Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
EKSISTENSI KELEMBAGAAN SOSIAL DAN EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN MIX FARMING THE EXISTENCE OF SOCIAL AND ECONOMI INSTITUTIONS IN THE DEVELOPMENT OF MIX FARMING Imam Santosa1, Achmad Iqbal2 Program Studi Sosiologi, Fakultas ISIP, Universitas Jenderal Soedirman 2 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Kampus Universitas Jenderal Soedirman Jalan H.R Bunyamin 708 Purwokerto 1 Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Tema penelitian ini adalah eksistensi kelembagaan sosial dan ekonomi dalam pemberdayaan masyarakat petani di pedesaan termasuk di daerah pariwisata. Kelembagaan sosial ekonomi memiliki energi sosial dalam membangun perekonomian masyarakat petani. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji eksistensi kelembagaan sosial ekonomi dalam pengembangan mix farming di pedesaan kawasan agrowisata. Lokasi penelitian di Kawasan Agrowisata Baturaden, Kabupaten Banyumas dan Kawasan Agrowisata Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian ialah studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan usaha mix farming oleh responden mendapat dukungan yang signifikan dengan adanya beberapa lembaga sosial ekonomi. Eksistensi beberapa lembaga ini telah muncul untuk memenuhi kepentingan: difusi teknologi pertanian, simpan pinjam, pemasaran produk, masyarakat kepariwisataan, kegiatan sosial dan seni lokal. Setiap lembaga sosial ekonomi memiliki fungsi yang berbeda. Namun, fungsi dari masingmasing lembaga tersebut saling melengkapi. Keberadaan lembaga sosial ekonomi dari difusi teknologi dan pemasaran produk memberi dukungan terkuat (50 persen) terhadap pengembangan usaha mix farming. Tak dapat dipungkiri, eksistensi setiap lembaga sosial ekonomi masih perlu terus disesuaikan secara luwes. Hal ini dibutuhkan untuk mendukung lebih intensif lagi pengembangan usaha mix farming yang dikelola para responden di kedua kawasan agrowisata tersebut. Kata Kunci: eksistensi, kelembagaan sosial ekonomi dan usaha mix farming. ABSTRACT The theme of this research is the existence of social and economic institutions in the empowerment of farmers community in rural including in tourism area. Socio economic institutions have a social energy in building the economy of farming communities. Therefore, the purpose of this research is aimed to examine the existence of socio economic institutions in the development of mix farming in rural agro tourism area. The research location is in Region Agro Tourism Baturaden, Banyumas Regency and Region Agro Tourism Karangreja, Purbalingga Regency, Central Java Province. The research method is a case study. The research's results showed that the development of mixed farming enterprises by the respondents received significant support by the existence of some socio economic institutions. The existence of these institutions have emerged to meet the interests: the diffusion of agricultural technology, savings and loans, product marketing, tourism community, social activities and local art. Each socio economic institutions of mix farming have different function. However, the social economic function among them are complement each other. The existence of social institution of the diffusion of technology and product marketing gave the strongest support (50 percent) against the development of mix farming enterprises. Undeniably, the existence of any socio economic institutions still needs modification in order suitable to be done their business K. 34
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
accurately. It is necessary to support mix farming intensively for developing this in both the agro tourism area. Keywords: existence, socio economic institutions and mix farming. PENDAHULUAN Pengembangan beragam bidang seringkali tak mampu menjangkau secara langsung kepentingan pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan. Realitas ini juga ditemukan pada masyarakat pedesaan di kawasan agrowisata (Santosa dan Iqbal, 2013). Ketakterjangkauan tersebut erat kaitannya dengan berbagai permasalahan yang merintangi baik bersifat internal maupun eksternal. Greenwood (1977) mengutarakan permasalahan sosial muncul antara lain dikarenakan hubungan antara masyarakat lokal dengan wisatawan rawan menyebabkan terjadinya komoditisasi dan komersialisasi yang tidak sesuai budaya desa. Berbagai bentuk hubungan kerjasama di pedesaan lambat-laun beralih ke resiprositas atas dasar pembayaran atau sistem upahan. Dalam jangka waktu panjang dikhawatirkan terjadi akulturasi nilai budaya yang menyebabkan anomi. Ragam upaya telah dilaksanakan oleh berbagai pihak guna menyelesaikan sederet permasalahan pemberdayaan masyarakat pedesaan termasuk di kawasan agrowisata. Jika dikelola dengan profesional, pada hakekatnya pengembangan kawasan kepariwisataan di pedesaan potensial mendukung pemberdayaan masyarakat lokal. Hanya saja kepariwisataan yang dikembangkan diorientasikan pada pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat unggulan dan spesifik lokasi misal pariwisata berbasis pertanian (agrowisata). Leiper (1979) mengemukakan model sistem pariwisata sederhana terdiri dari tiga komponen utama yakni: daerah asal, daerah tujuan dan daerah perantara yang menghubungkan antara keduanya. Lebih lengkap lagi Santosa dan Priyono (2010) mengemukakan pengelolaan kawasan pariwisata berbasis pertanian terdapat lima pilar utama yang saling berkaitan dengan hubungan kausal. Kelima pilar yang dimaksud adalah: masyarakat, pemerintah daerah, investor atau pengelola pariwisata, wisatawan dan pihak yang mempromosikan/penyedia transportasi. Pengembangan wilayah pedesaan sebagai sentra kawasan agrowisata seyogyanya berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Oleh karena itu, berbagai jenis usaha produktif seperti pertanian campuran (mix farming) perlu dikembangkan secara intensif oleh warga desa untuk dapat menyesuaikan kesempatan ekonomi dengan permintaan pasar di kawasan agrowisata. Tak terpungkiri, pengembangan usaha pariwisata berbasis pertanian membutuhkan dukungan dari komponen kemasyarakatan termasuk kelembagaan lokal yang berdimensi sosial ekonomi. Kelembagaan sosial dan ekonomi yang berkembang ditengah-tengah struktur sosial masyarakat desa potensial berfungsi sebagai energi sosial, yang mewadahi kedinamikaan masyarakat dalam proses pengembangan berbagai jenis usaha produktif seperti mix farming. Hal inilah yang memotivasi penting dilakukan penelitian yang bertema kajian terhadap eksistensi kelembagaan sosial dan ekonomi dalam pengembangan mix faeming pada komunitas warga desa di kawasan agrowisata . Bertolak dari urgensi latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan maka tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji eksistensi kelembagaan sosial ekonomi dalam pengembangan mix farming di pedesaan kawasan agrowisata.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja di Kawasan Agrowisata Baturaden, Kabupaten Banyumas dan Kawasan Agrowisata Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian ialah studi kasus. Populasi penelitian mencakup keseluruhan anggota masyarakat yang berpola nafkah sebagai petani yang sedang mengembangkan usaha pertanian campuran (mix farming) dan bertempat tinggal baik di Kawasan Agrowisata Karangreja maupun Baturaden. Responden yang ditetapkan sebagai sumber data dipilih secara acak sederhana. Jumlah responden yang mewakili Kawasan Agrowisata Karangreja sejumlah 18 orang dan dari Kawasan Agrowisata Baturaden 16 orang. Dengan demikian, jumlah keseluruhan responden penelitian ialah 34 orang.
K. 35
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Jenis data yang dibutuhkan pada penelitian adalah data primer dan data sekunder. Kegiatan pengumpulan primer menggunakan teknik: Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam, wawancara konsultatif dan observasi berpartisipasi. Data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik analisis dokumentasi. Data penelitian dianalisis dengan Interactive Model of Analysis (Miles dan Huberman, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat desa di Kawasan Agrowisata Karangreja dan Baturaden memiliki berbagai jenis kelembagaan lokal yang berdimensi sosial ekonomi. Ragam bentuk kelembagaan sosial ekonomi tersebut dibentuk atas inisiatif warga guna memenuhi berbagai kebutuhan bersama. Oleh karenanya, kelembagaan sosial ekonomi tersebut bersifat bottom up. Beberapa kelembagaan sosial ekonomi yang ditemukan menunjukkan keterkaitan hubungan dengan pengelolaan usaha mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur. Hasil identifikasi terhadap beberapa kelembagaan sosial ekonomi yang terdapat pada masyarakat desa yang diteliti tercermati pada Tabel 1. Tabel 1. Identifikasi Berbagai Kelembagaan Sosial Ekonomi di Karangreja dan Baturaden No.
1.
Jenis Kelembagaan Proses Perkembangan Enacted Institution Enacted Institution Enacted Institution Enacted Institution
Lembaga teknologi pertanian 2. Lembaga arisan simpan pinjam 3. Lembaga pemasaran produk usahatani 4. Lembaga masyarakat pariwisara berbasis pertanian 5. Lembaga sosial Enacted kemasyarakatan Institution 6. Lembaga kesenian Enacted lokal Institution Sumber: Diolah dari data sekunder Tahun 2014
Tipe Lembaga Sistem Penerimaan Nilai masyarakat Basic Approved Institution Institution Basic Approved Institution Institution Basic Approved Institution Institution Basic Approved Institution Institution Basic Institution Basic Institution
Approved Institution Approved Institution
Penyebaran
Fungsi
Restricted Institution Restricted Institution Restricted Institution Restricted Institution
Operative Institutin Operative Institutin Operative Institutin Operative Institutin
Restricted Institution Restricted Institution
Operative Institutin Operative Institutin
Keberadaan beberapa kelembagaan sosial ekonomi sesuai pada Tabel 1 memberi kemudahan bagi para masyarakat desa dalam mengelola usaha mix farming. Mayoritas (> 50 persen) informan penelitian menyatakan fungsi kelembagaan sosial ekonomi penting bagi peningkatan kemampuan dalam memenuhi berbagai kebutuhan baik yang bersifat teknis maupun non teknis untuk mengelola usaha mix farming secara inovatif. Beberapa diantara informan mengakui kelembagaan sosial ekonomi mampu berfungsi sebagai sarana yang menjembatani masyarakat desa dalam mengakses ragam jenis teknologi pra produksi dan pasca produksi. Warga desa bersama pihak lain seperti penyuluh pertanian, kader pembangunan desa, tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan desa bersama mengembangkan fungsi kelembagaan sosial ekonomi sebagai fasilitas pelayanan modal produksi, informasi harga dan pasar serta teknologi pertanian terpadu. Berbagai upaya dilakukan sebagai bentuk penyesuaian fungsi kelembagaan sosial ekonomi tersebut guna memenuhi kepentingan pengelolaan usaha mix farming yang menggunakan prinsip ecotechno entrepreneur. Salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan ialah melalui innovation yakni upaya berupa proses difusi dan adopsi berbagai jenis teknologi inovatif yang mendukung pengelolaan usaha mix farming berbasis ecotechno entrepreneur. Bentuk penyesuaian innovation dibutuhkan warga desa pengelola usaha mix farming karena teknologi pertanian lama yang digunakan tidak sesuai lagi untuk mencapai efisiensi produksi dan perolehan produk bernilai tambah sesuai trend pasar. Pada awalnya, kemunculan proses innovation seringkali berbenturan dengan nilai norma sosial lokal. Akan tetapi, karena memang dibutuhkan proses innovation di Karangreja dan Baturaden berlangsung lancar melalui
K. 36
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 pemanfaatan fungsi kelembagaan sosial ekonomi khususnya yang terkait dengan kepentingan teknologi dan pemasaran produk. Mayoritas informan (> 50 persen) di kedua lokasi penelitian menyatakan ysaha mix farming tak dapat dilepaskan dari adopsi teknologi inovatif. Pada saat membudidayakan tanaman buah stroberi, informan menunjukkan teknologi budidaya dibutuhkan untuk menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Proses innovation yang dilalui antara lain dengan menanam bibit stroberi yang peka dengan kondisi lingkungan alam Karangreja, tekstur buah lebih besar dan padar berwarna merah, lebih cepat panen sekaligus tahan terhadap berbagai serangan hama penyakit. Proses innovation di Baturaden teramati dari salah satu tindakan yang dilakukan para informan ketika menerapkan teknik komposting terhadap limbah kotoran ternak sapi dan kambing melalui proses fermentasi menjadi pupuk organik padat dan cair. Bentuk penyesuaian lain yang dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan sosial ekonomi lokal ialah conformity. Ketika proses pelaksanaan conformity berlangsung tampak fungsi kelembagaan sosial ekonomi lebih ditekankan pada pemberian berbagai kesempatan dan peluang kepada informan untuk memperoleh kondisi pengelolaan usaha mix farming lebih baik walau harus melalui sosialisasi nilai dan norma baru. Petani yang telah bertahun-tahun menekuni budidaya padi di Baturaden baik dengan sistem monokultur maupun polikutur seperti mina padi dan tumpangsari padi-jagung pada gilirannya beralih menjadi pembudidaya tanaman sayuran dan beternak ayam, kambing dan sapi sambil memelihara ikan mujair, lemem, lele dan gurame di tambak. Sistem pertanian dengan pola mix farming dibutuhkan para informan untuk mengurangi risiko gagal panen dan penurunan harga produk ketika musim panen tiba. Tidak jauh berbeda, informan di Karangreja mengakui dukungan kelembagaan sosial ekonomi besar terhadap peralihan pola bertani yang dilakukan yakni dari petani sayuran menjadi petani buah-buahan. Kesempatan mengakses informasi teknologi pengolahan stroberi menjadi produk selai, juice, dodol dan kripik mampu mengubah kebiasaan menjual produk dalam bentuk bahan mentah. Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil analisis terhadap fungsi kelembagaan sosial ekonomi di pedesaan Karangreja dan Baturaden beserta bentuk penyesuaian yang selama ini telah terlaksana. Tabel 2. Analisis Fungsi Kelembagaan Sosial Ekonomi di Karangreja dan Baturaden No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Kelembagaan Lembaga teknologi pertanian Lembaga arisan simpan pinjam
Lembaga pemasaran produk usahatani Lembaga masyarakat pariwisara berbasis pertanian Lembaga sosial kemasyarakatan Lembaga kesenian lokal
Fungsi Memenuhi kebutuhan petani dalam memperoleh informasi teknologi untuk pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur Memenuhi kebutuhan petani dalam memperoleh kesempatan modal tambahan biaya produksi dengan jasa ringan bagi pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur Memenuhi kebutuhan petani dalam memperoleh informasi pemasaran berbagai produk terkait pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur Memenuhi kebutuhan petani dalam mengembangkan berbagai interaksi sosial antar warga petani dalam pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur untuk kepentingan pengembangan kawasan agrowisata Mengatur dan mengontrol jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial antar petani dalam kepentingan pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur Mengatur dan mengontrol pengembangan kesenian lokal sebagai media pendukung pengembangan agrowisata melalui pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneur
Bentuk Penyesuaian Innovation
Conformity
Innovation dan Conformity Conformity
Ritualism
Ritualism
Sumber: Diolah dari data sekunder Tahun 2014
Beragam kelembagaan lokal yang terdapat dalam kehidupan sosial di Karangreja ternyata memberikan kekuatan dukungan berbeda terhadap pengelolaan usaha mix farming dengan memanfaatkan ecotechno entrepreneur. Kelembagaan sosial ekonomi yang paling dominan memberikan dukungan
K. 37
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 adalah lembaga pemasaran produk usahatani. Besar dukungan yang diberikan jenis kelembagaan yakni 32 persen. Mayoritas informan menjelaskan bahwa dengan memanfaatkan lembaga pemasaran akan mempermudah dan memperkuat posisi tawar dalam setiap transaksi jual beli yang pada gilirannya mempengaruhi kenaikan nilai tukar petani. Kelembagaan dominan lain yang memberi kekuatan yaitu lembaga arisan dan simpan pinjam. Menurut informan kekuatan kelembahaan ini sekitar 22 persen. Keberadaan kelembagaan sosial ekonomi arisan nyaris hampir tak terpisahkan dari lingkaran kehidupan masyarakat pedesaan. Fungsi arisan simpan pinjam dominan sebagai katup pengaman bagi para anggota yang tengah mengalami keterdesakan ekonomi, khususnya bagi petani yang memerlukan tambahan modal produksi berupa dana segar (fresh money) untuk melanjutkan usaha mix farming. Para informan sangat mengharapkan fungsi lembaga sosial ekonomi arisan mengakomodir kepentingan mereka untuk mendapatkan modal usaha dan memenuhi kebutuhan ekonomi untuk kepentingan lain. Hal tersebut didasarkan alasan pengelolaan usaha mix farming memang mensyaratkan ketersediaan modal usaha yang tidak kecil. Upaya untuk memajukan tambahan pendapatan melalui usaha mix farming yang dikelola para informan di Karangreja ternyata melibatkan peran kelembagaan difusi teknologi pertanian. Kelembagaan ini terbentuk untuk memenuhi kebutuhan anggota dalam memperoleh akses informasi teknologi untuk pra sampai pasca produksi. Dukungan kelembagaan sosial ekonomi difusi teknologi masih perlu ditingkatkan karena baru memberi kontribusi sebesar 15 persen bagi peningkatan kemampuan informan dalam mengelola usaha mix farming dengan ecotechno entrepreneurship. Hal ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak proses pelembagaan ecotechno entrepreneurship memang memerlukan terobosan yang inovatif. Menurut penjelasan beberapa informan, kelemahan usahatani yang terdapat di Kaeangreja adalah pada umumnya belum menerapkan teknologi baru dan sentuhan kewirausahaan. Para informan yang diwawancarai termasuk bagian dari kelompok innovator dan penerap dini (early adopter) di Karangreja. Sementara, petani lain belum menerapkan pola pengelolaan usaha pertanian dengan sistem mix farming berbasis ecotechno entrepreneurship. Di samping kelembagaan sosial ekonomi yang telah dijelaskan di atas, di Karangreja juga ditemukan jenis kelembagaan sosial ekonomi lain yaitu lembaga sosial kemasyarakatan yang berfungsi mengontrol jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial antar petani dalam kepentingan pengelolaan mix farming dengan pemanfaatan ecotechno entrepreneurship. Kendatipun fungsinya tidak secara langsung berhubungan dengan transaksi perdagangan hasil pertanian, namun kontribusi dari kelembagaan ini cukup vital untuk mengatur stabilitas sistem sosial petani agar tidak terjadi social chaos (kekacauan) dalam masyarakat. Jenis kelembagaan sosial kemasyarakatan mendukung stabilitas sosial sehingga setiap pihak yang berinteraksi saling menghormati satu sama lain. Dua kelembagaan sosial lain yakni lembaga masyarakat pariwisata berbasis pertanian dan lembaga kesenian lokal tidak secara signifikan menentukan pengaruh bagi pengembangan mix farming berbasis ecotechno enterpreneourship, namun dalam momen tertentu hadir dan berfungsi mendukung pengembangan kawasan wilayah Karangreja sebagai kawasan agrowisata. Pada Gambar 1 tercantum rincian kekuatan dukungan kelembagaan sosial ekonomi di Karangreja (dalam nilai persentase) terhadap peningkatan pengelolaan usaha mix farming berbasis ecotechno entrepreneurship. Lembaga difusi teknologi pertanian
12%
9%
15%
Lembaga arisan simpan pinjam
22%
10%
Lembaga pemasaran produk usahatani Lembaga masyarakat pariwisara berbasis pertanian
32%
Lembaga sosial kemasyarakatan Lembaga kesenian lokal
Gambar 1. Dukungan Kelembagaan Sosial Ekonomi terhadap Pengelolaan Mix Farming dengan Pemanfaatan Ecotechno Entrepreneur di Desa Karangreja
K. 38
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Realitas sosial yang berbeda ditemukan pada kalangan informan yang berasal dari Baturaden pada saat diketahui bahwa dukungan kelembagaan yang paling mendominasi pengembangan pengelolaan usaha mix farming dengan ecotechno entrepreneurship berasal dari lembaga pemasaran dan lembagan difusi teknologi. Kedua jenis lembaga ini memberi dukungan sama kuat yakni mencapai 25 persen. Lembaga pemasaran mempunyai fungsi vital menampung berbagai hasil usahatani, usaha ternak dan usaha ikan air tawar yang dikelola informan. Akses petani informan di Baturaden terhadap pasar produk lebih tinggi dibanding yang dialami para informan di Karangreja. Para informan tidak lagi hanya melakukan transaksi penjualan produk usaha mix farming dengan para pedagang pengepul saja seperti kecenderungan yang terjadi di Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Akan tetapi, masih ada beberapa pelaku dagang (bisnis) lain yang membeli berbagai produk tersebut seperti pengelola restoran/rumah makan, pengelola hotel, pedagang makanan angkringan/keliling di sekitar kawasan agrowisata Baturaden. Sebagian produk dipasarkan melalui jasa pedagang pengepul dan sebagian lain langsung dijual para informan ke konsumen di Pasar Wage Purwokerto, yang berlokasi relatif dekat dengan jarak tempuh 10 kilometer dari Baturaden. Beberapa informan mengakui pangsa pasar lain yakni para wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Agrowisata Baturaden. Dengan pangsa pasar lebih luas mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) para informan di Baturaden lebih kuat dalam penetapan harga setiap jenis produk usaha mix farming. Tidak demikian halnya dengan para informan di Karangreja, kalangan pangsa pasar terbatas hanya pada pedagang pengepul dan para wisatawan sehingga posisi tawar petani lemah dalam setiap transaksi khususnya sewaktu panen raya tiba. Tidak jarang peran pedagang pengepul yang telah menjadi langganan selama bertahun-tahun seolah bersifat monopoli. Pedagang pengepul justru yang mendapat keuntungan besar dari setiap transaksi yang berlangsung dengan para informan. Realitas sosial yang demikian tidak jaug beda dengan peran penumpang gelap (free rider) seperti dikemukakan oleh Popkin (1979:25). Popkin berargumentasi bahwa struktur masyarakat petani akan diwarnai berbagai masalah koordinasi untuk mendapatkan provisi dari berbagai komoditas. Ketidaksuksesan dalam pengaturan mekanisme pasar yang tidak berpihak pada kepentingan petani ini cenderung diakibatkan keberadaan penumpang gelap (free riders). Dengan kata lain, beberapa pelaku usaha perdagangan produk pertanian yang tidak berkontribusi secara nyata dalam proses produksi pertanian, namun berkesempatan menikmati sebagian besar keuntungan karena mampu memainkan peran yang signifikan sebagai penentu harga dalam setiap kegiatan transaksi di pasar. Lembaga sosial ekonomi lain yang turut memberi sumbangan dukungan pada pengembangan usaha mix farming pada para informan di Baturaden ialah lembaga arisan simpan pinjam di lingkungan RT/RW dan desa. Jenis lembaga ini membantu para informan dalam memproleh modal usaha tambahan yang dibutuhkan pada saat tertentu secara mendadak terutama untuk membeli pupuk kimia Urea dan NPK, pestisida, alat pertanian seperti hand sprayer (alat penyemprot obat pengendali hama penyakit) dan membayar upah buruh tani dan sewa lahan. Pengembalian pinjaman dilakukan dengan sistem mencicil selama lima sampai 12 kali atau bisa lebih sesuai perjanjian dengan bendahara arisan. Pada lembaga arisan, setiap anggota diberi kesempatan menabung sekaligus meminjam untuk berbagai kepentingan baik yang bersifat produktif maupu tidak. Tingkat bunga pinjaman pada setiap transaksi relatif rendah yakni sebesar 1.5 persen. Pengembangan usaha mix farming di Baturaden juga mendapat dukungan moril dari lembaga sosial ekonomi yang bergerak dalam kegiatan kesenian lokal, lembaga sosial kemasyarakatan dan lembaga masyarakat pariwisara berbasis pertanian. Meski baru memberi dukungan yang sedikit namun keberadaan beberapa kelembagaan sosial ekonomi ini turut meningkatkan semangat para informan dalam mengelola usaha mix farming dengan ecotechno entrepreneur. Pada Gambar 2 teramati kekuatan dukungan berbagai bentuk kelembagaan sosial ekonomi terhadap pengembangan usaha mix farming yang dikelola para informan di Baturaden.
K. 39
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
Lembaga teknologi pertanian
12%
7%
25%
11%
Lembaga arisan simpan pinjam Lembaga pemasaran produk usahatani
25%
20%
Lembaga masyarakat pariwisara berbasis pertanian Lembaga sosial kemasyarakatan Lembaga kesenian lokal
Gambar 2. Dukungan Kelembagaan Sosial Ekonomi terhadap Pengelolaan Mix Farming dengan Pemanfaatan Ecotechno Entrepreneur di Desa Baturaden Kesadaran masyarakat petani di Baturaden terhadap adopsi teknologi baru pertanian lebih tinggi dibanding masyarakat di pedesaan Karangreja. Kalkulasi ekonomis pada kejadian yang bersifat transaksional lebih dominan mewarnai informan yang bermukim di pedesaan i Kawasan Agrowisata Baturaden. Keadaan ini dapat dimaklumi karena mengingat corak masyarakat Baturaden lebih mengkota seperti dijelaskan oleh Ferdinand Tášnnis bahwa hubungan sosial masyarakat setempat sudah menunjukkan ciri patembayan yang lebih mengutamakan nilai kebendaan dalam memenuhi kebutuhan atau gesellschaftlich (Lawang, 1986).
KESIMPULAN Eksistensi kelembagaan sosial dan ekonomi yang terdapat ditengah-tengah struktur sosial masyarakat desa di Kawasan Agrowisata Karangreja dan Baturaden ternyata mampu memberikan kontribusi yang signifikan. Kontribusi tersebut berupa dukungan terhadap Pengembangan usaha mix farming oleh responden. Dengan adanya eksistensi beberapa lembaga sosial ekonomi. Eksistensi beberapa lembaga ini telah muncul untuk memenuhi kepentingan: difusi teknologi pertanian, simpan pinjam, pemasaran produk, masyarakat kepariwisataan, kegiatan sosial dan seni lokal. Setiap lembaga sosial ekonomi memiliki fungsi yang berbeda. Namun, fungsi dari masing-masing lembaga tersebut saling melengkapi. Dari hasil temuan penelitian terungkap bahwa eksistensi kelembagaan sosial ekonomi dari difusi teknologi dan pemasaran produk memberi dukungan terkuat (50 persen) terhadap pengembangan usaha mix farming. Tak dapat dipungkiri, eksistensi setiap lembaga sosial ekonomi masih perlu terus disesuaikan secara luwes. Hal ini perlu diupayakan guna meningkatkan kemampuan responden dalam pengembangan usaha mix farming di kedua kawasan agrowisata tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Greenwood, D. J., 1977. Culture by the Pound. In V. Simth (ed) Hosts and Guests: the Antropology of Tourism. The University of Pennsylvania Press. Philadelphia. Lawang, Robert M.Z. 1986. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Penerbit P.T Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Leiper, N., 1979. The Framework of Tourism. Towards A Definition of Tourism. Tourist and and Tourism Industry. Annals of Touris Research. Miles, M. B., and A. M., Huberman, 1991. Designing Qualitative Research. Mac Graw Hill Company. New York. Santosa, Imam dan Rawuh Edy Priyono. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan melalui Pengelolaan Agrowisata Berbasis Sumberdaya Lokal. Laporan Hasil Penelitian Hibah Kompetensi Tahap II. Dikti-LPPM Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
K. 40
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 -----. Achmad Iqbal. 2013 Model Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Pengelolaan Usaha Produktif Mix Farming dengan Pemanfaatan Ecotechno Entrepreneur di Kawasan Agrowisata. Laporan Hasil Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahap I. LPPM Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
K. 41