hasil yang progresif di India (Saravanan, 2000). Dari berbagai permasalahan pengelolaan kelembagaan DAS, skenario yang diduga mampu memperbaiki situasi saat ini adalah membuka peluang bagi satu lembaga kebijakan yang memiliki otoritas tinggi untuk merancang perencanaan pemulihan kondisi DAS, menentukan program dan kegiatan, menetapkan perencanaan dan langkahlangkah operasional pelaksanaan, serta mengendalikan dan mengevaluasi seluruh program pembangunan DAS nasional. Lembaga semacam otorita ini, “Otorita DAS Nasional” akan mengaitkan berbagai lembaga pengelola DAS dari berbagai institusi di tingkat nasional maupun daerah dan merumuskan seluruh program pemulihan DAS secara integratif yang mencakup berbagai aspek teknis, sosial dan manajerial program.
Harmonisasi Kebijakan Pengelolaan DAS Harmonisasi kelembagaan merujuk pada keselarasan seluruh program pemeliharaan, pengembangan dan pemulihan DAS secara nasional pada masing-masing lokasi DAS yang bersangkutan. Dirumuskannya program pemulihan DAS dengan seluruh perangkat 326
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
yang diperlukan diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan masuyarakat pengguna dan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan. Beberapa skema kelembagaan pengelolaan DAS di berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan pada satu kelembagaan untuk suatu wilayah tertentu (secara regional) dapat mengembangkan sumber daya alam dan air di wilayah yang bersangkutan secara lestari dan berkesinambungan. Sebagai contoh dapat disebut pengelolaan DAS di Tennessee, AS, yakni Tennessee Valley Authority (TVA) yang dimiliki oleh negara namun diberi wewenang pengelolaan secara penuh dan profesional. TVA memiliki bisnis utama dalam utilitas elektrik (electric utility). TVA merupakan salah satu produser listrik utama di AS yang sejak 2007 mengoperasikan 11 fossil-powered plants, 29 hydroelectric dams, 3 nuclear power plants (dengan 6 reaktor operasional), dan 6 combustion turbine plants (Wikipedia.org 2010). Skema kelembagaan pengelolaan DAS juga dapat ditunjukkan oleh pengelolaan sumber daya alam dan air secara bersama, seperti sistem irigasi yang dikelola secara common-pool resource (CPR). CPR merupakan ”barang” (good) yang terdiri atas alam atau sistem sumber daya yang dibangun manusia. Ostrom (1990) mengusulkan agar CPR dikelola secara lokal oleh masyarakat setempat. Ostrom mengidentifikasi delapan rancangan utama sebagai prasyarat berlangsungnya pengelolaan kelembagaan CPR secara lestari, yaitu: (a) membuat batas pengelolaan secara jelas, (b) menciptakan harmonisasi antara aturan dengan konsisi lokal, (c) membuat pengaturan pilihan secara kolektif dengan mengundang partisipasi berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan, (d) melakukan monitoring secara efektif, (e) memberlakukan hukuman/sanksi yang jelas bagi mereka yang tidak mematuhi peraturan, (f) membuat mekanisme resolusi konflik yang murah dan mudah diakses, (g) meminimalkan hak untuk mengelola/mengendalikan, seperti yang dilakukan pemerintah, dan (h) dalam hal CPR yang luas, CPR lokal harus dijadikan basis bagi CPR yang berlapis (multi-layers of nested enterprises). Dari sudut pandang fungsi dasar, restorasi dalam koordinasi pada berbagai aspek dapat dianggap sebagai kata kunci yang relevan dengan pengelolaan DAS dalam konteks harmonisasi. Otoritas kelembagaan pengelolaan DAS yang menjalankan kebijakan yang harmonis akan melibatkan semua pihak terkait. Partisipasi aktif seluruh stakeholders dimungkinkan oleh kewibawaan lembaga otoritas tadi karena peraturan dan ketentuan yang berlaku dan karena mencakup permasalahan semua pelaku. Diantara kekuatan lembaga otoritas adalah ketersediaan SDM, dukungan finansial dan kemampuan manajemen. Kepakaran SDM menentukan program pemulihan dan pembangunan DAS pada masa depan, akses terhadap dan ketersediaan finansial yang dibutuhkan untuk melaksanakan program/kegiatan. Pemaduan seluruh kepentingan untuk tujuan tertentu ditentukan juga oleh kemampuan manajerial para pelakunya. Dengan kondisi seperti itu, suatu harmonisasi kebijakan yang dirancang secara komprehensif dan mencakup banyak aspek dalam pemulihan DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
327
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Implikasi Kebijakan Harmonisasi hubungan struktural antar lembaga dalam pemerintahan pada era otonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal terganggu karena faktorfaktor internal yang tidak dapat dikendalikan, seperti ego sektoral dan ego kedaerahan. Hal ini dipersulit lagi oleh ketidakseimbangan potensi sumber daya alam dan kondisi keuangan masing-masing daerah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan memiliki program dan kegiatan yang saling tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya alam dan air. Lembaga pemerintahan pusat yang ditempatkan di daerah, seperti kantor balai besar pengelolaan sumber daya air oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan lembaga sejenis di tingkat daerah, tidak selalu dapat berkomunikasi dengan baik dengan stakeholders/mitra kerjanya di daerah sehingga mengakibatkan ketimpangan pengelolaan karena ketidakharmonisan hubungan struktural seperti ini. Demikian juga dengan hubungan antar kantor/dinas yang memiliki mandat pengelolaan sumber daya alam dan air di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten, seperti dinas kehutanan, pertanian, pekerjaan umum, energi dan sumber daya mineral, dan lain-lain yang batas-batas wilayah pengelolaannya tidak selalu jelas. Hubungan disharmoni antar lembaga pengelola DAS di berbagai wilayah harus diakhiri. Reformasi lembaga pengelola DAS perlu segera dilaksanakan dengan memilih sistem yang mampu menjalin kerjasama, komitmen dan koordinasi dalam satu lembaga spesifik lokasi dan memiliki batas-batas pengelolaan yang jelas. Model pengelolaan seperti TVA atau CPR dapat diadaptasikan pada struktur lembaga baru yang diharapkan dapat mengikis dualisme kelembagaan pengelolaan DAS selama ini. Pengintegrasian potensi sosial ekonomi lokal kedalam lembaga pengelola DAS yang baru diharapkan dapat menciptakan pengelolaan sumber daya alam dan air yang harmonis dan berkesinambungan. Upaya ini memungkinkan perubahan kondisi kesenjangan perolehan antara pusat dan daerah menjadi pembagian perolehan yang lebih bersifat proporsional secara sosial, ekonomi, dan politik serta berubahnya bentuk pengelolaan DAS dari sistem monocentric authority ke polycentric authority yang terkendali.
Daftar Pustaka Khalid, K. 2010. SBY dan Mafia Kehutanan. Harian Kompas, 19 April. Jakarta. Mahoney, J. 2000. Path Dependence in Historical Sociology. Theory and Society, 29: 50748. Ostrom, E. 1990. “Governing the Commons. The Evolution of Institutions for Collective Action”. Cambridge University Press. London. Skogstadt, G. 2004. The Dynamics of Institutional Resilience and Transformation: The Case of the Canadian Wheat Board. Canadian Political Science Annual Meeting. Winnipeg, Manitoba. June 03. 2004. 328
HARMONISASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Suradisastra, K. 1997. Indigenous Institution: The Orphan Factor in the Intensification of Shifting Cultivation. Regional Workshop on Indigenous Strategies for Intensification of Shifting Cultivation in Southeast Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor 24-26 February 1997. Suradisastra, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosiologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor, 7 Desember 2006. Suradisastra, K. 2009. Pendekatan Sosiologis terhadap Pembajakan Materi Plasma Nutfah Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 27 (3): 109-116. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Suradisastra, K., E. L. Hastuti, Budi Wiryono, G. S. Budhi dan Herlina Tarigan. 2009. Perumusan Model Kelembagaan Petani Untuk Revitalisasi Kegiatan Ekonomi Pedesaan. Kerjasama Pusat Analisis Sosial Eknomi dan Kebijakan Pertanian dengan Departemen Pendidikan Nasional. Suradisastra, K., H. Tarigan dan E. Suryani. 2009. “Indigenous Community Empowerment in Poverty Alleviation”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dan FAO-RAP Office. Internal Report. Suradisastra, K., M. Yusron dan A. Saefudin. 1990. Pendekatan Agro Ekosistem Untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya: Kasus Enam Desa. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cendrawasih dan the Ford Foundation. Suradisastra, K., W.K. Sejati, Y. Supriatna, dan D. Hidayat. 2002. Institutional Description of the Balinese Subak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 21 (1). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Tennessee Valley Authority. http://en.wikipedia.org/wiki/Tennessee_ Valley_Authority, 21 May 2010.
329