KEGAGALAN COLLECTIVE ACTION DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (STUDI KASUS KELEMBAGAAN FORUM DAS) Oleh Bejo Slamet Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Abstrak Kegagalan Forum DAS dalam pengelolaan DAS bisa dilihat dari berbagai aspek dan teori. Dalam tulisan ini peran Forum DAS ditinjau dari aspek teori-teori collective action. Tinjauan kegagalan forum DAS dari aspek koordinasi sudah banyak dibahas, adapun dari aspek tinjauan teori-teori yang berkaitan dengan collective action kegagalan ini karena para stakeholder yang terlibat sebagian besarnya tidak mempunyai komitmen dan kopetensi terhadap pengelolaan DAS. Forum ini juga belum bisa memenuhi prinsipprinsip kelestarian kelembagaan collective action yang diajukan Ostrom (1990).
Kata Kunci : collective action, forum DAS, kelembagaan, pengelolaan DAS
PENDAHULUAN
Latar belakang Bencana yang sering terjadi dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) selain karena faktor alamiah (iklim, tanah) juga karena tidak adanya keselarasan pemanfaatan ruang dan kemampuan lahan. Kegagalan pengelolaan DAS ini utamanya diakibatkan oleh tidak adnya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya. Harus diakui bahwa kegagalan dalam pengelolaan DAS ini disebabkan oleh tidak ada landasan kebijakan nasional yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar sektor dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Yang ada adalah bersama-sama memanfaatkan sumberdaya alam berdasarkan acuan setiap Undang-undang secara parsial (hutan, tambang, pertanian, energi, dll). Karena semua sektor dan daerah memaksimumkan capaiannya masing-masing
dan dibiarkan begitu dari waktu ke waktu, maka
pengendalian dampak kumulatif tidak pernah ada dalam kebijakan nasional (Kartodiharjo 2010). 1
Seringkali sumberdaya alam
(baik secara langsung maupun tidak langsung)
dinikmati oleh banyak orang secara bersama‐sama dan sulit untuk mengeluarkan pihakpihak yang tidak ikut menghasilkannya, sementara sumberdaya alam itu sendiri terbatas keberadaannya, dan karakteristik ini disebut dengan common-pool resources (CPR). Istilah CPR diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (2003) untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatannya. Sifat substractability berarti setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya untuk pihakpihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries). Selanjutnya Ostrom (2008) menyatakan CPR dengan karakteristik menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh orang banyak tanpa dapat dikecualikan (non excludable), di mana masing‐masing dapat mengambil manfaatnya hingga batas ketersediaan manfaatnya habis. Suatu barang dan jasa dikatakan non‐excludable apabila manfaat barang dan jasa dapat dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa ada yang memiliki tanggung jawab eksklusif untuk membangun supply‐nya. Pengaruh terhadap orang lain dapat bersifat signifikan atau tidak signifikan. Dalam suatu DAS dulu keberadaan air tersedia dengan cukup banyak. Saat sekarang ketika DAS sudah banyak yang rusak keberadaan maka keberadaan air sebagai hasil dari pengelolaan DAS ini menjadi sangat terbatas ketersediaanya. Pada kenyataannya, dalam pengelolaan CPR sering terjadi pemanfaatan berlebihan (overuse), adanya free rider, sulitnya melakukan collective action dan sifat nonexcludable. Hal ini merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdayasumberdaya CPR termasuk pengelolaan DAS, yang menyebabkan penyediaan jasa lingkungan menghadapi banyak tantangan. Padahal keberadaan jasa lingkungan dari DAS ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jasa lingkungan merupakan jasa‐jasa yang diberikan oleh alam untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan air minum, memelihara kesuburan tanah dan iklim mikro, tempat‐ tempat rekreasi, dsb (Wunder et.al., 2005). Kesadaran akan pengelolaan DAS yang multipihak sudah mulai tumbuh dan dirasakan oleh berbagai stakeholder. Bahkan dalam berbagai pertemuan dan seminar sering diungkap masalah pentingnya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini. 2
Kesadaran perlunya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral (pentingnya aksi bersama/collective action) ini barulah memenuhi syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan DAS yang baik. Namun demikian perlu dikaji lagi apakah sudah terpenuhi syarat cukupnya (sufficient condition). Tindak lanjut dari kesadaran ini adalah dibentuknya Forum DAS di berbagai daerah. Pada awalnya inisiasi pembentukan Forum DAS adalah berasal dari Kementerian Kehutanan.
Menteri Kehutanan melalui Surat No
S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan kebijakan pembentukan Forum DAS yang lainnya. Saat ini sudah dibentuk 1 forum DAS tingkat nasional, 33 forum DAS tingkat provinsi, 12 forum DAS tingkat Kabupaten/Kota dan 3 forum DAS hasil inisiasi LSM yang belum disahkan SK Bupati/Walikota. Terbentuknya Forum DAS adalah langkah maju dalam kegiatan pengelolaan DAS untuk memenuhi syarat perlu pengelolaan DAS yang baik. Namun harus diingat bahwa pada dasarnya terbentuknya forum ini bukanlah tujuan itu sendiri, akan tetapi forum ini diharapkan menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan DAS yang terpadu. Setelah syarat perlu adanya suatu wadah yang bisa mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan sumber daya alam dalam kawasan DAS, langkah selanjutnya adalah mengkaji apakah forum DAS yang sudah terbentuk ini mampu memenuhi syarat cukup agar peranannya semakin sempurna dalam pengelolaan DAS. Namun demikian, aksi kolektif dalam pengelolaan DAS melalui Forum DAS ternyata belum bisa berlangsung dengan sukses. Hal ini bisa dilihat dari data DAS kritis yang ada di Indonesia. Sampai dengan tahun 2007 terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, sebanyak 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III. Adapun jika dilihat dari luasan lahan yang kritisnya, luasan yang terkategori lahan sangat kritis mencapai 6.890.567 hektar, dan seluas 23.306.233 hektar lainnya merupakan lahan terkategori kritis (Hutabarat 2007). DAS-DAS kritis ini utamanya adalah DAS yang membentang lintas wilayah administratif baik meliputi beberapa kabupaten/kota dalam satu propinsi 3
atau meliputi lebih dari satu propinsi. Dampak yang ditimbulkan dari DAS kritis pada lingkungan adalah beragam bencana dan kondisi kritis mulai dari erosi, banjir, tanah longsor, sampai hilangnya sumber-sumber mata air, kekeringan, dan perubahan fungsi lahan. Dari uraian di muka, maka perlu adanya analisis kegagalan aksi kolektif dalam pengelolaan DAS, dimana kajian aksi kolektif ini difokuskan pada kegagalan peran Forum DAS dalam pengelolaan CPR DAS. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi permasalahan kelembagaan dan penyebab kegagalan aksi kolektif Forum DAS dalam pengelolaan DAS Manfaat Penulisan Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah informasi dalam menentukan aksi kolektif pengelolaan DAS yang berhasil.
KERANGKA TEORI Aksi Kolektif (Collective action) Aksi bersama (collective action) adalah proses pengambilan keputusan bersama untuk kepentingan masyarakat/bangsa/negara. Menurut Eggertsson, (1990) dalam membangun aksi bersama ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan yaitu: (1) munculnya freee riding behavior sehubungan dengan keinginan individu untuk memaksimumkan utilitasnya; (2) biaya aksi bersama sehubungan dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan; (3) ukuran kelompok (group size); dan (4) masalah koordinasi antar pelaku. Free rider harus diatasi, karena sekali free rider muncul dan tidak terdapat tindakan pemberantasan dan pencegahan, maka dengan segera mereka akan membangun aliansi strategis (strategic alliance). Alternatif untuk mengatasi free riding behavior dapat dilakukan dengan cara pemaksaan (coercive) dan suka rela (voluntary). Cara pemaksaan dilakukan dengan : aturan dan sanksi berat yaitu dengan mekanisme komando dan awasi (command and control mechanism); berhadapan dengan biaya koordinasi dan penegakan kesepakatan (collective action costs); dan 4
good governance and clean government merupakan syarat yang diperlukan (necessary condition). Sementara cara suka rela dilakukan dengan: didasarkan pada insentif ekonomi, moral suasion, tax farming; yayasan, LSM, koperasi, hutan adat/ulayat (common property), dan lain sebagainya banyak yang eksis dan sukses dimana terdapat 3 penjelas, yaitu : Ada manfaat-manfaat barang publik atau sesuatu yang dikelola bersama dapat di’private’kan, (misalnya : kelompok pencinta lingkungan selalu memberi majalah eksklusif kepada anggotanya, donaturnya, dsb; asuransi, jaminan kepastian mendapat jasa, dls; kebanggaan, rasa diakui, rasa aman, dls; charity sebagai biaya lobbying, image building, dls); Ada sikap altruism yang hidup dalam masyarakat; dan Adanya kelembagaan lokal dan dihormati. Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan kefektifan aksi bersama. Ukuran kelompok yang terlalu kecil menyebabkan kapasitas investasi untuk menjalankan mekanisme PES tidak mencukupi, sebaliknya ukuran kelompok yang terlalu besar rentan memunculkan perilaku penunggangan gratis (free riding behavior). Sehingga perlu ditetapkan jumlah yang optimal. Aksi bersama merupakan salah satu solusi mengatasi krisis pengelolaan hutan dengan karakteristik Common Pool Resources (CPRs) yang bersifat non-excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis (free rider) dan pencari keuntungan (rent seeking).
Apabila sumberdaya hutan CPRs
tidak well defined dalam melakukan aksi bersama maka akan terjadi eksploitasi secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin, 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi-aksi bersama yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi (private property) mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya. Namun demikian, tidak berarti membangun aksi bersama merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi bersama 5
yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1) Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan keefektifan aksi bersama, 2) Penunggangan gratis (free riders) yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatankedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak-pihak lain, 3) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi bersama. Semakin homogen masyarakat harapan, semakin mudah membangun aksi bersama, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi bersama pada masyarakat yang heterogen, 4) Aksi-aksi bersama membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan biaya transaksi (transaction costs) yang lebih mahal dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral, 5)Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata-ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua (one size fits all), padahal pada kenyataannya multi aspirasi, 6)Aksi bersama memerlukan multilateral give and take, manfaat-manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh (indirect benefits) dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan (non mutual), serta hasil-hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan
menyebabkan
kerusakan
dan
moral
(moral
hazard),
penunggangan
gratis
perilaku
oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy of the common, 7)Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu-individu yang terlibat, 8)Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan system perwakilan yang rentan menimbulkan principal-agent problem dan memerlukan agency costs yang mahal, 9)Apabila wakil yang ditunjuk adalah adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena “exploitation of the majority by minorities”, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan-kepentingan sendiri yang sulit dideteksi, 10)Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi
oleh
individu-individu 6
yang terlibat, maka principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil-wakilnya (rationally ignorant). Kompleksitas membangun aksi bersama seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk menghindari aksi bersama dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs. Mengingat kemanfaatan aksi bersama yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain: 1)Membangun kesaling-percayaan (trust) di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling-percayaan akan mengurangi minat individu-individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi (information, bargaining, monitoring, and enforcement costs) dapat diminimalkan, cohesion
akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan social
dapat
ditingkatkan,
2) Penetapan skala penerapan mekanisme
pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub-sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai, 3)Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar-benar dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan local apabila identifikasi dilakukan oleh individu/ kelompok/ lembagalembaga yang
mempunyai basis pendampingan masyarakat local dengan
mekanisme partisipatif, 4)Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran (raising awareness), penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan-kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna, 5)Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan, 6)Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban 7
secara jelas dan tidak multi-interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel. Common Pool Resources (CPR) Menurut Stevenson (1991) terdapat 7 (tujuh) karakteristik CPR
yang
membedakannya dari open access dilihat dari kepemilikan sumberdaya dalam common property regimes yaitu: (i)
Unit sumberdaya telah menyatu dan tergambar secara fisik, biologi dan parameter sosial;
(ii)
Tergambarkan dengan baik kelompok pemakai yang merupakan bagian terpisah dari sumberdaya yang digunakan
(iii) Adanya berbagai pemakai yang dikelompokkan dalam pemanen sumberdaya (iv)
Adanya pemahaman yang baik secara eksplisit maupun imlpisit terhadap hakhak dan tugas-tugas mereka satu sama lain dalam memanen sumberdaya;
(v)
Para pemakai melakukan kerjasama, tidak eksklusif dalam pemberian nama atau tempat asal atau sumberdaya yang digunakan
(vi)
Para pemakai bersaing dalam memanen sumberdaya sehingga timbul hal negative antara satu sama lain.
(vii) Penggambaran yang benar dilakukan secara bersama antara kelompok pemilik dengan kelompok pemakai Terdapat beberapa prinsip-prinsip yang dapat meningkatkan keragaman disain kelembagaan pengelola CPR (Ostrom 1990). Fakta CPR di dunia ini sangat besar dan bervariasi dalam pemanfataan dan pemanfaatnya (users) maka tidak ada suatu institutional design yang sesuai dengan beragamnya CPR yang ada. Akan tetapi performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani CPR haruslah, 1) mengikutsertakan partisipasi resource users dalm pembuatan kebijakan oleh pemerintah/institusi; 2) pemerintah membuat aturan-aturan yang mudah untuk dimonitor/diawasi
dalam
pelaksanaannya;
3)
membuat
aturan-aturan
yang
enforceable; 4) mengatur dan melaksanakan mekanisme sanksi oleh pelanggar; 5) ajudifikasi tersedia secara low cost; 6) institusi monitoring dengan aparat yang ankuntable; 7) kelembagaan yang mengatur CPR dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya; dan 8) adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan.
8
Akan tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa resources dalam jumlah yang besar, kompleksitas yang tinggi, dan memiliki kepekaan eksternalitas membutuhkan disain kelembagaan yang bukan hanya berhierarki akan tetapi saling terkait. Keefektifan institusi dalam mengatur CPR saat ini didesain dengan menghitungnya secara ekonomi. Selain itu membandingkannya dengan daerah subregion lain. Hal ini dimaksudkan agar terjadi komunikasi antara pembuat kebijakan dan koordinasi tentang institusi yang diadopsi dalam mendesain suatu institusi untuk mengatur CPR. Menganalisa desain long – enduring kelembagaan CPR, Ostrom (1990 dalam Gautam dan shivakoti, 2005) mengidentifikasi 8 (delapan) prinsip desain yang syarat untuk menempatkan pengaturan CPRs : 1. Kejelasan batasan/definisi sumberdayanya 2. Kecocokan antara aturan dan keadaan lokasi lokal/setempat 3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan 4. Monitoring yang efektif 5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat 6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses 7. minimal mengenal hak untuk mengatur 8. Dalam kasus CPR berskala besar/luas, pengaturan berlapis-lapis terbagi atas kelompok-kelompok kecil/lokal
9
Tabel 1. No. 1.
Prinsip-Prinsip Desain Kelembagaan Aksi Kolektif yang Lestari
Prinsip Batas-batas terdefinisi dengan jelas
Penjelasan Sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas
2.
Relevansi (sesuai/sebangun)
3.
Pengaturan pilihan kolektif
a. Distribusi manfaat dari aturan yang sesuai proporsional terhadap biaya pemaksaan oleh aturan yang ditentukan b. Aturan yang sesuai membatasi waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang berkaitan dengan kondisi lokal Sebagian besar individu yang dipengaruhi oleh aturan operasional dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan ini
4.
Pemantauan
5.
Penetapan sanksi
6.
Mekanisme resolusi konflik
7.
Pengenalan hak minimal untuk diatur
8
Pemantau/pengawas, orang secara aktif mengaudit kondisi CPR dan behavior pengguna, dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengguna dan/atau pengguna sendiri Pengguna yang melanggar aturan operasional harus menerima sanksi dari pengguna lain, dari petugas pemeriksa pengguna/dari keduanya
Kelompok pengguna (untuk CPRs yang merupakan bagian
Pengguna dan petugasnya mempunyai akses yang cepat untuk mengurangi biaya, arenaarena lokal untuk memecahkan konflik antar pengguna atau antara pengguna dan petugasnya Hak pengguna untuk merancang kelembagaannya tidak bertentangan dengan otoritas eksternal pemerintah Penyisihan, penetapan, monitoring, penegakan, resolusi konflik dan aktivitas tata kelola pemerintahan
Sumber : Ostrom (1990) dalam Gautam dan Shivakoti (2005)
Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Keluarnya Pedoman Pernbentukan Forum
DAS
(Direktorat
PDAS
dan
Rehabilitasi Lahan 2003) adalah tonggak awal pembentukan forum DAS. Forum DAS adalah wadah konsultasi dan komunikasi para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan
DAS
dalam
rangka rnernbantu Gubernur/Bupati/Walikota
dalarn
rnelaksanakan koordinasi tata pengaturan DAS di wilayahnya, dan bersifat independen. Setiap stakeholders mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Koordinator Forum dan Sekretariat Forum dipilih dari sesama anggota. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan 10
kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi landasan bagi daerah untuk membentuk forum DAS.
Khusus di
Provinsi Sumatera Utara kebijakan yang dimaksud adalah SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN 2009 Tanggal 21 Juli 2009 tentang Forum Komunikasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi Sumatera Utara dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 tentang Forum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu, Sungai Deli dan Sungai Ular. PEMBAHASAN
Stakeholder Forum DAS Sumut Pemangku kepentingan (stakeholders) dari aspek semantik, didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Hornby 1995). Dalam konteks sektor
pertanian,
secara
organisasi
pemangku kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh,
petani
(kontak
tani,
pemilik,
penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak-pihak terkait lainnya. Dalam implementasi program pembangunan, pemangku kepentingan memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku kepentingan digunakan untuk mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari, mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Race dan Millar 2006). Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan pemangku kepentingan atas siapa yang memberi
dampak
dan/atau
siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan 11
aktivitas pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang
harus terwakili
dalam
proses
pengambilan keputusan dalam kegiatan
pembangunan. Perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh satu kelompok tertentu. Pemangku kepentingan adalah perorangan dan kelompok yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby 1992), yaitu: 1)
Pemangku kepentingan utama, yakni yang
menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal. 3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan. Sangat sulit untuk menetapkan secara tepat sebenarnya siapa saja yang harus terlibat dalam Forum DAS Sumut, mengingat batasan batasan dari stakeholder yang sangat luas mulai dari tingkat individu sampai dengan tingkat pemerintah, swasta dan LSM yang itu juga sangat beragam. Dalam kasus Forum DAS Sumut keanggotaannya memang belum dapat merepresentasikan stakeholder yang terdapat dalam kawasan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya pembentukan forum ini dilakukan secara spontan pada saat ada seminar lokakarya atau lainnya yang dari peserta yang hadirlah susunan organisasi disusun. Keanggotaan Forum DAS Sumut berdasarkan SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN 2009 dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 lebih tertuju pada para individu yang dapat dikatakan tidak memeiliki representasi nyata di masyarakat. Selain itu, pencantuman keanggotaan dalam Forum tidak memperhatikan komitmen dan kopetensinya.
Dalam kasus di Forum DAS Sumut, seseorang yang
namanya dicantumkan dalam pengurus tidak semua mengetahui bahwa dia adalah pengurus forum. Komitmen dan kopetensi menjadi penting dalam berjalannya kegiatan 12
collective action seperti pengelolaan DAS ini. Untuk memudahkan memahami pengaruh dari komitmen dan kompetensi para stakeholder dalam mendukung suksesnya aksi kolektif Forum DAS Sumut bisa dijelaskan dengan menggunakan matrik komitmen dan kopetensi seperti yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Matrik Komitmen Dan Kompetensi Stakeholder Untuk Menunjang Bekerjanya Mekanisme Collective Action Dalam Forum DAS Forum DAS tidak akan berjalan kalau aktor/stakeholder yang terkait tidak punya komitmen dan kompetensi. Untuk jelasnya, dari Gambar 1 bisa dijelaskan sebagai berikut : a. Forum DAS Sumut yang notabene adalah nirlaba hanya akan berjalan jika stakeholder yang terlibat dalam forum, baik dari jajaran penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif & legislatif) maupun eksponen-eksponen masyarakat memeiliki kompetensi dan komitmen (sel I). b. Tantangan bagi jalannya Forum DAS agak sedikit longgar kalau situasi yang dihadapi adalah situasi di sel II dan III: Ada kemauan namun tidak bisa, atau sebaliknya, orang-orangnya bisa namun tidak mau. Untuk Kalau kita berada dalam sel II (bisa tapi tidak mau) maka proses kebijakan terseret dalam proses politis: menuntut atau memaksa agar mereka bersedia bekerja secara partisipatif dan mengembangkan mekanisme yang partisipatif. Kalau yang kita hadapi adalah situasi di sel III (mau namun tidak bisa) maka langkah yang diperlukan adalah mengembangkan kompetensinya. c. Prospek bagi pengembangan mekanisme kebijakan yang partisipatif akan sangat suram kalau situasinya adalah seperti yang di sel IV: sudahlah tidak tahu dia tidak mau lagi. 13
Hasil identifikasi terhadap stakeholder yang terlibat dalam Forum DAS Sumut sebagian besar anggotanya termasuk dalam kuadran II dan III, bahkan pada kuadran IV karena terlanjur dicantumkan meskipun yang bersangkutan tidak lagi mau aktif lagi dengan alasan sulit untuk merubah SK. Anggota yang aktif berperan dalam Forum DAS sesuai dengan matrik tersebut berada pada kuadran I didominasi oleh para akademisi dari perguruan tinggi yang mempunyai kopetensi dan komitmen. Demikianlah analisis terhadap para stakeholder forum DAS dari aspek komitmen dan kopetensi terkait kegagalan aksi bersama Forum DAS dalam pengelolaan DAS di Sumatera Utara. Kelestarian Kelembagaan Forum DAS Mengacu pada 8 prinsip desain kelembagaan yang lestari dari Ostrom (1990) secara umum pemenuhan kondisi forum DAS Sumut terhadap desain tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Pencapaian Prinsip Desain Kelembagaan Yang Lestari Dari Ostrom (1990) Di Forum DAS Sumut No. 1.
Kondisi Dalam Fordas Sumut
2.
Prinsip Batas-batas terdefinisi dengan jelas a. Terhadap Sumber Daya b. Terhadap pengguna/User Kongruen
Tidak ada
3.
a. Distribusi manfaat dari aturan yang sesuai proporsional terhadap biaya pemaksaan oleh aturan yang ditentukan b. Aturan yang sesuai membatasi waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang berkaitan dengan kondisi lokal Pengaturan pilihan kolektif
4.
Pemantauan
Tidak berjalan
5.
Penetapan sanksi
6.
Mekanisme resolusi konflik
7.
Pengenalan hak minimal untuk diatur
Dalam keanggotaan ini tidak ada pengaturan masalah sanksi Mekanisme resolusi konflik belum dijelaskan Sebagian ya
Jelas Tidak
Ada tetapi tidak jalan
Tidak
Tabel 2 menunjukkan bahwa apa yang terjadi di dalam Forum DAS dalam kaitannya dengan collective action pengelolaan DAS sangat lemah kelestariannya dan cenderung untuk gagal. Para anggota yang terlibat dalam forum ini dari aspek kejelasan 14
hak dan tanggung jawabnya pun banyak yang tidak tahu, bahkan
hanya sekedar
bergabung dengan alasan tertentu. Karena banyak yang tidak terpenuhi dari desain kelembagaan yang lestari menurut Ostrom (1990) tersebut maka wajar jika collective action dalam pengelolaan DAS di Sumut melalui Forum DAS Sumut mengalami kegagalan.
Karena kedinamisannya, maka collective action sulit untuk diukur dan
dipelajari (Mienzen-Dick et al.,
2004).
Namun dengan menggunakan beberapa
pendekatan seperti pendekatan kelestarian menurut Ostrom (1990) tersebut potret dan sekaligus historis dari collective action bisa dinilai. Selain metode yang digunakan Ostrom tersebut, analisis terhadap keberadaan Forum DAS Sumut juga bisa diamati dari interaksi antar anggota.
Karena saling
ketergantungan sosial, dan keengganan untuk mengganggu keputusan manajemen apa yang dirasakan sebagai tetangga yang berdaulat dan membawa konflik keluar (Ravnborg & Westermann, 2002) menjadikan keberadaan forum DAS di Sumut menjadi kurang berguna dalam menghadapi kepentingan penting terkait penggunaan suatu CPR. Alasan yang umum adalah Forum tidak boleh mencampuri urusan TUPOKSI diantara lembaga pemerintah yang ada. Akhirnya keputusan strategis yang seharusnya dibahas secara kolektif menjadi sesuatu yang tidak terjadi. Dilain pihak tidak adanya insentif bagi anggota Forum DAS juga menyebabkan keengganan untuk terlibat aktif dalam collective action usaha pengelolaan DAS (Hodge & McNally, 2000). Ketergantungan stakeholder secara langsung terhadap sumberdaya juga mempengaruhi kualitas dan keberhasilan dari collective action. Stakeholder yang tidak banyak tergantung terhadap SDA secara langsung juga kurang memiliki ikatan yang kuat dalam collective action (Mushtaq et al., 2007). Untuk kasus Forum DAS Sumut hal ini juga terjadi dimana sebagian anggota aktif dari forum DAS adalah para akademisi yang dapat dikatakan tidak memiliki ketergantungan/hubungan secara langsung dengan SDA. Stakeholder yang seharusnya banyak aktif seperti lembaga pemerintah dan masyarakat ternyata tidak begitu banyak berperan. Meskipun demikian pada saat-saat tertentu peran akademisi dalam collective action Forum DAS Sumut sangat dibutuhkan, utamanya saat memediasi antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat dan LSM. Hal senada juga diungkapkan Yang & Wu (2009) yang mengungkapkan bahwa sarjana/akademisi
yang memiliki keunggulan komparatif dalam pengetahuan dan
informasi daripada aktor-aktor sosial lainnya (seperti masyarakat dan pemerintah) dapat membantu para pelaku collective action dalam melakukan tindakan kolektif terkait dilema sistem sosial-ekologi di bawah kondisi tertentu. 15
KESIMPULAN
Forum DAS Sumut sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki pengelolaan CPR masih mengalamai kegagalan. Selain karena faktor koordinasi dari aspek tinjauan teoriteori yang berkaitan dengan collective action kegagalan ini karena para stakeholder yang terlibat sebagian besarnya tidak mempunyai komitmen dan kopetensi. Forum DAS Sumut juga belum bisa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian kelembagaan collective action yang diajukan Ostrom (1990). Meskipun secara umum Forum DAS gagal dalam peranannya dalam mengendalikan penggunaan SDA yang berkarakteristik CPR, pada saat-saat tertentu peran Forum menjadi penting terutama untuk menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Crosby, B.L. 1992. Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Eggertsson, Thrainn. 1990. Economic Behavior and Institutions. Cambridge University Press. United States of America. Hodge, I & S. McNally. 2000. Wetland restoration, collective action and the role of water management institutions. Ecological Economics 35 (2000) 107–118 Gautam, A.B. and Shivakoti, G.P. 2005. Conditions for Successful Local Collective Action in Forestry: Some Evidence FromtheHills of Nepal. Society and Natural Resources, 18:153–171, 2005. Taylor & Francis Inc. Gibsons Robert. 2002. Incentives Between Firms (Within). Management Science. Vol. 51, No. 1, January 2005, pp. 2–17 issn 0025-1909 _eissn 1526-5501 _05 _5101 _0002. Gonsalves, J., T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy. 2005. Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book (glossary). International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Hardin, G. 1968. The tragedy of the commons. Science 162:1243–1248. Kartodihardjo, H. 2010. Pengelolaan Hutan Bagi Penurunan Emisi Karbon dan Menjaga kelestarian Lingkungan Hidup : Masalah “the trapped administrators”. Tanggapan terhadap materi ceramah Menteri Kehutanan sebagai bahan diskusi di Lembaga Ketahanan Nasional, 3 Juni 2010. Yang, L. & J. Wu. 2009. Scholar-participated governance as an alternative solution to the problem of collective action in social–ecological systems. Ecological Economics 68 (2009) 2412–2425 16
Meinzen-Dick, R, M. DiGregorio & N. McCarthy. 2004. Methods for studying collective action in rural development. Agricultural Systems 82 (2004) 197–214 Mushtaq, S., D. Dawe, H. Lin & P. Moya. 2007. An assessment of collective action for pond management in Zhanghe Irrigation System (ZIS), China. Agricultural Systems 92 (2007) 140–156 Ostrom, Elinor. 2003. How Types of Goods and Property Rights Jointly Affect Collective Action, Journal of Theoretical Politics, Vol. 15, No. 3, 239-270 (2003). Ostrom, E. 2008. Doing Institutional Analysis: Digging Deeper Than Markets and Hierarchies in Handbook of New Institutional Economics, Edited by Mé nard, C. and Shirley, M. M. Springer‐ Verlag Berlin Heidelberg. Race, D. and J. Millar. 2006. Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research – Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia. Ravnborg, H. M., & O. Westermann. 2002. Understanding interdependencies: takeholder identification and negotiation for collectivenatural resource management. Agricultural Systems 73 (2002) 41–56 Wunder, Sven, Bui Dung The and Enrique Ibarra. 2005. Payment is Good, Control is Better: Why payments for forest environmental services in Vietnam have so far remained incipient.. CIFOR. Bogor, Indonesia.
17