ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (CONTRACT FARMING) DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG
OLEH : PINONDANG POLTAK MARGANDA
PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006 ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (CONTRACT FARMING) DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG
OLEH : PINONDANG POLTAK MARGANDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN INFORMAL (CONTRACT FARMING) DALAM USAHATANI NENAS DI KABUPATEN SUBANG
Adalah benar merupaka hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
April 2006
PINONDANG POLTAK MARGANDA NRP. P.15500022
Judul
: Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang.
Nama Mahasiswa
: Pinondang Poltak Marganda
NRP
: P.15500022
Program Studi
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.H.Affendi Anwar, MSc Ketua
Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikjo,MSc Anggota
Dr.Ir.Sunsun Saefulhakim, M.Agr Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah PascaSarjana
Prof. Ir.Isang Gonarsyah,Phd
Prof.Dr.Ir.Sjafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Ujian : 30 Agustus 2004
Tanggal Lulus : 5 Juni 2006 ABSTRAK
PINONDANG POLTAK MARGANDA. Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (‘Contract Farming’) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang. (AFFENDI ANWAR sebagai Ketua dan KOOSWARDHONO MUDIKJO serta SUNSUN SAEFULHAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji bagaimana sistem “kontrak pertanian” yang terjadi dalam usahatani nenas di Kabupaten Subang: apa dan bagaimana peran lembaga tataniaga yang menjadi opsi petani dalam tataniaga nenas, siapa yang menopang lembaga tersebut, bagaimana kinerja ekonomi usahatani nenas, bagaimana peran pemerintah, bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif, dan pemusatan wilayah serta persebaran usahatani nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan usahatani nenas di wilayah kabupaten Subang terdapat hubungan principle-agent yang saling menguntungkan antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang dituangkan dalam suatu “kontrak pertanian”. Sistem kontrak secara informal ini dapat berlanjut karena kedua belah pihak memiliki keterkaitan dalam transaksi komoditi, transaksi jasa dan pertukaran risiko yang saling menguntungkan. Petani nenas sangat responsif terhadap perkembangan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar. Penguatan kelembagaan petani akan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas di kabupaten Subang. Kata Kunci: Kelembagaan Informal, Kelembagaan Ekonomi, Pasar Persaingan Sempurna, Contract Farming.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas segala berkat dan bimbinganNya, Thesis yang berjudul “Analisis Ekonomi Kelembagaan Informal (Contract Farming) Dalam Usahatani Nenas di Kabupaten Subang “ dapat diselesaikan tepat waktu. Thesis ini terdiri atas 1) Pendahuluan, yang berisi latar belakang mengapa penelitian ini akan dilaksanakan, tujuan yang hendak dicapai serta manfaat hasil penelitian tersebut bagi kepentingan akademis maupun kebijakan. 2) Tinjauan Pustaka yang merupakan konsep-konsep teoritis yang berkaitan erat dengan aspek permasalahan yang akan dikaji untuk menjawab tujuan yang akan dicapai. 3) Kerangka Pemikiran dan Hipotesis, 4)Metodologi, menyangkut waktu dan lokasi pelaksanaan penelitian, cara atau metode untuk menganalisis data yang berkenaan dengan permasalahan , dan batasan operasional, 5) gambaran umum daerah penelitian, 6) hasil dan pembahasan, 7) kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka dan lampiran. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat : Bapak Prof. Dr.Ir. H. Affendi Anwar MSc, Bapak Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo MSc, dan Bapak Dr. Ir. H. Sunsun Saefulhakim, M.Agr yang telah banyak meluangkan waktu membantu, membimbing dan memberi pengarahan dan komentar dari awal hingga akhir penulisan thesis ini. Bapak Dr. Sumarno, MSc, Bapak Dr.Ir. T.E.M. Napitupulu, Bapak Dr.Ir. Yul Harry Bahar dan Ibu Ir. Anastasia Promosiana, MS yang telah memberikan banyak perhatian kepada studi
penulis. Teman-teman PWD, Ibunda, Bapak Mertua, dan Ibu mertua, kakak-kakak, dan adik-adik, ipar-ipar serta semua keluarga atas do’a restunya yang merupakan pendorong keberhasilan penulis. Khusus untuk isteriku dr. Evalina tercinta dan anakanakku tersayang Steiner Lukas Prisola L.Tobing dan Christine Rachel Margaretha L. Tobing yang telah rela berkorban dan atas pengertian dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pascasarjana serta memberi dorongan dan do’a senantiasa dipanjatkan sehingga menambah semangat penulis untuk meraih keberhasilan. Akhir kata kritik dan saran yang membangun penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan thesis ini selanjutnya. Terima kasih.
Bogor,
April 2006
Penulis
DAFTAR ISI Hal.
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
v
I.
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang dan Masalah
1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Ekonomi
2.2
Pembangunan Wilayah
2.3
Kelembagaan
2.3.1
Kelembagaan Contract Farming
1 9
11 11 12 13
16 2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan
Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis secara Vertikal 2.3.1.2
17
Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan
21
2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang Pengumpul dengan Petani
27
2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial
30
2.3.1.5
Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon
2.3.1.6
35
Mekanisme masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak Yang dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement) 39
III. 3.1 3.2
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Hipotesis
44 44 49
IV.
METODOLOGI PENELITIAN
50
4.1
Lokasi dan waktu Penelitian
4.2
Metode Pengumpulan Data
50
4.3
Metode Analisis Data
51
4.3.1
Model Basis Ekonomi :LQ
51
4.3.2
Analisis Localization Index (LI)
53
4.3.3
Analisis Specialization Index (SI)
54
4.3.4
Analisis Shift Share (SS)
55
4.3.5
Analisis Entropy
57
4.3.6
Analsis Kelayakan Usaha Pengembangan Nenas
59
4.3.6.1
Net Present Value (NPV)
59
4.3.6.2
Internal Rate of Return (IRR)
60
4.3.6.3
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
60
4.3.7
Policy Analysis Matrix (PAM)
61
4.3.8
Analisis Marjin Tataniaga
62
4.3.9
Penentuan Opsi Kelembagaan
63
4.3.10
Analisis Game Theory untuk Konflik Pemasaran Nenas
65
4.4
Jenis dan Sumber Data
68
4.5
Asumsi Dalam Penelitian
V.
50
68
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
70
5.1
Letak Geografis Dan Batas Administrasi
70
5.2
Keadaan Sumber Daya Alam
70
5.3
Keadaan Potensi Fisik dan Prasarana
73
5.4
Keadaan Penduduk dan Aktifitas Ekonomomi
73
5.5
Gambaran Umum Kecamatan Jalan Cagak
75
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
76
6.1
Kelembagaan Petani
76
6.1.1
Interaksi Petani dan Pelaku Pasar
76
6.1.1.1
Analisis Institusi Sistem Kontrak Pertanian
76
6.1.1.2
Akses Petani Terhadap Input Produksi
77
6.1.1.3
Institusi Manajemen Resiko
79
6.1.1.4
Bentuk Kontrak Pertanian Tradisional
83
6.1.1.5
Mekanisme Pelaksanaan Kontrak Pertanian
87
6.1.1.6
Hubungan Principal- Agent
90
6.1.1.7
Peranan Kelembagaan Petani
93
6.1.1.8
Opsi Kelembagaan Pemasaran Nenas
94
6.2
Analisis Ekonomi dan Kebijakan
99
6.2.1
Analisis Finansial dan Ekonomi
98
6.2.2
Analisis Keterpaduan Pasar
6.2.3
Analisis Marjin Pemasaran
6.2.4
Analisis Kebijakan PAM
105
6.2.4.1
Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah
106
6.2.4.2
Dampak Kebijakan Harga Input
6.2.4.3
Dampak Kebijakan Harga Output
107
6.2.4.4
Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output
109
6.3
Analisis Game Theory Untuk Formulasi Strategi Pemasaran
101 103
107
Nenas
110
6.4
Analisis Lokasional
113
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN
118
7.1
Kesimpulan
7.2
Saran-saran
118 119
DAFTAR PUSTAKA
121
LAMPIRAN
126
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2000 dan tahun 2001 Tabel 2. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)
6 62
Tabel 3. Konsekwensi Pahala dari Game Modelling
65
Tabel 4. Tujuan, Analisis, parameter, Data dan Output Penelitian Analisis Pengembangan nenas di Kabupaten Subang
66
Tabel 5. Klasifikasi Ketinggian Tempat Kabupaten Subang
72
Tabel 6. Keadaan Tanah Pertanian Berdasarkan Topografinya Di Kabupaten Subang
73
Tabel 7. Hasil Ekstraksi Komponen Utama dan Eigenvalue dari Berbagai Value Penduga Opsi Kelembagaan Tataniaga Nenas
96
Tabel 8. Koefisien Loading Factor dari Berbagai Variabel Karakteristik Petani dalam Opsi Tataniaga Nenas.
97
Tabel 9. Dugaan Koefisien Fungsi Logistik Opsi Kelembagaan Informal Tataniaga Nenas
98
Tabel 10.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 32 % dalam Luasan 1 ha, 2003. Tabel 11.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 40 % dalam Luasan 1 ha, 2003.
100
101
Tabel 12. Dugaan Koefisien Fungsi Harga Nenas di Kabupaten Subang 102 Tabel 13. Marjin Pemasaran dan Penyebaran Harga Hasil Nenas Di Lokasi Penelitian Tabel 14. Hasil Analisis Kebijakan Usaha Tani Nenas di
104
Kabupaten Subang, 2003
106
Table 15. Payoff Matrix dalam Interaksi Petani Nenas dan Pedagang Pengumpul di Kabupaten Subang, 2001
111
Tabel 16. Location Quotient Analysis Masing-masing Komoditi Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2001
113
Tabel 17. Hasil Shift-Share Analysis Produksi Komoditas Tanaman Buah-buahan di Kabupaten Subang pada titik waktu Tahun 1996 dan 2001
116
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 1. Hubungan Unsur – unsur yang Dapat Mempengaruhi Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak Pertanian di Wilayah Pedesaan
34
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Pengembangan Komoditi Nenas di Kabupaten Subang
48
Gambar 3. Bagan Kelembagaan Kerjasama Antar Petani, Pedagang Pengumpul Kebun, Pengumpul Desa dan Eksportir
Gambar 4. Aliran Pemasaran Nenas di Kabupaten Subang
84
103
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Komoditi Nenas Untuk Luasan 1 Ha
126
Lampiran 2. Hasil Analisis Ekonomi Usaha Tani Komoditi Nenas Untuk Luasan 1 Ha
127
Lampiran 3. Data untuk Analisis Opsi Kelembagaan Pemasaran Nenas
128
Lampiran 4. Data Untuk Analisis Keterpaduan Pasar
131
Lampiran 5. Hasil Analisis Shazam untuk Regresi
132
Lampiran 6. Hasil Regresi Opsi Kelembagaan Lampiran 7. Flow Chart Analiis Lampiran 8. Peta Administrasi Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Subang tahun 1996
136 140 141
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang dan Masalah Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan diarahkan untuk memanfaatkan sumberdaya nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Sejak tahap permulaan pembangunan sampai sekarang, sektor pertanian adalah sektor yang selalu menjadi pusat perhatian karena merupakan sektor penting yang mendukung pembangunan perekonomian nasional Indonesia. Namun selama ini pembangunan sektor pertanian lebih tertuju kepada pengembangan hasil (produksi) atau pada on-farmnya dan pada pengembangan off- farm lebih tertuju kepada industri pengolahan hasil pertanian yang berskala besar yang diharapkan mampu memberikan devisa besar serta penyerapan tenaga kerja yang besar pula, sehingga perhatian kepada industri pengolahan hasil pertanian berskala kecil diabaikan.Di samping itu, sektor pertanian sebagai bagian yang integral dari sistem perekonomian nasional menjadi pemasok input-input bagi sektor–sektor lainnya, seperti untuk keperluan sektor agro-industri, sehingga dengan demikian akan meningkatkan nilai tambah sektor yang bersangkutan. Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas ditujukan untuk menghasilkan produk-produk unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri, memperluas kesempatan kerja dan berusaha melalui upaya peningkatan usaha pertanian secara terpadu yang berbasiskan pada agroindustri dan agribisnis yang tangguh dan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,
2
dan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani yang didukung dengan ketersediaan modal, tenaga kerja, faktor kelembagaan serta sarana dan prasarana pendukung lainnya. Menurut Anwar (2000), meskipun perekonomian Indonesia sekarang telah mengalami perubahan struktural, dimana peranan relatif sektor pertanian telah menyusut (dalam menyumbang PDB/Produk Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja), tetapi sektor ini masih memainkan peranannya dalam perekonomian Indonesia. Tambahan pula selama krisis ekonomi, sektor pertanian menjadi sektor penyelamat ekonomi nasional menuju kepada pemulihan ekonomi. Sektor ini masih menyumbang sebesar 20 persen kepada PDB, 55 persen kepada sektor non migas. Walaupun dengan upaya pembangunan telah banyak dicapai kemajuan melalui penerapan teknologi dan kemampuan dalam manajemen, sehingga manusia telah mampu untuk mengendalikan banyak aspek dalam mengatasi persoalan kehidupan, tetapi di dalam sektor pertanian yang menghasilkan beragam produk-produk pertanian yang telah memberikan manfaat. Kebijaksanaan nasional dapat diorientasikan ke arah sisi penawaran (mobilitas sumberdaya) atau ke arah sisi permintaan (distribusi manfaat) daripada proses pembangunan atau integrasi keduanya. Tipe masalah regional di negara – negara
berkembang
pembangunan
termasuk
ekonomi
dengan
Indonesia
adalah
memodernisasikan
bagaimana
menciptakan
daerah-daerah
kurang
berkembang yang didasarkan atas perekonomian pertanian dan terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Terdapat indikasi bahwa orang-orang miskin di perdesaan seringkali gagal memperoleh manfaat , bahkan tidak jarang menjadi penanggung
3
beban dari usaha – usaha pembangunan. Adapun penyebab dari kegagalan pembagian manfaat-manfaat pembangunan tersebut adalah akibat dari kegagalan sistem pasar di dalam mengalokasikan sumberdaya yang ada sehingga pareto optimum tidak pernah dicapai (Anwar, 1997). Fenomena umum yang dihadapi masyarakat perdesaan adalah (a) adanya proses pengalihan yang lamban dari penduduk untuk keluar dari produktivitas rendah di bidang pertanian, (b) massa penduduk di wilayah perdesaan terdiri dari berbagai derajat kemiskinan dengan terbatasnya sumberdaya, teknologi dan institusional, (c) daerah perdesaan memiliki tenaga kerja melimpah, lahan relatif sempit dan sedikit modal yang jika dimobilisasikan dapat mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup. Oleh karena itu pembangunan juga diharapkan merupakan perlakuan terhadap orang-orang miskin agar dapat keluar dari keseimbangan lingkaran kemiskinannya (Napitupulu, 1987 ). Menurut Garcia (2000) bahwa pola pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah lebih bersifat Jawa sentris, bias perkotaan, bias pada usaha berskala besar dan mengandalkan penggunaan sumberdaya alam. Pola pembangunan yang sangat Jawa sentris dan bias perkotaan telah menyebabkan prioritas pembangunan lebih didasarkan pada potensi keunggulan alami baik dari segi demografi, limpahan sumberdaya maupun lokasi pemusatan alokasi sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi menyumbang pada pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya net transfer sumberdaya alam, pemusatan sumberdaya man-made capital, dan sumberdaya manusia daerah ke pusat kekuasaan atau kotakota pusat pertumbuhan seperti mega urban Jabotabek, Gerbang Kartosusilo.
4
Sedangkan pembangunan yang bias usaha berskala besar seperti dikutip dari Lipton (1993) meskipun secara sosial investasi kapital (human capital, social capital, natural capital dan physical capital) akan lebih menguntungkan di wilayah perdesaan dibandingkan di kawasan perkotaan tetapi karena insentif yang diperoleh oleh elit lebih kecil maka investasi lebih berkonsentrasi di kawasan perkotaan. Keuntungan yang diperoleh oleh elit kota melalui kerjasama dengan konglomerat dan mempertahankan wilayah perdesaan dalam status quo ketidakmajuan secara ekonomi, sehingga muncul perbedaan yang mencolok pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik antar wilayah perdesaan dan kawasan perkotaan (Anwar, 1991). Ciri-ciri ketidakseimbangan perkembangan atau pertumbuhan perkonomian merupakan salah satu faktor yang menimbulkan dan menyebabkan adanya goncangan ekonomi, seperti yang sedang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 sampai saat ini. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan kondisi masyarakat sehingga dalam menghadapi permasalahan ini, kepentingan peranan setiap wilayah hendaknya disesuaikan dengan tujuan pembangunan wilayah yang merupakan paradigma pembangunan wilayah yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainable). Pentingnya industri pengolahan hasil pertanian skala kecil di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial di dalam negeri, seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, jumlah pengangguran yang besar, terutama dari golongan masyarakat berpendidikan rendah, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak
5
merata antara urban dan rural, serta masalah urbanisasi dengan segala macam aspek negatifnya. Kesempatan kerja, dalam hal ini merupakan salah satu aspek yang penting dari pembangunan ekonomi dan masalah kesempatan kerja ini menjadi permasalahan serius sejak munculnya krisis ekonomi. Banyak perusahaan di dalam negeri yang berskala besarpun dengan kepemilikan modal yang tidak terlalu kuat dan menggantungkan pada bahan baku impor melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pengangguran terbuka maupun terselubung semakin meningkat. Industri pengolahan hasil pertanian skala kecil dapat mengatasi hal tersebut, mempunyai potensi untuk dapat menimbulkan dampak pembangunan yang strategis dalam ekonomi terutama dalam aspek peningkatan nilai tambah, aspek pemerataan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyerapan tenaga kerja dalam mengatasi pengangguran, kemiskinan dan urbanisasi, pelestarian budaya daerah dan bangsa serta aspek penguasaan teknologi dan keterampilan serta diharapkan dapat mengisi dan mewujudkan ke dalam struktur industri yang pada gilirannya memperkokoh struktur ekonomi. Program peningkatan produksi hortikultura yang dicanangkan pemerintah perlu didukung dengan ketersediaan lahan yang cocok digunakan sebagai lahan usaha pertanian. Peningkatan produksi melalui perluasan penggunaan lahan merupakan suatu alternatif di samping usaha-usaha peningkatan produksi melalui intensifikasi. Hal ini karena potensi lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal masih cukup luas, baik lahan sawah maupun lahan kering.
6
Salah satu sub sektor hortikultura yang sedang dikembangkan adalah komoditi nenas. Dalam upaya peningkatan pendapatan petani, penigkatan produksi hendaknya diimbangi dengan harga jual dari petani yang memadai, agar petani dapat bergairah dalam mengelola usaha taninya. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan dan efisiensi tataniaga hasil usaha tani. Kabupaten Subang memiliki areal pertanaman dan produksi yang potensil di komoditi Buah-buahan. Berikut ini disajikan Perkembangan Luas tanam, Luas panen dan produksi di Kabupaten Subang tahun 2000 dan 2001. Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Komoditas Buahbuahan di Kabupaten Subang Tahun 2000 dan Tahun 2001. Luas Tanam (Ha)
Luas panen (Ha)
Produksi (Ton)
No.
Komoditi
2000
2001
2000
2001
2000
2001
1.
Adpokat
102
72
56
42
209
332
2.
Durian
372
271
203
165
652
2.099
3.
Duku
18
27
8
17
30
100
4.
Mangga
2.998
1.725
2.774
90.095
5.231
3.016
5.
Nenas
2.502
2.012
3.060
1.534
5.998
59.850
6.
Pisang
4.293
1.780
5.410
1.861
30.000
22.444
9.
Rambutan
6.896
4.875
5.315
3.851
23.280
360
10.
Nangka
239
381
269
212
1.001
1.968
11.
Manggis
136
168
44
35
275
802
Sumber : Kabupaten Subang Dalam Angka, Tahun 2002.
7
Permintaan dunia terhadap nenas kalengan pada 1987 mencapai 667.667 metrik ton dan pada 1989 meningkat menjadi 814.790 metrik ton. Sedangkan permintaan untuk tahun 1994 naik sampai 1.159.890 metrik ton1), sementara itu pangsa pasar nenas kalengan dunia dikuasai Thailand (42 %) dan Philipina (22,5%), Indonesia hanya menguasai 3,3 % . Namun sepanjang tahun 1987 sampai 1989 pertumbuhan ekspor nenas Indonesia mencapai 38,86 %, sedangkan Philipina dan Thailand hanya 2,68 % dan 16,40 %. Di dalam negeri sendiri, produksi nenas kalengan dikuasai satu perusahaan multinasional di Lampung yang mendapat pasokan utama bahan bakunya dari kebun sendiri. Penanganan nenas dengan pola contract farming nenas merupakan sumber penambahan pendapatan keluarga petani , baik yang memiliki lahan sedikit luas maupun terutama yang memiliki lahan relatif sempit. sistem kontrak pertanian dan industri kecil, khususnya yang terjadi di wilayah perdesaan. Permasalahan daam sistem kontrak ini adalah proses tawar-menawar (bargaining process) antara beberapa agen-agen (stakeholders) yang terlibat sebelum kontrak pertanian dilaksanakan (contractual problems). Karena pada masingmasing pihak, baik para petani maupun para pedagang/tengkulak biasa terkena pengalaman oleh keadaan kekurangan informasi sebelum kontrak disetujui, merupakan bagian yang penting dimana apabila hal ini terjadi, maka didalam sistem kontrak tersebut akan terjadi masalah-masalah yang akan menimbulkan pertentangan setelah kontrak disetujui (post contractual disputes), dan karenanya persoalan yang timbul bagaimana konflik tersebut dapat dicarikan solusi-solusinya. Adakah konflik-konflok tersebut muncul se 1) Majalah Prospek 31 agustus 1991 halaman 30.
8
telah kontrak tersebut dilakukan dalam kontrak-kontrak pertanian dan industri kecil di wilayah perdesaan, maka kami menganggap bahwa permasalahan ini mempunyai bagian yang penting sebagai sumber informasi yang berharga untuk para pelaku sistem agribisnis, baik bagi para peneliti di bidang ini maupun untuk keperluan penentuan kebijaksanaan. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun 2001, maka peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk itu pemerintah kabupaten Subang dalam hal peningkatan sisi penerimaan perlu berupaya bagaimana potensi lokal yang ada dapat meningkatkan pemasukan kas daerah atau dengan kata lain sebagai kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) menyongsong era perdagangan bebas, kita dituntut untuk mampu bersaing/berkompetitif maka perlu adanya perhatian dan pemanfaatan potensi lokal yang ada seperti produk unggulan daerah untuk sub sektor industri kecil pengolahan hasil pertanian seperti pengolahan nenas, yang merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dapat berperan atau diperbesar peranannya sehingga nantinya output industri tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam peningkatan PAD serta kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa permasalahan sebagai berikut 1.
:
Bagaimana Sistem kontrak pertanian yang terjadi dalam pertanian nenas di Kabupaten Subang,
9
2.
Apa dan bagaimana peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustaine lembaga tersebut,
3.
Bagaimana kinerja ekonomi usaha tani nenas di kabupaten Subang,
4.
Bagaimana peran pemerintah terhadap proteksi harga input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,
5.
Bagaimana keunggulan komparatif, kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.
1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini mencakup : 1.
Mengidentifikasi dan mengkaji sistem kontrak pertanian nenas di Kabupaten Subang,
2.
Mengidentifikasi dan mengkaji peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustain lembaga tersebut,
3.
Menelaah kinerja ekonomi usaha tani nenas di Kabupaten Subang,
4.
Menelaah peran pemerintah terhadap proteksi input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,
5.
Mengkaji keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.
10
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan
dalam
kelembagaan
memberikan
tataniaganya
arah
khususnya
pembangunan home
industri
industry
kecil
nenas
beserta
(khususnya
Departemen/instansi pemerintah dan swasta) yang terlibat secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan home industry nenas sehingga dapat memberikan efek pengganda yang sebesar-besarnya di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Ekonomi Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan
yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Pengertian pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Paling tidak menurut Goulet dalam Todaro (1999) pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance), jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom). Artinya pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian, keadaan fisik dan non fisik (Jayadinata, 1999). Indonesia sebagai negara yang dibangun di atas konstitusi UUD 1945, haruslah mendasarkan pembangunannya termasuk pembangunan ekonomi pada amanat konstitusi dasar. Dengan demikian, ekonomi modern yang dibangun di atas bumi Indonesia tetap konsisten dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa sistem perekonomian yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi ekonomi yakni pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia adalah sumberdaya
12
manusia (tenaga, pikiran, waktu nilai-nilai, dan sebagainya) dan sumberdaya alam (lahan, keanekaragaman hayati, agroklimat tropis, dan lain-lain). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kerakyatan dimungkinkan jumlah penduduk, keanekaragaman sosial budaya masyarakat, dan sumberdaya alam dapat menjadi subyek dan modal pembangunan. Pembangunan kemakmuran
ekonomi
masyarakat
luas.
nasional Hal
ini
ditujukan
sebesar-besarnya
merupakan
konsekuensi
untuk
langsung
pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yakni melalui pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki rakyat dan keuntungan pelaku ekonomi (organisasi ekonomi). Bila pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya domestik dalam kerangka organisasi ekonomi kerakyatan, maka hasil pembangunan berupa gaji, upah, sewa, royalty, rent, profit secara otomatis akan diminati rakyat Indonesia.
2.2
Pembangunan Wilayah Tantangan ekonomi utama yang dihadapi saat ini dan mempunyai keterkaitan
penting dengan stabilitas sosial dan politik baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang terdiri dari dua permasalahan yang saling berkaitan, yaitu : (a) mempertahankan tingkat pendapatan nyata, dan jika mungkin meningkatkannya di tengah-tengah kendala sumberdaya dan dana yang terbatas, (b) meningkatkan lapangan kerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah terutama di wilayah perdesaan. Karena itu kebijaksanaan wilayah harus ditujukan untuk memperbaiki ketimpangan dan kesenjangan strukural sebagai proses penyesuaian
13
terus – menerus. Dalam paradigma pembangunan wilayah yang menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat serta keberlanjutan pembangunan ekonomi. Menurut Todaro (1999) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok – kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spritual.
2.3
Kelembagaan Kelembagaan petani atau kelembagaan ekonomi masyarakat yang telah ada
di lokasi merupakan modal bagi pengembangan kelompok agribisnis hortikultura. Upaya yang diperlukan adalah memberdayakan kelompok tani/agribisnis tersebut melalui pembinaan dan bimbingan intensif, sehingga dapat merubah cara pandang atau pola fikir menjadi pengelola kegiatan agribisnis secara baik dalam bentuk koperasi agribisnis, kelompok usaha agribisnis, kelompok usaha lainnya.
14
Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dalam meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang ada secara baik dan bijaksana. Kelompok tani merupakan kelompok swadaya masyarakat, terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk anggota, yang dibangun atas dasar kekuatan, kebutuhan dan tujuan bersama. Sebagai kelompok usaha, maka kelompok tani diarahkan agar mampu memanfaatkan berbagai peluang dan kesempatan berusaha serta meningkatkan usaha ke arah komersial, efisien dan profesional. Dengan demikian maka selanjutnya kelompok tani ini dapat berkembang menjadi kelompok agribisnis. Pengembangan kelembagaan usaha dalam rangka mengembangkan kelembagaan usahatani yang ada di masyarakat menjadi suatu kelembagaan usaha agribisnis. Beberapa komponen kegiatan yang tercakup dalam kegiatan pengembangan kelembagaan
usaha
adalah;
1)
Inventarisasi kelembagaan usaha, 2) Penguatan/Pemberdayaan kelembagaan usaha, 3) Fasilitasi penumbuhan kelembagaan usaha. Menurut Anwar (2000a) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game) dan organisasi, berperanan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara professional dengan produktivitas tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi,
sedangkan
spesialisasi
yang
berlanjut
akan
mengarah
kepada
15
peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang berspesialisasi melalui pertukaran (exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain.
Agar transaksi
ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi, yang mencakup “aturan presentasi” dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut. Pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan :i) Transaksi melalui sistem pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumber-sumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. ii) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution).
2.3.1 Kelembagaan Contract Farming
16
Salah satu aspek industrialisasi perdesaan yang banyak dikembangkan dan diharapkan menjadi motor dalam proses pembangunan perdesaan sekaligus diharapkan dapat menambah devisa negara adalah agroindustri. Menurut Wilson (1986), secara umum pola contract farming memiliki kemiripan yang mencolok dengan usaha industri rumah tangga di luar sekor pertanian yang melakukan sub kontrak. Pada konteks ini, menurut Wilson, ada bentuk-bentuk hubungan dalam contract farming yang perlu diamati secara cermat, yaitu hubungan kontrak pemasaran, hubungan kontrak produksi, dan integrasi vertikal (Wilson, 1986: 50-51). Implikasinya, kita dapat memiliki kejelasan mengenai kontrol yang diterapkan pemberi kontrak kepada petani produsen dan melihat keterlibatan inti atau pemberi kontrak dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani plasmanya. Jadi dalam model contract farming ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan /menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasanbatasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah) yang kerap tidak bisa disetarakan dengan jumlah tenaga yang harus dikeluarkan. Pada banyak kasus, petani-petani tidak dapat terlibat di pasar bebas tersebut tidak mereka miliki. Akses yang bersifat infrastruktur maupun struktur pasar bebas dari komoditi-komoditi tertentu memang kerap tidak tersedia.
2.3.1.1 Sistem Kontrak Pertanian Dalam Hubungannya dengan Keterkaitan Usaha-usaha Agribisnis Secara Vertikal
17
Didalam sistem agribisnis beberapa pakar berpendapat bahwa adanya kebutuhan untuk mengkoordinasikan rangkaian kegiatan antara manajemen penyediaan (supply) komoditi pertanian secara vertikal akan mendorong untuk menciptakan potensi yang menyangkut peranan baru dari kegiatan kontrak-kontrak pertanian.
Kontrak
tersebut
merupakan
sebagai
salah
satu
cara
untuk
menghubungkan (yang saling membutuhkan) antara para petani kecil dan pengrajin kepada kegiatan- kegiatan di luar usahatani, sehingga dapat menjadikan komoditas pertanian menjadi bernilai tinggi di dalam pasar komoditi, terutama dalam hubungannya
dengan
liberalisasi
ekonomi
dalam
menghadapi
globalisasi
perdagangan dunia yang akan diberlakukan tahun 2003. Oleh karena itulah dengan timbulnya persyaratan bagi sistem pertanian baru ini, dimana tata-niaga dan perdagangan komoditas bahan-bahan pangan dan non-pangan menjadi terlibat dalam kontrak-kontrak produksi maupun tataniaga dengan para petani dan industriawan di negara maju; atau bagi kepentingan Indonesia untuk mencapai koordinasi yang diperlukan, guna dapat mnyediakan (supply) dalam ukuran ketepatan jumlah, mutu maupun waktu penyampaian (delivery) dari komoditi pertanian yang diperlukan. Sistem kontrak produksi pertanian dapat mempunyai berbagai bentuk-bentuk yang agak beragam, tetapi esensinya terdapat dalam bentuk kontrak pertanian dan industri kecil, dimana seorang pedagang/tengkulak berkontrak dengan para petani atau para pengrajin untuk membeli suatu jumlah dan kualitas dari hasil produksi pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang ditentukan dan disetujui secara bersama. Tingkat harga komoditas pertanian mungkin dapat menjadi tetap (fixed)
18
pada musim tanam atau tingkatnya ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran pasar pada musim panen. Dalam banyak pengalaman, terjadi manfaat/keuntungan bagi para petani dari adanya akses petani kepada informasi teknologi dan jasa-jasa penyuluhan yang diberikan oleh para pedagang/tengkulak. Sering juga para pedagang/tengkulak memberikan input-input (produksi) atas dasar kredit pendahuluan. Dengan adanya kontrak usahatani (contract farming) diharapkan akan mengurangi kerugian dari kedua resiko-resiko baik berupa resiko produksi maupun resiko tataniaga melalui jaminan yang meyakinkan terhadap sumber persediaan (supply) dengan persyaratan kualitas yang khusus dan waktu tertentu tertentu kepada pengolah hasil maupun kepada tengkulak perantara, dan menjamin kepada petani suatu pasar penjualan yang segera dapat dilakukan, sebagai saluran penjualan bagi hasil-hasil produksinya, maupun akses terhadap input-input yang diperlukan. Jenis kontrak ini sudah biasa dilakukan untuk tanaman tahunan (perennial) seperti kopi, kapas, dan yang bersifat musiman seperti sayuran yang diolah dan dikalengkan serta komoditi yang sangat mudah busuk (highly perishable commodities) termasuk sayur-sayuran dan susu. Praktek seperti ini banyak dilakukan baik di negara Afrika, di Asia (termasuk Indonesia), maupun Amerika Latin yang mempunyai pengalaman dalam kontrak-kontrak pertanian untuk kopi, teh, coklat, kacang-kacangan, susu, asparagus, tomat, terung jepang, kacang jepun (edamame), ocra, dll. Kontrak pertanian, dari sudut lain tidak dapat dianggap sebagai suatu obat mujarab untuk segala penyakit (is not a panacea) dalam hubungannya dengan keperluan tujuan mengintegrasikan para petani kecil dalam kaitannya kepada pasar
19
global yang bernilai tinggi. Skim kontrak pertanian juga banyak dirundung persoalanpersoalan di masa lampau, seperti ketidakmampuan untuk memaksakan kontrakkontrak (inability to enforce contract) kepada para petani, karena tidak seimbangnya kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power) antara para petani produsen atau pengrajin dan para pedagang perantara (tengkulak) yang biasanya mempunyai perilaku monopsonistik dari para tengkulak yang bersangkutan, dimana keadaan ini cenderung mengeksploitasi rente monopsoni (monopsony rent). Bahaya dari beberapa skim kontrak pertanian juga terjadi dimana bahwa kontrak tersebut sepertinya menggantikan otoritas para pengambil keputusan dari setiap petani dengan menyerahkannya kepada para pengolah bagian hilir (downstream processors), atau para distributor yang dapat menjadikan seolah-olah para petani itu sebagai semacam tenaga-kerja/buruhnya (quasiemployees). Persoalan lain yang dihadapi pada kontrak pertanian atau industri kecil berhubungan dengan biaya-biaya transaksi per unit yang tinggi yang disebabkan oleh kontrak tersebut, yang sebagian harus ditanggung oleh para petani yang berskala kecil. Tambahan pula, dapat dipahami bahwa para petani ini menghadapi persoalan-persoalan yang lebih besar dalam memenuhi persyaratan kualitas dan keamanan hasil pertaniannya atau produk setengah (jadi) olahannya (intermediate products); dan karenanya dari pengalaman menunjukkan bahwa kontrak- kontrak pertanian dan industri kecil akan lebih menguntungkan bagi para pelaku agribisnis yang usahataninya berskala medium sampai besar, seperti yang dilaporkan oleh Key and Runsten (1999). Faktor-faktor ini dapat menyumbang kepada terjadinya bahaya bahwa para petani kecil yang mungkin akan tersisishkan (terkucilkan) dari
20
manfaat/keuntungan karena sistem pengaturan-pengaturan kontrak pertanian yang terjadi. Jika kita menerima anggapan pendahuluan bahwa kontrak-usahatani merupakan suatu alat agar para petani kecil dapat betahan dalam keterlibatannya dengan pasar-pasar bersaing untuk produk-produk tanaman pertanian dan hasil peternakan bernilai tinggi (high valued crops), maka sekarang menjadi penting untuk dapat
mengambil
pelajaran
dari
kontrak-usahatani (contract farming) dan
menggunakan institusi ini guna memperbaiki kelembagaan yang sedang bekerja dan sekarang
berlangsung.
Dengan
melalui
evolusi
dan
mengarah
kepada
kecenderungan yang meningkat kepada keperluan adanya koordinasi vertikal di bidang usaha pertanian, maka kerangka konsep teoritis untuk mengevaluasi perkembangan institusi yang menyangkut koordinasi tersebut juga mengalami evolusi secara dinamik. Beberapa kerangka dari evaluasi perkembangan tersebut juga mengalami beberapa perubahan- perubahan. Beberapa aspek yang menyangkut apa yang disebut ekonomi institusional yang baru (New Institutional Economics, NIE) seperti teori kontrak (contract theory), hubungan-hubungan agensi (principal-agent relations); kontrak yang tidak lengkap (incomplete contracts ), teori permainan (game theory), biaya-biaya transaksi (transactions costs), dan batas-batas kegiatan usaha (boundaries of the firms), sekarang menjadi pusat perhatian utama (key focus areas) seperti yang dikemukakan oleh Barry e.t al. (1992). Kerangka berpikir teoritis ini bermanfaat dalam upaya untuk menganalisis hubungan-hubungan antara petani (agent) dan koordinator/negosiator dari agribisnis (principal), dimana pengambilan keputusan
21
tentang luasnya (scope) dari koordinasi vertikal dan spesifikasi-spesifikasi kontrak yang berhubungan, dapat mempengaruhi posisi finansial dan kinerja dari kedua belah pihak principal dan agent. Dalam kontekstual kontrak-usahatani (contract farming), kerangka berpikir ini dapat dipergunakan untuk menganalisis dan memecahkan persoalan- persoalan yang secara khusus banyak menjadi kendala dan sering mengarah kepada putusnya hubungan-hubungan kontraktual pertanian maupun industri kecil di wilayah perdesaan.
2.3.1.2 Sistem Kontrak Pertanian Non Formal dan Manejemen Resiko di Perdesaan Meskipun kontrak usahatani dapat bersifat informal di wilayah perdesaan, tetapi tujuan utama dari pengaturan-pengaturan kontrak adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian lebih besar dari resiko pertanaman (seperti bencana alam karena banjir dan kekeringan atau serangan hama dan penyakit) disamping juga untuk menangkal terhadap resiko yang datang dari terjadinya fluktuasi harga-harga (market risk) yang disebabkan oleh sifat dari komoditas pertanian yang mudah busuk (perishability). Adanya kemungkinan untuk mempertukarkan resiko (trading risk) yang secara teknis disebut asuransi (insurance) yang bila dilakukan secara formal pada pasar yang bersaing akan meminta biaya-biaya transaksi yang tinggi. Oleh karena itu di wilayah perdesaan untuk mengatasi resiko-resiko diatas dibentuk kontrak non-formal sebagai alternatif institusional yang berdasarkan mekanisme saling percaya mempercayai (trust building mechanism) antara para petani dan pedagang/tengkulak. Sistem kontrak non-formal ini dianggap lebih efisien jika
22
dilakukan melalui sistem kontrak tersebut di luar mekanisme institusi pasar (extramarket institution) karena biaya-biaya transaksinya kecil, yang banyak disaksikan terjadi di wilayah-wilayah perdesaan. Dalam kenyataan, sistem pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian tradisional yang ukuran usahataninya kecilkecil. Oleh karena itu sistem produksi pertanian seperti ini dicirikan oleh volume produk-produk yang dihasilkan dengan keadaan kualitas dan kuantitasnya terkena oleh ketidak-pastian (uncertainty), karena produksinya kecil-kecil yang selanjutnya menimbulkan ketidak pastian kepada pasar dengan mengalami fluktuasi hargaharga yang besar. Di pihak lain, karakteristik permintaan dalam pasar komoditi adanya jaminan (asuransi) produksi tidak bersifat homogen, jika dibandingkan dengan pasar komoditas indusri umpamanya. Dengan sifat permintaan yang demikian, jika diterapkan kedalam struktur pertanian seperti di atas, yang didominasi oleh pertanian kecil-kecil itu, tidaklah mengherankan bahwa pasar jaminan (asuransi) formal tidak dapat dilaksanakan sehingga pasarnya tidak terwujud (missing market). Namun demikian, karena sifat permintaan terhadap penanggulangan resiko (asuransi) pada petani tetap ada, maka sifat permintaan tersebut mengalami fragmentasi karena lahan petaninya kecil-kecil yang jumlah petaninya berjuta-juta orang mempunyai kadar resiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu terjadinya persoalan kemungkinan petani beresiko tinggi, akan menimbulkan kesalahan dalam menseleksi mereka sebagai calon nasabah, maka akan timbul fenomena apa yang disebut adversely selection of risk, yaitu kemungkinan kesalahan menyeleksi mereka yang beresiko tinggi dibanding dengan mereka yang baik-baik. Masalah lain yang dihadapi pasar asuransi pertanian (crop
23
insurance) adalah adanya fenomena lain yang timbul karena terjadinya kelalaian pada nasabah yangtelah diasuransikan yang disebut cenderung mengalami kerusakan moral (moral hazard) (Anwar, 2003) , tetapi dalam pasar asuransi bidang pertanian tradisional yang mempunyai karakteristik bahwa hubungan antar individu di perdesaan lebih bersifat personal yang biasa menggunakan mekanisme norma sosial yang dianut dalam tatanilai masyarakat ini, maka dalam sistem asuransi tradisional, antara lain berlaku berdasarkan hubungan atas saling percaya mempercayai (trust building mechanism), sesuai dengan kebiasaan hidup dan adat masyarakat perdesaan yang berlaku di wilayah ini. Hubungan personal dalam kelembagaan masyarakat tradisional (berbeda dengan sistem harga yang impersonal) mempunyai fungsi penting dalam menekan biaya-biaya transaksi pada sistem ekonomi perdesaan yang biasa menganut norma sosial dengan tatanan adat yang mengandung sanksi-sanksi dan ganjaran (rewards and sanctions) baik yang bersifat sosial maupun ekonomi. Keadaan fragmentasi pasar perdesaan yang masing-masing bersifat tidak lengkap (incomplete market), maka pasar asuransi perdesaan mengarah kepada pasar yang sifatnya tidak sempurna (inperfect market). Keadaan pasar seperti ini biasanya disebabkan oleh buruknya keadaan infrastruktur (terutama jalan, jembatan dan sistem komunikasi), seperti yang banyak berlaku di wilayah perdesaan di luar Jawa. Sehingga aliran informasi menjadi terbatas atau sulit penyampaiannya sama sekali, terutama yang dialami oleh masyarakat di wilayah yang jauh-jauh dan terisolasi. Keadaan imperfeksi pasar yang berkaitan dengan keadaan lingkungan dan adat istiadat di atas, selanjutnya mendorong timbulnya berbagai sistem pengaturan
24
sosial (social arrangements) yang berupa norma-norma berfungsi sebagai subtitusi dari ketidak hadiran jaringan sistem legal yang lebih kompleks yang terdapat pada pasar jaminan asuransi formal. Pada pasar asuransi formal dengan kerangka sistem legal yang demikian, maka bentuk pasarnya bersifat yang lebih homogen (karena komoditas asuransi dibakukan dalam sistem legal yang serbasama) dengan para nasabahnya sama-sama juga memahami sistem tersebut, antara lain dicirikan oleh lebih jelasnya penegasan property right, aturan kontrak-kontrak yang formal yang dapat dilaksanakan (enforceable), sehingga lebih mengandung jaminan kepastian. Tetapi persyaratan-persyaratan pasar asuransi formal yang demikian tidak dapat diwujudkan dalam kebanyakan sistem ekonomi perdesaan. Karenanya persyaratan dan kondisi pasar asuransi formal ini di kebanyakan ekonomi perdesaan tidak dapat dipenuhi. Dengan tidak dapat dipenuhinya persyaratan tersebut, pengusaha asurasi formal akan meninggalkan segmen pasar asurasi pertanian di perdesaan, sehingga mudah menimbulkan terjadinya kekosongan pasar (vacuum). Di lain pihak dengan tingginya
resiko
di
bidang
pertanian,
sebenarnya
permintaan
terhadap
penanggulangan resiko (melalui asuransi) pada masyarakat perdesaan tetap besar, sehingga keadaan tersebut mendorong untuk munculnya upaya membentuk asuransi jenis lain yang menggunakan institusi sistem asuransi informal. Oleh karenanya dalam bentuk tradisional yang menyatu dengan adat kebiasaan/kultur masyarakat perdesaan, para petani sering berupaya untuk menanggulangi resiko membuat inovasi kelembagan baru yang berupa asuransi informal, seperti yang terdapat dalam praktek pembagian resiko (risk sharing). Cara-cara ini telah banyak dipraktekkan masyarakat pertanian di wilayah perdesaan, yang pada hakekatnya
25
merupakan bentuk pertukaran resiko dengan pihak petani lain melalui berbagai bentuk sistem aturan penyakapan lahan dengan cara-cara: bagi hasi maro, mertelu, dan sewa atau bentuk-bentuk institusi lain yang variasinya. Contoh lain dalam penanggulangan resiko pada masyarakat tradisional, sejak waktu dahulu, -umpamanya dimana penerapan teknologi masih rendah (tradisional) --, maka resiko yang sering datang dari alam harus dihadapi petani dengan tegar. Oleh karena itu, untuk menanggulangi tersebut petani harus mencari seorang pelindung (patron) yang biasanya seorang petani kaya dengan mempunyai lahan luas. Namun sebaliknya, ketika suppy tenaga kerja masih terbatas, seorang patron juga membutuhkan tenaga kerja (client) yang terjamin (kesetiaannya), agar semua lahannya dapat digarap dengan berhasil baik. Dengan demikian, kedua pihak yang saling memerlukan mendorong pertukaran resiko masingmasing, sehingga terjadilah keadaan keseimbangan yang saling menguntungkan, yang mengarah kepada terbentuknya suatu kelembagaan yang disebut hubungan patron-client atau principal-agent relations (menurut literatur ekonomi informasi).Dari sudut pandang ilmu ekonomi sebenarnya praktek asuransi seperti di atas merupakan tindakan pengelolaan resiko (risks management) yang mengakomodasikan kepentingan individu-individu untuk mempertukarkan resiko-resiko (to exchange the risks). Tindakan tersebut bertujuan untuk mengatasi resiko kerugian karena kegagalan yang kemungkinannya lebih parah yang akan dihadapinya. Kemudian para produsen (petanipetani) yang bersangkutan dapat mentransfer resiko tersebut kepada pihak penjamin (insurer dengan melakukan 'pembayaran' tertentu dalam
26
bentuk premium harga yang biasanya lebih rendah dari harga pasar yang harus diterimanya. Di wilayah perdesaan, kebanyakan para petani berupaya untuk mengatasi resiko, dengan mengelola resiko tersebut melalui cara kontrak informal. Tujuan dari pengaturan kontrak ini adalah untuk menghindari kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh resiko alami maupun resiko dari kejatuhan harga terutama apabila terjadi panen raya, karena sifat mudah busuk (perishability) dari hasil-hasil pertanian maka bilamana hasil tersebut tidak cepat dijual harganya akan jatuh sekali. Proses dalam mempertukarkan resiko ini tujuannya adalah untuk menghindari biayabiaya transaksi dari pasar asuransi formal yang biayanya jauh lebih tinggi (bila polis asuransi dibeli oleh petani dalam pasar asuransi formal). Oleh karena itu, melalui cara mempertukarkan resiko secara informal seperti melalui praktek ijon (hasil produksinya belum masak panen) yang didasarkan kepada saling percaya (trusts building mechanism) antara tengkulak dan para petani) dapat dipandang sebagai prosedur yang lebih efisien apabila dilakukan melalui institusi perdesaan yang banyak kita saksikan di wilayah-wilayah perdesaan. Seperti diketahui, resiko-resiko itu tidak dapat dihilangkan, tetapi untuk menghindari kerugian karena resiko, maka resiko dapat di-managed. Salah satu cara untuk memanage resiko tersebut adalah melalui pengaturan kontrak informal (seperti melalui future trading) dalam rangka memanage resiko-resiko tersebut. Tujuan dari pengaturan kontrak itu karenanya untuk meminimumkan resiko kerugian yang lebih besar disbanding tanpa kontrak. Dalam kontrak informal biasanya petani dan tengkulak (traders) dimana petani menghadapi resiko kemungkinan kejatuhan harga pada waktu panen dan pedagang
27
menghadapi resiko dari tidak dipenuhinya volume yang akan dikirim kepada kontaktor yang lebih besar di kawasan kota (supper market misalnya). Oleh karena itu pengaturan kontrak memungkinkan individuindividu mempertukarkan resikoresiko (exchanging risks) demi untuk memperoleh kepastian (certainty) dengan bayaran kerugian yang lebih kecil melalui kontrak informal. Cara kontrak informal ini ternyata memberikan biaya-biaya transaksi yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan melalui pasar asuransi formal. Resiko yang biasanya dihadapi oleh para pedagang adalah resiko tidak terpenuhinya volume hasil produksi kepada kontraktor diluar wilayah perdesaan, sehingga tengkulak membutuhkan upaya koordinasi dengan para petani untuk dapat memenuhinya dengan membayar kredit pendahuluan berupa ijon.
2.3.1.3 Pasca Kontrak Antara Pedagang pengumpul dengan Petani Model contract farming ada yang memberikan peluang kepada pihak pengumpul untuk mengontrol proses produksi dan mengatur keuntungan yang bisa diraih, dapat dilihat dari bentuk kontrak dan bentuk pasar yang diciptakan. Meskipun untuk mencapai tujuan ini masih diperlukan faktor-faktor pendukung lainnya, seperti penguasaan manajemen usaha yang handal dan sistem kontrol yang juga handal. Penyimpangan ini terjadi karena tidak terpenuhinya kedua hal di atas. Banyak petani sering menjual hasil – hasil produksinya keluar . Kebebasan yang dimiliki petani tidak melulu disebabkan oleh kondisi lingkungan yang masih memungkinkan petani untuk menjual hasil pertaniannya ke luar pihak, melainkan karena tidak diterapkannya sanksi-sanksi hukum secara nyata yang menyertai ikatan-ikatan yang
28
telah ditentukan dalam kontrak. Sehingga struktur pasar yang direncanakan merupakan pasar bebas-monopsoni sedangkan struktur pasar yang berkembang merupakan pasar bebas-pasar bebas. Melihat struktur pasar tersebut tampak bahwa petani dalam contract farming memiliki
kebebasan dan keberdayaan untuk
menerobos tekanan struktur ikatan contract yang melingkupinya. Keberdayaan yang dimiliki pihak pengumpul
lebih disebabkan oleh pihak pengumpul yang tidak
mengembangkan mekanisme pengikat agar petani tidak bebas bergerak. Pihak pengumpul tidak memberikan dana kepada petani akibatnya tidak dapat mengikat petani. Ikatan kontrak tidak disertai oleh sanksi hukum. Dalam hal ini perlu diciptakan struktur pasar, yang memberikan peluang usaha untuk menguntungkan pihak petani dari pada perusahaan/ pihak pengumpul. Apapun
bentuk
hubungan
kontrak
yang
terjalin,
pada
hakekatnya
perusahaan/ pihak pengumpul ingin menguasai pasar agar kendali harga pembelian hasil produksi maupun penjualan input dapat memperbesar keuntungannya dan proses akumulasi kapitalnya bisa berlangsung terus. Oleh karena itu, model pasar monopoli-monopsoni merupakan satu model ideal bagi suatu perusahaan/ peagang pengumpul yang mengembangkan hubungan produksi dengan petani kecil melalui kontrak. Pada satu sisi, jaminan kualitas hasil produksi yang bisa terkontrol selalu menjadi alasan untuk menguasai pasar atau menciptakan pasar yang monopolis. Alasan kualitas hasil produksi ini kemudian selalu dimanfaatkan untuk menguasai aspek-aspek produksi yang seharusnya menjadi porsi dan hak petani untuk menentukannya, jika pasar yang berkembang adalah pasar bebas atau jika petani mendapatkan satu perlindungan penuh dari negara. Pasar yang monopsonis
29
kemudian dibangun melalui penutupan akses informasi terhadap pasar lainnya. Dengan kata lain, pasar yang dapat dikendalikan sektor privat akan selalu diupayakan oleh perusahaan/ pedagang pengumpul yang berkembang di alam kapitalisme. Untuk kepentingan ini mereka akan melakukan apa saja, termasuk membangun kerjasama dengan negara baik secara langsung maupun melalui kebijakan negara yang telah imbas tidak lagi mementingkan perkembangan ekonomi rakyat secara nyata, bukan di tingkat slogan dan retorika. Salah satu fungsi utama pasar yang efisien adalah memberikan fasilitas bagi arus informasi harga. Secara ideal, harga aktual yang terbentuk berdasarkan informasi tersebut harus mencerminkan kondisi penawaran dan permintaan produk. Harga yang efisien sebenarnya dapat memberikan sinyal mengenai kelangkaan sumberdaya dan pereferensi konsumen (Adamowicz et al., 1984). Pada kenyataannya, penetuan harga yang efisien tersebut sangat sukar dilakukan karena adanya interaksi kompleks berbagai faktor di dalam sistem pemasaran. Besaran aktual dari suatu harga yang efisien sukar untuk diestimasi, namun informasi menyangkut arah perubahan harga (a lead or a lag structure – direction of price change) dapat pula digunakan sebagai indikator berkaitan dengan isu efisiensi penetapan harga (Higginson et al., 1988). Perusahaan / pedagang pengumpul sangat bergantung pada situasi pasar yang harus mereka hadapi
untuk memasarkan hasil produksinya lebih lanjut.
Namun, selama mereka masih bisa masuk kedalam pasar ini boleh dikatakan situasinya lebih baik dibanding dengan situasi yang harus dihadapi petani di pasar tertutup akibat hubungan kontraknya dengan pihak perusahaan / pedagang
30
pengumpul. Ketika harga hasil produksi perusahaan/pedagang pengumpul mengalami penurunan, mereka masih dapat menekan petani untuk memikul bebannya dengan cara merendahkan kembali harga beli atau menolak menerima hasil produksi dengan berbagai teknis yang sebetulnya merupakan upaya untuk mengontrol optimalisasi produksi. Sementara itu, petani harus menerima tekanan ini karena mereka terikat kontrak dengan pihak perusahaan/pedagang pengumpul dan posisi tawar mereka lebih rendah dibanding dengan posisi tawar pihak perusahaan/pedagang pengumpul. Melalui struktur pasar tertutup yang dibangun antara perusahaan / pedagang pengumpul dan petani, perusahaan/ pedagang pengumpul dapat memperkecil resiko kerugian dengan cara melimpahkannya kepada petani yang “harus” menerimanya. 2.3.1.4 Mekanisme Penegakan Kontrak Melalui Norma Sosial Kontrak melalui ikatan kredit bersifat kompleks dan elusif benar-benar ditegakkan secara mandiri, tanpa melibatkan aturan formal atau mediasi organisasi formal/semi formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta asosiasi petani buah-buahan/sayur-sayuran. Sayangnya, terdapat
sejumlah informasi yang
menyebabkan kontrak menjadi bias seperti tidak ada petani yang dikenakan denda karena menjual hasil panen sayuran kepada selain tengkulak yang telah memberikan kredit kepada mereka. Mengapa hal ini dapat terjadi, karena petani merasa malu atau takut untuk melakukan tindakan tercela (moral hazard) tersebut karena reputasi mereka akan jelek di mata masyarakat. Tekanan sosial baik rasa malu ataupun rasa takut merupakan implikasi keberadaan norma sosial untuk menghukum petani berlaku curang terhadap petani lainnya. Mekanisme penegakan
31
melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila petani dan tengkulak merupakan anggota masyarakat desa yang sama, dimana anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara geografi maupun karena hubungan kekerabatan/persahabatan. Aksi spontan secara bersama-sama yang diorgani-sasikan dalam sebuah desa bertujuan untuk menghindari masalah penunggang gelap (free riders), tentu saja mekanisme penegakan yang kuat tersebut hanya akan efektif diterapkan dalam komunitas masyarakat yang kecil. Keberadaan norma semacam itu akan meneyebabkan bias yang luas dalam penetapan biaya kontrak, dimana tidak hanya pembias yang mengalami kerugian dalam kontrak sedang berjalan.
Di masa mendatang reputasi petani tersebut
menjadi buruk dimana ia tidak memiliki peluang memperoleh kontrak kredit dengan anggota masyarakat yang lain. Mekanisme penegakan kontrak melalui norma sosial tidak hanya berlaku bagi petani tetapi juga tengkulak. Meskipun tidak dirinci secara eksplisit, hal ini dapat diasumsikan bahwa petani menerima harga penjualan hasil panen secara adil, yang dikonseptualisasikan sebagai perbedaan harga jual tengkulak dengan standar keadilan bagi semua anggota masyarakat di dalam komunitas tersebut. (perspektif yang berbeda dengan konsep tersebut dikenal dengan teori dilemma pedagang / theory of traders dilemma ). Tegkulak akan dikenakan sanksi sosial, jika mereka menyebabkan bias secara signifikan terhadap klausul kontrak yang implisit tersebut yang mengharuskan membayar produk petani berdasarkan harga yang adil. Hal ini dibuktikan dengan adanya seorang tengkulak yang beroperasi di wilayah penelitian (walaupun hanya isteri keduanya berasal dari desa tersebut) dihentikan suplainya
32
oleh petani karena melakukan pembayaran harga yang tidak adil. Secara de facto penghentian tersebut diorganisasi oleh petani berdasarkan norma sosial dan aliran informasi yang lengkap dalam sebuah desa. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya mengakui bahwa dalam pasar yang bersaing akan membuat sanksi tersebut menjadi lebih dapat dipercaya (reliable). Petani sayur – mayur atau buah-buahan biasanya melakukan penjualan produk secara kontinu berdasarkan harga yang ditawarkan oleh tengkulak yang menjalin ikatan kredit kontrak dengan petani. Namun hal ini tidak berarti kekuatan monopoli berada di tangan tengkulak. Dalam pasar yang lebih kompetitif, petani dapat dengan mudah beralih kepada tengkulak lain pada musim berikutnya, jika harga yang ditawarkan tengkulak jauh lebih rendah secara relatif terhadap harga pasar. Namun, tentu saja kekuatan monopsoni dapat menangkap rente monopsoni (suatu kelebihan di atas rata-rata keuntungan) dari aktivitas ekonomi, ketika tidak terdapat pesaing lain dalam pasar produk lokal. Berikut merupakan diagram yang menggambarkan informasi unsure-unsur yang berpengaruh terhadap posisi rebut tawar dalam kontrak agribisnis dalam kaitannya dengan peranan sejarah dan tradisi dalam norma sosial jauh sebelum kontrak itu terjadi, khususnya yang berperan dalam terciptanya kontrak pertanian dan agribisnis ke arah perubahan kelembagaan dan akumulasi asset baik pada tingkat petani maupun pedagang.
33
Aset Petani : - Pendidikan - Pengalaman - Lahan usaha - Aset lain seperti rumah - Pendapatan, - Sosial
Aset Perdagang : -
Pendidikan, Pengalaman Lahan Rumah Aset lain Keuangan Sosial
Penerapan agribisnis : - Pengawasan kualitas / kuantitas, - Metode pembayaran, - hubungan kerjasama dan jaringan kerja, - Perjanjian kontrak - Penggunaan antara, - Pencarian informasi - Pengukuhan hak - Penegakan hukum, - Investasi &spesialisasi
34
Aktivitas Komersial : - Penjualan - Transportasi - Penyimpanan, - Transformasi(bentuk,ukuran)
Kinerja : - Biaya, - Marjin, - Keuntungan.
- Biaya operasi Tetap, - Biaya operasi variabel - Biaya variabel pemasaran, - Biaya transaksi
- Arbitrase Antar Wilayah (Perdagangan antar wilayah ) - Arbitrase antar waktu (Penyimpangan) - Arbitrase antar bentuk (pengolahan).
Gambar 1. Hubungan Unsur-unsur yang Dapat Mempengaruhi Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak Pertanian di Wilayah Perdesaan. 2.3.1.5 Kontrak Melalui Ikatan Kredit Pendahuluan, dikenal sebagai Ijon Kontrak-kontrak non-formal dalam aktivitas agribisnis traditional biasa dilakukan
oleh
para
pengumpul
antar-desa
(inter-village
collectors)
yang
menciptakan kelembagaan untuk memastikan more exact persiapan dan koordinasi dalam mengumpulkan produk-produk pertanian seperti buah-buahan dan sayuran kedalam ukuran volume yang besar guna dikirim ke kota-kota besar seperti Jakarta melalui cara ikatan kredit pendahuluan (tanpa bunga) yang sering disebut ijon
35
(masih hijau) kepada para tengkulak pengupul di perdesaan untuk jaminan agar produk-produk yang telah dikumpulkan dapat dihimpun kepadanya. Ikatan kredit kepada tengkulak tingkat bawah (di suatu desa) oleh tengkulak tingkat atas (antara desa) banyak dilakukan untuk jagung dan kedele misalnya. Untuk komoditi pertanian tengkulak antar desa sering memberikan kredit pendahuluan jangka pendek) kepada pengumpul di desa atau kampong untuk membeli komoditi pertanian yang dapat disimpan kepada petani. Dalam pemasaran buah-buahan dan sayuran ikatan kredit dilakukan antara tengkulak dan petani (pada masa hasil produksi masih hijau) untuk menjamin bahwa pengiriman penjualannya oleh petani kepada tengkulak ilakukan secara tepat, karena tengkulak harus memastikan volume kiriman kepada kontraktor lain diluar desanya. Pemberian kredit oleh tengkulak juga dapat berbentuk pupuk atau pestisida, terutama hal ini terjadi pada petani buah-buahan atau sayuran pada musim tanam atau musim pemupukan pohon. Bahkan dalam hal petani buah mangga, bantuan kredit tersebut bukan hanya berbentuk barang atau uang, tetapi juga alat memetik buah dengan gunting agar buah mangganya bersih, tidak mengandung getah. Meskipun perjanjian kontrak tidak tertulis, tetapi secara implicit dalam kontrak tersebut mengandung bagian sanksi bahwa apabila petani yang sudah diberi kredit pendahuluan menjual hasilnya kepada tengkulak lain dapat dikenakan denda (mungkin beberapa ratus rupiah per kilogramnya) yang dikenakan kepada petani yang melanggar. Biasanya pembayaran kembali kredit dilakukan dengan mengurangkan dari pendapatan penjualan hasil buah-buahan atau sayuran pada waktu panen. Namun skedul pembayaran kredit dapat dilakukan secara fleksibel tetapi pada umumnya
36
dalam selang waktu dua atau tiga bulan. Ikatan kredit pada buah-buahan dan sayuran tujuan utamanya adalah untuk jaminan ketepatan pengiriman dalam jumlah dan waktu untuk komoditas mudah busuk dalam system pemasarannya dan bukan karena sekedar untuk memperoleh uang atau pupuk dan pestisida saja. Ikatan kredit umpamanya tidak terdapat pada tanaman tembakau, karena petani memerlukan pupuk dan pestisida yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh petani sayuran dan buah-buahan. Apabila para petani diikat oleh kredit pendahuluan oleh para tengkulak di suatu desa, tengkulak di desa itu juga diikat oleh kredit dari tengkulak antar-desa. Untuk memberikan kredit dalam bentuk pupuk, tengkulak di desa memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa berupa uang cash dengan syarat ketentuan yang sama sebagaimana kontrak yang dilakukannya dengan para petani. Untuk kedua tengkulak desa dan antardesa, sukubunga yang dikenakannya tidak secara jelas ditentukan. Biasanya kredit dari tengkulak antar-desa untuk membeli komoditi yang dapat disimpan seperti kedele menggunakan kredit dengan jangka waktu sangat pendek, mungkin kurang dari seminggu sehingga sukubunga yang dikenakan sangat kecil atau diabaikan. Dalam hubungan dengan yang terakhir ini, maka kiranya kurang masuk akal, apabila kredit tersebut tidak dikenakan sukubunga untuk masa dua bulan, mengingat di wilayah perdesaan biasanya dicirikan oleh ekonomi dengan kelangkaan modal yang ketat di wilayah perdesan dan tingginya sukubunga. Tetapi mengingat para tengkulak memerlukan jaminan ketepatan waktu dan jumlah pengiriman barang pertanian yang dihimpun dari para petani, maka pemberian kredit
37
tanpa bunga (dapat) merupakan bayaran yang harus ditanggung tengkulak untuk memperoleh kepastian perolehan barang yang lebih besar. Cara lain dalam kontrak antara petani dan tengkulak biasa dilakukan dengan menggunakan perbedaan harga-harga (differential prices) pupuk
dan pestisida.
Tengkulak dapat membeli input-input ini dalam jumlah besar dengan memberikan kredit pendahuluan kepada banyak petani dimana pembelian input oleh tengkulak dikenakan harga yang lebih rendah dibanding dengan pembelian masing masing petani yang jumlahnya lebih kecil. Umpamanya jika tengkulak dapat membeli pupuk dari pedagang agent (dealer) besar di kawasan perkotaan dalam jumlah besar biaya pembelian beberapa ton termasuk biaya transportnya akan lebih kecil, sedangkan harga yang dikenakan kepada para petani lebih tinggi dimana pada tingkat harga ini sama yang dibayar oleh petani untuk membeli pupuk satu dua karung kepada kioskios pupuk di desa-desa. Dengan cara ini, tentunya operasi kredit tengkulak di desa menjadi menguntungkan, terutama jika tengkulak desa tersebut memperoleh kredit dari tengkulak antar-desa dengan pinjaman tanpa bunga. Jika dia harus mengoperasikan dana untuk dipakai sebagai kredit pengikat, maka biaya kredit tersebut akan hampir sama besarnya dengan bunga yang diperolehnya. Sekarang bagaimana sukubunga dikenakan kepada kredit pendahuluan dari tengkulak antardesa kepada tengkulak di dalam desa?. Biaya kredit (suku bunga) untuk tengkulak antar-desa biasanya jauh lebih rendah dibanding dengan tengkulak di dalam desa, karena tengkulak antar-desa lebih mempunyai agunan (kolateral) dan sebagian karena besarnya jumlah pinjaman juga lebih besar, sehingga biaya transaksi per unitnya jauh lebih kecil. Demikian pula karenanya jangka waktu kreditnya lebih
38
pendek bagi tengkulak antar-desa disbanding dengan jangka waktu kredit tengkulak di dalam desa. Biasanya tengkulak antar-desa mempunyai ikatan kontrak kredit dengan banyak tengkulak-tengkulak pengumpul di beberapa tempat yang satu sama lain berbeda dalam keadaanlingkungannya dimana musim-musim bertanam dan panennya berbeda pula. Oleh karena itu tengkulak antar-desa dapat memulihkan kreditnya kembali dari tengkulak dalam desa diberbagai tempat satu per satu secara terus menerus dimana dia dapat memotong pembayaran kembali kredit yang telah diberikannya dari hasil penerimaan pendapatan sejumlah besar penjualan buahbuahan dan sayuran yang disampaikan kepadanya dari beberapa musim dalam setahun. Dari hasil perolehan pembayaran kembali kredit tersebut dari salah satu desa pada musim panen, maka dia dapat memberi dana kredit kepada tengkulak di desa lain pada musim tanam. Dengan cara ini maka kredit jangka panjang itu dapat dirubah menjadi kredit bergulir untuk jangka pendek dengan menghemat secara nyata sukubunga yang dikenakan. Meskipun biaya kredit tersebut dapat hemat untuk tengkulak antar-desa, tetapi besarnya masih positif dan cukup besar. Rupanya mereka para tengkulak harus menanggung biayabiaya yang harus dikurangkan dari keuntungannya, demi untuk memperoleh jaminan (dengan kordinasi lebih baik) antara produksi usahatani dan pemasaran dari komoditi pertanian yang umumnya bersifat mudah-busuk (perishable) guna dapat dikirim kepada pasar-pasar yang lokasinya jauh.
2.3.1.6 Mekanisme Masyarakat Lokal dalam Memberlakukan Kontrak yang Dilaksanakan (Local Communities Contract Enforcement)
39
Dengan memperhatikan betapa kompleks dan rumitnya system kontrak melalui ikatan kredit dalam kontrak informal, tetapi perlu diingat bahawa kredit tradisional ini meski tanpa ikatan formal ternayta dapat ditaati oleh pihak yang melakukan kotrak dengan baik (self-enforced) tanpa adanya campur-tangan intermediasi pihak ketiga, apakah itu melalui organisasi formal (pengadilan), organisasi semi-formal seperti kerapatan masyarakat desa (village assembly) atau asosiasi petani sayuran atau buah-buahan. Meskipun demikian, beberapa informasi mengenai pelanggaran kontrak itu ada dan dapat tersebar kepada warga desa; umpamanya petani-petani yang menjual hasil panen sayuran atau buahbuahan kepada orang lain selain tengkulak yang sudah mengikatnya elalui kredit pendahuluan, tanpa mengalami sanksi sangat sedikit umlahnya. Mengapa mereka tidak berani berlaku curang dalam kontrak informal, meski mereka dapat menutupi penyelewengannya (moral hazard) dari sudut pandang para tengkulak?. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah bahwa para petani akan merasa malu atau takut mempunyai reputasi yang jelek yang dapat timbul dari obrolan dari mulut ke mulut (gossips) beberapa tetangganya yang kebetulan mengetahui penyelewengan mereka. Kedua perasaan malu dan rasa takut kepada tekanan sosial ini berimplikasi adanya norma-norma sosial yang dapat menghukum seorang warga desa yang berbuat curang kepada warga lainnya didesa yang sama. Selanjutnya mekanisme pemaksaan kontrak (enforcement mechanism) yang didasarkan kepada nomanorma sosial akan ditingkatkan terutama apabila warga desa dan tengkulak yang bersangkutan masih merupakan warga asli dari kampung dimana anggota-anggota masyarakat komunalnya masih mempunyai ikatan-ikatan kekeluargaan dengan
40
lokasi kampungnya yang masih kuat. Oleh karena itu di kampung-kampung semacam itu masih terdapat tindakan kolektif yang spontan diorganisasikan didalam kampung sedemikian rupa untuk menghindari adanya “penompang gelap” (free riders) yang dapat merusak upaya tersebut dengan organisasinya. Dalam komunitas yang kecil, interaksi antar warga menjadi lebih intensif, sehingga mekanisme pemaksaan norma (enforcement mechanism) dapat bekerja lebih baik. Dengan berlakunya norma semacam itu, maka harapan biaya (expected cost) dari pelanggaran kontrak akan menjadi lebih besar, karena selain pelanggar kontrak mengalami kehilangan keuntungan dari kontrak yang dilaksanakan, tetapi dengan terjadinya reputasi yang buruk akan menekan dia dari kesempatan-kesempatan masa depan guna memperoleh kontrak yang lain dengan warga desa yang lain yang menguntungkan. Mekanisme kelembagaan masyarakat komunal setempat selain mengikat para petani, tetapi juga mengikat para tengkulak. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan secara spesifik, dari informasi yang diterima dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya para petani itu menerima harga yang wajar (fair prices) untuk produk yang dijualnya (dalam kontrak), jika diperhitungkan dengan harga jual para tengkulak dikurangi dengan marjin yang baku (standard margin). Hal ini berarti bahwa pasar menjadi suatu standard yang fair untuk para warga komunitas desa – suatu perspektif yang bertentangan dengan apa yang diuraikan dalam teori dilemma para tengkulak. Jika para tengkulak ternyata melanggar sekali kontrak implisit dalam kontrak tradisional, maka sebenarnya ada pasal (tidak tertulis) untuk
mengharuskannya
membayar
harga-harga
dasar
pasar
yang
fair
(marketbased fair prices) kepada petani. Jika tidak, mereka akan beresiko menerima
41
sanksi sosial oleh masyarakat. Sehubungan dengan ini dalam salah satu pengalaman penelitian perdesaan pernah ada seorang tengkulak yang dijegal (dihentikan) perolehan supply komditi dari petani, karena berperilaku dengan reputasi buruk karena membayar harga yang tidak fair (dimana tengkulak itu bukan warga asli di desa yang mempunyai isteri kedua yang berasal dari desa disitu). Jadi embargo yang dilakukan diorganisasikan oleh para petani kepada tengkulak yang curang, akan memperoleh hukuman yang didasarkan kepada norma-norma social (social norms) yang efektif yang dibantu oleh derasnya arus informasi yang mengalir di dalam desa. Oleh karena itu penting diketahui bahwa dengan mengorganisasikan adanya pasar bersaing, maka sanksi semacam itu akan lebih terpercaya. Seorang petani buah atau sayuran biasanya akan terus menjual hasil produksinya pada harga-harga yang ditawarkan oleh seorang tengkulak dimana dia telah membuat kontrak dengan ikatan kredit. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tengkulak mempunyai kekuatan monopsonistik, jika masih terdapat persaingan antara mereka. Oleh karenanya pada keadaan kompetitif, jika harga-harga yang ditawarkan tengkulak berada relatif dibawah harga pasar yang berlaku, maka petani dengan mudah akan mengalihkan penjualan hasilnya kepada tengkulak lain dalam musim berikutnya. Namun, jika keadaan desa relative terisolir seperti banyak yang terdapat diluar Jawa sehingga hanya tengkulak tertentu yang bisa masuk kedalam desa tersebut, maka di adapat menjadi monopsonistik yang akan mengeksploitasi rente monopsonistik (monopsonist rent) yang biasa disebut memeras petani. Bentuk pengamanan terhadap resiko (insurance) yang lain dapat bersifat selfinsured. Cara ini dilakukan secara internal, yang biasanya builtin dalam sistem
42
tatanilai budidaya masyarakat desa, seperti penentuan portfolio pola tanam (cropping system) dalam rangka diversifikasi pengusahaan tanaman. Diversifikasi usahatani secara sempit dilakukan dalam bentuk inter-cropping atau multiple cropping, dll. Sedangkan dalam bentuk yang lebih luas dapat berupa Farming system . Sehubungan dengan ini, H.M. Markowitz (1959)2 membuktikan bahwa diversifikasi investasi asset produktif (khususnya lahan) dengan berbagai resiko dan pendapatan yang diharapkan akan meminimumkan total untuk rataan pendapatan tertentu. Petani menghadapi resiko penjualan hasil yang dapat jauh lebih rendah jika petani mencoba memasarkannya sendiri, sehingga dengan ikatan kredit petani dapat terhindar dari resiko yang harus ditanggungnya apabila terjadi kerusakan fisik seperti kalau sayuran dan buah-buah mengalami kebusukan. Dalam pengertian asuransi yang formal, 'pembayaran' tersebut dilakukan dalam bentuk premi. Tanpa adanya asuransi, petani akan mengalami kegagalan pada suatu saat tertentu -- yang walaupun jarang terjadi -- namun nilai kerugiannya seringkali cukup besar, sehingga pendapatannya menurun meskipun dalam kontrak asuransi tersebut kegagalan mungkin saja tetap terjadi. Namun jika tanamannya diasuransikan, pendapatannya tidak akan menurun terlalu banyak, karena petani tersebut akan menerima santunan dari pertanggungan perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi sendiri, nilai harapan total pertanggungan yang akan dibayar kepada petani-petani yang mengalami kegagalan ditetapkan harus sama dengan jumlah total premi yang diterimanya dikurangi dengan marjin keuntungan.
43
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem tataniaga hortikultura yang ada saat ini telah terbina dengan baik. Baik yang dimaksud dalam arti produk hortikultura dari daerah-daerah produsen telah dapat disampaikan kepada konsumen yang umumnya terpusat di kota-kota dan daerah urban lainnya. Namun demikian dari beberapa kasus yang ada menunjukkan masih adanya berbagai masalah yang dihadapi dalam tataniaga hortikultura terutama apabila dikaitkan dengan prospek pengembangan serta upaya peningkatan pedapatan di tingkat petani. Petani dalam melakukan kegiatan usahatani, pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal. Upaya peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produksi, harga jual dan pengurangan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani tersebut sehingga mempengaruhi penerimaan sekaligus pendapatan yang diterima petani. Peningkatan pendapatan usahatani dapat ditempuh melalui peningkatan produksi dan harga jual produk. Peningatan produksi nenas dapat ditempuh melalui intensifikasi dengan menerapkan teknologi budidaya nenas spesifik lokasi yang meliputi kegiatan-kegiatan penggunaan bibit bermutu, pengelolaan gulma yang tepat, pemupukan dan pengendalian ha ma dan penyakit serta peningkatan teknologi pasca panen yang umumnya masih tradisional dengan produk nenas, diversifikasi produk, penciptaan nilai tambah produk dan pemanfaatan produk samping berupa usaha dodol dan makanan ringan lainnya. Faktor-faktor produksi tersebut juga merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani. Keberhasilan usahatani dinilai dari besarnya pendapatan yang diperoleh. Besarnya pendapatan usahatani sangat dipengaruhi oleh
44
besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh, biaya produksi yang digunakan, harga jual, dan jumlah produk yang dihasilkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani nenas di kabupaten Subang adalah mengembangkan kelembagaan petani baik secara vertikal maupun secara horizontal sehingga petani mempunyai bargaining position dalam menghadapi kekuatan pasar. Disamping itu faktor teknologi dalam agribisnis nenas juga mempunyai peranan yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan akibat dari adaya efisiensi dan efektifitas dalam proses produksi, pengolahan hasil dan pemasaran. Teknologi budidaya yang diterapkan petani nenas di Kabupaten Subang masih sangat tradisional, umumnya diusahakan secara monokultur, petani belum menerapkan teknologi budidaya yang tersedia. Pemeliharaan tanaman hanya terbatas pada pengendalian gulma pada saat akan panen sedangkan kegiatan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit umumnya tidak dilakukan. Demikian pula teknologi pascapanen masih sangat tradisional dengan produk masih sekitar nenas segar hanya sebagian kecil yang melakukan diversifikasi produk berupa dodol nenas lewat home industry dan proses penciptaan nilai tambah dikalangan petani dapat dilakukan melalui pengolahan nenas menjadi nenas kalengan dengan teknologi tertentu perlu ada keahlian dan peralatan pasca panen. Dari segi pemasaran, petani nenas di Kabupaten Subang menjual nenasnya ke tengkulak yang merupakan perpanjangan tangan dari eksportir dengan harga yang sangat rendah karena adanya rantai pemasaran yang cukup panjang di Kabupaten Subang. Dengan demikian kondisi akan berdampak negatif tehadap pengembangan agribisnis nenas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pembangunan wilayah di Kabupaten Subang karena menyebabkan hilangnya semangat petani dalam melakukan pemeliharaan pertaniannya.
45
Sektor pertanian nenas merupakan sektor yang paling banyak diusahakan oleh petani di Kabupaten Subang yaitu melibatkan sekitar 35.789 kepala keluarga dengan luasan areal sekitar 5.059,50 Ha. Namun sektor ini belum mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perolehan PDRB pada dua tahun terakhir ini, walaupun dalam kurun waktu 1993-2000 sub sektor pertanian pangan ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten Subang. Secara umum di wilayah perdesaan dan kecamatan sebagai sentra-sentra produksi nenas mengalami keterbatasan infrastuktur jalan dan sistim informasi masih sangat sederhana. Informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, maka harga tidak berfungsi sebagai koordinator informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara efesien. Kondisi ini menyebabkan petani nenas memilih sistem kelembagaan di luar institusi pasar (extra market institution) yang berupa kelembagaan principal–agent (Anwar, 1998), miskipun menerima bagian harga yang lebih kecil. Opsi kelembagaan ini sering dikaitkan dengan kuatnya ikatan antara petani dengan pedagang yang terbentuk secara historis dengan menekankan pada unsur kekerabatan dan ketetanggaan. Disamping itu karena adanya ketidakpastian tentang produk prtanian, maka transaksi pertukaran yang dijalankan oleh petani nenas dengan pedagang pengumpul, pedagang pengumpul dengan eksportir dilakukan melalui sistem kelembagaan pertukaran di luar institusi pasar (extra market institution) yang biasanya memerlukan dukungan ikatan-ikatan personal yang disebut dengan principal – agent dalam bentuk patron-client. Praktek ini lebih disukai masyarakat karena dapat memperkecil biaya transaksi dari pada melalui sistem pertukaran ekonomi formal pada tingkat lokal (spot exchange) (Anwar, 1998). Persoalan dari hubungn principal – agent adalah karena adanya informasi yang asimetrik, dimana suatu pihak memiliki lebih banyak informasi dari pada pihak lain. Sehingga informasi yang asimetrik menimbulkan persoalan
46
buruknya pilihan (advers selection) yang bersifat ex-ante dan persoalan bencana moral (moral hazard) yang bersifat expost. Artinya suatu bentuk hubungan principal agent berlangsung dengan satu korbanan yang dikenal sebagai biaya agensi (agency cost) atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap opsi kelembagaan yang dipilih oleh petani. Disamping biaya transaksi menurut Hobbs (1997) opsi kelembagaan juga berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, besarnya anggota keluarga, pendapatan dan aspek yang berkaitan dengan karakteristik usaha. Kelembagaan yang terbentuk dalam pertanian nenas dapat berupa kelembagaan non formal dan formal. Kelembagan nonformal ini berupa hubungan principal agent antara petani dengan pedagang pengumpul. Sedangkan kelembagaan formal di tingkat petani nenas yang ada di desadesa bisa dalam bentuk kelompok tani dan KUD. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka kerangka pemikiran pelaksanaan studi ini dapat di gambarkan pada Gambar 3.
Kondisi • • • • • •
Rendahnya produktvitas Harga yang sangat rendah di tingkat petani Adanya monopsoni dalam pemasaran nenas Hilangnya semangat petani dalam memelihara kebunnya Hilangnya minat petani dalam berusaha tani nenas Kurangnya akses petani dalam pemasaran hasil
Dampak • • •
Terjadinya pemiskinan petani nenas Hilangnya generasi petani nenas pada masa yang akan datang Mempengaruhi percepatan pembangunan wilayah di Kabupaten Subang.
47
Perlu alternatif Pengembangan sentra produksi nenas untuk peningkatan kesejahtraan petani nenas dan pembangunan wilayah di Kabupaten Subang Jawa Barat
Pengembangan nenas
• • • • • • •
Faktor pendukung Potensi pengembangan cukup besar Lahan tersedia cukup luas Adanya komitmen pemerintah daerah Kebanyakan petani biasa menanam tanaman hortikultura Luas kebun nenas di Subang = 5.789 Ha Semangat dan partisipasi masyarakat cukup tinggi Penyediaan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan
? ? ?
? ?
Kendala Masih rendahnya pengembangan nenas Belum adanya pola yang sesuai dalam pengembangan nenas Masih rendahnya partisipasi perusahaan pengelola nenas dalam mendukung pengembangan komoditi nenas Rendahnya harga produk nenas dikalangan petani Adanya monopsoni pedagang pengumpul karena spas ial
Sasaran studi • Menggali informasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani nenas • Menggali informasi dalam rangka pengembangan nenas yang mendukung pembangunan wilayah Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Pengembangan Komoditi Nenas di Kabupaten Subang
3.2. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang dikemukakan di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga terdapat sistem kontrak pertanian antara petani nenas dan pedagang
pengumpul
menguntungkan.
dengan
proporsi
sharing
yang
saling
48
2.
Diduga sistem kelembagaan tataniaga yang menjadi opsi petani nenas adalah kelembagaan non formal yang memiliki biaya transaksi yang lebih sederhana,
3.
Diduga kinerja finansial dan ekonomi usahatani nenas di Kabupaten Subang menguntungkan,
4.
Diduga pihak pemerintah terhadap proteksi input dan output nenas di kabupaten Subang belum memuaskan,
5.
Diduga tanaman nenas memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dan terpusat pada daerah-daerah tertentu,
49
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan
data
primer
dilakukan
di
Kabupaten
Subang
dengan
pertimbangan bahwa wilayah ini memiliki aktivitas perekonomian yang spesifik dan berbeda dengan daerah lain. Spesifikasi tersebut berupa kenyataan bahwa Kabupaten Subang merupakan daerah penghasil nenas di Indonesia. Alokasi dilakukan secara purposive sampling di beberapa Kecamatan yang masing- masing di 4 Desa yang menggunakan pola contract farming maupun dengan tidak menggunakan contract farming, dengan didasarkan pada potensi pengembangan komoditi Nenas dengan kriteria kecamatan yang mendapatkan pola dan kecamatan yang tidak mendapatkan pola contract farming. Untuk Responden petani yang dipilih adalah : 1 (satu) orang ketua Kelompok tani, 1 (satu) orang pengurus (dipilih secara random), dan 1(satu) orang anggota non pengurus kelompok tani (dipilih secara random). Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 bulan yakni dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2002.
4.2 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : a.
Pengamatan (observasi), yaitu suatu studi dengan memperhatikan, mengamati, mencatat aktifitas/perilaku orang/masyarakat secara langsung di wilayah penelitian. Penggunaan metode ini dimaksud untuk menyaring peristiwa/ kegiatan yang sulit dilukiskan, atau segan diceritakan oleh responden.
50
b.
Wawancara dengan mengumpulkan data primer yang diperoleh di lapangan, dengan
cara
mengadakan
wawancara
langsung
dengan
responden.
Berpedoman pada blanko isian yang sudah disiapkan sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara individu terhadap masyarakat perdesaan yang dipilih menjadi responden. Dalam penelitian ini ada 2 jenis wawancara yaitu : (1) wawancara dengan pengumpul kebun, (2) wawancara dengan petani yang menggunakan pola contract farming, dan petani yang tidak menggunakan pola contract farming. c.
Studi literatur dengan cara mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan daerah penelitian seperti dari Kantor Statistik, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja serta Dinas/instansi terkait lainnya di Kabupaten Subang.
4.3
Metode Analisis data
4.3.1 Model Basis Ekonomi : LQ (Location Quotient) Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis dari suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Di samping itu untuk mengetahui pemusatan kegiatan aktivitas ekonomi di wilayah digunakan dengan metode LQ (Location Quotient Method). Pendekatan dengan mengunakan metoda LQ ini adalah
51
perbandingan antara fungsi relatif pendapatan/tenaga kerja sektor i pada tingkat wilayah yang lebih besar. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
X ij LQij = X i
X .j …………………….. (4.4.1) X ..
dimana :
LQij = indeks kuosien lokasi tenaga kerja sektor pertanian untuk lokasi kecamatan. Xij
= jumlah tenaga kerja suatu aktifitas pada tingkat Wilayah Kecamatan,
Xi.
= jumlah tenaga kerja total seluruh aktifitas pada tingkat wilayah Kecamatan i,
X.j
= jumlah tenaga kerja total suatu aktifitas di tingkat wilayah Kabupaten Subang,
X..
= jumlah tenaga kerja total seluruh aktifitas pada tingkat wilayah Kabupaten Subang.
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) maka sub sektor industri kecil tersebut merupakan sektor basis sedangkan bila nilainya sama atau lebih kecil dari (LQ < 1) berarti sub sektor yang dimaksud termasuk ke dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten Subang.
52
4.3.2
Analisis Localization Index (LI) Localization Index merupakan salah satu index yang menggambarkan
pemusatan relatif suatu aktifitas dibandingkan dengan kecenderungan total di dalam wilayah atau secara umum analisis ini digunakan untuk menentukan wilayah mana yang potensial untuk mengembangkan aktifitas tertentu. Persamaan Localization Index ini biasa dikatakan merupakan bagian dari persamaan LQ. Persamaan Localization Index ini adalah : n
LIj
=½
∑ i =1
Xij Xi. X . j X ..
…………………(4.4.2)
LI j = Localization Index aktifitas sektor pertanian. Xij
= jumlah tenaga kerja aktifitas pertanian
pada tingkat wilayah
kecamatan, X.j = Jumlah tenaga kerja aktifitas sektor petanian pada tingkat wilayah kabupaten Subang, X.. = Jumlah tenaga kerja total seluruh aktifitas pada tingkat wilayah Kabupaten Subang. Untuk menginterpretasikan hasil analisis ini, digunakan kriteria sebagai berikut ; jika nilainya mendekati 0 berarti aktifitas tersebut cenderung tersebar atau merata di beberapa lokasi atau mempunyai peluang tingkat perkembangan relatif indifferent atau sama di seluruh lokasi. Jika nilainya mendekati 1 berarti aktifitas tersebut akan cenderung berkembang memusat atau terkonsentrasi di suatu lokasi,
53
artinya aktifitas tersebut akan berkembang lebih baik jika dilakukan di lokasi-lokasi tertentu. 4.3.3
Analisis Specialization Index (SI) Specialization Index merupakan index yang menggambarkan pembagian
wilayah berdasarkan aktifitas-aktifitas yang ada. Lokasi tertentu menjadi pusat bagi aktifitas yang dilakukan. Persamaan SI ini biasa pula dikatakan sebagai bagian dari persamaan LQ. Persamaan Specialization Index ini adalah : n
SIj
=½
∑ j =1
X i. X . j ……………..(4.4.3) X .. X ..
SI i
= Spesialization Index aktifitas pertanian,
Xij
=
jumlah
tenaga
kerja
aktifitas
pertanian
pada
tingkat
wilayah
Kecamatan, Xj.
= Jumlah tenaga kerja aktifitas pertanian pada tingkat wilayah Kabupaten Subang,
X.j
=
Jumlah tenaga kerja aktifitas pertanian pada tingkat wilayah Kabupaten Subang,
X..
= Jumlah tenaga kerja total seluruh aktifitas pada tingkat wilayah Kabupaten Subang. Untuk menginterpretasikan hasil analisis ini, digunakan kriteria sebagai
berikut : Jika nilainya mendekati 0 berarti tidak mempunyai kekhasan (spesialisasi).
54
Artinya sub wilayah yang diamati tidak memiliki aktifitas khas yang relatif menonjol pasar perkembangannya dibandingkan dengan sub wilayah lain. Jika nilainya mendekati 1 berarti terdapat kekhasan (spesialisasi). Artinya sub wilayah yang diamati memiliki aktifitas khas yang perkembangannya relatif menonjol dibandingkan dengan sub wilayah lain.
4.3.4 Analisis Shift Share (SS) Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif suatu wiilayah atau suatu sektor dan menghitung seberapa besar share sektor-sektor atau kecamatan terhadap pertumbuhan sektor-sektor yang bersesuaian di tingkat kabupaten Subang. Dengan melihat nilai share dapat diketahui sektor ataupun wilayah (kecamatan) yang dapat memberikan kontribusi terbesar (keunggulan kompetitif) terhadap pertumbuhan di wilayah yang lebih luas (kabupaten Subang). Pada analisis shift share ini menggunakan indikator jumlah tenaga kerja dari setiap sub sektor dari sektor industri pengolahan nenas pada dua titik waktu. Analisis dibagi menjadi tiga komponen, yaitu komponen pertumbuhan regional (kabupaten), komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa lokal (kecamatan) sehingga besar perubahan tenaga kerja sama dengan penjumlahan
dari
ketiga
komponen
tersebut.
Adapun
tahapan-tahapan
perhitungannya adalah sebagai berikut : §
menghitung besarnya pergeseran/perubahan secara agregat di tingkat regional (regional agregat shift share), yaitu pertumbuhan tenaga kerja
55
tingkat regional/kota (RASS). Hasil perhitungan ini dapat menunjukkan maju atau lambatnya perubahan perekonomian di tingkat kabupaten Subang. §
menghitung besarnya pergeseran secara sektoral, tanpa memperhatikan lokasi (proporsional shift share), yaitu rasio tenaga kerja per sub sektor dari sektor industri pengolahan nenas tahun akhir dan tahun awal minus rasio tenaga kerja kota tahun akhir dan tahun awal (PSS). Hasil perhitungan ini akan diketahui sektor-sektor yang relatif maju atau lamban di setiap kabupaten Subang.
§
menghitung komponen pertumbuhan pangsa lokal (differential shift share), yaitu rasio tenaga kerja setiap sub sektor dari sektor pengolahan nenas di setiap kecamatan tahun akhir dan tahun awal (DSS). Dari hasil perhitungan ini akan diketahui sub sektor-sub sektor yang relatif maju atau lambat di setiap kecamatan ataupun kecamatan-kecamatan yan relatif maju atau lambat dalam setiap sektor. Secara matematis ketiga komponen tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
RASS =
x '.. -1 x..
PSSj =
X '. j X '.. X . j X ..
DSSij =
…………( 4.4.4) dimana : i
= indek kecamatan , i = 1,2,3,…,n
n
= banyaknya kecamatan,
j
= indek sub sektor (sektor industri); j = 1,2,3,…,s
X '. j X '. j X.j X.j
56
s
= banyaknya sub sektor (sektor industri),
Xij’
= jumlah tenaga kerja kecamatan ke– i dan sub sektor ke- j tahun akhir analisis,
Xij
= jumlah tenaga kerja kecamatan ke- i dan sub sektor ke- j tahun awal analisis,
X.j’
= jumlah tenaga kerja sub sektor ke- j tahun akhir analisis,
X.j
= jumlah tenaga kerja sub sektor ke- j tahun awal analisis.
X‘
= jumlah tenaga kerja Kabupaten Subang tahun akhir analisis,
X..
= jumlah tenaga kerja kabupaten Subang tahun awal analisis.
4.3.5 Analisis Entropy Analisis ini selain dipakai untuk melihat penyebaran suatu aktivitas atau sektor pada suatu wilayah juga untuk melihat struktur perkembangan wilayah berdasarkan jumlah tenaga kerja. Persamaan dari entropy adalah : m
m
H=-
∑ pi log pi i
atau
HI = -
Xij
Xij
∑ Xi. log Xi. j
Keterangan : pi
= proporsi tenaga kerja
m
= jumlah kecamatan yang ada
dimana pij =
Xij X i.
57
H
= entropy.
Ada beberapa cara perhitungan untuk mencari nilai entropy : §
sebaran industri di tiap kecamatan. n
Hi= -
∑ pij log pij j
H i = - ( p 1 log p11 + p12 log p
12
+ ….. + p 14) log 1 4.
Keterangan : n = jumlah jenis industri
j = jenis industri
i = kecamatan
Hi= entropy industri di tiap kecamatan.
p ij = proporsi tenaga kerja tiap kecamatan berasarkan jenis industrinya. Untuk pengkategoriannya semakin besar nilai H maka aktivitas semakin menyebar di seluruh wilayah dan semakin kecil nilai aktivitas tersebut semakin memusat atau terkonsentrasi. §
Sebaran setiap jenis industri : m
Hj=-
∑ pij log pij i
H j = - ( p 11 log p1 1 + p21 log p 21 + ….. + p 81 log 81. Keterangan : m = jumlah kecamatan yang ada i
= kecamatan
H maka
58
j
= jenis industri
p ij = proporsi tenaga kerja tiap kecamatan berasarkan jenis industrinya, Hj = entropy setiap jenis industri.
4.3.6 Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Nenas Untuk mengetahui kriteria penilaian kelayakan investasi
pertanian nenas
dilakukan dengan beberapa metode antara lain net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan benefit cost ratio (B/C) ratio. 4.3.6.1
Net Present Value (NPV) Net present value (NPV) atau nilai tambah adalah nilai sekarang dari arus
pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Metode ini menghitung selisih antara manfaat/penerimaan dengan biaya/pengeluaran. Perhitungan ini diukur dengan nilai uang sekarang (at present value) dengan rumus :
Bt − C t ……………………………….…..(4.4.6.1) t t =1 (1 + i ) n
NPV = ∑
Dimana : Bt = penerimaan kotor dari nenas pada tahun t; Ct
= biaya kotor dalam agribisnis nenas pada tahun t;
n
= umur ekonomis nenas;
i
= discount rate.
Kriteria yang digunakan adalah apabila : a) nilai NPV > 0, maka pengembangan agribisnis nenas layak untuk diusahakan; b) nilai NPV < 0, maka pengembangan agribisnis nenas tidak layak untuk diusahakan; dan c) nilai NPV = 0, maka pengembangan agribisnis nenas mencapai break event point.
59
4.3.6.2 Internal Rate of Return (IRR). Internal rate of return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV = 0). Tingkat bunga tersebut merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk faktor produksi yang digunakan. Perhitungan IRR ditulis dengan rumus :
IRR = i '+ dimana : i’ = i” = NPV’ = NPV” =
NPV ' (i"−i ' ) ………….……………….(4.4.6.2) NPV '− NPV " nilai percobaan pertama untuk discount rate; nilai percobaan kedua untuk discount rate; nilai percobaan pertama untuk NPV; nilai percobaan kedua untuk NPV.
Kriteria yang digunakan adalah apabila : a) nilai IRR > 1, maka pengembangan agribisnis nenas layak untuk diusahakan; b) nilai IRR < 1, maka pengembangan agribisnis nenas tidak layak untuk diusahakan; dan c) nilai IRR = 1, maka pengembangan agribisnis nenas mencapai break event point. 4.3.6.3
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net benefit cost ratio (Net B/C) adalah nilai perbandingan antara nilai
manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. Net B/C menggunakan rumus :
60
n
NetB / C =
Bt − C t
∑ (1 + i) t =1 n
t
C t − Bt ∑ t t =1 (1 + i )
...................................................( 4.3)
dimana : Bt = penerimaan kotor agribisnis nenas pada tahun t; Ct = biaya kotor dalam agribisnis nenas pada tahun t; n = umur ekonomis nenas; i = discount rate. Kriteria pengukuran adalah apabila Net B/C > 1, maka kegiatan pengembangan agribisnis nenas yang dilakukan menguntungkan karena penerimaan lebih besar daripada biaya total dan sebaliknya.
4.3.7
Policy Analysis Matrix (PAM) Policy analisis matrix merupakan alat analisis yang bertujuan untuk
mengetahui efisiensi ekonomis dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah dalam pengusahaan berbagai aktivitas usaha industri pengolahan dan pemasaran nenas secara keseluruhan dan sistematis. Bentuk keluarannya merupakan nilai privat dan nilai sosial darei keuntungan, efisiensi, transfer iput, transfer faktor transfer bersih, serta transfer output antara produsen, konsumen dan pedagang perantara. Adapun formulasi model PAM tersebut dapat disajikan pada tabel berikut ( Monke dan Pearson, 1989).
61
Tabel 2. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya Komponen Penerimaan
Input Diperdagangkan
Faktor Domestik
Keuntungan
Harga Privat
A
B
C
D 1)
Harga Sosial
E
F
G
H 2)
Dapak Divergensi
I3)
J4)
K5)
L 6)
Keterangan : 1) 3) 5)
Keuntungan Privat (D) = (A- (B+C) .
2)
Keuntungan Sosial (H) = (E-(F+G))
Transfer output (I) = A-E
4)
Transfer Faktor (K) = C – G, dan
6)
Transfer input (J) = B-F
Transfer Bersih (L) = D – H = (I-(J+K))
4.3.8 Analisis Marjin Tataniaga Selain kelayakan secara finansial dan ekonomi, maka upaya pengembangan suatu komoditas harus mempertimbangkan kelayakan pemasaran. Analisis yang sesuai untuk tujuan tersebut yaitu analisis marjin tataniaga dan analisis elastisitas transmisi harga. Secara matematis persamaan marjin tataniaga adalah sebagai berikut : m
M =
∑
m
Mi =
j =1
n
∑∑ j = 1 i =1
m
∑ Pj
Cij +
………………………………(4.4.8)
j =1
Dimana :
M = Total marjin tataniaga (Rp/kg) Mj = Marjin tataniaga (Rp/kg)yang diterima oleh lembaga tataniaga ke j (j =1 ,2,..,m); m : jumlah lembaga tataniaga yang terlibat. Cij = biaya tataniaga ke i (Rp/kg) pada lembaga tataniaga ke j; (i = 1,2, .., n) dan n jumlah jenis pembiayaan. Pj = Marjin keuntungan lembaga tataniaga ke j (Rp/kg)
62
4.3.9 Penentuan Opsi Kelembagaan Tataniaga Banyak faktor yang mempengaruhi opsi petani dalam mentransaksikan suatu produk, antara lain oleh faktor internal seperti atribut individual petani serta karakteristik usahanya disamping itu juga ditentukan oleh beberapa peubah biaya transaksi yang dihadapi oleh mereka dari kelembagan tataniaga yang dipilih. Diduga atribut individu petani dan karakteristik opsi kelembagaan oleh petani antara lain a) tingkat pendidikan formal total, b) pendapatan keluarga, c) pengalaman usaha, d) luas lahan, e) jumlah tenaga kerja dan jam kerja yang diperlukan untuk usaha. Di samping itu membandingkan indikator di atas dengan rataan umumnya di Kabupaten Subang. Analisis kuantitatif dimulai dari melihat perjanjian kontrak satu periode, sanksi-sanksi yang diterapkan pihak pengumpul kepada petani serta hasil yang diperoleh para petani. Alat analisis yang dipakai adalah program statistik Logit. Dari Logit kemudian dilanjutkan dengan model PCA (Principal Componen Analysis) untuk melihat korelasinya.
Untuk mengetahui Analisis data terhadap dua nilai
contract farming dilakukan dengan uji nilai tengah . Adapun model Logit sebagai berikut : exp (a+ ß1x1 + ß2x2+ ß3x3+ ……………………………….. + ß 13x13 + ß14x14 ) 1 + exp (a+ ß1x1 + ß2x2+ …………………………………. + ß13x13 + ß14x14 ) ……………………………………………(4.4.9) Ln
P = α + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ...... + β 9 X 9 1− P
……………………………………………(4.4.10) Log (Pli / P2i = a+ ßxli + ß2i + ßx3i + ßx4i + ßx5i + ßx6i + ßx7i + ßx8i + ßx9i + ßx10i + ei ) ……………………………………………(4.4.11)
63
Dimana : P
= Opsi
(1 =formal ; 0=lainnya).
X1
= Pengalaman usaha
(tahun).
X2
= Pendidikan formal
(tahun).
X3
= Pendapatan
(Rp./ musim panen)
X5
= Jumlah keluarga Produktif
(orang).
X6
= Produksi
(ton)
X7
= Penggunaan tenaga kerja
(orang)
D1
= Dummy Informasi harga
(1=tahu
D2
= Dummy Prosedur transaksi
(1 = susah/rumit ;0=lainnya)
D3
= Dummy Ketidakpastian harga
(1 = susah/rumit ;0=lainnya)
D4
= Dummy ketidak jujuran
(1 = ya
D5
= Dummy resiko produk tidak terjual.
(1 =banyak
D7
= Dummy Keikutsertaan Kelompok Tani. (1=ikut
X8
= Pendidikan non formal
(hari)
X9
= Periode transaksi non formal
(hari)
a
= intersep .
ß 1……B14 Untuk
;0 =lainnya).
; 0=lainnya) ;0=lainnya) ;0 =lainnya)
= Parameter koefisien regresi. analisis
deskripsi
dilakukan
dengan
daftar
pertanyaan
yang
dilaksanakan ke petani dianalisis sehingga diambil kesimpulan disertai dengan survey di lapangan.
64
4.3.10 Analisis Game Theory untuk Konflik Pemasaran Nenas Model teori permainan (game theory) yang menggambarkan proses interaksi antar manusia dalam suatu organisasi masyarakat secara konseptual.
Seperti
persoalan konflik kepentingan dalam pemasaran nenas antara petani dengan pedagang pengumpul dapat digambarkan atau dimodelkan dalam bentuk penyederhanaan dalam suatu bentuk model permainan (game modeling), dimana kedua pihak yang berkonflik masing-masing sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh manfaat/keuntungan (benefit) dari adanya kerjasama pemasaran antara mereka, yang sebenarnya akan saling menguntungkan. Tapi jika salah satu atau dua pihak yang berinteraksi masing-masing secara sendiri-sendiri dengan strateginya, maka tidak akan bermanfaat bahkan akan merugikan pihak lain (Anwar, 2001c). Tabel 3. Konsekuensi Pahala dari Game Modeling Pedagang Pengumpul
Pemasaran hasil ke
Memberi
Tidak
modal
modal
memberi
α
β
γ
δ
pedagang pengumpul Petani nenas Pemasaran hasil ke eksportir
Dari matrik pada Tabel 3 di atas menyatakan tentang hasil-hasil pahala (pay-off) yang diperoleh. Hasil pay off nya tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi
65
yang mereka pilih. Jika petani menjual hasil ke pengumpul kebun dan pedagang pengumpul kebun memberikan bantuan modal
maka keuntungan bersih petani
adalah α . Tetapi jika salah satu pihak misalnya pedagang pengumpul tidak mau memberikan bantuan modal kepada petani tetapi petani tetap menjual hasilnya ke tengkulak maka keuntungan bersih yang diperoleh petani adalah β. Jika pedagang pengumpul memberikan bantuan modal tetapi petani menjual langsung ke eksportir maka keuntungan yang diterima petani adalah sebesar γ. Jika petani tidak menerima bantuan modal dari tengkulak dan petani memasarkan langsung hasilnya ke eksportir maka keuntungan yang diterima petani adalah sebesar δ. Tabel 3.
Tujuan, Analisis, Parameter, Data dan Output Penelitian Analisis Pengembangan nenas di Kabupaten Subang.
No
1
Tujuan
Mengidentifikasi dan mengkaji sistem kontrak pertanian dalam pertanian nenas
Analisis
Parameter
Analisis diskriptif contract farming
Interaksi petani dengan pedagang pengumpul kebun, desa daneksportir/ konsumen
Data Sistem kontrak pertanian, akses petani terhadap input produksi, manajemen resiko, bentuk kontrak pertanian tradisional, mekanisme pelaksanaan kontrak pertanian, hubungan principlal –agent, peranan kelembagaan petani
Output
Sistem kontrak pertanian nenas
66
Analisis Marjin pemasar an
2
3
4.
5
Mengidentifikasi dan mengkaji peran lembaga tataniaga
Menelaah kinerja finansial & ekonomi nenas Menelaah kebijakan pemerintah terhadap harga input dan output nenas Mengkaji pergeseran share pertanian nenas terhadap pertumbuhan di Kabupaten Subang
Analisis opsi kelemba gaan dan keterpad uan pasar
Finansial & Ekonomi
Marjin pemasaran masingmasing pelaku dalam pemasaran nenas Harga di tingkat petani dan harga pasar referensi (eksportir)
BC Ratio NPV IRR
Harga beli dan harga jual serta biaya – biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tataniaga nenas
Efisiensi pemasaran nenas petani
Perubahan harga pada tingkat petani dan pasar referensi (eksportir) setiap bulan selama 2 tahun terakhir
Apakah terjadi monopsoni dalam pemasaran nenas petani
Total pendapatan, total biaya dan suku bunga bank
Kinerja finansial dan ekonomi usahatani nenas
Policy analysis matrix (PAM)
Kebijakan harga input dan harga output
Hasil analisis finansial dan ekonomi usaha tani nenas
Proteksi pemerintah terhadap harga input dan output nenas
Shift Share Analisis & Location Quotient
Luas areal dan produksi komoditi nenas
Luasan areal komoditi dari tahun 1996 – 2000
Keunggulan kompetitif dan komparatif pertanian nenas
67
4.4. Jenis dan Sumber Data
1.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung baik dengan petani contract mapun peserta rentenir. Selain itu juga wawancara dengan pimpinan/pegawai perusahaan inti . Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
2.
Data sekunder sebagai data pendukung, diperoleh dari kantor statistik yang sudah didokumentasikan, Kantor perindustrian dan perdagangan, kantor koperasi dan pengusaha menengah dan kecil, hasil penelitian yang sudah dipublikasikan, dan dari Dinas Pertanian-Perkebunan Propinsi ,Kabupaten dan Kecamatan serta berbagai tulisan dari instansi terkait, makalah – makalah , brosur – brosur dan lain sebagainya.
4.5 Asumsi dalam Penelitian ini Asumís –asumsi yang digunakan dalam setiap analisis pada penelitian ini antara lain hádala sebagai berikut : a.
Komoditas yang termasuk ke dalam wawancara dengan petani adalah Nenas dan tanaman buah-buahan seperti durian, dan tanaman pangan seperti singkong, dan lain-lain.
b.
Discount Factor (DF) yang diigunakan pada analisi kelayakan finansial adalah 12 %, dan 50 %. DF 12 % didasarkan pada suku bunga tabungan yang berlaku di bank. Sedangkan DF 50 % didasarkan pada suku bunga
68
maksimal yang menghasilkan nilai NPV minimum (negatif) secara finansial dan ekonomi. c.
Musim tanam selama 4 tahun yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial, ekonomi dan PAM merupakan siklus usia produktif alat-alat produksi terutama alat-alat yang termasuk kapital modal.
69
V. 5.1
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak Geografis Dan Batas Administrasi Kabupaten Subang secara geografis mempunyai luas 205.176.959 ha terdiri
dari 22 kecamatan dan 243 desa serta 8 kelurahan, terletak antara 107º 41’ - 107º 54’ bujur timur dan 6º 11’ - 6º 49’ lintang selatan. Wilayah Kabupaten Subang berbatasan dengan: Sebelah Utara
: Laut Jawa.
Sebelah Barat
: Kabupaten Purwakarta dan kabupaten Karawang.
Sebelah Timur
: Kabupaten Indramayu dan kabupaten Sumedang.
Sebelah Selatan
: Kabupaten Bandung.
Berdasarkan fisiografisnya, Kabupaten Subang dapat diklasifikasikan kedalam strata, yaitu: 1.
Wilayah
dataran
rendah
utara,
yaitu
daerah
yang
terutama
pokok
penghasilannya pada usahatani sawah dengan hasil utama padi. 2.
Wilayah dataran tinggi, dimana usaha tani sawah dan darat hampir berimbang keadaannya, produk yang dihasilkan beraneka ragam seperti: padi, palawija, sayuran dan buah-buahan.
3.
Wilayah dataran tengah, dimana usaha tani pada lahan kering/darat sedikit lebih luas dibandingkan dengan sawah, komoditas lahan kering dengan hasil pokok tanaman buah-buahan, palawija dan sayuran.
Keadaan topografi kabupaten Subang terdiri dari daerah pantai sebelah utara dan pedataran di bagian tengah serta dataran tinggi /pegunungan di bagian selatan. Daerah pantai meliputi Kecamatan Ciasem, Pabuaran, Purwadadi, Cikaum dan Subang. Daerah dataran tinggi /pegunungan meliputi Kecamatan Subang bagian selatan, Cijambe, Jalancagak, Sagalaherang, Cisalak, Kalijati Selatan dan Tanjungsiang.
70
5.2
Keadaan Sumber Daya Alam 5.2.1
Keadaan Iklim
Iklim di Kabupaten Subang memiliki tipe iklim C sampai D. berdasarkan tipe iklim menurut Oldeman. Jumlah curah hujan pada tahun 2001 mencapai 14.335 mm dengan jumlah hari hujan 610 hari, sedangkan jumlah bulan basah 2 bulan, bulan kering 7 bulan dan bulan pertumbuhan 3 bulan. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan > 200 mm, bulan kering adalah dengan curah hujan < 100 mm dan bulan pertumbuhan adalah dengan curah hujan > 100 mm. 5.2.2
Keadaan Geologi
Adapun klasifikasi ketingian tempat di Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5. Klasifikasi Ketinggian Tempat Kabupaten Subang. Klasifikasi Ketinggian Tempat m (dpl) 0 – 25
26 – 50
51 – 75
76 – 100
Meliputi Wilayah Kecamatan Ciasem, Blanakan, Pusakanagara, sebagian Purwadadi, sebagian Ciakum, sebagian Pabuaran, pamanukan, legonkulon, Binong dan compreng. Sebagian pagaden, Cipunagara, sebagian Pabuaran dan sebagian Purwadadi Sebagian Cipendeuy, sebagian Purwadadi, sebagian Pagaden, sebagian Cikaum, sebagian Subang, dan sebagian Cibogo Sebagian Cipendeuy, Kalijati, sebagian Subang, sebagian Cibogo, dan sebagian Cijambe Sebagian Cipendeuy, sebagian
Luas (Ha)
Persentase
55.398,48
27.00
37.241.22
18.15
16.502.45
8.04
13.964.32
6.81
71
101 – 500
501–5.000
>1.000
Sagalaherang, sebagian Kalijati, sebagian Subang, sebagian Cijambe, sebagian Cisalak, sebagian Jalancagak, dan sebagian Tanjung siang Sebagian Sagalaherang, sebagian Jalancagak, sebagian Cisalak, dan sebagian Tanjungsiang. Sebagian Sagalaherang, Sebagian Jalancagak, sebagian Cisalak, dan sebagian Tanjungsiang
Jumlah
41.035.39
20
12.310.42
6
28.721.67
11
205.173.95
100
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang Tahun 2001. 5.2.3
Keadaan Tanah
Keadaan tanah pertanian yang terdiri dari tanah sawah dan tanah kering berdasarkan topografinya di Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Keadaan Tanah Pertanian Berdasarkan Topografinya di Kabupaten Subang. Tinggi dari permukaan laut Jenis Lahan < 500 m (Ha)
> 500 m (Ha)
Jumlah (Ha)
Lahan Sawah
75.799
8.902
84.701
Lahan Kering
30.177
90.298
120.475
Jumlah
105.976
99.200
205.176
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan kabupaten Subang Tahun 2001
5.3
Keadaan Potensi Fisik dan Prasarana Kabupaten Subang memiliki potensi fisik dan prasarana. Lokasi pemandian
air panas ciater, yang menghubungkan Kabupaten Subang dengan Kota Bandung dan Ibukota Jakarta membuat sangat baik untuk dikembangkan. Di samping tanah yang subur membuat Kabupaten Subang setiap lahan ditanami dengan berbagai jenis komoditi mulai dari tanaman perkebunan seperti teh, juga tanaman padi dan
72
palawija, tanaman hortikultura, perikanan darat oleh karena dekat dengan daerah wisata.
5.4
Keadaan Penduduk dan aktifitas Ekonomi Berdasarkan data dari BKKBN, jumlah penduduk tahun 2001 di Kabupaten
Subang 1.304.637 orang dengan rincian sebagai berikut: laki-laki 647.530 orang dan perempuan 657.107 orang sehingga jumlah penduduk Kabupaten Subang sebanyak 1.304.637 orang. Jumlah penduduk terutama di pedesaan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi maupun sosial. Rumah tangga petani, baik pemilik tanah maupun yang bukan pemilik tanah, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan pertanian yang bertumpu pada upaya diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi, selama ini telah memberikan hasil yang menggembirakan, namun untuk mengimbangi jumlah penduduk yang terus bertambah, usaha menciptakan lapangan kerja tambahan melalui agriindustri merupakan salah satu alternatif yang penting untuk dikembangkan di pedesaan masih diperlukan upaya-upaya khusus. Kabupaten Subang memiliki kegiatan ekonomi seperti pemandian air panas daerah wisata Ciater,
perkebunan teh PTPN VIII, di samping lahannya juga
ditanami tanaman padi, palawija dan hortikultura seperti nenas, durian, manggis, yang cukup padat dengan indusri pengolahan yang mulai membaik pertumbuhannya dengan industri rumah tangga (home industry) seperti industri pembuatan dodol dari nenas, kue nenas dan lain-lain. PDRB Kabupaten Subang didominasi dari Pertanian. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Subang tahun 1999 berdasarkan atas dasar
73
harga berlaku untuk Lapangan Usaha yang paling besar dari sektor Pertanian sebesar 1.723.474.000.000 rupiah yang didominasi dari sub sektor Tanaman Bahan Makanan sebesar Rp.1.553.916.000.000,- . Kemudian Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memiliki PDRB sebesar Rp. 1.082.321.000.000,- yang didominasi oleh perdagangan bear dan eceran sebesar Rp.829.990.000.000,- .
5.5
Gambaran Umum Kecamatan Jalan Cagak. Kecamatan Jalancagak adalah salah satu dari 2 kecamatan yang diteliti.
Kecamatan Jalancagak terdiri dari 33 desa, dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2001 sebanyak 72.681 orang dengan perincian sebagai berikut: laki-laki sebanyak 36.026 orang dan perempuan sebanyak 36.655 orang. Kecamatan Jalancagak memiliki luas lahan 14.873 ha yang terdiri dari: lahan sawah seluas 2.110 ha dan lahan kering seluas 8.195 ha, lahan pekarangan seluas dan bangunan seluas 204 ha, tegal, kebun, ladang dan huma seluas 4.323 ha serta padang rumput seluas 41 ha. Tanaman yang tumbuh beraneka seperti tanaman perkebunan, padi dan palawija, tanaman hortikultura seperti nenas, durian, mangga, pepaya, alpukat dan lain-lain.
74
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Kelembagaan Petani. 6.1.1 Interaksi Petani dan Pelaku Pasar Analisis interaksi petani dan pelaku pasar merupakan analisis deskriptif dan kuantitatif dari berbagai interaksi antara pelaku pasar. Jenis-jenis interaksi yang dianalisis adalah: institusi sistem kontrak pertanian dan formulasi strategi pemasaran. 6.1.1.1 Analisis Institusi Sistem Kontrak Pertanian. Dalam analisis sistem kontrak pertanian (contract farming) untuk tujuan produktif, sebaiknya disertai dengan suatu konsep yang didukung oleh pengalaman empirik di lapangan. Oleh karenanya sangat diperlukan informasi-informasi yang berhubungan dengan sistem kontrak pertanian yang mungkin terjadi. Bentuk kontrak ini akan menentukan pembagian pangsa keuntungan (profit share) yang diperoleh petani.
Sehingga
informasi
tersebut
diperlukan
untuk
memperoleh
suatu
pembandingan tingkat kesejahteraan para petani nenas di perdesaan dibandingkan pangsa yang diperoleh para agent lainnya seperti pedagang pengumpul. Informasi-informasi tentang sistem kontrak pertanian akan memberikan suatu pemahaman yang mendalam terutama yang berkaitan dengan kinerja agribisnis baik ditinjau dari sudut kelembagaan ekonomi perdesaan berdasarkan tradisi normanorma sosial, maupun sistem agribisnis lanjutan termasuk yang menyangkut
75
perdagangan komoditi yang diekspor ke luar negeri. Persoalannya menyangkut tentang bagaimana masalah yang dihadapi para petani kecil berkemampuan lemah yang berhubungan dengan peranan sistem kontrak yang terjadi, beserta faktor-faktor yang menentukan tingkat pendapatan petani maupun bagian keuntungan pedagang pengumpul. Dalam konteks sistem kontrak pertanian nenas, akan disajikan beberapa informasi tentang; akses petani terhadap input-input produksi, institusi manajemen resiko, mekanisme pemberlakuan kontrak, dan kontrak melalui ikatan kredit pendahuluan. 6.1.1.2 Akses Petani Terhadap Input Produksi Dalam kenyataan, sistem pertanian di Kabupaten Subang masih didominasi oleh pertanian hortikultura.
Kisaran luas areal tanaman nenas berada dalam
rentang 0.8 ha hingga 25 ha, dengan rataan 1.2 ha dan melibatkan 35.789 kepala keluarga dengan luas total lahan mencapai 5.059,50 hektar, sehingga input-input produksi yang diperlukan memerlukan skala yang besar. Input produksi yang digunakan adalah input domestik yang meliputi; lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk kandang, pupuk anorganik seperti ZA, SP-36 dan KCl
serta input tradable yang
meliputi Ethrel (ZPT) dan urea phrill. Akses terhadap input produksi domestik sejauh ini bukan merupakan persoalan bagi petani. Persoalan menjadi menarik jika sudah menyangkut input produksi yang tradable seperti ethrel dan urea prill. Masalah terberat dalam pemeliharaan komoditi nenas adalah masalah modal untuk pembelian urea prill dan ethrel. Sub sistem pengadaan sarana produksi urea prill dan ethrel di Kabupaten
76
Subang sebenarnya relatif sudah berperan dengan baik. Kios-kios pemasaran tersedia di setiap kecamatan dan wilayah sentra produksi nenas, namun urea dan ethrel ini agak sulit didapat. Namun harga yang diterima oleh petani cukup tinggi karena belum didukung oleh sarana transportasi yang memadai , disamping itu rantai pemasaran yang panjang yaitu dari formulator ke distributor (propinsi), dari distributor ke toko-toko pertanian yang ada di kabupaten, kemudian dari toko baru dijual melalui kios-kios saprodi yang ada di kecamatan.
Kios-kios yang ada di
kecamatanlah petani dapat membeli ethrel dan urea prill, sehingga kondisi ini meyebabkan harga beli yang diterima oleh petani menjadi tinggi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sebagian petani yang mampu akan membeli urea prill dalam jumlah yang besar langsung ke distributor yang ada di propinsi dan kemudian disimpan untuk stok beberapa musim panen, sedangkan untuk petani-petani yang kurang mampu akan melakukan pengurangan dosis pemberian urea prill ke tanamannya. Bagi petani yang tidak mampu, pilihan rasional untuk mengatasi permasalahan ethrel dan urea prill tersebut adalah dengan mengikatkan diri kepada pedagang pengumpul melalui kredit sarana produksi dan bahkan sembako, yang umumnya baru akan dibayar pada saat panen. Di Kabupaten Subang seperti juga daerah lainnya di Indonesia, tidak ada lembaga pemerintah atau swasta yang berperan sebagai pemberi kredit sarana produksi. Fluktuasi maju mundurnya lembaga pemerintah atau semi pemerintah dalam penyediaan kredit saprodi kepada petani nenas belum tergantikan kepada sektor swasta. Karena rendahnya volume pasar dan tingginya biaya-biaya transaksi terutama pada ketidakmampuan untuk melaksanakan kontrak dengan petani, maka
77
pedagang swasta tidak mempunyai keinginan untuk memberikan kredit input produksi kepada petani. Sebagai akibatnya terjadilah kekakuan institusional yang mengarah kepada kegagalan pasar dalam menyediakan kredit kepada petani. Dalam kondisi ini kemudian adalah wajar dan rasional jika petani kecil kemudian memilih pedagang pengumpul sebagai extra credit institution yang dapat membantu mempertahan usahataninya, meskipun dengan sistem kontraktual yang cenderung tidak seimbang. 6.1.1.3 Institusi Manajemen Resiko. Seperti komoditas
pertanian lainnya, tingkat keberhasilan usahatani dan
produksi nenas sering dipengaruhi oleh berbagai resiko yang tidak dapat dihindari. Resiko akibat pengaruh faktor-faktor alam seperti angin kencang dan hujan yang terlalu sering menyebabkan relatif tingginya peluang terjadinya penurunan produksi akibat pembungaan yang tidak terjadi, kualitas yang kurang baik dan penurunan pendapatan. Disamping itu, harga nenas yang rendah di tingkat petani sebagai akibat dari terjadinya rantai pemasaran yang terlalu banyak dari petani hingga eksportir hal ini dapat diperbaiki dengan memangkas rantai pemaaran yang panjang . Hal ini dapat dicapai bila kelembagan petani kuat baik secara vertikal (kelompok tani yang kuat) dan secara horizontal (ke eksportir dan konsumen) yang kuat. Bila diamati bahwa di lapangan terjadi pasar sempurna disebabkan para pedagang pengumpul banyak baik di tingkat kebun dan desa dan merupakan tali persaudaraan dengan petani-petani nenas sehingga para pedagang pengumpul sulit memainkan harga di tingkat petani. Namun harga di petani masih rendah karena rantai
78
pemasaran yang panjang. Dengan rantai pemasaran yang panjang setiap pelaku tata niaga ingin mengambil keuntungan. Meskipun dihadang oleh berbagai kemungkinan resiko, namun resiko kegagalan produksi dan kegagalan pemasaran tersebut bukanlah merupakan hal yang tidak dapat dirubah (given) yang harus diterima begitu saja oleh petani. Petani sebenarnya sejak dahulu telah berusaha untuk mengatasi resiko-resiko yang dihadapi dengan berbagai cara yang tergantung pada keadaan-keadaan tertentu dengan membentuk struktur kelembagaan yang paling sesuai (efficient) guna mensubtitusi keadaan sistem pasar formal yang lumpuh. Petani nenas umumnya tidak mempunyai akses yang cukup terhadap informasi atau jika informasi tersedia, petani nenas tidak berkemampuan untuk mengolah informasi tersebut. Karenanya dari berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi resiko-resiko yang mungkin terjadi, petani akan
memperhitungkan
manfaat dan biaya yang berkaitan dengan tindakan mengatasi resiko dengan mengingat kendala yang dihadapi. Artinya petani nenas cenderung akan mengambil alternatif yang memerlukan biaya transaksi paling murah, khususnya biaya-biaya yang menyangkut informasi dan enforcement. Sehingga kelembagaan yang dipilih adalah
kelembagaan
yang
dapat
bersangkutan. Dalam konteks tersebut,
meminimumkan
biaya
transaksi
yang
kelembagaan diartikan sebagai bentuk
institusi yang memungkinkan terjadinya exchange the risk. Oleh karena itu, pengertian kelembagaan tidak tergantung dari apakah kelembagaan itu bersifat formal atau non formal (tradisional).
79
Dari sisi petani, resiko kegagalan panen akan lebih berdampak terhadap petani nenas yang relatif tidak mampu, kegagalan panen bagi mereka adalah juga kegagalan menghasilkan pendapatan dan berakibat kegagalan menghidupi keluarga. Hasil identifikasi a l pangan menemukan bahwa 66.99
persen petani
nenas yang cenderung untuk memilih lembaga pedagang pengumpul sebagai lembaga asuransi tempat pertukaran resiko kegagalan produksi tersebut. Kegagalan produksi akibat faktor alam, umumnya akan ditolerir oleh pedagang pengumpul dengan terus memberikan kredit saprodi, atau bahkan seorang pedagang pengumpul yang diwawancarai akan memutihkan
kredit yang sudah diberikan
(karena adanya tali persaudaraan diantara mereka). Hal ini dapat dipandang sebagai pengurangan resiko kerugian bagi petani, karena secara tidak langsung pedagang pengumpul ikut menanggung resiko usaha tani yang dijalankan petani nenas. Sebaliknya bagi pedagang pengumpul, yang menerapkan pembayaran kredit oleh petani di waktu panen disertai dengan kontrak pemasaran, ikatan dengan petani nenas berarti juga mempertukarkan resiko kemungkinan kegagalan memenuhi kapasitas permintaan. Dengan demikian, asuransi pertanian non formal dapat berfungsi sebagai lembaga risk sharing dan dapat dipandang sebagai alat untuk menstabilkan pendapatan petani. Tidak ada istilah khusus spesifik lokalita bagi sistem kelembagaan pertukaran resiko tersebut, tetapi dapat dinyatakan bahwa bentuk tradisional pertukaran resiko tersebut adalah kontrak farming yang dalam prakteknya juga bertindak seperti asuransi pertanian. Kontrak pertanian yang dilakukan yaitu melalui ikatan modal pendahuluan berupa input produksi dan sembako dengan persyaratan yang
80
mengikat. Pengaturan kontrak tersebut ternyata sejalan dengan prinsip-prinsip perdagangan komoditas kemudian hari (future market). Hal ini terlihat dari persyaratan penjualan setelah yang harus dilakukan dengan pedagang pengumpul pemberi modal. Pedagang pengumpul melakukan pembelian nenas dengan cara mendatangi lahan usaha petani dan mengangkut dengan menggunakan mobil colt atau truk pengangkut untuk dijual. Transaksi dilakukan di rumah pedagang pengumpul setelah nenas ditimbang bagi petani yang terikat ikatan kontrak sebelumnya, sedangkan bagi petani yang tidak terikat ikatan kontrak sebelumnya, nenas diantar ke pedagang pengumpul setelah ada kesepakatan harga nenas antara petani dengan pedagang. Pedagang pengumpul yang melakukan ikatan kredit modal dengan petani akan lebih diuntungkan dalam hal ini. Jika pembelian tanpa adanya ikatan skim kontrak, akan terjadi peluang yang relatif besar bagi pedagang pengumpul untuk mengalami situasi under capacity berupa ketidak mampuan memenuhi kapasitas permintaan. Transaksi yang dilakukan di rumah-rumah pedagang pengumpul ini dapat dipandang sebagai premium bagi kontrak asuransi yang mengikat petani untuk menjual nenas kepada pedagang pengumpul, sehingga pedagang memperoleh jumlah nenas yang sesuai untuk diperdagangkan ke lembaga pemasaran yang memiliki rantai diatasnya. Bagi petani nenas sendiri, disamping mendapat kredit pendahuluan, juga memperoleh manfaat berupa efisiensi pemasaran dan relatif kecilnya biaya transaksi, yang dalam hal ini berupa biaya pencarian informasi, biaya transportasi, biaya pemantauan dan penimbangan, yang semuanya memerlukan waktu yang seharusnya bisa digunakan sebagai waktu produktif.
81
Hasil penelitian di lapangan juga menunjukkan bahwa sistem kelembagaan tradisonal pertukaran resiko tersebut memiliki keterkaitan dengan berbagai pasar (market interlinkage) lainnya. Fenomena ini terlihat dari keterkaitan yang erat antara pasar kredit, pasar asuransi dan pasar komoditi yang semuanya melibatkan pelakupelaku tataniaga yang sama. Dalam sistem asuransi tradisional, keterkaitan pasar nenas di wilayah pedesaan Subang dapat dianggap sebagai aktivitas komplementer dalam penanggulangan resiko, karena resiko dan ketidakpastian (uncertainty) yang berhubungan dengan supply nenas yang diberikan petani dan kredit pendahuluan saprodi yang sangat dibutuhkan petani. Dengan demikian keterkaitan pasar dapat dikatakan mampu memberikan jasa-jasanya sebagai suatu instrumen untuk menurunkan biaya-biaya transaksi.
6.1.1.4 Bentuk Kontrak Pertanian Tradisional Sistem kontrak tradisional dalam pertanian nenas di Kabupaten Subang memiliki spesifikasi lokalita yang khas. Kontrak antara pelaku pasar terjadi dalam dua tingkatan yaitu antara petani dengan pedagang pengumpul
dan antara
pedagang pengumpul dengan pabrik pengolahan nenas menjadi dodol dan untuk eksportir. Di tingkat farm gate, kontrak pertanian melalui kredit pendahuluan umumnya melibatkan petani di pedesaan
dengan pedagang pengumpul yang
berkedudukan di ibukota kecamatan. Kontrak ini berupa kredit input sarana produksi dan sembako. Sedangkan dalam kontrak pemasaran, pedagang pengumpul juga menjalin ikatan dengan home industri pengolahan dodol. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, pengolahan dodol nenas terikat kontrak pemasaran dan permodalan dengan
82
para traders di Jakarta dan Bandung. Gambaran lengkap bentuk hubungan kelembagaan permodalan dan pemasaran antara berbagai pelaku pasar, mulai dari petani hingga traders asing tersaji dalam Gambar 4.
Petani
Petani
Petani
66.9%
20 % 10%
Pedagang Pengumpul Kebun
Pedagang Pengumpul Desa/Pengusaha dodol 3,01 %
Eksportir/ Konsumen
83
Ket :
Kerjasama Permodalan Kerjasama Pemasaran
Gambar 4. Bagan Kelembagaan Kerjasama Antara Petani, Pedagang Pengumpul Pengumpul Desa dan Eksportir
Kebun,
Mengingat kontrak pertanian melibatkan banyak pelaku serta bersifat lintas regional bahkan lintas negara, maka dalam penelitian ini analisis kontrak pertanian hanya membahas kontrak antara petani nenas dengan pedagang pengumpul. Dari 66,99 persen petani nenas yang menjalin ikatan kontrak pertanian dengan pengumpul, semuanya menyatakan bahwa bentuk kontrak yang dilakukan berupa kredit pendahuluan. Jenis kredit pendahuluan yang merefleksikan future market tersebut adalah kredit input produksi dan sembako. Input produksi yang banyak dijadikan jasa kredit adalah peralatan, ethrel dan urea phrill. Barangkali akan menjadi informasi yang sangat menarik jika membicarakan bentuk kontrak pertanian tersebut. Berbeda dengan bentuk kontrak pertanian di Indonesia umumnya, meskipun sama-sama berbentuk kredit pendahuluan, baik berupa modal uang maupun input produksi, tetapi kredit kontrak pertanian dalam pertanian nenas rakyat melibatkan sembako dalam paket kreditnya. Kredit sembako ini menjadi mungkin karena dengan kondisi pasar perdesaan yang fragmentatif dan bersifat tidak lengkap, semua pedagang pengumpul yang ditemui dan berlokasi di ibu kota kecamatan memiliki kios sarana produksi yang sekaligus kios penjualan sembako. Secara implisit pedagang pengumpul yang ditemui menyatakan bahwa kios-kios saprodi dan sembako dibuka karena memang kondisi pasar perdesaan memungkinkan untuk itu. Usaha tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
84
sarana produksi bagi petani yang berada dalam wilayah jangkauan, sekaligus juga sebagai sarana bagi pelaksanaan contract farming. Aspek khusus yang harus dicatat adalah bahwa pemberian kredit dalam bentuk natura seperti urea prill dan ethrel dan peralatan kepada petani dengan jaminan bahwa hasil panen mereka akan dijual kepada pedagang pengumpul. Sedangkan kredit sembako diberikan secara sporadis dan berkala sesuai dengan kebutuhan rumah tangga petani. Pembayaran kredit oleh petani biasanya diangsur sejak petani memperoleh hasil dari usahataninya baik itu hasil tanaman nenasnya yang umumnya mulai menghasilkan pada tahun ke 2, maupun hasil sampingan yang diperoleh dari hasil tanaman sela seperti jagung, sayuran, singkong, buah-buahan lain dan lain-lain yang biasanya sudah dapat dinikmati petani hasilnya sejak tahun pertama hingga tanaman utamanya (nenas) memasuki tanaman menghasilkan (TM). Sistem pembayaran hutang petani adalah sangat fleksibel dan waktunya tergantung dari hasil usaha tani tanaman sela yang diperolehnya. Tetapi setelah tanaman nenasnya memasuki tanaman menghasilkan maka pembayaran atau pemotongan hutang dilakukan delapan bulan sekali yaitu sesuai dengan rotasi panen nenas yaitu sekali setahun.
Jumlah pinjaman yang diberikan tidak melebihi dari perkiraan
pendapatan petani yang diperoleh dari hasil usaha tani nenasnya. Dalam pengembalian kredit, fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat dua modus utama pengembalian. Modus yang merupakan kesepakatan petani dan pedagang pengumpul dan banyak digunakan adalah modus perbedaan nilai total kredit yang sudah dinominalkan. Perbedaan nilai nominal kredit (r) ini merupakan “suku bunga” yang harus dibayar petani. Total kredit natura yang diterima petani,
85
baik barang atau sembako akan dikuantifikasi dengan jumlah nominal tertentu yang berlaku saat penerimaan kredit. Kemudian total nominal rupiah pinjaman tersebut dikonversi dengan harga nenas yang berlaku saat itu, sehingga didapat besaran jumlah nenas dalam kilogram (x) yang merupakan jumlah kredit yang dipinjam petani. Pada saat pembayaran yang umumnya dilakukan pada musim panen, maka petani harus membayar sejumlah (x+r)
nenas. Pedagang pengumpul yang
diwawancarai umumnya enggan memberikan informasi tentang jumlah suku bunga (r) yang harus dibayar petani, tetapi seorang pedagang pengumpul di Kecamatan Jalan cagak menyebutkan angka sebesar “20%”. Artinya jika total kredit pinjaman seorang petani setara dengan 100 kg nenas pada saat kredit diberikan, maka jumlah yang harus dibayarkan ke pedagang pengumpul adalah 120 kg nenas. Dengan demikian diketahui bahwa rataan suku bunga pinjaman adalah 2.55% per bulan. Modus pengembalian kredit yang kedua adalah pengembalian dengan uang tunai setelah ditambahkan ”suku bunga”. Modus ini populer dikalangan pelaku kontrak pertanian. Dalam prakteknya hampir menyerupai modus pertama. Total nilai kredit natura petani, baik saprodi maupun sembako dikuantifikasi dalam bentuk nominal uang. Kuantifikasi nominal sesuai harga natura yang berlaku saat kredit disalurkan. Pada musim panen, petani kontrak akan menjual hasil nenas kepada pedagang pengumpul. Saat transaksi yang dilakukan dengan uang tunai, petani harus membayarkan sejumlah nilai nominal kredit ditambah “suku bunga”. Meskipun enggan untuk memberikan informasi tentang jumlah “suku bunga” yang diterapkan, tetapi umumnya tingkat suku bunga ini bervariasi menurut kedekatan hubungan
86
kekerabatan dan tingkat kemampuan ekonomi petani kontrak. Identifikasi lapangan menunjukkan “suku bunga” bervariasi mulai 20 persen hingga 30 persen. 6.1.1.5 Mekanisme Pelaksanaan Kontrak Pertanian Sistem kontrak pertanian non formal melalui ikatan kredit pendahuluan antara petani nenas dengan pedagang pengumpul memberikan kesan yang rumit. Meskipun rumit dan tanpa ikatan formal, sistem kontrak tradisional tersebut ternyata dapat dipatuhi dengan baik (self-enforced) oleh kedua belah pihak pelaku kontrak tanpa adanya campur tangan intermediasi oleh pihak ketiga. Dalam praktek pembuatan kontrak petani menyatakan bahwa kontrak tidak dibuat tertulis dengan aturan-aturan baku. Begitu juga dengan dalam proses permufakatan kontrak, semua petani kontrak merasa tidak diikutsertakan begitu saja.
Hal ini terjadi dengan
mengalir begitu saja karena faktor sosio-kultur dan faktor model kontrak yang sudah berlangsung turun temurun di wilayah perdesaan setempat. Faktor sosio-kultur yang berpengaruh tersebut adalah adanya hubungan perkenalan atau kepercayaan antara pedagang pengumpul dengan petani nenas di samping itu ikatan persaudaraan atau adanya hubungan kekeluargaan antara petani-petani dengan pedagang pengumpul membuat kepercayaan yang diambil petani untuk menjual kepada pedagang pengumpul. Hasil identifikasi lapangan mengindikasikan bahwa 66.99 persen petani kontrak memiliki hubungan kekerabatan dengan pedagang pengumpul. 24.5 persen lainnya memiliki hubungan perkenalan atau kepercayaan. Faktor sosio-kultur ini juga yang menyebabkan peluang terjadinya insiden moral hazard menjadi sangat rendah. Dari seluruh petani kontrak yang berhasil diwawancarai, hanya 4 persen saja yang mengaku pernah melakukan pelanggaran
87
akad kontrak. Fenomena moral hazard ini dilakukan dengan tidak menjual, yang berarti juga tidak membayar kredit natura kepada pedagang pengumpul. Dalam kasus ini, petani yang tergolong free rider tersebut sengaja menjual nenas kepada pedagang pengumpul lainnya dengan alasan jika dijual kepada pemberi kredit, maka hasil penjualan akan habis untuk pengembalian kredit yang sudah disepakati. Namun dari inspeksi langsung ke lokasi usahatani yang dikelola oleh petani pelanggar kontrak ini, ditemukan kecenderungan kurangnya insentif yang mengarah kepada tindakan sub-optimal dari petani yang bersangkutan untuk memberikan perhatian pada kebun nenasnya, akibatnya produksi nenas menjadi sangat rendah yang tidak sebanding dengan jumlah kredit yang dipinjam. Berkaitan dengan pelanggaran kontrak oleh petani, beberapa pedagang pengumpul memberikan keterangan yang berbeda tentang sanksi yang diterapkan. Tetapi umumnya sanksi berupa penambahan tingkat “suku bunga” kredit yang dipinjam. Sanksi yang lebih tinggi adalah dimasukkannya petani free rider tersebut dalam daftar black list
‘organisasi’ pedagang pengumpul. Hal ini sangat
dimungkinkan untuk diterapkan, karena hubungan yang solid antar pedagang pengumpul dan pedagang desa yang relatif semuanya memiliki keterikatan modal dengan eksportir.
Kesolidan ‘organisasi’ dan informasi inilah yang menjadi alat
untuk meng-enforce mekanisme pelanggaran kontrak, sehingga petani yang pernah melakukan pelanggaran, akan sulit sekali untuk dapat diterima dikalangan pedagang pengumpul, artinya peluang untuk mendapatkan kredit lanjutan (advanced credit) akan berkurang jauh bahkan tertutup sama sekali.
88
Dampak lanjutan bagi petani yang menerima sanksi dari pedagang pengumpul adalah norma sosial masyarakat desa setempat. Berdasarkan wawancara dengan pedagang pengumpul didapatkan informasi bahwa biasanya informasi pelanggaran ini akan terekspos dengan sendirinya di kalangan masyarakat, sehingga menimbulkan reputasi jelek dan perasaan malu bagi pelanggar. Perasaan malu dan takut reputasi jelek akan menimbulkan tekanan sosial tersendiri sehingga berimplikasi menjadi norma-norma sosial yang dapat ‘menghukum’ setiap petani yang berani melakukan tindakan moral hazard. Selanjutnya mekanisme pemaksaan kontrak (contract enforcement mechanism) yang didasarkan kepada norma-norma sosial akan makin meningkat terutama bila petani dan pedagang pengumpul bersangkutan merupakan warga asli desa dimana anggota masyarakat komunalnya kebanyakan masih mempunyai ikatan kekerabatan. Di sisi lain, komunitas desa yang masih sangat kecil, membuat interaksi antar masyarakat menjadi lebih intensif sehingga mekanisme pemaksaan norma (norm enforcement mechanism) dapat bekerja lebih baik. Berlakunya norma-norma sosial semacam itu, akan membuat harapan biaya (expected cost) dari pelanggaran kontrak akan menjadi lebih besar, karena selain pelanggar kontrak mengalami kehilangan keuntungan dari kontrak yang dilaksanakan, juga menghilangkan kesempatan-kesempatan masa datang guna
memperoleh
kontrak
lain
dengan
masyarakat
yang
mungkin
lebih
menguntungkan. 6.1.1.6 Hubungan Principal-Agent Dalam
konteks
perkebunan
nenas,
pedagang
pengumpul
yang
menguasai permodalan dan pasar bertindak sebagai principal. Petani nenas
89
sebagai pihak yang lemah, hanya menerima bantuan modal dan tidak menguasai pasar bertindak sebagai agents. Dalam prakteknya kedua pihak melakukan ikatan kerjasama informal yang disebut dengan kontrak pertanian. Principal memberikan kredit pendahuluan berupa natura (Peralatan, urea prill, ethrel dan sembako) kepada agent, dengan kewajiban pihak agent mengembalikan kredit pada saat panen dan menjual hasil panen tanaman sela dan produksi nenasnya kepada principal. Bentuk sistem kerjasama tersebut merupakan bentuk hubungan principal - agent yang banyak berlaku dikalangan masyarakat petani nenas di Kabupaten Subang. Dalam kaitan dengan struktur insentif, pemberian kredit pendahuluan dalam bentuk natura merupakan bentuk struktur insentif (reward structure) yang
diberikan
principal
kepada
agent.
Pemberian
insentif
tersebut
dimaksudkan agar agent dapat bekerja lebih produktif. Sehingga dalam hal ini persoalannya adalah bagaimana principal mendisain suatu struktur insentif sehingga agent memiliki insentif yang tinggi untuk mengoptimalkan usahatani nenasnya. Di sisi lain hasil panen nenas, baik jumlah maupun mutu yang akan dijual kepada principal, sangat tergantung pada dua faktor, yaitu bagaimana tingkat intensitas pemeliharaan usahatani oleh agent dan keadaan iklim yang mendukungnya. Dari sisi principal, jumlah dan mutu nenas yang di produksi agent tersebut merupakan insentif yang diterima. Nenas yang diproduksi agent akan menyumbang kepada peningkatan hasil output dan pendapatan untuk pihak principal secara positif, dimana tingkat pendapatan principal relatif akan dipengaruhi oleh besarnya tingkat output dan hasil kerja agent.
90
Kenyataan di lapangan menunjukkan hubungan kerjasama yang saling memberikan insentif ini sudah berlangsung sejak lama, sehingga diduga mampu memberikan efisiensi optimal dalam berbagai keterbatasan yang ada. Terdapat dua jenis informasi dalam principal-agent di pertanaman nenas. Informasi pertama adalah tentang perilaku petani sebagai agent, baik yang berhubungan dengan karakter maupun dengan kemampuan. Informasi kedua berhubungan dengan perilaku pasar yang bisa berubah dengan sangat dinamis. Dalam konteks informasi tentang perilaku dan kemampuan agent umumnya terjadi informasi asimetris. Petani sebagai agent akan lebih tahu informasi yang menyangkut karakter dan kemampuan diri sendiri, sebaliknya dengan principal. Dalam seleksi petani penerima kredit, hal ini menjadi sangat penting bagi principal, karena kesalahan dalam menilai karakter dan kemampuan akan membawa kerugian maksimum. Oleh karena itu terjadinya persoalan kemungkinan petani beresiko tinggi, akan menimbulkan kesalahan dalam menyeleksi petani penerima kontrak, sehingga akan timbul fenomena yang disebut adversely selection of risk, yaitu kemungkinan kesalahan menyeleksi petani yang bersiko tinggi dengan yang baik. Permasalahan lanjutan yang timbul akibat kesalahan seleksi ini adalah fenomena moral hazard dari petani beresiko tinggi. Tindakan moral hazard dapat muncul dalam bentuk pelanggaran terhadap kontrak yang sudah disepakati. Dalam sistem kontrak pertanian nenas, fenomena moral hazard jarang ditemukan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hanya 4.8 persen pe tani
91
kontrak yang terjangkit penyakit moral hazard ini. Dalam terminologi ekonomi organisasi, petani jenis ini sering disebut dengan free rider. Kecilnya peluang kemunculan free rider disebabkan karena karakteristik hubungan antar petani dan pedagang pengumpul lebih bersifat personal, yang biasa menggunakan mekanisme mempercayai
hubungan (trust
kekerabatan,
building
persahabatan
mechanism).
atas
Hubungan
dasar
saling
personal
dalam
kelembagaan masyarakat tradisional terutama dalam hubungan kontrak pertanian nenas mempunyai peranan penting dalam menekan biaya transaksi. Pedagang pengumpul tidak perlu mengeluarkan biaya informasi dan monitoring dalam kontrol terhadap petani, sebaliknya petani juga tidak memerlukan biaya transaksi dalam proses seleksi petani kontrak dan pemasaran hasil dikemudian hari. Dalam konteks perubahan perilaku pasar, umumnya terjadi informasi asimetris. Pedagang pengumpul sebagai principal bertindak sebagai penguasa informasi, sebaliknya petani sebagai agent akan kesulitan mendapatkan informasi pasar ini. Informasi pasar yang sangat penting bagi petani adalah informasi perubahan harga. Informasi perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul bersumber dari pabrik pengolahan nenas, bila industri rumah tangga pengolahan nenas mengatakan terjadi penurunan harga maka informasi ini akan cepat sampai pada pedagang pengumpul dan petani tetapi bila harga nenas meningkat maka informasi dari pihak perusahaan pengolahan nenas akan lambat sampai ke pihak pedagang pengumpul dan biasanya bisa memakan waktu sampai dua bulan. Sedangkan dari pedagang pengumpul ke
92
petani, informasi kenaikan harga ini juga lambat sampainya bisa memakan waktu sekitar satu bulan. Terjadinya informasi yang asimetrik ini karena adanya marjin pemasaran yang panjang
sehingga informasi harga hanya
dikuasai oleh pihak pedagang desa, eksportir dan konsumen. Sedangkan dari pedagang ke petani juga terjadi pasar yang
monopsoni dimana di setiap
kecamatan tidak terlalu banyak pedagang pengumpul hanya berkisar 3 – 8 pedagang pengumpul. Disamping itu juga keterbatasan media komunikasi dan sarana informasi lainnya yang memuat tentang harga nenas di wilayah pedesaan
tempat
sentra-sentra
nenas
juga
merupakan
faktor
yang
menyebabkan informasi peningkatan harga nenas lambat sampai ke petani nenas. 6.1.1.7 Peranan Kelembagaan Petani Organisasi-organisasi petani yang merupakan bentuk pengaturanpengaturan institusional yang penting untuk dapat mengorganisasikan petani nenas, khususnya dalam rangka menyongsong kebijaksanaan liberalisasi pasar pertanian. Keuntungan mengorganisasikan petani nenas dalam kelompok-kelompok yang solid merupakan suatu upaya untuk mengurangi biaya-biaya transaksi dalam memperoleh akses kepada pasar-pasar sarana produksi utama seperti pupuk dan obat-obatan dan juga pasar output nenas. Keuntungan lainnya adalah untuk memperbaiki kekuatan tawar-menawar dan negoisasi dari petani nenas yang berhadapan vis-à-vis dengan industri rumah tangga pengolahan nenas dan pedagang pengumpul yang memiliki organisasi yang solid dan permodalan yang kuat.
93
Di Kabupaten Subang, petani hanya tergabung dalam kelompokkelompok tani yang lemah dan cenderung merupakan alat penetrasi pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya. Dengan potensi nenas yang besar di Kabupaten Subang seharusnya sudah terbentuk organisasi petani yang dapat membantu memperbaiki kondisi petani yang kian terpuruk. Tetapi kenyataan berbicara lain, belum ada satupun organisasi petani yang dimaksud, bahkan tidak juga koperasi pertanian. Selama ini sebagian petani hanya bergabung dan berharap kepada KUD untuk memperbaiki kondisi petani. Namun seperti pembentukan koperasi-koperasi lainnya di Indonesia, sejarah perkembangan KUD di Kabupaten Subang disisi lain telah memberi kesan bahwa KUD yang ada kebanyakan merupakan bentukan dari atas oleh pemerintah, sehingga jarang sekali yang mampu berhasil dalam memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan petani kecil yang lemah. Itulah sebabnya sedikit sekali petani
nenas yang mau bergabung dengan KUD atau kelompok-
kelompok tani. 6.1.1.8 Opsi Kelembagaan Pemasaran Nenas. Peranan kelembagaan petani dalam tataniaga nenas, termasuk diantaranya kelompok tani maupun koperasi sangat terbatas. Lembaga-lembaga tersebut hanya efektif dalam mengakomodasi petani dalam transfer pengetahuan baru yang disampaikan oleh pemerintah daerah serta pembentukan bersifat temporal terutama untuk pengucuran bantuan dana pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan dan keberlanjutan. Indikasi besarnya peluang petani memilih lembaga tataniaga informal, didukung argumentasi bahwa di lokasi penelitian hanya 33 persen dari responden
94
yang memasarkan nenas ke lembaga formal seperti kelompok tani dan KUD, sementara sisanya sebanyak 67 persen menjualnya ke lembaga informal yaitu pedagang desa dan pedagang pengumpul. Rendahnya minat petani dalam pemasaran nenas melalui KUD menunjukkan kelemahan kinerja lembaga tersebut, terutama pemberian manfaat bagi petani. Peranan KUD biasanya hanya sebatas menyediakan sarana produksi dan sembako dengan harga yang relatif sama dengan harga yang ditawarkan pedagang pengumpul, sehingga seringkali peran koperasi tersebut diambil alih oleh pedagang pengumpul yang memang memiliki permodalan yang kuat dan juga memiliki kios saprodi dan sembako. Dalam waktu-waktu tertentu bahkan KUD menjadi agent pedagang pengumpul melalui ikatan permodalan dalam pemasaran nenas. Dengan demikian menjadi sesuatu yang wajar jika pada akhirnya lebih memilih pedagang pengumpul dalam transaksi nenas. Apalagi dalam proses transaksi, berbeda dengan KUD, umumnya pedagang pengumpul mendatangi rumah petani guna melakukan transaksi, sehingga menguntungkan petani dalam hal efisiensi pemasaran dan pengurangan biaya transaksi. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang opsi petani dalam lembaga pemasaran tersebut, maka akan dibahas secara rinci faktor-faktor yang mempengaruhi opsi tersebut. Faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi opsi petani memilih lembaga tataniaga antara lain karakterisitk petani dan atribut biaya transaksi yang menyertainya. Karakteristik petani meliputi; Pengalaman usaha, lama pendidikan formal, jumlah keluarga, pendapatan, penggunaan tenaga kerja, pendidikan non formal . Atribut biaya transaksi meliputi informasi harga, periode
95
transaksi, ketidak pastian harga, ketidak jujuran, resiko tidak terjual, kemudahan prosedur transaksi, priode transaksi non formal. Terhadap semua faktor tersebut dilakukan analisis komponen utama (principle component analysis) untuk mendapatkan faktor-faktor penentu utama keragaman opsi kelembagaan tataniaga oleh petani, dan sekaligus mengatasi masalah multikoliniaritas dengan mereduksi beberapa variabel. Meskipun dapat mengatasi masalah tersebut, tetapi cara ini memiliki keterbatasan untuk menterjemahkan secara parsial fenomena - fenomena ekonomi yang muncul dari setiap variabel.
Dalam analisis komponen utama
terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan guna mendapatkan hasil yang maksimal. Pertama adalah ekstraksi komponen utama dari berbagai variabel penjelas dan menentukan nilai eigenvalue, kedua adalah menentukan koefisien loading faktor dari masing-masing faktor ekstraktif dan ketiga adalah menentukan factor score dan sekaligus analisis dugaan fungsi logistiknya. Selengkapnya hasil ekstraksi komponen utama tersaji dalam tabel berikut. Tabel.7. Hasil Ekstraksi Komponen Utama dan Eigenvalue dari Berbagai Variabel Penduga Opsi Kelembagaan Tataniaga Nenas. Faktor Ekstraksi
1
Uraian Eigenvalue
Total Variance (%)
Cumulative Eigenvalue
Cumulative (%)
4,523963
32,31402
4,523963
32,31402
Analisis faktor ekstraksi dapat menunjukkan hubungan yang nyata antara semua variable karakteristik petani dan atribut biaya transaksi yang direduksi menjadi satu faktor dengan peluang petani dalam memilih lembaga tataniaga, yang ditunjukkan oleh skor peubah yang berada pada faktor yang sama. Tabel 7 diatas menggambarkan bahwa semua faktor dalam karakteristik petani yang secara nyata
96
mempengaruhi opsi petani secara dapat direduksi menjadi 1 faktor. Sedangkan faktor-faktor karakteristik petani yang tidak berpengaruh terhadap opsi dikeluarkan dari faktor ekstraksi. Dengan demikian hal ini juga menghindarkan kemungkinan terjadinya multikolinearitas antar variabel dalam karakteristik petani. Tidak terdapatnya multikolinearitas tersebut dapat terdeteksi dari nilai eigenvalue faktor yang lebih dari 1, serta sekaligus dapat menjelaskan nilai persentase kumulatif total varians dari data karakteristik asal sebesar 32,31%. Untuk
mengetahui
variabel-variabel
dalam
karakteristik
petani
yang
mempengaruhi dan tidak mempengaruh terhadap opsi petani dalam tataniaga nenas digunakan loading faktor.
Selengkapnya loading factor tersebut beserta
interpretasinya dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Koefisien Loading Factor dari Berbagai Variabel Karakteristik Petani dalam Opsi Tataniaga Nenas. No
Karakteristik
Loading Factor
Petani
1
1
Pengalaman (tahun)
0,492443
2
Pendidikan formal (tahun)
-0,02557
3
Pendapatan (Rp./musim panen)
0,530171
4
Jumlah keluarga (orang)
0,759915
5
Produksi (ton)
0,758442
6
Penggunaan tenaga kerja (orang)
0,492179
7
Dummy Informasi harga (1=tahu; 0 =lainnya)
0,712436
8
Dummy Prosedur transaksi (1= susah/rumit ; 0=lainnya)
0,314155
9
Dummy Ketidak pastian harga (1=susah/rumit ; 0=lainnya)
0,854005
10
Dummy Ketidak jujuran (1= ya ; 0 =lainnya)
0,697749
11
Dummy Resiko produk tidak terjual (1=banyak ; 0=lainnya)
-0,51361
12
Dummy keikutsertaan kelompok tani (1=ikut ; 0 = lainnya)
-0,18102
13
Pendidikan non formal (hari)
-0,52067
14
Priode transaksi non formal (hari)
0,463344
Sumber : hasil kuisioner (diolah) menggunakan Statistica versi 5.5A
97
Berdasarkan Tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa variabel-variabel karakteristik petani yang paling krusial berpengaruh terhadap opsi kelembagaan tataniaga, baik formal maupun informal masing-masing terekstraksi
dalam satu
faktor. Berdasarkan urutan nilai loading absolut, faktor 1 terdiri dari; jumlah keluarga, produksi, informasi harga, ketidak pastian
Faktor karakteristik petani yang tidak
tergabung dalam faktor 1 dikeluarkan dari model karena kurang berpengaruh nyata terhadap opsi kelembagaan petani karena nilai koefisien loadingnya lebih kecil dari 7. Untuk mengetahui pengaruh kelembagaan tataniaga, baik
faktor ekstraktif terhadap alternatif opsi
secara kolektif maupun
parsial dapat dilihat dari
model logistic regression yang selengkapnya tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9. Dugaan Koefisien Fungsi Logistik Opsi Kelembagaan Informal Tataniaga Nenas (1 = formal ; 0 = informal). Estimate Std.Err. t. hitung t. tabel (a=0.05) Chi² (1) = -65,33
Constanta -0,72251 0,21258 -3,3988
Factor 1 -0,29497 0,21714 -1,3548 1,668
Model logistik diatas menunjukkan bahwa nilai Chi2 (2) adalah –65,33 lebih kecil dari Chi2 (1) tabel yaitu 7,88, sehingga dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 persen, secara bersama-sama variabel-variabel karakteristik petani yang terekstraksi dalam faktor 1
tidak berpengaruh nyata
terhadap peluang memilih kelembagaan tataniaga nenas. kolektif kolektif
Begitu juga secara
faktor 1 secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap opsi
kelembagaan petani hal ini terlihat dari nilai t hitung (-1,3546) yang lebih kecil dari t tabel (1,668).
98
Faktor 1 dengan koefisien estimasi yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa “peluang petani untuk memilih pedagang pengumpul sebagai lembaga pemasar akan semakin besar hal ini terjadi karena semakin sulitnya mendapatkan akses informasi harga dan semakin jauhnya jarak antara rumah petani dengan KUD”. Ditinjau dari aspek jarak, hasil estimasi ini wajar saja terjadi karena fakta di lapangan memang mengarah kepada kondisi yang demikian. Dalam transaksi nenas, KUD menerapkan strategi yang defensif, dalam artian bahwa petani yang ingin menjual nenas harus membawa sendiri nenas yang akan di jual ke KUD, dengan harga jual yang relatif sama bahkan lebih rendah dari harga yang ditawarkan pedagang pengumpul. Sebaliknya pedagang pengumpul menerapkan strategi door to door, mendatangi langsung rumah-rumah petani dengan menggunakan truck untuk melakukan transaksi, dengan harga yang relatif sama bahkan lebih baik dari harga beli KUD. Perbedaan kinerja terutama dalam strategi pemasaran, yang disebabkan perbedaan kemampuan finansial ke dua lembaga tataniaga ini menyebabkan petani cenderung untuk makin memilih pedagang pengumpul dibandingkan dengan KUD. Dengan demikian berarti petani hanya akan mengeluarkan biaya transaksi yang lebih kecil dan sekaligus mendapatkan efisiensi pemasaran yang lebih baik, sehingga makin meningkatkan pendapatan petani. Dari aspek informasi harga dapat dikemukakan petani cenderung untuk lebih memilih pedagang pengumpul sebagai tempat transaksi dengan semakin sulitnya akses informasi harga.
Fakta ini tidaklah mengejutkan, karena kenyataan
dilapangan menunjukkan bahwa akses informasi harga di tingkat KUD lebih tertutup dan sulit diperoleh dibandingkan dengan pedagang pengumpul
yang umumnya
99
lebih terbuka karena secara umum petani dan pedagang pengumpul cederung memiliki hubungan kekerabatan sehingga informasi harga akan cepat diperoleh oleh petani. 6.2 Analisis Ekonomi dan Kebijakan. 6.2.1 Analisis Finansial dan Ekonomi. Hasil analisis kelayakan finansial dan ekonomi yang merefleksikan kelayakan usaha tani nenas dan didasarkan pada siklus 5 tahunan yang merupakan usia produktif secara ekonomis tanaman nenas. Hasil analisis finansial sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga. Pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa usaha pertanian
nenas secara finansial layak,
yang ditunjukkan oleh nilai NPV yang diperoleh bernilai positif yaitu 9.889.522 BC ratio yang lebih besar dari satu yaitu 1.42 dan IRR 31.59. finansial ini disebabkan karena nilai NPV yang diperoleh
Ke layakan secara bernilai positif pada
tingkat suku bunga tabungan yang belaku di lapangan yaitu 12%, disamping itu nilai BC ratio yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa cost yang dikeluarkan lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh. Indikator lainnya yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan secara finansial adalah IRR. Nilai IRR yang diperoleh adalah 31.59 dan nilai ini lebih besar dari pada suku bunga tabungan yang berlaku di lokasi penelitian, hal ini mengindikasikan bahwa dari pada modal yang dimiliki di simpan di bank lebih baik digunakan untuk usaha tani nenas karena manfaat yang diperoleh akan lebih besar bila digunakan untuk usaha tani nenas. Tabel 10. Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12% dan 32 % dalam Luasan 1 Ha, 2003 Indikator Suku Bunga 12 % 32%
100
NPV BC Ratio IRR
9.889.522
(204.623)
1.42 31.59
Usaha tani nenas secara ekonomi layak untuk diusahakan, yang ditunjukkan oleh nilai NPV yang diperoleh bernilai positif yaitu 14.495.078 , BC ratio yang lebih besar dari satu yaitu 1.62 dan IRR 39.75 (Tabel 11). Kelayakan secara finansial ini disebabkan karena nilai NPV yang diperoleh
bernilai positif
pada tingkat suku
bunga tabungan yang belaku di lapangan yaitu 12%, disamping itu nilai BC ratio yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa cost yang dikeluarkan lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh. Indikator lainnya yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan secara ekonomi adalah IRR. Nilai IRR yang diperoleh adalah 39.75 dan nilai ini jauh lebih besar dari pada tingkat suku bunga tabungan yang berlaku di lokasi penelitian, hal ini mengindikasikan bahwa dari pada modal yang dimiliki di simpan di bank akan lebih baik diinvestasikan untuk usaha tani nenas karena akan memberikan manfaat yang lebih besar bila diinvestasikan dari pada disimpan di bank. Tabel 11. Analisis Kelayakan Ekonomi (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12% dan 40 % dalam Luasan 1 Ha, 2003 Indikator
Suku Bunga
12 % 40% NPV (14.495.078) (132.921) BC Ratio 1,62 IRR 39,75 Dari indikator kelayakan secara finansial dan ekonomi pada usaha tani nenas di kabupaten Subang menunjukkan bahwa
usaha tani nenas sangat layak untuk
diusahakan dan sekarang diperlukan upaya untuk meningkatkan harga nenas di tingkat petani agar harga privat (harga yang diterima petani) sama dengan harga
101
sosialnya, salah satu alternatifnya adalah melalui penguatan kelembagaan petani baik secara vertical maupun secara horizontal sehingga petani nenas dapat memasarkan langsung produksinya ke pihak eksportir. 6.2.1 Analisis Keterpaduan Pasar. Untuk menganalisis lebih lanjut fenomena perubahan harga nenas antara pasar referensi (eksportir) dengan petani, maka dilakukan analisis keterpaduan pasar yang diharapkan dapat mengetahui keterpaduan pasar di tingkat petani nenas dengan
pasar referensi.
Hasil analisis keterpaduan pasar nenas
di
Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 12. Dugaan Koefisien Fungsi Harga Nenas di Kabupaten Subang Peubah Koefisien T. Ratio P. Value Standard Error 265,04 1,908 0,071 138,9 HPE t-1 -0,0227 -1,001 0,329 0,02276 -0,08738 -0,6716 0,510 0,1301 0,75 12,213 1,99 0,000 Catatan : HP = harga di tingkat petani. HPE = harga di tingkat eksportir. Analisis keterpaduan pasar nenas di tingkat petani dengan pasar referensi (eksportir) yang ada di Kabupaten Subang dilakukan secara jangka panjang dan jangka pendek. Hasil perhitungan indeks integrasi pasar nenas di tingkat petani dengan pasar referensi (eksportir) adalah Index of Market Integration (IMC) = -2,23. Artinya antara pasar referensi (eksportir) dengan pasar di tingkat petani
tercapai
102
keseimbangan atau keterpaduan dalam jangka pendek karena nilai yang diperoleh lebih kecil dari 1. Hal ini mengindikasikan adanya pasar yang kompetitif dalam pemasaran nenas petani di Kabupaten Subang. Nilai koefisien perubahan harga nenas di tingkat eksportir adalah 0,0227, artinya jika terjadi perubahan harga di tingkat pabrik pengolahan nenas sebesar Rp 1000, maka harga nenas di tingkat petani berubah sebesar Rp 22,7. Dengan kriteria ini disimpulkan bahwa perubahan harga nenas di tingkat pasar referensi (eksportir) tidak berpengaruh kuat terhadap perubahan harga nenas di tingkat petani nenas dan dalam jangka panjang tidak tercapai keterpaduan antar pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat eksportir.
Fenomena ini terjadi karena adanya
praktek monopsoni oleh eksportir nenas sehingga informasi sangat lambat. Apabila dilakukan pembinaan baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta (perusahaan) sebagai bapak angkat berupa informasi harga dan peningkatan produksi dan produktivitas komoditi nenas maka peluang petani dan kelompok tani untuk mendapatkan pedapatan yang lebih baik dan tingkat hidup yang lebih sejahtera. 6.2.1
Analisis Marjin Pemasaran. Marjin pemasaran dalam penelitian dapat dihitung berdasarkan pola saluran
pemasaran yang ada di lapangan. Adapun aliran pemasaran nenas yang terjadi di Kabupaten Subang yakni antara produsen dan konsumen adalah sebagai berikut : Pedagang Pengumpu l Kebun
Petani Nenas
Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul Desa
E K S D P A O N R T I R
K O N S U M E N
103
Pola Pasar Pertama
Pola Pasar Kedua
Pola Pasar Ketiga
Pola Pasar I : Petani nenas-Pedagang pengumpul kebun- pedagang pengumpul desa - konsumen dan eksportir. Pola Pasar II : Petani nenas - Pedagang Pengumpul desa- konsumen dan eksportir. Pola Pasar III : Petani nenas – konsumen dan eksportir. Berikut ini disajikan Tabel 13.Marjin pemasaran di lokasi penelitian. Tabel 13. Marjin Pemasaran dan penyebaran harga hasil nenas di lokasi penelitian. No
Uraian Petani
1
2
Pola pasar 1 Nilai Rp/Kg
%
Pola pasar 2 Nilai Rp/Kg
%
57,50
575,00
57,50
Harga Nenas di Tingkat Petani
575,00
Biaya produksi
434,00
434,00
Biaya pamasaran
20,00
20,00
Total biaya
454,00
454,00
keuntungan bersih
121,00
121,00
Marjin pemasaran
121,00
12,10
121,00
Pedagang Pengumpul Kebun Harga beli
575,00
-
Biaya Tataniaga (Angkut)
20,00
-
Penyusutan
11,50
-
total biaya
31,50
-
Harga jual ke pedagang pengumpul dsa
650,00
-
keuntungan bersih
43,50
Marjin pemasaran
75,00
4,35
-
12,10
Pola pasar 3 Nilai Rp/Kg
%
104
Pedagang Pengumpul Desa 3
Harga jual
650,00
600,00
Biaya Tataniaga (Angkut)
20,00
20,00
Penyusutan
13,00
24,00
Total biaya
33,00
44,00
Harga jual ke eksportir/konsumen
1.000,00
750,00
keuntungan bersih
17,00
8,00
66,00
Marjin pemasaran
50,00
5,00
150,00
15,00
Eksportir 4
harga beli
1.000.00
750,00
750,00
Biaya Tataniaga (Angkut)
20,00
20,00
20,00
Penyusutan
14,00
24,00
24,00
Total biaya
34,00
44,00
44,00
harga jual ke eksportir
1.000.00
1.000.00
1.000.
keuntungan bersih
266,00
162,00
162,00
Marjin pemasaran
300,00
Total marjin pemasaran
30,00
546,0
250,00
25,00
250,00
521,0
446,0
Total biaya pemasaran
118,50
108,00
95,50
Total keuntungan Sumber : analisis Data Primer (petani dan pedagang).
447,50
349,00
326,50
Semakin
besar
total
marjin
pemasaran
keuntungan
petani
25.00
yang
didistribusikan untuk pelaku-pelaku pemasaran semakin besar, sehingga bagian harga petani akan semakin kecil. Berdasarkan tabel dia ats diketahui bahwa pola pemasaran pertama, bagian harga petani paling kecil, dibandingkan pada pola pemasaran kedua dan ketiga. Bagian harga petani meunjukkan proporsi harga yang diterima petani dari keseluruhan harga yang terbentuk dalam suatu pola pemasaran komoditi. Semakin besar proporsi harga yang diterima petani berarti petani memiliki bargaining position yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya, jika proporsi harga yang diterima petani semakin sedikit,bargaining position petani semakin kecil. Olah kaena itu pada pola pemasaran ketiga dalam penelitian ini petani merupakan pihak yang diuntungkan, akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan hanya sedikit
105
petani berkesempatan dan mampu memilih pola pemasaran ketiga. Kendala utama adalah keterbatasan modal petani, baik modal pemasaran, modal untuk kelangsungan usahatani selanjutnya, dan rendahnya pengalaman petani.
6.2.2 Analisis Kebijakan (PAM). Hasil analisis matrik kebijakan (PAM = Policy Analysis Matrix) usaha tani nenas di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRCR yang diperoleh lebih kecil dari satu yaitu 0,515 dan 0,107; artinya untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik (Tabel 6).
Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu satuan
devisa pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Nilai PCR dan DRCR yang diperoleh tersebut lebih kecil dari satu, me ngindikasikan bahwa usaha tani nenas di Kabupate Subang mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun secara komperatif. Dalam hal ini nilai DRCR < 1 memberi arti bahwa memproduksi nenas di dalam negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik 10,7 %, dengan kata lain produksi nenas domestik memiliki daya saing tinggi, sebab setiap satu dollar, devisa yang dihasilkan dalam usahatani nenas di Kabupaten Subang mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 0,515 dolar. Tabel 14.Hasil Analisis Kebijakan Usaha Tani Nenas di Kabupaten Subang, 2003. Satuan (Rp/kg) Keterangan
Penerimaan (Rp)
Bi a y a I n p u t (Rp)
Keuntungan (Rp)
106
Diperdagangkan
Domestik
Harga Privat
264.600.000
6.955.612,5
132.705.327,5
124.939.060
Harga Sosial
1.241.000.000
4.140.893,75
131.842.890,3
1.105.016.216
Divergensi
-976.400.000
2.814.718,75
862.437,25
-980.077.156
PP = 124.939.060
FT = 862.437,25
N P C O = 0 , 2 1 3
SP = 1.105.016.216
NT = -980.077.156
N P C I = 1 . 6 8 0
OT = -976.400.000
P
E
C
P
R
C
=
=
0
0
,
,
5
2
1
0
107
IT = 281.471.8.75
5
8
D
P
R
C
C R
=
=
0 ,
0
2
,
0
1
8
0 7 S P P = 0 , 0 0 0
6.2.3.1 Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah. Ukuran divergensi dan kebijakan pemerintah dalam matrik PAM adalah transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. relatif
Ukuran
ditunjukkan oleh koefisien proteksi output nominal atau nominal
protection coeficient on output (NPCO), koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on input (NPCI), koefisien proteksi efektif atau effective protection coeficient (EPC), koefisien profitabilitas atau profitability
108
coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producent (SRP). 6.2.3.2 Dampak Kebijakan Harga Input. Dampak divergensi dan kebijakan pemerintah yang terdapat pada input tradable ditunjukkan oleh nilai transfer input (IT) dan NPCI. Nilai IT yang diperoleh adalah
positif
(IT > 0), yaitu Rp. 2.814.718,75. Hal ini
mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan produsen atau petani nenas, karena petani nenas harus membayar harga input tradable lebih tinggi dari yang seharusnya. Nilai NPCI yang diperoleh lebih besar dari satu (NPCI>1) yaitu1 1.680
, berarti
petani yang diteliti menerima harga input sekitar 16,8 % lebih tinggi dari pada harga sosialnya. Hal ini terjadi karena harga pupuk dan etrel yang diterima petani lebih tinggi dari pada harga sosialnya.
Tingginya harga tersebut dari
pada harga sosialnya karena sebagian pupuk yang digunakan dan etrel tersebut merupakan input tradable yang komponen utamannya dari luar dan mekanisme pasar yang terbentuk dalam pemasaran ke dua input tersebut belum competitive market karena faktor kelembagaan masih terbatas seperti lembaga pemasaran input di daerah ini sangat kurang memadai. 6.2.3.3 Dampak Kebijakan Harga Output. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar output (nenas) yang berlaku sekarang dapat dianalisis melalui koefisien dampak kebijakan proteksi harga output nominal (NPCO) dan Transfer Output (OT).
NPCO
merupakan rasio penerimaan yang dihitung
109
berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output.
Nilai NPCO
menunjukkan dampak kebijakan akibat kegagalan pasar yang tidak dikoreksi dengan kebijakan efesiensi sehingga menyebabkan devergensi harga privat dengan harga sosial atas output.
Apabila NPCO > 1 menunjukkan bahwa
pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efesiensinnya atau harga dunia. OT merupakan selisih antara penerimaan yang
dihitung
berdasarkan
menggunakan harga sosial.
harga
privat
dengan
Nilai OT yang negatif
penerimaan
yang
(OT < 0) menunjukkan
produsen (petani nenas) menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya di terima. Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa nilai koefisien NPCO adalah 0,213 (NPCO < 1) dan nilai OT yang negatif yaitu –976.400.000 . memberi arti bahwa petani
Hal ini
nenas di Kabupaten Subang telah menerima
dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar output yang berlaku sekarang, dimana harga nenas domestik lebih rendah dari pada harga sosialnnya. Dengan kata lain, kondisi harga nenas pada saat ini,
secara
relatif
belum
memberikan
instrumen
maksimal
terhadap
pengembangan agribisnis nenas di Kabupaten Subang. Lebih jauh hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga nenas yang diterima petani nenas adalah 78,7 % dari harga sosialnya. Oleh sebab itu sekitar 21,3% dari keuntungan yang seharusnya diterima produsen (petani nenas) beralih ke pelaku eksportir.
110
6.2.3.4 Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output. Untuk melihat pengaruh dari keseluruhan kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output, apakah memberikan insentif atau disinsentif terhadap usahatani
nenas di kabupaten Subang dapat dianalisis dengan
koefisien proteksi efektif (EPC), dan koefisien profitabilitas (PC). Nilai EPC > 1 menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah memberikan insentif (dukungan/perlindungan)
terhadap
pengembangan
usaha
tani
nenas;
sebaliknya nilai EPC < 1 menunjukkan dampak bersih dari kebijakan pemerintah menimbulkan disinsentif terhadap pengembangan produksi nenas di daerah penelitian. Hasil analisis EPC memperlihatkan bahwa petani nenas di kabupaten Subang tidak menikmati efektivitas perlindungan dari kebijakan pemerintah yang ada, seperti tercermin dari nilai EPC 0,208. Dengan kata lain, pengaruh instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar input-output yang diterapkan saat ini menimbulkan dampak disinsentif terhadap pengembangan usaha tani nenas di kabupaten subang, sebab nilai tambah yang seharusnya diterima (sosial), yaitu hanya sekitar 20,8 %.
Lebih rendahnya nilai tambah yang
diperoleh petani disini karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang distortif, yaitu disuatu sisi petani menerima harga input 16,8 % lebih tinggi dari pada harga sosial sedangkan di sisi lain petani juga menerima harga output 21,3 % lebih rendah dari pada harga sosial yang seharusnya.
111
Dengan instrumen kebijakan peme rintah yang telah “gagal” dalam mekanisme pasar input-output, maka dampak langsung terhadap petani produsen nenas adalah berkurangnya nilai tambah dari yang seharusnya diterima, yaitu sebesar 20,8 % (EPC), koefisien proteksi efektif atau effective protection rate. Dengan kata lain perekonomian di Kabupaten Subang telah terjadi pengalihan keuntungan dari pihak produsen nenas ke pihak lain (pelaku pasar input, tengkulak dan eksportir). 6.3
Analisis Game Theory Untuk Formulasi Strategi Pemasaran Nenas. Dalam Analisis Game Theory terjadi interaksi interaksi sinergis yang dapat
disederhanakan dengan model strategic game yang melibatkan tiga unsur penting, yaitu petani dan pedagang pengumpul sebagai players, strategi pemasaran dari petani dan pedagang pengumpul, serta manfaat (payoff) yang diterima petani dan pedagang pengumpul untuk setiap kombinasi dari strategi-strategi yang mungkin untuk dipilih. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pemasaran nenas, petani dihadapkan pada dua pilihan lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul (strategi 1), dan eksportir (strategi 2), sedangkan pedagang pengumpul kebun dalam rangka memaksimumkan keuntungannya menggunakan strategi memberikan modal (strategi 1) dan tidak memberikan bantuan modal kepada petani nenas (startegi 2). Selengkapnya matrik payoff dalam interaksi antara petani dengan pedagang pengumpul pada model interaksi ini tercantum pada tabel 15 berikut ini.
112
Tabel 15
Payoff Martrix dalam Interaksi Petani nenas dan Pedagang Pengumpul di Kabupaten Subang, 2001. Pedagang Pengumpul
Petani
Memberikan modal
Tidak memberikan modal
(strategi 1)
(strategi 2)
Pemasaran hasil ke Pedagang Pengumpul (Strategi 1)
4.188.800
2.762.500
Pemasaran ke Eksportir
3.168.000
2.250.000
(Strategi 2)
Nilai-nilai yang terdapat pada matriks di atas menunjukkan payoff berupa nilai rataan pendapatan untuk masing-masing strategi yang dipilih petani nenas dalam melakukan interaksi dengan pedagang pengumpul. Payoff matrix tersebut menggambarkan pareto optimum tercapai pada posisi dimana petani nenas menerapkan strategi 2 (pemasaran langsung ke eksportir) dan pedagang pengumpul menggunakan strategi 2 (tidak memberikan bantuan modal untuk petani). Bagi petani, apapun strategi yang paling dominan, karena lebih memudahkan petani untuk memeproleh bantuan modal dan pinjaman untuk usahataninya dan kebutuhan pokoknya sehari-hari, walaupun dalam analisis game theory menunjukkan strategi dua yang memberikan keuntungan maksimal bagi petani. Bagi pedagang pengumpul yang ingin memaksimalkan keuntungan, hipotesis bahwa strategi 2 akan jauh lebih
113
menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa memang strategi dua akan jauh lebih menguntungkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa memang strategi 2 yang optimum. Berdasarakan analisis strategis game tersebut dapat dinyatakan bahwa strategi dimana petani nenas tidak mengikatkan diri dalam permodalan tetapi memasarkan hasil nenasnya ke eksportir merupakan parito optimal. Dengan strategi pareto optimal ini petani akan mendapatkan payoff sebesar Rp.2.250.000. Hasil ini merefleksikan bahwa pilihan strategi optimal ini hanya dilakukan sebanyak 18,7 persen dari petani responden. Rendahnya persentase petani dalam kelompok ini disebabkan karena akses langsung menjual nenas ke eksportir dapat dilakukan bila petani tersebut memiliki lahan yang luas dengan produksi yang lebih besar atau dapat juga melalui kelembagaan petani seperti kelompok tani yang secara horizontal kuat dan solid sehingga mempunyai posisi yang kuat untuk melakukan bargaining dalam pemasaran langsung ke eksportir secara bersama-sama. Jadi penguatan kelembagaan petani secara horizontal akan memperkuat kelembagan petani secara vertikal. Dari sisi permodalan, strategi optimum bagi pedagang pengumpul adalah dengan tidak memberikan kredit modal kepada petani. Meskipin di satu sisi kurang menjamin pemenuhan capacity , tetapi strategi ini menjadi optimum karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya moral hazard dan kegagalan panen dari petani penerima kredit. Sebaiknya bagi petani, tidak mengikatkan diri dalam kontrak permodalan dengan pedagang pengumpul merupakan strategi optimum. Meskipun harga input produksi mahal dan cenderung terus meningkat, dengan
114
akses yang sulit terhadap input-input produksi tersebut, tetapi kerjasama dengan pedagang pengumpul dalam bentuk ikatan permodalan melalui supply
input
produksi bukanlah solusi optimal bagi petani. Fenomena ini menggambarkan bahwa kontrak kredit input dengan – pedagang pengumpul akan memberikan kerugian bagi petani. Beberapa penyebab yang dapat disebutkan disini adalah tersisihnya petani nenas dari pengaturan-pengaturan kontrak akibat ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power) dalam penentuan kontrak antara petani nenas dengan pedagang pengumpul yang memiliki perilaku Oligopsoni (Olygopsony rent). Fantor penyebab dan persoalan lain sering muncul di lapangan adalah biaya-biaya transaksi yang muncul akibat kontrak tersebut. 6.4
Analisis Lokasional.
Hasil Location Quotient Analysis yang menggambarkan keunggulan komparatif
berbagai komoditi tanaman
buah-buahan di kabupaten Subang
disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16.
Location Quotient Produksi Masing-masing Komoditi Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2001
No.
Kecamatan
Alpukat
Durian
Dukuh
Mangga
Nenas
Pepaya
1
Sagalaherang
62.07
16.33
28.47
1.71
0.04
0
2
Jalan cagak
0.11
0.04
0.25
0.02
1.09
0.02
3
Cisalak
1.28
20.35
-
-
0.37
9.69
4
Tanjung siang
7.22
23.34
7.54
0.08
0.21
0.24
5
Cijambe
4.13
0.48
8.01
1.55
0.96
3.23
6
Cibogo
-
-
-
18.91
0.14
9.31
7
Subang
22.8
10.21
9.85
9.42
0.11
0.97
8
Kalijati
3.53
24.48
11.87
3.80
-
18.12
9
Cipendeuy
1.37
29.86
9.90
0.36
-
2.99
10
Pabuaran
-
0.80
-
21.05
-
1.83
11
Patokbeusi
4.1
-
-
21.09
0.00
7.03
115
12
Purwadadi
-
10.52
47.21
12.52
0.01
29.90
13
Pagaden
-
-
-
-
-
-
14
Cipunagara
-
-
-
21.61
-
5.77
15
Compreng
-
-
-
21.61
-
0.72
16
Binong
-
-
-
10.81
0.55
465.26
17
Ciasem
-
-
-
21.61
-
18.25
18
Pamanukan
-
-
-
21.61
-
12.33
19
Pusakanagara
-
-
-
21.61
-
71.19
20
Legonkulon
-
-
-
21.61
-
-
21
Blanakan
-
-
-
21.61
-
31.02
Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa komoditi nenas memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus menjadi sektor basis sebagaimana ditunjukkan oleh nilai LQ > 1, bagi masyarakat di Kecamatan Jalan Cagak. Namun pada kecamatankecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Subang tanaman nenas bukan merupakan sektor basis. Beberapa hal yang mendukung tanaman tanaman nenas menjadi sektor basis di kecamatan Jalan Cagak disebabkan karena kondisi tanah dan iklim yang spesifik lokalita yang mendukung pertumbuhan dan produksi nenas yang mempunyai cita rasa yang spesifik. Disamping itu pemasaran hasil nenas lebih mudah dilakukan oleh petani karena aksebilitas yang mudah dijangkau karena didukung oleh infrastruktur yang memadai dan berdekatan dengan objek wisata Tangkuban Perahu dan pemandian air panas Ciater. Tanpa mengabaikan berbagai kendala yang ada, upaya pengembangan komoditas harus disandarkan pada local community dan domestic resource. Indikator utamanya adalah bahwa komoditas yang dikembangkan harus memiliki kapabilitas serapan tenaga kerja yang tinggi dan mampu dilakukan oleh tenaga kerja lokal, serta didukung oleh kapasitas dan kesesuaian lingkungan sumberdaya alam
116
setempat. Ukuran keunggulan komparatif komoditas tanaman buah-buahan dapat diketahui dengan melakukan Location Quotient Analysis, diantaranya dengan indikator produksi sebagai representasi domestic resource. Keunggulan komparatif suatukomoditi bersifat sangat dinamis. Artinya keunggulan komparatif tersebut dapat berubah atau diubah dan tentu saja dapat pula dikembangkan. Untuk itu semua komponen atau faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas nenas harus ditingkatkan. Hasil Location Quotient Analysis tersebut, dapat di justifikasi dengan ShiftShare Analysis yang dapat menggambarkan posisi kemajuan luas areal
suatu
komoditi perkebunan pada suatu daerah dibandingkan dengan total luas areal komoditi pertanian di wilayah referensinya. Dalam analisis ini, ada 3 komponen analisis yang patut diperhitungkan yaitu; Agregat Growth (a), Proportional Shift (b), dan Differential Shift (c). Agregat Growht, menggambarkan laju pertumbuhan total produksi buah-buahan. Proportional Growth menggambarkan perubahan relatif guna mengetahui konsentrasi produksi masing-masing jenis komoditi tanaman buahbuahan. Differential Shift menunjukkan tingkat keunggulan kompetitif suatu jenis komoditi dalam hal produksi. Sejak tahun 1995 tanaman buah-buahan lainnya mengalami peningkatan dalam hal produksi di Kabupaten Subang sehingga nenas mulai mengalami pergeseran dalam hal produksi. Fakta inilah yang kemudian menjadi justifikasi penggunaan titik waktu tahun 1996 dan 2002 dalam shift-share analysis . Selengkapnya hasil analisis yang menggunakan indikator luas areal
berbagai
117
komoditas buah di Kabupaten Subang dengan menggunakan titik waktu tahun 1996 dan 2002 tergambar dalam Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Shift-Share Analysis Produksi Komoditas Tanaman Buahbuahan di kabupaten Subang pada Titik Waktu Tahun 1996 dan 2001 Hasil Analisis SSA Alpukat
Economic Growth Proportional Shift No.
Kecamatan
Durian
1,61
Dukuh
10,46
Alpukat
Mangga
0,367287556 -1,33 -0,87
Durian
Dukuh
Mangga
Nenas
Pepaya
0,17 Nenas
7,18 Pepaya
1
Sagalaherang
1,29
(1,53)
(0,03)
1,38
(1,39)
2
Jalan cagak
(0,39)
(9,08)
-
(0,39)
0,09
19,78
3
Cisalak
(2,97)
-
-
(0,49)
(1,50)
11,45
4
Tanjung siang
(1,11)
-
0,13
5
Cijambe
-
(10,88)
-
6
Cibogo
-
-
7
Subang
-
8
Kalijati
9
Cipendeuy
10
4,23
(6,24)
(0,17)
(1,37)
(3,22)
-
5,51
4,46
(3,41)
(1,82)
-
3,93
0,40
(8,14)
-
(2,15)
-
2,75
(1,54)
47,95
-
7,37
-
-
Pabuaran
-
(11,27)
(0,04)
0,99
(1,54)
11
Patokbeusi
-
(11,82)
-
0,25
-
12
Purwadadi
(8,78)
-
(0,35)
(1,25)
(2,77)
14
Pagaden
-
-
-
(0,49)
(1,54)
(8,30)
15
Cipunagara
-
-
-
(0,47)
(1,54)
(7,81)
16
Compreng
-
(2,98)
-
-
-
(0,27)
(1,54)
(5,64) 2,45
118
-
-
8,23 (0,49)
17
Binong
-
-
-
18
Ciasem
-
-
-
19
Pamanukan
-
-
-
20
Pusakanagara
-
-
21
Legonkulon
-
22
Blanakan
-
(3,05) -
(4,80)
-
(6,28)
0,20
-
(2,59)
-
0,05
-
9,36
-
-
0,84
-
-
-
-
(0,16)
-
-
(6,15)
Tabel 17 di atas memberikan ilustrasi bahwa laju pertumbuhan produksi pada sektor sektor tanaman buah-buahan di Kabupaten Subang masih mengalami pertumbuhan yaitu 0,376; hal ini disebabkan karena beberapa komoditi tanaman buah-buahan masih mengalami pertumbuhan dalam hal produksi seperti komoditi alpukat, durian, nenas dan pepaya. Namun untuk komoditi duku dan mangga sudah tidak mengalami pertumbuhan lagi dan bahkan mengalami penurunan. Secara spasial komoditi nenas mengalami keunggulan kompetitif pada Kecamatan Tajung Siang dan Cibogo, sedangkan untuk Kecamatan Jalan Cagak tanaman nenas yang merupakan sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif justru tidak mengalami keunggulan kompetitif lagi hal ini diduga disebkan karena sudah terbatasnya lahan pengembangan untuk komoditi nenas yang sesuai secara ekonomis.
Sedangkan untuk Kecamatan Tanjung Siang dan Cibogo yang juga
memiliki agroklimat dan jenis tanah yang spesifik lokalita yang sesuai dengan sayarat tumbuh tanaman nenas dan menghasilkan buah nennas yang mempunyai cita rasa yang spesifik pula, serta didukung juga oleh ketersediaan lahan untuk pengembangan usaha tani nenas dan kemudahan dalam memasarkan hasil nenas serta memiliki kelayakan secara financial dan ekonomis akan memicu tanaman
119
nenas memiliki keunggulan kompetitif pada ke dua kecamatan tersebut walaupun sampai pada saat ini kedua kecamatan tersebut tanaman nenas dari segi produksi belum merupakan sektor basis.
120
VII.
8.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan. Berdasarkan hasil pembahasan maka ditarik beberapa kesimpulan yang
berpedoman kepada tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan principle-agent antara petani nenas dengan pengumpul kebun yang saling menguntungkan yang diwujudkan dalam suatu kontrak pertanian. Kontrak pertanian tersebut menjadi sustainable karena memiliki keterkaitan pasar dalam hal transaksi komoditi, transaksi jasa dan pertukaran resiko.
2. Sistem kontrak (Kelembagaan informal) dalam tataniaga nenas yang bersifat informal melalui ikatan kredit bersifat kompleks dan dan elusif benar-benar ditegakkan secara mandiri, tanpa melibatkan aturan formal atau mediasi organisasi formal/semi formal seperti dewan desa, aparat pemerintah serta asosiasi. Namun mekanisme penegakan melalui norma sosial lebih bermakna dan bernilai bila dimana anggota masyarakat terikat dalam hubungan baik karena faktor kedekatan secara geografi maupun karena hubungan kekerabatan dan persahabatan.
3. Penguatan kelembagaan petani baik secara vertikal maupun horizontal akan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas di Kabupaten Subang.
4. Kinerja finansial usaha tani nenas menunjukkan bahwa usaha tani nenas sangat baik dilakukan oleh karena B/C ratio yang lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR yang lebih besar dari suku bunga tabungan yang berlaku di lokasi penelitian.
5. Pertanian nenas di Kabupaten Subang memberikan pertumbuhan positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan produksi ditunjukkan oleh nilai pergeseran proporsional yang positif khususnya di Kecamatan Jalan cagak.
121
6. Terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang merugikan produsen atau petani nenas, karena petani nenas harus membayar harga input tradable lebih tinggi dari yang seharusnya.
7. Produsen (petani nenas) menerima harga yang lebih rendah dari harga seharusnya diterimanya sehingga boleh dikatakan petani nenas di Kabupaten Subang menerima dampak negatif dari instrumen kebijakan pemerintah terhadap kebijakan harga output dan mekanisme pasar yang berlaku sekarang.
8. Kecamatan Jalan Cagak memiliki sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif sedangkan Kecamatan Tanjung Siang dan Cibogo oleh karena spesifik lokalita memiliki keungulan kompetitif sekalipun belum merupakan sektor basis.
8.2 Saran-saran. Pengembangan nenas di Kabupaten Subang sangat memerlukan peranan pemerintah daerah agar pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani nenas dapat ditingkatkan. Peranan yang perlu dilaksanakn oleh pemerintah daerah tersebut meliputi beberapa hal, yaitu : 1. Penguatan kelembagaan petani nenas baik secara vertikal maupun secara horizontal.
2. Adanya perlindungan terhadap kebijakan harga input dan output yang menguntungkan bagi petani nenas.
3. Meningkatkan nilai tambah produk nenas berupa olahan seperti dodol nenas dalam industri rumah tangga, serta mengurangi dampak negatif dari industri dodol yang ada di Kabupaten Subang.
4. Membina petani-petani nenas dengan memfasilitasi pemupukan modal baik berupa memfasilitasi institusi perbankan lewat pengusaha (afalis) yang membina dan membeli nenas petani di Kabupaten dengan meningkatkan daya saing dari produk nenas petani.
122
123
DAFTAR PUSTAKA
Adamowicz, W.K., S.O. Baah, and M.H.Hawkins. 1984. Pricing Efficiency in Hog Market. Canadian J. Agr. Econ. 32(2) :462-477. Affendi Anwar. 1991. Masalah Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Peranan
Sektor
Pertanian
di
Masa
Depan.
Seminar
Sumberdaya
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, Dalam Rangka Dies Natalis IPB. Bogor. ______. 1993. Analisis Ekonomi Biaya-Biaya Transaksi. Makalah Ceramah Umum. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. ______, dan Hermanto, S. 1993. Memahami Kelembagaan Asuransi Pertanian Dalam Kegiatan Agribisnis di Wilayah Perdesaan. Makalah pada Simposium Nasional Asuransi Agribisnis di GMSK, Dermaga, Bogor. ______, dan Setia Hadi. 1996. Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dalam Prisma No. Khusus 25 Tahun 1971 – 1996 . LP3ES. Jakarta. ______, 1997. Organisasi Ekonomi: Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi Melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi . Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. ______, 1998. Organisasi Ekonomi: Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi. Bahan Perkuliahan Sistem Organisasi
124
Ekonomi dan Sosial Perdesaan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. ______, 2001a. Dasar-Dasar Teori Agency. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. ______, 2001b. Usaha Membangun Asset-Asset alami dan Lingkungan Hidup Pada Umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan ekonomi Masyarakat Kearah Berkelanjutan. Bahan Diskusi Serial di Lembaga Alam Tropika (LATIN). Bogor. ______, 2001c. Pentingnya Peranan Hukum Dalam Menjamin Pembangunan Ekonomi Yang Berkelanjutan. Makalah Seminar. Fakultas Ekonomi, Universitas Ibnu Khaldun. Bogor. ______, dan Rustiadi. 2001. Perspektif Pembangunan Tataruang (Spasial) Wilayah Perdesaan Dalam Rangka Pembangunan Regional. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE Jakarta. Audretsch, O.B. 1996. Technology Regimes, Industrial Demography and Evaluation of Industrial Structure WP 96-42 . International Institute for Applied System Analysis. Austria.
125
Azzaino, Z. 1981. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Bardan, P. 1989. Alternative Approach to The Theory of Institution in Economic Development (P.3-17_. The Economic Theory of Agrarian Institutions. Claraendon Press, Oxford Univ. Press. New York. Darusman. D. 1981. Pengantar Perencanaan Pembangunan Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Gittinger, J. Price. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects 2nd Completely Revised and Expanded. UI – Press~ Johns Hopkins University Press. Glasson, J. 1974. Pengantar Perencanaan Regional (terjemahan) Paul Sihotang. LPFE- UI. Jakarta. Gujarati, Damodar. 1996. Basic Econometrics, McGraw-Hill, Inc. Gunawan. 1996. Pengantar Ekonometrika, BPFE, Yoyakarta. Haris, U. 1999. Analisis Ekonomi Kelembagaan Tataniaga Bahan Olahan Karet Rakyat (BOKAR): Suatu Pendekatan Hubungan Principal- Agen. Program pasca Sarjana IPB. Bogor. Hartveld, Aard. 1985. The Nucleus Estate and Smallholders Development Program In Indonesia : The Origine, the Development and the Prospects for Smallholders. Paper Penelitian, Institute of Social Studies. Hayami, Y. and V.W. Ruttan, 1984. Agricultural Development, An International Perspective. The John Hopkin University Press, Baltimore and London.
126
______, 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Perspective from Sunda Village. CGRT. Bogor. Indaryati, Yoyoh, Yultifah R dan Mangara Tambunan. 1991. Dampak Pelaksanaan Pola PIR Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Usahatani : Kasus Industri Pengolahan Nenas di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Project Working Paper Series No. : A-29, Proyek Penelitian Sektor Non- Pertanian Pedesaan Jawa Barat, Bogor; PSP-IPB. Jayadinata, JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan., Perkotaan dan Wilayah Edisi Ketiga. Penerbit ITB Bandung. Karla Hoff, dkk. 1997. The Economics of Rural Organization, Published for the World Bank Oxford University Press. Kartono, 1987. Dampak Industri Manufacturing Dalam Pembangunan Wilayah. Publikasi Geografi No. 10. Mandala, GS. 1989. Introduction to Econometrics, Macmillan Publishing Company, New York. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Pengantar Ekonomi Pertanain. Penerbit LP3ES. Jakarta. Nancy, 1988. Usaha Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia. Di Pasar Internasional Melalui Efisiensi Pemasaran. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Napitupulu, Tom E.M. 1987 Sistem Ekonomi Susu dan Peternakan Sapi Perah di Jawa Tengah. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor; Institut Pertanian Bogor.
127
Nugroho, Heru. 2000. Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di jawa. Pustaka Pelajar ~ Center for Critical Social Studies (CCSS). Yogyakarta. Pakpahan, 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi Prosiding PATANAS Evolusi Kelembagaan Perdesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Puslit Agroekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Simatupang, P. 1994. Prosiding Seminar Sehari Peranan Strategis Industri Kecil dalam PJPT II Jakarta, 22 Juli 1993. LP UKI Press Jakarta. Sinungan M, Maret 1990 Manajemen dan Bank, Jakarta. Soetrisno, Loekman. 1989. Masalah dan Prospek PIR-BUN, dalam Prisma No. 4/1989, halaman 65-72. Tambunan, Tulus TH. 2000. Perekonomian Indonesia. Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia. Todaro, MP. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 1 Edisi Keenam (Terjemahan). Penerbit Erlangga. White, Benjamin. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan, dalam Sayogyo dan M. Tambunan (ed), Industrialisasi Pedesaan, halaman 199-250. Jakarta : Sekindo Eka Jaya. Williamson, O.E. 1985. The Economics Institutions of Capitalism. The Free Press, A Division of Macmillan, Inc.. New York.
128
------, 1998. Beberapa Aspek dari Analisis Ekonomi Biaya – biaya Transaksi, IPB Bogor. ------, 1996. Organisasi Kelembagaan Ekonomi di Wilayah Perdesaan. IPB. Bogor.
129