Dokumentasi Best Practises Pendidikan (Tentang Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik dalam Pengelolaan Pendidikan)
Best Practice :
Memberikan Pilihan Pelayanan Pendidikan Pembentukan Kantor Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga Kab. Lombok Tengah
Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) Jl. Tebet Barat Dalam III A no 02 Jakarta 12810, Indonesia Phone: +62-21-83794469 Fax: +62-21-83791270 E-mail:
[email protected] Sumber: Dokumentasi Best Practises Pendidikan Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan (UFDP)
Clearinghouse YIPD/CLGI
1
Memberikan Pilihan Pelayanan Pendidikan Pembentukan Kantor Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga Kab. Lombok Tengah
A.
Pengantar: Pandangan Sebelah Mata terhadap Pendidikan Luar Sekolah
Kalau anda mencari data atau berita melalui mesin pencari (search engine) dengan kata kunci "Pendidikan Luar Sekolah", maka sebagian besar (lebih dari 80%) yang akan anda dapatkan adalah data atau berita tentang "Bimbingan Belajar". Padahal kalau diperiksa, bimbingan belajar itu sebenarnya adalah bimbingan yang diberikan pada orang yang bersekolah, jadi semacam tambahan. Jadi sarna sekali bukan pendidikan luar sekolah. Persepsi lain, pendidikan luar sekolah adalah alternatif dari pendidikan formal. Padahal pendidikan luar sekolah adalah salah satu bentuk layanan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah lewat Departemen Pendidikan Nasional. Jadi antara pendidikan formal dan pendidikan non formal, yang disebut pendidikan luar sekolah itu, statusnya adalah sarna. Garnbaran
diatas
adalah
ilustrasi
sederhana
untuk
menggarnbarkan
kesalahpaharnan tentang pendidikan luar sekolah selarna ini dalarn masyarakat, termasuk media massa. Dari kenyataan ini juga terlihat minimnya perhatian pada sektor pendidikan luar sekolah. Bahkan bukan hanya minim perhatian, di beberapa tempat pendidikan luar sekolah malah tidak diakui keberadaannya. Awal perkuliahan tahun 2003 lalu, seorang lulusan prograrn paket C yang setara dengan SMA dari Kabupaten Serang, ditolak ketika ingin mendaftar untuk mengikuti tes masuk perguman tinggi di Jakarta oleh Panitia Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Kompas, 18 Juni 2003). Di sini, walau telah mengikuti prosedur standar ujian yang sarna, pendidikan luar sekolah tetap dianggap lebih rendah dari pendidikan formal. Narnun ironisnya, bulan-bulan belakangan ini, Kantor Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah di daerah-daerah telah menjadi salah satu kantor paling populer. Ketika banyak orang datang untuk meminta ijazah prograrn paket C yang setara dengan SMA sebagai salah satu syarat menjadi calon legislatif (caleg) dari partai-partai Clearinghouse YIPD/CLGI 2
peserta pemilu 2004. Fenomena terakhir ini harus dilihat sebagai pelecehan terhadap pendidikan luar sekolah. Karena dengan tiba-tiba datang meminta ijazah sambil disertai keterangan dulu pernah sekolah di sana dan ikut paket belajar ini dan itu, ada asumsi bahwa pendidikan luar sekolah tidak dikelola dengan serius dan dapat dipakai untuk mengatasi kebutuhan pragmatis administratif.
B.
Pendidikan Luar Sekolah Sebagai salah satu Bentuk Layanan Pendidikan
Terlepas dari salah persepsi dan ironi di atas, kondisi merendahkan pendidikan luar sekolah tersebut mungkin disebabkan oleh salah satu tugasnya untuk memberantas buta huruf di luar jalur sekolah formal. Padahal seperti disebutkan di atas, pendidikan luar sekolah adalah salah bentuk pelayanan pendidikan, selain sekolah formal. Salah satu bentuk pelayanan itu adalah pemberantasan buta huruf. Mengapa tugas ini diserahkan pada PLS? Hal ini dilakukan terutama karena ketidakmampuan sekolah formal untuk menjadi satu-satunya lembaga yang mengatasi buta huruf. Pertama, sekolah formal tidak dapat menampung mereka yang bukan usia sekolah, dan mereka sendiri pun punya kesibukan
sebagai
orang
dewasa
yang
harus
bekerja,
sehingga
tidak
memungkinkan mengikuti jam pelajaran sekolah formal. Kedua, jumlah sekolah dan guru memang tidak mencukupi untuk menampung mereka yang mall dibuat melek huruf. Namun lebih dari itu, memang jumlah yang bisa dilayani lewat pendidikan formal tidak akan pernah mencukupi. Sebenamya tepat di sinilah pokok permasalahannya: Bahwa sekolah formal tidak mungkin menjadi satu- satunya jalur pemberi layanan pendidikan pada masyarakat. Untuk kasus Lombok Tengah misalnya. Dari sekitar 750 ribu penduduk, hanya 200 ribu yang mendapat layanan pendidikan di sekolah formal, artinya sekitar kurang dari 30%. Lalu bagaimana dengan 70% lebih sisanya? Dari mana mereka mendapatkan layanan pendidikan? Dari sini menjadi jelas bagaimana bahwa sebenamya pendidikan luar sekolah lebih besar cakupan pelayanannya dibandingkan sekolah formal. Karena keluwesan bentuknya, PLS juga mencakup latihan-latihan kerja yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah. Jadi tidak perlu seragam
Clearinghouse YIPD/CLGI
3
seperti sekolah formal. Kelebihan lain adalah orientasi PLS yang langsung pada kerja. Sehingga menjadi sangat mengherankan kalau selama ini PLS selalu diidentikkan dengan hanya pemberantasan buta huruf dan dianggap sebagai pelengkap saja dari pendidikan formal. Dalam arti ini dana yang dialirkan dengan sendirinya menjadi terbatas. C.
Mengatasi Tumpang Tindih Pemberantasan Buta Huruf dengan Membentuk Kantor Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga
Gerakan pemberantasan buta huruf, dalam pelaksanaannya ditangani oleh dua institusi. lnstitusi pertama adalah Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olah Raga yang ditangani dan didanai melalui Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten/Kota. lnstitusi kedua adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang dibentuk melalui Keputusan Mentri. SKB ini berada langsung dan dibiayai, dari bawah Direktorat Tenaga Teknis Departemen Pendidikan Nasional. SKB mengelola pamong belajar yang akan langsung terjun ke lapangan dalam program-program paket A (setingkat SD), B (setingkat SMP) atau C (setingkat SMA). Dibanding PLS, SKB mendapatkan banyak fasilitas dengan anggaran yang langsung datang dari pusat. SKB Kabupaten Lombok Tengah saja memiliki 7 unit asrama, motor dan kendaraan dinas. Tentu saja dalam pelaksanaan di lapangan, tidak jarang terjadi tumpang tindih yang tidak efektif antara kedua unit kerja tersebut. Namun masalahnya menjadi semakin rumit ketika mulai dilaksanakan otonomi daerah. Sebagaimana diketahui, setelah otonomi daerah fungsi-fungsi pelayanan diserahkan oleh pusat kepada daerah, termasuk pendidikan. SKB dalam hal ini masuk dalam kategori pelayanan pendidikan. Masalahnya adalah SKB tidak berada dalam struktur organisasi dinas pendidikan. Sehingga ketika perda tentang kelembagaan dikeluarkan, SKB tidak ada di dalamnya. Artinya secara legal, SKB tidak
diakui
keberadaannya,
sedangkan
pusat
sudah
lepas
tangan.
Lalu
bagaimana dengan para pamong belajar yang jumlahnya tidak sedikit itu? Juga semua aset yang selama ini dimiliki SKB? Masalah kelembagaan ini juga muncul di Lombok Tengah. Dan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, menjadikan momentum penataan kelembagaan ini untuk melanjutkan inisiatif yang lebih dulu telah dimulai. Sebelumnya, mengingat tingginya angka buta huruf, Bupati H. Lalu Suhaemi berinisiatif memisahkan Subdin
Clearinghouse YIPD/CLGI
4
PLS dari dinas pendidikan. Hal ini dilakukan untuk memberi keleluasaan PLS menyusun program yang lebih mandiri, juga penganggarannya. Dengan 'hilangnya' SKB dari struktur kelembagaan yang baru, inisiatif tersebut segera dilanjutkan dengan menggabungkan SKB pada Subdin PLS dan menjadikannya satu kantor tersendiri. Untuk itu disusunlah raperda untuk mensahkannya. Namun reaksi dari anggota DPRD justru mengejutkan. Mereka malah mengusulkan agar SKB dihapuskan sekalian saja. Reaksi menentang ini temyata berdasarkan pengalaman selama ini tentang kinerja SKB. Sebagai lembaga yang langsung mendapat dana dari pusat. SKB memang dilimpahi fasilitas, dibandingkan unit-unit kerja lain yang setingkat. Karena itu menjadi wajar, tuntutan menjadi besar. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2000 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lombok Tengah berada di nomor 6 dan 7 kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Barat. Angka rata-rata tinggal di SD hanya 4,3 tahun, dan angka buta huruf yang dijadikan indikator IPM mencapai 28,67 %. Artinya masih ada 52.463 penduduk Lombok Tengah usia 10-44 tahun yang buta huruf. Berdasarkan kenyataan inilah, maka menjadi wajar bahwa reaksi DPRD adalah menolak keberadaan SKB lagi. Namun demikian, masalah tingginya angka buta huruf tetap masalah yang harus diselesaikan. Dan para pamong belajar yang selama ini telah dilatih oleh SKB harus mendapat tempat bekerja yang baru. Setelah melalui perjalanan panjang dan perdebatan di DPRD, akhimya disetujui untuk membentuk Kantor Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga Lombok Tengah. Pembentukan ini disahkan dengan Perda No. 4 th 2002 dan langsung bertanggung jawab pada bupati. Sejak tahun 2003, kantor baru ini sudah memiliki anggaran sendiri dan mulai menjalankan fungsinya. Kantor ini adalah gabungan antara Sanggar Kegiatan Belajar dengan Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga. Selanjutnya SKB bergabung dalam seksi PLS, di samping seksi kepemudaan dan seksi keolahragaan.
D. Hasil dan Tantangan Kebijakan ini tentu disambut dengan tidak gembira oleh Sanggar Kegiatan Belajar. Karena ini adalah penurunan 'status', dari sebuah kantor yang mandiri menjadi bagian dari kantor lain sebagai salah satu seksinya. Dari pihak Dinas Pendidikan, kebijakan ini juga tidak seratus persen disetujui. Sebab bagaimanapun, Dinas Pendidikan akan kehilangan salah satu seksinya. Hal ini berdampak pada sumber daya manusia dan penganggaran. Ketua Dinas Pendidikan Kabupaten Lqmbok
Clearinghouse YIPD/CLGI
5
Tengah saat itu, H. Moh. Thoib, cukup banyak mendapatkan protes dari berbagai pihak, karena mendukung kebijakan tersebut dan begitu saja melepas salah satu seksinya. Kebijakan ini bisa jadi sangat kontroversial. Karena di seluruh Indonesia, hanya Kabupaten Lombok Tengah saja yang memiliki Kantor Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga. Di banyak daerah solusi yang diambil menghadapi masalah
kelembagaan
pasca
otonomi
daerah
di
atas
adalah
dengan
menggabungkan SKB ke dalam Dinas Pendidikan. Di beberapa daerah malah membubarkan SKB karena dianggap tidak efektif. Pemerintah Daerah sendiri tidak lagi mau mengalokasikan dana untuk SKB, karena menganggap penanganan buta huruf bisa dilakukan oleh subdin PLS di dinas pendidikan. Tapi bagaimana hasilnya setelah terbentuknya kantor ini? Selama tahun 2003, dengan program penuntasan buta huruf (Getas Aksara), berhasil mencakup 1.610 peserta ajar dari 161 kelompok belajar di 12 kecamatan. Untuk keberhasilan ini, Kabupaten Lombok Tengah mendapat Penghargaan Handayani untuk pengurangan buta huruf dari Pemerintah Propinsi NTB. Dengan menjadi kantor tersendiri, hal pertama yang segera terasa adalah keleluasaan penyusunan program dan anggaran. Untuk tahun 2003 mereka mendapatkan anggaran sebesar 2 milyar rupiah. Angka ini masih ditambah dana dekonsentrasi sebesar 1,2 milyar rupiah hanya untuk PLS. Dengan keleluasaan ini, maka program seperti Getas Aksara di atas dapat dilaksanakan dengan cepat. Kalau kita perhatikan waktunya, program itu dilaksanakan pada tahun yang sarna ketika mendapat kewenangan menyusun anggaran tersendiri. Sedangkan untuk program seksi lain, yaitu Kepemudaan clan Keolahragaan, belum ada pencapaian khusus selain meneruskan pembinaan pada industri kecil kerajinan tenun clan keramik yang banyak terdapat di Lombok Tengah. Selama tahun 2003 lalu, selain sibuk dengan pengurusan ijazah para caleg di atas, kantor ini juga kewalahan menerima banyak sekali proposal usulan program dari berbagai organisasi pemuda. Dari sini dapat dilihat, dengan antusiasme masyarakat dengan keberadaan kantor ini, maka PLS sebenarnya dapat mengembangkan diri lebih jauh dalam memberikan pilihan pelayanan pendidikan di luar sekolah formal.
Clearinghouse YIPD/CLGI
6
E.
Kemungkinan Penerapan
Melihat pengalaman Kabupaten Lombok Tengah di atas, maka pada dasamya semua daerah memiliki kesempatan yang sarna untuk mendirikan kantor serupa. Untuk kasus Lombok Tengah, tingginya angka buta huruf dan inisiatif dari kepala daerah yang memungkinkan terbentuknya kantor ini. Di daerah lain, yang menjadi faktor pendorong tentu akan berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing.
F.
Kontak
Drs. H. Mohammad Sukomo Kepala Kantor Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olah Raga Jl. Lapangan Bakti Puyung Lombok Tengah NTB Telp. 0370-653417
Clearinghouse YIPD/CLGI
7
Clearinghouse YIPD/CLGI
8