ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI
MIKA LESTARIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015 Mika Lestaria NIM A156130254
RINGKASAN MIKA LESTARIA. Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci. Dibimbing oleh SETIA HADI dan M. BUCE SALEH. Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang memiliki hutan dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi, namun dari sub sektor kehutanan hanya berkontribusi sekitar 0,04 % terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini keberadaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara optimal, belum teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci, serta lemahnya kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten Kerinci. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci adalah salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci; (2) menganalisis model kelembagaan KPHP Model Kerinci; (3) menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Penelitian dilakukan di KPHP Model Kerinci di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Metode analisis data dilakukan dengan analisis Nilai Ekonomi Total (NET), analisis kelembagaan, dan analisis hirarki proses (AHP). Hasil penelitian menunujukkan bahwa Keberadaan KPHP Model Kerinci berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini ditunjukkan dari Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model Kerinci sebesar Rp. 337 Milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun atau sekitar 7,51%. Untuk dapat merealisasikan nilai sumber daya hutan tersebut, maka dibutuhkan kelembagaan yang ideal sesuai dengan kebutuhan daerah. Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukan resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan. Ada enam resort pengelolaan yang dibentuk berdasarkan pertimbangan luasan kawasan, kedekatan lokasi dan potensi pemanfaatan lahan. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah sebesar 55,6%. Namun ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama indikator pada kriteria dukungan regulasi dan perencanaan. Kata kunci : Analisis Kelembagaan, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Nilai Ekonomi Total
SUMMARY MIKA LESTARIA. Analysis of Institutional and the Role of Forest Production Management Unit (KPHP) for Regional Development in Kerinci Regency. Supervised by SETIA HADI and M BUCE SALEH. Kerinci is an upstream area of Jambi Province with high land forest and potentially as a capital of regional development to increase regional economic. Kerinci is one of regency with the large forest, but sub sector of forestry contributes only 0,04% of GDP Kerinci Regency. It’s may possibly by the weakness of forest management and policy of Kerinci Regency Government. Forest production management unit (KPHP) Model Kerinci is one of goverment efforts to achieve sustainable forest management. The aims of this research were (1) to analyze the role of forest production management unit (KPHP) Model Kerinci in the regional development of Kerinci Regency; (2) to analyze the institutional of forest production management unit (KPHP) Model Kerinci; (3) to analyze region’s readiness for forest production management unit (KPHP) Model Kerinci development. The study was conducted in Kerinci Regency. Data were analyzed by total economic value (TEV), institutional analysis, and analytical hierarchy process (AHP). The results showed that the Forest Production Management Unit (KPHP) Model Kerinci potentially to the role in Regional Development of Kerinci Regency. It’s showed by total economic value of natural resources of KPHP Model Kerinci is Rp. 337 billion/year. From these value, which could potentially contribute to the GDP is economic value of timber and agroforestry Rp. 303 billion/year or 7,51 per cent of GDP Kerinci Regency. To realize the value of the forest resources, its required institutional ideally suited of the region. Institutional Model of KPHP Model Kerinci need to be developed with the formation of the resorts management in several districts. There are six resort management formed under consideration of the extent of the area, proximity and potential land use. Kerinci is ready in development KPHP Model Kerinci. This is evident from the level of achievement of the region's readiness for 55.6%. However, there are some indicators that must be addressed mainly indicators on regulatory support and planning criteria. Keywords: Forest Production Management Unit (KPHP), Institutional Analysis, Total Economic Value (TEV)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI
MIKA LESTARIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MSc
Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci Nama : Mika Lestaria NIM : A156130254
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir M Buce Saleh, MS. Anggota
Dr Ir Setia Hadi, MS. Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr.
Tanggal Ujian: 27 Maret 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan November 2014. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam proses penyusunan tesis ini, terutama kepada : 1. Ayah dan Ibu beserta seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini. 2. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, saran ilmiah, dorongan dan arahan kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini. 3. Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Untung Sudadi, MSc selaku pemimpin ujian tesis yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Segenap tim manajemen dan dosen pengajar Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 5. Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk dapat menimba ilmu di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah memberikan izin tugas belajar di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB. 7. Pemerintah Kabupaten Kerinci yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian di Kabupaten Kerinci. 8. Kepala KPH Kerinci Neneng Susanti, S.Hut, MSi yang banyak sekali membantu selama pengumpulan data. 9. Teman-teman PWL angkatan 2013 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015 Mika Lestaria
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian
1 1 3 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait Teori Kelembagaan Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam Analytical Hierarchy Process (AHP)
6 6 7 10 11 13 14 15
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data
16 16 17 18 18
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan Topografi dan Morfologi Wilayah Geologi Tanah Iklim Demografi Aksesibilitas Wilayah Daerah Aliran Sungai Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci
21 21 22 23 24 24 25 26 26 27 27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci Kelembagaan KPHP Model Kerinci
28 28 33
27
Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
38
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
41 41 42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
45
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13
Luas KPHP Model Kerinci berdasarkan Fungsi Kawasan Jenis, Sumber Data dan Teknik Analisis Data untuk setiap Tujuan Penelitian Skala Banding secara Berpasangan Luas Wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kerinci Jenis Penutupan Lahan di KPHP Model Kerinci Formasi Batuan Penyusun di Wilayah KPHP Model Kerinci Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan Kelembaban Relatif menurut Bulan di Kabupaten Kerinci Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model Kerinci Nilai ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada KPHP Model Kerinci Stakeholders, Kepentingan dan Tingkat Kepentingannya serta Pengaruh dan Peluang Partisipasinya dalam Pengelolaan KPHP Model Kerinci Resort Pengelolaan pada KPHP Model Kerinci Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci Interval Tingkat Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
17 17 20 22 23 24 26 31 32 33
35 40 40
DAFTAR GAMBAR Kerangka Pemikiran Penelitian Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci Peta Penutupan Lahan KPHP Model Kerinci Sebaran Kelas Diameter Pohon di KPHP Model Kerinci Praktek Agroforestri yang Didominasi Kayu Manis Struktur Organisasi KPHP Model Kerinci Model Pengembangan Kelembagaan KPHP Model Kerinci dengan Pembentukan Resort-resort Pengelolaan 8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci 1 2 3 4 5 6 7
5 16 23 29 30 35 38 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP) 2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci 3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci 4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
45 48 51 56
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi banyak aspek yang saling berinteraksi satu sama lain. Pada dasarnya pengembangan wilayah bertujuan agar suatu wilayah dapat berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan yang dilaksanakan dengan cara pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki dengan cara optimal dan adil, meningkatkan keserasian antar wilayah, keterpaduan antar sektor pembangunan dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu ciri suatu wilayah dikatakan berkembang adalah jika meningkatnya perekonomian suatu wilayah. Hingga saat ini, sumberdaya alam sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Salah satunya adalah sumberdaya hutan. Kabupaten Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang memiliki hutan dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi. Luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci tahun 2012 meliputi hutan pelestarian alam 191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha dan hutan hak/milik 5.000 ha (BPS Kabupaten Kerinci 2013). Dari luas hutan yang dimiliki, seharusnya dari sub-sektor Kehutanan dapat berkontribusi lebih besar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kerinci. Namun, sampai tahun 2012, sub sektor kehutanan hanya berkontribusi sebesar 0,04 persen. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini keberadaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara optimal, belum teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci, serta lemahnya kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten Kerinci. Sub-sektor Kehutanan di Kabupaten Kerinci yang dimaksud disini mencakup kegiatan penebangan segala jenis kayu serta pengambilan daun-daunan, getah-getahan dan akar-akaran, termasuk juga kegiatan perburuan. Komoditi yang dicakup meliputi: kayu gelondongan (baik yang berasal dari hutan rimba maupun hutan budidaya), kayu bakar, rotan, arang, bambu, terpentin, gondorukem, kopal, menjangan, babi hutan, serta hasil hutan lainnya. (BPS Kabupaten Kerinci 2013) Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci (BPS Kabupaten Kerinci 2013), Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kerinci. PDRB Kabupaten Kerinci atas dasar harga berlaku untuk sektor pertanian pada tahun 2012 menyumbang sebesar Rp.2.701,98 milyar. Kontribusi terbesar sektor ini disumbangkan oleh sub sektor tanaman bahan makanan (Tabama) yaitu sebesar 34,16 persen terhadap total PDRB Kabupaten Kerinci. Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Lahirnya Undangundang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kurang mengikutsertakan
2 pemerintah daerah dalam pengurusan hutan ditanggapi berbagai pihak sebagai tidak sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintah pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, di sisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan. Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah, pemerintah pusat meluncurkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta sekaligus mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan yang sedang dikembangkan adalah apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) menyatakan bahwa pembentukan KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wujud nyata bentuk organisasi pengelolaan hutan yang benar-benar menjalankan fungsi menajemen/pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak. Pembentukan KPH telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan mengenai pemantapan kawasan hutan (sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan) tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan khususnya di Perencanaan Kehutanan. Sesuai peraturan perundangan, perencanaan kehutanan terdiri atas: Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan. Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan tersebut salah satu yang terpenting adalah terbentuknya wilayah pengelolaan hutan dan institusi pengelolanya, yang merupakan Organisasi Tingkat Tapak (teritory) dalam wujud Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Peran Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kehutanan diwujudkan dalam bentuk optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik. Selain itu KPH Menjadi salah satu wujud nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi perangkat daerah. Menurut Kartodihardjo (2008) organisasi KPH ditetapkan dalam tiga fase yaitu fase pertumbuhan, fase pengembangan dan fase pemantapan. Fase pertumbuhan merupakan suatu proses menuju pembentukan organisasi KPH, fase ini diharapkan berjalan sampai akhir tahun 2009, dimana telah terbentuk minimal satu KPH di setiap propinsi. Bagi setiap KPH yang telah terbentuk segera memasuki fase berikutnya yaitu fase pengembangan, fase pengembangan adalah fase dimana KPH telah terbentuk, dimana perhatian pembangunan KPH diarahkan pada struktur dan fungsi organisasi, jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia, manajemen dan kepemimpinan, serta ketersediaan sumberdaya lainnya. Sedangkan fase pemantapan adalah fase dimana Pemerintah diharapkan telah
3 mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH. Membangun unit pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada tingkat tapak merupakan salah satu hal mendasar untuk mewujudkan pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya hutan. Unit pengelolaan (KPH) tersebut perlu didesain sedemikian rupa sesuai situasi lapangan sehingga pembangunan KPH dapat menjadi kondisi pemungkin (enabling conditions) dicapainya pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Data dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), hingga akhir tahun 2014, Kementerian Kehutanan menargetkan penyelesaian 120 KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) model di beberapa wilayah di Indonesia. KPH model merupakan bentuk awal (embrio) dari KPH yang selanjutnya secara bertahap dapat berkembang menjadi KPH. Salah satu KPH Model yang menjadi target adalah KPH Model di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. KPH Model Kerinci telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.960/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Kerinci (Unit I) yang terletak di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi seluas ± 34.250 (tiga puluh empat ribu dua ratus lima puluh) hektar. Konsep KPH ini terlihat cukup menjanjikan terwujudnya pengelolaan hutan secara lebih lestari di masa yang akan datang. Namun, jika dilihat lebih jauh dan dikaitkan dengan peran dan keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan serta peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah, masih cukup banyak pertanyaan yang belum dapat dijawab secara tegas. Misalnya menyangkut peranan keberadaan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci, kelembagaan serta kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Perumusan Masalah Dalam upaya membantu pengelolaan hutan pada tingkat tapak maka pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berfungsi sebagai lembaga pengelola kawasan hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi. Kebijakan tentang KPH merupakan komitmen pemerintah yang didukung oleh seluruh stakeholder untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Pengelolaan hutan lestari dapat terwujud jika adanya keseimbangan ekologis, ekonomis dan sosial untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Untuk mengkaji model kelembagaan KPHP Model Kerinci dan peranannya dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci, maka pertanyaan penelitian yang diajukan peneliti adalah : 1. Bagaimanakah peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci? 2. Bagaimana model kelembagaan KPHP Model Kerinci yang ideal sesuai dengan kebutuhan daerah? 3. Bagaimanakah kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci?
4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara khusus terdiri dari : 1. Mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci 2. Menganalisis model kelembagaan KPHP Model Kerinci 3. Menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi dalam penelitian terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Selain itu dapat menjadi sumber informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci dalam rangka pembangunan di sektor kehutanan. Kerangka Pemikiran Pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci tidak terlepas dari peranan multisektor yang berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci, salah satunya adalah sub sektor kehutanan. Hingga saat ini, sub sektor kehutanan hanya menyumbang 0,04 persen terdahap PDRB Kabupaten Kerinci. Apabila dilihat dari luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci meliputi hutan pelestarian alam 191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha dan hutan hak/milik 5.000 ha, seharusnya sub sektor kehutanan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap PDRB. Dari data tersebut penulis melihat bahwa pengelolaan hutan di Kabupaten Kerinci masih belum optimal. Untuk itu diperlukan suatu pengelolaan dan pembangunan kehutanan yang efektif dan efisien, sehingga sub sektor kehutanan dapat berkontribusi terhadap PDRB sesuai dengan potensi dan luasan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Kerinci serta dapat mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Pembangunan kehutanan di Kabupaten Kerinci merupakan bagian pembangunan daerah yang disusun dengan strategi manajemen mulai dari kegiatan perencanaan pengelolaan penelitian, pengembangan hingga pengawasan. Program tersebut menitikberatkan pada upaya mempertahankan kondisi sumber daya hutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar hutan. Pembentukan KPH merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan dipandang dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Pembangunan KPHP Model Kerinci diharapkan dapat berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diarahkan kepada 3 (tiga) komponen yaitu : (1) Peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci, yang dilakukan dengan pendekatan nilai ekonomi total Sumberdaya Hutan pada wilayah KPHP Model Kerinci, sehingga dapat diketahui nilai sumberdaya hutan yang ada di wilayah KPHP Model yang berpotensi berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. ; (2) Aspek kelembagaan dengan analisis deskriptif untuk mengetahui peran para pihak terkait dengan proses pembangunan KPHP Model Kerinci dan pengembangan model
5 kelembagaan KPHP Model Kerinci; (3) Kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci, dengan menggunakan Analithycal Hierarchy Process (AHP). Kesiapan daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesiapan dari pihak-pihak yang tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci baik yang mendukung maupun tidak mendukung pembangunan KPHP Model Kerinci. Alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Luas dan Potensi Sumberdaya Hutan Kab. Kerinci
Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Pengembangan wilayah Kab. Kerinci
Pengelolaan hutan di tingkat tapak
Pembentukan KPHP Model Kerinci
Peranan KPHP Model Kerinci dalam Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci
Total Economic Value
Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci
Deskriptif
Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
AHP
Pengelolaan Hutan Efisien dan Lestari
Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah. Pembangunan berkelanjutan dengan prinsip seperti ini harus dijadikan tujuan utama bagi pembuat keputusan kebijakan publik untuk setiap tingkatan pemerintahan yang memang berbeda tipenya (Francis 2001 dalam Djakapermana 2010). Rustiadi et al. (2011) mengemukakan bahwa secara fisiologis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi aspirasi setiap warga yang paling humanistik”. Di Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya arti dari kata pembangunan cenderung berkonotasi fisik artinya malakukan kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat fisik dan bahkan seringkali secara lebih sempit pembangunan diartikan sebagai pembangunan infrastruktur dan fasilitas fisik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau yang lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa paling tidak pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Sementara itu, Anwar (2001) dalam Rustiadi et al. (2011) mengarahkan pembangunan wilayah pada terjadinya pemerataan (Equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (Efficiency) dan keberlanjutan (Sustainability). Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan pembangunan suatu wilayah yang mencakup perubahan mendasar masyarakat suatu wilayah dengan pertimbangan pemerataan, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan pembangunan berkelanjutan. Rustiadi et al. (2011) pengembangan wilayah dapat dianggap intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah, dimana pengembangan wilayah tersebut membutuhkan strategi yang efektif dalam percepatan pembangunan. Rustiadi et al. (2011) strategi pengembangan wilayah
7 dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu Strategy Demand Side dan Strategy Supply Side. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secara efisien dan lestari berupa kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) (Ditjenplan 2011). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007, Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU nomor 5 Tahun 1967, yang masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani. Dalam UU nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, konsep ini kembali dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pernbentukannya seperti tertuang beberapa peraturan perundang-undangan. Sebelumnya pada awal tahun 1990-an, keluar beberapa peraturan menteri yang mengatur Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi atau KPHP yang konsepnya adalah juga pengelolaan hutan lestari. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 12 disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat propinsi, kabupaten/kota serta pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) (Kartodihardjo et. al 2011). Pembangunan KPH merupakan upaya untuk mewujudkan kondisi pemungkin (enabling condition) dicapainya pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, oleh karena itu perlu diupayakan percepatan pembentukan KPH di tingkat tapak dengan kejelasan tujuan, wilayah kelola dan institusi pengelolanya, sehingga laju degrádasi hutan dapat diperkecil (Dephut 2006). Dengan struktur aturan main ini, maka pada dasarnya pemerintah memperoleh mandat sebagai pemilik sumberdaya. Demi kelestarian aset yang dikuasai maka perlu menghadirkan pengelola di tingkat tapak (on site) agar situasi interdependency para aktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan dapat terkendali mengarah kepada tujuan-tujuan bersama yang disepakati. Dengan demikian, kehadiran KPH pada tingkat tapak dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem pengurusan hutan yang dikuasai negara baik pada level nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
8 Tekad untuk membangun KPH tersebut telah dimandatkan di dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang Iebih lanjut ditegaskan kembali di dalam PP nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Untuk melaksanakan pengembangan KPH maka amanat UU 41/1999 tersebut ditindaklanjuti dengan di keluarkannya PP 6/2007 yang selanjutnya direvisi menjadi PP 3/2008. Sebagai implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan maka melalui Keputusan Menteri Kehutanan nomor 230/Kpts-II/2003 tentang pembentukan KPHP secara teknis diatur melalui keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan nomor SK. I 4/VI1-PW/2004 tentang pedoman pelaksanaan KPHP dan untuk pembangunan KPH model telah diatur sesuai Peraturan Kepala Badan Planologi Kehutanan nomor SK.80/VI1-PW/2006. Sesuai dengan amanat UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal 17 bahwa: (1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Dalam penjelasan Pasal 17 ini, wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari, sedangkan wilayah pengelolaan hutan tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Kegiatan pembangunan KPH secara nasional telah dimulai sejak tahun 2006 yang ditandai dengan Pengembangan Kebijakan Pembangunan KPH yang terdiri dari empat kegiatan; Penyiapan Pedoman Pembangunan KPH, Formulasi Kebijakan SDM tingkat Nasional, Penyusunan Kurikulum pembekalan/lokali personal Pelaksana KPH, dan Formulasi Kebijakan SDM Tingkat Provinsi, (Baplan 2007). KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan atau di tingkat tapak yang harus menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara lestari sesuai dengan fungsinya. Keberadaan KPH menjadi kebutuhan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai pemilik sumberdaya hutan sesuai mandat Undang-undang, dimana hutan dikuasai negara dan harus dikelola secara lestari. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pengelolaan hutan pada tingkat tapak oleh KPH sebenarnya tidak memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan hutan melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari hari, termasuk mengawasi kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Dengan demikian, KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin dan/atau dikelola sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Apabila peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo et. al 2011) Pembentukan KPH telah dan sedang dalam proses pelaksanaan dengan mengacu pada prosedur pembentukan KPH, berdasarkan peraturan perundang-
9 undangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan : (a) penyusunan rancang bangun KPH, dilaksanakan oleh gubernur; (b) arahan pencadangan, diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh gubernur; (c) pembentukan, disusun oleh bupati berdasarkan arahan dari Menteri Kehutanan yang selanjutnya gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri Kehutanan; (d) penetapan, menteri menetapkan KPH berdasarkan usulan pembentukan dari gubernur. Tahap berikutnya setelah proses penetapan KPH adalah pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH, sehingga akan terbangun wujud riil KPH di tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan, wilayah pengelolaan dan kelembagaan pengelola serta jenis aktifitasnya. Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) lebih jauh menyatakan empat prinsip yang melandasi pembentukan wilayah KPH, yaitu : (1) transparansi, (2) pelibatan penuh seluruh pihak terkait, (3) akuntabilitas dan (4) ekosistern. Berdasarkan pernyataan yang berbunyi sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang selalu menyertai definisi KPH, menurut Ngakan et al. (2008) bahwa perwilayahan KPH akan dibuat dengan merujuk pada fungsi pokok dan peruntukan hutan yang sudah ada. Oleh karena itu, KPH diberi nama menurut fungsi pokok dan peruntukannya seperti KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) untuk pengelolaan hutan pada fungsi hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alarn, Taman Wisata Alam, Taman Buru, dan lain-lain). Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) untuk mengelola fungsi hutan produksi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) untuk mengelola fungsi hutan lindung. Dalam melaksanakan sebagai fungsi perwilayahan, menurut PP No. 6 tahun 2007, Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi (1) menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; (3) rnelaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; (4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis besar pembangunan KPH menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan Agustus 2011 (Kementerian Kehutanan 2011), penetapan wilayah KPHL sebanyak 167 unit dengan luas ± 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit dengan luas ± 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 propinsi, dan khusus DI Yogyakarta (tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP) dengan luas ± 16.357 Ha. Selain itu, Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH, maka telah ditetapkan KPH Model di masing-masing provinsi. Sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan KPH model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 unit dengan KPH model sebanyak 28 unit dan bukan KPH model sebanyak 4 unit.
10 Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait Kartodihardjo et al. (2011) menguraikan hubungan KPH dengan berbagai elemen yang terkait dalam pengelolaan hutan seperti KPH dan ragam fungsi hutan; KPH dan akses masyarakat; KPH dan usaha kehutanan; KPH dan organisasi daerah; KPH dan pengembangan wilayah; dan KPH dan kelestarian hutan. KPH dan ragam fungsi hutan. Keberadaan KPH akan lebih memastikan diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan yang terjadi maupun kondisi masyarakat yang tergantung pada manfaat sumberdaya hutan. Dalam hal ini KPH dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun informasi sumberdaya hutan untuk melakukan pengelolaan hutan yang tidak dijalankan secara langsung oleh lembaga seperti Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan. KPH dan akses masyarakat. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan harapan ekonomi masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada pada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan. Selain itu, KPH dapat dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. KPH dan usaha kehutanan. Dengan beroperasinya organisasi KPH, informasi mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh para pemegang ijin diharapkan akan semakin akurat. Karakteristik dan sifat-sifat khas sumberdaya hutan juga diharapkan dapat diketahui, sehingga memudahkan penetapan sistem manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan diharapkan mengurangi kegiatan-kegiatan yang secara administratif harus dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi usaha kehutanan tersebut. Selain itu kinerja pengelolaan hutan oleh pemegang ijin dapat dimonitoring dan dievaluasi di tingkat lapangan. Efektifitas kegiatan demikian itu pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan. KPH dan organisasi daerah. Keberadaan KPH bersifat unik. Organisasi daerah yang dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 tidak mengenal adanya organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat teritorial. Organisasi KPH meskipun bidang kehutanan namun bukan identik dengan organisasi kehutanan yang telah dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. KPH merupakan organisasi yang spesifik yang khususnya di luar Pulau Jawa belum pernah ada. KPH dan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan apabila memperhatikan kepentingan ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat menyediakan barang dan jasa untuk menopang pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu tujuan
11 pengembangan KPH perlu diselaraskan dengan tujuan pengembangan wilayah Kabupaten/Kota dan atau Provinsi. KPH yang lokasinya lintas wilayah Kabupaten/Kota dapat menjadi penyelaras arah pengelolaan sumberdaya hutan khususnya maupun sumberdaya alam pada umumnya di kedua wilayah administrasi tersebut. KPH dan kelestarian hutan. Faktor yang menentukan kelestarian hutan cukup banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian hutan ditentukan oleh kapasitas pemegang ijin atau pengelola hutan. KPH menjadi faktor pemungkin kapasitas tersebut dapat ditingkatkan atau bahkan pengadaan pengelola hutan yang selama ini tidak ada, sehingga dapat membuka ruang profesional bagi rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan lestari. Ketiadaan pengelola terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, misalnya dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan yang tidak ada pengelolanya terbukti tidak membawa hasil. Adanya organisasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam pengelola hutan di tingkat tapak juga akan memberikan ruang bagi peningkatan kapasitas para pemegang ijin, serta memberikan arah yang jelas bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Teori Kelembagaan Selama ini kelembagaan (institusi) banyak diartikan sebagai organisasi, namun sebenarnya juga mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Menurut North (1990), secara umum kelembagaan mengandung dua pengertian penting yaitu: Pertama, kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Kelembagaan (institutional) sebagai aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumber daya secara efisien, merata dan berkelanjutan. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi mengefisienkan kehidupan sosial (Sahyuti 2006), sedangkan menurut Schmid dalam Pakpahan (1989) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang, yang mendefinisikan hak-hak mereka, hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh
12 semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang. Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10 unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Menurut Kartodihadjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang dapat diterapkan di dalamnya. Kelembagaan sebagai aturan main (formal dan informal) yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Dari definisi tersebut pada dasarnya kelembagaan mengandung 2 (dua) pengertian yaitu aturan main (rule of the game) di satu sisi dan organisasi sebagai pemain/pelaku (organization as a player) di sisi lainnya. Kedua hal tersebut saling membutuhkan dan melengkapi bagi jalannya proses-proses pencapaian tujuan yang tertuang di dalam aturan main yang disepakati. Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: (1) Aturan formal, meliputi konstitusi, status, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi) ; (2) Aturan informal, meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan (3) Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).
13 Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Istilah stakeholder atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu, stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or project (Brown 2001). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap sumber daya. Pemangku kepentingan juga termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan internasional. Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, pemangku kepentingan primer atau “key stakeholder‟ adalah pihak yang pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, pemangku kepentingan sekunder: adalah “perantara‟, yaitu, orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson dan Dan (1994) yang membagi pemangku kepentingan menjadi dua. Pemangku kepentingan primer adalah pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan. Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson and Dan (1994), suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder didefinisikan sebagai pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup perusahaan. Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan. Dalam pengelolaan sumber daya hutan terdapat beberapa pemangku kepentingan (stakeholder). Stakeholders ini akan mempunyai kepentingan dan mewakili kelompoknya, baik dalam pemanfaatan maupun dalam pelestariannya. Apabila salah satu stakeholder tidak terlibat dalam pengelolaannya akan berdampak pada keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Menurut Tadjudin (2000) identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan antara lain: Pertama, stakeholders primer, yaitu pelaku yang terlibat (berkepentingan) langsung dalam kegiatan konservasi dan/atau pendayagunaan sumber daya hutan: 1) pemerintah, yaitu instansi yang menangani pengelolaan sumber daya hutan di daerah maupun di pusat; 2) swasta yang memiliki konsesi di kawasan yang bersangkutan; 3) masyarakat yang kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial-budayanya secara langsung tergantung pada sumber daya hutan yang bersangkutan. Kelompok ini lazim disebut sebagai masyarakat pengguna. Kedua, stakeholders sekunder, terdiri atas: instansi pemerintah yang tidak bertanggungjawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan namn berkepentingan terhadap sumber daya yang bersangkutan, misalnya swasta yang
14 tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait dengan sumber daya hutan atau terkait dengan kegiatan masyarakat yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan; masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan sumber daya hutan sesudah manajemen kolaboratif diterapkan. Secara praktikal kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan di luar batas yurisdiksi kawasaan hutan yang akan dikelola secara kolaboratif (Tadjudin 2000). Nilai Ekonomi Total Sumber Daya Alam Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumber daya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai atas dasar penggunaan (use value) dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994 dalam Harahap 2010). Nilai penggunaan (use value) pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumber daya alam dan lingkungan. Use value dibedakan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai penggunaan diperoleh dari pemanfatan aktual lingkungan. Menurut Pearce dan Moran (1994) dalam Harahap (2010) bahwa nilai penggunaan berhubungan dengan nilai karena seseorang memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan di masa mendatang. Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010). Menurut Pearce dan Moran (1993) dalam Harahap (2010) nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomassa, kesehatan, rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan yang mendukung aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010). Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan di masa datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh individu di hari kemudian. Ketidakpastian penggunaan di masa datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan, teori ekonomi mengidentifikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif. Oleh karenanya option value lebih diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumber daya, sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung (non use value) adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya, meskipun tidak dikonsumsi secara langsung dan juga bersifat sulit diukur, karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Nilai intrinsik atau penggunaan tidak langsung (non use value) dikelompokkan lagi menjadi nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value). Nilai intrinsik berhubungan dengan nilai kesediaan membayar positif, jika seseorang tidak bermaksud memanfaatkannya (Pearce dan Moran 1994 dalam Harahap 2010). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan
15 membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai warisan adalah bukan nilai penggunaan untuk individu penilai, tetapi merupakan potensi penggunaan atau bukan penggunaan di masa datang. Nilai keberadaan muncul, karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya, meskipun penilai tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian nilai ekonomi total sumberdaya alam dapat dirumuskan atau disusun persamaan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV) Keterangan : TEV = Total Economic Value (Nilai Ekonomi Total) UV = Use Value (Nilai Penggunaan) NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik) DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung) IUV = Indirect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung) OV = Option Value (Nilai Pilihan) BV = Bequest Value (Nilai Warisan) EV = Existence Value (Nilai Keberadaan) Fauzi (2014) menyatakan bahwa kombinasi nilai guna ( use value ) dan nilai non-guna ( non-use value ) menghasilkan apa yang disebut sebagai Total Economic Value atau TEV. Perlu diketahui bahwa terminologi “total” dalam total economic value bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari sumber daya alam dan lingkungan karena bagaimanapun nilai keseluruhan dari sumber daya dan lingkungan sulit dihitung. Nilai total yang dimaksud dalam TEV lebih menunjukkan penjumlahan dua komponen utama, yakni nilai guna dan nilai nonguna. Analytical Hierarchy Process (AHP) Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah alat pengambil keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan pengambilan keputusan yang komplek dengan menggunakan struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif (Triantaphyllou dan Mann 1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara komplek yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas di antara beberapa anternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar memahami situasi yang ditelaah. Berdasarkan pendekatan AHP, yang menjadi nara sumber untuk melakukan pembobotan adalah seorang ahli (expert), yang dimaksud dengan expert disini tidak harus seorang pakar pada satu bidang keiluan tertentu, melainkan orang yang tahu betul akan permasalahan yang hendak diteliti. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode pengambilan keputusan lainnya lebih ditekankan kepada adanya struktur yang berhirarki, sebagai
16 konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty 1980). Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Di samping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau 2012).
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada bulan Mei sampai November 2014 yang meliputi kegiatan mulai dari persiapan, penyusunan proposal, pengumpulan data sekunder dan primer, pengolahan dan analisis data, penulisan laporan, konsultasi dan bimbingan. Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Lokasi penelitian adalah KPHP Model Kerinci yang terletak di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Lokasi wilayah KPHP Model Kerinci tersebar di 13 Kecamatan dari total 16 Kecamatan di Kabupaten Kerinci yang dapat dilihat pada Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci di Gambar 2.
Gambar 2 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci
17 Adapun luas KPHP Model Kerinci berdasarkan fungsi kawasan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Luas KPHP Model Kerinci berdasarkan Fungsi Kawasan Wilayah KPH Sesuai SK 960/Menhut-II/2013 Tanpa KH di Kota Sungai Penuh
Luas (ha) 34.250 33.309
Fungsi Kawasan Hutan Hutan Produksi Hutan Produksi
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dan kuisioner dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka dan data-data dari instansi terkait. Jenis dan sumber data yang diperlukan berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis, Sumber dan Teknik Analisis Data untuk setiap Tujuan Penelitian Tujuan
Jenis Data
1
Mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kab. Kerinci
Data PDRB Kab. Kerinci, Data potensi Sumberdaya Hutan Kab.Kerinci
BPS, Dishutbun Kab. Kerinci, Masyarakat
Nilai Ekonomi Total
Rancang bangun KPHP Model Kerinci, RTRW Kab. Kerinci, Renstra Dishutbun Kab. Kerinci, Persepsi Stakeholder
Dishutbun Kab. Kerinci, Bappeda Kab. Kerinci, LSM, Masyarakat, Akademisi
Analisis Deskriptif
Model kelembagaan KPHP Model Kerinci
Kuisioner, Persepsi stakeholder
Dishutbun Kab. Kerinci, Bappeda Kab. Kerinci, Dinas Pertanian Kab. Kerinci, BBTNKS, BP2HP Wilayah IV Jambi LSM, Masyarakat, Akademisi
AHP
Informasi tingkat kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci
2
3
Menganalisis model kelembagaan KPHP Model Kerinci
Menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci
Sumber Data
Teknik Analisis
No
Output Informasi Peranan KPHP Model dalam pengembangan wilayah Kab. Kerinci
18 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : Studi literatur dan data sekunder Data sekunder meliputi rancang bangun KPH Provinsi Jambi, data kondisi kawasan hutan, gambaran umum kawasan KPHP Model Kerinci, Peta RTRW Kabupaten Kerinci, Renstra Kehutanan Kabupaten Kerinci, laporan kegiatan, peraturan pendukung KPHP dan data kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar KPHP, dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penelitian. 2. Data Primer Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam dari responden dengan panduan kuisioner untuk mengetahui persepsi daerah tentang kelembagaan KPHP Model Kerinci dan Kesiapan Daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Beberapa pihak yang menjadi responden antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, Bappeda Kabupaten Kerinci, kelompok masyarakat, akademisi dan stakeholder lain yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 1.
Metode Analisis Data Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Metode analisis yang digunakan antara lain : Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model Kerinci Nilai Ekonomi Total (NET) dalam penelitian ini digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Metode penilaian ekonomi yang digunakan yaitu metode penilaian berdasarkan harga pasar, metode penilaian dengan willingness to pay (WTP). Nilai Ekonomi Total yang digunakan dalam penelitian ini mengklasifikasikan nilai hutan ke dalam : (1) Nilai guna langsung (direct use values), yaitu nilai ekonomi kayu bulat, nilai ekonomi agroforestri; (2) Nilai guna tidak langsung (indirect use values), yaitu nilai jasa lingkungan sebagai pengatur tata air, penyerap karbon, pengatur iklim, pencegah erosi dan longsor, pencegah banjir. a. Nilai Ekonomi Kayu Bulat Penilaian ekonomi kayu bulat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa data potensi kayu dan luas KPHP Model Kerinci. Metode penilaian kayu bulat dilakukan berdasarkan harga pasar. NKB = JKT x L x P Keterangan : NKB : Nilai ekonomi Kayu Bulat (Rp/tahun) JKT : Jumlah Kayu yang boleh ditebang (m3/ha) L : Luas hutan sekunder (ha) P : Harga kayu bulat (Rp)
19 b. Nilai Ekonomi Agroforestri Nilai ekonomi agroforestri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi jenis-jenis tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian yang dominan ditanam oleh petani pada areal KPHP Model Kerinci. Metode penilaian ekonomi agroforestri dilakukan berdasarkan harga pasar dan dengan asumsi proporsi tanaman yang ditanam setiap hektar. c. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Penilaian ekonomi jasa lingkungan dilakukan dengan metode analisis Willingness to Pay (WTP) responden terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Jumlah responden untuk WTP sebanyak 60 responden. Analisis Kelembagaan KPH Analisis kelembagaan pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif yang diarahkan untuk mendapatkan gambaran dan situasi kelembagaan KPHP saat ini dan merekomendasikan pengembangan model kelembagaan dalam pengelolaan KPHP Model Kerinci. Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dalam Kelembagaan KPHP Model Kerinci, Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci saat ini, dan Pengembangan Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci. Responden dipilih secara sengaja yaitu stakeholder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, Kementerian Kehutanan, Bappeda Kabupaten Kerinci, Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci, LSM/Pemerhati Lingkungan, Akademisi, dan Masyarakat. Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci Analisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci dilakukan dengan menggunakan alat AHP (Analytical Hierarchy Process). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Responden dalam analisis ini dipilih secara sengaja berdasarkan jabatan, profesi, pengetahuan dan pengalaman. Responden yang dipilih adalah para pihak yang memiliki ketertarikan terhadap keberadaan KPHP Model Kerinci. Secara umum langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah, (2) membuat struktur hirarki, yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Pendekatan AHP menggunakan skala banding berpasangan menurut Saaty (1993). Skala banding berpasangan tersebut disajikan pada Tabel 3.
20 Tabel 3 Skala banding secara berpasangan Intensitas Definisi Pentingnya 1 Kedua elemen pentingnya
Penjelasan
sama Sumber peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut (dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. 3 Elemen satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting daripada yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas yang lain. 5 Elemen satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan dibanding yang lain dengan kuat mendukung satu elemen atas yang lain. 7 Elemen satu jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat dari elemen yang lain dominasinya telah terlihat dalam praktek. 9 Elemen satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen penting dari elemen yang lain yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. 2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua Nilai ini diberikan bila dua kebalikan pertimbangan yang berdekatan kompromi di antara dua pilihan. jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber: Saaty (1993) Tahapan pelaksanaan AHP menurut Saaty (1993) sebagai berikut : 1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan responden yang memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. 2. Penyusunan struktur hirarki yang dimulai dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada kriteria paling bawah. 3. Perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan dan kriteria setingkat di atasnya. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau pendapat dari responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat sebagai : 1) Pengambil keputusan; 2) para pakar; serta 3) orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi.
21 Matriks pendapat individu, formulasinya dapat disajikan sebagai berikut :
A = (aij) =
C1 C2 ... Cn
C1 1 1/a12 ... 1/a1n
C2 a12 1 ... 1/a2n
... ... ... ... ...
Cn a1n a2n ... 1
Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan C1 terhadap Cj. 4. Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya berasal dari rata-rata geometri elemen matriks pendapat individu yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat. 5. Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban responden. 6. Penentuan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat cukup tinggi (0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. Dalam AHP dipergunakan skala Saaty mulai dari 1, yang menggambarkan atribut yang satu terhadap yang lain sama penting. Untuk atribut yang sama selalu bernilai 1 sampai 9, yang menggambarkan satu atribut sangat penting terhadap atribut yang lainnya. Jika hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai CR < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuisioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak “Expert Choice 2000”.
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci Secara geografis Kabupaten Kerinci terletak di antara 1°40’ Lintang Selatan sampai dengan 2°26’ Lintang Selatan dan di antara 101°08’ Bujur Timur sampai dengan 101°50’ Bujur Timur. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata sekitar 22° C. Kabupaten Kerinci mempunyai luas ± 3.808,50 km2 yang terletak di sepanjang Bukit Barisan, di antaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung Kerinci yang tingginya 3.805 m dan merupakan gunung yang tertinggi di Pulau Sumatra, serta danau-danau seperti Danau Kerinci dan Danau Gunung Tujuh, yang merupakan danau tertinggi di Asia Tenggara. Ketinggian Kabupaten Kerinci berada di antara 500 m sampai 1.500 m dari permukaan laut. Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah di ujung bagian Barat Propinsi Jambi yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu.
22 Oleh karena itu Kabupaten Kerinci menjadi wilayah strategis yang dilalui jalan utama Jambi - Sumatera Barat - Bengkulu. Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci memiliki batas administrasi sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat; - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dan Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu; - Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi dan Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat; - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci Kabupaten Kerinci memiliki luas wilayah 420.000 ha, yang terdiri dari 17 wilayah kecamatan dan 278 desa. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008, Kabupaten Kerinci dimekarkan menjadi dua wilayah administratif, yaitu Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Saat ini Kabupaten Kerinci memiliki 16 wilayah kecamatan dengan luas wilayah 380.850 ha. Kota Sungai Penuh terdiri dari 5 wilayah kecamatan dengan luas wilayah 39.150 ha. Adapun jumlah kecamatan, luas wilayah, jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Kerinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas Wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kerinci Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Luas (ha)
Gunung Raya 49.960 Batang Merangin 60.350 Keliling Danau 30.439 Danau Kerinci 29.847 Sitinjau Laut 5.825 Air Hangat 20.244 Air Hangat Timur 16.000 Depati VII 2.580 35.000 Gunung Kerinci Siulak 32.581 Kayu Aro 9.427 Gunung Tujuh 16.250 Bukit Kerman 21.099 Air Hangat Barat 1.431 Siulak Mukai 26.439 Kayu Aro Barat 23.378 JUMLAH 380.850 Sumber : BPS Kabupaten Kerinci (2013)
Desa 10 9 24 16 18 13 19 17 12 19 18 13 14 12 13 17 244
Banyak Kelurahan Jumlah 1 11 9 24 16 18 13 19 17 1 12 19 18 13 14 12 13 17 2 246
23 Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan Luas total KPHP Model Kerinci adalah 33.309 ha yang seluruhnya merupakan kawasan hutan produksi. Berdasarkan peta penutupan lahan tahun 2012, wilayah KPHP Kerinci didominasi oleh lahan dan perkebunan seluas 24.713,61 ha (74,20%). Sedangkan penutupan lahan berupa hutan seluas 7.799,12 ha (23,23%) yang terdiri dari hutan primer seluas 7.288,5 ha (21,78%) dan hutan sekunder seluas 510,88 ha (1,53%). Perubahan kondisi penutupan ini tidak terlepas dari sangat sempitnya lahan pertanian di Kabupaten Kerinci sehingga okupasi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi untuk pengembangan produksi pertanian dan perkebunan, selain itu berdasarkan RTRW Kabupaten Kerinci wilayah kawasan hutan produksi telah ditetapkan sebagai Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M). Jenis penutupan lahan yang ada di wilayah KPHP Model Kerinci secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis Penutupan Lahan di KPHP Model Kerinci No 1. 2. 3. 4. 5.
Penutupan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Semak belukar dan lahan terbuka Pertanian dan Perkebunan Air Jumlah Sumber: Ditjenplan Kemenhut (2013)
Luas (ha) 7.288,5 510,88 786,58 24.713,61 69,34 34.250
% 21,70 1,53 2,36 74,20 0,06 100
Adapun peta penutupan lahan wilayah KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta Penutupan Lahan KPHP Model Kerinci (Sumber: Ditjen Planologi Kemenhut 2013)
24 Topografi dan Morfologi Wilayah Wilayah Kabupaten Kerinci sebagian besar (98%) berada pada ketinggian 500 – 3.805 mdpl dan merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci dapat dikelompokkan dalam beberapa satuan morfologi yaitu dataran, perbukitan bergelombang halus sampai perbukitan bergelombang sedang dan pegunungan. Berdasarkan kondisi geomorfologi dan penyebaran batuannya, pola orientasi ke arah utara, akan dijumpai morfologi yang lebih tinggi yaitu morfologi perbukitan bergelombang sampai pegunungan, sedangkan pada orientasi ke arah Selatan akan dijumpai morfologi dataran rendah. Berdasarkan Peta Landsystem Tahun 1989 kondisi dan persentase kelerengan di wilayah KPHP Model kerinci adalah sebagai berikut: Areal bertopografi datar (0 - 8 %) seluas ± 535,73 ha atau 1,56% dari total wilayah KPHP Kerinci Areal bertopografi landai (8 – 15 %) seluas ± 141,23 ha atau 0,41% dari total wilayah KPHP Kerinci Areal bertopografi agak curam (15 – 25 %) seluas ± 970,04 ha atau 2,83% dari total wilayah KPHP Kerinci Areal bertopografi curam (25 – 40 %) seluas ± 2.510,36 ha atau 7,33% dari total wilayah KPHP Kerinci Areal bertopografi sangat curam (>40%) seluas ± 30.092,86 ha atau 87,86% dari total wilayah KPHP Kerinci Geologi Formasi penyusun geologi wilayah KPHP Model Kerinci di dominasi jenis batuan gunung api kuarter seluas 20.560,15 ha (60,03%). Jenis-jenis batuan geologi yang terdapat pada KPHP Model merupakan potensi sumber daya alam yang sangat menunjang pembangunan ekonomi Kabupaten Kerinci. Formasi penyusun geologi wilayah KPHP Model Kerinci terdiri atas 10 formasi, sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Formasi batuan penyusun di Wilayah KPHP Model Kerinci No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Formasi Penyusun Alluvium Batuan Gunung Api Kuarter Batuan Gunung Api Rhyo-andesite Formasi Bandan Formasi Pengasih Formation Kumun Granit Lava Oligo-Miocene Volcanic Rock Undifferentiated Volcanic Breccia Jumlah Sumber : Ditjen Planologi Kemenhut (2013)
Luas (ha) 1.802,17 19.619,12 5.912,59 2,77 86,25 358,27 4.699,87 8,88 379,39 439,37 33,309
% 5,41% 58,90% 17,75% 0,01% 0,26% 1,08% 14,11% 0,03% 1,14% 1,32% 100%
25 Tanah Secara umum sebagaimana tanah yang ada di Indonesia, tanah-tanah yang berada di Kabupaten Kerinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Struktur tanahnya baik dimana tanah tidak terlalu padat dan tidak terlalu lenggang, cukup mengandung air yang berguna untuk melarutkan unsur hara. Berdasarkan Peta Land System 1989, sebaran Jenis tanah pada KPHP Model Kerinci didominasi oleh jenis podsolik coklat dengan luas 30.370 ha atau 90.97 % dari total luas wilayah KPH, diikuti oleh podsolik merah kuning seluas 979 ha atau sebesar 2.90%. Untuk lebih lengkapnya tentang jenis tanah pada wilayah KPHP Model Kerinci dapat dijelaskan sebagai berikut (Klasifikasi DudalSoepraptohardjo): Podsolik Coklat seluas 30.369, 66 ha Tanah ini mudah dijumpai didaerah-daerah pegunungan yang memiliki temperatur udara rendah dan curah hujan yang relatif tinggi. Tanah jenis ini terbentuk dari pelapukan batuan yang mengandung banyak kuarsa sehingga warna tanah ini kecoklatan. Tanah ini kurang subur karena kandungan unsur hara yang sedikit dan mineral terbawa oleh air hujan. Tanah jenis ini banyak dijumpai di wilayah pegunungan yang tersebar di Pulau Sumatera, Maluku, dan Sulawesi. Podsolik Merah Kuning seluas 979, 24 ha Tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yang memiliki persebaran terluas di Indonesia. Berasal dari bahan induk batuan kuarsa di zona iklim basah dengan curah hujan antara 2.500 – 3.000 mm/tahun. Sifatnya mudah basah dan mudah mengalami pencucian oleh air hujan, sehingga kesuburannya berkurang. Dengan pemupukan yang teratur, jenis tanah ini dapat dimanfaatkan untuk persawahan dan perkebunan. Latosol seluas 970 ha Latosol adalah tanah yang terbentuk dari batuan beku, sedimen, dan metafomorf. Tanah latosol memiliki ciri-ciri yaitu, merupakan jenis tanah yang telah berkembang atau terjadi deferensiasi horison, solum dalam, tekstur lempung, warna coklat, merah hingga kuning, tersebar di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 3000 mm/tahun, ketinggian tempat berkisar antara 300-1000 meter di atas permukaan laut, mudah menyerap air, memiliki pH 6 – 7 (netral) hingga asam, memiliki zat fosfat yang mudah bersenyawa dengan unsur besi dan aluminium, kadar humusnya mudah menurun. Andosol seluas 847, 84 ha Tanah andosol terbentuk dari endapan abu vulkanik yang telah mengalami pelapukan sehingga menghasilkan tanah yang subur. Tanah ini memiliki ciri-ciri yaitu, merupakan jenis tanah mineral yang telah mempunyai perkembangan profil, warna coklat kekelabuan hingga hitam, kandungan organiknya tinggi, dan kelembapannya juga tinggi. Penyebarannya di daerah beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2500 mm/tahun tanpa bulan kering, umumnya di jumpai di daerah lereng atau kerucut volkan dengan ketinggian di atas 800 mdpl. Andosol kebanyakan terdapat di pulau-pulau yang memiliki gunung api aktif.
26 Alluvial seluas 142 ha Alluvial adalah tanah yang berasal dari endapan lumpur yang dibawa melalui sungai-sungai. Secara umum, sifat jenis tanah ini mudah digarap, dapat menyerap air, dan permeabel sehingga cocok untuk semua jenis tanaman pertanian. Ciri-ciri tanah alluvial yaitu, jenis tanah masih muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beraneka, dan kesuburan umumnya sedang hingga tinggi. Tanah ini cocok ditanami padi, palawija, tembakau, tebu, sayuran, kelapa dan buah-buahan. Iklim Kabupaten Kerinci beriklim tropis dengan suhu rata-rata 22,3°C dengan suhu maximum sebesar 28,9°C terjadi pada bulan Juni, serta suhu minimum sebesar 17,1°C terjadi pada bulan Januari. Curah hujan rata-rata per bulan sebesar 142,27 mm³ dengan curah hujan terendah sebesar 23,7 mm³ terjadi pada bulan Agustus dan curah hujan tertinggi sebesar 340,9 mm³ terjadi pada bulan Nopember. Kelembaban relatif udara rata-rata per bulan sebesar 82% dengan kelembapan udara terendah sebesar 78% terjadi pada bulan Januari dan kelembapan udara tertinggi sebesar 84 % terjadi pada bulan April dan Desember. Tabel 7 Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan Kelembaban Relatif menurut Bulan di Kabupaten Kerinci.
No.
Bulan
1. 2. 3. 4. 5. 6.. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
Curah Hujan (mm3) 48.60 193.20 42.20 177.10 117.60 72.60 107.60 23.70 28.10 250.00 340.90 305.60 142,27
Banyaknya Hari Hujan (jumlah hari) 5 15 4 16 14 6 9 5 4 15 21 23 11
Kelembaban Relatif (%) 78 83 80 84 82 81 83 82 79 83 82 84 82
Suhu Udara Rata-Rata (°C) 22.2 22.4 22.1 22.1 22.7 22.5 22.3 22.1 22.4 22.4 21.8 22.4 22.3
Sumber: BPS Kabupaten Kerinci (2013) Demografi Penduduk merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting di dalam pembangunan. Diharapkan dengan jumlah penduduk yang cukup, terutama penduduk dalam usia produktif akan dapat meningkatkan pembangunan di suatu daerah.
27 Jumlah Penduduk Kabupaten Kerinci hasil proyeksi penduduk tahun 2012 sebesar 235.797 jiwa, sedangkan jumlah penduduk tahun 2011 sebesar 235.251 jiwa. Berarti terjadi kenaikan sebesar 546 jiwa dalam kurun waktu 1 tahun. Ratarata laju pertumbuhan penduduk per tahun dari tahun 2000 sampai 2012 sebesar 0,64%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk per tahun dari tahun 2011 sampai 2012 mencapai 0,23% (BPS Kabupaten Kerinci 2013). Suku/etnis masyarakat Kabupaten Kerinci antara lain terdiri dari suku melayu, minang, Jawa, dan lain-lain. Agama yang dipeluk oleh penduduk adalah Agama Islam, Kristen protestan dan Katholik dengan mayoritas penduduknya adalah beragama islam. Mata pencaharian penduduk umumnya tersebar diberbagai kegiatan seperti pertanian dan perkebunan, perdagangan, serta pegawai pemerintahan. Aksesibilitas Jalan mempunyai peranan yang cukup penting sebagai sarana untuk memperlancar aktivitas perekonomian, pembangunan dan stabilitas sosial, sehingga kondisi jalan menjadi bagian yang perlu diperhatikan. Dari total panjang jalan di Kabupaten Kerinci yaitu 422 km, sebesar 54,20% atau sekitar 239,5 km dengan kondisi jalan baik, sedangkan kondisi jalan yang rusak sampai rusak total mencapai 18,34% atau sekitar 81,10 Km. Wilayah Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Daerah Aliran Sungai, KPHP Model Kerinci terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, DAS Indrapura dan DAS Manjunto Selagan. Untuk sub DASnya terdiri dari Sub DAS Batang Merangin-Tembesi, Sub DAS Batang Tebo dan DAS Tapan/Indrapura, Sub DAS Sangir dan Sub DAS Tabir. Keberadaan DAS pada wilayah KPHP ini merupakan wilayah yang sangat strategis karena dari DAS ini merupakan hulu dari sub DAS baik mengalir ke Provinsi Jambi maupun Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Sebagian besar sektor pertanian dan air irigasi sangat tergantung pada keutuhan daerah aliran sungai pada wilayah KPHP ini. Berdasarkan pembagian wilayah DAS, KPHP Model Kerinci terbagi ke dalam tiga wilayah DAS yaitu DAS Batanghari seluas 25.385,46 ha atau 76,21% dari luas wilayah KPH, DAS Indrapura seluas 6.654 ha atau 19,98%, dan DAS Manjunto Selagan seluas 1.269,06 ha atau 3,81% dari luas wilayah KPH (Kemenhut 2014). Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci Dalam rencana tata ruang kawasan (RTRW) Kabupaten Kerinci wilayah KPHP Model Kerinci termasuk dalam pola ruang kawasan budidaya yang diperuntukan sebagai kawasan peruntukan hutan produksi. Kawasan hutan produksi di Kabupaten Kerinci diantaranya adalah untuk kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan kawasan Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M). Kawasan HTR di Kabupaten Kerinci ini ditetapkan dengan SK Menteri
28 Kehutanan RI nomor SK.400/Menhut-II/2010, sedangkan Kawasan HP3M ditetapkan sesuai dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 421/Kpts-II/1999, dan SK Gubernur Daerah TK I Jambi Nomor 108 Tahun 1999, tentang Penetapan Luas Kawasan Hutan Kesepakatan. Luas kawasan HTR saat ini adalah 11.187 ha yang sebelumnya adalah merupakan areal HP3M seluas 32.370 ha, maka luas HP3M setelah dikurangi dengan luasan kawasan HTR adalah 21.183 ha. Sesuai dengan SK Gubernur luas HP3M yang ada di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh adalah 30.450 ha. Kawasan HP3M di Kabupaten Kerinci terdiri dari 2 (dua) kelompok hutan, yaitu : 1. Kelompok hutan merangin barat-merangin timur yang terdapat di Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro Barat, Kecamatan Gunung Kerinci, Kecamatan Siulak, Kecamatan Siulak Mukai, Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan Bukit Kerman, dan Kecamatan Gunung Raya 2. Kelompok hutan batas batang merangin timur yang terdapat di Kecamatan Air Hangat, Kecamatan Air Hangat Barat, Kecamatan Bukit Kerman, Kecamatan Batang Merangin dan Kecamatan Sitinjau Laut. Pelaksanaan KPH Model Unit I Kerinci menyesuaikan dengan pola HP3M yang telah diatur dalam RTRW Kabupaten Kerinci. Posisi wilayah kelola KPHP Kerinci masih ditentukan oleh kebijakan provinsi, kabupaten dan kota. Meskipun demikian wilayah kelola KPHP Model Kerinci masih sinkron dengan RKTN dalam hal arahan pengelolaan (Kemenhut 2014).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci Kawasan hutan produksi yang sekarang dibentuk menjadi KPHP Model Kerinci memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi. Potensi tersebut dapat dilihat dari Nilai Ekonomi Total (NET) sumber daya alam yang dimilikinya. Nilai ekonomi total sumber daya hutan KPHP Model Kerinci dalam penelitian ini merupakan penjumlahan nilai guna langsung (direct use value) yang terdiri dari nilai ekonomi kayu bulat dan nilai ekonomi agroforestri; dan nilai guna tak langsung (indirect use value), yaitu nilai ekonomi jasa lingkungan. Penilaian ekonomi dibatasi hanya pada tiga komponen tersebut karena merupakan manfaat yang paling dirasakan langsung oleh masyarakat terutama yang berada di sekitar KPHP Model Kerinci. Nilai Ekonomi Kayu Kayu/pohon adalah penopang utama ekosistem hutan. Kedudukan pohon sangatlah sentral dalam ekosistem hutan produksi, sehingga manakala pohon tidak hadir, maka ekosistem tersebut dalam banyak hal berubah ke arah yang terdegradasi, yang terutama adalah dalam hal kelengkapan jenis atau keragaman biologisnya. Hilangnya unsur pohon memberi dampak lebih besar terhadap
29 kehilangan jenis-jenis lainnya daripada sebaliknya. Dengan kata lain, kehilangan peluang ekonomi sumber daya hutan akibat hilangnya pohon akan lebih besar daripada hilangnya unsur/jenis lainnya. (Darusman 2002). Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut 2014) bahwa Potensi kayu yang ada di KPHP Model Kerinci dapat dikatakan cukup tinggi dimana pada hutan primer potensinya mencapai 222,49 m3/ha, dengan taksiran potensi kayu per hektar diperkirakan sekitar 193,50 - 251,48 m3/ha dan pada hutan sekunder sekitar 101,13 m3/ha, dengan taksiran potensi kayu per hektar diperkirakan sekitar 87,89 - 114,36 m3/ha. Dengan demikian potensi total kayu yang ada di KPHP Model Kerinci dapat diketahui dengan mengalikan rata-rata potensi kayu per hektar dengan luas penutupan hutan (hutan primer dan hutan sekunder). Total potensi kayu untuk areal berpenutupan primer adalah sebesar 1.621.526, 92 m3, sedagkan total potensi kayu untuk areal berpenutupan hutan sekunder adalah sebesar 58.795,45 m3. Penilaian ekonomi kayu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi kayu pada areal yang boleh ditebang yaitu pada areal yang berpenutupan hutan sekunder dengan luas 510,88 ha dengan potensi kayu sebesar 58.795,45 m3. Sedangkan perhitungan nilai ekonomi kayu pada penutupan hutan primer tidak dilakukan karena hutan primer diperuntukkan sebagai blok perlindungan yang kayunya tidak boleh ditebang. Dari total potensi kayu pada hutan sekunder, yang termasuk ke dalam jenis kayu komersil sebanyak 33.610 m3. Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm ke atas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha. Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun dan batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm ke atas dengan riap diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun). Dari jumlah tersebut, potensi kayu jenis komersial sekitar 65,79 m3/ha. Diperoleh etat tebang 537,77 m3/tahun. Jenis-jenis pohon yang mendominasi di areal KPHP Kerinci adalah Medang, Kelat, Mempening dan Meranti dengan sebaran kelas diameter pohon mulai dari 20 cm sampai dengan diameter di atas 80 cm yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran Kelas Diameter Pohon di KPHP Model Kerinci (Sumber : Kementerian Kehutanan 2014)
30 Nilai ekonomi kayu diperoleh dengan menghitung jumlah kayu yang boleh ditebang per tahun dikalikan dengan harga jualnya. Harga kayu di tegakan dihitung setelah dikurangi biaya operasional (biaya tebang dan biaya transportasi dari lokasi tebangan ke pabrik), maka didapatkan harga tegakan sebesar Rp 1.500.000/m3 untuk semua jenis kayu. Hal ini berdasarkan harga pasar lokal untuk tahun 2014 di daerah Kerinci khususnya. Maka nilai ekonomi kayu pada hutan sekunder adalah Rp. 806.655.000/tahun. Nilai Ekonomi Agroforestri Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan antara jenis tanaman kehutanan dengan tanaman bukan kehutanan yang dilaksanakan pada waktu bersamaan atau bergiliran untuk memperoleh manfaat ekonomi, ekologi dan sosial secara berkelanjutan. Di Kabupaten Kerinci, agroforestri telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu. Istilah lokal untuk agroforestri di Kabupaten Kerinci adalah “Pelak”. Jenis tanaman yang ditanam di lahan agroforestri pada umumnya adalah kombinasi antara tanaman surian, kayu manis, kopi, dan tanaman hortikultura seperti cabe dan tomat, terdapat juga pohon pisang, pinang, bambu dan beberapa jenis tanaman lainnya. Adapun contoh praktek agroforestri di Kabupaten Kerinci dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Praktek Agroforestri yang Didominasi Kayu Manis Keberadaan KPHP Model Kerinci memberikan manfaat dari agroforestri. Areal agroforestri ini berada pada penutupan lahan pertanian dan perkebunan seluas 24.713,61 ha. Penilaian ekonomi agroforestri ini dilakukan dengan menghitung produksi rata-rata setiap komoditas per hektar per tahun. Komoditas
31 yang ditanam di areal agroforestri KPHP Model Kerinci pada umumnya hampir sama. Jenis yang dominan yaitu kopi, kayu manis, surian, kemiri, cengkeh, alpukat, durian, sirih, cabe, tomat, pisang, bambu, kayu bakar, pinang. Diperoleh nilai agroforestri sebesar Rp. 12.235.000/ha/tahun. Sehingga total nilai ekonomi agroforestri untuk luasan 24.713,61 ha adalah sebesar Rp. 302.371.018.400/tahun. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Berbeda halnya dengan perhitungan dari manfaat tangible dari hasil hutan yang berupa kayu dan bukan kayu yang dapat secara langsung dinilai oleh sistem pasar, maka untuk manfaat intangible yang mencakup manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, penyerap karbon, kesuburan tanah, pencegahan erosi dan lain-lain sampai saat ini tidak dapat atau masih sulit dinilai oleh sistem pasar. Pemahaman dan pengetahuan yang masih rendah terhadap manfaat intangible hutan, serta belum adanya penilaian ekonomi secara kuantitatif, telah mengakibatkan kurangnya pemahaman akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan manusia secara lengkap dan mendalam (Darusman 2002). Nilai ekonomi jasa lingkungan pada wilayah KPHP Model Kerinci diestimasi dengan menggunakan pendekatan analisis Willingness To Pay (WTP). Pendekatan WTP ini dilakukan dengan mewawancarai 60 responden yang tinggal di sekitar KPHP Model Kerinci dimana mereka diminta pendapatnya tentang kesediaan untuk melakukan pembayaran atas manfaat dari jasa lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan hutan pada KPHP Model Kerinci. Manfaat dari jasa lingkungan yang dimaksud seperti pengaturan tata air, penyerap karbon, pencegah erosi dan longsor, pencegah banjir, pengatur iklim dan ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara, dari 60 responden yang diwawancarai yang merupakan petani dan bukan petani, semuanya bersedia membayar untuk tetap memperoleh manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya hutan KPHP Model Kerinci, karena selama ini mereka memang merasakan manfaat dari keberadaan hutan, seperti ketersediaan air untuk keperluan rumah tangga, juga untuk pengairan lahan pertanian dan perkebunan, kesejukan udara, sebagai tempat wisata alam dan manfaat jasa lingkungan lainnya. Distribusi nilai WTP masyarakat dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model Kerinci No. 1 2 3 4 5 6
WTP (Rp/bulan) 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 Jumlah
Jumlah 21 16 7 9 5 2 60
Frekuensi Relatif 0,35 0,27 0,12 0,15 0,08 0,03 1,00
Nilai WTP (Rp/bulan) 105.000 160.000 105.000 180.000 125.000 60.000 735.000
32 WTP masyarakat yang merasakan manfaat jasa lingkungan dari sumber daya hutan KPHP Model Kerinci cukup bervariasi, mulai dari Rp.5.000 sampai Rp.30.000 per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan data WTP masyarakat, diperoleh total nilai WTP yang dikeluarkan responden adalah sebesar 735.000 per bulan dengan rata-rata WTP masyarakat adalah sebesar Rp.12.250/bulan atau Rp.147.000/tahun. Nilai ini terbilang cukup kecil dikarenakan sebagian besar penduduk yang tinggal di kawasan KPHP Model Kerinci memiiki pendapatan yang relatif rendah. Nilai jasa lingkungan diperoleh dengan mengalikan nilai WTP per tahun dengan jumlah populasi Kabupaten Kerinci, yaitu sebanyak 235.797 KK (Kerinci dalam angka 2012), maka nilai jasa lingkungan dari KPHP Model Kerinci adalah sebesar Rp.34.662.159.000/tahun. Dari perhitungan ketiga komponen nilai ekonomi tersebut, maka diperoleh Nilai Ekonomi Total Sumber daya Hutan KPHP Model Kerinci yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai Ekonomi Total Sumber Daya Hutan pada KPHP Model Kerinci No. 1
2
Jenis Manfaat Nilai Guna Langsung Nilai Kayu Nilai Agroforestri Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Jasa Lingkungan Jumlah
Nilai Ekonomi (Rp/tahun) 806.655.000 302.371.018.400 34.662.159.000 337.839.832.400
Dari hasil analisis Nilai Ekonomi Total pada KPHP Model Kerinci dapat disimpulkan bahwa Keberadaan sumber daya hutan pada wilayah KPHP Model Kerinci saat ini berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini terlihat dari nilai ekonomi total sumber daya hutan KPHP Model Kerinci sebesar Rp. 337 milyar/tahun, artinya berpotensi menyumbang sebesar 8,38 % terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. Potensi kontribusi sebesar 8,38% tersebut dianggap masih dalam bentuk PDRB Hijau karena di dalamnya terdapat nilai jasa lingkungan yang selama ini tidak diperhitungkan dalam PDRB (PDRB Coklat) Kabupaten Kerinci. Nilai yang diperhitungkan dalam PDRB Coklat Kabupaten Kerinci adalah nilai dari komoditas kehutanan seperti kayu, getah, rotan, bambu dan sebagainya yang dalam penelitian ini diambil dari nilai ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri. Oleh karena itu, dari nilai ekonomi total sebesar Rp. 337 milyar/tahun tersebut yang berpotensi menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah sebesar Rp.303 milyar/tahun ( nilai ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri) atau sekitar 7,51%. Hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Kerinci tahun 2012 yang tercatat (PDRB Coklat) sebesar Rp. 1,7 Milyar atau sebesar 0,04% dari total PDRB Kabupaten Kerinci Rp. 4.03 Triliun.
33 Kelembagaan KPHP Model Kerinci Analisis kelembagaan dalam penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model kelembagaan KPHP Model Kerinci yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Komponen yang menjadi input dalam analisis ini adalah (1) Stakeholders yang terlibat dalam Kelembagaan KPHP Model Kerinci; (2) Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci saat ini; dan (3) Pengembangan Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci sesuai dengan persepsi dan harapan stakeholders . Stakeholders dalam Kelembagaan KPHP Model Kerinci Stakeholders yang terlibat dalam KPHP Model Kerinci secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) stakeholders primer yang terdiri dari masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci dan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan); (2) stakeholders sekunder yang terdiri dari Bappeda Kabupaten Kerinci, Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci, Pemerintah Pusat ( Kementerian Kehutanan), Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS), Akademisi (Universitas Jambi) dan LSM pemerhati lingkungan. Kepentingan, pengaruh dan peluang partisipasi stakeholders dalam pengelolaan KPHP Model Kerinci disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Stakeholders, Kepentingan dan Tingkat Kepentingannya serta Pengaruh dan Peluang Partisipasinya dalam Pengelolaan KPHP Model Kerinci No. Stakeholders A 1
2
3
Kepentingan
Stakeholders Primer Sumber daya Masyarakat yang tinggal lahan untuk di sekitar pertanian/perk hutan ebunan Pengelolaan Dinas Kehutanan sumber daya dan hutan di Perkebunan daerah Pemerintah Pengelolaan Pusat KPH (Kemenhut)
B 1
Stakeholders Sekunder Pembangunan Bappeda Kab.Kerinci daerah
2
Dinas Pertanian Kab.Kerinci
Pembangunan pertanian
Tingkat Kepentingan
Tingkat Pengaruh
Peluang Partisipasi
Tinggi, penerima dampak langsung Tinggi, wilayah teritorial
Tinggi, sumber daya manusia dan kontrol Tinggi, pengelola sumber daya hutan daerah Tinggi, pengelola sumber daya hutan
Pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan Pengelolaan dan pembinaan
Rendah, dapat bekerjasama tanpa kekuatan intervensi Tinggi, Rendah, dapat intensitas bekerjasama pemanfaatan tanpa lahan untuk kekuatan pertanian intervensi
Perencanaan
Tinggi, wilayah teritorial
Rendah, sumberdaya yang terbatas
Pembinaan
Fasilitasi kegiatan pertanian
34 Tabel 10 (Lanjutan) 3
BBTNKS
5
LSM
6
Universitas Jambi
Konservasi
Tinggi, pengelolaan kawasan TNKS
Sedang, otoritas pengelolaan hanya pada kawasan TNKS Kelestarian Tinggi, Sedang, sumberdaya dukungan koordinasi, hutan dan para pihak mobilisasi dan kesejahteraan dan advokasi masyarakat pendamping an Pengembanga Sedang, Tinggi, n tempat penelitian academic penelitian terkait authority KPHP Model Kerinci
Pengelolaan kawasan TNKS
Fasilitasi dan mediasi
Penelitian
Berdasarkan matrik tingkat kepentingan dan pengaruh terhadap para stakeholders , menunjukkan bahwa pihak yang paling berperan dalam pengelolaan KPHP Model Kerinci adalah stakeholders primer, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, masyarakat sekitar hutan, dan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) yang memiliki tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan yang tinggi. Stakeholders primer tersebut harus dilibatkan secara intensif serta dapat bekerjasama dengan baik agar pembangunan KPHP Model Kerinci dapat terlaksana dengan baik, sedangkan stakeholders sekunder yang terdiri dari Bappeda, Akademisi, Dinas Pertanian, BBTNKS dan LSM memiliki tingkat kepentingan yang rendah sampai tinggi. Kelompok stakeholders sekunder ini mempunyai dampak langsung terhadap keberadaan KPHP Model Kerinci, namun mempunyai pengaruh yang rendah sampai tinggi. Kelompok ini tidak menjadi prioritas dalam pengelolaan KPHP Model Kerinci, artinya tidak memerlukan pelibatan secara intensif, namun jika memungkinkan, perlu untuk dilakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui perkembangan kepentingannya. Kelembagaan KPHP Model Kerinci Saat ini Saat ini kelembagaan KPHP Model Kerinci masih berupa Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2010 tentang Pedoman organisasi dan tata kerja KPHP dan KPHL di daerah bahwa bentuk organisasi KPH adalah berupa satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Struktur Organisasi UPTD KPHP Model Kerinci berdasarkan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 14 Tahun 2013 seperti pada Gambar 6.
35
Kepala Dinas
Kepala UPTD (Kepala KPHP)
Sub Bagian Tata Usaha
Kelompok Jabtan Fungsional Gambar 6 Struktur Organisasi KPHP Model Kerinci Kelembagaan KPHP Model Kerinci berdasarkan Persepsi dan Harapan Stakeholders Model kelembagaan KPHP Model Kerinci berdasarkan persepsi dan harapan stakeholder bahwa KPHP Model Kerinci tetap menjadi UPTD Kabupaten sehingga amanat Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 dapat terpenuhi. Dengan demikian UPTD KPHP Model Kerinci berada di bawah Kepala Dinas yang menangani kehutanan di Kabupaten Kerinci . KPHP menjalankan tugas mengelola hutan pada tingkat lapangan didukung oleh sumber daya manusia yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati. Oleh karena wilayah KPHP Model Kerinci tersebar di 13 Kecamatan, maka berdasarkan persepsi para pihak, perlu dibentuk beberapa resort pengelolaan di beberapa kecamatan agar memudahkan dalam pemantauan dan pengawasan di lapangan. Pada setiap resort akan satu orang terdapat kepala resort dan beberapa staf dengan jabatan fungsional. Pembentukan resort pengelolaan didasarkan pada pertimbangan kedekatan lokasi, sub DAS dan luas kawasan. Adapun arahan pembagian resort pada KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Resort Pengelolaan pada KPHP Model Kerinci Resort 1
Lokasi (Kecamatan) Gunung Tujuh, Kayu Aro, Kayu Aro Barat
Luas Penutupan Lahan (Ha) ±4.000 Pertanian dan perkebunan, hutan primer, semak belukar, tubuh air
Potensi Pemanfaatan Pengembangan Agroforestri Kayu Manis
36 Tabel 11 (Lanjutan) 2
Gunung Kerinci, Siulak,
3
Siulak Mukai, Air Hangat, Air Hangat Timur
4
Sitinjau Laut, Keliling Danau
5
Batang Merangin
6
Bukit Kerman, Gunung Raya
±7.500 Pertanian dan perkebunan, hutan primer, hutan sekunder, semak belukar ±7.300 Pertanian dan perkebunan, hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan lahan terbuka ±3.500 Pertanian dan perkebunan, hutan primer, semak belukar dan lahan terbuka ±4.000 Pertanian dan perkebunan, hutan primer, semak belukar dan lahan terbuka ±7.000 Pertanian dan perkebunan, hutan sekunder, semak belukar dan lahan terbuka
Pengembangan Agroforestri Kopi
Pengembangan Agroforestri Kayu Manis
Pengembangan Agroforestri Surian
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Pengembangan Agroforestri Surian
Resort 1 Resort 1 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Kayu Aro, dan Kecamatan Kayu Aro Barat dengan luas resort diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan. Jenis penutupan lahan lainnya pada resort adalah tubuh air, penutupan hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis penutupan lahan yang dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan, maka potensi Pemanfaatan lahan pada resort 1 ini diarahkan untuk pengembangan agroforestri kayu manis. Resort 2 Resort 2 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Gunung Kerinci dan Kecamatan Siulak dengan luasan diperkirakan sekitar 7.500 Ha. Resort ini merupakan resort paling luas dibandingkan dengan resort lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir sama dengan resort 1 yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis penutupan lahan pada resort ini yang dominan adalah berupa lahan pertanian dan
37 perkebunan, maka pemanfaatan lahan diarahkan untuk pengembangan agroforestri kopi. Resort 3 Resort 3 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Siulak Mukai, Kecamatan Air Hangat dan Kecamatan Air Hangat Timur dengan luasan diperkirakan sekitar 7.300 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir sama dengan resort 1 dan 2 yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan lahan terbuka. Pemanfaatan lahan pada resort ini diarahkan untuk pengembangan agroforestri kayu manis Resort 4 Resort 4 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Sitinjau Laut dan Kecamatan Keliling Danau dan Kecamatan Siulak dengan luasan diperkirakan sekitar 3.500 Ha. Resort ini merupakan resort yang memiliki luasan yang paling kecil di antara resort-resort lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Pemanfaatan lahan resort ini diarahkan untuk pengembangan agroforestri surian. Resort 5 Resort 5 merupakan lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Batang Merangin dengan luasan diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Jenis penutupan lahan lain adalah hutan primer dan semak belukar. Resort ini merupakan resort yang memiliki luasan hutan primer paling tinggi di antara resort-resort lainnya. Pemanfaatan lahan diarahkan untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Resort 6 Resort 6 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di Kecamatan Bukit Kerman dan Kecamatan Gunung Raya dengan luasan diperkirakan sekitar 7.000 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir sama dengan resort-resort lainnya yaitu berupa lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Pemanfaatan lahan diarahkan untuk pengembangan agroforestri surian. Dengan adanya arahan pembentukan resort-resort pengelolaan KPHP Model Kerinci ini, diharapkan dapat mempermudah dalam pengawasan wilayah KPHP karena akan terdapat petugas-petugas yang langsung berada di lapangan yang akan mengawasi wilayah KPHP, sehingga dapat mengurangi berbagai bentuk gangguan terhadap wilayah KPHP Model Kerinci, seperti perambahan, pembalakan liar, konflik tata batas, pendudukan kawasan hutan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan sebagainya. Model pengembangan kelembagaan KPHP Model Kerinci dengan pembentukan beberapa resort secara skematis dapat dilihat pada Gambar 7.
38 Kepala KPH
Kelompok Jabatan Fungsional
Sub Bagian Tata Usaha
Resort 1 Kec. Gunung Tujuh Kec. Kayu Aro Barat Kec. Kayu Aro
Resort 4 Kec. Sitinjau Laut Kec. Keliling Danau
Resort 2 Kec. Gunung Kerinci Kec. Siulak
Resort 5 Kec. Bukit Kerman Kec. Gunung Raya
Resort 3 Kec. Siulak Mukai Kec. Air Hangat Kec. Air Hangat Timur
Resort 6 Kec. Batang Merangin
Gambar 7 Model Pengembangan Kelembagaan KPHP Model Kerinci dengan Pembentukan Resort-resort Pengelolaan Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci Kesiapan daerah yang dimaksud disini adalah kesiapan dari para pihak yang tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci yang kemungkinan mendukung atau bertentangan/berlawanan dengan keberadaan KPHP Model Kerinci. Para pihak yang dimaksud adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, Bappeda Kabupaten Kerinci, Masyarakat sekitar lokasi KPHP Model Kerinci, para pemerhati lingkungan dan kehutanan (LSM/akademisi), Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIII Pangkal Pinang, BP2HP wilayah IV Jambi. Analisis kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci didasarkan pada persepsi para pihak yang terlibat. Struktur hirarki yang dibangun pada AHP dan hasil analisis dirumuskan dari persepsi para pihak yang dapat dilihat pada Gambar 8.
39 Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci Perencanaan (0,18)
Dukungan Regulasi (0,58)
Pendanaan (0,17)
Dukungan Expertise (0,07)
Penyusunan Rencana Pengelolaan (0,71)
Peraturan Perundangan Nasional (0,74)
APBN (0,55)
Sosialisasi (0,44)
Penyusunan Rencana Bisnis (0,14)
Perda/Perbup (0,17)
APBD (0,35)
Survei dan Pemetaan (0,42)
Penyusunan Rencana Anggaran (0,15)
Perdes/Hukum Adat (0,09)
Donor (0,10)
Penelitian dan Pengembangan (0,14)
Gambar 8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci Perencanaan Pembangunan KPHP Model Kerinci harus diselenggarakan melalui dukungan perencanaan yang baik, komprehensif dan melibatkan para pihak. Dari hasil persepsi para pihak diketahui bahwa Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci telah disusun namun belum disahkan, rencana bisnis KPHP Model Kerinci belum disusun, Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 sudah ada dan sudah disahkan. Dukungan Regulasi Dukungan regulasi dipilih sebagai prioritas pertama karena KPHP Model Kerinci merupakan hutan milik negara yang pengelolaan dan pemanfaatannya harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dukungan regulasi merupakan pijakan dasar dan pedoman dalam melakukan pembangunan KPHP Model Kerinci. Kesiapan daerah terkait dengan dukungan regulasi saat ini dapat dilihat dari persepsi para pihak di antaranya : (1) Dukungan Peraturan Perundangan Nasional terkait KPH sudah ada namun belum memadai; (2) Peraturan Bupati terkait KPHP Model Kerinci sudah ada, namun Peraturan Daerah belum ada; (3) Beberapa daerah di Kabupaten Kerinci yang berbatasan langsung dengan lokasi KPHP Model Kerinci tidak memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Pendanaan Pembangunan KPHP Model Kerinci harus didukung dengan dana yang memadai agar semua kegiatan dapat terealisasi. Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci sebagian besar bersumber dari APBN
40 (sekitar 70%), alokasi dana dari APBD masih belum memadai, saat ini tersedia juga dana dari donatur yaitu dari Flora Fauna Indonesia (FFI). Dukungan Expertise Dukungan expertise menjadi salah satu kriteria kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci, karena menurut pendapat para pakar bahwa dukungan expertise sangat penting untuk membantu proses pembangunan KPHP Model Kerinci. Dukungan expertise yang dimaksud disini adalah dukungan berupa tenaga ahli yang diperbantukan dari para pihak untuk proses pelaksanaan pembangunan KPHP Model Kerinci. Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci belum dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci, survei dan pemetaan sudah pernah dilakukan di lokasi KPHP Model Kerinci, belum ada kegiatan penelitian dan pengembangan terkait KPHP Model Kerinci. Berdasrkan persepsi dari para pihak, Adapun bobot dan nilai Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci No
Kriteria dan Indikator
1
Perencanaan a. Penyusunan Rencana Pengelolaan b. Penyusunan Rencana Bisnis c. Penyusunan Rencana Anggaran Dukungan Regulasi a. Peraturan Perundangan Nasional b. Perda/Perbup c. Perdes/Hukum Adat Pendanaan a. APBN b. APBD c. Donor Dukungan Expertise a. Sosialisasi b. Survei dan Pemetaan c. Penelitian dan Pengembangan Jumlah Tingkat capaian
2
3
4
Bobot
Nilai
Kesiapan Daerah
0,118 0,024 0,025
0,568 0,093 0,876
0,067 0,002 0,022
0,381 0,083 0,046
0,571 0,397 0,284
0,217 0,033 0,013
0,118 0,076 0,020
0,593 0,523 0,453
0,070 0,040 0,009
0,049 0,046 0,015 1,000
0,715 1,000 0,130
0,035 0,046 0,002 0,556 55,6%
Tabel 13 Interval Tingkat Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci No Tingkat Kesiapan Interval 1 Sangat siap ≥ 80 2 Siap 51 – 79 3 Kurang siap 21 – 50 4 Tidak siap ≤ 20
41 Hasil penilaian kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci sebesar 55,6%, artinya bahwa Pemerintah Kabupaten Kerinci telah melaksanakan kriteria dan indikator kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci sebesar 55,6%. Tingkat capaian ini memposisikan Pemerintah Kabupaten Kerinci berada pada tingkat capaian siap yaitu berada pada interval 51-75%. Indikator yang telah dilaksanakan dengan baik yaitu survei dan pemetaan. Indikator yang belum dipenuhi di antaranya: (1) penyusunan rencana bisnis; (2) Penelitian dan pengembangan. Indikator yang telah dilaksanakan namun belum optimal di antaranya : (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan; (2) Penyusunan Rencana Anggaran; (3) Peraturan Perundangan Nasional; (4) Perda/Perbup; (5) Hukum Adat; (6) Pendanaan dari APBN; (7) Pendanaan dari APBD; (8) Pendanaan dari Donor; (9) Sosialisasi. Agar dalam melaksanakan tugas pengelolaan KPHP Model Kerinci dapat berjalan dengan baik efektif dan efisien, maka berdasarkan bobot masing-masing indikator pada tabel 12, ada beberapa indikator yang harus segera dibenahi di antaranya : (1) Dukungan regulasi berupa ketersediaan Peraturan Perundangan Nasional yang memadai sehingga dapat dijadikan dasar dan landasan dalam pelaksanaan tugas pengelolaan KPHP di tingkat tapak. (2) Dukungan perencanaan berupa Percepatan pengesahan rencana pengelolaan KPHP Model Kerinci. Rencana Pengelolaan merupakan pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan KPHP Model Kerinci untuk jangka waktu 10 tahun. (3) Dukungan pendanaan berupa ketersediaan dana yang bersumber dari APBN harus ditingkatkan lagi demi kelancaran pelaksanaan tugas. (4) Penyusunan Peraturan Daerah terkait KPHP Model Kerinci (5) Alokasi dana APBD masih sangat sedikit. Oleh karena itu Dana APBD untuk KPHP Model Kerinci perlu ditingkatkan. Mengingat KPHP Model Kerinci akan menjadi modal dalam pembangunan daerah Kerinci baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. (6) Sosialisasi pada seluruh pihak terkait KPHP Model Kerinci.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Keberadaan KPHP Model Kerinci berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini ditunjukkan dari Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model Kerinci sebesar Rp. 337 milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun atau sekitar 7,51%. 2. Untuk dapat merealisasikan nilai sumberdaya hutan pada simpulan 1, maka dibutuhkan kelembagaan yang ideal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukan resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan.
42
3.
Ada enam resort pengelolaan yang dibentuk berdasarkan pertimbangan luasan kawasan, kedekatan lokasi dan potensi pemanfaatan lahan. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan KPHP Model Kerinci. Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah sebesar 55,6%. Namun ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama indikator pada kriteria dukungan regulasi dan perencanaan.
Saran 1. Dibutuhkan suatu perencanaan dengan pola partisipatif, dimana dalam proses pengambilan keputusan melibatkan berbagai stakeholder. 2. Pengelolaan KPHP Model Kerinci sebaiknya diselenggarakan dengan manajemen kolaboratif yaitu pengelolaan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan KPHP Model Kerinci.
43
DAFTAR PUSTAKA [Baplan] Badan Planologi Departemen Kehutanan. 2006. Penyusunan kriteria dan standar kelembagaan KPH. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Kerinci Dalam Angka Tahun 2013. Kerinci (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. Brown. 2001. Teaching by principles An active approach to language pedagogy. (2nd ed). San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc. Clarkson PM, Dan AS. 1994. The Association between Audit Quality, Retained Ownership, and Firm-Specific Risk in U.S. vs. Canadian IPO Markets. Journal of Accounting and Economics. Vol. 17: 207-228. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia: Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986 - 2002. Bogor (ID): Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta (ID): Erlangga. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana strategis Kementerian/Lembaga (Restra — KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Siaran pers nomor: S.3991P1K-1/2009, Menteri Kehutanan tetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Provinsi NTB dan Sultra. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan http://www.dephut.go.id/ index.php. [12 Agustus 2009] Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah melelui Pendekatan Kesisteman. Bogor (ID): IPB Press Djauhari F. 2010. Pembentukan Kelembagaan KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara. Kerta Kerja Perorangan Rencana Aksi. Diklat Calon Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KKPH). Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan Kementerian Kehutanan. Djogo TS, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor (ID): World Agroforestry Centre (ICRAF). Fauzi A. 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press. Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press. Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove & Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Kerjasama Kementerian Kehutanan dengan GIZ FORCLIME. Jakarta (ID): Debut Wahana Sinergi. Kartodiharjo H. 2008. Kerangka Hubungan Kerja antar Lembaga Sebelum dan Setelah Adanya KPH: Upaya Peningkatan Investasi dan Efektivitas Pengelolaan Hutan. Laporan Project: Strengthening the Management Capacities in The Ministry of Forestry. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional) Draft 20 Agustus 2010. Jakarta.
44 [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Laporan Inventarisasi Biogeofisik KPHP Model Kerinci. Pangkal Pinang 9ID); BPKH Wilayah XIII Pangkal Pinang, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2014. Rencana Pengelolaan Hutan: KPHP Model Kerinci. Pangkal Pinang (ID): BPKH wilayah XIII Pangkal Pinang, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Khan A, Kartodihardjo H, Darusman D, Hasibuan I, Beni FS. 2004. Menyimak Perjalanan Otonomi Daerah: Sektor Kehutanan. Workshop Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Badan Planologi Departemen Kehutanan Tahun 2004. Hlm 85-100. Koentjaraningrat. 1997. Indonesian Anthropology. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Makkasau K. 2012. Penggunaan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Penentuan Prioritas Program Kesehatan (Studi Kasus Program Promosi Kesehatan). Jurnal Jati Undip. 7(2):105-112. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi: Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. . Jakarta (ID): PT Gramedia Widya Sarana Indonesia (Grasindo) Ngakan PO, Komaruddin H, Moeliono M. 2008. Menerawang Kesatuan Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah. Governance Brief, Nomor 38. Januari 2008. Forest Governance Programme. Bogor (ID): Cifor. North, D.C. 1990. Institutions, institutional change and economic performance. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Ostrom, E. 2008. How Type of Goods and Property Rights Jointly Affect Collective action. Journal of Theoritical Politics Vol. 15 (3). Pakpahan A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta (ID) Pejovich S. 1999. The Transition Process in an Arbitrary State: The Case for the Mafia. Italy (IT): International Centre for Economic Research. Puspitojati T. 2008. Preferensi Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Hutan Produksi (Studi Kasus Pengelolaan Hutan Produksi di KPH Bogor) [Desertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Jakarta (ID): PT. Pustaka Binaman Presindo. Saaty TL. 1980. How to Make Decision : The Analytical Hierarchy Process. Eropean Journal of Operational Research. 48:9-26. Saaty TL. 2008. Decision Making with the Analytic Hierarchy Process. International Journal Services Sciences I (l) :83-98. Sahyuti. 2006. 30 Konsep Penting Dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta (ID): PT. Bina Rena Pariwara. Schotter A. 1981. The Economic Theory of Social Institutions. Cambridge (UK): Cambridge University Pres. Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaboratif. Bogor (ID): Pustaka Latin. Thoha, A S. 2013. Peluang Hutan Komunitas dalam Perdagangan Karbon (www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-danperdagangan-karbon.html) diakses tanggal 24 Oktober 2013. Triantaphyllou E, Mann SH. 1995. Using The Analytical Hierarchy Process for Decision Making In Engineering Applications: Some Challenges. International Journal of Industrial Engineering. 2(l):35-44.
45 Lampiran 1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP)
KUISIONER ANALISIS WILLINGNESS TO PAY (WTP) DALAM PENILAIAN MANFAAT JASA LINGKUNGAN PADA WILAYAH KPHP MODEL KERINCI Nomor Responden
:...............................................................
Tanggal Wawancara :............................................................... Nama
:...............................................................
Alamat
:...............................................................
Data dalam kuisioner ini akan digunakan dalam penyusunan tesis: Nama : Mika Lestaria NRP : A156130254 Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci Besar harapan saya, Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis saya ini. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu dalam menjawab kuisioner ini, saya ucapkan terimakasih. Petunjuk : Isi dan pilihlah salah satu jawaban dengan memberikan tanda [x] pada jawaban yang telah tersedia DAFTAR PERTANYAAN A. Karakteristik Responden 1.
Jenis kelamin : [a] Laki-laki
[b] Perempuan
2.
Usia
: ......... Tahun
3.
Status
: [a] Menikah
4.
Pendidikan Formal Terakhir : [a] Tidak Sekolah [b] SD [c] SMP/Sederajat [d] SMA/Sederajat [e] Perguruan Tinggi : [Diploma] [Sarjana] [Magister]
[b] Belum Menikah
46 5.
Pekerjaan : [a] Petani (Pemilik/Penggarap) [b] PNS [c] Pegawai Swasta [d] Wiraswasta [e] Pensiunan PNS [f] Lainnya,..................
6.
Pendapatan : [a] < 500 ribu [b] 500 ribu – 1 juta [c] > 1 juta [d] Tepatnya..................
7.
Status Kependudukan :
B. 1.
Kondisi Tempat Tinggal Kira-kira berapa jarak (dalam meter) antara rumah Saudara/Saudari dengan Kawasan Hutan KPHP Model Kerinci? [a] < 100 [b] 101 - 500 [c] 501 – 1.000 [d] > 1.000
2.
Apakah anda menyukai tempat tinggal anda sekarang? [a] Ya [b] Tidak
[a] Penduduk Asli
[b] Pendatang
Alasan : [a] Faktor lingkungan [b] Faktor kedekatan dengan tempat kerja [c] Faktor harga tanah [d] Faktor keturunan/tanah warisan [e] Lainnya, sebutkan ......................................................... 3.
Bagaimana kondisi jasa lingkungan (air, kesejukan udara) dari kawasan hutan pada KPHP Model Kerinci yang Saudara/Saudari rasakan sekarang? [a] Jelek [b] Biasa [c] Baik
4.
Harapan anda sebagai penduduk yang tinggal berdekatan dengan kasan hutan KPHP Model Kerinci? ................................................................................................................ .............................................................................................................. ..............................................................................................................
47 C. Kesediaan Membayar atas Manfaat Jasa Lingkungan dari Sumberdaya Hutan pada KPHP Model Kerinci SKENARIO “Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan KPHP Model Kerinci ini ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Saudara/Saudari bersedia membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik sehingga manfaat jasa lingkungannya dapat dirasakan terus menerus?”
1.
Apakah Saudara/Saudari setuju jika dilakukan suatu upaya perbaikan kualitas lingkungan agar jasa lingkungan dapat terjaga? [a] Setuju [b] Tidak Setuju Alasan :.............................................
2.
Apakah Saudara/Saudari bersedia untuk membayar untuk perbaikan kualitas lingkungan agar manfaatnya dapat dirasakan terus menerus? [a] Bersedia [b] Tidak Bersedia Alasan :.............................................
3.
Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang bersedia anda bayar agar manfaat jasa lingkungan dapat dirasakan terus menerus? [a] 5.000 [b] 10.000 [c] 15.000 [d] 20.000 [e] 25.000 [f] 30.000
48 Lampiran 2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
LEMBAR KUISIONER ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) ANALISIS KESIAPAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL KERINCI Dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Saya melakukan penelitian untuk penyusunan tesis yang berjudul Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci. Berkenaan dengan penyusunan tesis tersebut, dengan ini saya menyusun kuisioner untuk mendapatkan gambaran mengenai kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci. Responden dalam kuisioner ini dipilih secara sengaja berdasarkan jabatan, profesi dan pengalaman. Responden merupakan para pakar yang dianggap memiliki pengetahuan menyeluruh terkait KPHP Model Kerinci. Data dalam kuisioner ini akan digunakan dalam penyusunan tesis: Nama : Mika Lestaria NRP : A156130254 Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Besar harapan saya, Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis saya ini. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu dalam menjawab kuisioner ini, saya ucapkan terimakasih. Dalam rangka memperoleh gambaran mengenai kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan teknik Analytichal Hierarchy Process (AHP). Adapun yang menjadi tujuan, kriteria dan indikator dalam kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Level 1 : Tujuan Kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci 2. Level 2 : Kriteria Kriteria yang digunakan dalam penilaian kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci adalah sebagai berikut : a. Perencanaan b. Dukungan Regulasi c. Pendanaan d. Dukungan Expertise 3. Level 3 : Indikator Indikator untuk masing-masing kriteria adalah sebagai berikut : a. Perencanaan : (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci, (2) Penyusunan Rencana Bisnis dan (3) Penyusunan Rencana Anggaran.
49 b. Dukungan regulasi : (1) Peraturan perundangan nasional terkait KPH, (2) Peraturan Daerah/Peraturan Bupati dan (3) Peraturan Desa/Hukum Adat c. Pendanaan : (1) Pendanaan bersumber dari APBN, (2) Pendanaan bersumber dari APBD dan (3) Pendanaan dari donatur. d. Dukungan expertise : (1) Sosialisasi KPHP Model Kerinci, (2) Dukungan Tenaga/Tim Survei dan Pemetaan dan (3) Dukungan Tenaga/Tim Penelitian dan Pengembangan Struktur hirarki untuk menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci dengan menggunakan teknik AHP dapat dilihat seperti gambar berikut : Kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci
Level 1 : Tujuan Level 2 : Kriteria
Perencanaan
Level 3 : Indikator
Level 4 : Skala Intensitas
Dukungan Regulasi
Pendanaan
Dukungan Expertise
Penyusunan Rencana Pengelolaan
Peraturan Perundangan Nasional
APBN
Sosialisasi
Penyusunan Rencana Bisnis
Perda/Perbup
APBD
Survei dan Pemetaan
Penyusunan Rencana Anggaran
Perdes/Hukum Adat
Donor
Penilitian dan Pengembangan
Sangat baik, baik, sedang, jelek, sangat jelek
Selanjutnya pengisian kuisioner ini dilakukan dengan cara membandingkan faktor yang satu dengan faktor lainnya dan melihat faktor mana yang lebih berperan di antara faktor-faktor tersebut, sehingga diperoleh gambaran mengenai kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci.
50 Skala yang digunakan dalam kajian ini adalah skala perbandingan berpasangan Saaty sebagai berikut : Definisi
Intensitas Pentingnya 1
Penjelasan
penting Sumber peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut (dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. Elemen satu sedikit lebih penting Pengalaman dan pertimbangan daripada yang lainnya (moderate) sedikit menyokong satu elemen atas yang lain. Elemen satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu dibanding yang lain (strong) elemen atas yang lain. Elemen satu jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat dari elemen yang lain (very strong) dominasinya telah terlihat dalam praktek. Elemen satu mutlak lebih penting Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain dari elemen yang lain (extreme) memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai-nilai di antara dua Nilai ini diberikan bila dua pertimbangan yang berdekatan kompromi di antara dua pilihan. Kedua elemen (equal)
3
5
7
9
2,4,6,8
sama
jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Kebalikan
Contoh :
Jika faktor A mutlak lebih penting dari faktor B, maka diisi : Faktor A
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Faktor B
8
9
Faktor B
atau
Jika faktor B lebih penting dari faktor A, maka diisi : Faktor A
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
51
METODE PROFESIONAL JUDGEMENT (PENDAPAT DARI PARA AHLI) Nama
:...............................................................
Pendidikan
:...............................................................
Instansi
:...............................................................
Bidang Keahlian
:............................................................... DAFTAR PERTANYAAN
1.
Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara kriteria kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci sebagai berikut
No.
Kriteria
1.
Perencanaan
2.
Perencanaan
3.
Perencanaan
4.
Dukungan regulasi Dukungan regulasi Pendanaan
5. 6.
Tingkat kepentingan yang dirasakan
Kriteria
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan regulasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan Expertise 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan Expertise 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan Expertise
2. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria perencanaan, sebagai berikut : No.
Indikator
1.
Penyusunan Rencana Pengelolaan Penyusunan Rencana Pengelolaan Penyusunan Rencana Bisnis
2.
3.
Tingkat kepentingan yang dirasakan
Indikator
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan Rencana Bisnis 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan Rencana Anggaran 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan Rencana Anggaran
52 3. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria dukungan regulasi sebagai berikut: No.
Indikator
1.
Dukungan peraturan perundangan Nasional Dukungan peraturan perundangan Nasional Perda/Perbup
2.
3.
Tingkat kepentingan yang dirasakan
Indikator
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perda/Perbup
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/ Hukum Adat
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/ Hukum Adat
4. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria pendanaan sebagai berikut : No.
Indikator
Tingkat kepentingan yang dirasakan
Indikator
1.
APBN
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 APBD
2.
APBN
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor
3.
APBD
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor
5. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria dukungan expertise sebagai berikut : No.
Indikator
1.
Sosialisasi
2.
Sosialisasi
3.
Survei dan Pemetaan
Tingkat kepentingan yang dirasakan
Indikator
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Survei dan Pemetaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penelitian dan Pengembangan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penelitian dan Pengembangan
53 Lampiran 3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci No. 1.
Kriteria
Indikator
Perencanaan Penyusunan Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci
Nilai
Skala Intensitas
5
Rencana Pengelolaan KPHP model Kerinci telah disusun dan disahkan Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci telah disusun namun belum disahkan Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci sedang disusun (baru selesai sekitar 75%) Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci sedang disusun (baru selesai sekitar 50%) Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci belum disusun. Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci sudah disusun (100%) Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci baru disusun (75%) Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci baru disusun (50%) Rencana bisnis KPHP Model Kerinci baru disusun (25%) Rencana bisnis KPHP Model Kerinci belum disusun Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 sudah ada dan sudah disahkan Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 sudah ada namun belum disahkan Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun 2015 Peraturan perundangan nasional terkait KPH sudah ada dan memadai Peraturan Perundangan Tersedia Nasional terkait KPH sudah ada namun belum memadai Belum tersedia Peraturan Perundangan Nasional terkait KPH Sudah ada Perda dan Perbup terkait KPHP Model Kerinci Sudah ada Perda terkait KPHP Model Kerinci, namun Perbup belum ada
4
3
2
1 Penyusunan Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci
5 4 3 2 1
Penyusunan Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci
5
4
3 2 1 2.
Dukungan Regulasi
Adanya Peraturan Perundangan Nasional terkait KPH
5 3
1 Adanya Perda/Perbup terkait KPHP Model Kerinci
5 3
54 Lampiran 3 (Lanjutan)
Adanya Peraturan Desa/Hukum Adat terkait Pemanfaatan Hutan pada Lokasi KPHP Model Kerinci
2
Sudah ada Perbup terkait KPHP Model Kerinci, namun Perda belum ada
1
Belum Perbub
5
Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang berbatasan dengan lokasi KPHP Model Kerinci telah memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan Baru sebagian daerah di Kab. Kerinci yang berbatasan dengan lokasi KPHP Model Kerinci yang memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang berbatasan langsung dengan lokasi KPHP Model Kerinci tidak memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan serta memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan namun belum memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan, namun belum dikucurkan Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci belum ditetapkan Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan serta memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan namun belum memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan namun belum dikucurkan Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci belum ditetapkan Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan serta memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan dan dikucurkan namun belum memadai Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci telah ditetapkan, namun belum dikucurkan
3
1
3.
Pendanaan
Pendanaan yang bersumber dari APBN
5
4
2
1 Pendanaan yang bersumber dari APBD
5
4
2
1 Pendanaan yang bersumber dari Donor
5
4
2
tersedia
Perda
maupun
55 Lampiran 3 (Lanjutan) 1 4.
Dukungan Expertise
Adanya Tim/Tenaga Sosialisai KPHP Model Kerinci
5
4
3
2
1
Adanya Tim/Tenaga Survei dan Pemetaan
5
Adanya Tim/Tenaga Penelitian dan Pengembangan
5
1
3 1
Alokasi dana untuk pembangunan KPHP Model Kerinci belum ditetapkan Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci telah dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci baru dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci Sosialisasi pembangunan KPHP Model baru dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah terkait di Kerinci Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci baru dilakukan kepada seluruh instansi non pemerintah terkait di Kerinci Belum ada sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci kepada instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci Survei dan Pemetaan sudah pernah dilakukan di lokasi KPHP Model Kerinci Belum ada kegiatan survei dan pemetaan pada lokasi KPHP Model Kerinci Penelitian dan Pengembangan KPHP Model Kerinci telah banyak dilakukan Penelitian dan Pengembangan KPHP Model Kerinci baru sedikit dilakukan Belum ada kegiatan penelitian dan pengembangan terkait KPHP Model Kerinci
56 Lampiran 4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci dengan software expert choice 2000
57
RIWAYAT HIDUP Mika Lestaria, lahir di Desa Tanjung Pauh Mudik Kabupaten Kerinci, pada tanggal 17 September 1982 merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan S. Kardi dan Nurdiani. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 2 Sungai Penuh dan lulus tahun 2000. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor pada program studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2006. Pada Tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja pada instansi Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman tepatnya di Dinas Pertanian Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Padang Pariaman. Pada tahun 2013 mendapatkan beasiswa dari Pusbindiklatren Bappenas untuk melanjutkan sekolah pascasarjana (S2) pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.