Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten1 Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro2 ABSTRAK Penelitian Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten dirancang untuk mengidenfikasi lembaga/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten, mengkaji tupoksi lembaga/institusi terkait, mengkaji peraturan perundangan yang terkait pengelolaan DAS, mengkaji sistem perencanaan pengelolaan DAS lintas kabupaten. Hasil kajian berupa data dan informasi digunakan sebagai bahan untuk memformulasi sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang fungsional yang dapat diterima semua pihak. Pengumpulan data primer menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah para pemangku kebijakan di semua institusi yang terlibat baik di lembaga eselon II, III, dan IV serta tokoh kunci NGO yang konsern dengan pengelolaan DAS. Teknik wawancara adalah deep interview (wawancara mendalam) menggunakan kuesioner dan tape recorder. Jumlah responden sebanyak 42 pejabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative) seperti forum DAS atau LKPDAS (Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS) tingkat Provinsi. Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS di lintas kabupaten. Kata kunci: Kelembagaan, DAS .
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan batas administrasi pemerintahan tidak selalu kompatibel. Oleh karena DAS merupakan kesatuan sistem alami dari hulu, tengah sampai daerah hilirnya 1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014 2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Kota Manado Telp. 0431-3666683
43
yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan. Untuk itu diperlukan tindakan kolektif semua pengguna sumberdaya untuk mengelola proses hidrologis agar memperoleh produktivitas maksimum seluruh sistem DAS. Dengan demikian kesepakatan antar stake holders tentang peraturan akses sumber daya, alokasi, dan kontrol menjadi hal yang sangat penting dalam pengelolaan DAS (Steins dan Edwards 1999a dalam Kerr, 2007). Pada tataran inilah institusi atau lembaga pengelola DAS menjadi prasyarat utama dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji kelembagaan yang tepat agar tujuan pengelolaan DAS bisa terwujud. Mengingat hingga sekarang belum ada institusi yang menjadi pemegang otoritas dalam pengelolaan DAS baik di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat nasional. Payung hukum pengelolaan DAS sesungguhnya sudah ada terutama setelah terbitnya PP No. 37 tahun 2012. Pemerintah Daerah juga sudah mulai menindak lanjuti peraturan tersebut dengan menerbitkan Perda yang mendukung pengelolaan DAS. Juga sudah terbentuk Forum DAS di hampir seluruh provinsi di Indonesia yang surat keputusannya ditandatangani oleh Gubernur di masing-masing provinsi. Namun faktanya hingga sekarang payung hukum tersebut berserta turunannya belum terimplementasi secara riil di lapangan. Program pengelolaan DAS terpadu baru sampai pada produk peraturan perundangannya dan belum sampai pada tahap implementasi sesuai dengan maksud peraturan perundangan tersebut. Implementasi pengelolaan DAS selama ini masih dilaksakanakan secara parsial dan bersifat sektoral. Belum mengacu pada prinsip pengelolaan DAS yaitu “one river one plan one management” dan KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasasi dan Sinergitas) diantara pemangku kepentingan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh akar masalah penyebab sulitnya implementasi pengelolaan DAS terpadu dari sisi perspekftif kelembagaan birokrasi. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem kelembagaan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah berdasarkan hierarki sistem pengelolaan DAS yang meliputi wilayah lintas provinsi. Sasaran yang dibidik dalam penelitian ini adalah menemukan suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas provinsi.
44| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Sistem kelembagaan pengelolaan DAS dilaksanakan mulai dari tahun 2012 s/d 2013. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan sesuai dengan lokus penelitian yaitu di DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara dan DAS Limboto di Provinsi Gorontalo dengan sasaran pada instansi pemerintah tingkat propinsi dan LSM tingkat provinsi serta Forum DAS dan DSDA tingkat kabupaten. B.
Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian survey. Teknik pengumpulan data primer adalah wawancara secara mendalam (deep interview) dengan menggunakan kuesioner dan perekam suara. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder adalah menghimpun data-data yang relevan dari instansi/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik dengan cara mengkopi maupun dengan cara mencatat langsung. Data primer yang menyangkut pandangan, saran, usul dan pendapat mengenai struktur kelembagaan, mekanisme kerja kelembagaan, sistem pendanaan, sistem koodinasi dan payung hukum/legalitas kelembagaan dalam rangka mendapatkan suatu konsep kelembagaan yang baik untuk mencapai kelembagaan pengelolaan DAS terpadu dalam wilayah kabupaten dominan. Data sekunder yang dikumpulkan dari instansi responden adalah struktur organisasi, AD/ART, TUPOKSI, program dan rencana kegiatan/aksi, PERDA, SK Gubernur, laporan kegiatan SKPD dan UPT Pusat, serta data statistik Kabupaten Dalam Angka, Provinsi Dalam Angka dll. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (c ontents analysis) khususnya untuk data sekunder. Contents analysis menyangkut Peraturan perundang-undangan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Perencanaan Pengelolaan DAS terpadu. Teknik analisis lain yang digunakan adalah analisis stakeholder (stkeholder analysis) untuk keperluan mengetahui sejauh mana tingkat kepentingan dan wewenang tiap institusi dalam pengelolaan DAS. Untuk menganalisis data primer mengenai preferensi responden digunakan analisis sebab-akibat terutama soal masalah kelembagaan DAS terpadu hubungannya dengan peraturan yang relevan di era desentralisasi.
45
III. HASIL PENELITIAN A. Institusi Pengelola DAS Kelembagaan merupakan unsur utama dalam pengelolaan DAS terpadu, karena tanpa kelembagaan maka semua program dan kegiatan pengelolaan DAS tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Oleh karena itu Kementerian kehutanan memprakarsai embrio kelembagaan DAS terpadu. Sejak tahun 2003 Departemen Kehutanan (Dephut) cq. Dirjen RLPS, cq. BPDAS terus mensosialisasikan kelembagan DAS terpadu dan membentuk secara sistematis mulai dari pusat, provinsi sampai ke kabupaten. Hasilnya adalah terbentuknya Forum-forum DAS yang meliputi hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dalam perkembangannya, mulai tahun 2010 sampai sekarang ini oleh Kementerian Kehutanan cq. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial cq. BPDAS telah menginisiasi lagi lembaga koordinasi pengelolaan DAS terpadu yang disebut LK-PDAS baik di tingkat nasional, provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Hasil penelusuran ke semua instansi di tingkat kabupaten diperoleh stakeholder pengelola DAS. Penentuan stakeholder pengelola DAS di tingkat kabupaten didasarkan pada tupoksi dan program kerja yang berhubungan dengan pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil analisis tupoksi dan program kerja instansi pemerintah maka dapat diklasifikasikan institusi pengelola DAS kedalam dua kategori yaitu stakeholder utama dan stakeholder penunjang. Stakeholder utama adalah institusi teknis yang tupoksinya dan program kerjanya sangat erat dan berhubungan langsung dengan kegiatan di lapang. Sedangkan stakeholder penunjang adalah institusi yang non teknis yang tupoksi dan program kerjanya berhubungan dengan pengelolaan DAS tapi tidak melakukan secara intens kegiatan di lapang. Berikut ini adalah stakeholder utama dan penunjang dalam pengelolaan DAS. Tabel 1. Stakeholder Pengelolaan DAS Tondano dan DAS Limboto No.
Provinsi
1
Sulawesi Utara
Staheholder Utama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
BPDAS Tondano Forum DAS Dinas Kehutanan BWS-1 Manado Bappeda Provinsi BLH Dinas Pertanian, Perkebunan
46| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Stakeholder Penunjang 1. 2. 3. 4. 5.
BALITBANGDA BPN PLN PDAM Perguruan Tinggi (UNSRAT, dll)
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro No.
Provinsi
Staheholder Utama
Stakeholder Penunjang
dan peternakan 8. Dinas Kelautan dan perikanan 9. Dinas PU Provinsi 10. Dinas Pariwisata 2
Gorontalo
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
BPDAS Tondano Forum DAS Dishuttamben BWS-2 Gorontalo BLH Bappeda Provinsi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan 8. Dinas peternakan dan perikanan 9. Dinas PU Provinsi 10. Dinas Pariwisata
1. BAPPPEDA/BALIHRIS TI 2. BPN 3. PLN 4. PDAM 5. Perguruan Tinggi (UNG, UG)
B. Analisis Stakeholder Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui minat/kepentingan dan peranan masing-masing stakeholder dan wewenang mereka dalam pengelolaan DAS. Keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang kompleks dan terkait dengan banyak pihak, bergantung pada pemahaman yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (pihak terkait). Ada delapan teknik analisis stakeholder menurut Bryson (2003), diantaranya adalah teknik Power versus Interest Grids yang digunakan pada penelitian ini. Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matrix dua kali dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut. Interest adalah minat atau kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan DAS. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi. Power adalah kekuasaan/wewenang stakeholder untuk mempengaruhi atau membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS. Berikut ini disajikan matriks analisis stakeholder pengelola DAS.
47
B. Players - BPDAS* - BWSS I dan II* - Dishut Kabupaten* - Dinas PU Kabupaten* - Dinas Pertanian dan perkebunan** - Dinas Perikanan dan pariwisata** - Balitbangda** - BPLH/BLH Kab**
D. Crowd - Masyarakat umum
C. Contest setter -Bappeda/Bappelitbangda**
Interest
High
A. Subject - Forum DAS/LK-PDAS** - LSM dan masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS* - Akademisi/Perguruan Tinggi**
Low
Power Keterangan : * = sangat penting
High ** = penting
Gambar 1. Matriks analisis stakeholder (kedudukan stakeholder dalam pengelolaan DAS) Gambar 1 menunjukkan bahwa kuadran subjek merupakan kelompok stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi namun memiliki kewenangan dan pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan DAS. Kelompok stakeholder ini terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kegiatan pelestarian lingkungan, pengambil manfaat dari sumberdaya alam dalam DAS, akan tetapi stakeholder ini tidak memiliki kewenangaan dalam pengambilan keputusan ataupun perencanaan dalam kebijakan program pengelolaan DAS. Kelompok masyarakat menjadi salah satu stakeholder kunci yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari kelestarian DAS, Namun secara kewenangan mereka memiliki kekuatan rendah dalam menentukan kebijakan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu keberadaan forum DAS baik Forum DAS Limboto maupun Tondano dianggap tidak mempunyai kewenangan dan pengaruh yang besar dalam kegiatan pengelolaan DAS karena forum ini hanya sebatas tempat bertukar pikiran dan diskusi yang tidak didukung oleh payung hukum yang jelas. Yang
48| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
termasuk kedalam subyek dalam pengelolaan DAS ini adalah Forum DAS dan Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS serta akademisi. Kuadran players merupakan kelompok stakeholder yang memiliki tingkat minat/kepentingan dan kewenangan yang tinggi dalam mewujudkan keberhasilan pengelolaan DAS. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi memiliki otoritas yang tinggi dalam perumusan kebijakan, perencanaan serta penganggaran dalam pengelolaan. Selain itu stakeholder tersebut juga memiliki peran mengorganisir, mengkoordinasikan serta mensinkronkan program kegiatan dalam pengelolaan DAS. Stakeholder yang termasuk dalam kategori players antara lain : a. BPDAS Bone-Bolango/ Tondano b. Dinas Kehutanan Provinsi c. Dinas Kehutanan Kabupaten. d. Dinas Pertanian e. BLH f. Balitbangpedalda g. Dinas PU Prop/Kab Stakeholder yang masuk dalam kuadran contest setter memiliki minat/kepentingan yang rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses penentuan kebijakan. Tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan terselenggaranya perencanaan pembangunan di daerah, memiliki minat/kepentingan yang rendah karena dalam perencanaan belum mendorong secara optimal pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, pengaruh yang tinggi karena perguruan tinggi melakukan penelitian, melakukan ekspose hasil penelitian yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan. a. Bappeda Provinsi b. Universitas/Perguruna Tinggi c. Bappppeda Kabupaten Sedangkan stakeholder yang masuk dalam kuadran crowd memiliki pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula. Dengan adanya stakeholder yang masuk dalam crowd ini menghambat terwujudnya pengelolaan. C.
Sistem Pendanaan Kelembagaan Pengelolaan DAS Terpadu Pada akhirnya keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk keperluan tersebut dukungan penganggaran merupakan kebutuhan mutlak. Dari uraian latarbelakang di
49
atas telah dikemukakan bahwa salah satu kendala tidak berjalannya konsep pengelolaan DAS terpadu adalah dukungan dana yang tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk menyusun sistem pendanaan yang tepat sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu. Berdasarkan ketersediaan dana, maka hampir dipastikan bahwa untuk kepentingan teknis pengelolaan DAS Tondano, kabupaten minahasa sangat tergantung dengan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dan luar negeri. Sebab anggaran daerah yang bersumber dari DAU, 70-80 % hanya habis untuk pembiayaan belanja pegawai. Berdasarkan hal itu, dengan memandang DAS Tondano dan DAS Limboto sebagai DAS Strategis nasional dengan Danau Tondano dan Danau Limboto didalamnya maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pelestarian DAS khususnya di hulu. Yang berjalan selama ini adalah; program pembantuan pemerintah pusat terhadap upaya pelestarian DAS langsung dilaksanakan oleh instansi terkait dengan Kementerian pemberi program dan tentunya akan mengikuti standard dan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian yang bersangkutan karena pertanggungjawabannya pun kepada Kementerian bersangkutan. Yang menjadi permasalahan adalah karena kadang-kadang program pembantuan tersebut tidak sinkron dengan program pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah. Bila memandang DAS Tondano dan DAS Limboto berdasarkan letak administrasinya serta peran DAS Tondano bagi pembangunan Sulawesi utara dan DAS Limboto di Gorontalo, maka pemerintah provinsi bertanggung jawab penuh dan berkewajiban memberikan perhatian bagi penyelamatan DAS Tondano dan DAS Limboto. Yang dirasakan oleh pemerintah Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Gorontalo adalah bahwa pemerintah provinsi belum ada perhatian khusus dan terkesan membiarkan tanggung jawab pelestarian DAS bahkan hasil retribusi dari PLN dan PDAM serta perusahaan air minum lainnya yang langsung maupun tidak langsung menggunakan sumberdaya air DAS Tondano tidak jelas pembagian dan peruntukannya. Padahal kewenangan pemungutan retribusi ditangani oleh pemerintah provinsi. Berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD di tingkat kabupaten bahwa mekanisme pendanaan dalam rangka pengelolaan DAS yang memungkinkan bisa dilaksanakan sekarang ini adalah sebagai berikut: - Menggunakan skema DIPA di masing-masing SKPD teknis yang bersumber dari APBD. Kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah
50| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
bahwa dana APBD sangat terbatas sedang program prioritas daerah sangat banyak khususnya untuk sektor infrastruktur, pertanian, kesehatan dan pendidikan. - Anggaran tugas pembantuan dari pusat/kementerian berupa DAK (Dana Aloksi Khusus). Skema ini bagi daerah sangat memungkinkan karena disamping bisa mengeleminir keterbatasan dana daerah juga koordinasi pusat dan daerah bisa terjalin dengan baik. Hal ini sudah dibuktikan dalam implementasi GERHAN di lapangan. Kelemahan skema ini hanya melibatkan kementerian tertentu saja dan SKPD tertentu saja. Belum melibatkan semua pemangku di dalam DAS. - Anggaran dari UPT Kementerian seperti dana dari Kemenhut cq. BPDAS; dari Kemen. PU cq. BWS; dana dari Kemeneg. Lingkungan Hidup, cq BLH. SKPD siap memfasilitasi dan membantu di daerah. - Anggaran dari lembaga donor dan pihak ketiga. Menurut pandangan dan pendapat pimpinan SKPD bahwa yang paling penting adalah sumber dananya jelas dulu, baru membahas siapa, berbuat apa, dimana, kapan, bagimana dalam suatu DAS tertentu. Bila ini semua jelas maka tentu KISS dalam konsep pengelolaan terpadu dengan sendirinya akan terwujud karena KISS merupakan dampak dari berjalannya kegiatan kolaboratif. D.
Keterkaitan RPDAS Terpadu dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Secara ringkas sistem perencanaan pembangunan nasional berdasarkan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hierarki sistem perencanaan pembangunan nasional No
Tingkat Nasional
Kementerian dan Lembaga
SKPD
RPJP Nasional RPJM Nasional
Tingkat Daerah (Provinsi dan Kabupaten/ kota RPJP Daerah RPJP Daerah
1 2
Rentra-KL
RKP
RKPD
Renja-KL
RentraSKPD RenjaSKPD
3
Periode
20 tahun 5 tahun 1 tahun
51
Proses penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai berikut: a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan; b. Penyiapan rancangan rencana kerja; c. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Adapun penyusun dan pengesahaan sistem perencanaan pembangunan nasional seuai dengan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut: Tabel 3. Penyusun dan pengesahan perencanaan pembangunan nasional di berbagai level pemerintahan No
Level Pemerintahan
Jenis Perencanaan (Periode)
Penyusun
Penetapan/ Pengesahan
1
Nasional
RPJP-Nas (20 tahun)
Menteri/Kepala Bappenas
Undang-undang
RPJM -Nas (5 tahun)
sda
PERPRES
RKP(1 tahun) RENSTRA- KL (5 tahun)
sda Menteri/kepala lembaga sektoral
PERPRES Peraturan Pimpinan Kementerian/ Lembaga
RENJA - KL (1 tahun)
sda
Peraturan Pimpinan Kementerian/ Lembaga
RPJP-Daerah (20 tahun)
Kepala Bappeda
PERDA
RPJM-Daerah (5 tahun)
sda
Peraturan Kepala Daerah
RKPD ( 1 tahun)
sda
Peraturan Kepala Daerah
RENSTRA SKPD (5 tahun)
Kepala SKPD
Peraturan Pimpinan SKPD
RENJA SKPD (1 tahun)
sda
Peraturan Pimpinan SKPD
2
3
4
Kementerian/ Lembaga (KL)
Daerah ( Provinsi dan Kebupaten/ kota)
SKPD (Provinsi dan Kabupaten/ Kota)
Setelah RKP ditetapkan dan disahkan maka RKP menjadi pedoman Penyusunan RAPBN oleh DPR. Demikian pun dengan RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD.
52| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Berdasarkan hierarki, proses penyusunan dan penetapan rencana pembangunan nasional bila dikaitkan dengan RPDAS terpadu maka hingga saat ini belum masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu bila RPDAS terpadu bisa diterapkan secara nasional maka RPDAS tersebut harus masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU no. 25 tahun 2004 yang selama ini dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah. Sesungguhnya RPDAS terpadu dapat diakomodasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional kerena dalam pasal 1 UU no. 25 tahun 2004 disebutkan bahwa Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah sekumpulan rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, daerah, atau kawasan. Program kewilayahan dan lintas wilayah dimaksud sangat sesuai dengan program pengelolaan DAS. Untuk itu maka hanya dibutuhkan usaha berupa mekanisme pengaturannya agar RPDAS masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional karena perangkat peraturan perundang-undangan memungkinkan untuk itu. Untuk tingkat kabupaten/kota, RPDAS harus masuk dalam RPJP daerah, RPJM daerah dan RKPD. Dengan demikian maka akan dapat dituangkan dalam Renstra dan Renja SKPD agar bisa terimplementasi secara formal. Bila hal ini sudah berjalan maka kendala mengenai RPDAS tidak diakomodir oleh Pemda dan sumber pendanannya yang dialami selama ini dapat tereleminir. E. Respon Pemda terhadap RPDAS Terpadu Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam analisis ini adalah mengapa Pemda terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu yang telah dibuat oleh kementerian kehutanan cq. BPDAS Tondano di Sulut dan BPDAS Bonebolango di Gorontalo. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti menggunakan pendekatan kajian peraturan perundangan yang berlaku dan pendapat para pimpinan stakeholder pengelola DAS di Kabupaten Minahasa, Bolmong, dan Kabupaten Gorontalo. Bila ditinjau dari segi peraturan perundangan-undangan bahwa sistem perencanaan pembangunan di daerah mengacu pada UU no. 25 tahun 2004. Dengan demikian maka semua program pembangunan di daerah termasuk mengenai program pengelolaan DAS terpadu seharusnya masuk dalam proses penyusunan dan penetapan RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja SKPD. Namun dalam kenyataannya bahwa proses penyusunan RPDAS terpadu ternyata terpisah dengan proses penyusunan rencana
53
pembangunan di daerah. Penyusunan RPDAS terpadu disusun oleh Kementerian Kehutanan cq. BPDAS. Dengan demikian maka posisi pemda dalam hal mengakomodasi RPDAS sangat sulit karena bila RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja SKPD telah ditetapkan sedangkan RPDAS hendak masuk maka hal ini tidak memungkinkan. Hal ini sangat terkait dengan alokasi pendanaan karena dalam UU no 25 tahun 2004 juga telah diatur bahwa bila RKPD telah ditetapkan dan disahkan maka RKPD tersebut menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD. Konsekuensinya bila RPDAS tidak masuk dalam RKPD maka tentu tidak akan mendapat alokasi anggaran dari APBD. Dengan demikian maka RPDAS tidak bisa dijalankan oleh SKPD dengan menggunakan APBD. Hal inilah yang mengakibatkan sikap Pemda/SKPD terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu. Dengan kondisi demikian sikap SKPD hanya menunggu bila program dan kegiatan RPDAS terpadu dilengkapi dengan dana dari inisiator itu sendiri, posisi SKPD siap membantu mengimplementasikannya. Bila inisiator mengharapkan dana dari APBD maka hal ini sulit terealisasi. F. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS Dalam menentukan dan mengembangkan bentuk kelembagaan pengelolaan DAS, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004). Secara umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono dan Iwanuddin, 2008): a. Bentuk kelembagaan Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak (Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara, salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hierarki, maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks. b. Bentuk kelembagaan Monocentric; dalam kelembagaan ini otoritas terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi
54| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
dibawah komando dari pusat. Kelebihan sistem ini adalah bersifat sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river, one plan and multi management. Ada arahan yang jelas dari pusat. Kelemahan kelembagaan Monocentric, antara lain pengelolaan DAS hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari mereka. c. Bentuk kelembagaan gabungan Polycentric dan Monocentric; kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga Polycentric dengan Monocentric, artinya masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan dan pedoman monitoring dan evaluasi. Dari tiga bentuk kelembagaan yang disebutkan di atas maka bentuk lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative), baik dengan membentuk lembaga baru atau memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi) merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Secara faktual untuk mendapatkan suatu kelembagaan pengelolaan DAS yang baik dan diakui oleh semua pihak tidak bisa instan. Lembaga bukanlah blue print karena bersifat dinamis. Seiring dengan waktu maka sambil jalan dengan kegiatan di lapang, lembaga yang mengawal kegiatan tersebut akan mengalami proses penyempurnaan. Untuk itu lembaga pengelolaan DAS terpadu dirancang agar bisa mengikat semua pemangku DAS. Sebagai langkah awal perlu dibuat prototipe lembaga pengelolaan DAS terpadu yang legitimate. Artinya bahwa perlu suatu “payung hukum” yang mengikat semua pemangku berupa peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya. Dengan demikian maka kendala utama yang selama ini dirasakan soal koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergitas (KISS) yang lemah dan sulit terlaksana serta dukungan dana yang tidak jelas bisa tereleminasi. Disamping itu slogan “siabudiba” (siapa, berbuat apa, dimana, dan bilamana) dalam pengelolaan
55
DAS akan lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik. Prakondisi pembentukan prototipe kelembagaan DAS terpadu adalah: - Adanya peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya yang bersifat mengikat semua pemangku DAS - Memanisme penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu harus link dengan proses perencanaan di Pemda/SKPD sebagai bagian dari pemangku DAS. Dengan demikian dihasilkan perencanaan yang dapat dijalankan oleh semua pemangku, baik itu intansi pusat maupun instansi daerah. - Hal yang paling krusial adalah adanya dukungan dana yang jelas, kontinu, legal dan akuntabel. Bila prakondisi diatas sudah dilakukan maka berlanjut kepada pembentukan Prototipe Kelembagaan DAS terpadu. Prototipe Kelembagaan DAS terpadu bisa berjalan secara baik bila: - Ada issu pokok yang menjadi prioritas penanganan - Ada role of the game yang jelas - Kualifikasi SDM yang memadai - Ada sumber dana yang jelas, kontinu dan legal. G.
Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola DAS secara berkelanjutan masih lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya konflik antar wilayah adalah : 1. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional. Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial. Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.
56| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
Masalah ketidakmerataan dan ketidakefisienan penggunaan alokasi SDA yang mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya serta memicu konflik. Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk menyusun langkahlangkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing. Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan melakukan negosiasi politik antar daerah yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA, sehingga alokasi dan distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil. Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk Badan Kerjasama antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999). Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Provinsi. Apabila kerjasama antar Provinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan provinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi.
57
2. Membangun Sistem Legislasi yang Kuat Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah : a. Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan. b. Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah c. Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan. Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undangundang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan, pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS. 3. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS. Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
58| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
instrumen yang mengatur antar individu. Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya (Kartodihardjo et al., 2000). Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya. Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand. Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada. Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda. Duplikasi program akan menyebabkan ketidakefisienan anggaran berupa pemborosan dan mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan rentang kewenangan pengelolaan DAS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum menerapkan
59
prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one river one plan belum diimplementasikan secara menyeluruh. 4. Meningkatkan Kualitas SDM Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan terdapat kesenjangan di seluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan. Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas lahannya. Para penyuluh pun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwenang menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam suatu DAS. Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Bentuk kelembagaan yang paling sesuai dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten saat ini adalah kelembagaan kolaboratif baik itu berupa Forum DAS atau Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS). Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LKPDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten. 2. Forum/Lembaga Koordinasi DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) sesuai kewenangan dan tupoksinya masing-masing.
60| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
3.
4.
5.
6.
7.
8.
B. 1.
2.
Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun harus masuk dalam tahapan dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan nasional sesuai dengan UU. No.25 tahun 2004 yaitu melalui MUSRENBANGDA. Program pengelolaan DAS terpadu mau tidak mau harus masuk dalam program pembangunan nasional jangka panjang dan menengah (RPJP & RPJM) sehingga dapat dijalankan di level kabupaten maupun provinsi (sikron dengan RKPD) dan disyahkan oleh pejabat yang berotoritas tinggi agar mendapat legitimasi yang kuat dan dapat diikuti instansi SKPD dan instansi vertikal kementerian teknis. Optimalisasi peran dan fungsi Forum DAS atau LK-PDAS sangat ditentukan oleh dukungan intansi pemerintah terutama soal kebijakan dan pendanaannya. Sumber perdanaan pengelolan DAS terpadu untuk SKPD adalah APBD dan dana tugas pembantuan dari pusat berupa DAK serta pihak ketiga/lembaga donor, sedangkan UPT kementerian bersumber dari APBN. Semua sumber pendanaan untuk pengelolaan DAS dikoordinasikan melalui forum DAS atau LK-PDAS untuk mensinkronkan dengan kegiatan agar prinsip one river, one plan, multi manajemen bisa terealisasi. Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan (training). Saran Keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk itu dukungan penganggaran yang jelas dan kontinyu dari institusi yang terlibat merupakan kebutuhan mutlak sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu. Perlu ada suatu pilot project implementasi pengelolaan DAS terpadu dimana dalam satu DAS prioritas tertentu semua unsur terkait terlibat melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS secara bersama-sama sesuai
61
dengan tupoksi dan rencana kerjanya dalam satu bingkai rencana untuk membuktikan sejauh mana keterpaduan seperti dalam konsep pengelolaan DAS terpadu dapat diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Bryson, J,M. 2003. ”what to do when stakeholder matter; a guide to stakeholder identification and analysis techniques. University of minnoseta Kementerian Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT. Kementerian Kehutanan –a. 2001. Eksekuitf. Planologi Kehutanan. Jakarta.
Data Strategis Kehutanan.
Badan
Kementerian Kehutanan –b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta. Kementerian Kehutanan dan Perkebunan RI. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). P2SE. Bogor Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS danKonservasi Tanah. K3SB. Bogor. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Kerr, John. 2007. “Watershed management; Lessons from common property theory”. International Journal of The Commons 1(1):89-109. publisher: Igitur Utrecht Publishing & Archiving Services For IASC. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri; Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum, No.19 tahun 1984 – No.059/Kpts-II/1984 – No.124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS: Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (Pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja). Prosiding Penelitian Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
62| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014