TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS Kedi Suradisastra1 dan Effendi Pasandaran2 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2
Tata pengelolaan yang baik (good governance) dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) diperlukan karena pada hakekatnya kerusakan sumber daya alam yang terjadi dalam DAS disebabkan oleh tata pengelolaan yang buruk (bad governance). DAS adalah suatu ekosistem tempat air dan lahan berinteraksi. Air hujan yang jatuh dalam wilayah DAS mengalir menuju sungai yang sama dari hulu ke hilir. Tata pengelolaan yang baik diperlukan untuk menopang kehidupan manusia dan kehidupan pada umumnya, baik makro maupun mikroorganisme, di wilayah DAS dan sekitarnya. Hubungan interaktif antara lahan dan air antara lain dipengaruhi oleh cara manusia memanfaatkan lahan. Vegetasi yang tumbuh di atas lahan akan menahan dan menyerap air yang jatuh ke dalam tanah atau mengalir sebagai aliran permukaan. Salah satu ciri degradasi sumber daya lahan adalah erosi yang menghanyutkan tanah melalui aliran permukaan. Vegetasi dapat menjadi filter untuk menahan laju erosi. Lahan dan air memiliki hubungan interaktif yang erat, namun kedua sumber daya tersebut mempunyai ciri ciri yang berbeda. Air mempunyai ciri-ciri mobilitas atau mengalir, variabilitas, dan keberagaman. Sifat air yang mengalir menimbulkan kesulitan dalam mengklaim kepemilikannya. Air dapat mengalir melewati batas batas administrasi wilayah, baik dalam suatu negara maupun antarnegara, sehingga air sering disebut sebagai common pool resources; penggunaannya tidak eksklusif tetapi antar pengguna dapat bersaing. Ciri kedua adalah bahwa ketersediaan air dapat bervariasi menurut waktu, baik dalam suatu musim maupun antar musim. Ketersediaan air pada tahun-tahun tertentu dapat lebih banyak atau lebih sedikit dari tahun-tahun lainnya. Variabilitas ketersediaan air antarwilayah terjadi karena keragaman geografis dan iklim. Ciri ketiga adalah air digunakan dapat untuk berbagai tujuan dalam menopang kehidupan untuk tujuan ekonomi, sosial dan budaya, baik dalam dimensi material maupun simbolik. Cakupan air yang luas, termasuk cakupan lintas batas, menyebabkan pengelolaannya tidak hanya merupakan masalah teknik yang perlu diselesaikan oleh teknokrat atau insinyur, tetapi pengelolaan air juga merupakan proses politik (Molinga and Bolding 2004). Ketiga ciri tersebut sangat ditentukan oleh cara manusia memanfaatkan lahan. Berbeda dengan air, status lahan dapat dianggap tetap walaupun terdapat keragaman dalam pemanfaatannya. Pemanfaatan lahan mempengaruhi ketersedian dan permintaan terhadap air. Lahan juga digunakan untuk tujuan ekonomi, sosial dan budaya serta mengandung dimensi material dan simbolik. Dalam pemahaman masyarakat lokal di Indonesia, lahan dan air dianggap sebagai warisan budaya.
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Pemanfaatan lahan dan air sangat dinamis dan ketersediaannya semakin lama semakin terbatas sejalan dengan perkembangan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Konflik pemanfaatan kedua sumber daya tersebut semakin sering terjadi dan semakin meluas. Konflik yang terjadi dapat bersifat horisontal antar sesama pengguna dalam suatu wilayah atau antar pengguna pada wilayah yang berbeda. Konflik dapat juga terjadi secara vertikal antara pemerintah dan pengguna. Dalam masalah lahan di Indonesia, umumnya konflik terjadi antara pemerintah dan masyarakat karena benturan-benturan kepentingan. Penanganan kedua sumber daya tersebut oleh birokrasi pemerintah terkotak-kotak sesuai dengan kewenangan setiap lembaga yang terlibat. Ketika desentralisasi pemerintahan dilaksanakan, pembagian kewenangan dalam pengelolaan DAS tidak saja terjadi antar birokrasi di daerah tetapi juga antara birokrasi pusat dan daerah. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang disusun di tingkat pusat menyebabkan birokrasi pusat lebih dominan dalam menentukan pembagian kewenangan.
Perspektif Tata Pengelolaan DAS Hubungan geografis antarwilayah DAS biasanya menjadi penciri pemanfaatan sumber daya; contohnya adalah hubungan antara wilayah hulu dan hilir dalam pemanfaatan lahan dan air. Perbedaan kemampuan antara pengguna dan pemangku kepentingan dalam mengakses air, baik secara alamiah, finansial, dan kekuasaan, menimbulkan perbedaan dalam distribusi pemanfaatan sumber daya tersebut. Struktur sosial politik membentuk cara pemanfaatan dan cara pendistribusian keuntungan, biaya dan risiko yang muncul. Wilayah yang terkena dampak eksternalitas seperti banjir, pencemaran air, dan kekurangan air, menjadi areal marginal yang pada umumnya menjadi tempat hunian golongan masyarakat berkekurangan. Pembangunan yang terjadi terus-menerus yang memanfaatkan lahan dan air tanpa dirancang dan dikelola dengan baik akan memperluas pengaruh eksternalitas dan dapat menjangkau wilayah yang dihuni oleh golongan masyarakat yang berkecukupan. Pemanfaatan air tanah yang berlebihan oleh satu pihak dapat mempengaruhi ketersedian air tanah bagi pihak lain. Penurunan muka air tanah dapat mempengaruhi ketersediaan air permukaan. Ketersediaan air di sungai terutama pada musim kemarau dapat berkurang karena air digunakan untuk mengisi muka air tanah yang menurun. Akibatnya adalah munculnya kesadaran ekologis pada golongan masyarakat yang lebih luas bahwa air adalah kepentingan bersama dan keputusan tentang cara pemanfaatan lahan dan air dapat mempengaruhi ketersediaan dan distribusi air. Dari sikap demikian tumbuh keperluan atas suatu pendekatan terpadu yang tidak saja memperhatikan kepentingan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tetapi juga memperhatikan kepentingan antarwilayah, sekaligus memperhatikan kebutuhan semua golongan masyarakat serta memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. 357
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Pendekatan keterpaduan tersebut dicetuskan dalam berbagai forum. Global Water Partnership merupakan salah satu forum yang mendorong perlunya pendekatan keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya air. Pada tahun 2002 dalam World Summit on Sustainable Development di Johannesburg disepakati agar pendekatan keterpaduan yang disebut Integrated Water Resource Management mulai tahun 2005 dilaksanakan. Walaupun Indonesia telah membuat komitmen untuk melaksanakan pendekatan keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya air yang didukung oleh UU No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air dan berbagai lembaga pendukung telah dibentuk seperti Balai Besar Pengelolaan Wilayah Sungai, namun pendekatan kelembagaannya cenderung bersifat sentralistik dan menonjolkan kepentingan birokrasi sektoral. Sebagai contoh adalah kasus wilayah DAS Brantas yang dikelola PERUM Jasa Tirta I yang berfungsi memadukan pengelolaan sumber daya air juga disaingi oleh Balai Besar Pengelolaan Sungai Brantas selain balai-balai pengelolaan sumber daya air yang sudah ada sebelumnya. Di sektor kehutanan terdapat Balai Pengelolaan DAS yang mengelola sumber daya hutan di wilayah DAS tersebut. Keterkaitan yang erat antar berbagai fungsi dalam DAS menimbulkan masalah-masalah trans-boundary, baik yang bersifat antarwilayah administrasi dalam DAS, maupun antar fungsi-fungsi birokrasi. Indonesia sendiri belum memiliki pengalaman yang cukup dan memadai karena pendekatan birokrasi sektoral masih menonjol.
Pengelolaan Trans-Boundary Air dikategorikan sebagai suatu sumber daya komunal (common pool resource), sebuah sumber dengan kepemilikan umum. Akan tetapi pada kenyataannya konsumsi atau penggunaan air merupakan suatu kegiatan persaingan. Air memiliki konteks budaya dan sosial yang rumit. Air juga memiliki konteks kekuasaan. Air berbeda dari sumber daya lain: air memiliki pergerakan dalam bentuk aliran; air juga memiliki keragaman dan kemampuan penggandaan (multiplicity). Sifat air yang mengalir menyebabkannya sulit untuk diklaim sebagai milik individu atau kelompok. Aliran air tidak dapat dibatasi oleh topografi atau batas-batas administratif. Air memiliki sifat trans-boundary yang kuat. Bila alirannya terhalang bukit atau gunung, aliran air akan berbelok ke topografi yang lebih rendah. Aliran air juga tidak dapat dibatasi oleh batas administratif sehingga sulit untuk mengembangkan konsep dan tata pengelolaan berdasar tata pengelolaan kepemerintahan. Dalam upaya memiliki kontrol dan akses terhadap air dan upaya melestarikan serta mengalokasikan hak pemanfaataanya, khususnya air sungai, berbagai pendekatan telah dilakukan, termasuk perdebatan atas siapa dan bagaimana mengelola air dan sumber daya air yang mengalir dalam sebuah sungai. Akan tetapi sebagian besar upaya tersebut lebih menitikberatkan pada pengembangan DAS dan kemerataan lingkungan yang mengabaikan kebutuhan segmen populasi pengguna air yang lemah dan tidak memiliki suara dan pengaruh politis serta memiliki akses lemah terhadap informasi dan sumber informasi. 358
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Shore dan Wright (1997) mengemukakan bahwa salah satu aspek politik pengetahuan adalah penggunaan terminologi ”teknologi politik” sebagai suatu alat yang pada dasarnya memerangkap debat politik dalam tujuan ilmiah dan pencapaian teknis namun bersifat netral serta secara sengaja mengarahkannya ke tujuan tertentu. Konsep pengelolaan sumber daya air terintegrasi (integrated water resources management, IWRM) yang dikembangkan di India merupakan contoh konsensus samar-samar yang disebut konsep Surgawi atau ”Nirvana Concept” (Molle 2008). Konsep ini ternyata sulit memahami perbedaan karakter antara efisiensi ekonomi, kesetaraan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Hal ini timbul karena konsep tersebut berpegang pada niat baik dan kemurahan stakeholder yang mengontrol sumber daya tersebut, data yang sahih dan penerapan keilmuan yang baik, yang secara keseluruhan mampu memberikan manfaat kolektif. Legitimasi IWRM hanya alat justifikasi untuk melakukan intervensi politik tertentu. Konsep DAS sebagai unit ekologi dimanfaatkan sebagai alasan intervensi wilayah hulu oleh stakeholder air di wilayah hilir untuk memenuhi kebutuhan elit perkotaan dan kelompok birokrat. Hal serupa di Indonesia mungkin terwakili oleh pengembangan Taman Safari di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Dengan menguasai areal luas yang berfungsi sebagai catchment area, pengelola Taman Safari bukan hanya mempunyai akses besar, namun juga menguasai air dan sungai yang berada dalam wilayah operasionalnya. Alasan bahwa taman rekreasi tersebut berfungsi sebagai sanctuary atau wilayah perlindungan hewan langka merupakan alat legitimasi yang ampuh untuk menguasai ekosistem tersebut. Akan tetapi selain berfungsi sebagai lahan konservasi keragaman hayati, kehadiran taman rekreasi seperti itu menumbuhkan minat ekoturisme secara luar biasa namun membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya yang semula merupakan milik kolektif sistem sosial lokal. Kasus lebih besar adalah kasus kegiatan penambangan PT. Freeport di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Menurut Wikipedia Indonesia (2010), kehadiran dan kegiatan PT Freeport menimbulkan berbagai kontroversi. Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997 karena PT Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan PT Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah atau bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberi status khusus oleh PBB. Selain dampak teknis dan biologis, aktivitas penambangan juga berdampak buruk terhadap sikap dan budaya masyarakat setempat. Kegiatan penambangan PT Freeport dilakukan di Gunung Ertsberg dan Grasberg yang merupakan tempat suci bagi etnis Papua yang bermukim di wilayah tersebut. Akan tetapi kegiatan penambangan secara intensif telah mengubah topografi sebagian wilayah tersebut termasuk wilayah yang dianggap suci 359
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
oleh penduduk Papua. Lebih jauh lagi, intensitas penambangan yang tinggi memanfaatkan sumber daya air secara intensif dan dalam volume sangat besar. Kondisi ini telah mengubah kemerataan akses akan air bagi penduduk setempat. Konflik yang terjadi antara perusahaan penambangan tersebut dengan penduduk lokal terutama disebabkan oleh perubahan akses dan kualitas air yang semula dikontrol sepenuhnya oleh masyarakat lokal. Pihak perusahaan pertambangan menguasai seluruh sumber daya air dan mengendalikan pemanfaatannya untuk kepentingan industri pertambangan di wilayah tersebut. Di sisi lain pembuangan limbah pertambangan (tailing) telah merusak dan mengubah ekosistem sekitar areal penambangan. Perubahan ekologi yang terjadi juga mengubah budaya dan cara hidup masyarakat lokal. Terkait kerusakan dan perubahan ekologi, Wikipedia Indonesia (2010) mengungkapkan sebagai berikut: ”Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik”. Kutipan ini mengindikasikan bahwa sumber air di wilayah tersebut telah sangat menurun kualitasnya. Penurunan kualitas air dan limbah pertambangan yang dikandungnya berdampak negatif terhadap tanaman dan vegetasi hutan. Pengurangan luas lahan hutan sagu yang merupakan pangan pokok etnis Papua mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan kualitas air tersebut. Tingkat kesulitan mencari sagu meningkat dan masa depan keamanan pangan terancam. Dalam upaya menghindari kekurangan pangan, sebagian penduduk beralih ke kegiatan pertanian (yang sebagian dibimbing oleh PT Freeport). Namun, karena pada dasarnya penduduk Papua merupakan masyarakat peramu (hunter-gatherer), mereka sulit menyesuaikan diri dengan teknik bertani yang memerlukan sikap dan tindakan yang jauh berbeda dengan tindakan meramu. Pada akhirnya terjadi penyingkiran sosial (social displacement) masyarakat lokal karena mereka tidak mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan ekosistem yang disebabkan oleh kegiatan penambangan tersebut. Social displacement (penyingkiran sosial) dan transformasi negatif sistem sosialekologi yang terjadi seperti di atas harus diantisipasi secara tepat. Upaya pengurangan perubahan negatif dan penyingkiran sosial dapat dikurangi bila pengelolaan sumber daya air, termasuk sungai berikut DAS, dilaksanakan oleh lembaga tunggal yang berfungsi mengelola dan mengatur pemanfaatan sungai secara lintas administrasi (one river, one management). Perubahan lingkungan strategis yang antara lain disebabkan oleh perbedaan tata pengelolaan DAS oleh pemerintah otonom daerah memerlukan terobosan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sungai dalam satu lembaga yang utuh. Dalam hal ini diperlukan suatu kebijakan sinergistik berbasis agro-ekologi dan kemerataan (agro-ecological and equity based policy) antara lembaga dan tata pengelolaan sungai dengan kelembagaan administratif otonom guna meningkatkan tata pengelolaan berkelanjutan (sustainable river management). 360
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Fungsi dan Persepsi terhadap Sungai Sungai merupakan salah satu sumber air tawar yang memiliki potensi luar biasa. Selama berabad-abad sungai merupakan alat utama dalam perkembangan dan pengembangan perekonomian. Sungai merupakan wahana penyimpan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Setiap perubahan yang dilakukan manusia terhadap sungai akan memberikan konsekuensi terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat di wilayah aliran sungai tersebut. Di awal sejarah manusia, sungai dan air dipersepsikan sebagai sumber kehidupan. Dalam strategi survival masyarakat tradisional, sungai merupakan tempat manusia menangkap ikan sebagai salah satu sumber pangan. Sebagai sumber kehidupan, sungai mampu memenuhi kebutuhan manusia akan air minum dan air untuk keperluan kegiatan produktif, baik kegiatan pertanian maupun kegiatan industri, kegiatan ekonomi dan lainlain. Pengelolaan dan pemanfaatan sungai dan air secara tepat mampu meningkatkan kesejahteraan penggunanya yang bermukim di sepanjang sungai dan daerah alirannya. Namun dari sisi berseberangan, kontrol terhadap air dan sumber air dapat menjadi alat untuk mengendalikan kekuasaan dan mengontrol sistem sosial lain. Kontrol terhadap sungai adalah alat ungkit (leverage) untuk menguasai sistem sosial, ekonomi, perdagangan, transportasi dan industri yang memiliki ketergantungan kepada sumber daya air tersebut. Dalam kaitan keragaman sikap tersebut, pemahaman akan sungai dan air meningkat ke hierarki psikologis dan kejiwaan. Sungai sebagai sumber air dihubungkan dengan sang Pencipta. Sungai besar di India ditempatkan secara terhormat dalam tatanan sosial dan ekologi setempat. Sungai Gangga dan Jamuna merupakan dua sungai utama yang dianggap suci karena menjadi sumber kehidupan dan merupakan jalan bagi manusia menuju Nirvana. Walaupun pemahaman stakeholder pengguna terhadap sungai dan air lebih menunjukkan sikap positif, namun stakeholder pengguna sungai juga sering mengabaikan upaya mempertahankan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas ketersediaan air dari sistem ekologi tersebut. Sungai, danau dan bahkan laut sering diperlakukan sebagai tempat sampah, bahkan dalam beberapa kasus, sungai dijadikan TPA (tempat pembuangan akhir). Kondisi ini tumbuh karena masyarakat pengguna sungai tidak atau kurang memahami fungsi sungai sebagai salah satu elemen ekosistem yang mampu mendukung keseimbangan sistem sosial dan ekologi di wilayah yang dialirinya. Penggundulan vegetasi dan pencemaran sungai di bagian hulu akan memberikan dampak negatif terhadap ekosistem DAS di bagian hilir. Pembangunan bendungan yang membantu meningkatkan produktivitas wilayah dapat merugikan stakeholder pengguna sungai di bagian hilir dan bahkan dapat mengubah tatanan dan keseimbangan ekosistem hilir. Perubahan ekosistem tersebut dapat mengubah pola tanam dan kegiatan usahatani dan ekonomi lainnya serta mempengaruhi perilaku sosial masyarakat yang memilliki ketergantungan terhadap ekosistem DAS tersebut. Setiap tindakan yang dilakukan oleh sistem sosial yang berada di satu titik aliran sungai akan 361
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
menimbulkan dampak tertentu kepada sistem sosial di bagian hilir titik tersebut. Dalam kaitannya dengan sikap manusia seperti itu, Richter et al., (2010) menyebutkan bahwa budaya manusia mampu berevolusi dan beradaptasi kepada ketersediaan atau keterbatasan sumber daya yang disediakan ekosistem alam.
Tata Pengelolaan yang Buruk Konflik kepentingan yang terjadi karena tata pengelolaan yang buruk seringkali dicerminkan oleh perselisihan fisik. Konflik kepentingan terjadi bila terjadi perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Dalam kasus sumber daya air, perebutan kontrol terhadap sungai terjadi karena persaingan kepentingan yang sulit diselesaikan. Salah satu pemanfaatan sungai dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian adalah pengembangan food estate yang dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia dan di negara lain. Pengembangan food estate selalu mampu meningkatkan kesempatan kerja, namun dalam waktu bersamaan juga membahayakan kehidupan penduduk lokal. “Penyingkiran” penduduk lokal dalam kegiatan pengembangan food estate terjadi karena mereka tidak memiliki kualifikasi keterampilan dan pengetahuan terkait usaha dan komoditas yang dikembangkan. Salah satu contoh yang patut dikaji adalah kasus pengembangan rice estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Secara teknis dan ekonomi, pengembangan rice estate memiliki prospek positif. Dalam Master Plan Pengembangan Rice Estate Kabupaten Merauke telah didelineasi 206 unit kawasan pengembangan yang tiap unitnya meliputi areal seluas 5.000 ha dan sebagian besar adalah lahan rawa (Subiksa 2008). Etnis terbesar yang menghuni wilayah Kabupaten Merauke adalah Marind-anim (orang Marind) yang pada dasarnya adalah masyarakat peramu yang belum secara baik memahami teknik bertani, baik dalam usahatani padi, maupun pengusahaan komoditas lainnya. Secara teknis, rencana pengembangan rice estate menekankan pentingnya penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air yang tepat sebagai kunci keberhasilan pengembangan kawasan. Sedangkan prospek keberhasilannya didukung oleh pertimbangan-pertimbangan teknis dan ekonomi. Akan tetapi pengembangan rice estate tersebut sama sekali tidak memperhitungkan dampak sosial-ekologi dan budaya masyarakat lokal yang tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Akan tetapi melihat luasan areal yang akan dikembangkan serta lokasi geografis Merauke yang sangat strategis, dapat diperkirakan bahwa kegiatan tersebut dibebani pula oleh pesan-pesan non teknis seperti pesan politis dan beban-beban lainnya. Masyarakat asli Merauke sebagai masyarakat peramu dan petani subsisten memusatkan kegiatannya untuk mendukung kebutuhan pangan yang memiliki makna tradisional dan kultural. Kegiatan subsisten ini didukung oleh keanekaragaman varitas tanaman pangan yang sesuai dengan kondisi iklim lokal, musim setempat, tipologi lahan dan vegetasi lokal. Sagu dan umbi-umbian adalah tanaman yang sesuai secara ekologi, kultural dan 362
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
tradisi etnis setempat. Proyek rice estate yang mengintroduksikan komoditas padi dengan teknologi canggih masih asing bagi sebagian besar masyarakat lokal. Kondisi ini akan dihadapkan pada tradisi dan sistem pangan mereka. Bagi penduduk lokal, beras atau padi dapat merupakan ancaman terhadap tanaman pangan lokal dan budaya mereka. Upaya pengembangan rice estate sepenuhnya didukung oleh pertimbangan kesesuaian lahan dan teknologi serta prospek pemasaran, namun dukungan sosial-budaya masyarakat sama sekali tidak diperhitungkan. Pengembangan rice estate yang sangat luas tersebut memerlukan penguasaan terhadap sumber daya air. Kondisi ini akan menimbulkan perubahan kemerataan akses dan kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya air yang semula dibawah kontrol mereka sepenuhnya, kini harus berbagi dengan proyek rice estate tersebut. Secara sadar atau tidak, peralihan kontrol terhadap dari tangan penduduk lokal ke tangan perusahaan rice estate akan mengubah status lahan dimana sumber daya air tersebut berada. Perubahan ini merupakan langkah awal pola land grabbing dan penyingkiran sosial masyarakat yang tidak mampu beradaptasi dengan kegiatan berorientasi bisnis dengan menggunakan teknologi yang belum mereka kuasai. Dari sisi tata peraturan, akuisisi sumber daya lahan dan air dalam skala besar termasuk food estate oleh perorangan atau perusahaan pada hakekatnya bertentangan dengan undang-undang dasar 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat. Demikian pula UN Declaration on the Rights of Indigenuous People pada tahun 2007, menyatakan dalam preambul bahwa ketidakadilan sejarah (historic injustices) menyebabkan eksploitasi lahan milik masyarakat lokal dan telah menyingkirkan hak-hak mereka untuk menentukan pola pola pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Pembangunan waduk-waduk yang dilakukan oleh pemerintah sering mengabaikan hak masyarakat lokal untuk menyatakan pendapat. Ketidak puasan atas masalah lahan tidak hanya berkaitan dengan ganti rugi semata, namun berkaitan pula dengn nilai budaya masyarakat lokal. Lahan juga memiliki nilai emosional dan kultural. Dalam kaitan dengan pembangunan waduk dan bendungan, World Commission on Dam merekomendasikaan perlunya diberlakukan asas yang disebut Rights to Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) masyarakat lokal dalam menentukan pendapat sebelum rencana pembangunan diputuskan (McGee 2010). Asas ini berupaya membuka wawasan dan pemahaman komunitas lokal terhadap kebijakan, program, proyek dan prosedur yang berhubungan dengan hak-hak dan kesejahteraan mereka. Dalam asas ini tercakup masalah-masalah berbagai lembaga dan sektor yang berkisar dari kebijakan pengamanan bank multilateral dan lembaga keuangan internasional, praktik industri ekstraktif, pengembangan air dan energi, pengelolaan sumber daya alam, akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dan rancangan benefit-sharing; riset sains dan medis, serta warisan budaya tradisional. 363
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Sebuah contoh adalah kasus di Amerika Latin di mana masyarakat lokal menyelenggarakan referendum untuk memperoleh persetujuan dalam rencana pembangunan waduk walaupun bagi negara negara lainnya aplikasi prinsip FPIC masih menimbulkan pertentangan pendapat. Bagi Indonesia, langkah-langkah untuk menerapkan prinsip tersebut tidak saja untuk keperluan pembangunan waduk-waduk tetapi sebaiknya untuk setiap rencana akuisisi lahan, baik dalam skala kecil maupun luas, termasuk didalamnya untuk kepentungan food estate. Hal lain yang merupakan contoh tata pengelolaan yang buruk adalah penonjolan kepentingan birokrasi daripada kepentingan publik dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air. Produk undang undang No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air menetapkan batas batas kewenangan pengelolaan irigasi menurut luas daerah irigasi. Peraturan tersebut menyebabkan munculnya kabupaten-kabupaten yang mempunyai kawasan irigasi yang luas namun tidak memiliki kewenangan pengelolaan irigasi (seperti Kabupaten Demak) karena kewenangan pengelolaannya berada di tangan pemerintah pusat. Organisasi pengelolaan sumber daya air terkesan tumpang tindih terutama pada DASDAS besar seperti Brantas, Bengawan Solo, dan Citarum. Balai-balai atau balai-balai besar yang mengelola sumber daya air muncul untuk mengambil alih fungsi-fungsi pengelolaan yang sebelumnya dipegang oleh organisasi lama. Hal ini terjadi karena kewenangan organisasi lama dalam pengelolaan sumber daya air seperti Perum Jasa Tirta I dan II berada di luar kementerian yang mengatur pengelolaan sumber daya air. Demikian pula organisasi yang menangani pengelolaan DAS yang secara sempit diartikan sebagai pengelolaan wilayah hutan dalam DAS tidak jelas kaitannya dengan organisasi yang mengelola sumber daya air. Sebagai akibatnya masalah masalah trans-boundary seperti masalah pengelolaan sumber daya air antarkabupaten tidak tertangani dengan baik. Kesadaran akan perlunya kerjasama dalam penanganan sumber daya lahan dan air yang dituangkan dalam bentuk rumah kolaborasi atau forum kolaborasi belum dituangkan dalam program karena masih terbelenggu oleh aturan-aturan yang terkait dengan kewenangan birokrasi. Di sisi lain tata pengelolaan yang buruk berjalan terus, dan degradasi sumber daya lahan dan air juga berjalan terus. Banjir yang merusak produksi pertanian dan juga mengganggu wilayah perkotaan semakin sering terjadi. Walaupun semakin besar upaya yang dilakukan melalui pendekatan struktur yaitu perbaikan perbaikan fisik bangunan bangunan yang dianggap dapat mengendalikan banjir, namun akar permasalahan tetap tidak ditelusuri dengan baik. Demikian pula potensi masyarakat lokal untuk bersama-sama melakukan upaya perbaikan lingkungan dan sumber daya alam belum tertata dengan baik. Oleh karena itu suatu upaya membalik arus perlu disiapkan sebagai langkah terobosan yang didukung oleh komitmen politik yang kuat agar Indonesia tidak terseret lebih jauh dalam menanggung akibat kerusakan DAS yang diakibatkan oleh tata pengelolaan yang buruk.
364
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Ciri lain sistem governan yang buruk adalah terjadinya konflik antara berbagai pihak yang berbagai kepentingan. Konflik ini timbul karena ketidak mampuan sistem governan untuk secara baik menata kontrol dan akses serta hak setiap pihak yang memiliki kepentingan bersama. Konflik dapat memuncak menjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh lembaga pengamanan, baik lembaga militer maupun lembaga pengamanan perusahaan. Dalam kondisi demikian, pihak masyarakat lokal sering menjadi sasaran kekerasan dan korban kebijakan pengembangan perusahaan. Mereka diusir dari lahan yang telah ditempati selama beberapa generasi. Pembangunan jalan, kegiatan penambangan dan bahkan pembangunan bendungan dapat merusak habitat tempat masyarakat lokal memperoleh bahan pangan. Referendum komunal menawarkan solusi terhadap masalah dampak proyek pembangunan yang akan menimpa mereka. Selain itu juga merupakan sebuah mekanisme ekspresi komunitas dalam proses pengambilan keputusan yang umumnya dikontrol oleh interes pemerintah dan perusahaan yang terlibat. Debat terbuka antara pihak pro dan kontra, diikuti dengan proses penentuan pendapat yang adil dan bebas merupakan suatu ukuran yang tepat terhadap pendapat masyarakat secara demokratis terhadap isu pembangunan yang jauh lebih penting bagi hidup anggota masyarakat daripada memilih calon anggota perlemen. Hak referendum perlu diperjuangkan secara gigih dan prosesnya harus dipahami secara demokratis dan terbuka. Sikap seperti ini diperlukan guna mencegah konflik pendapat yang terjadi antara pihak masyarakat dan pihak lain yang akan mengembangkan program atau proyek pembangunan di wilayah tempat bermukim komunitas lokal selama beberapa generasi. Perbedaan pendapat dan konflik yang timbul sering menyebabkan tindak kekerasan. Di negara-negara Amerika Latin, kecuali Argentina, konflik yang terjadi seringkali melibatkan tindak kekerasan dalam bentuk pembunuhan dan cedera berat yang dilakukan oleh pihak militer dan pasukan keamanan perusahaan. Petani seringkali menjadi sasaran pengusiran dari lahan nenek-moyang mereka. Jalan, pertambangan dan bendungan selain merusak habitat tempat penduduk lokal mengusahakan tanaman pangan, juga meningkatkan tindak kriminal, penyakit dan korupsi. Nilai-nilai sosial terdisintegrasi dan ekonomi uang menimbulkan perpecahan. Reservoir, polusi dan pengaturan aliran sungai merusak populasi ikan dan hewan buruan lain yang diperlukan untuk bertahan hidup. Kewenangan suku dan keluarga digantikan oleh lembaga-lembaga perusahaan dan pemerintah. Kegigihan menyelenggarakan referendum di Amerika Latin membuahkan hasil mengesankan, walaupun hal itu dibayar dengan korbanan besar. Kekerasan terhadap oponen proyek pertambangan bersifat endemik di Peru dan Guatemala yang menyelenggarakan referendum komunitas. Di Peru, seorang mantan profesor pemimpin kelompok oposisi terhadap pertambangan Tambogrande ditembak mati sebelum referendum penolakan kegiatan penambangan disusun (Boyd, 2002). Di Guatemala, para demonstran ditembaki. 365
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Seluruh referendum komunitas di 10 negara Amerika Latin, dengan kekecualian Argentina, selalu disertai dengan kekerasan (Patterson 2005). Namun dengan upaya gigih untuk memperjuangkan masa depan, beberapa komunitas lokal mampu mengubah perimbangan kekuatan antara mereka dengan pihak pemerintah dan perusahaan-perusahaan multinasional. Perubahan demikian terjadi dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, nasional dan internasional. Faktor utama penyebab konflik dalam proyek pembangunan adalah sikap khas pihakpihak yang terlibat yang memandang konflik tersebut sebagai zero-sum conflict. Dalam zerosum conflict hanya terdapat pemenang dan pihak yang kalah, proyek akan berjalan terus atau berhenti sama sekali. Pandangan dan sikap seperti demikian membuka celah sangat kecil untuk kompromi. Pemerintah umumnya berpihak pada perusahaan dan pengembang dam karena interesnya terhadap peningkatan suplai energi, peningkatan perekonomian nasional, pengembangan sektor pertanian dalam skala agribisnis dan peningkatan pajak. Masyarakat lokal umumnya kalah dalam posisi tawar dengan kelembagaan yang lebih kuat. Akan tetapi kemudahan komunikasi dalam internet kini memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi tentang pembangunan dam dan dampaknya terhadap lingkungan. Kemudahan akses informasi lambat laun akan menggugah kemampuan masyarakat untuk mengorganisir strategi dan taktik politis untuk menentukan masa depan sendiri dengan pertimbangan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka.
Membangun dan Meningkatkan Keterpaduan Prinsip-Prinsip Good Governance Tata pengelolaan atau governance system didefinisikan sebagai ”struktur dan proses di mana anggota masyarakat mendelegasikan kewenangan dalam proses pengambilan keputusan” (Gunderson 2000). Tata pengelolaan dicerminkan dalam kewenangan atau kontrol terhadap segala sesuatu yang terjadi di wilayah suatu sistem (governance zone, governance vicinity), baik sistem sosial, ekologi, maupun keduanya. Dalam suatu kelembagaan pengelolaan DAS terstruktur, upaya dan tindakan pengelolaan DAS dilaksanakan oleh kelompok pengurus. Pada kelompok sosial tradisional, pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan pada umumnya lebih dipercayakan kepada tokoh individu sebagai lembaga kepemimpinan seperti yang pernah dijumpai pada kelompok masyarakat pengguna air mayorat di Jawa barat yang dipimpin dan dikelola oleh seorang ulu-ulu atau mantri cai. Dalam sistem sosial yang lebih terstruktur, masyarakat memilih wakil-wakil atau tokoh yang dapat membawakan aspirasinya dalam sistem governan mereka. Masyarakat sebagai stakeholder memiliki kontrol terhadap struktur dan proses yang terjadi dalam sistem governan mereka. Masyarakat memiliki peluang untuk turut menentukan arah dan tujuan terkait upaya pengelolaan ketangguhan sosial dalam sistem mereka. 366
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Tata pengelolaan yang baik dilaksanakan oleh kelompok pengurus yang dipilih secara legal oleh anggota kelembagaan yang bersangkutan. Dalam sistem sosial-ekologi terstruktur, anggota kelembagaan memilih wakil-wakil atau tokoh yang dapat membawakan aspirasinya dalam sistem pengelolaan sumber daya yang dibutuhkan. Anggota kelembagaan sebagai stakeholder memiliki kontrol terhadap struktur dan proses yang terjadi dalam sistem pengelolaan tersebut. Masyarakat memiliki peluang untuk turut menentukan arah dan tujuan terkait upaya pengelolaan sumber daya dalam sistem sosial-ekologi mereka. Sistem sosial-ekologi tradisional umumnya tidak memilih figur pemimpin atau membentuk lembaga kepemimpinan. Kepemimpinan tradisional bukan suatu posisi berdasarkan pemilihan formal (legal election), namun lebih berupa aklamasi psiko-sosial dimana masyarakat mengakui dan menerima seseorang sebagai social leader karena sikap, tindakan, dedikasi dan tanggung jawabnya terhadap kelompok sosial dan ekosistem sekitarnya. Dalam sistem sosial-ekologi tradisional, masyarakat umumnya tidak atau kurang memiliki kontrol terhadap keputusan dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh tokoh atau lembaga kepemimpinan. Tata pengelolaan yang baik harus memiliki kemampuan manajemen guna mempertahankan, meningkatkan dan mempertahankan sustainabilitas sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Lebel et al. (2006) merinci karakteristik tata pengelolaan yang baik sebagai berikut: 1. memiliki sifat partisipatif dalam arti membuka peluang kontak dan interaksi secara baik, 2. merupakan organisasi bersifat polisentris, yaitu organisasi yang terdiri atas beberapa pemegang kewenangan, 3. bersifat akuntabel bagi masyarakat dan pemegang kewenangan diatasnya, 4. bersifat deliberatif dalam arti memberi peluang bagi anggotanya untuk berdebat, melakukan mediasi dan negosiasi, 5. memiliki susunan pengurus secara berlapis (multi-layered) dalam arti mengandung keterwakilan yang luas, 6. berkeadilan dalam distribusi keuntungan dan risiko yang tidak diharapkan. Dalam kelembagaan pengelola DAS, ketergantungan sistem sosial terhadap air sangat besar. Richter et al. (2010) merinci tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sungai karena alasan spiritual dan estetik, budaya dan alasan praktis. Sungai menyediakan air untuk keperluan rumah tangga dan pertanian. Sungai juga menyediakan energi untuk listrik. Namun kebutuhan akan air dan sungai semakin meningkat bagi pengguna sungai yang bermukim di bagian-bagian DAS yang dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan tindakan manusia di bagian lain sungai tersebut. Dalam kondisi demikian peran tata pengelolaan menjadi lebih penting karena harus mampu menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi sebagai dampak perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya air sungai tersebut. 367
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Richter et al., (2010) mengungkapkan bahwa pembangunan bendungan sangat mempengaruhi keamanan pangan masyarakat yang bermukim di DAS bagian hilir bendungan tersebut. Ekosistem DAS bagian hilir bendungan sangat terpengaruh dan berubah atau bertransformasi secara sosial dan ekologi. Lahan basah dan perikanan dapat berubah menjadi lahan kering. Pola tanam dan jenis komoditas tanaman dapat berubah secara drastis dan pola konsumsi masyarakat akan bertransformasi.
Memperbaharui Pola Pikir Perubahan sosial-ekologi yang disebutkan di atas bersifat irreversible atau tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula. Perubahan tersebut juga dapat bersifat permanen atau terus berubah secara gradual. Seluruh perubahan ini dapat diantisipasi oleh sistem tata pengelolaan yang baik yang mampu mengubah dan memperbaharui pola pikir stakeholder sumber daya air dan DAS terkait. Kartakteristik partisipatif, akuntabel dan deliberatif suatu lembaga tata pengelolaan menunjukkan kemampuan untuk melibatkan anggota dan penggunanya dalam berbagai proses pengambilan keputusan secara transparan dalam konteks komunikasi multiarah. Interaksi sosial yang bersifat intensif dan terbuka membantu memperluas cakrawala pemikiran bagi stakeholder tata pengelolaan tersebut. Lebel et al., (2006) mengemukakan bahwa suatu tata pengelolaan yang baik mampu memperbaharui pola pikir stakeholder dan masyarakat sekitarnya dengan melibatkan mereka melalui upayaupaya partisipatif dalam: (a) mengantisipasi dampak ketidak pastian perubahan sistem sosial dan ekologi, (b) merancang (dalam makna mengevolusikan) kelembagaan yang sesuai dengan konteks sosial dan ekologi, dan (c) mendeteksi perubahan sosial-ekologi yang bersifat irreversible. Dalam upaya mencapai upaya-upaya di atas dibutuhkan keterampilan mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang melibatkan seluruh stakeholder DAS dalam suatu tindak kolektif guna meningkatkan keberlangsungan pemanfaatan positif sumber daya ekosistem DAS tersebut.
Kesadaran Kolektif Pengelolaan Air Kesalahan pengelolaan air dan sungai tidak hanya disebabkan oleh tindakan fisik sistem sosial yang memiliki ketergantungan terhadap air dan ekosistem DAS di sepanjang sungai, namun juga karena melemahnya kesadaran kolektif masyarakat akan peran penting air dan upaya pelestarian sumber dayanya bagi kehidupan mereka. Perubahan nilai dan norma sosial dan kultural tradisional telah bergeser, bahkan tersingkirkan oleh nilai-nilai kultur modern yang lebih berorientasi pada kesejahteraan ekonomi dan keamanan finansial. Ukuran sukses dan pencapaian individu yang secara tradisional diukur dengan nilai sosial dan kekukuhan terhadap norma dan moral, kini lebih diukur dengan pencapaian ekonomi dan finansial. Upaya pelestarian sumber daya dan ekosistem yang secara tradisional merupakan tanggung jawab kolektif dan bersifat sosio-teknis telah berubah menjadi tanggung jawab sepihak kelompok yang seringkali tidak memiliki akses tradisional, namun memiliki kepentingan yang bersifat tekno-ekonomi. Hal ini telah mengubah pola akses 368
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
terhadap lahan dan ekosistem yang semula bersifat kolektif menjadi bersifat kepemilikan dan akses kelompok atau individu. Perubahan sikap sosial tersebut bersifat irreversible atau tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula dan terus berubah secara gradual ke bentuk adaptif atau transformatif. Sikap baru tersebut juga dapat bersifat permanen atau terus berubah. Pola tata pengelolaan DAS yang berjalan selama ini kurang memperhatikan aspek sosio-kultur stakeholder air dan DAS di sepanjang sungai. Upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga governan DAS lebih menekankan pembangunan dan pengelolaan sarana dan teknologi untuk tujuan ekonomi. Lembaga-lembaga governan DAS lebih memperhatikan efisiensi teknologi dan aktivitas kegiatan dalam meningkatkan produktivitas sumber daya dan ekosistem. Sikap dan orientasi ekonomi serta tindakan menempatkan teknologi sebagai alat meningkatkan produktivitas ekosistem memiliki sifat sebagai pisau bermata dua: di satu pihak mampu meningkatkan produktivitas karena tolok ukur pencapaian dan efisiensi tekno-ekonominya dapat dihitung, akan tetapi secara sosial bahkan menyingkirkan sebagian stakeholder yang tidak mampu memiliki atau tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tekno-ekonomi tersebut. Pencapaian ekonomi (economic achievement) kuantitatif sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan usaha telah mengikis dan menggantikan tolok ukur keberhasilan tradisional yang dinilai dengan ukuran norma dan kultural yang bersifat kualitatif. Kemerosotan sistem sosial (social decay) seperti ini merupakan dampak intervensi nilai dan norma baru lebih berorientasi ekonomi namun jarang atau tidak pernah dipertimbangkan oleh lembaga governan DAS. Kebijakan dan tindakan terkait upaya peningkatan kesadaran kolektif lebih terbatas pada kebijakan dan jargon-jargon keberpihakan (affirmative policy) tanpa diimplementasikan secara konsisten. Gunderson et al., (2006) mengemukakan bahwa proses belajar adalah salah satu strategi kunci untuk merespons dan mengatasi kerusakan ekologi. Proses belajar dan pembelajaran dapat difasilitasi melalui jejaring kerjasama, struktur dialog dan komunikasi, sintesis, dan menggali alternatif solusi secara imajinatif guna memetakan alternatif-alternatif masa depan ekosistem setempat. Suradisastra (2006) menekankan fungsi kepemimpinan sebagai entrypoint utama dalam upaya pemberdayaan, penataan dan mempertahankan kelangsungan hidup kelembagaan masyarakat. Lembaga kepemimpinan (leadership) berperan sebagai mobilisator, penyaring dan penyalur informasi, penasihat sosial kemasyarakatan sekaligus sebagai penegak (enforcer) nilai dan norma sosial kolektif komunitas setempat. Dalam upaya penyadaran kolektif stakeholder DAS, seorang pemimpin atau tokoh eksternal (ilmuwan, tokoh lembaga swadaya masyarakat, atau figur kepemimpinan lain) dapat berfungsi sebagai katalis untuk membantu kelancaran proses, namun tidak ikut dalam proses perubahan. Lembaga kepemimpinan tidak terpisahkan dari aspek kepercayaan (trust). Kepercayaan stakeholder pada lembaga kepemimpinan diperlukan guna menjaga aliran informasi tetap berjalan, untuk memperlancar proses adaptasi terhadap lingkungan dan pengetahuan baru, serta menyediakan kapasitas sosial untuk mengontrol ketidakpastian dalam sistem 369
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
yang rumit ini (Gunderson et al. 2006). Salah satu fungsi lembaga kepemimpinan adalah menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam jejaring sosial. Kepercayaan adalah lubricant atau ”minyak pelumas” suatu jejaring kerjasama. Kekurang pedulian lembaga governan DAS terhadap pentingnya mencari entrypoint pemberdayaan sistem sosial-ekologi sering membingungkan upaya mencari arah pemberdayaan dan peningkatan kesadaran kolektif stakeholder DAS. Kondisi ini diperparah lagi dengan pola pengelolaan yang bersifat mengejar target agar pencapaian program pembangunan dapat dicapai sesegera mungkin. Evolusi sikap sosial memerlukan waktu lama sehingga dibutuhkan suatu program penyadaran kolektif pemanfaatan dan pengelolaan positif DAS secara longitudinal (multi-years) dan konsisten dalam implementasi kebijakannya. Upaya penyadaran kolektif harus melibatkan seluruh lapisan stakeholder DAS sejak tahap diagnostik (inventori masalah) sampai tahap evaluasi. Dalam upaya penyadaran kolektif juga ditekankan pentingnya keterkaitan dengan sistem sosial-ekologi lainnya yang berada di bagian hulu dan hilir sistem tersebut. Secara rinci langkah-langkah penyadaran kolektif terdiri atas: 1. Diagnostik: Dalam tahap ini dilakukan inventori potensi dan masalah sosial-ekologi dalam konteks lokal dan keterkaitannya dengan sistem sosial-ekologi di bagian hulu dan hilir dari sistem sosial tersebut. Peran mobilisator, baik tokoh kepemimpinan maupun katalis eksternal dalam fase ini sangat penting. Dalam tahap ini secara partisipatif dilakukan upaya menghimpun, merangkum, menyaring dan menganalisis situasi kolektif sosial ekologi. Definisi dan terminologi terkait kesadaran kolektif dikembangkan. Tujuan dan tolok ukur keberhasilan disusun dan alternatif solusi untuk kemungkinan permasalahan diantisipasi. 2. Rancang bangun: Tahap rancang bangun meliputi upaya penyempurnaan strategi dan teknik penyadaran kolektif. Input dan informasi lebih rinci diperoleh dari para stakeholder DAS. Tahap ini juga membuka peluang lebih luas dalam menggali entry point lain guna memperlancar proses pembelajaran dan kesadaran kolektif. 3. Uji-coba: Tahap merupakan evaluasi dinamis komponen penyadaran kolektif untuk disesuaikan dengan kondisi sosial-ekologi setempat. Dalam tahap ini dilakukan pemantauan proses perubahan sosial-ekologi yang merupakan dampak interaksi kebijakan tekni dengan kondisi sosial-ekosistem lokal. Tahap uji-coba juga memberikan peluang untuk memilih strategi pelaksanaan program dan kegiatan penyadaran kolektif sosial-ekologi masyarakat sebagai stakeholder DAS. Dalam fase ini dilakukan interaksi intensif dengan pejabat struktural dan kelompok penyusun kebijakan pembangunan wilayah setempat. Hasil uji-coba akan merupakan dasar penyusunan rekomendasi lembaga teknis daerah dan rekomendasi politis oleh kepala daerah. Peran katalis dalam fase ini mulai menurun dan peran masyarakat semakin meningkat.
370
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
4. Pemilihan strategi implementasi: Dalam tahap pemilihan strategi penyadaran dilakukan identifikasi, pengembangan, dan penentuan prioritas strategi untuk diimplementasikan dalam kondisi sosial-ekologi setempat. Peran mobilisator dan katalis dalam fase ini sudah sangat berkurang. 5. Verifikasi dan implementasi: Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana stakeholder DAS melaksanakan, mengawasi, memantau dan mengevaluasi penerapan strategi penyadaran yang menentukan masa depan mereka. Konsep tindak kolektif menawarkan alternatif pemecahan masalah terkait upaya penyadaran kolektif stakeholder DAS. Hal demikian timbul karena suatu sistem sosial mampu mengkonsolidasikan ruang ketergantungan sosial melalui jejaring kerjasama dan keterikatan sosial. Sebagai individu, seorang anggota sistem sosial memiliki ketidak berdayaan bila mereka tidak memiliki akses komunikasi dengan kelembagaan pengelola sistem sosial tersebut. Melibatkan seluruh stakeholder dalam merancang, menyusun dan mengimplementasikan program pembangunan sosial-ekologi dalam bentuk penyadaran kolektif merupakan cara yang tepat guna menghilangkan atau mengurangi rasa dan sikap ketidakberdayaan sosial tersebut.
Reformasi Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Air Lembaga tata pengelolaan air dan DAS pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi sosial yang senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan proses evolusi sosial dan ekologi. Bentuk interaksi dan arah perubahan sosial-ekologi sangat tergantung kepada dinamika kekuatan saling mempengaruhi antara elemen sosial dan elemen ekosistem. Dalam proses perubahan tersebut terjadi interaksi multiarah antara: (a) sistem tata pengelolaan DAS sebagai perancang dan pengambil keputusan, (b) anggota organisasi pengelola DAS sebagai stakeholder utama pemanfaatan DAS secara berkelanjutan, dan (c) elemen-elemen ekologi dan sosial lain yang terlibat. Konsep kelembagaan pengelola air dan DAS meliputi tata peraturan formal dan informal, norma dan dasar kognitif, serta sistem-sistem simbolik yang tersusun guna mengatur penggunaan dan distribusi serta menentukan status sumber daya air dalam suatu kelompok masyarakat. Konsep-konsep tersebut di atas secara garis besar dapat dibagi dalam aspek kebijakan, hukum dan administrasi, yang keseluruhannya mencakup elemen-elemen formal dan informal. Isu hukum air mengacu pada status legal air, hak atas air, mekanisme dan resolusi konflik, kemungkinan pertentangan antara hukum, kenakeragaman legal dan kehadiran atau ketiadaan peraturan administratif dalam mengimplementasikan hukum tersebut. Aspek kebijakan meliputi prioritas penggunaan, biaya, kemampuan desentralisasi atau sentralisasi, kemampuan partisipasi dan koordinasi dengan kebijakan lain. Aspek administrasi adalah struktur organisasi pengelolaan air, termasuk pembiayaan, kepegawaian, kapasitas dan penghimpunan dana. 371
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Dari sisi pengembangan kelembagaan diperlukan suatu proses difusi pengetahuan sesuai dengan peran dan posisi lembaga tata pengelolaan sebagai lembaga organisasi polisentris yang mengutamakan aspek partisipatif dan deliberatif. Sesuai dengan fungsinya, lembaga tata pengelolaan harus membuka peluang bagi para stakeholder pemanfaatan dan pengelolaan DAS untuk menyampaikan aspirasi terkait kebutuhan akan sumber daya kolektif mereka. Pola tata pengelolaan yang bersifat formal dan mutlak top-down sudah waktunya ditinggalkan dan secara berangsur-angsur diintegrasikan dengan pengelolaan grass-root yang lebih bersifat informal namun tetap pada arah dan tujuan kolektif yang disepakati. Lebih jauh lagi, mengingat sumber daya air dan DAS merupakan hak kolektif para penggunanya, maka upaya reformasi dan evolusi lembaga pengelolaan sumber daya air dan DAS hendaknya diarahkan ke upaya pemecahan masalah komunal (communal problem-solving oriented). Dari sisi akuntabilitas, tata pengelolaan yang baik juga harus mendorong perkembangan dan penguatan hubungan horizontal antar anggota tata pengelolaan guna meningkatkan difusi informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kolektif tersebut. Sumber daya yang tersedia pada masyarakat, baik sumber daya ekonomi maupun sumber daya sosial harus dapat dimanfaatkan secara lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya air dan DAS (locally and finely tuned). Sikap ini memungkinkan terbukanya peluang memprioritaskan pencapaian yang sejalan dengan tuntutan riil. Disamping itu pengetahuan dan keterampilan lokal (indigenous know-how) juga harus diadaptasikan ke dalam sistem pengelolaan sumber daya untuk membantu mempercepat proses transformasi lembaga pengelolaan tersebut. Proses pembelajaran terkait permasalahan dan penyusunan alternatif solusi sistem sosial-ekologi (termasuk sistem DAS) terdiri atas setidaknya 3 kategori (Gunderson et al., 2006), yaitu: (a) incremental, atau pembelajaran pasif, (b) lurching atau”mengumpan”, dan (c) transformasional. Pembelajaran pasif incremental adalah proses belajar yang mengandalkan penambahan dan perluasan pengetahuan dari pihak lain, baik proses pembelajaran formal maupun informal. Proses adaptasi termasuk salah satu contoh pembelajaran inkremental. Proses ”mengumpan” atau lurching adalah proses pembelajaran terputus-putus dalam waktu dan ruang (episodic learning). Proses ”mengumpan” ini umumnya merupakan proses pembelajaran reaktif setelah timbul bencana atau krisis ekosistem sebagai akibat kegagalan kebijakan. Proses transformasional adalah proses pembelajaran yang paling rinci dan tepat untuk menganalisis dan mengembangkan pemikiran terkait masalah-masalah ekologi dan keterkaitannya dengan sistem sosial. Pembelajaran transformasional umumnya melakukan upaya reframing atau pembentukan kembali domain permasalahan ekologi yang sebenarnya. Pembelajaran transformasional mencakup beberapa hierarki interaksi sosial-ekologi, tidak hanya terfokus pada reaksi satu sistem sosial terhadap kejutan atau perubahan ekologi.
372
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
Penutup: Enabling Environment 1. Perubahan sosial-ekologi DAS bersifat irreversible, yaitu kondisi yang terjadi saat ini tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula. Perubahan ekologi DAS memberikan dampak beragam terhadap sistem sosial dan produktivitas sistem ekologi setempat. Perubahan sosial kelembagaan terjadi pada struktur dan peran kelembagaan terkait DAS, sedangkan perubahan pada perilaku sosial ditunjukkan oleh perubahan sikap dan minat masyarakat terhadap manfaat, fungsi dan masa depan DAS dan air. Masyarakat dan stakeholder DAS semakin kurang mempedulikan tata pengelolaan DAS dan kelembagaan terkait DAS. Kesadaran kolektif tentang pemanfaatan dan pengelolaan berkelanjutan (sustainable usage and management) semakin menurun. 2. Guna mengubah dan meningkatkan kesadaran kolektif diperlukan tindakan pembelajaran yang disusun dalam program pembangunan DAS secara terarah dan diimplementasikan dengan baik serta konsisten. 3. Proses pembelajaran dan peningkatan kesadaran kolektif harus melibatkan masyarakat secara penuh sejak tahap diagnostik sampai tahap verifikasi dan pemantauan serta evaluasi. Proses penyadaran kolektif dan pembelajaran tata pengelolaan DAS dan air dapat melibatkan figur kepemimpinan (leadership) atau figur lain dari dalam dan/ atau luar sistem sosial setempat yang berfungsi sebagai katalis dalam proses perubahan perilaku dan sikap kolektif. 4. Upaya-upaya di atas diharapkan akan membangkitkan kesadaran kolektif sistem sosial dan ekologi yang bersifat spesifik lokasi yang diharapkan mampu memberdayakan sumber daya lingkungan (enabling environment) secara positif, berkelanjutan dan dengan kemerataan proporsional.
Daftar Pustaka Boyd S. 2002. Tambogrande Referendum Has Domino Effect in Peru. Americas Program. www.americas.irc-online.org./citizen-action./ focas/0207tambogrande.htm. Gunderson LH. 2000. Ecological Resilience – in Theory and Application. Annual Review of Ecological Systems 2000. 31:425-439. arjournals.annualreviews.org. Gunderson LH, SR Carpenter, C Folke, Per Olsson and G Peterson. 2006. Water RATs (Resilience, Adaptability, and Transformability) in Lake and Wetland Social-Ecological Systems. Ecology and Society 11(1):16. [online] URL:http//www.ecologyandsociety. org/vol11/iss1/ art16/. Lebel L, JM Anderies, B Campbell, C Folke, S. Hatfield-Dodds, TP Hughes and J Wilson. 2006. Governanve and the Capacity to Manage Resilience in Regional SocialEcological Systems. Ecology and Society 11(1): 19. URL:http//www.ecologyandsociety. org/ vol11/iss1/art19/. 373
TATA PENGELOLAAN YANG BAIK DALAM PENGELOLAAN DAS
McGee Brant. 2010. Participation with a punch: Community Referenda on Dam Projects and the right to Free, Prior and Informed Consent to Development. Water Alternatives 3(2): 162-184. Molinga, Peter P, and Alex Bolding. 2004. The Politics of Irrigation Reform: Research for Strategic Action. In Business and Economics. Ashgate Publishing Limted Gower House, Croft Road Aldershot, Hampshire, England. Molle Francois. 2008. Nirvana Concepts, Narrative and Policy models: Insights from the Water Sector. Water Alternatives 1(1). www.water-alternatives.org. Patterson K. 2005. Canadian mine strike lode of unrest. The Ottawa Citizen. 26 April 2005. www.minesandcommunities.org/ article.php?a=1054. Richter, B.D., S. Postel, C. Revenga, T. Scudder, B. Lehner, A, Churchill, and M. Chow. 2010. Lost in Development’s Shadow: The Downstream Human Consequences of Dams. Water Alternatives 3(2): 14-42. Shore, Cris and Susan Wright. 1997. Anthropology of Policy: Critical Perspectives on Governance and Power. Routledge, London. Subiksa, IGM. 2008. Prospek Pengembangan Rice Estate di Kabupaten Merauke: Tinjauan dari Asdpek Pengelolaan Tanah dan Air. Jurnal Sumber daya Lahan Vol. 2, No. 2, Desember 2008. Suradisastra K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosiologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor, 7 desember 2006. Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
374