2011
Modul -1 PENGERTIAN PENGELOLAAN DAS OLEH DIDIK SUPRAYOGO, WIDIANTO DAN KURNIATUN HAIRIAH
JL VETERAN, MALANG 65145, INDONESIA TELP(0341)-551665, 565845, FAX 0341 5600011 E-MAIL:
[email protected], WEBSITE: WWW.FP.UB.AC.ID
DAFTAR ISI
1. PEDAHULUA ................................................................................................................................... 3 1.1. APAKAH ADA MASALAH (GANGGUAN) DENGAN DAS KITA ? ............................................................. 3 1.2. MENGAPA PERLU PEDULI DENGAN SUMBERDAYA ALAM ? ................................................................. 4 1.3. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FUNGSI DAS ....................................................................... 5 1.4. APA YANG BISA KITA LAKUKAN ? ...................................................................................................... 6 2. SISTEM PEGGUAA LAHA DALAM DAS ............................................................................. 8 2.1. PENGGUNAAN LAHAN DAN PENUTUPAN LAHAN ............................................................................... 8 2.2. SISTEM TEBAS-BAKAR : DINAMIKA TIPE PENUTUPAN LAHAN DALAM MEMBENTUK SEBUAH SISTEM PENGGUNAAN LAHAN TUNGGAL .............................................................................................................. 9 3. PEGERTIA DAS ............................................................................................................................ 10 3.1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN DAS? ............................................................................................. 10 3.2. BENTUK DAN KARAKTERISTIK DAS ................................................................................................ 11 3.3. DAS SEBAGAI SEBUAH EKOSISTEM .................................................................................................. 13 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 17
2
1. PEDAHULUA
1.1. Apakah ada masalah (gangguan) dengan DAS kita ? Masalah DAS pada umumnya sangat serius di negara-negara berkembang, karena laju pertambahan penduduk memberikan tekanan yang sangat besar terhadap sumber daya lahan. Sebagian terbesar penduduk di daerah ini tinggal dan bekerja di kawasan pedesaan dan sangat tergantung dari sumberdaya lahan. Karena jumlah penduduk bertambah banyak maka lahan yang dulu digunakan untuk usaha pertanian secara ekstensif, sekarang berubah menjadi pertanian yang intensif. Tanah yang dulu sering diberakan kemudian ditanami secara terus-menerus menjadi sangat peka terhadap erosi. Pengusahaan pertanian intensif juga sering diikuti dengan penggunaan pupuk dan pestisida, yang tidak jarang menggunakan dosis tinggi. Praktek ini bisa mecemari sistem perairan baik di daerah hulu maupun daerah hilir, karena mungkin ada sebagian yang terangkut aliran air melalui limpasan permukaan dan aliran bawah tanah. Demikian pula penggunaan lahan penggembalaan secara salah dapat mengakibatkan kerusakan DAS. Penebangan hutan khususnya didaerah hulu dengan alasan apapun (misalnya pengembangan pemukiman, pertanian, peternakan, pariwisata, industri, dsb atau untuk pengusahaan hutan) dapat menurunkan fungsi hidrologi hutan sehingga mengakibatkan erosi dan kerusakan lahan di daerah hulu maupun hilir. Perubahan yang terjadi di dunia pada akhir milenium kedua berlangsung sangat cepat, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggal didalamnya. Jika pada tahun 1950-an jumlah manusia di bumi ‘baru’ sekitar 2 milliar, maka pada tahun 2000-an ini telah mencapai 6,1 milliar orang. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada periode yang sama juga mengalami kenaikan hampir sama, yaitu dari 83 juta (1950) menjadi 224 juta (2000). Penduduk yang sangat banyak ini tentu saja memerlukan pangan, tempat tinggal dan tempat bergerak. Kegiatan manusia yang sangat dinamis untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga membawanya ke dalam suatu kondisi di mana seolah-olah terjadi “kekurangan” lahan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (alih-guna lahan) secara besar-besaran. Kegiatan manusia yang sangat berlebihan itu seringkali dilakukan sampai melampaui batas kemampuan alam, sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan, diantaranya adalah kerusakan fungsi hutan dan pengurasan sumberdaya alam (termasuk tanah dan air). Badan Planologi Kehutanan (2000) melaporkan bahwa laju deforestasi nasional di Indonesia dari tahun 1985 s/d 1997 rata-rata mencapai 1,87 juta ha tahun1 . Akibat tingginya laju deforestasi ini, pada tahun 1999 telah terjadi kerusakan fungsi hutan pada areal seluas 56,98 juta ha, bahkan 23 juta ha
3
diantaranya dimasukkan dalam kategori lahan kritis (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Dampak lingkungan yang mengikuti kerusakan lahan ini antara lain terjadinya banjir, erosi, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan berikut polusi udara oleh asap yang ditimbulkannya. Bencana alam (banjir, longsor dan kekeringan) yang sangat sering terjadi pada awal tahun 2000-an di berbagai daerah di Indonesia sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Analisis mendalam terhadap timbulnya bencana alam tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dipicu oleh tindakan manusia. Oleh karena itu diperlukan kearifan untuk mengelola sumberdaya alam kita agar dapat mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan, serta yang lebih penting lagi adalah untuk menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang dalam menikmati kehidupan di bumi ini.
1.2. Mengapa perlu peduli dengan sumberdaya alam ? Pengelolaan sumberdaya alam khususnya air dan tanah secara profesional diberbagai tempat terbukti lebih efektif jika didasarkan pada pengelolaan suatu kawasan alami yang dikenal sebagai daerah aliran sungai. Pengertian daerah aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS dibahas dalam bab 2.1. Pemilihan kawasan DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya (air) didasarkan pada alasan yang masuk akal, berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan, sosial dan keuangan [EPA, 1996 (EPA800-F-96-001, February 1996)]. Pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan DAS difokuskan pada praktek-praktek penggunaan sumber daya tanah, air dan vegetasi (hutan) yang juga terkait dengan aktivitas manusia yang tinggal di dalamnya. Praktek-praktek penggunaan lahan yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya erosi yang sangat besar, sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah sehingga mengakibatkan degradasi lahan di wilayah DAS bersangkutan (Eckhlom,1978). Erosi di suatu tempat akan mengakibatkan terjadinya pengendapan atau sedimentasi di tempat lain. Sedimen yang dihasilkan dengan cepat mengisi sistem aliran sungai dan danau atau waduk, sehingga dapat mengurangi umur efektif waduk sehingga fungsinya seperti irigasi, pengendali banjir, produksi tenaga listrik, tidak dapat terpenuhi. Sebagai contoh Waduk Karangkates (di Sungai Brantas, Jawa Timur) yang selesai dibangun tahun 1972 direncanakan mempunyai umur efektif sampai 100 tahun jika laju sedimentasi kedalam waduk kurang dari 51.000 m3 tahun-1. Braben (1980) mengukur sedmentasi yang terjadi di waduk tersebut antara tahun 1973 sampai 1977, mendapatkan bahwa laju sedimentasi rata-rata mencapai 6,2 juta m3 tahun-1. Jika hal ini berlangsung terus, maka Waduk Karangkates sudah tidak bisa berfungsi optimal sesuai rancangan pembuatannya dalam waktu 30 tahun kemudian. Dampak dari erosi tanah juga berakibat pada kehidupan masyarakat penghuni DAS melalui penurunan produktivitas lahan, pendapatan dan penyediaan air bersih. Disamping itu, masyarakat mungkin harus mengeluarkan biaya atau enerji yang lebih besar untuk memperoleh sumberdaya dengan kualitas dan kuantitas yang sama. Sejauh ini dampak langsung yang muncul akibat peningkatan erosi dan kerusakan lahan di daerah hulu adalah berbagai berbagai masalah fisik didaerah hilir. Namun perlu dicermati lebih jauh bahwa masalah DAS ternyata merupakan campuran dari masalah-masalah biofisik, ekonomi, sosial-budaya, politik dan kelembagaan (institusi). Beberapa konsekuensi 4
dari masalah ini adalah penurunan produktivitas pertanian, hutan, peternakan dan perikanan; penurunan pengembalian investasi untuk produksi energi listrik dan proyek-proyek irigasi ; serta timbulnya gangguan terhadap kesehatan masyarakat. Penggunaan lahan di kawasan DAS pada dasarnya memadukan penggunaan sumberdaya alam dengan kepentingan manusia. Oleh karena itu sangat diperlukan perlindungan DAS dari ancaman kerusakan atau degradasi. Namun demikian, ternyata pengelolaan DAS banyak yang kurang berhasil. Salah satu penyebab kegagalan itu dikarenakan pengelolaan DAS lebih banyak ditekankan pada aspek biofisik saja, seperti aspek kelerengan, sifatsifat fisik tanah dan penutupan vegetasi, sementara aspek ekonomi dan sosial-budaya belum mendapat bagian yang memadai. Diberbagai kawasan DAS pada saat ini sudah tersedia data biofisik yang bisa dianggap memadai untuk perencanaan pengelolaan DAS. Persoalan yang lebih sering dihadapi adalah bagaimana mengolah, menginterpretasikan dan menggunakan informasi biofisik tersebut untuk perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS sehingga penggunaan sumberdaya alam dapat termanfaatkan secara optimal. Suatu impian yang sangat diharapkan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah bila berhasil memasukkan pertimbangan-pertimbangan biofisik, ekonomis, sosial-budaya, politik dan institusial dalam mengimplementasikan kegiatan pengelolaan DAS. Salah satu contoh, walaupun aspek ekonomi-sosialbudaya diyakini sangat penting, tetapi isu-isu tersebut sering dihindari karena kesulitan untuk memperhitungkannya.
1.3. Perubahan penggunaan lahan dan fungsi DAS Perhatian untuk memahami hubungan penggunaan lahan dan sumberdaya air di seluruh dunia dewasa ini terus meningkat. Hal tersebut terjadi karena hampir semua negara berkembang (dan negara maju) menghadapi permasalahan yang sama yaitu degradasi lahan dan penurunan sumber daya air, sementara kebutuhan akan sumberdaya alam tersebut selalu meningkat. Pengelolaan lahan yang kurang benar dan alih-guna hutan menjadi penyebab utama terjadinya degradasi DAS. Di daerah tropis, proses deforestasi ditambah dengan semakin pendeknya periode bera dalam siklus perladangan berpindah dituduh menjadi salah-satu penyebab utama kehancuran fungsi DAS. Apa benar? Beberapa peneliti diberbagai tempat mepertanyakan tentang pandangan yang terlalu sederhana dalam melihat hubungan antara fungsi hutan dan pengaruhnya dalam DAS. Paradigma lama menganjurkan reforestasi (penghutanan kembali) sebagai pemecahan masalah turunnya fungsi DAS akibat deforestasi. Paradigma ini telah menyerap penggunaan dana yang sangat besar untuk program “penghijauan atau penanaman pohon”. Review yang dilakukan oleh Program Hydrologi Internasional terhadap program tersebut, menyimpulkan bahwa program penghijauan belum mampu memulihkan “fungsi hutan dalam mempertahankan kesehatan DAS”. Pemecahan degradasi sumberdaya tanah dan air tidak semudah membalikkan telapak tangan! Beberapa tahapan analisis yang mendalam dan menyeluruh masih perlu dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara lain: Apa masalahnya, apa penyebabnya? Masalah bagi siapa dan dimana masalah tersebut timbul? Bagaimana pengaruh dan keterkaitannya dengan faktor
5
lain? adakah solusinya? Bila ada, apa konsekuensinya? Dengan demikian, pemahaman yang mendalam dan benar akan siklus hidrologi dan peran hutan dalam siklus hidrologi sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan yang tepat pada berbagai tingkatan.
1.4. Apa yang bisa kita lakukan ? Suatu pertanyaan yang perlu kita jawab adalah bagaimana kita mengelola sumberdaya alam melalui pembangunan yang berwawasan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam rangka menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan mutu hidup. Pengertaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development), merupakan sebuah konsep yang relatif baru, sehingga walaupun telah ada sekitar lebih dari 60 definisi mengenai konsep pebangunan berkelanjutan (Van Kooten dan Bulte 2000 dalam Suyanto, 2002), tetapi belum ada suatu kesepakatan yang sama mengenai definisi baku konsep tersebut. Perdebatan diantara para ahli masih terus berlanjut. Suyanto (2002) memberikan contoh definisi pembangunan berkelanjutan yang paling sering dikutip antara lain: 1. Brundtland (1987): sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the needs of future generations to meet their own needs. 2. Pearce, Makandia and Barbier (1989): sustainable development involves devising a social and economic sistem, which ensures that these goals are sustainable, i.e. that real income rise, that educational standard increase, that the heath of the nation improves, that general quality of life is edvanced. 3. Harwood (1990): sustainable agriculture is a sistem that can evolve indefinitely toward greather human utility, greater efficiency of resource use and a balance with the environment which is favourable to human and most other species. 4. Crossen (1992): sustainable agriculture sytem is one that can indefinitely meet the requirement for food and fibre at socially acceptable, economical and environmental cost. Namun, pada dasarnya sebagian besar definisi pembangunan berkelanjutan mengandung salah satu atau lebih elemen-elemen berikut ini (Van Kooten and Bulte, 2000): 1. 2. 3. 4.
Peduli terhadap kualitas lingkungan hidup Peduli terhadap kesejahteraan generasi mendatang Peduli terhadap masalah pertumbuhan penduduk Peduli untuk mempertahankan pertumbuhan keterbatasan sumberdaya.
ekonomi
dengan
Makna konsep pembangunan yang berkelanjutan, mencakup empat hal yang harus diperhatikan:
6
1. Sumberdaya penunjang. Pembangunan dapat berlanjut harus ditopang dengan sumberdaya alam (SDA), kualitas lingkungan dan sumberdaya manusia (SDM) yang berkembang secara berkelanjutan. 2. Nilai ambang batas SDA. Sumberdaya alam memiliki nilai ambang batas, pada penggunaan yang tidak terkendali akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Penurunan ini akan mempengaruhi kemampuan topangan pada pembangunan berkelanjutan. 3. Kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan secara langsung berkorelasi dengan kualitas hidup. 4. Kualitas hidup generasi mendatang. Adanya usaha peningkatan kesejahteraan generasi sekarang tanpa mengurangi harapan kualitas hidup generasi mendatang. Pelaksanaan pola pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lingkungan, walaupun di tingkat masyarakat masih ada anggapan dari beberapa pihak bahwa pemeliharaan lingkungan bertentangan dengan pembangunan. Bahkan ada anggapan yang ekstrim bahwa pembangunan berkelanjutan adalah identik dengan mempertahankan kemiskinan ! Tindakan-tindakan yang terlibat dalam pembangunan berkelanjutan antara lain: 1. Menekan kerugian sebesar mungkin karena disadari adanya trade off (tarik ulur). Pemanfaatan SDA dalam pembangunan berkelanjutan selalu menjaga keutuhan ekosistemnya. Bila ada dampak negatif dari pembangunan terhadap lingkungan baik fisik, ekonomi maupun sosial harus dipertimbangkan dengan matang. 2. Selalu berorientasi pada dampak pembangunan jangka panjang karena dampak lingkungan seringkali timbul pada kurun waktu yang lama, sehingga menjamin kepentingan generasi mendatang, 3. Selalu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk partisipasi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan, bahkan pengawasannya. Pertimbangan lingkungan yang dimasukkan pada kebijakan pembangunan membuat pembangunan berkelanjutan tidak saja memiliki ciri kelayakan fisik atau teknik dan ekonomi, melainkan juga ciri kelayakan lingkungan. Upaya-upaya strategis yang bisa dilakukan dalam pembangunan yang berkelanjutan antara lain : 1. Mengutamakan penggunaan SDA yang dapat diperbaharui (renewable resources), 2. Mengusahakan penghematan terhadap SDA langka, dan memberikan prioritas terhadap upaya penyelamatan serta perlindungannya 3. Melakukan rehabilitasi terhadap SDA yang rusak, misalnya tanah kritis dan gundul, fungsi hutan yang rusak dan sebagainya, 4. Pengembangan rencana pengendaliannya
tata-guna
lahan
dan
tata-ruang
dan
5. Mempertahankan kemampuan SDA sebagai penopang pembangunan
7
2. SISTEM PEGGUAA LAHA DALAM DAS 2.1. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Penutup lahan (land cover) bisa diartikan sebagai apa saja yang berada di permukaan atau menutupi permukaan tanah. Penutup lahan bisa dikenali dengan teknik penginderaan jauh. Penutup lahan memiliki atribut yang spesifik, yaitu vegetasi, cadangan karbon dan unsur hara, serta habitat untuk tumbuhan, hewan dan manusia. Jadi, padang rumput, pepohonan, hutan, padang pasir, lahan pertanian, bangunan, dsb merupakan elemenelemen penutup lahan. Penggunaan lahan (landuse) adalah tindakan manusia terhadap lahan dalam upaya untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Jadi, pengertian penggunaan lahan berbeda dari penutupan lahan. Namun, pada suatu ketika kedua kata itu bisa memiliki pengertian yang sama, misalnya “padang rumput penggembalaan”. Sistem penggunaan lahan bisa jadi terdiri dari beberapa tipe penutupan lahan. Contohnya, sistem penggunaan lahan “ladang berpindah” (shifting cultivation), jika dilihat pada periode yang berbeda-beda penutupan lahan bisa berupa bera, tanaman semusim, semak, hutan sekunder atau bahkan berupa hutan. Tidak jarang bahwa suatu penutupan lahan yang spesifik merupakan bagian dari beberapa tipe penggunaan lahan, misalnya “tanaman semusim” dapat menjadi bagian dari pola tanam permanen Penutup lahan secara formal diartikan sebagai kondisi biofisik permukaan bumi yaitu vegetasi dan lapisan yang ada di bawahnya. Sementara itu istilah penggunaan lahan memadukan dua hal yaitu biofisik permukaan dan tujuan pemanfaatan lahan oleh manusia. Istilah hutan dapat dipakai untuk menunjukkan penutupan lahan maupun penggunaan lahan. Hutan atau silva (dalam bahasa Latin) pada awalnya mempunyai makna penutup lahan berupa vegetasi berkayu. Sementara itu ada istilah ‘hutan negara’, di mana hutan di sini tidak selalu berarti lahan yang ditutupi oleh vegetasi berkayu, melainkan lebih diartikan sebagai fungsi lahan tersebut (sebagai hutan) dan berhubungan dengan siapa yang menguasai lahan tersebut (yaitu pemerintah). Seringkali di kawasan desa atau pemukiman dijumpai lebih banyak pepohonan dibandingkan dengan di kawasan hutan negara. Dalam bahasa sehari-hari, istilah hutan digunakan untuk menunjukkan penutup lahan yang berupa pepohonan meliputi tegakan vegetasi alami, monokultur atau tanaman perkebunan yang seragam. Oleh karena istilah hutan (forest) sendiri sudah rancu, maka istilah-istilah seperti deforestasi dan reforestasi juga sering membingungkan. Untuk keperluan yang berhubungan dengan lingkungan dan dampak alihguna lahan dan konversi hutan, maka diperlukan definisi yang jelas dari istilah-istilah itu.
8
Latihan : 1. Ambillah satu lembar foto udara atau citra satelit dari kawasan yang anda kenal. a. Buatlah daftar tipe penutup lahan yang dijumpai untuk setiap satuan (pixel) dari foto tersebut b. Buatlah juga daftar tipe penggunaan lahan pada kawasan yang sama 2. Diskusikan lebih lanjut tentang penggunaan istilah “hutan” dalam bahasa pergaulan sehari-hari (lisan maupun tulis). Apakah istilah hutan mempunyai arti sebagai penutup lahan atau penggunaan lahan ?
2.2. Sistem Tebas-Bakar : Dinamika Tipe Penutupan Lahan dalam membentuk sebuah Sistem Penggunaan Lahan Tunggal Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan maupun hewan, namun hanya sedikit yang bisa dimakan oleh manusia. Di masa lampau di mana manusia masih sebagai pemburu dan pengumpul, populasi manusia disekitar hutan sangat jarang. Kelompok pemburu dan pengumpul ini bertindak sebagai penyedia hasil hutan untuk dunia luar dengan memperoleh imbalan sesuai kebutuhan (terutama untuk kelengkapan diet). a. Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan dan hewan, namun hanya sebagian kecil saja yang bisa dimakan oleh manusia. Manusia harus mencari hewan dan mengumpulkan tumbuhan yang bisa dimakan dari hutan dengan cara berburu dan mencari. b. Manusia mulai mengusahakan pertanian menetap dengan cara menanam dan mengembang-biakkan species yang dikehendaki. Sistem pertanian menetap berawal dari upaya kelompok pemburu dan pengumpul, yang mengusahakan dan mengembang-biakkan species tanaman yang dikehendaki. Kesempatan untuk mencoba, lebih memungkinkan terjadi di luar kawasan hutan. Secara naluriah untuk mengembangkan sistem pertanian menetap harus membersihkan (menebang) hutan, dengan maksud untuk memperoleh ruangan yang lebih luas bagi pertumbuhan dan perkembang-biakan tanaman yang dapat dimakan. Tebas-bakar merupakan salah satu cara untuk membersihkan hutan dalam upaya membangun pertanian. Beberapa jenis tumbuhan hutan mampu tumbuh dan berkembang lagi dari sisa-sisa biji atau bagian tanaman yang lain setelah mengalami proses tebas-bakar pada saat pembersihan hutan. Tumbuhan baru ini akan berkompetisi dengan tanaman yang sengaja dibudi-dayakan.
9
3. PEGERTIA DAS
3.1. Apa yang dimaksud dengan DAS? Dalam memberikan pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga saat ini masih belum disepakati dalam satu definisi baku namun pada umumnya mengacu pada batasan sistem, yang wujudnya digambarkan secara skematis pada Gambar 1. Berdasarkan wujud di lapangan pendekatan sistem, terutama sistem aliran air, Linsley (1975) memberikan batasan DAS yang dalam bahasa asing (Inggris) adalah watershed dengan sinonim river basin, drainage basin, chatment area, sebagai: “the entire area drained by a stream or sistem of connecting streams such that all streamflow originating in the area discharged through a single out-let”. Mengacu pada difinisi tersebut, diskusi Pengelolaan DAS di Bogor tahun 1978 (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1978) memberikan batasan DAS sebagai: “satu wilayah daratan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui satu sungai utama”. Bila didasarkan pada fungsi sungai yang menerima air dan mengalirkannya, maka Seyhan (1977) dan Manan (1978) (Dalam Hadi Purnomo, 1990) mendefinisikan DAS sebagai berikut: DAS sebagai wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisahan topografis, berfungsi untuk menampung, menyimpan dan selanjutnya mengalirkan seluruh air hujan yang jatuh diatasnya menuju ke sistem sungai terdekat, dan pada akhirnya bermuara ke waduk, danau dan ke laut. Mengingat DAS sebagai satuan tata air yang merupakan gabungan dari sifat-sifat individual unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran sungai, evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air maka Hadipurnomo (1990) merangkum definisi DAS sebagai berikut: 1. Satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh diatasnya, untuk kemudian mengalirkannya melalui saluran utama ke laut. 2. Satu satuan ekosistem dengan unsur-unsur utamanya berupa SDA flora, fauna, tanah dan air, serta manusia dengan segala aktivitasnya yang berinteraksi satu sama lain.
10
Gambar 1. Sketsa Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nomor : 52/Kpts-II/2001, DAS didefinisikan sebagai: “Suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan”. Memperhatikan DAS tidak hanya sebagai satuan tata air dan satuan ekosistem, tepai juga tempat berinteraksinya manusia maka Easter dan Hufschmidt (1985) mendefinisi-kan sebagai: “Suatu kawasan yang dibatasi oleh suatu topografi yang mana mendrainasikan air melalui sistem aliran sungai. DAS sebagai unit hidrologis dan sebagai unit sosioekonomik dan sosiopolitik untuk merencanakan dan mengiplementasikan aktivias pengelolaan sumberdaya alam”.
3.2. Bentuk dan Karakteristik DAS Dalam DAS, jalur-jalur sungai dengan tanpa cabang pada ujung pengalirannya disebut orde pertama sungai. Penggabungan dua orde pertama sungai membentuk order kedua, dua orde kedua sungai
11
membentuk orde ketiga dan seterusnya. Aliran sungai di kawasan hutan dalam DAS secara umum pada orde yang lebih rendah (Gambar 2). Bentuk DAS akan mempengaruhi debit pengaliran, pola banjir dan debit banjir. Beberapa bentuk DAS yang terdapat di Indonesia secara skematis dapat dilihat dalam Gambar 3 : 1. berbentuk bulu burung, disebut demikian karena jalur anak sungai di kiri kanan sungai utama langsung mengalir ke sungai utama. DAS seperti ini mempunyai debit banjir yang relatif kecil, namun banjir yang terjadi berlangsung relatif lama. Hal ini karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda. 2. berbentuk menyebar (radial). Bentuk ini mempunyai karakteristik dimana anak-anak sungai terkonsentrasi ke suatu titik secara radial. DAS dengan karakteristik demikian, berpotensi menyebabkan banjir besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai, 3. berbentuk sejajar (pararel). Bentuk ini mempunyai karakteristik dimana dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir. DAS dengan karakteristik demikian, jika terjadi banjir maka akan terjadi di bagian hilir titik-titik pertemuan sungai. Disamping bentuk dan karakteristik DAS tersebut diatas, debit pengaliran, pola banjir dan debit banjir juga ditentukan oleh faktor iklim, topografi, vegetasi dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri.
1 1 1
1
1
2 2
2
1 3 4
4
3
1
2
3 2
1 1
1
1
Gambar 2. Keempat orde aliran sungai
12
Gambar 3. Bentuk-bentuk DAS
3.3. DAS sebagai sebuah ekosistem DAS sebagai satuan ekosistem merupakan suatu kawasan alami yang kompleks. Ekosistem merupakan rangkaian kata sistem + ekologi, yaitu suatu tatanan dan keteraturan dari beberapa komponen penyusun yang saling berhubungan satu sama lain. Kata ekologi berasal dari kata Yunani yaitu OIKOS + LOGOS (OIKOS = rumah tangga dan LOGOS = ilmu atau pengetahuan). Disini dipelajari hubungan antar anggota rumah tangga, yaitu antara hewan (termasuk manusia sebagai salah satu species) dengan tumbuhan, antar jenis-jenis binatang itu sendiri, antar jenis-jenis tumbuhan, antar unsur biotis (makhluk hidup) dan unsur abiotis (benda mati) dan sebagainya.
Latihan: Apa yang saudara pahami tentang karakteristik DAS? Lakukan diskusi tentang pengaruh faktor iklim, topografi, vegetasi dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri terhadap debit pengaliran, pola banjir dan debit banjir. Kembangkan diskusi untuk menjawab alasan-alasan peserta diskusi dari sudut pandang pemahaman peserta terhadap faktor-faktor tersebut!
DAS sebagai suatu ekosistem ditandai oleh adanya kriteria sebagai berikut: 1. Terdapat unsur biotis (makhluk hidup) misalnya hewan dan tumbuhtumbuhan, serta unsur abiotis (benda mati) misalnya air dan tanah. 2. Terdapat interaksi atau hubungan timbal balik antara berbagai unsur dalam DAS 3. Terjadi aliran materi, energi dan informasi didalam ekosistem; dari dalam ekosistem keluar ekosistem ; dan dari luar ekosistem kedalam ekosistem
13
4. Dalam keadaan alamiah terjadi keseimbangan dinamis pada suatu ekosistem DAS merupakan suatu ekosistem yang luas, yang terdiri dari beberapa (sub) ekosistem utama (Gambar 4): 1. Ekosistem hutan, yang bersifat sebagai ekosistem alamiah, 2. Ekosistem lahan budi daya pertanian dan pedesaan yang bersifat sebagai ekosistem peralihan 3. Ekosistem perkotaan, yang bersifat ekosistem buatan atau ekosistem binaan
Dalam suatu ekosistem berlaku dalil-dalil sebagai berikut: Dalil pertama Unsur biotis penghuni (mayoritas) suatu ekosistem menguasai suatu bentuk informasi dalam tingkat-tingkat tertentu: 1. Penghuni eksositem hutan yaitu binatang, menguasai informasi berdasarkan naluri. Binatang merasa bila akan terjadi bencana letusan gunung berapi berdasarkan nalurinya, binatang punya naluri kemana mencari makan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebagainya.
Gambar 4. Ekosistem Utama dalam DAS
2. Penghuni ekosistem lahan budidaya pertanian/pedesaan yaitu masyarakat desa menguasai infromasi tradisional, misalnya: masyarakat desa tahu tentang informasi siklus alam (iklim) yang dituangkan dalam pranata mongso bagi orang Jawa. Berdasarkan pranata mongso mereka
14
melakukan pengelolaan usaha taninya. Informasi tradisional ini biasanya bersifat empiris atau berdasarkan pengalaman terhadap kejadian yang telah berlangsung lama dan berulang-ulang. Pengalaman ini tidak atau belum dianalisa secara ilmiah. 3. Penghuni ekosistem perkotaan yaitu masyarakat modern, menguasai ekosistem yang canggih. Mereka telah menguasai infromasi berdasarkan analisa ilmu pengetahuan dan hasil rekaman peralatan canggih, misalnya informasi satelit, radar, komputer, internet dan sebagainya.
Dalil kedua Ekosistem yang penghuninya menguasai informasi paling canggih adalah ekosistem yang kuat. Jadi ekosistem kota lebih kuat dari pada ekosistem desa dan hutan. Ekosistem desa lebih kuat dari pada ekosistem hutan, tetapi lebih lemah dari pada eksositem kota.
Dalil ketiga Ekosistem yang kuat cenderung mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah. Jadi ekosistem kota akan cenderung menyedot materi, energi dan informasi dari ekosistem hutan dan ekosistem desa. Contoh: hasil hutan, hasil pertanian (materi dan energi) banyak dieksploitasi dan diangkut serta ditimbun ke kota. Infromasi hasil penelitian dibidang pertanian, kehutanan, sosial pedesaan juga tersimpan di kota yaitu di lembaga-lembaga penelitian, Universitas-universitas dan sebagainya.
Dalil keempat Dalam kondisi alamiah, suatu ekosistem bisa berada dalam keadaan keseimbangan dinamis. Keseimbangan dinamis ini bersifat mantap. Bila terjadi campur tangan manusia, maka terjadi eksploitasi ekosistem yang lemah oleh eksosistem yang lebih kuat. Jika penyedotan materi, energi dan informasi ini berlangsung terus menerus dan sangat intensif tanpa atau sedikit sekali pengembaliannya ke ekosistem yang lemah, maka akan terjadi kebocoran ekosistem yang ditandai oleh berbagai peristiwa seperti erosi, banjir, terjadinya lahan kritis, kemiskinan, urbanisasi dan sebaginya.
Kebocoran Ekosistem Berdasarkan kriteria-kriteria dan dalil-dalil yang berlaku dalam ekosistem DAS, maka perlu diamati dengan seksama terhadap gejala yang terjadi dalam suatu DAS. Apabila terjadi kebocoran dalam suatu ekosistem, maka bisa timbul akibat berikut : 1. Dalam ekosistem lemah. Akan terjadi proses degradasi yaitu penurunan daya dukung lingkungan akhirnya terjadi bencana berupa: erosi, sedimentasi, banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau, timbulnya lahan kritis dan bencana-bencana alam lainnya.
15
2. Dalam ekosistem kuat. Dalam ekosistem yang kuat akan terjadi penimbunan materi, enerji dan informasi. Hal ini akan menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positif berupa kemakmuran, kemajuan yang pesat dalam laju pembangunan, kemajuan tehnologi, membaiknya sarana dan prasarana kehidupan di perkotaan dan sebagainya. Namun dampak negatifnya juga ada yaitu akibat menumpuknya materi dan enerji dapat menimbulkan pemborosan, pola hidup mewah, kecenderungan timbulnya hiburan menjurus kepada perubahan tata nilai susila, terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial . 3. Upaya penanggulangan kebocoran ekosistem. Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebocoran ekosistem, perlu dilakukan upaya untuk melakuakn keseimbangan dalam aliran materi, enerji dan informasi dari dan ke ekosistem yang kuat kepada ekosistem yang lebih lemah dan sebaliknya.
16
DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi kehutanan, 2000. www.dephut.go.id/informasi/intag/ statistik/ IV.1.3.htm Braben, T.A. 1979. Resevoir Sedimentation East java. Indonesia Report O.D.A 15. Hydraulics. Res. Sta. Walingfort. England. Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources Management. Earthscan Publications, London. 192 pp. Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press LCC. 373 pp Departemen Kehutanan, 2004. Siaran Pers: No: S.491/II/PIK-1/2004 tentang DIP Gerhan Tahun 2004 Diserahkan Ke Daerah: GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN.RHL). Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1978. Proceeding Pertemuan Diskusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cibulan. Easter, K.W., J.A. Dixon and M.M. Hufschmidt. 1986. Watershed Resources Management: An Intergrated Framework with Studies from Asia and the Pacific. Studies in Water Policy and Management, No 10. Westview Press. Ekholm, E.P. 1978. Losing Ground: Environmental Stress and World Food Problems. London: Pergamon Press. Environmental Protection Agency (EPA) U.S, 1996. Watershed Management (EPA800-F-96-001) Assessment and Watershed Protection Division. U.S. EPA (4503F) , Ariel Rios Building, 1200 Pennsylvania Ave NW. Washington, DC 20460 FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Wasington D.C.:Global Forest Watch. 117 pp. Hadipurnomo, 1990. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Brantas. Malang
BRLKT-Sub DAS
Hairiah K, Widianto, D Suprayogo, R H Widodo, P Purnomosidhi, S Rahayu dan M Van Noordwijk, 2004. Ketebalan seresah sebagai indikator daerah aliran sungai (DAS) sehat. World Agroforestry Centre, ICRAF Bogor, ISBN 9793198-17-6, 41 p. Harsono, S. 1995. Pengarahan Mentri Negara Agraria/ Kepala badan Pertanahan Nasional dalam Kongres Nasional VI HITI. PUSPITEK, SERPONG, Tangerang. Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356.
17
Keputusan Menteri Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Tentang
Pedoman
Linsley, R.K., Kohler, M.A. and Paulhus, J.L.H., 1975. Applied Hydrology. Mc.GrawHill, New Delhi. Magrath W.B.and Doolette J.B., 1990. Strategic issues in watershed development. In Magrath W.B.and Doolette J.B (ed.) Watersehed Development in Asia: Stategies and technologies. Wolrd bank technical paper.US. Mangundikoro. A. 1985. Jogyakarta.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.
UGM,
Purwanto E dan Ruijter J, 2004. Hubungan antara hutan dan fungsi daerah aliran sungai. Dalam: Agus F, Van Noordwijk M dan Rahayu S (Eds.). Dampak hidrologis hutan, agroforestri dan pertanian lahan kering sebagai dasar pemberian imbalan kepada penghasil jasa lingkungan di Indonesia. Hal 122. RePPProT, 1990. The Land Resources of Indonesia. A National Overview. Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Final Report date 1990. Land Resources Departement of the Overseas Development Administration, London (Government of UK), and Ministry of Transmigration (Government of Indonesia), Jakarta. Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion. Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. CABI Sinukaban,N., 1995. Kebijaksanaan dan Strategi Konservasi Tanah di Indonesia. Pertemuan MKTI Jawa Timur. Malang. Sunderlin W.D. dan Resosudarmo I.A.P, 1996. Rates and Couses of Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities. Bogor. Indonesia:Center for International Forestry Research. Suyanto, 2002. Pertanian Sehat: Pandangan dari Aspek Ekonomi. Dalam preceding Sitompul S.M. dan Utami S.R. (editors) Akar Pertanian Sehat: Refleksi pengalaman belajar meneliti dan mengajar dipersembahkan untuk mahasiswa pertanian dan petani. Universitas Brawijaya. Malang. 158 pp. Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely Planet Publications Pty Ltd., Australia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Utomo, W.H. 1987. Erosi dan Konservasi Tanah. Universitas Brawijaya. Malang. Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph. Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models, experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255. Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for integrated natural resource management in forest margins and in landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?" Conservation Ecology: 18 pp.
18
Van Noordwijk M, Agus F., Suprayogo D., Hairiah K., Pasya G., Farida. 2004. Peranan agroforesti dalam mempertahankan fungsi daerah aliran sungai (DAS). Jurnal AGRIVITA. Volume 26 No 1: hal 1-7. World Forests, Society and Environment (1999)
BAHAN BACAAN LANJUTAN Buku Bergsma C et al. 1996. Terminology for soil erosion and conservation. Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources Management. Earthscan Publications, London. 192 pp. Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press LCC. 373 pp Gordon, N.D., McMahon T.A., and Finlayson B.L. 1994. Stream Hydrology: An Introduction for Ecologists. Jhon Wiley and Sons Jones C., Palmer R.M., Motkaluk S., and Walters M. 2002. Watershed Health Monitoring: Emerging Technologies. Lewis Publishers. 227 pp. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. (eds.), 1998. Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International Board for Soil Research and Management (IBSRAM). 390 pp. Rose, C. 2004. An Introduction to the Environmental Physics of Soil, Water and Watersheds. Cambridge. University Press, 439 pp Rosegrant M.W., Cai.X., and Cline S.A. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing with scarcity. International Food Policy Research Institute. Washington DC. 322 pp.
Bab Buku Garrity DP. 1996. Tree-crop-soils interactions on slopes. In Ong, C. K. and Huxley, P.A. (eds.). Tree-Crop Interactions – a Physiological Approach. CAB International, Wallingford, UK. pp. 299-318. Garrity DP, Mercado AR, Jr. and Stark M. 1998. Building the smallholder into successful natural resource management at the watershed scale. In: de Vries P, Frits WT, Agus F and Kerr J eds. Soil erosion at multiple scales: Principles and methods for assessing causes and impacts. CABI and IBSRAM. p 73-82. Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356. Lal, R. 1999. Soil quality and food security: The global perspective. Dalam Lal,( Editor) R Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 3-16 Lal, R. 1997. Degradaation and resilience of soil. Philos. Trans. R. Soc. London Ser. B 352:997-1010
19
Lal, R. 1999. Applying Soil Quality Concepts for Combating Soil Erosion. Dalam Lal, R (editor) Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 309-316 Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion. Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. CABI Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models, experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255.
Artikel Scientific journal Sanchez P. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry Sistems 30, 5 – 55. Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for integrated natural resource management in forest margins and in landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?" Conservation Ecology: 18 pp.
Laporan / Manual Brooks, K.N, Gregersen, H.M, Lundgren A.L, and Quinn R.M. 1990. Manual on watershed management project planning, monitroring and evaluation. ASEAN-US Watersehed Project. Ffolliot, P.F. 1990. Manual on Watershed Instrumentation and Measurement. ASEAN-US Watershed Project. Philippines. 193 pp Proyek kali Konto, 1988. Studi screening DAS Brantas. DHV Consultant dan Dirjen RRL Proyek kali Konto, 1990. Pengalaman pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). DHV Consultant dan Dirjen RRL Schmitz K and Tameling A. 2000. Modelling erosion at different scales, a preliminary 'virtual' exploration of the Sumber Jaya watershed. Enschede, ICRAF, Bogor, Indonesia and University of Twente, Enschede, The Netherlands: 84. Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely Planet Publications Pty Ltd., Australia. Van der Poel P and Subagyono K. 1998. National watershed management and conservation project, the use of the universal soil loss equation in the RTL process. Bandung, Indonesia. Van Kooten G.C., and Bulte E.H. 2000. The Economics of Nature. Malden, MA: Blackwell Publiher. Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph.
20
Websites International Hydrological Program: http://www.unesco.org/water Karssenberg, D.J., 1996. PCRaster manual. Department of Physical Geography, Utrecht University, The Netherlands (check also at http://www.pcraster.nl) River Sistems Research Group: http://boto.ocean.washington.edu/ World Commission on Dams: Http://www.dams.org
21
VLIR logo
22
23