ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU
BAMBANG YUDHO RUDIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas tesis mengenai analisis kelembagaan dan ekonomi yang berjudul “Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.
Bogor, Agustus 2011
Bambang Yudho Rudiyanto NRP. H352070041
iii
ABSTRACT
BAMBANG YUDHO RUDIYANTO. Institutional and Transaction Cost Analysis of Sea Farming Management in Panggang Island, Administrative Regency of Kepulauan Seribu. Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACENG HIDAYAT. Phenomenon of declining fishing production in some Indonesian waters area has raised fears of increasing scarcity of fish resources, therefore many implementative programs and efforts has been developed. One of these programs is sea farming. Sea farming is shallow waters marine resources use system based on mariculture. The main objective is to increase fish resources while sustaining fishing activity, mariculture and marine ecotourism. Sea farming is not exactly the same with mariculture. Mariculture and other economic activities based on marine resources are subsystem of the sea farming. The aim of this research are : 1) to identify the role of institutional in managing coastal resources in Panggang Island Administrative Regency of Kepulauan Seribu, 2) to analyze institutional management of sea farming, 3) to evaluate economic benefit and transaction cost of sea farming management, 4) to analyze sustainability of sea farming program. The data was analyzed by 7 methods: 1) Institutional Analysis and Development (IAD); 2) stakeholders analysis; 3) fisheries resources management conflict analysis; 4) income analysis; 5) transaction cost analysis; 6) cost effectiveness analysis; 7) program scenario evaluation analysis. Based on the identification of institutional role in management of sea farming and coastal resources, the stakeholders actors are subject (sea farming members and trader), players (government, National Parks of Kepulauan Seribu, and university-PKSPL IPB), spectator (village government), and actor (security). Economic benefit of sea farming group member is Rp 6,805,645/year. Transaction cost for institutional management is Rp 875,000/year and the effectivity of transaction is 0.13, which is considered cost effective. Evaluation of sustainable scenario showed that scenario B which is program can be continued with a significant improvement was selected. The improvement of sea farming program includes adaptif institutional development, improvement of group organization and management, in order to achieve sustainability of sea farming program. Keywords :
Institutional, transaction cost, sea farming, sustainability
iv
RINGKASAN
BAMBANG YUDHO RUDIYANTO. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACENG HIDAYAT. Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Seribu selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), degradasi sumberdaya alam akibat pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain. Sehingga sebagian besar penduduk akan terperangkap dalam kemiskinan akibat produktivitas sumberdaya yang semakin berkurang dan terjadinya kerusakan lingkungan. Fenomena penurunan produksi tangkapan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan. Penelitian ini dilakukan bertujuan : pertama, mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kedua, menganalisis kelembagaan pengelolaan sea farming. Ketiga, mengkaji manfaat ekonomi dan biaya transaksi pengelolaan sea farming. Keempat, menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu adalah dengan pendekatan Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yang meliputi analisis stakeholder, analisis konflik pengelolaan sumberdaya ikan. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi pengelolaan sea farming adalah dengan analisis pendapatan terhadap kesejahteraan pembudidaya. Untuk menganalisis biaya transaksi pengelolaan sea farming menggunakan analisis biaya transaksi dan analisis keefektifan biaya. Untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming menggunakan analisis evaluasi skenario program. Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor. Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya. Mereka menjadi pengguna dari sumberdaya yang diteliti, akan tetapi bukan menjadi kajian objek sasaran untuk diteliti. Analisis konflik digunakan untuk menganalisis berbagai konflik antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu. Analisis pendapatan terhadap kesejahteraan pembudidaya digunakan untuk menghitung besarnya pendapatan pembudidaya ikan sebagai implikasi dari adanya pemberian dana bergulir (revolving fund) yang menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu di tingkat pembudidaya, sehingga dapat diketahui
v
pengaruh keberhasilan sistem pemberian dana bergulir tersebut terhadap pendapatan pembudidaya yang bermuara kepada tingkat kesejahteraan pembudidaya sebagai penerima dana. Analisis biaya transaksi dilakukan untuk menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan suatu organisasi dalam menjalankan manajemen dan mekanisme internal pelaksanaan organisasi. Analisis Keefektifan Biaya (AKB) adalah suatu teknik untuk memilih berbagai pilihan strategis dengan keterbatasan sumberdaya. Analisis evaluasi skenario program digunakan untuk mengambil keputusan (decision making) mengenai tindak lanjut program sea farming melalui wawancara para stakeholder (responden) yang sekaligus sebagai pakar sehingga dapat memahami kondisi maupun visi ke depan program sea farming. Tujuan dari skenario adalah melakukan analisis prioritas terhadap skenario evaluasi program sea farming. Karakteristik fisik sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access) dengan implikasi terhadap penurunan produksi tangkapan dan kelangkaan biotabiota laut tertentu akibat overfishing dan over-exploitation. Sumberdaya bersama atau akses terbuka (open access) memiliki karakteristik (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang dihadapi di perairan Kepulauan Seribu terkait karakteristik fisik sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya adalah semakin sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh banyaknya nelayan dari pulau lain (di luar Kepulauan Seribu) seperti Bangka Belitung, Madura, dan Makassar yang menggunakan alat tangkap lebih besar dari mereka. Akibatnya kegiatan pemanfaatan oleh nelayan luar mengurangi manfaat yang bisa diambil oleh nelayan Kepulauan Seribu. Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan budidaya laut (marikultur). Alternatif program yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan adalah kegiatan penstokan ulang atau pertanian laut (sea farming) untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Sea farming merupakan kegiatan budidaya yang mengubah paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Konsep kegiatan sea farming ini relatif sangat baru diimplementasikan di Indonesia. Model yang dikembangkan adalah sistem sea farming berbasis masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat nelayan di wilayah ini untuk memanfaatkan ekosistem laut dengan tujuan menciptakan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea farming adalah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB). Aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sea farming diantaranya adalah batas pengelolaan dan mekanisme sea farming, sistem aturan, sistem hak, pengaturan hak kepemilikan, sistem sanksi, dan kelembagaan informal. Berdasarkan hasil analisis pemetaan stakeholders, maka dapat diketahui aktor stakeholder yang berperan dan pengelolaan sea farming, yaitu : pertama, vi
subyek ditempati oleh masyarakat pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming Pulau Panggang, pendeder dan pedagang pengumpul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil budidaya dan pemasaran hasil produksi perikanan. Selama ini hasil budidaya oleh pembudidaya/anggota sea farming biasanya disalurkan kepada pendeder dan pihak pedagang pengumpul untuk kemudian dijual ke pasar. Kedua, pemain ditempati oleh Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS dan akademisi (PKSPL IPB) yang merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Pemerintah KAKS melalui dinas teknisnya (Suku Dinas Perikanan dan Pertanian) berhak mengatur pemanfaatan tradisional (budidaya). Sedangkan Pengelola TNKS melalui regulasinya menetapkan wilayah perairan Pulau Panggang sebagai bagian dari zona pemanfaatan tradisional. Melalui berbagai kajian dan penelitian, akademisi mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang lewat berbagai program pemerintah. Ketiga, penonton ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang. Keempat, aktor merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan, ditempati oleh pihak keamanan (Polairud) dan Dinas Perhubungan. Melalui penegakan hukum yang sesuai dengan peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang. Berdasarkan pemetaan konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu banyaknya ikan yang rusak dan menimbulkan kematian ikan yang banyak, penyaluran benih yang semakin sedikit, keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terhadap kelompok masyarakat tertentu. Pendampingan pada pengembangan skala usaha kelompok adalah dengan mendorong anggota kelompok untuk maju dan berkembang skala usahanya. Manfaat ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah keramba pembudidaya, jumlah benih yang telah disalurkan, jumlah produksi ikan yang dipanen, jumlah pinjaman yang telah dikembalikan serta jumlah pendapatan yang diterima. Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota Kelompok Sea Farming periode 2006-2009 sebesar Rp 6.805.645,00 per tahun (setelah dikurangi besaran pinjaman yang harus dikembalikan) dengan catatan pendapatan ini berasal dari benih yang dipelihara oleh anggota berkisar 200-400 ekor (sesuai mekanisme pinjaman benih kelompok) dan infrastruktur keramba yang sederhana. Persentase anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009 sebanyak 64,9%. Berdasarkan hasil kajian perencanaan usaha budidaya kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) diperoleh total perkiraan biaya investasi sebesar Rp 15.667.000,00 dengan perkiraan usia investasi selama 5 tahun, maka diperoleh biaya penyusutan sebesar Rp 3.133.400,00 per tahun. Total biaya produksi atau Total Cost (TC) sebesar Rp 22.353.400,00, sehingga diperoleh nilai Harga Pokok
vii
Produksi (HPP) sebesar Rp 49.674,00 per kg. Perkiraan penerimaan penjualan atau Total Revenue (TR) sebesar Rp 33.750.000,00, sehingga perkiraan keuntungan usaha budidaya ikan kerapu selama satu tahun (π) sebesar Rp 11.396.600,00 atau tingkat keuntungannya mencapai 50,98% per tahun. Nilai Payback Period (PP) = 1,37 tahun atau sama dengan 17 bulan. Total biaya transaksi kelompok sea farming dalam menjaga mekanisme internal pelaksanaan organisasi pengelolaan program sea farming sebesar Rp 875.000,00 per tahun. Biaya transaksi tersebut lebih banyak untuk biaya operasional bersama. Efektifitas biaya transaksi mencapai sekitar 0,13, yang berarti menunjukkan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif. Berdasarkan hasil analisis skenario evaluasi program sea farming dengan menggunakan software Decision Criterium Plus (DCP) dapat digambarkan mengenai kerangka pengambilan keputusan identifikasi skenario evaluasi program melalui mekanisme multi-criteria. Dari hasil analisis Delphi diperoleh hasil bahwa dari domain lingkungan, opsi yang optimal adalah skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan perbaikan signifikan dengan kontribusi skor sekitar 0,19. Sementara itu, dalam konteks kriteria domain sosial ekonomi, skenario B juga menempati rangking tertinggi dengan kontribusi skor sekitar 0,41. Selanjutnya dalam konteks kelembagaan, opsi skenario B tetap menjadi pilihan dengan skor tertinggi yaitu sekitar 0,17. Dalam konteks domain pengelolaan program, opsi skenario B tetap menjadi opsi paling optimal dibandingkan dengan skenario A (program dilanjutkan sesuai dengan rencana) dan skenario C (program dihentikan sama sekali), dengan kontribusi skor sekitar 0,065. Dengan menggunakan analisis agregat untuk seluruh domain, opsi skenario B memiliki skor tertinggi, yaitu 0,84 yang kemudian diikuti oleh opsi skenario A dengan skor 0,35, dan skenario C (0,0). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka diputuskan skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan sebagai skenario optimal. Lebih lanjut, domain kelembagaan dan pengelolaan program menjadi domain prioritas yang perlu diperhatikan karena memiliki skor rata-rata yang rendah dibandingkan domain yang lain. Pelaksanaan skenario di atas memiliki justifikasi yang kuat berdasarkan analisis implikasi dari skenario B yang mengkaji parameter kepercayaan masyarakat, kesan stakeholders kunci, konsekuensi hukum dan konvergensi dengan program daerah. Dari hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pilihan Skenario B adalah yang terbaik mengingat pentingnya program pengelolaan sea farming bagi para stakeholders maupun bagi keberlanjutan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu. Perbaikan sistemik dari program sea farming perlu dilakukan untuk mendukung keberlanjutan program. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Desain kelembagaan ke depan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus melibatkan masyarakat, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi yang dapat dikelompokkan menjadi dua level. Pertama, level penentu kebijakan (Collective Choice Level) yang berperan dalam penentuan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan. Selanjutnya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bupati KAKS serta Dinas Kelautan
viii
dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, ketiga lembaga tersebut bersifat pemberi instruksi kepada Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS. Disamping itu Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) mempunyai fungsi koordinasi dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS dalam hal pengelolaan zona pemanfaatan, Kelompok Masyarakat, yang tergabung dalam musyawarah kelompok masyarakat pengelola sumberdaya perikanan, serta akademisi yang beranggotakan unsur-unsur perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kedua, level operasional (Operational Choice Level) yang berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah kelompok masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang KAKS serta bertugas memberi dukungan dan mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Kelompok ini terdiri atas (1) kelompok lembaga pengelolaan sumberdaya ikan yang berada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS (kelompok pembudidaya dan nelayan, Pernitas/Perhimpunan Nelayan, Pedagang Ikan dan Tanaman Hias dan Kelompok Sea Farming), (2) kelompok lembaga pemasaran hasil perikanan (Koperasi, Pernitas, Tempat Pelelangan Ikan/TPI, swasta, pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai kelompok yang memasarkan hasil produksi perikanan dari kelompok nelayan, (3) Kelompok lembaga pengawas sumberdaya perikanan berfungsi untuk mengawasi wilayah perairan KAKS, dan juga bertugas sebagai lembaga penegak hukum bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Lembaga ini terdiri dari Kepolisian dan Dinas Perhubungan. Berdasarkan desain kelembagaan tersebut di atas terlihat bagaimana peran dari masing-masing lembaga dan sistem koordinasi yang dibangun dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Peran dan fungsi masing-masing lembaga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dimana masing–masing saling ada keterkaitan antar lembaga. Peran yang cukup menonjol adalah Lembaga Musyawarah Kelompok Masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena keberadaan lembaga tersebut menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat. Disamping pengembangan kelembagaan yang adaptif, perlu dilakukan pula perbaikan organisasi dan manajemen Kelompok Sea Farming dalam rangka keberlanjutan program sea farming. Mengingat pengembangan kelembagaan adaptif ini akan meningkatkan biaya manajerial organisasi, namun nilai ekonomi sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan alokasi dan alternatif penggunaannya secara benar dan mengenai sasaran. Dengan terjaganya fungsi sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus di masa yang akan datang. Kata kunci :
kelembagaan, biaya transaksi, sea farming, keberlanjutan
ix
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisan dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB
x
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SEA FARMING DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU
BAMBANG YUDHO RUDIYANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul : “Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT atas kesediaannya untuk meluangkan waktunya dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL IPB) Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah memberikan kesempatan beasiswa dan waktu kepada penulis untuk menempuh jenjang program pascasarjana S2. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc yang telah membantu dalam penyelesaian tesis; Ibu Muti yang telah membantu dalam kelancaran administrasi; teman-teman seperjuangan di ESK (Pak Zaky, Pak Fajri, Pak Kastana, Bu Intan, Bu Fitri, Bu Ola, dan kawan-kawan); rekan-rekan staf PKSPL IPB; serta Sdr. Ahmad yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik. Terima kasih yang luar biasa kepada kedua orang tua ayahanda tercinta H. Maryudi Prawirowidjoyo dan ibunda terkasih Hj. Urip Sugiarti, istri tersayang Siti Aisyah, serta putra-putri tercinta Zahra, Zachri dan Zamira atas doa, pengertian, pengorbanan dan dukungan moril yang tidak ternilai selama ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua civitas akademika, peneliti dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya hasanah keilmuan bidang ekonomi sumberdaya kelautan di masa mendatang.
Bogor, Agustus 2011 Penulis
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 1972 dari pasangan Bapak H. Maryudi Prawirowidjoyo dan Ibu Hj. Urip Sugiati. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Siti Aisyah pada tahun 2000 dari putri pasangan H. M. Sokhib dan Hj. Siti Aminah. Saat ini penulis dikaruniai 3 orang anak yang bernama Alivia Zahra Aveninne, Asyrafa Zachri Achmad dan Annisa Zamira Asha. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri 13 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Saat ini penulis bekerja di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
xvi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xxiii
I.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan dan Kegunaan ................................................................ 1.4. Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................
1 1 4 4 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Definisi Kelembagaan ................................................................. 2.2. Tiga Lapisan Kelembagaan ......................................................... 2.3. Karakteristik Kelembagaan ........................................................ 2.4. Property Right ............................................................................ 2.5. Karakteristik Fisik Common Pool Resources (CPRs) ................ 2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Pembangunan Kelautan .......................................................................... 2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan .................... 2.8. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ..................................... 2.9. Transaksi ..................................................................................... 2.10. Biaya Transaksi .......................................................................... 2.11. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan ..................... 2.12. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan ................................... 2.13. Definisi dan Perkembangan Sea Farming ...................................
6 6 6 8 10 12 14 16 17 18 19 19 20 23
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ..........................................
25
IV. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 4.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 4.2. Metode Penelitian ....................................................................... 4.3. Metode Pengumpulan, Jenis, Sumber dan Analisis Data ........... 4.4. Metode Analisis Data ................................................................. 4.4.1. Analisis Kelembagaan .................................................... 4.4.2. Analisis Stakeholder ....................................................... 4.4.3. Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............ 4.4.4. Analisis Pendapatan terhadap Kesejahteraan Pembudidaya .................................................................. 4.4.5. Analisis Biaya Transaksi ................................................ 4.4.6. Analisis Keefektifan Biaya ............................................. 4.4.7. Analisis Evaluasi Skenario Program .............................. 4.5. Batasan Penelitian ......................................................................
27 27 28 29 31 31 32 35
V.
41 41
KEADAAN UMUM WILAYAH ...................................................... 5.1. Wilayah Administrasi ................................................................. xvii
35 36 36 37 39
5.2. Kependudukan ............................................................................ 5.3. Kelembagaan .............................................................................. 5.3.1. Pemerintahan .................................................................. 5.3.2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) ................. 5.3.3. Koperasi .......................................................................... 5.3.4. Organisasi Kemasyarakatan ........................................... 5.3.5. Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Laut VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU .................................................. 6.1. Karakteristik Fisik Sumberdaya Pesisir ..................................... 6.2. Tragedi Kebersamaan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan .................................................................................. 6.3. Property Right Regime Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ........................................................................................ 6.4. Aransemen Kelembagaan ........................................................... 6.4.1. Kelembagaan Formal ........................................................ 6.4.2. Kelembagaan Informal ..................................................... 6.5. Sistem Pengelolaan dan Alternatif Kebijakan ............................
43 47 47 47 48 48 48
56 56 59 59 60 62 66 67
VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING ......................................................................................... 7.1. Program Sea Farming sebagai Solusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ........................................................................................ 7.2. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ......................... 7.2.1. Batas Pengelolaan dan Mekanisme Sea Farming ............ 7.2.2. Sistem Aturan ................................................................... 7.2.3. Sistem Hak ........................................................................ 7.2.4. Pengaturan Hubungan Kepemilikan ................................. 7.2.5. Sistem Sanksi .................................................................... 7.2.6. Kelembagaan Informal Pengelolaan Sea Farming ........... 7.3. Arena Aksi dalam Pengelolaan Sea Farming .............................. 7.4. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Sea Farming..... 7.5. Analisis Manfaat Ekonomi dalam Pengelolaan Sea Farming ..... 7.6. Keefektifan Biaya Transaksi Organisasi ..................................... 7.7. Keberlanjutan Program Sea Farming ......................................... 7.8. Desain Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ke Depan ........ 7.9. Implikasi Kelembagaan ..............................................................
69 71 75 75 76 76 77 77 78 81 84 91 92 97 101
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 8.1. Kesimpulan ................................................................................ 8.2. Saran ..........................................................................................
104 104 107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
108
LAMPIRAN ................................................................................................
111
xviii
69
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya ........................................
11
2.
Tujuan penelitian, jenis, sumber dan analisis data .................................
30
3.
Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor .................
33
4.
Indikator dan parameter yang digunakan dalam skenario evaluasi .........
37
5.
Skor evaluasi indikator program sea farming dengan menggunakan skala Saaty ..............................................................................................
38
6.
Skenario evaluasi program ......................................................................
39
7.
Perbandingan luas dan peruntukan pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang .................................................................................................
42
Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur dan jenis kelamin tahun 2009 .........................................................................
43
Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Pulau Panggang per RW Tahun 2009 ...............................................................................
44
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan (di atas umur 6 tahun/usia sekolah) Tahun 2009 .............................................................
44
11.
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Tahun 2009 ..............
45
12.
Jumlah alat penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 ........................................................................................................
46
13.
Jumlah kegiatan budidaya di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 .
46
14.
Jenis koperasi serta anggotanya di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 ........................................................................................................
48
Potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa ........................................................................................................
57
16.
Identitas Stakeholder dan peranannya ....................................................
78
17.
Tipe konflik dalam pengelolaan sea farming di perairan Pulau Panggang ................................................................................................
83
8.
9.
10.
15.
xix
Halaman 18.
19.
Biaya transaksi yang dikeluarkan kelompok sea farming terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu ..................
92
Uraian implikasi pentingnya kelanjutan program sea farming ...............
96
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Hubungan antara rules dan level analisis kelembagaan (Ostrom, 1990) .......................................................................................................
9
2.
Klasifikasi hak kepemilikian (Property right) (Charles 2001) ...............
10
3.
Model dan alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan (Kusumastanto 2010) ..............................................................
15
Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, Gardner, and Walker (1999), diacu dalam Kusumastanto (2003) .....................................................................................................
21
5.
Kerangka pendekatan studi ....................................................................
26
6.
Lokasi penelitian ....................................................................................
27
7.
Framework analisis dan pengembangan kelembagaan (Institutional Analysis and Development/IAD) ..........................................................
31
8.
Aktor Grid (Haswanto 2006) ..................................................................
34
9.
Perkembangan jumlah anggota kelompok sea farming Pulau Panggang berdasarkan angkatan .............................................................................
54
10.
Potensi dan produksi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa ...............
58
11.
Sistem kelembagaan sea farming (Adrianto et al. 2010) .......................
72
12.
Rantai pemasaran ikan kerapu (Adrianto et al. 2011) ............................
74
13.
Sistem agribisnis antar sistem budidaya dalam Konsep Sea Farming (Adrianto et al. 2011) ............................................................................
74
14.
Pemetaan Stakeholder pengelolaan sea farming di Pulau Panggang .....
79
15.
Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu ...............................................................................
82
Jumlah benih yang disalurkan kepada anggota sea farming periode 2006-2009 ...............................................................................................
85
4.
16.
xxi
Halaman 17.
Jumlah anggota sea farming yang meminjam benih dan anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009 ......................
86
18.
Produksi ikan kerapu anggota sea farming periode 2006-2009 .............
88
19.
Hasil penjualan ikan kerapu anggota kelompok sea farming Pulau Panggang periode 2006-2009 (dalam Rupiah) .......................................
89
Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota sea farming yang panen periode 2006-2009 (dalam Rupiah) .............................................
90
21.
Kerangka hirarki skenario evaluasi program sea farming ......................
93
22.
Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain lingkungan dengan menggunakan teknik Delphi ...................................................................
93
Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain sosial ekonomi dengan menggunakan teknik Delphi ......................................................
94
Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain kelembagaan dengan menggunakan teknik Delphi .......................................................
94
Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain pengelolaan program dengan menggunakan teknik Delphi ........................................
95
26.
Analisis agregat opsi skenario evaluasi program sea farming ...............
95
27.
Kerangka implikasi skenario terpilih .....................................................
96
28.
Desain Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 100
20.
23.
24.
25.
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Anggaran Dasar Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang .
113
2.
Anggaran Rumah Tangga Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang .....................................................................................
117
3.
Nilai Skor Analisis Stakeholders .........................................................
121
4.
Data perkembangan keramba Kelompok Sea Farming ........................
122
5.
Data peminjaman benih dan pengembalian pinjaman dana bergulir anggota Kelompok Sea Farming ..........................................................
124
Analisis usaha budidaya kerapu dalam Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan perairan Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ............................................................
131
7.
Data produksi dan panen ikan kerapu anggota Kelompok Sea Farming
134
8.
Hasil Skor dalam Analisis Evaluasi Skenario Program ........................
142
6.
xxiii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas gugusan kepulauan yang terdiri dari 110 pulau besar dan kecil, 11 pulau diantaranya sudah dihuni penduduk secara permanen sekitar 18.000 jiwa. Luas perairan laut mencapai 6.997,5 km2 dan sebagian wilayahnya merupakan taman nasional laut, cagar alam, dan suaka margasatwa. Luas daratan Kepulauan Seribu adalah 864,59 ha dan terletak di lepas pantai utara Jakarta yang memanjang dari utara ke selatan dengan karakteristik pantai berpasir putih dan gosong karang. Perairan lautnya mengandung berbagai sumberdaya hayati dan non hayati, seperti terumbu karang, mangrove, rumput laut, berbagai jenis ikan, bahan mineral dan bahan galian. Potensi sumberdaya tersebut dan aksesibilitas lokasi yang relatif dekat dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang menjadi daya tarik tersendiri bagi stakeholders untuk melakukan berbagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan ini. Bahkan tidak jarang aktivitas ini mengakibatkan konflik pemanfaatan ruang. Selama ini potensi sumberdaya alam yang dapat dikelola dan dikembangkan serta dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya laut) dan pariwisata bahari. Dilihat dari sisi sosial ekonomi, biaya hidup sehari-hari masyarakat setempat relatif lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain di DKI Jakarta, yaitu mahalnya transportasi laut, terbatasnya sumber air tawar, dan terbatasnya sumber energi/listrik. Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Seribu selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), degradasi sumberdaya alam akibat pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain. Sehingga sebagian besar penduduk akan terperangkap dalam kemiskinan akibat produktivitas sumberdaya yang semakin berkurang dan terjadinya kerusakan lingkungan. Permasalahan lain akibat pengelolaan dan pemanfaatan yang belum baik adalah timbulnya berbagai konflik pemanfaatan ruang seperti antara nelayan kecil dengan nelayan skala besar, antara kegiatan
2
budidaya rumput laut dengan aktivitas lalulintas kapal-kapal nelayan, pencemaran akibat penambangan pasir yang berdampak pada kegiatan budidaya laut dan pelestarian alam, serta limbah rumah tangga (penempatan kamar mandi dan kakus serta pembuangan sampah). Fenomena penurunan produksi tangkapan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan. Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan budidaya laut (marikultur). Kegiatan budidaya laut relatif masih muda di Indonesia, walaupun sesungguhnya potensi pengembangan budidaya ini sangat besar, diperkirakan mencapai 24.528.178 ha. Dengan potensi yang begitu besar dan harapan yang begitu tinggi, pengembangan marikultur memiliki nilai yang strategis untuk pemenuhan gizi, penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan penerimaan dan kegiatan perekonomian serta peningkatan devisa. Budidaya perikanan yang selama ini dikembangkan di Kepulauan Seribu diantaranya adalah rumput laut (Euchema cotonii), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan ikan kakap putih (Lates calcaliver). Budidaya ikan kerapu di wilayah Kepulauan Seribu umumnya berlokasi di sekitar Pulau Lancang, Pulau Kongsi, Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka. Kegiatan budidaya ikan kerapu sangat potensial untuk dikembangkan mengingat harga jual yang cukup tinggi dan potensi pasar yang sangat luas. Saat ini keberhasilan budidaya rumput laut sudah surut akibat penyakit ice-ice yang belum diketahui cara mengatasinya. Demikian pula dengan budidaya ikan kerapu yang telah diterapkan atas bantuan pemerintah selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir, sebagian besar gagal. Kegagalan yang terjadi diidentifikasi karena aspek teknis, seperti kualitas benih yang rendah, kualitas air dan teknik budidaya yang tidak tepat. Sedangkan dari aspek non teknis adalah gagalnya institusi kelompok dalam pengelolaan karena kurangnya pendampingan, pengorganisasian dan aturan main yang tegas.
3
Untuk tidak mengulangi kekeliruan teknis marikultur yang sudah pernah dilaksanakan, maka usaha budidaya laut di lokasi ini yang hanya bertumpu pada sedikit sistem, sedikit pelaku dan komoditas yang terbatas pula, perlu dikembangkan secara terpadu (integrated) dan membuka alternatif yang lebih luas, baik pelaku, komoditas, lokasi maupun sistem dan teknologi yang digunakan. Salah satu program budidaya laut yang dikembangkan di Kepulauan Seribu adalah program sea farming. Program sea farming adalah program pengelolaan sumberdaya dengan aktifitas utama marikultur dan aktifitas terkait lainnya (marine tourism) serta perbaikan kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan maupun kualitas lingkungan laut. Kegiatan sea farming mengubah paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan dalam sea farming adalah alternatif pengelolaan sumberdaya secara terbuka (open access) yang dapat mengakibatkan konflik dan dapat menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Model yang dikembangkan sea farming berbasis masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat di wilayah ini untuk memanfaatkan ekosistem laut dengan tujuan menciptakan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Konsep sea farming yang melibatkan berbagai pelaku usaha, menggunakan beberapa alternatif sistem teknologi dan kelembagaan yang saling mendukung dan terintegrasi dalam rangkaian sistem bisnis rantai tata niaga diharapkan dapat mewujudkan kegiatan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Program sea farming ini telah berjalan sejak tahun 2005 kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB). Melalui program sea farming ini, solusi terhadap masalah di Kepulauan Seribu diharapkan dapat diperoleh melalui pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, program ini diharapkan dapat memberikan manfaat, dari terimplementasinya sistem pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, serta sekaligus manfaat ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan dalam suatu basis jangka panjang dan lestari.
4
Berdasarkan uraian di atas maka pengelolaan sumberdaya pesisir di perairan Kepulauan Seribu umumnya, dan pengelolaan sea farming khususnya, perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya pesisir Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Selain itu keberadaan sistem kelembagaan yang kuat diharapkan dapat berdampak terhadap menurunnya tingkat konflik antar masyarakat dalam upaya memanfaatkan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu. 1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu selama ini belum berlangsung dengan optimal. Akibatnya berbagai kasus penurunan produksi tangkapan seringkali terjadi yang berakibat pada penurunan pendapatan ekonomi masyarakat. Disamping itu biaya operasional semakin mahal karena daerah penangkapan semakin jauh. Kondisi tersebut semakin mengancam bila cuaca memburuk. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu beserta seluruh stakeholders perlu mencari solusi pemecahannya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1)
Peran kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir serta terciptanya kelestarian sumberdaya laut belum optimal.
2)
Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir umumnya dan pengelolaan sea farming khususnya belum efektif dalam mencapai tujuan program.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian ini adalah : 1)
Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
2)
Menganalisis kelembagaan pengelolaan sea farming.
3)
Mengkaji manfaat ekonomi dan biaya transaksi pengelolaan sea farming.
4)
Menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming.
5
Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran yang lebih komprehensif untuk memahami sistem kelembagaan yang baik bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu, terutama dalam tata kelola sea farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Output dari penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pentingnya sistem kelembagaan yang kuat dalam tata kelola sea farming di wilayah Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan pendekatan analisis ekonomi. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah menganalisis kinerja kelembagaan dan biaya transaksi dalam pengelolaan sea farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi
Kepulauan
Seribu.
Kinerja
kelembagaan
meliputi
potret
kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, khususnya pengelolaan sea farming, pola interaksi antar aktor/stakeholders serta dampak atau manfaat sea farming bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Di dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pentingnya sistem kelembagaan yang kuat dalam tata kelola sea farming di wilayah Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, kajian penelitian akan difokuskan pada kegiatan sea farming, yang merupakan program Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang secara teknis dikelola Suku Dinas Kelautan dan Pertanian, bekerjasama dengan PKSPL IPB.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kelembagaan Kelembagaan diartikan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985). Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma tersebut bukanlah kelembagaan itu sendiri. Sementara itu, Rutherford (1994) menyatakan bahwa kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar. 2.2. Tiga Lapisan Kelembagaan Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Deliarnov (2006) mengemukakan bahwa dari
7
sekian banyak pembatasan tentang kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu : 1)
Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya. Hampir semua aktivitas
manusia
memerlukan
konvensi-konvensi
pengaturan
yang
memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik. Jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat. 2)
Kelembagaan sebagai aturan main. Bogason (2000) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan. Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, didefinisikan sebagai aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi, mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsipprinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi. Konstitusi biasanya lebih sulit berubah, walaupun bukan harga mati.
3)
Kelembagaan sebagai pengaturan hubungan kepemilikan. Kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau kelompok pemilik, (2) obyek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov 2006). Alchian (1993) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak
8
kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya, berhak mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut, sampai batas-batas tertentu hal ini dapat dibenarkan. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas barang
yang
dimilikinya,
sebab
bagaimana
memperlakukan
dan
menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat. 2.3. Karakteristik Kelembagaan Lembaga bersifat dinamis, selalu berubah mengikuti perubahan pola interaksi, nilai, kultur, serta selera masyarakat seiring dengan perubahan waktu. Dimensi perubahan kelembagaan meliputi : 1) Perubahan konfigurasi/kepentingan pelaku ekonomi, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan. 2) Sengaja dirancang untuk mempengaruhi/mengatur kegiatan ekonomi. Tujuan perubahan adalah memperbaiki kualitas interaksi/transaksi ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Profesor Elinor Ostrom, penggiat kelembagaan dari Indiana University, Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan yang membaginya dalam tiga level, yaitu 1) Operational rule yang berada pada operational choice level, 2) Collective choice rule yang berada pada level collective choice, dan 3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional choice. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 (Ostrom 1990). Operational rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian, yaitu aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, operational rule merupakan instrumen pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam.
9
Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya diatur dalam operational rule. Operational rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi, dan lain-lain (Ostrom 1990).
Rules:
Constitutional
Collective choice
Levels of Analysis
Constitutional choice Collective choice
Operational choice
Processes:
Formulation Governance Adjudication Modification
Appropriation Provision Monitoring Enforcement
Policy-making Management Adjudication
Operational
Gambar 1 Hubungan antara rules dan level analisis kelembagaan (Ostrom 1990). Walaupun operational rule berubah secara spontan, namun dalam pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan atau kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana operational rule tersebut berubah. Ketentuan-ketentuan/kesepakatankesepakatan tersebut disebut collective choice rule, yaitu aturan mengenai bagaimana operational rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada operational rule (Ostrom 1990). Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya, mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama.
10
2.4. Property Right Dalam literatur ekonomi sumberdaya, istilah property right (hak kepemilikan) didefinisikan sebagai serangkaian hak yang menggambarkan tentang hak milik (owner’s right), keistimewaan (privileges) dan pembatasan-pembatasan dalam
penggunaan
sumberdaya
(Tietenberg
1992).
Charles
(2001)
mengklasifikasikan property right menjadi dua bagian, yaitu property right regime dan types of right. Property right regime terdiri atas non property, state property, common property dan private property. Secara lengkap klasifikasi property right tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Hak Kepemilikan Rezim Hak Kepemilikan
Individu
Tipe Hak Kepemilikan
Akses Terbuka
Hak Pengalihan
Negara
Hak Eksklusif
Masyarakat
Hak Pengelolaan
Swasta
Hak Pemanfaatan Perusahaan
Hak Akses
Gambar 2 Klasifikasi hak kepemilikan (Property right) (Charles 2001).
Hanna et al. (1996) membagi 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu : (1) hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) hak milik bersama (common property regime); (3) hak milik negara (state property regime); dan (4) tanpa hak milik (open acces regime). Karakteristik masing-masing rezim hak kepemilikan berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana tersaji pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya Tipe
Pemilik
Hak Pemilik
Kewajiban Pemilik
•
Hak milik pribadi
Individu
Penggunaan SDI secara sosial diterima, kendali akses
Penghindaran penggunaan secara sosial tidak dapat diterima
•
Hak bersama
Kolektif
Pengaturan bukan pemilik
Pemeliharaan, menghambat tingkat penggunaan
•
Hak negara
Warga negara
Menentukan aturan
Memelihara tujuan sosial
Menangkap
Tidak ada
• Tidak ada hak milik Tidak ada Sumber : Hanna et al. (1996)
Common property, menurut Bromley (1991) esensinya adalah hak milik swasta dalam kelompok, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam “milik bersama”. Sementara itu, open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik (open access) sumberdaya muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama. Di dunia rezim pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang dominan ditemukan adalah rezim milik bersama (common property regime) dan open access (no property right). Common property regime dan open access terbukti mengalami berbagai kegagalan, baik dalam aspek keberlanjutan sumberdaya perikanan dan juga memunculkan berbagai tipe konflik, sehingga menimbulkan tragedi kebersamaan (tragedy of the common) sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Garrett Hardin (1968). Dalam artikelnya yang terbit dalam Journal Science tahun 1968, menggambarkan rezim pengelolaan sumberdaya alam akses terbuka (open access) dimana setiap individu yang memiliki akses terhadap sumberdaya alam yang bersifat langka akan terdorong (incentive) untuk meningkatkan intensitas pemanfaatannya demi mendapatkan economic return dalam jangka pendek. Keadaan seperti ini akan menyebabkan setiap individu mendapatkan manfaat yang semakin berkurang.
12
Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya perikanan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi sumberdaya yang efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan tergantung pada hak kepemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut. Menurut Tietenberg (1992), secara konseptual, struktur hak kepemilikan dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk menghasilkan alokasi yang efisien pada suatu ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4 karakteristik penting, yaitu : (1) Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi (privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas. (2) Eksklusivitas (exclusivity). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain. (3) Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak kepemilikan itu bisa dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas. (4) Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak kepemilikan tersebut harus aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain. Kalau keempat komponen di atas bisa diterapkan dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat berlangsung secara efisien. 2.5. Karakteristik Fisik Common Pool Resources (CPRs) Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya pada saat hak-hak kepemilikan yang melekat pada sumberdaya tertentu tidak terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat komponen hak kepemilikan.
Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari
keempat komponen hak-hak kepemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama (common pool resources). Sumberdaya bersama adalah sumberdaya alam atau sumberdaya buatan manusia yang karena besarnya sehingga akses terhadap sumberdaya tersebut sulit dikontrol (non excludable) dan pemanfaatan oleh seseorang bersifat mengurangi
13
kesempatan orang lain dari memanfaatkan sumberdaya tersebut (subtractable) (Ostrom 1990). Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah sukar untuk mencari contoh-contoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya perikanan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto 2002). Lebih jauh Berkes et al. (1989) menyatakan bahwa CPRs mengandung dua karakteristik penting yakni (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan CPRs menurut Ostrom (1990) terdiri atas : 1) Appropriation problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya pengambilan sesuatu yang dapat diekstrak dari suatu ekosistem sumberdaya (resource unit). Terkait dengan pemanfaatan non excludable dan subtractable, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut : a. Appropriation externalities : kegiatan pemanfaatan oleh seseorang dapat mengurangi manfaat yang bisa diambil orang lain. b. Assigment problem : ketidakmerataan alokasi manfaat CPRs yang dapat memicu konflik. c. Technological externalities : penggunaan suatu teknologi oleh seseorang user CPRs akan meningkatkan biaya penggunaan teknologi lain yang dipakai user lain. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah mengatur user dan mengalokasikan resource unit yang subtractable secara adil.
14
2) Provision problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya untuk memelihara kondisi resource system agar dapat terus memproduksi resource unit. Terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi produksi CPRs, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut : a. Demand side : pemanfaatan CPRs melebihi kapasitas produksi akan menurunkan kemampuan produktivitas CPRs memenuhi kebutuhan pengguna. b. Supply side : setiap individu memiliki insentif untuk menjadi free rider, ingin mendapat manfaat dari CPRs tetapi tidak mau turut memelihara. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah memaksa atau mengarahkan user agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan CPRs. 2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata Kelola Pembangunan Kelautan Saat ini arah kebijakan pembangunan kelautan masih berjalan sendirisendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan pembangunan
yang
mampu
kelautan.
mensinergikan
Dampaknya,
dan
memadukan
penanganan
suatu
kebijakan
kasus
dalam
pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral (Kusumastanto 2010). Nikhols et al. (2003) dalam Kusumastanto (2010) menyarankan agar menciptakan
aransemen
kelembagaan
(institutional
arrangement)
yang
menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan yang disebutnya sebagai ocean governance (OG). Aspek yang tercakup dalam OG adalah : a. Pengalokasian masyarakat dan antar institusi negara dalam penggunaan hak, kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan. b. Pengaturan (regulation) hak pemanfaatan, kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan. c. Pengembangan suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas untuk memonitoring dan menegakkan hukum dalam pengelolaan sumberdaya kelautan.
15
d. Penciptaan ketentuan yang efektif untuk mencegah konflik pemanfaatan sumberdaya kelautan, baik oleh masyarakat maupun antar institusi negara. Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan (Kusumastanto 2010). Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan nasional yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif.
Tingkatan Politis Eksekutif Presiden Gubernur Bupati / Walikota
Legislatif DPR DPRD
Tingkatan Organisasi/Implementasi Lembaga Pemerintah Kementerian/non Kementerian Non-Kementerian Menkoekuin, Bappenas, Mabes TNI, BPPT, Lemhanas, Meneg LH Kementerian Teknis : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Perindustrian, Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Budaya, Pertahanan, Keuangan, Hukum dan HAM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perhubungan, Koperasi dan UKM, Dalam Negeri, Luar Negeri, Pendidikan Nasional
Masyarakat/ Stakeholders Nelayan Petani Ikan Pengusaha
Hasil Akhir (Outcome) BPK,BPKP
Alur Kebijakan Pola Interaksi Implikasi
Evaluasi
Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan (Kusumastanto 2010)
16
Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan dijelaskan pada Gambar 3 di atas. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif dan legislatif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundangan) pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan kelautan. 2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri atas dua rezim yang dikenal oleh masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah atau yang dikenal dengan sentralistis (Government Centralized Management/GCM) dan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis mesyarakat (Community Based Management/CBM) (Nikijuluw 2002). Pengelolaan sentralistik adalah rezim pengelolaan dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan. Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir, dan lain-lain. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2002). Dengan model ini, masyarakat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et.al 2002). Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien, karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat
17
lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et.al 2002). 2.8. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan Menurut Fisher et al. (2000), ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk menganalisis konflik, yaitu: 1) Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini terdiri atas : (1)
Pra
konflik,
ini
merupakan
periode
dimana
terhadap
suatu
ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. (2)
Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka.
(3)
Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat.
(4)
Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata.
(5)
Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke labih normal di antara kedua pihak.
2) Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau obyektif, tetapi untuk memahami pandangan orang-orang yang terlibat. 3) Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. 4) Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masing-masing pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan
18
berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi. 5) Analogi bawang Bombay (atau donat), merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. 6) Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik. 7) Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi kekuatankekuatan yang mempengaruhi konflik. 8) Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang tidak stabil. 9) Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholders dalam suatu konflik. 2.9. Transaksi Ekonomi klasik/neoklasik berasumsi bahwa transaksi bersifat free of cost. Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi kelembagaan baru yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan sempurna bila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa transaksi dapat berjalan bila ada informasi. Pengumpulan informasi memerlukan biaya. Karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting dalam ekonomi kelembagaan. Untuk memahami apa itu biaya transaksi, berikut disampaikan berbagai pengertian yang disampaikan oleh para pakar. Williamson sebagai salah satu penggiat ternama ekonomi kelembagaan berpendapat bahwa transaksi adalah transfer/perpindahan barang dari satu tahap ke tahap lain melalui teknologi yang terpisah. Satu tahapan selesai dan tahap berikutnya dimulai (Williamson 1985).
19
Sedangkan menurut Furubotn dan Richter (2000), transaksi merupakan perpindahan barang, jasa, informasi, pengetahuan, dan lain-lain dari satu tempat (komunitas) ke tempat (komunitas) lain atau pemindahan barang dari produsen ke konsumen, atau pemindahan barang dari satu individu ke individu yang lain. Hal ini disebut transaksi fisik/delivery. Selain dalam pengertian perpindahan fisik, transaksi juga meliputi akuisisi atau pemindahan hak kepemilikan atas barang dari pemilik ke pihak lain. Transaksi dilihat dari aspek legal. Pengertian transaksi yang lebih luas disampaikan Max Weber. Menurutnya, transaksi adalah tindakan yang diperlukan untuk menetapkan, memelihara dan atau mengubah hubungan sosial (Weber 1968). Definisi ini meliputi pembentukan dan upaya mempertahankan kerangka kelembagaan dimana proses transaksi ekonomi bisa terjadi. 2.10. Biaya Transaksi Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk menjalankan sistem ekonomi (Williamson 1985). Doglas North menyebutnya sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup biaya organisasi politik dan ekonomi.
Dengan
demikian,
meliputi
biaya negosiasi,
mengukur,
dan
memaksakan pertukaran (North 1990). 2.11. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex post transaction cost). Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan
20
free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah : (1)
Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran.
(2)
Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya.
(3)
Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan.
2.12. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan. Untuk melakukan suatu analisis dan pengembangan kelembagaan dibutuhkan framework analisis kelembagaan. Framework tersebut dinamakan Institutional Analysis and Development (IAD). Kerangka analisis ini telah digunakan untuk menguji pengaturan kelembagaan – aransemen kelembagaan (institutional arrangement) dalam pengelolaan air tanah, common pool resources (misalnya sistem irigasi, kehutanan dan perikanan), organisasi metropolitan dan pengembangan infrastruktur pedesaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hasil dari analisis dan pengujian ini diharapkan akan mampu mengembangkan suatu mekanisme kelembagaan yang sesuai (Kusumastanto 2003). Secara skematik IAD digambarkan pada Gambar 4.
21
• Atribut fisik dari sistem • Aturan/kelembagaan • Atribut masyarakat/budaya
Arena aksi : • Pelaku (actor) • Situasi yang diputuskan (decision situation)
Pola interaksi (antar jaringan kerja pemerintah)
• Performa kelembagaan • Hasil kebijakan Evaluasi • Biaya informasi • Biaya koordinasi • Biaya strategi Performa kelembagaan secara keseluruhan • Efisiensi • Keseimbangan fiskal • Redistribusi keadilan • Akuntabilitas • Adaptabilitas Evaluasi Dampak • Menilai hasil dari kebijakan
Gambar 4 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, Gardner, and Walker (1999), diacu dalam Kusumastanto (2003). IAD secara teoritik merupakan suatu kerangka kerja yang dapat membantu untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan. Diferensiasi analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis organisasi yang terfokus pada aturan. Aturan yang bersifat formal (hukum, kebijakan, peraturan) dan informal (norma sosial) (Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, analisis kelembagaan mencoba untuk menguji permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan bagaimana aturan itu digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami, budaya individu (organisasi), sehingga mampu menyelesaikan problem yang dihadapi. Selain itu, IAD juga dapat melakukan penyusunan kelembagaan yang bersifat individu maupun organisasi (Kusumastanto 2003).
22
Kelebihan IAD adalah (1) tidak memiliki bias normatif dalam menggambarkan
aransemen
kelembagaan
yang
digunakan
untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan; (2) IAD juga tidak mengandalkan keragaman kriteria evaluasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan aransemen kelembagaan yang berbeda, seperti pasar, hierarki yang sentralistik, hierarki yang desentralistik, dan aransemen yang polisentrik (Kusumastanto 2003). Kerangka analisis IAD dapat digunakan untuk mengevaluasi performa kelembagaan secara menyeluruh dari berbagai perspektif yang berbeda. Salah satu cara untuk melihat performa kelembagaan adalah efisiensi yang definisinya dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan administrasi program. Performa kelembagaan juga dapat dilihat dari aspek keadilan (equity). Dua hal yang berkaitan dengan konsep keadilan adalah : (1) Prinsip keseimbangan fiskal yang bermanfaat untuk menunjang masalah beban keuangan (2) Redistribusi keadilan yang berkaitan dengan struktur kegiatan suatu program. Yang terpenting untuk diingat adalah bahwa efisiensi program tidak membutuhkan program yang adil. Jadi efisiensi menentukan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan agar memberikan manfaat (benefit) yang
besar,
dan
keadilan
menentukan
bagaimana
mengalokasikan
sumberdaya yang berbeda. Performa kelembagaan juga dapat dievaluasi dari aspek akuntabilitas (accountability). Akuntabilitas berperan penting dalam aransemen kelembagaan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang terlibat agar melakukan monitoring terhadap perilaku (behavior) satu sama lain. Performa kelembagaan dapat
dilihat
dari
aspek
adaptabilitas
(adaptability).
Jika
aransemen
kelembagaan merespon perubahan politik, ekonomi, budaya, dan kondisi lingkungan, maka performa kelembagaan mungkin akan mengalami problem (Kusumastanto 2003).
23
2.13. Definisi dan Perkembangan Sea Farming Sea farming berasal dari bahasa Inggris yang terdiri atas kata sea berarti laut dan farming yang berarti berusaha tani, sehingga secara harfiah berarti berusaha tani di laut dalam rangka memproduksi ikan. Laut dijadikan ladang atau lahan untuk memproduksi ikan dengan menerapkan prinsip usaha tani. Sea farming dapat didefinisikan pula sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenil atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan (Effendi 2006). Sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di Jepang, Norwegia, dan Amerika Serikat. Di Norwegia dan Amerika Serikat kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan tahun 1967 di Norwegia. Jepang sebagai negara yang dianggap paling berhasil menerapkan sea farming mendefinisikan sea farming sebagai kegiatan memproduksi benih (seed production), kemudian melepaskan benih tersebut ke laut (releasing atau restocking) dan selanjutnya menangkap kembali ikan tersebut (recapturing atau harvesting) untuk dijual sebagai produk perikanan laut. Perairan laut untuk restocking ini dianggap sebagai kawasan sea ranching, bisa berupa teluk atau gosong (laut dangkal terlindung) dengan luas ratusan hingga ribuan hektar (Effendi 2006). Secara umum FAO (2004), diacu dalam Adrianto (2007) mendefinisikan kegiatan pemacuan stok ikan sebagai kegiatan sistematik berbasis budidaya (culture-based fisheries) melalui pelepasan benih ikan dengan ukuran tertentu ke perairan alamiah atau buatan dengan tujuan merestorasi cadangan sumberdaya ikan di perairan tersebut dan pada jangka panjang mendukung kegiatan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable capture fisheries). Kegiatan pemacuan stok ikan menjadi wacana yang menarik mengingat gejala umum di dunia perikanan bahwa stok sumberdaya ikan di perairan alamiah (baik laut maupun tawar) relatif mulai terkuras akibat tingginya tekanan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Kegiatan sea farming awalnya dikategorikan menjadi tiga kegiatan berdasarkan tujuan, yakni : 1) membangun suatu populasi atau meningkatkan
24
populasi ikan di suatu areal yang rendah, 2) sport fishing dan rekreasi, dan 3) meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Sehingga berdasarkan aktivitas ini sea farming berkembang menjadi 5 kegiatan, mulai dari pembenihan, pembesaran ikan sampai mencapai ukuran tertentu yang siap dilepas ke laut, penandaan, pelepasan ikan ke laut, dan penangkapan kembali (Effendi 2006). Berdasarkan arealnya, kegiatan sea farming dapat dilakukan di daratan (land based mariculture) dan laut. Berdasarkan arealnya di laut, pelepasan ikan dibagi menjadi dua macam, yaitu untuk farsea (200 mil dari garis pantai) dan coastal. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan, dan daerah pelepasan. Selanjutnya di laut sendiri kegiatan tersebut dapat dilakukan pada enclosure, pen culture, cage culture dan sea ranching dimana satu dan lainnya saling terkait sangat erat. Keberhasilan kegiatan itu sangat ditentukan oleh 5 faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni 1) sumberdaya alam, 2) teknologi, 3) kemasyarakatan, 4) kelembagaan, dan 5) hukum (Effendi 2006). Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki pengalaman yang cukup lama dan teknologi yang sudah maju memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Oleh karena itu, pengembangan kegiatan sea farming di Indonesia seharusnya ditujukan pada kegiatan untuk meningkatkan pendapatan nelayan di suatu daerah yang kegiatan utamanya adalah menangkap ikan dan secara simultan memastikan kelestarian stok ikan tersebut (Effendi, 2006).
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI
Berdasarkan studi literatur terhadap hasil penelitian tentang kondisi sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu diketahui bahwa saat ini kondisi sumberdaya ikan di Perairan Kepulauan Seribu sudah mengalami penurunan. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya ikan tersebut, termasuk sistem kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sistem kelembagaan yang ada (existing) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Perairan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dengan terlebih dahulu mengkaji karakteristik fisik sumberdaya pesisir terhadap implikasi pengelolaan dan pemanfaatan. Kerangka pendekatan studi menggunakan kerangka analisis Institutional Analysis and Development (IAD) yang merupakan kerangka kerja yang dapat membantu menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. IAD
menggambarkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
desain
kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem, aturan/kelembagaan yang bersifat formal (hukum, kebijakan, peraturan) dan informal (norma sosial dan budaya). Aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu. Oleh karena itu perlu diidentifikasi regulasi-regulasi apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dengan adanya informasi tersebut diharapkan dapat diketahui bagaimana aturan main (rule of the game) pengelolaan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kelembagaan informal merupakan kelembagaan yang mengacu pada organisasi abstrak yang diakui dan diterima oleh masyarakat namun tidak mempunyai justifikasi hukum, seperti lembaga-lembaga adat. Aturan informal meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subyektif individu tentang dunia tempat hidup mereka.
26
Selanjutnya dalam menentukan format kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah arena aksi para pelaku/aktor dan stakeholders. Aktoraktor yang terlibat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Oleh sebab itu identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dan perannya menjadi salah satu kunci keberlanjutan pembangunan sumberdaya ikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Faktor selanjutnya adalah pola interaksi atau identifikasi konflik yang terjadi antar aktor pengelola sumberdaya ikan. Kemudian dilakukan analisis manfaat ekonomi dan biaya transaksi yang dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi. Selanjutnya dilakukan evaluasi performa kelembagaan dan evaluasi keberlanjutan program dalam rangka kesinambungan pengelolaan program sea farming. Secara sistematis kerangka pendekatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 5.
• Atribut fisik dari sistem • Aturan/kelembagaan • Atribut masyarakat/ norma sosial dan budaya
Arena aksi : • Pelaku (actor) • Stakeholders
Pola interaksi/ identifikasi konflik
• Manfaat ekonomi • Biaya transaksi
Evaluasi performa kelembagaan serta keberlanjutan program
Gambar 5 Kerangka pendekatan studi.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi penelitian.
28
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai visi: ”Kepulauan Seribu sebagai Ladang dan Taman Kehidupan Bahari yang berkelanjutan”. Dengan visi ini, maka prioritas program yang dikembangkan adalah budidaya perikanan, industri pariwisata bahari, kawasan daerah perlindungan laut atau konservasi. Program sea farming menjadi program andalan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, dengan percontohan di Pulau Semak Daun Kelurahan Pulau Panggang. Luas kawasan daratan Pulau Semak Daun 0,5 ha dengan kawasan perairan karang 315 ha terdiri dari rataan terumbu “reef flat” 250 ha dan laguna atau goba seluas 25 ha. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut adalah kawasan ini sangat potensial untuk pengembangan program budidaya perairan karena memiliki perairan dengan rataan terumbu yang luas. Kawasan potensial untuk budidaya laut di Kepulauan Seribu diperkirakan mencapai 4.376,04 ha yang terdiri dari reef flat 4.027,45 ha; laguna 320,6 ha; selat 23 ha dan teluk 4,99 ha. 4.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode studi kasus. Maksud dari kasus dalam penelitian ini adalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu. Nazir (1988) menyatakan bahwa penelitian kasus adalah penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subyek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Ruang lingkup studi dapat mencakup segmen atau bagian tertentu atau mencakup siklus kehidupan individu, kelompok, dan sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun keseluruhan faktor-faktor dan fenomenafenomena, tergantung dari tujuannya. Studi kasus lebih menekankan pengkajian variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan metode survei, dimana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar (Nazir 1988). Nazir (1988) mengungkapkan langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut :
29
1) Merumuskan tujuan penelitian 2) Menentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan diteliti dan hubungan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian 3) Menentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang digunakan. Sumber-sumber data apa yang tersedia 4) Mengumpulkan data 5) Mengorganisasikan informasi dan data yang terkumpul serta menganalisis untuk membuat interpretasi dan generalisasi 6) Menyusun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian. Yin (1996) menyatakan bahwa ada 6 sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan data studi kasus adalah: (1) dokumen, (2) rekaman arsip, (3) wawancara, 4) observasi langsung, (5) observasi pemeran serta, dan (6) perangkat fisik. Dalam hal ini diperlukan dua kategori data yaitu data utama dan data penunjang. Data utama diperoleh dari pencatatan langsung di lapangan, wawancara pada beberapa pembudidaya ikan dan pengamatan kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data penunjang diperoleh dari dokumen atau arsip tertulis serta laporan hasil penelitian serta publikasi lainnya. 4.3. Metode Pengumpulan, Jenis, Sumber dan Analisis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari para aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu. Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan melalui wawancara secara mendalam kepada para aktor, dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah terstruktur. Sementara itu data sekunder diperoleh melalui data-data literatur perikanan Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu, dokumen hasil penelitian dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
30
Tabel 2 Tujuan penelitian, jenis, sumber dan analisis data No. 1.
2.
3.
4.
Tujuan Penelitian Menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Jenis Data
Sumber Data
Analisis Data
Kondisi geografis, kependudukan, ekonomi wilayah, potensi sumberdaya ikan, tingkat pemanfaatan, hukum formal (Undangundang, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Gubernur DKI Jakarta, Peraturan Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Keputusan Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Aturan informal (kesepakatan antar masyarakat)
Profil dan statistik perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, wawancara, laporan tesis Pascasarjana IPB, dokumen penelitian PKSPL IPB
Deskriptif kualitatif
Identifikasi aktor, peran masing-masing aktor, hubungan antar aktor
Wawancara dan kuisioner
Analisis stakeholders
Identifikasi konflik antar aktor
Wawancara dan kuisioner
Analisis konflik
Menganalisis manfaat ekonomi pengelolaan sea farming
Jumlah produksi ikan (panen), jumlah biaya produksi
Wawancara, dokumen penelitian PKSPL IPB
Analisis pendapatan
Menganalisis biaya transaksi pengelolaan sea farming
Biaya pengambilan keputusan, biaya operasional bersama, biaya informasi
Wawancara dan kuisioner
Analisis biaya transaksi dan analisis keefektifan biaya
Menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming
Domain dan indikator dalam rangka pengambilan keputusan mengenai tindak lanjut program sea farming
Wawancara dan kuisioner
Analisis evaluasi skenario program
Menganalisis kelembagaan pengelolaan sea farming
Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling dengan penggalian
data
menggunakan
panduan
kuisioner.
Maksudnya
adalah
pengumpulan data melalui penjelasan oleh peneliti dan mengambil responden berupa pembudidaya ikan yang terdaftar menjadi anggota kelompok sea farming di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menurut pertimbangan sesuai dengan maksud penelitian. Nasution (2003) menyebutkan bahwa purposive sampling adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian.
31
Penentuan aktor-aktor yang dijadikan responden dalam penelitian ini juga memperhatikan hasil-hasil studi sebelumnya. Oleh sebab itu, sebelum menentukan aktor-aktor yang akan dijadikan narasumber, peneliti terlebih dahulu melakukan studi literatur yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu. Literatur-literatur yang dijadikan rujukan dalam penentuan narasumber tersebut adalah laporan hasil penelitian tesis, dokumen hasil penelitian di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu, dan dokumen-dokumen terkait lainnya yang dimiliki oleh Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 4.4.
Metode Analisis Data
4.4.1. Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu mempergunakan framework Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Framework IAD dapat dilihat pada Gambar 7.
KELEMBAGAAN • Atribut fisik dari sistem • Aturan/kelembagaan • Atribut masyarakat/ norma sosial dan budaya
Arena aksi : • Pelaku (actor) • Stakeholders
Pola interaksi/ identifikasi konflik
• Manfaat ekonomi • Biaya transaksi
Gambar 7 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan (Institutional Analysis and Development/IAD).
32
4.4.2. Analisis Stakeholder Analisis
stakeholder
adalah
analisis
yang
dilakukan
untuk
mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor. Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya. Mereka menjadi pengguna dari sumberdaya yang diteliti, akan tetapi bukan menjadi kajian objek sasaran untuk diteliti. Aktor sangat bervariasi jika dilihat dari derajat pengaruh dan kepentingannya. Aktor ini dapat diketegorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya
pengaruh
dan
kepentingan
relatifnya
terhadap
keberhasilan
pengelolaan sumberdaya alam. Brown et al. membagi aktor dalam beberapa kategori (Brown et al. 2001, diacu dalam Suhana 2008) yaitu: 1) Aktor primer, yaitu individu atau kelompok yang mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kabijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan. 2) Aktor sekunder, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat. Hal ini disebabkan karena aktor ini adalah sebagian besar merupakan pengambil kebijakan dan terlibat dan implementasi kebijakan. Secara relatif pihak ini tidak penting, demikian pula denga tingkat kesejahteraannya bukan suatu prioritas. 3) Aktor eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan, tetapi interest mereka tidak begitu penting. Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkahlangkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah: 1)
Identifikasi aktor
2)
Membuat tabel aktor
3)
Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor
33
4)
Membuat aktor grid
5)
Menyepakati hasil analisis dengan aktor utama Proses penentuan aktor dilakukan dengan beberapa langkah antara lain:
a)
Mengidentifikasi
sendiri
berdasarkan
pengalaman
dalam
bidang
pembangunan wilayah atau berkaitan dengan perencanaan kebijakan. b)
Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasil identifikasi ini berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir.
c)
Identifikasi aktor menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snowball yaitu setiap aktor mengidentifikasi aktor lainnya untuk diteliti. Berdiskusi dengan aktor pertama kali teridentifikasi dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan aktor penting lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya. Metode ini dapat juga membantu mendapatkan pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan aktor. Untuk memudahkan analisis aktor, maka setiap aktor dikategorikan ke
dalam lima kategori yakni pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), swasta (pengusaha dan lembaga donor), masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi sosial lainnya, serta perguruan tinggi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan kuesioner terhadap wakil dari masing-masing aktor yang teridentifikasi dari hasil analisis aktor, pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor Skor
Nilai
Kriteria
Keterangan Kepentingan Aktor
5
17-20
Sangat Tinggi
Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya
4
13-16
Tinggi
Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya
3
9-12
Cukup Tinggi
Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya
2
5-8
Kurang Tinggi
Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya kecil
1
0-4
Rendah
Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya
34
Tabel 3 Lanjutan Skor
Nilai
Kriteria
Keterangan Pengaruh Aktor
5
17-20
Sangat Tinggi
Jika responnya berpengaruh nyata terhadap aktivitas aktor lain
4
13-16
Tinggi
Jika responnya berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain
3
9-12
Cukup Tinggi
Jika responnya cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain
2
5-8
Kurang Tinggi
Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain
1
0-4
Rendah
Jika responnya tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain
Sumber: Haswanto (2006)
Untuk mengetahui besarnya kepentingan dan pengaruh masing-masing aktor terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir, alat analisis selanjutnya adalah analisis grid. Dalam analisis ini, aktor diketegorikan menurut tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya. Sebaran posisi aktor menurut kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 8.
Tinggi
A.
B.
Subjek
Pemain
Kepentingan C.
D.
Penonton
Aktor
Rendah
Rendah
Pengaruh
Tinggi
Gambar 8 Aktor grid (Haswanto 2006). •
Kotak A (subyek) menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan.
35
•
Kotak B (pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahan.
•
Kotak C (penonton) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya, Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan dua hal yakni: (a) interest-nya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan.
•
Kotak D (aktor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
4.4.3. Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan Untuk menganalisis berbagai konflik antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Fisher et al. (2000). Dalam metode analisis ini, sebelumnya dipahami dahulu mengapa konflik itu terjadi : (1) agar dipahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini, (2) identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok yang menonjol saja; (3) agar memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami bagaimana hubungan mereka satu sama lain; (4) identifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik; dan (5) agar belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan (Fisher et al. 2000). 4.4.4. Analisis Pendapatan terhadap Kesejahteraan Pembudidaya Dalam penelitian ini akan dihitung besarnya pendapatan pembudidaya ikan sebagai implikasi dari adanya pemberian dana bergulir (revolving fund) yang menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu di tingkat pembudidaya, sehingga dapat diketahui pengaruh keberhasilan sistem pemberian dana bergulir tersebut terhadap pendapatan pembudidaya yang bermuara kepada tingkat kesejahteraan pembudidaya sebagai penerima dana. Untuk itu persamaan yang digunakan untuk menghitung pendapatan pembudidaya adalah :
π= TR - TC…………………………………………… (1)
36
Dimana :
π ( Pendapatan)
: Pendapatan
TR (Total Revenue)
: Total Penerimaan
TC (Total Cost)
: Total Biaya
4.4.5. Analisis Biaya Transaksi Masing-masing biaya transaksi yang dihadapi kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu tidak selalu sama. Komponen biaya transaksi terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi kelompok masyarakat program sea farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang akan dihitung adalah meliputi biaya pengambilan keputusan (Z1), biaya operasional bersama (Z2), dan biaya informasi (Z3). Untuk menghitung besarnya total biaya transaksi (TrC) menurut Anggraini (2005) adalah : TrCij =
∑ Zij
(2) …………………………………….……………(1.1)
4.4.6. Analisis Keefektifan Biaya Analisis Keefektifan Biaya (AKB) adalah suatu teknik untuk memilih berbagai pilihan strategis dengan keterbatasan sumberdaya. Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa AKB digunakan apabila sulit untuk memberikan nilai uang pada manfaat. Pada analisis ini diukur berapa rasio biaya terhadap satuan manfaat pelayanan publik, sehingga lebih mudah diaplikasikan. Secara matematis AKB dapat ditulis sebagai berikut (Partowidagdo 1999) : ∑ Biaya AKB = …………………………………………. (3) ∑ Manfaat
Terkait dengan hal tersebut maka analisis ini dimaksudkan untuk melihat efektifitas biaya mekanisme internal pelaksanaan organisasi kelompok masyarakat komunitas pembudidaya (Kelompok Sea Farming) di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS). Berdasarkan persamaan (2) dan (3) maka persamaan untuk menghitung AKB dapat ditulis menjadi :
37
AKB =
∑ BiayaTransaksi(TrCij ) ∑ ManfaatbagiPembudidaya
Keterangan : Manfaat bagi pembudidaya dalam penelitian ini adalah manfaat langsung bagi pembudidaya ikan kerapu anggota kelompok sea farming, yaitu keuntungan (π) pembudidaya dari hasil usaha budidaya ikan kerapu. 4.4.7. Analisis Evaluasi Skenario Program Dalam rangka pengambilan keputusan (decision making) mengenai tindak lanjut program sea farming maka dilakukan wawancara para stakeholder (responden) yang sekaligus sebagai pakar sehingga dapat memahami kondisi maupun visi ke depan prgram sea farming. Dalam wawancara tersebut digunakan 4 domain yakni lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pengelolaan program yang terbagi menjadi 12 indikator. Jawaban dari masing-masing diberikan skor sesuai skala Saaty dan selanjutnya analisis yang digunakan adalah SMART (Simple Multiple Attributing Rating Techniques) dengan alat bantu perangkat lunak Criterium Decision Plus version 3.0. Tahapan dari proses pengambilan keputusan sebagai berikut : 1) Domain dan Indikator Dalam analisis ini digunakan 4 domain dan 12 indikator utama yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Indikator dan parameter yang digunakan dalam skenario evaluasi No.
Domain
Indikator
1.
Lingkungan
Luas kegiatan sea farming yang dilaksanakan
2.
Sosial Ekonomi
Jumlah rumah tangga yang tersosialisasi program
Keterlibatan masyarakat 3.
Kelembagaan
Tata kelembagaan program Peran institusi terkait dalam pencapaian tujuan program
Uraian Perbandingan antara rencana jumlah atau luasan kegiatan sea farming yang diprogramkan dengan yang telah dilaksanakan Jumlah rumah tangga yang telah mendapatkan sosialisasi program, relatif terhadap jumlah rumah tangga dalam program Jumlah masyarakat yang terlibat dalam program Kesesuaian keterlibatan lembagalembaga yang terkait dengan program Kesesuaian peran lembaga-lembaga dalam mencapai keberhasilan program
38
Tabel 4 Lanjutan No.
Domain
4.
Pengelolaan Program
Indikator
Uraian
Efisiensi dan efektivitas anggaran
Penggunaan anggaran dalam mencapai keberhasilan program
Mekanisme koordinasi
Tingkat efektifitas dan efisiensi koordinasi antar lembaga dalam pelaksanaan program
Kesesuaian dengan tujuan program
Kesesuaian pelaksanaan program dengan tujuan program
Pengalaman berusaha SDM
Kesesuaian pengalaman berusaha dalam perekrutan SDM
Kemampuan dan keterampilan SDM
Kesesuaian kemampuan dan keterampilan dalam perekrutan SDM
Perilaku SDM (kejujuran, tanggung jawab, komitmen)
Tingkat kejujuran, tanggung jawab dan komitmen SDM
Pengembalian dana pinjaman
Tingkat pengembalian dana pinjaman sesuai dengan ketentuan
Dalam konteks skenario evaluasi, setiap skenario dievaluasi berdasarkan proses maupun outputnya kemudian diberikan skor menggunakan skala Saaty. Skor terendah (trivial) adalah 1 dengan pengertian bahwa dampak terhadap skenario bersifat nol, atau tidak berdampak. Sedangkan skor tertinggi (critical) adalah 9 dengan makna bahwa evaluasi skenario bernilai dampak tinggi. Secara lengkap dibawah ini menyajikan skor evaluasi terhadap indikator program sea farming. Tabel 5 Skor evaluasi indikator program sea farming dengan menggunakan skala Saaty Skor
Pengertian dalam evaluasi
1
Tidak Ada Dampak terhadap Skenario Evaluasi Program
2
Nilai Antara
3
Ada Dampak Kecil terhadap Skenario Evaluasi Program
4
Nilai Antara
5
Ada Dampak Sedang terhadap Skenario Evaluasi Program
6
Nilai Antara
7
Ada Dampak Besar terhadap Skenario Evaluasi Program
8
Nilai Antara
9
Ada Dampak Sangat Besar terhadap Skenario Evaluasi Program
39
2) Diagram Skenario Evaluasi Program Dalam analisis ini, pendekatan multi-criteria menjadi dasar bagi identifikasi skenario evaluasi bagi kelanjutan program sea farming. Dengan menggunakan software Decision Criterium Plus (DCP) dapat digambarkan mengenai kerangka pengambilan keputusan identifikasi skenario evaluasi program melalui mekanisme multi-citeria. Tujuan dari skenario adalah melakukan analisis prioritas terhadap skenario evaluasi program sea farming. Dengan menggunakan alat bantu kriteria lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan pengelolaan program maka dapat diidentifikasi opsi skenario evaluasi program seperti disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 6 Skenario evaluasi program Skenario
Uraian
Skenario A
Program dilanjutkan sesuai dengan rencana (LTS)
Skenario B
Program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan (LS)
Skenario C
Program dihentikan sama sekali (STOP)
4.5. Batasan Penelitian Batasan yang digunakan dalam penelitian Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah : 1) Daerah penelitian difokuskan di wilayah Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2) Kegiatan penelitian difokuskan pada kegiatan program sea farming, yang merupakan program Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang secara teknis dikelola Suku Dinas Kelautan dan Pertanian, bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Program sea farming adalah program pengelolaan sumberdaya dengan aktifitas utama marikultur dan aktifitas terkait lainnya (marine tourism) serta perbaikan kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan maupun kualitas lingkungan laut berbasis masyarakat.
40
3) Data responden difokuskan pada pembudidaya ikan yang terdaftar menjadi anggota kelompok sea farming di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
V. KEADAAN UMUM WILAYAH
5.1. Wilayah Administrasi Program sea farming merupakan salah satu program pembangunan andalan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Pulau Panggang dipilih dan ditetapkan sebagai lokasi ujicoba pertama implementasi sea farming di Kepulauan Seribu. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibentuk pada tahun 2001, setelah sebelumnya merupakan bagian dari Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1986 Tahun 2000, wilayah Kepulauan Seribu memiliki 110 pulau dengan luas 565,29 ha, yang secara administratif terbagi ke dalam 2 wilayah kecamatan. Kedua wilayah kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki 79 pulau yang tersebar di 3 kelurahan, yakni; Kelurahan Pulau Panggang (13 pulau), Kelurahan Pulau Kelapa (36 pulau), dan Kelurahan Pulau Harapan (30 pulau). Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki 31 pulau yang tersebar di 3 kelurahan, yaitu; Kelurahan Pulau Untung Jawa (15 pulau), Kelurahan Pulau Tidung (6 pulau) dan Kelurahan Pulau Pari (10 pulau). Pulau Panggang merupakan salah satu pulau berpenduduk yang ada di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pulau Panggang memiliki luas pulau 9 ha. Wilayah Kelurahan Pulau Panggang merupakan wilayah yang paling kecil dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, karena hanya memiliki luas daratan 62,10 hektar. Secara administratif kelurahan ini merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, yang terbagi ke dalam 5 Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun tetangga (RT), di mana di Pulau Panggang sendiri terdapat 3 RW dan 21 RT. Pusat pemerintahan kelurahan ada di Pulau Panggang.
42
Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah sebagai berikut: •
Sebelah Utara
: 05041’41” LS - 05041’45” LS
Berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Kelapa •
Sebelah Timur
: 106044’50” BT
Berbatasan dengan perairan Laut Jawa •
Sebelah Barat
: 106019’30” BT
Berbatasan dengan perairan Laut Jawa •
Sebelah Selatan
: 05047’00” LS - 05041’15” LS.
Berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Tidung Di Kelurahan Pulau Panggang selain Pulau Panggang juga terdapat 12 pulau lain, dan dari seluruh pulau yang ada hanya dua pulau yang dihuni (berpenduduk), yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, sedangkan pulau-pulau lainnya digunakan untuk berbagai keperluan, seperti tempat peristirahatan, perkantoran, PHU, pariwisata, Tempat Pemakaman Umum dan navigasi. Secara rinci namanama pulau, luas dan peruntukannya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Perbandingan luas dan peruntukan pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang Nama Pulau Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki Pulau Karang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil Jumlah
Luas (ha) 9,00 16,00 6,00 3,00 0,50 0,60 20,75 2,90 0,20 0,75 1,10 1,30 62,10
Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
Peruntukan Pemukiman Pemukiman Perkantoran/TPU Navigasi Peristirahatan Peristirahatan Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan PHU Peristirahatan Peristirahatan PHU
43
Sejak pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2001, Pulau Pramuka dan Pulau Karya yang merupakan bagian kelurahan Pulau Panggang ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Fungsi dan peruntukan tersebut berdampak terhadap aktivitas ekonomi, sosial dan pemerintahan di wilayah Pulau Panggang yang sangat dekat dengan keduanya meningkat sangat signifikan. 5.2. Kependudukan Berdasarkan Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang, kondisi sebaran penduduk Kelurahan Pulau Panggang berdasar usia adalah sebagai berikut : Tabel 8 Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur dan jenis kelamin tahun 2009 No
Umur (tahun)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
00 – 04 05 – 09 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74 75 keatas
Laki-laki
Perempuan
467 263 275 267 227 252 213 209 197 127 145 120 83 45 24 6
Jumlah 2.920 Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
Jumlah
447 263 272 264 223 248 202 198 188 115 142 116 78 38 17 9
914 526 547 531 450 500 415 407 385 242 287 236 161 83 41 15
2.820
5.740
Komposisi penduduk menurut umur menunjukkan bentuk piramida, dimana usia muda menduduki jumlah terbanyak dan semakin sedikit dengan meningkatnya usia. Usia Produktif (15 – 59 tahun) di kelurahan ini memiliki proporsi mencapai 60,15%. Perubahan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang khususnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kelahiran, kematian dan migrasi. Secara umum kecenderungan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang
44
melakukan emigrasi ketika mereka menginjak usia remaja hingga dewasa dengan berbagai tujuan seperti keperluan pendidikan, pekerjaan maupun untuk tinggal menetap. Dari data tersebut dapat diketahui kepadatan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang mencapai 229 jiwa/ha atau 22.960 jiwa/km2. Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut RW tahun 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 9 Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Pulau Panggang per RW tahun 2009 No
RW
1.
Penduduk Laki-laki
Perempuan
01
723
719
2.
02
687
3.
03
4. 5.
KK Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.442
327
35
362
678
1.365
256
36
292
662
598
1.260
347
32
379
04
349
341
690
162
21
183
05
499
484
983
228
24
252
Jumlah 2.920 2.820 5.740 1.320 Keterangan : RW 4 dan 5 berada di Pulau Pramuka Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
148
1.468
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah total penduduk Kelurahan Pulau Panggang adalah 5.740 jiwa tersebar merata di kelima RW. Proporsi laki-laki lebih besar dibanding dengan perempuan, namun proporsinya mendekati 1:1 dengan rata-rata anggota keluarga per KK adalah 3-4 jiwa. Dilihat dari tingkat pendidikannya, kondisi di Kelurahan Pulau Panggang tersaji pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan (di atas umur 6 tahun/usia sekolah) tahun 2009 No
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 1. Tidak sekolah 509 498 2. Tidak tamat SD 560 540 3. Tamat SD 1.218 1.186 4. Tamat SLTP 267 262 5. Tamat SMA 325 315 6. Tamat Akademi 18 10 7. Tamat Akademi/ Universitas 23 9 Jumlah 2.920 2.820 Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
Jumlah 1.007 1.100 2.404 529 640 28 32 5.740
45
Hasil wawancara dengan salah seorang pemuda Pulau Panggang menyatakan bahwa sebenarnya minat sekolah dari anak-anak Pulau Panggang cukup besar tapi sering terhambat biaya. Masih ada sekitar 20% dari lulusan SMA di Pulau Panggang yang tiap tahunnya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jenis lembaga pendidikan yang terdapat di kelurahan Pulau Panggang sudah sangat memadai sampai tingkat SMA, terdapat 3 SD Negeri dan 1 Madrasah Ibtidaiyah, 1 SMP Negeri (SMP 133 Jakarta) dan 1 SMA Negeri (SMA 69 Jakarta). Berdasarkan agama yang dianut penduduk, lebih dari 99% warga beragama Islam, sedangkan beberapa orang saja yang memeluk agama lain, itupun mereka adalah penduduk pendatang. Sarana ibadah di wilayah Kelurahan Pulau Panggang hanya berupa mesjid dan musholla saja yang ada. Berdasarkan jenis pekerjaannya, komposisi penduduk di Kelurahan Pulau Panggang tahun 2009 tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2009 No
Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk
1.
Nelayan
2. 3.
PNS TNI
4.
POLRI
5.
Pensiunan/veteran
105
6. 7.
Pedagang Jasa / pertukangan
102 22
8.
Karyawan Swasta
21
9.
Lain-lain
58
Jumlah Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
1.567 213 2 7
2.097
Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa 74,72% masyarakat Kelurahan Pulau Panggang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini mengindikasikan bahwa aktifitas ekonomi utama adalah perikanan khususnya perikanan tangkap, dan terindikasi kuat bahwa aktifitas ekonomi lainnya seperti perdagangan sangat tergantung dari aktifitas/hasil dari laut. Dengan kata lain kegiatan perikanan laut memiliki multiplier effect yang besar.
46
Berdasarkan armada kapal perikanan, jumlah kapal motor mencapai 475 buah, jumlah kapal motor 9 buah, perahu motor 417 buah, perahu layar 11 buah, perahu dayung/sampan 36 buah dan speed boat 2 buah. Sementara itu, pancing merupakan alat tangkap yang mendominasi kegiatan perikanan di Pulau Panggang. Tabel 12 berikut memperlihatkan bahwa pancing dimiliki oleh sekitar 444 pemilik dengan total alat tangkap sebanyak 532 unit. Tabel 12 Jumlah alat penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 No Jenis Alat Jumlah Pemilik 1. Jaring payang 20 2. Jaring dasar 21 3. Jaring gebur 10 4. Bubu besar 17 5. Bubu kecil 12 6. Pancing 444 7. Jaring Muroami 10 Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
Jumlah Alat 22 21 100 200 20 532 10
Disamping itu kegiatan budidaya juga mulai berkembang. Kegiatan budidaya ikan kerapu merupakan jenis budidaya terbanyak yaitu 180 unit yang dikelola oleh swasta dan masyarakat. Jumlah kegiatan budidaya di Kelurahan Pulau Panggang tahun 2009 tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah kegiatan budidaya di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 No
Jenis Budidaya
Jumlah
Keterangan
20 unit
Masyarakat
1.
Budidaya Rumput Laut
2.
Budidaya Bandeng
130 unit
Swasta/Masyarakat
3.
Budidaya Kerapu
180 unit
Swasta/Masyarakat
4. Budidaya Transplantasi Karang 32 unit Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
Swasta/Masyarakat
Selain penangkapan dan budidaya, di Kelurahan Pulau Panggang juga terdapat aktifitas pengolahan hasil ikan. Jumlah sarana pengolahan ikan laut meliputi 17 buah pengesan (pengawetan), 11 buah pengasinan, 37 pembuatan kerupuk ikan.
47
5.3. Kelembagaan 5.3.1. Pemerintahan Kelurahan Pulau Panggang adalah satu dari tiga kelurahan yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yang dipimpin oleh seorang Lurah. Di kelurahan ini terdapat 5 RW dan 29 RT dengan masing-masing RW terbagi menjadi 7 RT di Pulau Panggang dan 4 RT di Pulau Pramuka. Secara spasial, RW 1 terletak di bagian barat Pulau Panggang, kemudian RW 2 di bagian tengah Pulau Panggang, RW 3 di bagian timur Pulau Panggang, RW 4 terletak di bagian Utara Pulau Pramuka dan RW 5 di bagian selatan Pulau Pramuka. Kelembagaan pemerintahan lainnya adalah Dewan Kelurahan (Dekel) sebagai lembaga legislatif tingkat kelurahan yang terdiri dari 7 orang, mewakili masing-masing RW dan pengurus kelurahan. Kepengurusan Dekel, RT dan RW dibentuk melalui pemilihan langsung, berbeda dari cara lama yang melalui perwakilan saja. Hal ini menunjukkan telah adanya kepedulian warga terhadap lembaga RT maupun RW. Dalam menjalankan tugasnya Dekel dan pengurus RW mendapatkan honor dari pemerintah. 5.3.2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) sebagai wadah bagi partisipasi masyarakat yang ada di Kelurahan Pulau Panggang, selama ini sudah berjalan meskipun belum optimal, masih perlu kerja keras agar lembaga ini berfungsi dengan baik. Antara lain dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) para pengurusnya serta mengupayakan persamaan partisipasi dan pelaksanaan dengan semua pihak yang akan melaksanakan aktifitas pembangunan fisik/non fisik di tingkat kelurahan. Sampai saat ini LPM di tingkat Provinsi DKI Jakarta belum diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, sehingga di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara belum mengadakan peremajaan LPM sambil menunggu surat keputusan dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang menjadi pedoman dalam melaksanakan Tugas Pokok LPM di Kelurahan Pulau Panggang.
48
5.3.3. Koperasi Berdasarkan Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang jenis koperasi yang terdapat di kelurahan Pulau Panggang tersaji pada Tabel 14. Jenis dan nama koperasi yang masih aktif di Kelurahan Pulau Panggang adalah Koperasi Simpan Pinjam SPPMKL dengan angggota sebanyak 450 orang. Tabel 14 Jenis koperasi serta anggotanya di Kelurahan Pulau Panggang tahun 2009 No
Jenis dan Nama Koperasi Jenis
Jumlah
Keterangan
Nama
Koperasi
Anggota
1.
Konsumsi
-
-
-
2.
Produksi
-
-
-
3.
Simpan Pinjam
SPPMKL
1
450 orang
Aktif
4. Serba Usaha Citra Bahari 1 30 orang 5. Lain-lain Nelayan S. 1 95 orang Sumber : Laporan Tahunan 2009 Kelurahan Pulau Panggang
5.3.4. Organisasi Kemasyarakatan Untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan di Kelurahan Pulau Panggang ditentukan pula oleh dukungan dan peran serta masyarakat, selain sebagai perorangan juga sebagai kelompok yang terorganisasi. Adapun organisasi kemasyarakatan yang ada di Kelurahan Pulau Panggang adalah : Karang Taruna, Yayasan Adiniah Ani’mah, Yayasan Al-Magfiroh, Persatuan Sepak Bola, Remaja Masjid, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Pengurus Yatim Piatu, Majlis Taklim, Peringatan Hari-hari Besar Islam (PHBI), Pengurus Masjid, Pengurus Musholla, Persatuan Dayung, Persatuan Gulat dan Persatuan Bola Voli. 5.3.5. Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Laut Sedangkan
kelompok
masyarakat
yang
terkait
langsung
dengan
pengelolaan sumberdaya laut, dikenali ada 4 yaitu SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) ”Samo-samo”, DPL (Daerah Perlindungan Laut), Pernitas (Perhimpunan Nelayan, Pedagang Ikan dan Tanaman Hias) dan Kelompok Sea Farming.
49
1) SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) ”Samo-samo” SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) ”Samo-samo” merupakan kelompok masyarakat pecinta konservasi, dalam hal ini karena merupakan hasil binaan Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (BTNKS), bidang konservasinya adalah konservasi laut. SPKP menyelenggarakan aktifitas yang sejalan dengan misi BTNKS untuk melindungi kawasan laut terutama di sekitar pulau pemukiman. 2) Daerah Perlindungan Laut (DPL) Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan suatu lembaga/kelompok masyarakat yang dibentuk atas inisiatif pemerintah namun proses pemilihan anggotanya dilakukan langsung oleh masyarakat yang kemudian dikuatkan dengan SK Bupati. DPL dimaksudkan agar setiap kelurahan memiliki suatu kawasan perairan yang menjadi kawasan perlindungan untuk mengkonservasi kualitas biota laut dan lingkungan perairannya sehingga masih dapat terus dipertahankannya kondisi laut yang tetap terjaga di kelurahan masing-masing. Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat, menyebutkan bahwa pada awal dibentuknya, DPL memiliki kinerja yang cukup baik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat, dan kegiatannya sering mendapat dukungan pihak pemerintah. Namun dengan berjalannya waktu, mulai ada perubahan orientasi dari para pengurusnya. DPL Kelurahan Pulau Panggang sudah memiliki area perlindungan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, yang terpantau secara ketat. 3) Pernitas (Perhimpunan Nelayan Ikan Hias dan Tanaman Hias ) Pernitas (Perhimpunan Nelayan Ikan Hias dan Tanaman Hias) didirikan pada tahun 2004 sebagai upaya untuk menjamin kelancaran transaksi ikan dan tanaman hias dari Kepulauan Seribu pada umumnya dan Pulau Panggang khususnya. Selama ini sering transaksi ikan dan tanaman hias (sebelum dilarang) dikenai biaya-biaya transaksi (pungli) yang tidak semestinya selama dalam perjalanan menuju Muara Angke, baik dari aparat (KPLP, KP3, POLAIRUD, AL, Trantib DKI) maupun petugas parkir di Muara Angke yang memasang tarif tidak semestinya.
50
Keberadaan perhimpunan ini bertujuan untuk mempermudah diperolehnya surat jalan dari Sudin Kelautan dan Pertanian Kepulauan Seribu agar tidak dipersulit di perjalanan oleh para aparat. Pada waktu didirikan, Pernitas beranggotakan 150 orang yang terdiri dari nelayan dan supplier. Namun sambil berjalannya waktu karena perdagangan tanaman hias (karang) dilarang, sebagian anggota yang kegiatannya adalah nelayan dan supplier tanaman hias menjadi kurang aktif. Sementara ini masih ada 13 supplier yang aktif. Dan saat ini ada keinginan kuat dari sebagian nelayan tangkap ikan konsumsi untuk bergabung sebagai anggota, tapi karena AD/ART tidak memungkinkan, sehingga belum bisa dipenuhi. Keinginan bergabungnya nelayan sebagai anggota organisasi ini karena anggota dijamin mendapat kemudahan saat mengurus surat-surat untuk pengiriman barang (ikan hias). Saat ini, ada sekitar 200 jenis ikan hias yang diperdagangkan, dan ikan termahal adalah ikan napoleon (dilindungi) yang dapat mencapai harga 120 – 200 ribu rupiah/ekor. Sistem kerja pada umumnya menggunakan model patron – klien, dalam hal ini setiap supplier memiliki 6-10 nelayan penangkap sebagai langganannya. Para nelayan mencari ikan sesuai pesanan dari pengumpul (Aquarium) di Jakarta melalui supplier setiap minggu saat menyetor hasil tangkapan. Pendapatan nelayan ikan hias diperkirakan 30 – 50 ribu rupiah per hari. Saat ini terkait dengan adanya pelarangan jual beli tanaman hias (karang) dari alam, mulai bulan Nopember 2004 dikembangkan teknologi transplantasi terumbu karang di Pulau Panggang. Para nelayan atau supplier mendapat pelatihan dari pengusaha ikan hias dan karang dari Jakarta yang didukung oleh Asosiasi Kerang Koral dan Ikan Hias (AKKI) dan Yayasan Terangi serta Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS). Namun kerjasama ini masih bersifat personal, yaitu antara para supplier dengan pengumpul/ eksportir di Jakarta. Eksportir menyediakan modal dan pelatihan teknologinya sementara supplier menyediakan tempat dan tenaganya. Tenaga kerja digaji oleh pemilik modal (1 juta - 1,5 juta rupiah/bulan), sementara hasil panennya dibagi berdasar pola bagi hasil, yang belum diketahui persentasenya.
51
4) Kelompok Miniatur Biota Laut Terbentuknya kelompok Miniatur Biota Laut pada bulan Juni 2011, merupakan murni ide dari kumpulan para nelayan dan kelompok sadar wisata di Pulau Pramuka, yang terletak di bagian utara Taman Nasional Kepulauan Seribu. Kelompok ini bersepakat membuat sesuatu yang bisa mengangkat Pulau Pramuka sebagai sebuah aset wisata. Dari situ, mereka berharap kunjungan wisatawan akan terus meningkat. Miniatur yang dibuat di sekitar dermaga itu dibatasi oleh rangkaian jaring di bagian terluar. Kolam miniatur lalu diberikan rumpon-rumpon buatan, kemudian diisi dengan beragam biota laut. Setiap nelayan jaring murami menyelam dan mendapati jenis ikan berbeda, memasukkan beberapa ke dalamnya. Di dalam kolam miniatur yang tidak terpisah dengan laut itu sendiri, ikan-ikan tersebut dapat tetap nyaman karena sudah tersedia rumpon sebagai rumah dan tempat berkembang biak. Usaha nelayan cukup progresif. Saat ini sudah terkumpul 18 jenis hiu dalam miniatur laut, penyu sisik, ikan salome, anamon, kakatua, buntel, cendero, kerapu, dan berbagai jenis biota lainnya. Upaya kelompok ini sebagai bagian dari konservasi untuk mengatasi dahsyatnya aktivitas perusakan terhadap perairan Kepulauan Seribu. 5) Kelompok Pengelola Sea Farming Dengan dilatarbelakangi permasalahan terkait sudah tidak produktifnya kegiatan perikanan tangkap, akibat rusaknya sumberdaya laut dan juga kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan, sehingga kondisi sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Seribu yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan sangat memprihatinkan, mendorong Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan PKSPL IPB memperkenalkan program sea farming. Peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya laut atau marikultur sangat besar, karena lokasi strategis Kepulauan Seribu yang berada di ibukota negara sehingga keberhasilan program tersebut menjadi perhatian nasional dan internasional serta dapat menjadi sebuah etalase kelautan nasional. Disamping itu Kepulauan Seribu menyimpan potensi untuk pengembangan budidaya laut di perairan dangkal.
52
Konsep sea farming yang melibatkan berbagai pelaku usaha, menggunakan beberapa alternatif sistem teknologi dan kelembagaan yang saling mendukung dan terintegrasi dalam rangkaian sistem bisnis rantai tata niaga diharapkan dapat mewujudkan kegiatan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Karena konsep sea farming ini relatif sangat baru diimplementasikan di negara kita, maka langkah pilot project pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu untuk memulai kegiatan sea farming adalah langkah terobosan yang diharapkan bila berhasil akan menjadi percontohan nasional. Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004 telah membuat kajian awal pengembangan sea farming ini yang mencakup potensi sumberdaya alam, kondisi biogeofisik perairan, serta sosial budaya dan ekonomi masyarakat untuk menghasilkan konsep pengembangan sea farming di Kepulauan Seribu. Pada tahun 2005, implementasi dari konsep yang telah disusun diwujudkan dalam beberapa program pengembangan, yaitu: a) Kaji tindak (implementasi) sea farming dengan sistem cage culture di perairan Pulau Semak Daun (pilot project) b) Kaji tindak (implementasi) sea farming dengan sistem pen culture di perairan Pulau Semak Daun (pilot project) c) Perbaikan budidaya ikan kerapu dalam rangka sea farming d) Pendampingan teknis implementasi sea farming e) Pembentukan kelompok pengelola sea farming f) Pelatihan teknologi budidaya laut g) Pelatihan manajemen usaha Program pengembangan di atas merupakan rekomendasi hasil kajian sebelumnya dimana yang akan dibangun tidak hanya usaha budidaya lautnya saja yang berkelanjutan, akan tetapi juga pembangunan atau penyiapan masyarakat (aspek sosial budaya) dengan memperkuat pengetahuan, keterampilan dan kapasitas kelembagaan mereka.
53
Organisasi Kelompok Pengelola Sea Farming pertama dibentuk di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tanggal 10 Maret 2006 sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat Pulau Panggang terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan laut yang lebih baik. Sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kelompok Pengelola Sea Farming yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2006 (Lampiran 1
dan
2),
maka
Kelompok
Sea
Farming
merupakan
organisasi
kemasyarakatan yang bersifat nasional dan mandiri dengan tujuan sebagai berikut : (1) Membangun sistem pengelolaan perikanan laut terpadu berbasis masyarakat yang berkelanjutan. (2) Meningkatkan kesejahteraan dengan peningkatan pendapatan dan kegiatan ekonomi (budidaya perikanan) di Pulau Panggang. (3) Ikut menunjang usaha konservasi lingkungan perairan. (4) Meningkatkan kemampuan dan kapasitas anggota (masyarakat) mengenai keterampilan teknis budidaya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, maka Kelompok Pengelola Sea Farming melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : (1) Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan pelatihan di bidang budidaya ikan dan bidang usaha. (2) Menjalin
kerjasama
dengan
instansi-instansi
terkait
untuk
mengembangkan kelompok dan anggotanya di bidang manajemen, budidaya, pemasaran ataupun lain-lain yang sesuai dengan tujuan organisasi. (3) Mensosialisasikan kegiatan-kegiatan kelompok kepada masyarakat. (4) Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi kelompok, anggota dan masyarakat Pulau Panggang. Proses penerimaan anggota Kelompok Sea Farming melalui tahap : (1) Seleksi, dilakukan dengan cara menyaring anggota masyarakat yang mendaftar ke pengurus untuk menjadi anggota sea farming. Dalam proses seleksi, pengurus melakukan wawancara terhadap calon anggota. Pengurus
54
memiliki wewenang dalam menentukan siapa saja yang menjadi anggota sea farming. (2) Perekrutan calon anggota. (3) Pelatihan calon anggota, meliputi pelatihan teknologi budidaya dan manajemen usaha. (4) Terdaftar bagi calon anggota yang telah dinyatakan lulus pelatihan. Anggota yang telah terdaftar berhak mendapatkan pendampingan teknis, serta dapat mengajukan peminjaman benih ke balai sea farming dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Rekrutmen anggota Kelompok Sea Farming telah berlangsung empat tahap, tahap pertama pada tahun 2005, tahap kedua tahun 2006, tahap ketiga tahun 2007 dan tahap keempat tahun 2008. Berdasarkan data monitoring yang dilakukan oleh PKSPL IPB, jumlah total anggota sea farming yang melakukan kegiatan budidaya ikan kerapu dan pengembangan kelompok sampai dengan tahun 2009 sebanyak 75 orang dan 51 orang sudah melakukan usaha budidaya ikan kerapu dengan benih dan sarana produksi lainnya berasal dari program sea farming. Selengkapnya data perkembangan jumlah anggota aktif sea farming di Pulau Panggang berdasarkan angkatan dapat dilihat pada Gambar 9. 80 70 60
Orang
50 40
Anggota total
30
Anggota aktif
20 10 0
I
II
III
IV
Jumlah
Angkatan Gambar 9 Perkembangan jumlah anggota kelompok sea farming Pulau Panggang berdasarkan angkatan.
55
Penerimaan anggota mulai angkatan I sampai dengan angkatan III mengalami peningkatan. Namun pada angkatan IV pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengurus kelompok sea farming mengambil kebijakan untuk tidak menerima anggota baru. Hal tersebut untuk mengantisipasi masalah kelangkaan benih yang berakibat penyaluran benih kepada anggota semakin sedikit. Jika penerimaan anggota banyak maka dikhawatirkan ada anggota yang tidak memperoleh benih, sehingga dapat menimbulkan konflik antara anggota dan pengurus kelompok sea farming. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga kelompok menyatakan bahwa anggota berhak untuk memperoleh benih termasuk anggota baru yang telah melalui proses seleksi dan pelatihan. Ketentuan mendapatkan pinjaman benih ikan kerapu dari balai sea farming, disamping telah mengikuti pelatihan, anggota juga harus sudah memiliki sarana dan prasarana budidaya, diantaranya sudah memiliki bangunan keramba sebagai tempat budidaya, memiliki jaring minimal 2 buah yang masih layak pakai, serta kondisi perairan di lokasi keramba sangat baik dan cocok untuk pemeliharaan ikan. Pengembangan konsep sea farming yang didampingi oleh PKSPL IPB diawali dengan pengadaan bibit berkualitas dengan cara pinjaman oleh anggota yang tergabung dalam Kelompok Sea Farming. Setiap anggota mendapatkan pinjaman bibit sebanyak 200 ekor per musim tanam. Setelah pemeliharaan selama 8 hingga 10 bulan, ikan kerapu dapat dijual ke pasar dan selanjutnya hasil panen yang diperoleh dipergunakan untuk mengembalikan pembayaran pinjaman. Sehingga program sea farming ini dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat Kelurahan Pulau Panggang dengan tetap menjaga kelestarian ekosistemnya.
VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU
6.1.
Karakteristik Fisik Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara darat dan lautan, dimana
ke arah laut mencakup perairan laut sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat surut terendah, dan ke arah darat meliputi seluruh atau sebagian wilayah desa yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Wilayah daratan dengan karakteristik daratannya dan wilayah lautan dengan karakteristik lautannya membawa dampak yang cukup signifikan terhadap terbentuknya karakteristik wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) terdapat keterkaitan ekologis yang erat antara wilayah pesisir dengan daratan dan lautan, 2) terdapat lebih dari dua sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir, 3) terdapat lebih dari dua kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda, 4) pemanfaatan secara ”single use” lebih rentan dari ”multiple use” baik secara ekologis maupun ekonomis, 5) sumberdaya wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property/open access). Berdasarkan karakteristik wilayah pesisir tersebut maka sumberdaya pesisir termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access), sehingga tingkat persaingan dalam berusaha dan berkompetisi memperebutkan akses sumberdaya di laut sangat ketat dan keras. Hanya pelaku yang memiliki keterampilan, modal besar, tingkat teknologi maju dan kelembagaan usaha yang mapan yang mampu memobilisasi secara optimal tingkat produksinya serta memenangkan kompetisi. Sumberdaya bersama atau akses terbuka (open access) memiliki karakteristik (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang dihadapi di perairan Kepulauan Seribu terkait karakteristik fisik sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya adalah semakin
57
sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh banyaknya nelayan dari pulau lain (di luar Kepulauan Seribu) seperti Bangka Belitung, Madura, dan Makassar yang menggunakan alat tangkap lebih besar dari mereka. Akibatnya kegiatan pemanfaatan oleh nelayan luar mengurangi manfaat yang bisa diambil oleh nelayan Kepulauan Seribu. Kondisi tersebut seringkali menimbulkan konflik diantara nelayan. Disamping itu terjadi overfishing yang menurut nelayan sudah terasa dampaknya sejak awal 1990. Cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, khususnya penangkapan ikan hias, seperti penggunaan potas sebagai sebab utama menurunnya hasil tangkapan dalam 20 tahun terakhir. Kondisi sumberdaya bersama semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebih-lebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Kegagalan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tercermin dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 yang meliputi Laut Jawa, termasuk perairan Kepulauan Seribu telah mengalami overfishing. Secara geografis potensi sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu merupakan potensi sumberdaya ikan di Laut Jawa. Hampir sebagian besar daerah penangkapan (fishing ground) nelayan-nelayan Kepulauan Seribu adalah di perairan Laut Jawa. Menurut hasil penelitian PKSPL tahun 2000, potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa sudah semakin sulit untuk dikembangkan. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa sudah mencapai 178,67% dari potensi yang ada, hal ini menunjukkan bahwa perairan Laut Jawa sudah over exploitation. Secara lengkap potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa tersaji pada Tabel 15 dan Gambar 10. Tabel 15 Potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa
No.
Sumberdaya ikan laut
Laut Jawa 1997
2000
1.
Potensi (103 ton/tahun)
340,00
214,20
2.
Produksi (103 ton/tahun)
442,90
382,71
130,26
178,67
3. Pemanfaatan (%) Sumber : PKSPL IPB 2003
58
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
Potensi (ton/tahun) Produksi (ton/tahun)
1997
2000
Gambar 10 Potensi dan produksi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa. Hasil studi Aziz dan Vitner (2004) dalam PKSPL-IPB (2006) tentang dinamika populasi ikan di beberapa pulau dari gugusan Kepulauan Seribu terutama di bagian selatan menunjukkan bahwa populasi ikan di perairan ini sudah mengalami penurunan stok. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya dikategorikan dalam kondisi rusak hingga sedang. Menurut BPLHD (2001) 50% terumbu karang Kepulauan Seribu terdiri dari pecahan karang, karang mati dan pasir. Berdasarkan Penelitian Yayasan Terangi tahun 2003 dan 2005 yang dilakukan di 22 lokasi menunjukkan peningkatan rerata penutupan karang keras (KK) dari 33,1% (2003) menjadi 34,2% (2005). Sementara penelitian pada tahun 2007, hasil kerjasama Sudin Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Yayasan Terangi menunjukkan penurunan penutupan karang menjadi 31,7%. Penurunan persentase penutupan KK pada tahun 2007 berbanding terbalik dengan persentase penutupan abiotik dan karang mati (KM). Kondisi ini dapat menggambarkan adanya hubungan antara persentase penutupan KK yang hilang dengan kenaikan persentase penutupan karang mati dan abiotik. Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh kombinasi antara pencemaran minyak yang terjadi tahun 2003-2004, serta eksploitasi berlebih terhadap terumbu karang dan penggunaan sianida. Tutupan karang paling rendah di sekitar Pulau Bidadari (paling dekat dengan daratan Jakarta) yang hanya mencapai 0,38%, sedangkan tutupan karang terbaik di sekitar Pulau Karang Bongkok yang mencapai 71,83%. Kelimpahan ikan karang pada tahun 2003, 2005, dan 2007 adalah sebanyak 37.649 ind/ha, 45.489 ind/ha, dan 32.603 ind/ha (TERANGI 2008).
59
6.2. Tragedi Kebersamaan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dengan adanya pengambilan bebas atas sumberdaya bersama ini jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktekkan penangkapan ikan secara selektif, pengembangbiakan buatan, yang dampaknya bersifat jangka panjang terhadap populasi ikan. Apabila seseorang yang merasakan manfaat untuk mengembangbiakan populasi ikan, berarti orang lain juga akan menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biayanya yang disebut dengan free riders (pengguna bebas). Bagi setiap individu sikap untuk menjadi free riders merupakan tindakan yang rasional, akan tetapi apabila semua orang bertindak sebagai free riders maka semua orang akan rugi. Kelangkaan sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Seribu sudah mulai terlihat, seperti penurunan stok ikan (hasil penelitian PKSPL) dan penurunan tutupan terumbu karang (hasil penelitian Yayasan Terangi) akibat overfishing dan over-exploitation. Akibat pengguna atau kelompok pengguna tidak mau bekerjasama dan cenderung menghabiskan sumberdaya alam, maka dapat menimbulkan tragedi kebersamaan (tragedy of common). Disamping itu tragedi kebersamaan muncul ketika sumberdaya tidak ada yang memiliki dan tidak ada yang mengatur. Dalam kasus tragedi kebersamaan dalam sektor perikanan, maka pemerintah harus melakukan pengaturan atas penggunaan sumberdaya perikanan. Sehingga peranan pemerintah sangat penting dalam mengalokasikan penggunaan sumberdaya bersama agar tercapai kepuasan bersama yang optimal dalam jangka pendek dan jangka panjang. 6.3.
Property Right Regime Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Property right regime terdiri atas non property (akses terbuka), state
property (negara), common property (masyarakat) dan private property (swasta) (Charles 2001). Esensi common property adalah hak milik swasta dalam kelompok masyarakat, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam milik bersama. Sementara itu open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma
60
dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan kata lain, open access muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama. Karena karakteristik laut yang bersifat open access, berarti bahwa sumberdaya tersebut tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu selama ini sebagian dilakukan oleh individu atau sekelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Apabila lokasi budidaya sudah ditentukan, maka individu atau kelompok lainnya akan mencari tempat lain. Dengan demikian terdapat kesepakatan dengan lokasi yang telah ditentukan, yang berarti sudah ada unsur “siapa memiliki apa’. Apabila lokasi yang telah dipilih ternyata kurang memenuhi syarat untuk budidaya ataupun ingin memperluas usahanya, maka mereka akan mencari tempat lain dengan tidak mengganggu areal budidaya yang dimiliki individu atau kelompok lainnya. Jika fungsi hak kepemilikan sumberdaya bersama tidak berjalan, maka setiap orang cenderung untuk menggunakan laut bebas secara berlebihan. Gagalnya kelembagaan suatu kelompok masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam menyebabkan individu-individu melakukan tindakan mengejar kepentingan pribadi tanpa melihat batasan-batasan yang telah disepakati dalam kelembagaan. Sebagai contoh adalah tidak adanya larangan bagi individu untuk memanfaatkan laut, termasuk petani rumput laut dalam menentukan lokasi budidaya dan umumnya penentuan lokasi tersebut ditentukan oleh petani rumput laut sendiri. Kenyataannya bahwa tidak ada legalitas dalam pemilikan lahan budidaya, khususnya dari pemerintah daerah. Kondisi tersebut akibat karakteristik laut yang bersifat open access. 6.4. Aransemen Kelembagaan Semakin sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya kebutuhan untuk memenuhi pasar tidak mencukupi sehingga akan menaikkan harga jual ikan
61
kerapu di pasaran. Kondisi inilah yang membuat berbagai pihak untuk berusaha membudidayakannya, termasuk pemerintah dan pihak swasta. Budidaya ikan kerapu yang telah dicobakan atas bantuan pemerintah sebagian besar gagal. Kekurangan dari berbagai bantuan proyek selama ini adalah: (1) Pendampingan; dari pihak dinas terkait dalam implementasi proyek, sehingga kesulitan teknis di lapangan tidak dapat diantisipasi oleh nelayan (2) Organisasi; dalam hal pengorganisasian nelayan belum mengenal budaya organisasi yang baik, sehingga masing-masing anggota saling menyalahkan jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan (perencanaan), hal ini berpengaruh besar pada keberhasilan proyek-proyek terdahulu (3) Aturan main; antara pihak yang terlibat belum bisa dijalankan, karena kepentingan-kepentingan yang berbeda belum terkoordinasikan dengan baik. Untuk aturan main konservasi sudah ada inisiasi daerah perlindungan laut (DPL), sedangkan jaring tegur yang diinisiasikan nelayan ikan hias sudah berjalan lebih lama, seiring dengan penggantian alat tangkap dari penggunaan sianida dan potas ke jaring tegur. Berbagai proyek yang gagal lebih banyak disebabkan oleh aturan main yang tidak jelas atau tidak dijalankan oleh si pembuat. Pengalaman berkelompok selama ini tidak begitu mengesankan bagi orang pulau, mungkin disebabkan oleh homogenitas masyarakat yang tinggi, sehingga kohesifitas sosial yang berkaitan dengan evaluasi dan saling tegur menjadi rendah, sebab utamanya mereka enggan dan sungkan karena sebagian masyarakat Pulau Panggang adalah bersaudara (memiliki hubungan kekerabatan). Sebab lain adalah pihak pembina atau pemerintah kurang optimal menyiapkan kelembagaan terlebih dahulu sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. Pengertian tentang organisasi dan aturan main adalah pemahaman mereka (dinas) bukan pemahaman orang pulau. Sehingga pengertian tentang koperasi (cooperative-kerjasama)
lebih
banyak
dipahami
sebagai
membangun
organisasi (Badan Hukum) koperasi dibandingkan menanamkan aturan main nilai-nilai koperasi itu sendiri.
62
Berdasarkan pengalaman di atas, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di perairan Kepulauan Seribu perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 6.4.1. Kelembagaan Formal Dalam kerangka pengelolaan sumberdaya kelautan, hukum harus difungsikan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Secara ekonomi diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan bagi para pelaku (user)
dan
secara
ekologi
terciptanya
pengelolaan
sumberdaya
yang
berkelanjutan. Pemeliharaan keseimbangan antara dua kepentingan tersebut bersamaan dengan tujuan negara untuk menciptakan keseimbangan antara aspek kesejahteraan (welfare) dan aspek keselamatan (safety). Keseimbangan yang telah dicapai senantiasa dipertahankan melalui pemeliharaan ketertiban dalam bermasyarakat disertai dengan pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum dan pengembangan fungsi dan peranan norma-norma hukum. Beberapa dasar hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang tersebut mengamanatkan tentang pentingnya keseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti yang telah disebutkan di atas. Namun pemanfaatan sumberdaya kelautan yang tidak ramah seperti penggunaan potas untuk menangkap ikan hias masih dijumpai. b. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Disamping dimanfaatkan
oleh
sektor perikanan,
wilayah
laut
juga
dimanfaatkan oleh sektor perhubungan laut atau pelayaran. Kegiatan pelayaran yang sangat membahayakan kegiatan perikanan, khususnya budidaya laut adalah pembuangan limbah atau bahan lain yang dihasilkan kapal. Aturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh
63
kapal yang diatur dalam UU ini belum efektif dalam memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan akibat pencemaran dari kebocoran minyak dari kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal nelayan di kawasan ini. c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pengembangan usaha budidaya laut harus mengacu pada tata ruang, sehingga akan menciptakan keterpaduan dengan sektor lain, keselarasan dan keseimbangan dalam pembangunan berkelanjutan. Namun penataan ruang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang, yaitu (1) Rencana tata ruang belum merupakan satu kesatuan dalam produk rencana pembangunan daerah lainnya seperti Renstra, RTRW, dan lain-lain: (2) Rencana tata ruang terlambat dibanding dengan perkembangan pembangunan; (3) Rencana tata ruang belum diperkuat oleh aturan perundangandan lemahnya penegakkan hukum dalam menangani konflik kepentingan antara stakeholders; (4) Kualitas sumberdaya manusia perencan di daerah yang masih perlu peningkatan, sehingga belum bisa memahami dan memanfaatkan rencana tata ruang secara optimal; dan (5) Rendahnya kesadaran publik akan nilai strategis sumberdaya kelautan, khususnya sumberdaya hayati (Soebagio 2004). d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Merupakan undang-undang yang mengamanatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai jaminan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun masalah limbah rumah tangga (penempatan jamban/wc dan pembuangan sampah) masih menjadi kendala dalam menjaga kelestarian lingkungan. e. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Obyek Retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipangut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut
64
pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Pajak daerah belum mampu mendorong terciptanya infrastruktur yang memadai, seperti keterbatasan air tawar, keterbatasan sumber energi/listrik, serta sarana dan prasarana lainnya. f. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 2 tertuang delapan asas pengelolaan perikanan, yaitu asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Larangan melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya kadang-kadang masih dijumpai. g. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Permasalahan yang masih dihadapi terkait UU No. 32 tahun 2004 adalah belum optimalnya pengaturan administratif dan tata ruang daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan seribu, sehingga menimbulkan berbagai konflik pemanfaatan ruang. h. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) untuk kurun waktu 20 tahun bertujuan mendorong orang,
kelompok
masyarakat,
atau
pengusaha
untuk
memanfaatkan
sumberdaya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai. Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha dan dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi dan sekaligus perlindungan kawasan pesisir. HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 diharapkan menjadi payung hukum bagi para stakeholders untuk mengelola wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Hadirnya UU tersebut dinilai banyak kalangan
65
merupakan sebuah langkah strategis guna mengubah arah kebijakan pembangunan nasional dari berbasis matra darat menjadi laut. Undang-undang ini juga mengamanatkan masyarakat pesisir terlibat dalam sistem pengawasan berbasis masyarakat, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir akan dapat diawasi dan dikendalikan oleh berbagai lapisan masyarakat. Namun, disadari bahwa tidak semua kewenangan bisa diserahkan kepada masyarakat, begitu pula tidak semua kewenangan dapat diserahkan kepada pemerintah. Hal ini sangat tergantung pada skala, kompleksitas isu pengelolaan dan tingkat keberdayaan masyarakat. Masyarakat biasanya efektif sebagai pengelola dalam skala desa atau kecamatan. Sedangkan dengan skala pengelolaan makin besar dan isu makin kompleks, dibutuhkan peran pemerintah. Apalagi di wilayah Kepulauan Seribu yang terdapat aktifitas selain perikanan, seperti transportasi, wisata bahari dan pertambangan. i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut. Terjaganya kualitas air laut akan sangat berpengaruh besar dalam menciptakan keberhasilan pengembangan usaha perikanan. Oleh karenanya, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, diharapkan kualitas air laut dapat terjamin. Pencemaran akibat penambangan pasir tahun 2008 sangat berdampak bagi pembudidaya ikan yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di keramba jaring apung. Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut tidak berjalan efektif. Penegakan aturan terkait ganti rugi bagi pihak yang dirugikan belum diatur. j. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Sedangkan
kewenangan
provinsi
sebagai
daerah
otonom
mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/ kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya antara lain adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan
66
bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang provinsi. Pelayanan
izin
usaha
pembudidayaan
dan
penangkapan
ikan
serta
pengawasannya di wilayah laut belum optimal dilakukan oleh provinsi. 6.4.2. Kelembagaan Informal Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal. Norma dan tradisi atau kesepakatan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut Pulau Panggang tidak banyak dijumpai. Menurut Haswanto (2006), penyebab hal tersebut di atas diduga karena beragamnya suku nenek moyang masyarakat Pulau Panggang, seperti Suku Bugis, Mandar, Sunda dan Betawi yang tidak ada suku satupun yang mendominasi. Akibatnya sulit dijumpai adat mana yang berlaku di masyarakat. Disamping melalui perdagangan, datangnya nelayan dari luar Pulau juga sangat mempengaruhi. Hal ini karena posisi relatif Pulau Panggang yang berdekatan dengan Jakarta serta dijadikannya Kepulauan Seribu sebagai tujuan wisata membuat semakin tinggi intensitas pendatang. Memudarnya berbagai kearifan masyarakat Pulau Panggang dalam mengelola sumberdaya laut sangat mungkin disebabkan adanya interaksi dengan masyarakat luar yang cukup tinggi. Beberapa norma atau aturan tak tertulis yang masih dapat dijumpai diantaranya adalah : a) Nelayan meliburkan diri melaut pada hari Jumat. Mereka beramai-ramai menyelam untuk memungut sampah hingga kedalaman 20 meter atau 30 meter.
Sampah-sampah
bawah
laut
harus
diangkat
sebagai
upaya
menyelamatkan sumber pangan mereka. Lemahnya kebijakan pengelolaan sampah di Jakarta telah mengorbankan perairan Kepulauan Seribu sebagai tempat pembuangan akhir sampah. b) Kebiasaan untuk menyisihkan sebagian hasil tangkapan (terutama saat hasil banyak) untuk dibagikan kepada anak yatim piatu maupun janda.
67
c) Kesepakatan masyarakat lainnya terkait pemanfaatan ruang dalam aktivitas budidaya komoditas laut yaitu pemanfaatan bagian dari ruang perairan laut di sebelah manapun untuk aktivitas yang tidak dilarang oleh hukum, dengan catatan tidak mengganggu pemanfaatan sebelumnya. Hal ini dapat dilihat saat masyarakat Pulau Panggang membudidaya komoditas rumput laut dengan melakukan pembagian ruang laut disekitar Pulau Panggang. 6.5. Sistem Pengelolaan dan Alternatif Kebijakan Komponen sistem pengelolaan memiliki peranan yang penting dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan. Komponen ini merupakan perangkat untuk memberikan pedoman pada semua komponen dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan agar berjalan serasi dan tidak saling mengganggu. Kebijakan pengelolaan hendaknya dilaksanakan dengan arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan sistem sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sistem pengelolaan mengarah pada pencapaian “societal objectives” yang dimengerti dan disepakati bersama. Sistem manajemen di kawasan Kepulauan Seribu ditekankan pada upaya penyadaran melalui jalur birokrasi, hukum dan politik, yaitu sebagai berikut : 1) Melakukan penataan ruang aktivitas yang bertujuan untuk memperkecil dampak kerusakan habitat sumberdaya pesisir dan lautan. 2) Melakukan penataan alokasi lahan dan pemanfaatan sumberdaya agar tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan. 3) Membuat kebijakan, strategi, program dan rencana aksi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang terpadu dan berkelanjutan. 4) Membuat peraturan atau aspek hukum yang terkait dengan pengelolaan dan pengaturan kegiatan di kawasan perairan Kepulauan Seribu. 5) Menentukan nilai kompensasi pada perusahaan yang memberikan kontribusi pencemaran dan kerusakan pada habitat sumberdaya pesisir dan lautan. 6) Memberikan insentif dan disinsentif terhadap upaya pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat dan stakeholder lainnya. 7) Melakukan lebih banyak penelitian/riset, asessment dan konservasi stok serta pengumpulan data untuk tersedianya keputusan ilmiah yang mendukung pengelolaan.
68
8) Peningkatan infrastruktur, kemampuan teknologi, produktivitas institusi dan individu, melalui pelatihan teknologi marikultur, pelatihan manajemen usaha, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan lain-lain. 9) Peningkatan
arus
manfaat
secara
lestari
dari
perikanan
meliputi
pengembangan pasar, kesejahteraan dan kualitas nelayan, sehingga dapat ditekan penjualan ikan ke luar Kepulauan Seribu sehingga struktur harga dapat ditentukan sendiri. Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh diantaranya adalah : (1) Merancang program-program yang dapat meningkatkan daya saing dan pengembangan sistem dan teknologi alternatif yang dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat perikanan, seperti rumpon, pertanian laut, penyaluran BBM. (2) Penataan sistem produksi perikanan dan pemasaran yang lebih efisien dan kompetitif, termasuk pengembangan kemampuan buididaya laut yang lebih menghemat BBM. Disamping itu aparat penegak hukum menindak dan memberantas illegal fishing dan pungutan liar yang sangat membebani nelayan. (3) Pemerintah perlu mengembangkan sistem pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan melalui kegiatan penstokan ulang atau pertanian laut (sea farming) untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Program ini dapat dikembangkan pada daerah-daerah yang memiliki kondisi perairan yang khas seperti atol, goba, dan perairan semi tertutup semisal teluk.
VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING
7.1.
Program Sea Farming sebagai Solusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Persoalan yang timbul terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir di Kepulauan Seribu yang termasuk common pool resources (CPRs) dengan karakteristik non excludable dan subtractable, belum dapat terpecahkan, terutama dalam hal kelembagaan. Kurangnya pendampingan dari pihak dinas terkait, lemahnya organisasi nelayan/pembudidaya ikan serta belum berjalannya aturan main di antara pihak yang terlibat merupakan penyebab gagalnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu. Salah satu alternatif kebijakan yang dapat ditelaah seperti diuraikan pada Bab VI, adalah perlunya pengembangan sistem pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu melalui kegiatan penstokan ulang dan usaha budidaya laut yang dikenal dengan sea farming. Sea farming dapat didefinisikan sebagai kegiatan marikultur yang difokuskan tidak hanya untuk kepentingan komersial tapi juga untuk pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Pemilihan jenis ikan yang cocok untuk program sea farming adalah jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Pada saat ini PKSPL IPB sedang mengembangkan program sea farming bersama dengan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan masyarakat Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Program sea farming ini merupakan program pengelolaan sumberdaya dengan aktifitas utama marikultur dan aktifitas terkait lainnya (marine tourism) serta perbaikan kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan maupun kualitas lingkungan laut berbasis masyarakat. Sistem sea farming bertujuan untuk meningkatkan stok sumberdaya ikan (fish resources enhancement), kesejahteraan masyarakat pesisir, aktifitas berbasis kelestarian ekosistem laut (ekowisata bahari) sehingga tercapai keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan sea farming didasarkan pada kondisi geofisik dan oseanografi di perairan Semak Daun dengan menerapkan kelembagaan pengelolaan berbasis
70
masyarakat untuk melakukan aktifitas marikultur, seperti budidaya pen culture (sistem kandang), cage culture (sistem keramba jaring apung), longline dan sea ranching. Selain aktifitas marikultur, dilakukan pula perbaikan ekosistem laut (terumbu karang, lamun dan mangrove) dan mengembangkan aktifitas terkait seperti wisata bahari berbasis masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu. Dukungan penguatan dan pengembangan kelembagaan menjadi prasyarat awal keberlanjutan program ini melalui pemberian hak pengelolaan kepada nelayan. Dengan demikian nelayan yang mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan tidak perlu lagi melaut terlalu jauh sehingga pada akhirnya akan menghemat biaya operasional. Kelebihan konsep sea farming jika dibandingkan dengan kegiatan budidaya yang selama ini berlangsung, antara lain: 1) Pelaku usaha pembesaran ditopang oleh banyak pemasok benih, sehingga kesinambungan kegiatan dapat terjaga. 2) Pelaku usaha pembesaran juga mendapatkan benih yang bermutu, karena sudah adapted dengan lingkungan, hal ini karena proses pendederan berlangsung di sekitar lokasi pembesaran. 3) Usaha pembudidayaan ikan menjadi relatif lebih singkat karena adanya diversifikasi ukuran panen. 4) Memungkinkan keterlibatan dari segenap lapisan masyarakat karena diterapkannya multi sistem budidaya, sesuai dengan kompetensi dan keinginan masyarakat. 5) Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam karena diterapkannya multi sistem budidaya, hampir semua habitat karang dalam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. 6) Peluang kesinambungan usaha budidaya relatif lebih tinggi karena banyaknya pelaku usaha yang terlibat. 7) Peluang pengembangan kegiatan budidaya ikutan lainnya yang dapat bersinergi dengan konsep sea farming juga lebih besar, seperti budidaya rumput laut serta budidaya tiram (mutiara/konsumsi).
71
7.2. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming Sea farming pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output. Sub-sistem input merupakan prasyarat awal pembentukan kelembagaan sea farming yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya sea farming di lokasi yang dituju. Dalam sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi sea farming secara geografis (system boundary). Pembentukan sistem fishing rights ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan fishing rights ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi sea farming secara teknisekologis. Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) dimana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas sea farming dilakukan. Sub-sistem ini merupakan jantung dari implementasi sea farming, karena input dan output ekonomi sea farming pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam sub-sistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem sea farming ini akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan, menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran) (Adrianto et al. 2010). Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas sea farming akan diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku sea farming dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai
72
penjamin pasar bagi pelaku sea farming. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah membeli stok dari pelaku sea farming bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai. Sistem kelembagaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 11.
Populasi P. Panggang
Definisi Pelaku SF
Lokasi Sea Farming
Demarcated Fishing Right
Implementasi Sea Farming
Kesepakatan Lokal
Hatchery
Pendeder-1
Grower
Stock Enhancement
Nelayan
Community Based Agribusiness System
Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Pendeder-2
Pendeder-3
Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Pasar
Distribusi
Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Perdagangan
Gambar 11 Sistem kelembagaan sea farming (Adrianto et al. 2010). Pendekatan program sea farming di Kelurahan Pulau Panggang menggunakan konsep agribisnis, dimana pertumbuhan perekonomian masyarakat lokal digerakkan oleh pelaku-pelaku bisnis yang saling menunjang dan saling terkait sehingga usaha perekonomian dapat dilakukan secara massal dan berkesinambungan. Kendala yang dihadapi dalam usaha budidaya ikan adalah sedikitnya pelaku bisnis yang terdiri dari pelaku usaha pembenihan dan pelaku usaha pembesaran serta lamanya waktu pembesaran, yaitu berkisar antara 6 hingga 12 bulan tergantung ukuran bibit dan jenis ikan yang dibudidayakan, sehingga dapat mempengaruhi cash flow pelaku usaha karena masa panen yang lama. Jika hal
73
tersebut diterapkan kepada pelaku pembudidaya yang dulu merupakan nelayan maka tidak sedikit para pelaku yang mengalami kegagalan. Namun melihat potensi sumberdaya perikanan tangkap yang semakin menurun, maka usaha budidaya ikan merupakan salah satu usaha alternatif yang sangat menjanjikan. Untuk mengatasi kendala tersebut, sesuai dengan pendekatan communitybased agribusiness system maka penciptaan pelaku-pelaku usaha yang berada diantara pelaku pembenihan dan pembesaran dapat ditumbuhkan. Pelaku tersebut adalah pelaku pendederan atau raiser. Umumnya usaha pendederan ikan kerapu tidak lama sekitar dua bulan. Sehingga dalam jangka waktu yang tidak lama, maka pelaku usaha sudah dapat memperoleh pendapatan. Jika pola pengaturan musim tanam dilakukan, maka manfaat ekonomi yang diterima oleh pelaku dapat diperoleh setiap bulannya. Dalam sub sistem marikultur, pelaku usaha pendederan dapat dibagi menjadi beberapa segmen usaha berdasarkan ukuran ikan yang diproduksi, sehingga terdapat pelaku usaha pendederan I, pendederan II, pendederan III dan seterusnya. Pelaku usaha budidaya ikan tersebut saling mendukung dan saling membutuhkan. Produk hatchery menjadi input usaha pendederan I yang memproduksi ikan untuk input usaha pendederan II. Produk usaha pendederan II menjadi input usaha pendederan III dan produk usaha pendederan III menjadi input usaha pembesaran. Dalam konsep sea farming terdapat beberapa sistem budidaya yang bekerja secara sinergis, baik secara serial maupun paralel. Sistem budidaya tersebut meliputi hatchery, sea ranching, enclosure, pen culture, cage culture (apung dan tetap) dan longline (rumput laut dan tiram). Pelaku sistem dalam hal ini adalah penyedia bibit, nelayan petambak, pedagang pengumpul/pengangkut dan konsumen, sedangkan pembina/pemandu sistem adalah pemerintah, koperasi dan peneliti/LSM/lembaga pendampingan. Dengan sistem sea farming otomatis pelaku usaha penyedia bibit dan nelayan pembudidaya menjadi banyak dan saling berhubungan satu dengan lainnya, hal ini akan sangat baik bagi kesinambungan usaha budidaya dan tentunya bagi pengembangan ekonomi masyarakat setempat. Begitu pun jika dilihat dari sisi pelaku pedagang pengumpul/pengangkut atau dari sistem
74
pemasaran komoditi, juga cukup banyak pemain yang terlibat di dalamnya, seperti pada kegiatan pemasaran ikan kerapu (Gambar 12).
Nelayan Penangkap Kerapu
Penampung Di Pulau
Pedagang Pengumpul
Ekspor
Nelayan Pembudidaya Kerapu
Konsumen - Konsumsi - Restoran
Gambar 12 Rantai pemasaran ikan kerapu (Adrianto et al. 2011) Secara garis besar sistem agribisnis yang dapat dikembangkan dalam sea farming seperti pada gambar berikut.
Restocking
Alam
Penangkapan
Hachery
Budidaya Enclosure
Budidaya Pen Culture
Budidaya Cage Culture
Nelayan Penangkap
Konsumen (Lokal/Ekspor)
Suplai Ikan Bibit Ikan Ukuran Konsumsi
Gambar 13
Sistem agribisnis antar sistem budidaya dalam Konsep Sea Farming (Adrianto et al. 2011)
Pada konsep sea farming ini, masing-masing sistem budidaya setelah hatchery berperan ganda sebagai pendeder yang menghasilkan benih bagi sistem budidaya berikutnya dan juga sebagai penghasil ikan ukuran konsumsi. Hatchery merupakan unit pembenihan yang berfungsi menghasilkan benih serta menjual
75
benih kepada sistem lainnya. Pelaku budidaya sistem enclosure membeli benih dari hatchery, output dari kegiatan bisnis dengan sistem ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan). Output ukuran bibit dari sistem ini diperlukan untuk kegiatan pembesaran (fatening) pada sistem cage culture dan atau pen culture (Adrianto et al. 2011). Pelaku budidaya sistem pen culture membeli benih dari hatchery atau dari sistem budidaya enclosure, output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi dan ikan ukuran bibit. Untuk ikan ukuran bibit yang dihasilkan dari sistem ini diperlukan untuk pembesaran juga pada sistem cage culture. Pelaku budidaya sistem cage culture membeli bibit dari hachery, enclosure, pen culture dan juga dari nelayan penangkap, dimana masing-masing bibit yang diperoleh dari masing-masing sistem tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi untuk pasar lokal/domestik maupun ekspor. 7.2.1. Batas Pengelolaan dan Mekanisme Sea Farming Penetapan batasan pengelolaan sumberdaya dalam kerangka sea farming berdasarkan fungsi dan kondisi sumberdaya yang disesuaikan dengan kondisi fisik lahan, kebutuhan dan budaya masyarakatnya. Secara ekologis, wilayah pengelolaan mencakup wilayah ekosistem laut dangkal (goba) Tipis di sebelah utara, goba Nawi dan goba di sebelah selatan, serta goba Sempit di sebelah barat. 7.2.2. Sistem Aturan Kunci dari aturan yang digunakan dalam sea farming adalah right-based fisheries yang merupakan alternatif pengelolaan sumberdaya secara terbuka (open access) yang mengakibatkan konflik antar nelayan dan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Salah satu pilar penting dalam pelaksanaan sea farming adalah penguatan hukum dan kelembagaan. Pemberian hak pemanfaatan perairan (use rights) yang jelas kepada pelaku sea farming merupakan prasyarat penting dalam kerangka insentif institusi menuju produksi perikanan yang berkelanjutan. Pemberian hak ini dapat dilakukan apabila diperkuat melalui mekanisme legal yang
transparan
dan
berkeadilan.
Peranan
hukum
dalam
memelihara
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat dapat dilakukan
76
melalui berbagai inovasi dalam penerapan sanksi hukum, termasuk pemberian insentif dan disinsentif supaya dapat lebih mendekati rasa keadilan yang berkembang di dalam masyarakat (Adrianto et al. 2011). Sistem aturan main yang disepakati oleh Kelompok Sea Farming adalah yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Lampiran 1 dan 2). Aturan main tersebut sebenarnya mengacu pada faktor kelembagaan pengelola yang mencakup unsur-unsur : 1) wewenang (authority), 2) hak kepemilikan (right), 3) aturan (rules), 4) monitoring, accountability, dan enforcement, 5) sanksi (sanction). Pemanfaatan sumberdaya laut biasanya dikontrol oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi masyarakat dan pemilik hak (ownership). Kelembagaan formal yang dibentuk oleh masyarakat umumnya terkait dengan aktivitas kesehariannya. 7.2.3. Sistem Hak Beberapa hak yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sea farming menurut Adrianto et al. (2011), diantaranya adalah : a. Kelompok usaha anggota sea farming berhak memanfaatkan dan mengelola di wilayah sea farming sesuai dengan peruntukkannya dan luas yang telah ditentukan. b. Kelompok usaha anggota sea farming berhak mendapatkan pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya di bidang budidaya perikanan. 7.2.4. Pengaturan Hubungan Kepemilikan Kelembagaan berfungsi sebagai pengaturan hubungan kepemilikan. Hak kepemilikan (right) sistem pengelolaan berada pada seluruh masyarakat Pulau panggang dengan memenuhi persyaratan tertentu untuk bergabung dalam kelembagaan sea farming. Sehingga tercermin adanya kejelasan substansi dan struktur hak kepemilikan melalui penentuan bagaimana suatu hak dapat digunakan. Melalui aturan ini ditetapkan area sea farming dan siapa yang dijinkan menangkap dan siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika orang luar ikut memanfaatkan. Agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring
77
pelaksanaan aturan (monitoring, accountability, dan enforcement). Sedangkan bagi yang melanggar akan terkena sanksi hukumnya. 7.2.5. Sistem Sanksi Sanksi yang disepakati sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku menurut Adrianto et al. (2011), diantaranya adalah : a. Setiap orang atau badan hukum dalam yurisdiksi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus mentaati setiap hukum maupun peraturan yang berlaku, yang ditetapkan oleh pemerintah; b. Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran dan atau kejahatan
terhadap
lingkungan
hidup
dalam
yurisdiksi
Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu berlaku ketentuan sanksi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Selain dari POLRI atau alat penegak hukum lainnya, Bupati Kepala Daerah dapat memberikan wewenang kepada Kepala Suku Dinas Perikanan dan Pertanian untuk mengusut segala pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. 7.2.6. Kelembagaan Informal Pengelolaan Sea Farming Beberapa norma atau aturan tak tertulis yang berlaku dalam pengelolaan sea farming umumnya sama dengan norma-norma yang dijumpai dalam masyarakat Kepulauan Seribu, diantaranya adalah : a) Meliburkan kegiatan pada hari Jumat. b) Kebiasaan untuk menyisihkan sebagian hasil panen budidaya ikan kerapu (terutama saat hasil banyak) untuk dibagikan kepada anak yatim piatu maupun janda. c) Kesepakatan masyarakat lainnya terkait pemanfaatan ruang dalam aktivitas budidaya ikan kerapu yaitu pemanfaatan bagian dari ruang perairan laut di sebelah manapun untuk aktivitas yang tidak dilarang oleh hukum, dengan catatan tidak mengganggu pemanfaatan sebelumnya.
78
7.3. Arena Aksi dalam Pengelolaan Sea Farming Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan hasil nilai skor analisis stakeholders disajikan di Lampiran 3. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah: 1)
Identifikasi aktor Hasil identifikasi aktor stakeholder terkait pengelolaan sea farming di Pulau Panggang, dikenal 8 stakeholders dengan berbagai peran (Tabel 16). Secara garis besar identifikasi dikelompokkan dalam peran pemanfaatan dan peran pengaturan. Diantara dua peran ini terdapat peran fasilitasi (penghubung). Peran pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat anggota Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, sementara peran pengaturan dilakukan oleh Pemerintah beserta unsurnya. Sedangkan
peran fasilitas/penghubung
dilakukan oleh akademisi, yaitu Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL IPB). 2)
Tabel aktor Tabel 16 Identitas stakeholder dan peranannya No.
Stakeholder
Peranan / Pemanfaatan
1.
Masyarakat anggota Kelompok Sea Farming Pulau Panggang
Lokasi budidaya
2.
Pendeder dan Pedagang Pengumpul Pemerintah KAKS
Lokasi budidaya / usaha
5.
Pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) Dinas Perhubungan
Penentu kebijakan (konservasi-zonasi) dan fasilitas masyarakat Penentuan kebijakan (alur pelayaran)
6.
Polairud (keamanan)
Pengamanan peraturan
7. 8.
Aparat Kelurahan Perguruan tinggi (PKSPL IPB)
Lokasi penelitian
3. 4.
Penentu kebijakan (pengelola sumberdaya) dan fasilitas masyarakat
Lokasi penelitian dan fasilitasi stakeholder lain
79
3)
Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor Hasil
pemetaan
stakeholder
berdasarkan
derajat
kepentingan
dan
pengaruhnya di dalam pengelolaan sea farming di Pulau Panggang tersaji pada Gambar 14.
Gambar 14 Pemetaan stakeholder pengelolaan sea farming di Pulau Panggang.
4) Membuat aktor grid Berdasarkan hasil pemetaan stakeholder dalam pengelolaan sea farming di Pulau Panggang (Gambar 14) maka dapat diketahui aktor stakeholder yang berperan dan pengelolaan sea farming, yaitu : •
Kotak A (subyek) ditempati oleh masyarakat anggota pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming Pulau Panggang, pendeder dan pedagang pengumpul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan
80
proses hasil budidaya dan pemasaran hasil produksi perikanan. Selama ini hasil budidaya oleh pembudidaya/anggota sea farming biasanya disalurkan kepada pendeder dan pihak pedagang pengumpul untuk kemudian dijual ke pasar. •
Kotak B (pemain) ditempati oleh Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS dan perguruan tinggi (PKSPL IPB) yang merupakan kelompok aktor yang memiliki
derajat
mensukseskan
pengaruh
kegiatan
dan
melalui
kepentingan
yang
tinggi
perumusan
berbagai
untuk
kebijakan.
Pemerintah KAKS melalui dinas teknisnya (Suku Dinas Perikanan dan Kelautan)
berhak
mengatur
pemanfaatan
tradisional
(budidaya).
Sedangkan Pengelola TNKS melalui regulasinya menetapkan wilayah perairan Pulau Panggang sebagai bagian dari zona pemanfaatan tradisional. Melalui berbagai kajian dan penelitian, akademisi mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang lewat berbagai program pemerintah. •
Kotak C (penonton) ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang.
•
Kotak D (aktor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan, ditempati oleh pihak keamanan (Polairud) dan Dinas Perhubungan.
Melalui
penegakan hukum yang sesuai dengan peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang.
Aktor sangat bervariasi jika dilihat dari derajat pengaruh dan kepentingannya. Aktor ini dapat diketegorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Kategori aktor dalam pengelolaan sea farming menurut Brown et al. (2001) adalah sebagai berikut :
81
a. Aktor primer, yaitu masyarakat anggota pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming, pendeder dan pedagang pengumpul yang memiliki pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan. b. Aktor sekunder, yaitu Pemerintah bersama unsurnya, yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat. Hal ini disebabkan karena aktor ini adalah sebagian besar merupakan pengambil kebijakan dan terlibat dan implementasi kebijakan. Secara relatif pihak ini tidak penting, demikian pula dengan tingkat kesejahteraannya bukan suatu prioritas. c. Aktor eksternal, yaitu akademisi/perguruan tinggi (PKSPL IPB), yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan. Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sea farming di wilayah Kelurahan
Pulau
Panggang
Kabupaten
Administrasi
Kepulauan
Seribu
teridentifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya, dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan
belum
adanya
suatu
lembaga
formal
yang
khusus
dapat
mengkoordinasikan masing-masing kepentingan di antara aktor. Sehingga tidak jarang di lapangan sering terjadi konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan aktifitasnya. 7.4. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Sea Farming Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan, perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom (1990) tersebut, aktor-aktor pengelolaan sea farming di Kabupaten Kepulauan Seribu yang tergolong dalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah Kementerian Kelautan
82
dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Seribu. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Seribu. Sementara itu, yang termasuk ke dalam level operasional (operational choice level) adalah kelompok masyarakat formal (kelompok sea farming). Untuk melihat hubungan antar kelembagaan dan aktor yang terlibat dalam pengelolaan sea farming dapat dilihat pada Gambar 15.
Collective Choice Level
Perguruan Tinggi (PKSPL IPB)
Konsultasi/ Pendampingan
Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Kelompok Pemerintah Koordinasi kegiatan
Koordinasi kegiatan
Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu
Koordinasi kegiatan
Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta
Konflik
Kelompok sea farming
Konflik
Kelompok Masyarakat formal
Konflik Konflik Operational Choice Level
Pembudidaya
Kelompok masyarakat
Pembudidaya
Gambar 15 Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu.
Berdasarkan pemetaan konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu banyaknya ikan yang rusak dan menimbulkan kematian ikan yang banyak, penyaluran benih yang semakin sedikit, keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terhadap kelompok masyarakat tertentu (Tabel 17).
83
Tabel 17 Tipe konflik dalam pengelolaan sea farming di perairan Pulau Panggang Lokasi konflik Pada tahun 2008, banyaknya ikan Perairan 1. yang rusak dan menimbulkan Pulau kematian ikan yang banyak di dekat Panggang areal budidaya ikan atau keramba Penyaluran benih yang semakin Pulau 2. Panggang sedikit Keberpihakan pemerintah, Pulau 3. khususnya Suku Dinas Kelautan Panggang dan Pertanian KAKS terhadap kelompok masyarakat tertentu Sumber : Hasil wawancara para aktor (2010) No.
Isu-isu dan Penyebab
Kelompok-kelompok yang terlibat Kelompok sea farming Penambang pasir
Kelompok sea farming Pembudidaya/nelayan Kelompok sea farming Kelompok pembudidaya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS
Konflik antara anggota kelompok sea farming dengan sebagian masyarakat penambang pasir. Permasalahan terkait lingkungan yang kurang bagus disebabkan adanya aktivitas sebagian masyarakat yang merusak kondisi perairan dengan cara mengambil pasir di dekat areal budidaya ikan atau keramba. Konflik tersebut apabila tidak secepatnya dikelola secara baik maka dikhawatirkan akan mengganggu sistem pengelolaan sea farming di perairan Pulau Panggang. Oleh sebab itu perlu diserahkan kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk mencari solusi yang tepat, seperti pemerintah memberikan kompensasi sebagai ganti rugi pencemaran lingkungan jika menyebabkan kegagalan kegiatan budidaya (kematian massal). Konflik antara pengurus kelompok sea farming dengan anggota dan juga masyarakat yang ingin menjadi anggota sea farming. Sistem dana bergulir (revolving fund) menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu. Permasalahan benih yang disalurkan semakin sedikit, sehingga pengurus kelompok sea farming mengambil kebijakan untuk tidak menerima anggota terlalu banyak. Tertulis dalam AD dan ART kelompok, bahwa anggota berhak untuk mendapatkan benih termasuk anggota yang telah melalui proses seleksi dan pelatihan. Sejak tahun 2008 benih yang disalurkan mengalami penurunan. Sementara itu jumlah anggota terus meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan adanya konflik sosial di masyarakat dan memerlukan adanya perhatian dan kebijakan dari pemerintah setempat.
84
Benih yang telah disalurkan kepada anggota sea farming sebanyak 28% telah dipanen dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Rendahnya persentase produksi ini disebabkan beberapa permasalahan seperti kematian massal ikan akibat penyakit dan gangguan lingkungan (seperti kiriman sampah, tumpahan minyak, penambangan pasir, dan lain-lain), benih yang disalurkan tidak sehat, anggota yang tidak melaporkan hasil panennya, pencurian ikan di keramba dan lain-lain. Selain itu lamanya pemeliharaan ikan kerapu untuk mencapai ukuran panen (0,5 kg per ekor) yaitu selama 8 bulan, menyebabkan adanya benihbenih kerapu yang telah disalurkan masih dalam proses pemeliharaan. Konflik antara kelompok sea farming dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS, terkait dengan keputusan pemerintah dalam hal ini Sudin Kelautan dan Pertanian yang cenderung mementingkan kelompok masyarakat pembudidaya lainnya (di luar kelompok sea farming) yang memiliki pengalaman lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sea farming. Atas keberpihakan pemerintah tersebut menimbulkan rasa kecemburuan anggota kelompok sea farming terhadap kelompok pembudidaya lainnya. Pemerintah yang seharusnya dapat berperan dalam menyatukan masing-masing kepentingan aktor belum dapat dilakukan secara optimal. Lembaga perguruan tinggi berperan dalam menjembatani hubungan antar aktor dalam hal pendampingan dan menyatukan kepentingan masing-masing aktor. Saat ini lembaga perguruan tinggi yang masih berperan selama kurang lebih 5 tahun dalam pendampingan pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu adalah PKSPL IPB bermitra dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 7.5. Analisis Manfaat Ekonomi dalam Pengelolaan Sea Farming Pendampingan pada pengembangan skala usaha kelompok adalah dengan mendorong anggota kelompok untuk maju dan berkembang skala usahanya. Pengembangan skala usaha ini bertujuan untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sea farming, yang meliputi :
85
1) Jumlah lubang keramba dari awal usaha Berdasarkan hasil monitoring PKSPL IPB tahun 2009, perkembangan jumlah lubang keramba anggota kelompok sea farming dari tahun 2006 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan pada setiap angkatan. Jumlah lubang keramba anggota Angkatan I mengalami peningkatan, tahun 2006 sebanyak 34 lubang, tahun 2007 sebanyak 58 lubang dan tahun 2008 sebanyak 84 lubang. Angkatan II juga mengalami peningkatan, tahun 2006 sebanyak 45 lubang, tahun 2007 sebanyak 95 lubang dan tahun 2008 sebanyak 174 lubang. Begitu pula dengan Angkatan III, tahun 2007 sebanyak 50 lubang dan tahun 2008 sebanyak 74 lubang. Selengkapnya data perkembangan keramba anggota kelompok sea farming tersaji pada Lampiran 4. 2) Jumlah benih yang dipinjamkan kepada anggota Berdasarkan hasil monitoring PKSPL IPB tahun 2009, perkembangan jumlah benih yang dipinjamkan kepada anggota kelompok sea farming juga mengalami peningkatan. Jumlah benih ikan kerapu yang telah disalurkan melalui mekanisme revolving fund selama periode 2006-2009 sebanyak 34.680 ekor benih, yang terdiri atas 32.200 ekor benih ikan kerapu macan dan 2.480 ekor benih ikan kerapu bebek (Gambar 16). Rekapitulasi peminjaman benih anggota Kelompok sea farming selengkapnya tersaji pada Lampiran 5. 35000 30000 25000
Ekor 20000 15000
Kerapu macan Kerapu bebek
10000 5000 0
2006
2007
2008
2009
Jumlah
Tahun Gambar 16 Jumlah benih yang disalurkan kepada anggota sea farming periode 2006-2009.
86
3) Laju pengembalian pinjaman anggota Sesuai dengan konsep pengembangan kelembagaan sea farming, kegiatan marikultur sebagai target antara dilakukan dengan pendekatan communitybased fisheries business. Dalam konteks ini, sistem dana bergulir (revolving fund) menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui pembelian benih ikan kerapu. Pada inisiasi awal, dari total 43 anggota kelompok sea farming Pulau Panggang, 24 orang mendapat dana bergulir pertama. Data peminjaman dan pengembalian dana bergulir Kelompok Sea Farming dari tahun 2006 – 2009 tersaji pada Lampiran 5. Perbandingan jumlah anggota yang meminjam dan anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman benih tersaji pada Gambar 17. 60 50 40 Anggota yang meminjam
30 20
Anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman
10 0
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 17
2009
Ratarata
Jumlah anggota sea farming yang meminjam benih dan anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009
Jumlah anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman tahun 2006 sebanyak 26 orang dari 35 orang yang meminjam. Tahun 2007 sebanyak 33 orang dari 51 orang yang meminjam. Tahun 2008 sebanyak 27 orang dari 45 orang yang meminjam. Tahun 2009 sebanyak 1 orang dari 3 orang yang meminjam. Sehingga rata-rata anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman sebanyak 22 orang dari 33 orang yang meminjam. Persentase anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman sebanyak 64,9%. Sistem dana bergulir (revolving fund) yang diterapkan seringkali tidak berjalan lancar. Hal
87
tersebut
disebabkan
adanya
permasalahan
kegagalan
panen
serta
ketidakpatuhan anggota kelompok sea farming dalam mengembalikan pinjaman. 4) Jumlah penjualan hasil panen Sebelum melakukan
usaha budidaya kerapu perlu dilakukan kajian
perencanaan usaha budidaya kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di kawasan perairan Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Berdasarkan data salah seorang anggota Kelompok sea farming (Syaifudin, 2005) dan PKSPL IPB (2007), diperoleh perkiraan biaya investasi, yang meliputi pembuatan jaring, misalnya dengan 4 lubang tebar masing-masing berukuran 4m x 4m, rumah jaga, sampan, dan peralatan pendukung dengan total perkiraan biaya investasi sebesar Rp 15.667.000,00. Perkiraan usia investasi selama 5 tahun, maka diperoleh biaya penyusutan sebesar Rp 3.133.400,00 per tahun (Lampiran 6). Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pemeliharaan sebesar Rp 2.400.00,00 per tahun dan biaya penyusutan sebesar Rp 3.133.400,00 per tahun. Biaya variabel terdiri atas pembelian bibit 1.000 ekor @ Rp 10.000,00, pakan 3.360 kg @ Rp 2.000,00 dan obat-obatan sebesar Rp 100.000,00 per tahun, sehingga diperkirakan total biaya produksi atau Total Cost (TC) sebesar Rp 22.353.400,00. Harga Pokok Produksi (HPP) ikan kerapu macan diperoleh dari biaya produksi total dibagi total produksi, sehingga diperoleh nilai HPP sebesar Rp 49.674,00 per kg. Produksi ikan kerapu macan yang dihasilkan dari penebaran 1.000 ekor dengan panen 90% populasi (10% kematian) dengan asumsi berat ikan 0,5 kg per ekor, diperoleh produksi sebesar 450 kg per tahun. Jika harga jual ikan kerapu macan Rp 75.000,00 per kg, maka perkiraan penerimaan penjualan atau Total Revenue (TR) sebesar Rp 33.750.000,00, sehingga perkiraan keuntungan usaha budidaya ikan kerapu selama satu tahun (π) sebesar Rp 11.396.600,00 atau tingkat keuntungannya mencapai 50,98% per tahun pada investasi total Rp 15.667.000,00 untuk 5 tahun. Payback Period (PP) diperoleh dari jumlah investasi dibagi keuntungan, sehingga diperoleh nilai PP = 1,37 tahun atau sama dengan 17 bulan. Sedangkan R/C Ratio diperoleh dari penerimaan total atau Total Revenue (TR)
88
dibagi dengan biaya total atau Total Cost (TC), sehingga diperoleh R/C = 1,5, berarti dari setiap Rp 100,00 yang ditanamkan pada usaha budidaya ikan kerapu macan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 150,00 atau diperoleh keuntungan sebesar Rp 50,00. Dari jumlah benih yang telah disalurkan kepada anggota sea farming, 28% telah dipanen dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Jumlah panen tersebut relatif rendah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kematian massal ikan akibat penyakit dan gangguan lingkungan, benih yang disalurkan tidak sehat, anggota yang tidak melaporkan hasil panennya, pencurian ikan di keramba dan lain-lain. Disamping itu lamanya pemeliharaan ikan kerapu untuk mencapai ukuran panen (0,5 kg per ekor) yaitu selama 8 bulan, sehingga benih-benih kerapu yang telah disalurkan masih dalam proses pemeliharaan. Jumlah produksi ikan kerapu tahun 2006 mencapai 4.840 ekor atau 2.007 kg. Tahun 2007 mencapai 4.842 ekor atau 2.228 kg. Tahun 2008 mencapai 170 ekor atau 100 kg. Tahun 2009 menunjukkan belum adanya anggota yang panen. Sehingga total produksi mencapai 9.852 ekor atau 4.395 kg. Selengkapnya data produksi (panen) ikan kerapu anggota sea farming selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran 6.
10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Ekor Kg
2006
2007
2008
2009
Jumlah
Gambar 18 Produksi ikan kerapu anggota sea farming periode 2006-2009
89
Selama periode 2006-2009, hasil penjualan ikan kerapu macan dengan asumsi rata-rata harga ikan kerapu macan Rp 100.000,00/kg adalah sebesar Rp 405.300.000,00. Hasil penjualan ikan kerapu bebek dengan asumsi rata-rata harga ikan kerapu bebek Rp 350.000,00/kg adalah sebesar Rp 119.700.000,00. Sehingga total penjualan ikan kerapu sebesar Rp 525.000.000,00. Data hasil penjualan ikan kerapu periode 2006-2009 tersaji pada Gambar 19. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Kerapu macan dalam Rp 1.000.000,Kerapu bebek dalam Rp 1.000.000,-
2006
Gambar 19
2007
2008
2009 Jumlah
Hasil penjualan ikan kerapu anggota kelompok sea farming Pulau Panggang periode 2006-2009 (dalam Rupiah).
Berdasarkan data penjualan di atas dan data anggota yang panen, maka dapat terlihat pendapatan rata-rata yang diterima oleh setiap anggota sea farming (Gambar 20). Berdasarkan rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota periode 2006-2009, maka rata-rata setiap anggota sea farming memperoleh Rp 4.537.097,00 setiap kali panen ikan kerapu macan selama periode 8 bulan atau Rp 6.805.645,00/tahun (setelah dikurangi besaran pinjaman yang harus dikembalikan) dengan catatan pendapatan ini berasal dari benih yang dipelihara oleh anggota berkisar 200-400 ekor (sesuai mekanisme pinjaman benih kelompok) dan infrastruktur keramba yang sederhana. Artinya skala usahanya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan benih yang tersedia.
90
14000 12000 Rata-rata pendapatan per anggota (Rp 1.000) untuk ikan kerapu macan
10000 8000 6000
Rata-rata pendapatan per anggota (Rp 1.000) untuk ikan kerapu bebek
4000 2000 0
Gambar 20
2006
2007
2008
2009 Ratarata
Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota sea farming yang panen periode 2006-2009 (dalam Rupiah)
Berdasarkan data PKSPL IPB tersebut di atas, maka kegiatan ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi masyarakat, nilai pendapatan ini cukup menunjang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Langkah selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan skala usaha anggota sea farming ini melalui mekanisme permodalan dan teknologi. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (2007), menyebutkan bahwa untuk memperoleh pendapatan Rp 2.000.000,- per bulan, maka setiap anggota sea farming harus mendapatkan pinjaman benih sebanyak 1.500 ekor kerapu macan dengan KJA yang mempunyai 6 lubang/jaring. Oleh karena itu langkah sederhana yang dapat diambil oleh pembuat kebijakan adalah menyediakan benih dengan perhitungan apabila jumlah anggota ada sebanyak 100 orang, maka dibutuhkan 150.000 ekor benih ikan kerapu macan ditambah dengan perbaikan keramba sehingga mencapai 6 lubang/jaring/anggota.
91
7.6. Keefektifan Biaya Transaksi Organisasi Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al (1998), biaya transaksi kelompok sea farming terdiri atas : 1) Biaya transaksi penyusunan keputusan, meliputi biaya pertemuan anggota, biaya pembuatan keputusan. 2) Biaya operasional bersama, meliputi biaya koordinasi dan biaya pengawasan. 3) Biaya informasi, meliputi biaya pengumpulan bahan-bahan dan biaya sosialisasi. Total biaya transaksi terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi kelompok sea farming adalah sebesar Rp 875.000,00 setiap tahun. Biaya transaksi tersebut lebih banyak untuk biaya operasional bersama, yaitu mencapai Rp 525.000,00 setiap tahunnya, meliputi biaya koordinasi pengurus (rata-rata sebesar Rp 350.000,00) dan biaya santunan anak yatim dan janda ratarata sebesar Rp 175.000,00. Sementara itu untuk biaya penyusunan keputusan, setiap tahunnya kelompok mengeluarkan biaya transaksi untuk pertemuan anggota rata-rata sebanyak 5 kali rapat masing-masing sebesar Rp 50.000,00 per pertemuan. Biaya pertemuan anggota umumnya dikeluarkan setiap ada pergantian pengurus dan pertemuan rutin evaluasi organisasi. Sedangkan biaya informasi dikeluarkan untuk biaya sosialisasi sebesar Rp 100.000,00 per tahun. Biaya informasi tersebut umumnya dikeluarkan untuk perbanyakan dokumen sosialisasi. Selengkapnya biaya transaksi tersebut tersaji pada Tabel 18. Pemasukan kas Kelompok sea farming berasal dari iuran anggota dan bagi hasil 5% pengembalian dana bergulir dari setiap anggota. Efektifitas biaya transaksi dianalisis dengan melihat rasio antara total biaya transaksi yang telah dikeluarkan dengan total manfaat. Semakin kecil nilai rasio yang diperoleh maka menunjukkan semakin efektif penggunaan biaya transaksi tersebut. Total manfaat yang dipakai dalam penelitian ini adalah keuntungan anggota kelompok sea farming dalam usaha budidaya keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Berdasarkan Tabel 19, terlihat bahwa efektifitas biaya transaksi mencapai sekitar 0,13, yang berarti menunjukkan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif.
92
Tabel 18 Biaya transaksi yang dikeluarkan kelompok sea farming terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. No.
Jenis Biaya Transaksi
A.
Biaya penyusunan keputusan Biaya pertemuan anggota
Nilai rata-rata (per tahun) Rp 250.000,00 Rp 250.000,00
B. 1. 2.
Biaya operasional bersama Biaya koordinasi Biaya santunan anak yatim dan janda
Rp 525.000,00 Rp 350.000,00 Rp 175.000,00
C.
Biaya informasi Biaya sosialisasi
Rp 100.000,00 Rp 100.000,00
Total Biaya Transaksi
Rp 875.000,00
Pendapatan anggota kelompok sea farming (Total Manfaat Langsung)
Rp 6.805.645,00
Efektifitas Biaya Transaksi
0,13
Sumber : Data primer, diolah 2010
7.7. Keberlanjutan Program Sea Farming Keberlanjutan program menyangkut indikator : (1) eksistensi; (2) perkembangan kelompok; dan (3) keaktifan anggota.
Program sea farming
merupakan program yang sudah berjalan dan masih bertahan keberadaannya. Masyarakat dan pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan program ini mengingat kepercayaan masyarakat terhadap program ini semakin meningkat. Selain itu, telah banyak upaya yang dilakukan sehingga program ini secara garis besar perlu dilanjutkan. Perkembangan anggota kelompok sea farming setiap tahunnya cenderung mengalami perkembangan, yang didahului oleh pelatihan sea farming. Setiap tahunnya anggota sea farming meningkat sebanyak 25 orang. Dari jumlah tersebut yang aktif berkisar 15-20 orang. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan hasil nilai skor analisis skenario evaluasi program disajikan di Lampiran 8. Keberlanjutan program menggunakan analisis skenario evaluasi program, yaitu :
93
1) Diagram Skenario Evaluasi Berdasarkan hasil analisis skenario evaluasi program sea farming dengan menggunakan software Decision Criterium Plus (DCP) dapat digambarkan mengenai kerangka pengambilan keputusan identifikasi skenario evaluasi program melalui mekanisme multi-criteria (Gambar 21).
Lingkungan
luas kegiatan sea farming
Sosial Ekonomi
Jumlah RT yang tersosialisasi
Skenario A
Keterlibatan masyarakat Tata kelembagaan program
Kelembagaan
Evaluasi Sea Farming
Skenario B
Peran institusi terkait pencapaian tujuan Efisiensi dan efektifitas anggaran Mekanisme koordinasi Kesesuaian dengan tujuan program
Skenario C
Pengalaman berusaha SDM
Pengelolaan program
Kemampuan dan keterampilan SDM Perilaku SDM (kejujuran, tanggung jawab) Pengembalian dana pinjaman
Gambar 21 Kerangka hirarki skenario evaluasi program sea farming
2) Hasil Skenario Evaluasi Dari hasil analisis Delphi dengan menggunakan alat bantu Decision Criterium Plus (DCP) diperoleh hasil bahwa dari domain lingkungan, opsi yang optimal adalah skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan perbaikan signifikan dengan kontribusi skor sekitar 0,19, lebih besar dari opsi-opsi yang lain, dimana skenario A memiliki kontribusi skor sekitar 0,08 (Gambar 22). Contributions to Lingkungan from Level:main criteria Skenario B Skenario A Lingkungan Skenario C
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
Gambar 22 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain lingkungan dengan menggunakan teknik Delphi.
94
Sementara itu, dalam konteks kriteria domain sosial ekonomi, skenario B juga menempati rangking tertinggi dengan kontribusi skor sekitar 0,41 kemudian diikuti skenario A dengan kontribusi skor sekitar 0,16. Gambar 23 menyajikan skor skenario evaluasi program menurut domain sosial ekonomi. Contributions to Sosial Ekonomi from Level:main criteria Skenario B Skenario A Sosial Ekonomi Skenario C
0.00
0.05
0.15
0.10
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Gambar 23 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain sosial ekonomi dengan menggunakan teknik Delphi.
Selanjutnya dalam konteks kelembagaan, opsi skenario B tetap menjadi pilihan dengan skor tertinggi yaitu sekitar 0,17 dibandingkan skenario A dengan skor sekitar 0,08 (Gambar 24). Contributions to Kelembagaan from Level:main criteria Skenario B Skenario A Kelembagaan Skenario C
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.16
0.18
Gambar 24 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain kelembagaan dengan menggunakan teknik Delphi.
Sementara itu, dalam konteks domain pengelolaan program, opsi skenario B tetap menjadi opsi paling optimal dibandingkan dengan skenario A dan skenario C. Hal ini ditunjukkan dari kontribusi skor yang secara diagram disajikan pada Gambar 25.
95
Contributions to Pengelolaan program from Level:main criteria Skenario B Skenario A Pengelolaan program Skenario C
0.00
0.02
0.01
0.03
0.05
0.04
0.06
0.07
Gambar 25 Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain pengelolaan program dengan menggunakan teknik Delphi. Dengan menggunakan analisis agregat untuk seluruh domain, opsi skenario B memiliki skor tertinggi, yaitu 0,84 yang kemudian diikuti oleh opsi skenario A dengan skor 0,35, dan skenario C (0,0). Opsi optimal bagi skenario evaluasi program sea farming tersaji pada Gambar 26. Contributions to Evaluasi Tata Kelola Sea Farming from Level:main criteria Skenario B Sosial Ekonomi Skenario A
Lingkungan Kelembagaan
Skenario C
0.0
Pengelolaan program
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Gambar 26 Analisis agregat opsi skenario evaluasi program sea farming. 3) Analisis implikasi skenario Berdasarkan Gambar 26 di atas, evaluasi terhadap skenario menghasilkan skenario B (program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan) sebagai skenario optimal. Lebih lanjut, domain kelembagaan dan pengelolaan program menjadi domain prioritas yang perlu diperhatikan karena memiliki skor rata-rata yang rendah dibandingkan domain yang lain. Dalam konteks ini perbaikan sistem kelembagaan dan pengelolaan program menjadi sangat krusial untuk dilaksanakan sebelum program dilanjutkan. Dengan demikian diperlukan kajian mendalam terhadap upaya perbaikan kelembagaan dan proses pelaksanaan program tersebut sehingga output optimal terhadap prasyarat ini dapat dihasilkan.
Karena kajian terhadap upaya perbaikan
kelembagaan dan proses pelaksanaan program memerlukan waktu, maka program dapat diterminasi untuk sementara dan dapat dilanjutkan setelah
96
rekomendasi perbaikan mekanisme kelembagaan dan proses pelaksanaan program dihasilkan. Sehingga secara diagramatis, implikasi skenario terpilih disajikan pada Gambar 27 di bawah ini.
Program Sea Farming Tahap 1
Senario B : Program Sea Farming dapat dilanjutkan dengan perubahan signifikan
Kompleksitas masalah Tahap 1
Perbaikan Sistemik Program Sea Farming Tahap 1
Program Pengelolaan Sea Farming Dilanjutkan (Tahap 2)
Gambar 27 Kerangka implikasi skenario terpilih Pelaksanaan skenario di atas memiliki justifikasi yang kuat berdasarkan analisis implikasi dari Skenario B yang mengkaji parameter kepercayaan masyarakat, kesan stakeholders kunci, konsekuensi hukum dan konvergensi dengan program daerah. Uraian implikasi skenario B terhadap beberapa parameter penting terkait dengan pentingnya kelanjutan program sea farming tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Uraian implikasi pentingnya kelanjutan program sea farming No.
Parameter
Implikasi
1.
Kepercayaan masyarakat
Program sea farming merupakan program yang sudah berjalan dan masyarakat dan pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan program ini mengingat kepercayaan masyarakat akan turun apabila program ini dihentikan total. Selain itu, telah banyak upaya yang dilakukan sehingga program ini secara garis besar perlu dilanjutkan.
2.
Kesan (image) Stakeholders kunci
Mengingat tujuan program sea farming yang cukup baik, maka kesan (image) stakeholders kunci seperti pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, perguruan tinggi, serta pihak swasta yang berkepentingan perlu dipertahankan. Keberhasilan program ini merupakan taruhan kesan para stakeholders utama sehingga kelanjutan program ini menjadi sangat penting setelah upaya perbaikan signifikan terhadap proses, mekanisme dan kelembagaan pengelolaan program ini dilakukan.
3.
Konsekuensi hukum
Efektifitas penggunaan dana dan hasil yang dicapai dapat menjadi basis bagi upaya untuk meningkatkan kinerja dan keragaan program sea farming. Hal ini untuk menghindari konsekuensi hukum yang mungkin terjadi sehingga perbaikan signifikan dari sistem perlu dilakukan secara komprehensif.
4.
Konvergensi dengan program daerah
Program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan konservasi konvergen dengan misi pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dimana lingkungan kawasan strategis perlu dilestarikan.
97
Dari hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pilihan Skenario B adalah yang terbaik mengingat pentingnya program pengelolaan sea farming bagi para stakeholders maupun bagi keberlanjutan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu. 7.8. Desain Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ke Depan Perbaikan sistemik dari program sea farming perlu dilakukan untuk mendukung keberlanjutan program. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Merencanakan suatu desain kelembagaan pengelolaan sea farming merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan, mengingat berbagai
komponen
yang
mempunyai
kepentingan
dalam
pengelolaan
sumberdaya perikanan. Desain kelembagaan ini harus dilakukan dengan melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat dimana tidak terjadi perubahan di dalam fungsi dan karakternya. Bromley (1988) mengatakan jika kondisi-kondisi ekonomi dan sosial masyarakat berubah, maka struktur kelembagaan yang ada tidak akan cocok lagi untuk dipakai. Anggota-anggota masyarakat akan berusaha merancang suatu aransemen kelembagaan yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi maupun selera masyarakat pada kondisi saat itu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk mewadahi kepentingan masing-masing aktor yang terlibat, maka perlu dibuat suatu lembaga khusus dengan
struktur,
keanggotaan,
mekanisme
pengambilan
keputusan
dan
kewenangan yang harus disepakati oleh para aktor. Ada tiga hal penting yang harus mendapatkan kesepakatan dari para aktor tersebut yaitu: 1). Format lembaga. Struktur lembaga harus disusun sedemikian rupa sehingga kepentingan masing-masing aktor secara proporsional dapat terwakili dalam lembaga tersebut. Kepentingan-kepentingan itu harus terpresentasikan dalam konfigurasi keanggotaan yang akan dipilih berdasarkan mekanisme yang disepakati sebelumnya. 2). Mekanisme pengambilan keputusan. Sebagai sebuah lembaga yang melibatkan multi kepentingan, maka sejak awal perlu ditetapkan mekanisme pengambilan keputusan. Secara teoritik, mekanisme pengambilan keputusan
98
itu dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. 3). Kewenangan Lembaga. Kewenangan dari lembaga kerjasama tersebut juga harus disepakati, diantaranya adalah pemetaan wilayah kewenangan daerah laut, identifikasi potensi sumberdaya perikanan dan sumberdaya sosial kelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan, serta mekanisme resolusi konflik. Berdasarkan hasil analisis dalam tata kelola kelembagaan sebelumnya, maka lembaga
yang
direkomendasikan
dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu
(KAKS),
harus
melibatkan
komponen
masyarakat
pembudidaya, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Upaya ini dalam rangka mengintegrasikan masing-masing aktor ke dalam suatu tatanan kelembagaan pengelolaan yang baik dan terpadu sehingga masing-masing kepentingan dapat terwakili dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan. Secara lengkap, desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan
hasil
analisis
sebelumnya
maka
lembaga
yang
direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus melibatkan masyarakat, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Lembaga tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua level. Pertama level penentu kebijakan (Collective Choice Level). Level ini berperan dalam penentuan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah : 1) Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di sekitar wilayah perairan Kelurahan Pulau Panggang KAKS terdiri atas Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS sebagai lembaga
yang mempunyai
kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan. Selanjutnya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bupati KAKS serta Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, ketiga lembaga tersebut bersifat pemberi instruksi kepada Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS. Disamping itu Taman Nasional Kepulauan
99
Seribu (TNKS) mempunyai fungsi koordinasi dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS dalam hal pengelolaan zona pemanfaatan. 2) Kelompok Masyarakat, yang tergabung dalam musyawarah kelompok masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Lembaga ini merupakan lembaga yang dibentuk untuk bersama-sama mendiskusikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh kelompok pembudidaya dan nelayan, baik yang formal maupun informal. Hasil dari rapat koordinasi lembaga ini biasanya akan merupakan masukan kepada pihak pengambil kebijakan dalam menentukan arah kebijakan yang terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. 3) Akademisi berperan dalam memberikan masukan kepada pemerintah daerah atau lembaga lain yang membutuhkan mengenai hasil-hasil penelitian ilmiah sehingga dapat dijadikan dasar pijak bagi pengambilan keputusan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain terkait pengelolaan dan pengembangan sumberdaya ikan di KAKS. Akademisi ini beranggotakan unsur-unsur perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kedua, level operasional (Operational Choice Level). Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah kelompok masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang KAKS.
Selain
itu
level
ini
juga
bertugas
memberi
dukungan
dan
mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Kelompok ini terdiri atas: 1) Kelompok lembaga pengelolaan sumberdaya ikan yang berada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Lembaga ini terdiri dari kelompok pembudidaya dan nelayan, Pernitas (Perhimpunan Nelayan, Pedagang Ikan dan Tanaman Hias) dan Kelompok Sea Farming. 2) Kelompok lembaga pemasaran hasil perikanan, yang terdiri dari Koperasi, Pernitas, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), swasta, pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai kelompok yang memasarkan hasil produksi perikanan dari kelompok nelayan. Disamping itu, kelompok ini juga berperan dalam memberikan akses permodalan bagi pembudidaya dan nelayan yang akan mengembangkan usaha perikanan.
100
3) Kelompok lembaga pengawas sumberdaya perikanan yang berfungsi untuk mengawasi wilayah perairan KAKS, dan juga bertugas sebagai lembaga penegak hukum bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Lembaga ini terdiri dari Kepolisian dan Dinas Perhubungan. Dalam menjalankan fungsinya, lembaga ini akan sering memantau keadaan laut serta aktifitas yang terjadi dalam pemanfaatannya.
Gambar 28 Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
101
Berdasarkan Gambar 28 di atas terlihat bagaimana peran dari masingmasing lembaga dan sistem koordinasi yang dibangun dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Peran dan fungsi masing-masing lembaga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dimana masing – masing saling ada keterkaitan antar lembaga. Peran yang cukup menonjol adalah Lembaga Musyawarah Kelompok Masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena keberadaan lembaga tersebut menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat. Oleh karena itu untuk memperkuat eksistensi lembaga tersebut harus mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu lembaga tersebut harus merumuskan aturan-aturan main bagi masing-masing aktor yang menjadi anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar interaksi masing-masing aktor dalam lembaga dapat berjalan secara baik . Selain itu juga aturan main tersebut untuk menghindari berbagai konflik kepentingan yang dapat muncul dari masing-masing aktor. Peran pemerintah daerah akan semakin berkurang karena para nelayan dan pembudidaya sudah memiliki aturan main dalam melakukan aktivitasnya. 7.9. Implikasi Kelembagaan Berdasarkan konsep analisis IAD, karakteristik fisik sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access) dengan implikasi terhadap penurunan produksi tangkapan dan kelangkaan biota-biota laut tertentu akibat overfishing dan overexploitation. Sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang ada di Kepulauan Seribu belum mampu mengatasi permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access, diantaranya adalah kurangnya pendampingan, organisasi dan tidak berjalannya aturan main yang telah disepakati. Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sea farming, menunjukkan bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan
belum
adanya
suatu
lembaga
formal
yang
khusus
dapat
mengkoordinasikan masing-masing kepentingan di antara aktor. Sehingga tidak jarang menimbulkan konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan aktifitasnya.
102
Pengembangan skala usaha bertujuan untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan usaha sea farming. Kegiatan ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah keramba pembudidaya, jumlah benih yang telah disalurkan, jumlah produksi ikan yang dipanen, jumlah pinjaman yang telah dikembalikan
serta
jumlah
pendapatan
yang
diterima.
Dalam
konteks
pemberdayaan ekonomi masyarakat, nilai pendapatan yang diperoleh cukup menunjang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keefektifan biaya transaksi dalam menjaga mekanisme internal pelaksanaan organisasi Kelompok sea farming sudah relatif efektif. Program sea farming merupakan program yang sudah berjalan dan masih bertahan keberadaannya. Masyarakat dan pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan program ini mengingat kepercayaan masyarakat terhadap program ini semakin meningkat. Selain itu, telah banyak upaya yang dilakukan sehingga program ini secara garis besar perlu dilanjutkan. Dari hasil analisis evaluasi skenario program, maka dapat disimpulkan bahwa pilihan Skenario B (program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan) sebagai skenario optimal dan yang terbaik mengingat pentingnya program pengelolaan sea farming bagi para stakeholders maupun bagi keberlanjutan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu. Dalam
implementasi
pengelolaan
sumberdaya
pesisir,
khususnya
pengelolaan sea farming, maka diperlukan adanya sebuah institusi/lembaga yang berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang timbul di antara para stakeholders dan kelompok masyarakat, seperti timbulnya konflik. Lembaga tersebut adalah Lembaga Musyawarah Kelompok Masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Yang perlu difokuskan adalah pelaksanaan program sesuai yang telah disepakati oleh seluruh stakeholders dan kelompok masyarakat dan lebih dikembangkan serta ditekankan pada fungsi peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat pesisir, khususnya pembudidaya ikan dan nelayan. Mengingat keberadaan lembaga ini akan meningkatkan biaya manajerial organisasi, namun nilai ekonomi sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional dapat
103
dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan alokasi dan alternatif penggunaannya secara benar dan mengenai sasaran. Dengan terjaganya fungsi sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus di masa yang akan datang. Disamping pengembangan kelembagaan yang adaptif, perlu dilakukan pula perbaikan organisasi dan manajemen Kelompok Sea Farming dalam rangka keberlanjutan program sea farming. Penyempurnaan aturan main yang telah ditetapkan dalam AD dan ART perlu dilakukan melalui rapat pengurus dan anggota sea farming dengan didampingi oleh Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan pihak Akademisi (PKSPL IPB).
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa informasi penting tentang kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya sea farming di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu : 1) Karakteristik fisik sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access) dengan implikasi terhadap penurunan produksi tangkapan dan kelangkaan biota-biota laut tertentu akibat overfishing dan over-exploitation. 2) Sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu belum mampu mengatasi permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access, diantaranya adalah kurangnya pendampingan dari pihak terkait, kurangnya pengorganisasian serta tidak dijalankannya aturan main yang telah disepakati. Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sea farming, menunjukkan bahwa selama ini masingmasing aktor dalam menjalankan perannya dilakukan berdasarkan keputusan masing-masing aktor. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya pesisir di perairan Kepulauan Seribu perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya pesisir Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 3) Alternatif program yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan adalah kegiatan penstokan ulang atau pertanian laut (sea farming) untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. 4) Kelembagaan dalam pengelolaan sea farming meliputi : (1) batas pengelolaan dan mekanisme sea farming, (2) sistem aturan; (3) sistem hak; (4) pengaturan hubungan kepemilikan; (5) sistem sanksi; dan (6) kelembagaan informal. 5) Berdasarkan hasil analisis pemetaan stakeholders, maka dapat diketahui aktor stakeholder yang berperan dan pengelolaan sea farming, yaitu : pertama,
105
subyek ditempati oleh masyarakat pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming Pulau Panggang, pendeder dan pedagang pengumpul. Kedua, pemain ditempati oleh Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS dan akademisi (PKSPL IPB). Ketiga, penonton ditempati oleh aparat desa. Keempat, aktor ditempati oleh pihak keamanan (Polairud) dan Dinas Perhubungan. 6) Berdasarkan pemetaan konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu banyaknya ikan yang rusak dan menimbulkan kematian ikan yang banyak, penyaluran benih yang semakin sedikit, keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terhadap kelompok masyarakat tertentu. 7) Kegiatan ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah keramba pembudidaya, jumlah benih yang telah disalurkan, jumlah produksi ikan yang dipanen, jumlah pinjaman yang telah dikembalikan (persentase anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009 sebesar 64,9%). serta jumlah pendapatan yang diterima (rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota Kelompok Sea Farming periode 2006-2009 sebesar Rp 6.805.645,00 per tahun). 8) Total biaya transaksi kelompok sea farming dalam menjaga mekanisme internal pelaksanaan organisasi pengelolaan program sea farming sebesar Rp 875.000,00 per tahun. Biaya transaksi tersebut lebih banyak untuk biaya operasional bersama. Efektifitas biaya transaksi mencapai sekitar 0,13, yang berarti menunjukkan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif. 9) Berdasarkan hasil analisis skenario evaluasi program, opsi skenario B (program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan) memiliki skor tertinggi, yaitu 0,84 yang kemudian diikuti oleh opsi skenario A (program dilanjutkan sesuai dengan rencana) dengan skor 0,35, dan skenario C (program dihentikan sama sekali) dengan skor 0,0. Evaluasi terhadap skenario menghasilkan skenario B sebagai skenario optimal. Domain kelembagaan dan pengelolaan program menjadi domain prioritas yang perlu diperhatikan karena memiliki skor rata-rata yang rendah dibandingkan domain yang lain.
106
Dalam konteks ini perbaikan sistem kelembagaan dan pengelolaan program menjadi sangat krusial untuk dilaksanakan sebelum program dilanjutkan. Pelaksanaan skenario di atas memiliki justifikasi yang kuat berdasarkan analisis implikasi dari Skenario B yang mengkaji parameter kepercayaan masyarakat, kesan stakeholders kunci, konsekuensi hukum dan konvergensi dengan program daerah. 10) Perbaikan sistemik dari program sea farming perlu dilakukan untuk mendukung keberlanjutan program. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Desain kelembagaan ke depan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus melibatkan masyarakat, pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi yang dapat dikelompokkan menjadi level penentu kebijakan (Collective Choice Level) dan level operasional (Operational Choice Level). Sedangkan institusi/lembaga yang berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang timbul di antara para stakeholders dan kelompok masyarakat adalah lembaga musyawarah kelompok
masyarakat
yang
berperan
memberikan
dukungan
dan
mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Mengingat pengembangan kelembagaan adaptif ini akan meningkatkan biaya manajerial organisasi, namun nilai ekonomi sumberdaya pesisir dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan alokasi dan alternatif penggunaannya secara benar dan tepat sasaran. Dengan terjaganya fungsi sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus di masa yang akan datang. 11) Dukungan penguatan dan pengembangan kelembagaan menjadi prasyarat awal keberlanjutan program sea framing. Disamping pengembangan kelembagaan yang adaptif, perlu dilakukan pula perbaikan organisasi dan manajemen Kelompok Sea Farming dalam rangka keberlanjutan program sea farming.
107
8.2. Saran Dalam rangka keberlanjutan program sea farming, sebagai salah satu alternatif kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu, maka perlu dirumuskan konstruksi kelembagaan yang adaptif dengan melibatkan masyarakat lokal tanpa mengabaikan keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir. Disamping itu, perlu dilakukan perbaikan sistem dan mekanisme kelembagaan
serta
pengelolaan
program
sea
farming
dalam
kesinambungan program guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
rangka
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah N.M.R., K. Kuperan and R.S. Pomeroy. 1998. Transaction cost and fisheries co-management. Departement of Natural Resource Economics. Faculty of Economics and Management. University Pertanian Malaysia. UPM Serdang. Selangor Malaysia. 12 pp. Adrianto L. 2007. Kerangka Ekonomi Pemacuan Stok Ikan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB). 26 Juni 2007. Bogor. Adrianto L, T. Kusumastanto, S. Hadi, I. Effendi, L. Litasari, A. Damar, Widi, MA. Nawawi, F. Anwar, A. Gunawan, A. Haerudin. 2010. Rencana Aksi Pemacuan Sumberdaya Ikan Berbasis Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Working Paper PKSPL IPB. Vol. 1 No. 1 Mei 2010. Bogor. Adrianto L, MAA Amin, A. Solihin, DI. Hartoto. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. IPB Press. Bogor. Alchian A.A. 1993. Property Rights, dalam Henderson David. 1993. The Fortune Encyclopedia of Economics. New York: Warner Books, Inc. Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi Dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Bardhan P. 1989. Alternative Approaches to the Theory of Institutional in Economic Development. Dalam Pranab Bardhan. (ed). The Economic Theory of Agrarian Institutions. Oxpord : Clarendon Press. Berkes F. 1989. The Common Property Resources Problem and Creation of Limited Property Right. Human Ecology 13 (2) : 187-2008. Bogason P. 2000. Public Policy and Local Governance Institutions in Postmodern Society. Cheltenham, UK : Edward Elgar. Bromley DW. 1988, Property Right and Environment Natural: natural resources policy in intransition. Published by the Ministry for the Environment. Wellington, New Zealand. ___________ . 1991. Testing for Common Versus Private Property : Comment. Journal of Environment Economics and Management, 21, 92-96 (91). Academic Press Inc. Charles A. 2001. Sustainable Fisheries Systems. Blackwell Science: Oxford University, United Kingdom. Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga.
109
Dharmawan AH dan A. Daryanto. 2002. Mencari Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Pembahasan Workshop Pusat Kajian Agraria, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform I Indonesia. Bogor. Effendi I. 2006. Riset Terapan Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB). Bogor. Fisher S. et al. 2000. Working with Conflict : Skills Et Strategies for Action. Bookcrafi, Midsomer Norton, Bath, UK. Furubotn E.G. and R. Richter. 2000. Institutions and Economic Theory: The Contribution of the New Institutional Economics. The University of Michigan Press. Hanna SS, C. Folke and Maler KG, editor. 1996. Right to Nature : Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Island Press. Washington DC. USA. Haswanto A.L. 2006. Studi Konstruksi Kelembagaan Pengèlolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Tesis]. Tidak dipublikasikan. Hidayat A. 2005. Institutional Analysis of Coral Reef Management. A Case Study of Gili Indah Village, West Lombok, Indonesia. Institutional Change in Agriculture and Natural Resources. Shaker Verlag. Germany. Kelurahan Pulau Panggang. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2010. Laporan Tahunan 2009. Jakarta. Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. _____________. 2010. Kebijakan Tata Kelola Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Governance Policy) Penerbit PKSPL IPB. Bogor Manig W. 1991. Rural Social and Economic Structure and Social Development. Dalam Winfried Manig. Stability and Change in Rural Institutions in North Pakistan. Socio-economic Studies on Rural Development. Vol 85. Aachen: Alano. Nasution. S, 2003. Metode Research. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Nikijuluw,V. 2002 Rejim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
110
North D.C. 1990. Institutions, Institutional change and Economic Performance. Cambridge : Cambridge University Press. Ostrom E. 1985. Self-Government of common-pool resources. Workshop in political theory and policy analysis. Indiana University, Indiana, USA. 39 pp. _________. 1990. Governing the Common. The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press, UK. Partowidagdo,W. 1999, Memahami Analisis Pembangunan. Program Pascasarjana IPB.
Kebijakan.
Program
Studi
[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2003. Penyusunan Ketentuan Pemanfaatan Perairan Laut. Bogor. _________ . 2005. Konsep Kelembagaan Sea Farming. Bogor. ________ . 2006. Riset Terapan Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu. Bogor. Satria A, A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Soetarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza, dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Penerbit Pusat Kajian Agraria IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia bekerjasama dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Soebagio. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Disertasi]. Tidak dipublikasikan. Suhana. 2008. Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [Tesis]. Tidak dipublikasikan. [TERANGI] Yayasan Terumbu Karang Indonesia. 2008. Terumbu Karang Jakarta 2003-2007. Jakarta. Tietenberg T. 1992. Environmental and Natural Resources Economics. Third Edition. Harper Collins Publishers Inc. New York USA. Weber M. 1968. Economic and Society : An Outline of Interpretative Sociology. Edited by G. Roth and C. Wittich. Berkeley : University of California Press. Williamson O.E. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York: Free Press. Yin R.K. 1996. Studi kasus : Desain dan Metode. Edisi revisi. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
113
Lampiran 1
Anggaran Dasar Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang. ANGGARAN DASAR Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang MUKADIMAH
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta visi yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dan terdorong oleh rasa tanggung jawab untuk ikut serta dalam usaha mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia dan juga kesadaran bahwa masyarakat Pulau Panggang dapat berfungsi dan berperan penting dalam membangun bangsa dan negara, maka Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang berikrar untuk bersatu guna bersama-sama memberikan sumbangan dalam pembangunan negara dan bangsa di bidang ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan melalui sektor perikanan. Menyadari bahwa masyarakat Pulau Panggang dan lingkungan laut serta sumberdayanya perlu dikelola dengan baik, maka dengan ini dibentuklah Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang, dengan Anggaran Dasar sebagai berikut : BAB I NAMA, KEDUDUKAN DAN WAKTU Pasal 1 Nama Organisasi ini bernama Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang. Pasal 2 Kedudukan Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang berkedudukan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Negara Republik Indonesia. Pasal 3 Waktu Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang diresmikan di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada hari Jum’at tanggal 10 Maret 2006 untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. BAB II AZAS, SIFAT, LAMBANG DAN BENDERA Pasal 4 Azas Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang berazaskan Pancasila. Pasal 5 Sifat Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan mandiri. Pasal 6 Lambang dan Bendera Lambang dan bendera Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. BAB III TUJUAN DAN KEGIATAN Pasal 7 Tujuan Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang bertujuan sebagai berikut :
114
(1) Membangun sistem pengelolaan perikanan laut terpadu berbasis masyarakat yang berkelanjutan. (2) Meningkatkan kesejahteraan dengan peningkatan pendapatan dan kegiatan ekonomi (budidaya perikanan) di Pulau Panggang. (3) Ikut menunjang usaha konservasi lingkungan perairan. (4) Meningkatkan kemampuan dan kapasitas anggota (masyarakat) mengenai keterampilan teknis budidaya. Pasal 8 Kegiatan Untuk mencapai tujuan tersebut dalam pasal 7, Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang melakukan berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut : (1) Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan pelatihan di bidang budidaya ikan dan bidang usaha. (2) Menjalin kerjasama dengan instansi-instansi untuk mengembangkan kelompok dan anggotanya di bidang manajemen, budidaya, pemasaran ataupun lain-lain yang sesuai dengan tujuan organisasi. (3) Mensosialisasikan kegiatan-kegiatan kelompok kepada masyarakat. (4) Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi kelompok, anggota dan masyarakat Pulau Panggang. BAB IV ORGANISASI Pasal 9 Struktur Organisasi Struktur organisasi Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang terdiri dari : Pasal 10 Pengurus Pengurus Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang terdiri dari : (1) Koordinator Kelompok; (2) Sekretaris Kelompok; (3) Bendahara
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 11 Pengurus Pengurus Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang dipilih oleh anggota kelompok dan ditetapkan melalui Musyawarah Kelompok. Masa jabatan pengurus selama 4 tahun. Koordinator tidak dibenarkan dijabat lebih dari dua kali masa jabatan secara berturut-turut oleh orang yang sama. Pengurus Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang tidak dibenarkan merangkap menjadi Pengurus Organisasi lain yang ada di Pulau Panggang ataupun tempat lain. Pengurus membentuk sekretariat yang dipimpin oleh Koordinator dibantu Sekretaris dan Bendahara.
Pasal 12 Tugas dan Kewajiban Pengurus Tugas dan kewajiban Pengurus adalah sebagai berikut : a. Memimpin Organisasi b. Melaksanakan Keputusan Rapat Anggota c. Bertanggung jawab kepada anggota d. Melaksanakan program kerja dan keputusan lain yang ditetapkan oleh Rapat Anggota e. Menyelenggarakan hubungan dengan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri. f. Membina anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang. Pasal 13 Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang terdiri dari : a. Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
115
b. c.
Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)
Pasal 14 Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina bertugas memberikan saran, nasehat kepada pengurus menyangkut kebijakan pelaksanaan Keputusan Rapat Anggota, AD/ART dan pelaksanaan kegiatan. BAB V KEANGGOTAAN Pasal 15 Anggota (1) Anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang terdiri dari : a. Anggota Biasa; b. Anggota Kehormatan. (2) Anggota Biasa adalah : Warga masyarakat Pulau Panggang yang berminat dan ingin berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu. (3) Anggota Kehormatan adalah : Mantan anggota pengurus atau Badan Pembina yang karena jasanya kepada Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang diangkat sebagai Anggota Kehormatan.
(1) (2) (3) (4)
Pasal 16 Hak dan Kewajiban Anggota Anggota Biasa mempunyai hak suara, bicara, memilih dan dipilih. Anggota Kehormatan mempunyai hak bicara. Seluruh anggota wajib mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturanperaturan yang ditetapkan oleh pengurus. Setiap anggota wajib membayar uang pangkal dan iuran anggota.
Pasal 17 Hilangnya Keanggotaan dan Hak Membela Diri (1) Keanggotaan seseorang dinyatakan hilang jika yang bersangkutan : a. Mengundurkan diri b. Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga c. Melakukan perbuatan yang merugikan organisasi d. Meninggal dunia (2) Anggota yang diberhentikan dengan hubungan pasal 17 ayat (1)b dan ayat (1)c di atas mempunyai hak membela diri. BAB VI PERMUSYAWARATAN DAN KEPUTUSAN Pasal 18 Permusyawaratan (1) Permusyawaratan organisasi terdiri dari : a. Musyawarah Kelompok b. Rapat Anggota c. Rapat Pengurus (2) Musyawarah Kelompok a. Musyawarah Kelompok merupakan pemegang kekuasaan tertinggi organisasi untuk : - Menilai dan mensahkan laporan pertanggungjawaban pengurus - Meninjau, menetapkan dan mensahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga - Menetapkan program kerja - Memilih dan mensahkan Pengurus Pusat - Menetapkan hal-hal yang dipandang perlu. b. Musyawarah Kelompok diadakan 4 tahun sekali.
116
c.
Musyawarah Kelompok baru sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota. (3) Rapat Anggota a. Rapat Anggota merupakan pertemuan antara anggota, pengurus, pembina dan undangan untuk : - Mendiskusikan perkembangan yang bterjadi dalam kelompok - Meninjau dan mengevaluasi jalannya program-program yang sedang dilakukan - Menetapkan program kerja. b. Rapat Anggota dihadiri oleh pengurus, anggota dan undangan. c. Rapat Anggota diadakan minimal 4 kali dalam satu tahun. d. Rapat Anggota baru sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga jumlah anggota. (4) Rapat Pengurus a. Rapat Pengurus adalah forum tertinggi setelah Rapat Anggota untuk membahas pelaksanaan Program Kerja dan ketetapan-ketetapan organisasi. b. Rapat Pengurus dihadiri oleh Pengurus serta undangan. c. Rapat Pengurus diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu periode kepengurusan. Pasal 19 Keputusan (1) Pengambilan keputusan diusahakan secara musyawarah mufakat dan jika tidak dicapai kemufakatan maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. (2) Dalam hal terjadi suara seimbang keputusan diserahkan kepada kebijaksanaan pimpinan sidang. (3) Keputusan mengenai pemilihan seseorang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. BAB VII DANA Pasal 20 Dana Dana organisasi diperoleh dari : (1) Iuran anggota (2) Sumber yang tidak mengikat (3) Hasil usaha organisasi Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang. BAB VIII PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN ORGANISASI Pasal 21 Perubahan Anggaran Dasar Anggaran Dasar ini dapat diubah oleh Musyawarah Kelompok dengan persetujuan sekurangkurangnya separuh lebih satu dari jumlah suara. Pasal 22 Perubahan Organisasi (1) Pembubaran organisasi Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang hanya dapat dilakukan oleh Musyawarah Kelompok dengan persetujuan dua per tiga dari jumlah anggota yang hadir. (2) Jika Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang dibubarkan, maka hak milik dan kekayaan organisasi diatur dengan keputusan Musyawarah Kelompok. Pasal 23 Lain-lain (1) Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. (2) Dalam keadaan luar biasa Pengurus dapat mengambil kebijaksanaan dan dipertanggungjawabkan pada Musyawarah Kelompok. (3) Anggaran Dasar ini ditetapkan oleh Musyawarah Kelompok dan mulai berlaku sejak ditetapkan.
117
Lampiran 2. Anggaran Rumah Tangga Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang. ANGGARAN RUMAH TANGGA Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang BAB I NAMA Pasal 1 Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang merupakan organisasi masyarakat yang dapat menjadi tempat bernaung bagi semua anggota masyarakat yang memiliki minat dalam upaya untuk mengembangkan masyarakat dalam bidang ekonomi, budaya dan bidang lainnya.
(1)
(2)
BAB II LAMBANG DAN BENDERA Pasal 2 Lambang Kepengurusan Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang: a. Bentuk : b. Warna Dasar : c. Warna Gambar : d. Arti : Bendera Warna dasar .......... dan lambang terletak di .......... , serta ukuran bendera .......... cm (panjang) dan .......... cm (lebar).
BAB III ORGANISASI Pasal 3 Pengurus dapat membentuk Tim Kelompok atau Panitia untuk pelaksanaan suatu program yang mendesak. Pasal 4 Uraian tugas pengurus sebagai berikut: (1) Koordinator Kelompok: • Memimpin seluruh kegiatan Pengurus. • Memimpin persidangan dalam Musyawarah Kelompok, Rapat Anggota dan Rapat Pengurus. • Menandatangani persetujuan dan kontrak kerjasama serta bantuan-bantuan dari badan atau perorangan pada tingkat nasional dan internasional. • Menyampaikan laporan pertanggungjawaban organisasi dan pelaksanaan program kerja Pengurus kepada Musyawarah Kelompok. • Memimpin dan menyelenggarakan kegiatan administrasi Kelompok. • Bertanggungjawab atas penyelenggaraan Kantor Sekretariat Kelompok Pengelola Sea Farming. (2) Sekretaris Kelompok: • Melaksanakan tugas Koordinator Kelompok apabila Koordinator Kelompok berhalangan. • Pengaturan acara rapat/pertemuan rutin dan membuat notulen/berita acara setiap rapat/pertemuan. • Membantu Koordinator Kelompok dalam memimpin kantor Sekretariat Pengurus Kelompok Pengelola Sea Farming. • Menyiapkan Surat Keputusan/Kontrak. • Menyiapkan Judul/Acara Musyawarah Kelompok, Rapat Anggota dan Rapat Pengurus. • Menyiapkan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus kepada Musyawarah Kelompok. (3) Bendahara: • Mengusahakan dan mengelola dana organisasi. • Menandatangani bersama dengan Ketua Umum semua surat berharga yang diterima atau yang dikeluarkan organisasi yang jumlahnya lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
118
• Membuat Laporan pertanggungjawaban keuangan secara tertulis dan rinci setiap 6 (enam) bulan sekali ataupun sewaktu-waktu bila diminta oleh Pengurus. • Membuat neraca keuangan untuk keperluan Rapat Anggota, Rapat Pengurus dan Musyawarah Kelompok.
(1) (2) (3)
(1)
(2)
(1)
(2) (3)
(1) (2) (3)
BAB IV KEANGGOTAAN Pasal 5 Penerimaan Anggota Calon anggota mengajukan permintaan tertulis atau mengisi formulir untuk menjadi anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang kepada pengurus. Seseorang baru sah menjadi anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang setelah mengikuti masa penerimaan anggota sesuai syarat. Apabila syarat-syarat yang tersebut pada ayat (1) dan (2) di atas dipenuhi, maka kepada anggota tersebut diberikan tanda anggota setelah memperoleh persetujuan pengurus. BAB V HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA Pasal 6 Hak-hak anggota lainnya adalah: a. Mendapatkan perlindungan hukum dari organisasi; menyampaikan pendapat secara tertulis ataupun lisan untuk perbaikan organisasi b. Memperoleh publikasi/informasi dari pengurus organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Mendapatkan penjelasan secara lisan atapun tertulis tentang program kerja organisasi melalui pengurus; d. Memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di dalam program pembinaan dan pengembangan yang diselenggarakan organisasi melalui mekanisme yang ada. Kewajiban lainnya setiap anggota adalah: a. Memberikan partisipasi aktif, baik dalam bentuk materi, konsepsi maupun tenaga demi pengembangan Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang, yang pelaksanaannya disalurkan melalui pengurus. b. Menjaga nama baik dan membela kepentingan organisasi. c. Memelihara sarana dan prasarana organisasi. BAB VI PEMBERHENTIAN ANGGOTA Pasal 7 Pemberhentian keanggotaan karena pelanggaran atau perbuatan yang merugikan organisasi dinyatakan dengan surat keputusan pengurus, yang ditandatangani oleh Koordinator dan Sekretaris Pengurus. Sebelum dilakukan pemberhentian anggota yang bersangkutan harus diberitahu dan diberi kesempatan membela diri dalam waktu dua bulan. Tata cara membela diri sebagai berikut: a. Anggota mengajukan pembelaan kepada pengurus secara tertulis dan lisan. b. Keputusan pemberhentian diputuskan oleh rapat pengurus. BAB VII PERTEMUAN Pasal 8 Musyawarah Kelompok diselenggarakan oleh suatu Panitia Penyelenggara yang dibentuk oleh Pengurus. Panitia Penyelenggara wajib membuat laporan pertanggung jawaban tertulis kepada Pengurus atas penyelenggaraan Musyawarah Kelompok. Panitia Penyelenggara dinyatakan bubar setelah laporan pertanggungjawaban diterima dan diperiksa oleh suatu Tim Pemeriksa yang dibentuk.
119
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (2) (3)
(1)
(2) (3) (4) (5)
(1) (2) (3)
Pasal 9 Pemilihan Pengurus yang baru dilakukan dengan memilih Koordinator, Sekretaris dan Bendahara baru dengan tahap sebagai berikut: a. Pencalonan b. Perkenalan verifikasi calon c. Pengumpulan/pengambilan suara d. Perhitungan suara e. Pengesahan Untuk Koordinator sekurang-kurangnya harus ada dua orang calon yang memenuhi syarat: a. Sudah menjadi anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang sekurangkurangnya lima tahun b. Bekerja, berkantor atau berdomisi di wilayah Kelurahan Pulau Panggang Para calon Pejabat Pengurus Baru yang bukan Koordinator harus memenuhi syarat: a. Sudah menjadi anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang sekurangkurangnya tiga tahun b. Bekerja, berkantor atau berdomisi di wilayah Kelurahan Pulau Panggang Musyawarah Kelompok harus sudah mensyahkan sekurang-kurangnya Koordinator, Sekretaris dan Bendahara sebelum Musyawarah Kelompok ditutup. BAB VIII DANA Pasal 10 Pengurus wajib menyelenggarakan pembukuan atas setiap dana yang dimiliki, diterima dan dikeluarkan organisasi Bendahara wajib membuat laporan tertulis setiap bulan pertama, tahun kerja baru dan diberikan kepada masing-masing anggota pengurus Tidak membayar uang pangkal dan iuran merupakan pelanggaran Anggaran Dasar. Pembayaran uang pangkal dan iuran anggota dilaksanakan melalui pengurus. Pasal 11 Uang pangkal dan iuran anggota adalah: a. Anggota biasa – Perorangan: - uang pangkal sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) - Iuran sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah) setiap bulan b. Anggota biasa – Badan/Lembaga: - uang pangkal sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) - Iuran sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) setiap bulan Anggota kehormatan dibebaskan membayar iuran. Besarnya iuran dapat berubah sesuai dengan perkembangan keadaan atau nilai uang dan akan ditetapkan oleh Rapat Kerja Pusat Iuran dibayar terhitung sejak diterima menjadi anggota Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang Masing-masing pengurus harus memiliki buku daftar barang inventaris organisasi BAB IX PERUBAHAN DAN PEMBUBARAN Pasal 12 Anggaran Rumah Tangga dapat diubah oleh Musyawarah Kelompok Keputusan perubahan Anggaran Rumah Tangga baru sah apabila disetujui separuh lebih satu dari jumlah anggota. Untuk melaksanakan pembubaran organisasi harus dibentuk Panitia Pembubaran guna menyelesaikan segala sesuatu diseluruh ajjaran organisasi.
120
BAB X PENUTUP Pasal 13 (1) Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan ditetapkan oleh Pengurus dalam Peraturan Organisasi (2) Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan dalam Musyawarah Kelompok dan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
DITETAPKAN DI
:
PADA TANGGAL
:
PULAU PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU 22 Juni 2006
KETUA PENGELOLA KELOMPOK SEA FARMING
H. ALI MUHDIN
Lampiran 3. Nilai Skor Analisis Stakeholders
Pengaruh Narasumber
IIPB
P Pembudidaya ikan
P Pendeder
S Supplier
S Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS
K Ketiua RW
K Kelompok Sea Farming
IIPB
P Pembudidaya ikan
P Pendeder
S Supplier
Rata-Rata
K Kelompok Sea Farming
Rata-Rata
K Ketiua RW
Pemerintah
Kepentingan Narasumber
Aktor Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS S
Kelompok
5
5
5
5
4
3
3
4,29
5
4
5
5
4
4
4
4,43
POLAIRUD Dinas Perhubungan Aparat kelurahan Pembudidaya Ikan Kelompok Masyarakat Sea Farming
5 3 2 2 5 5
5 2 2 2 5 5
5 3 2 2 5 5
5 3 3 2 5 5
3 3 2 2 5 4
4 2 2 2 5 5
3 2 2 2 5 5
4,29 2,57 2,14 2,00 5,00 4,86
4 4 4 2 2 3
4 4 4 2 1 2
4 3 3 2 2 3
4 4 4 2 2 3
3 3 3 3 2 2
4 3 3 2 3 2
3 3 3 3 3 2
3,71 3,43 3,43 2,29 2,14 2,43
Pendeder Pedagang Pengumpul Perguruan tinggi
4 4 4
5 4 3
5 4 4
4 4 4
4 4 4
3 4 4
5 5 4
4,29 4,14 3,86
2 2 4
2 2 3
2 2 5
2 2 5
2 2 4
3 3 3
2 3 3
2,14 2,29 3,86
Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu
Masyarakat Swasta/Usaha Akademisi
122
Lampiran 4. Data perkembangan keramba Kelompok Sea farming A. Angkatan I No
Nama
1 2 3 4 5 6 7
FAKHRUDIN TEGUH.S. SAIMAN SURADI RUSLAN SAEPUDIN NAWAWI
8 9 10 11 12 13
ABDULLAH HABIBIE MARZUKI RAMELI AL HAKIM M. DARIP JUMLAH TOTAL Sumber : PKSPL (2009)
Jenis Karamba 2007 Apung & Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap & Apung Apung Apung Apung Apung Tancap Tancap Tancap&Apun Apung g Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap 2006 Apung
2008 Apung & Tancap Tancap Tancap & Apung Apung Apung Apung Apung Tancap Apung Apung Apung
Jumlah Lubang 2006 2007 2008 1 1&3 1&3 1 2
4 4
4 6
4 4 2 2&6
12 12 4 12
20 16 4 12
2 4 2 2 2 34
2 4 58
2 8 2 4 2 84
B. Angkatan II No 1 2
Nama
2006 Apung Apung
3 4 5 6
ABD. SYUKUR.R. JUNAEDI & H.SURURI FATAHULLAH ABD. SYUKUR.A. ZAKARIA JA’PAR
Tancap Apung Apung Tancap
7 8 9 10 11 12 13 14
ASNADI LA KARDI ABD.GHAFAR TASLIM IWAN ISKANDAR MARDANI UBAIDILLAH
Tancap Tancap Tancap Apung Apung Apung Tancap Tancap
15 16
JARWANTO SAHRIAL
Tancap Sewa karamba Tancap -
17 18 19 20 21
MAMAN.S. HASAN BASRI ABDULLAH.U. ABD. SYUKUR.S. AHAMAD BUANG JUMLAH TOTAL Sumber : PKSPL (2009)
Jenis Karamba 2007 Apung Apung
2008 Apung Apung
Jumlah Lubang 2006 2007 2008 2 6 6 2 4 9
Tancap Apung Apung Apung & Tancap Apung Tancap Apung Apung Apung Apung Tancap Tancap & Apung Tancap Apung
Tancap Apung apung Apung & Tancap Apung Apung Apung Apung Apung Apung Tancap Tancap & Apung Tancap Apung
2 4 1 6
2 4 4 6&6
2 6 6 6&6
2 2 2 4 4 2 2 4
6 2 2 4 4 6 4 6&9
2 2
2 6
6 6 12 10 4 6 4 12 & 45 2 8
Tancap Tancap Tancap Apung Tancap
Tancap Tancap Tancap Apung Tancap
2 45
2 2 4 2 2 95
2 2 4 8 2 174
123
Lampiran 4. (Lanjutan 1) C. Angkatan III No
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13 14 15 16 17 18 19
ROHIMIN M.ALI SAHRIL ROHMAN MAHYUDIN SAINI SANWANI SADIK AHMAD JURNI HASIM BASRI MARHADI SAMIUN WIJAYA YAKUB LEMAN MUKHLIS MUHAJIR ASEP
20
SUHARI
21 22 23. 24.
SUBUR MALIKI NURDIN AHYAT
25. 26. 27. 28. 29.
MUHEDAR Hj. SITI ROHMAH GOJALI HERMAN ISHAK JUMLAH TOTAL Sumber : PKSPL (2009)
2006 -
Jenis Karamba 2007 Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap Tancap Apung Tancap Tancap Tancap Apung Apung Apung Apung Tancap Apung Tancap Tancap Sewa Karamba
-
Sewa Karamba
-
Tancap Apung Tancap -
-
Apung -
2008 Tancap Tancap Tancap Tancap apung Tancap Apung Tancap Apung Tancap Apung Apung Apung Apung Apung Tancap Sewa Karamba Sewa Karamba Apung Apung Tancap Sewa Karamba Apung -
Jumlah Lubang 2006 2007 2008 2 2 2 2 2 2 2 2 2 6 2 2 6 6 2 2 2 2 2 4 2 4 4 8 2 10 2 4 1 2 4 2 2 4 1 1 -
1
1
-
2 2 1 -
2 2 1 1
-
2 -
2 74
50
Lampiran 5. Data Peminjaman benih dan pengembalian pinjaman dana bergulir anggota Kelompok Sea Farming REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN I : IKAN KERAPU MACAN : No.
Nama
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Tahap III (Th. 2008-2009)
Tahap II (Th. 2007-2008)
Tahap I (Th. 2006-2007) Tgl. Pgmbln Benih
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
1
Fakhrudin
9-Apr-06
200
2.000.000
2.000.000
-
9-Mar-07
400
4.000.000
4.000.000
2 3 4 5
Teguh Saiman Suradi Ruslan
19-Mar-06 19-Mar-06 9-Apr-06 6-Apr-06
200 200 200 200
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
-
15-Feb-07 9-Feb-07 16-Nov-07 23-May-07
400 400 600 400
4.400.000 4.400.000 6.000.000 4.400.000
4.400.000 6.000.000 -
4.400.000 4.400.000
6 7 8 9 10
Saepudin Nawawi Abdullah Habibie Marzuki
24-Mar-06 24-Mar-06 22-May-06 15-Jul-06 22-May-06
200 200 200 200 200
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
2.000.000 2.000.000 2.000.000 -
21-Feb-07 20-Jan-07
400 400
4.400.000 4.400.000
4.350.000 4.400.000
16-Jun-07
400
4.400.000
50.000 4.400.000 -
11 Rameli
26-May-06
200
2.000.000
-
2.000.000
-
12 Alhakim 13 M. Darip
28-May-06 25-Feb-08
200 200
2.000.000 2.000.000
-
2.000.000 2.000.000
-
2600
26.000.000
Total
16.000.000
2.000.000 2.000.000
10.000.000
3400
36.400.000
-
23.150.000
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
-
13.250.000
Tahap IV (Th. 2009-2010) Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrk n
23-Aug-08 5-Mar-08
200 400
2.200.000 4.400.000
12-Oct-08 27-Apr-08
200 400
2.200.000 4.200.000
1200
13.000.000
4.200.000
4.200.000
Sisa
-
Jumlah yg Masih Terhutang
-
2.200.000 4.400.000 -
-
4.400.000 2.200.000 4.400.000 4.400.000
2.200.000 -
-
2.250.000 2.000.000 4.400.000
-
-
2.000.000 2.000.000
-
-
2.000.000 2.000.000
-
32.050.000
8.800.000
-
-
-
Lampiran 5. (Lanjutan 1) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN II IKAN KERAPU MACAN Tahap II (Th. 2007-2008)
Tahap I (Th. 2006-2007) No.
1
Nama
Tgl. Pgmbln Benih
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Sisa
2
Abd.Syukur. R 28-Mei-06 Junaedi 28-Mei-06
200 200
2.000.000 2.000.000
2.000.000 2.000.000
-
26-May-07 23-Feb-07
400 400
4.400.000 4.000.000
4.400.000 4.000.000
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Fatahullah Abd.Syukur. M H. Sururi Zakaria Ja'far Asnadi La kardi Abd. Ghafar Taslim
14-Jul-06 14-Jul-06 14-Jul-06 14-Jul-06 15-Jul-06 15-Jul-06 15-Jul-06 16-Jul-06 16-Jul-06
200 200 200 200 200 200 200 200 200
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2 000 000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2 000 000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
-
10-Jan-07 18-May-07 9-Jun-07 24-May-07 16-Jun-07 21-Sep-07 25-May-07 23-May-07 21-May-07
400 400 400 400 400 400 400 400 400
4.000.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000 4 400 000 4.400.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000
4.400.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000
4.000.000 4.400.000 4.400.000 4 400 000 4.400.000 -
12 13 14 15
Iwan Iskandar Mardani Ubaidillah
16-Jul-06 16-Jul-06 21-Jul-06 17-Nov-06
200 200 200 200
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
-
23-Jun-07 22-Jul-07 27-Apr-07 24-Aug-07
400 400 400 400
4.400.000 4.400.000 4.400.000 4.400.000
4.400.000 -
4.400.000 4.400.000 4.400.000
16 Jarwanto 17 Sahrial 18 Maman. S
17-Jul-06 28-May-06 14-Jul-06
200 200 200
2.200.000 2.000.000 2.000.000
2.000.000 -
29-Mar-07
400
4.400.000
4.000.000
400.000
19 Hasan Basri
19-Sep-07
200
2.200.000
20 Abdullah. U 21 Abd.Syukur. S 22 Ahmad Buang
6-Nov-07 9-Mar-06 6-Sep-07
200 200 200
2.200.000 2.000.000 2.200.000
1.800.000 2.000.000 -
400.000 2.200.000
4400
44.800.000
35.800.000
9.000.000
Total
-
2.200.000 2.000.000 2.200.000
23-Aug-08
200
2.200.000
6600
71.800.000
2.200.000
Tahap IV (Th. 2009-2010)
Tahap III (Th. 2008-2009) Tgl. Pgmbln Benih
-
8-Oct-08 7-Oct-08
Jml. Ekor
200 200
Jml. Pnjmn
2.200.000 2.200.000
Jml. Yg Dibyrkn
2.200.000
7-Oct-08 5-Oct-08 7-May-08
200 400 200
2.200.000 4.200.000 2.200.000
2.200.000 4.200.000 -
16-Mar-08 23-Aug-08 11-Oct-08
400 400 200
4.300.000 4.300.000 2.200.000
2.000.000 4.300.000 1.200.000
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrk n
2.200.000 2.200.000 2.300.000 1.000.000
Sisa
-
200
2.200.000
-
2.200.000 4.000.000 4.400.000 6.600.000 4 400 000 4.400.000 4.500.000 1.000.000
-
4.400.000 4.400.000 1.100.000 4.400.000
-
-
2.200.000 400.000
-
-
-
2.000.000 2.200.000
-
-
-
400.000 2.200.000
71.800.000
13-Sep-08
200
2400
2.100.000
25.900.000
1.000.000
17.100.000
1.100.000 -
2.200.000 -
Jumlah yg Masih Terhutang
8.800.000
200
2.200.000
-
2.200.000
50.800.000
Lampiran 5. (Lanjutan 2) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN III IKAN KERAPU MACAN No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama
Tgl. Pgmbln Benih
Rohimin 21-Sep-07 M. Ali 06-Nop-07 Sahril 19-Sep-07 Rohman 19-Sep-07 Mahyudin 06-Nop-07 Tahir 06-Nop-07 Sanwani/As 19-Sep-07 Sadik 19-Sep-07 Ahmad Jurn 19-Sep-07 Hasim 06-Nop-07 Basri 19-Sep-07 Marhadi 06-Nop-07 Samiun 06-Nop-07 Wijaya 21-Sep-07 Yakub 19-Sep-07 Leman 19-Sep-07 Mukhlis 19-Sep-07 Muhajir 06-Nop-07 Asep Suhari 21-Feb-08 Subur 21-Feb-08 Maliki 21-Feb-08 Nurdin 3-Mar-08 Ahyat 21-Feb-08 Muhedar 12-Oct-08 Hj.Siti Rohmah Gojali 21-Feb-08 Herman Ishak 05-Mar-08 Total
Tahap I (Th. 2007-2008) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200
2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2 200 000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000
2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2 200 000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000
200 200 200 200 200 200
2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000
2.200.000 2.200.000 -
200
2.200.000
-
200
2.200.000
-
5200
57.200.000
39.600.000
Sisa 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 17.600.000
Tgl. Pgmbln Benih
Tahap II (Th. 2008-2009) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
06-Mar-08 24-Agust-08 23-Agust-08 06-Mar-08 19-Okt-08
200 200 200 200 200 200 200 200 200 400 200 200 400 200
2.200.000 2.100.000 2.100.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2 100 000 2.100.000 2.200.000 2.200.000 4.400.000 2.100.000 2.200.000 4.400.000 2.200.000
1.000.000 2.200.000 2.200.000 2 100 000 2.100.000 2.200.000 2.100.000 2.200.000 4.400.000 2.200.000
24-Agust-08
200
2.100.000
2.100.000
05-Okt-08
200
2.200.000
07-Sep-08
400
4.200.000
4000
43.300.000
23-Agust-08 13-Sep-08 13-Okt-08 19-Sep-08 17-Okt-08 30-Agust-08 23-Agust-08
Jml. Yg Dibyrkn
-
4.200.000
Sisa
Tgl. Pgmbln Jml. Benih Ekor
Tahap III (Th. 2009-2010) Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
2.200.000 2.100.000 2.100.000 1.200.000 2.200.000 4.400.000 2.200.000 43.300.000
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa -
-
-
-
-
-
-
-
-
2.200.000 2.100.000 2.100.000 1.200.000 2.200.000 4.400.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000
-
34.000.000
Lampiran 5. (Lanjutan 3) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN IV IKAN KERAPU MACAN No.
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sukma Rajiun Aldi Perman Mahiyin Nasru Asnawi Rosyid/Asha M Muslim li Andi Amin Asad Nanang Total
Tgl. Pgmbln Benih 27-Des-08 27-Des-08 27-Des-08 27-Des-08 11-Jan-09 12-Jan-09 01-Feb-09 19-Feb-09 19 F b 09 13-Feb-09
Tahap I (Th. 2008-2009) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200
2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2 200 000 2.200.000 2.200.000 2.200.000
2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.000.000 2.200.000 22.200.000 200 000 2.200.000 -
2.200.000 200.000 2.200.000 2.200.000
2200
24.200.000
17.400.000
6.800.000
Sisa
Tgl. Pgmbln Benih
Tahap II (Th. 2009-2010) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.200.000 200.000 2.200.000 2.200.000
-
6.800.000
Lampiran 5. (Lanjutan 4) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN I IKAN KERAPU BEBEK No.
Nama
Tgl. Pgmbln Benih
Tahap I (Th. 2007-2008) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Tahap II (Th. 2008-2009) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Tgl. Pgmbln Benih
Sisa
Tahap III (Th. 2009-2010) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
-
2.000.000
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa
1
Fakhrudin
20-Apr-07
100
2.000.000
2
Teguh
8-Apr-07
100
2.000.000
3
Habibie
10-Apr-07
100
2.000.000
2.000.000
-
-
-
-
4
Suradi
2-Apr-07
100
2.000.000
2.000.000
-
-
-
-
-
2.000.000
-
-
-
-
2.000.000
5
Ruslan
4-Apr-07
150
3.000.000
3.000.000
-
-
6
Saepudin
8-Apr-07
100
2.000.000
1.950.000
50.000
-
-
50.000
7
Nawawi
8-Apr-07
100
2 000 000 2.000.000
2 000 000 2.000.000
-
-
-
3 325 000 3.325.000
750
15.000.000
9.950.000
-
-
8.375.000
Total
27-Aug-09
5.050.000
133
3 325 000 3.325.000
-
3 325 000 3.325.000
133
3.325.000
-
3.325.000
0
-
3.000.000
ANGKATAN II IKAN KERAPU BEBEK No.
Nama
Tgl. Pgmbln Benih
Tahap I (Th. 2007-2008) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Sisa
Tahap II (Th. 2008-2009) Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Sisa
Abd.Syukur. R
6-Apr-07
150
3.000.000
2
Sahrial
6-Apr-07
100
2.000.000
3
Abd.Ghafar
17-Apr-07
150
3.000.000
3.000.000
-
-
4
Zakaria
29-Apr-07
100
2.000.000
2.000.000
-
-
5
H. Sururi
3-May-07
100
2.000.000
2.000.000
-
6
Taslim
4-May-07
100
2.000.000
2.000.000
-
7
Junaedi
2-Apr-07
100
2.000.000
2.000.000
8
Abd.Syukur. S
97
1.940.000
1.940.000
9
La kardi 897
17.940.000
-
15.940.000
-
Tgl. Pgmbln Jml. Benih Ekor
1
Total
3.000.000
Tgl. Pgmbln Jml. Benih Ekor
Tahap III (Th. 2009-2010) Jml. Pnjmn
Jml. Yg Dibyrkn
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa
-
2.000.000
-
-
27-Nov-08
100
2.600.000
1.800.000
-
27-Nov-08
100
2.600.000
2.600.000
-
2-May-08
100
2.500.000
300
7.700.000
2.000.000 -
800.000
800.000
-
-
-
-
2.000.000
4.400.000
2.500.000 3.300.000
-
-
-
-
2.500.000
-
5.300.000
Lampiran 5. (Lanjutan 5) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN III IKAN KERAPU BEBEK No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama
Rohimin M. Ali Sahril Rohman Mahyudin Saini Sanwani Sadik Ahmad Jurni Hasim Basri Marhadi Samiun Wijaya Yakub Leman Mukhlis Muhajir Asep Suhari Subur Maliki Nurdin Ahyat Muhedar Hj.Siti Rohmah Gojali Herman Ishak Total
Tgl. Pgmbln Benih
Tahap I (Th. 2008-2009) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
04-Agust-09
100
2.500.000
07-Nop-09
100
2.600.000
200
5.100.000
Jml. Yg Dibyrkn
2.500.000
-
2.500.000
Sisa
Tgl. Pgmbln Jml. Benih Ekor
Tahap II (Th. 2009-2010) Jml. Pnjmn
2.600.000 2.600.000
Jml. Yg Dibyrkn
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa -
-
-
-
-
-
-
-
2.600.000 -
-
2.600.000
Lampiran 5. (Lanjutan 6) REKAPITULASI PEMINJAMAN BENIH DAN PENGEMBALIAN PINJAMAN DANA BERGULIR ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN IV IKAN KERAPU BEBEK No.
Nama
1
Sukma
2
Rajiun
Tgl. Pgmbln Benih
30-Agust-09
Tahap I (Th. 2009-2010) Jml. Ekor
Jml. Pnjmn
100
2.800.000
Jml. Yg Dibyrkn
2.800.000
Jumlah yg Masih Terhutang
Sisa
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Aldi Permana
-
-
-
-
4
Mahiyin
-
-
-
-
5
Nasru
-
-
-
-
6
Asnawi
-
-
-
-
7
Rosyid
-
-
-
8
Muslim
-
-
9
Andi Amin
30-Agust-09
100
3.750.000
-
3.750.000
3.750.000
-
-
-
-
10 Asad
-
-
-
-
11 Nanang
-
-
-
-
Total
200
6.550.000
2.800.000
3.750.000
-
-
-
-
-
-
-
3.750.000
Lampiran 6. Analisis usaha budidaya ikan kerapu macan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan perairan Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. A. No. 1
2
3
4
Perkiraan Biaya Investasi Komponen Investasi
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Biaya (Rp)
Pembuatan jaring 4 lubang (@4x4m2) a. Jaring bago b. Jaring tutup c. Benang jahit d. Tali ris (5 mm) e. Tali jangkar (20 mm) f. Kayu meranti batu/MB (12/6) g. Drum h. Jangkar i. Baut j. Paku k. Upah kerja pembuatan
40 10 6 15 2 1,5 14 4 40 10 1
kg kg gulung kg gulung kubik buah buah buah kg unit
40.000 35.000 30.000 18.000 250.000 2.000.000 125.000 100.000 5.000 12.000 700.000 Jumlah
1.600.000 350.000 180.000 270.000 500.000 3.000.000 1.750.000 400.000 200.000 120.000 700.000 9.070.000
Rumah jaga (4x4 m2) a. Asbes 210x110 cm2 b. Balok (12x6) c. Tripleks d. Paku e. Papan f. Drum g. Upah kerja pembuatan
12 20 14 5 0,5 10 1
lembar batang lembar kg M3 buah unit
35.000 40.000 70.000 12.000 2.000.000 125.000 1.000.000 Jumlah
420.000 800.000 980.000 60.000 1.000.000 1.250.000 1.000.000 5.510.000
18.000 50.000 10.000 25.000 20.000 80.000 Jumlah
72.000 50.000 20.000 25.000 40.000 80.000 287.000
800.000 Jumlah
800.000 800.000
Peralatan pendukung a. Bak b. Aerator c. Serokan d. Golok e. Lampu badai f. Senter
4 1 2 1 2 1
Pembelian sampan
1 unit
Total Biaya Investasi Sumber : Syaifudin (2005) dan PKSPL (2007)
buah buah buah buah buah buah
15.667.000
B.
Perkiraan Biaya Penyusutan per Tahun
No.
Komponen Investasi
Umur Harga beli ekonomis (Rp) (tahun)
1 2 3 4
Pembuatan jaring 4 lubang (@4x4m2) Rumah jaga (4x4 m2) Peralatan pendukung Pembelian sampan Jumlah Biaya Penyusutan per tahun Sumber : Syaifudin (2005) dan PKSPL (2007)
C.
9.070.000 5.510.000 287.000 800.000
Jumlah
Satuan
-
Biaya Penyusutan (Rp) 1.814.000 1.102.000 57.400 160.000 3.133.400
Perkiraan Biaya Produksi
No.
Komponen Biaya
1
Biaya Tetap : a. Pemeliharaan (tenaga kerja 2 orang) b. Penyusutan Jumlah
2
5 5 5 5
Nilai sisa (Rp)
Biaya Variabel : a. Bibit (ukuran 10 cm) b. Pakan rucah c. Obat-obatan Jumlah
Biaya per unit (Rp)
Total (Rp)
12 1
bulan tahun
200.000 3.133.400
2.400.000 3.133.400 5.533.400
1000 3360 1
ekor kg paket
10.000 2.000 100.000
10.000.000 6.720.000 100.000 16.820.000
Jumlah Biaya Produksi (Total Cost /TC)
22.353.400
Sumber : Syaifudin (2005) dan PKSPL (2007)
D.
Perkiraan Harga Pokok Produksi Ikan Kerapu Macan
Harga Pokok Jumlah Panen Total produksi per Produksi/HPP Penebaran (90% No. Total Biaya Produksi per tahun (Rp) (ekor) tahun (1 (Rp/kg) populasi) ekor = 0,5 kg) 1 22.353.400 1.000 HPP = Total biaya produksi (Rp)/Total produksi (Kg)
900
450
49.674
B.
Perkiraan Biaya Penyusutan per Tahun
No.
Komponen Investasi
Umur Harga beli ekonomis (Rp) (tahun)
1 2 3 4
Pembuatan jaring 4 lubang (@4x4m2) Rumah jaga (4x4 m2) Peralatan pendukung Pembelian sampan Jumlah Biaya Penyusutan per tahun Sumber : Syaifudin (2005) dan PKSPL (2007)
C.
9.070.000 5.510.000 287.000 800.000
Jumlah
Satuan
-
Biaya Penyusutan (Rp) 1.814.000 1.102.000 57.400 160.000 3.133.400
Perkiraan Biaya Produksi
No.
Komponen Biaya
1
Biaya Tetap : a. Pemeliharaan (tenaga kerja 2 orang) b. Penyusutan Jumlah
2
5 5 5 5
Nilai sisa (Rp)
Biaya Variabel : a. Bibit (ukuran 10 cm) b. Pakan rucah c. Obat-obatan Jumlah
Biaya per unit (Rp)
Total (Rp)
12 1
bulan tahun
200.000 3.133.400
2.400.000 3.133.400 5.533.400
1000 3360 1
ekor kg paket
10.000 2.000 100.000
10.000.000 6.720.000 100.000 16.820.000
Jumlah Biaya Produksi (Total Cost /TC)
22.353.400
Sumber : Syaifudin (2005) dan PKSPL (2007)
D.
Perkiraan Harga Pokok Produksi Ikan Kerapu Macan
Harga Pokok Jumlah Panen Total produksi per Produksi/HPP Penebaran (90% No. Total Biaya Produksi per tahun (Rp) (ekor) tahun (1 (Rp/kg) populasi) ekor = 0,5 kg) 1 22.353.400 1.000 HPP = Total biaya produksi (Rp)/Total produksi (Kg)
900
450
49.674
Lampiran 7. Data produksi dan panen ikan kerapu anggota Kelompok Sea Farming REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN I IKAN KERAPU MACAN Tahap I (Th.2006 - 2007) No.
Nama
Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
1 2 3 4 5 6 7
Fakhrudin Teguh Saiman Suradi Ruslan Saepudin Nawawi
5-Nov-06 20-Dec-06 12-Jul-07 3-Feb-07 6-Jan-07 12-Jun-07 20-Dec-06
187 145 145 200 190 180 150
78,3 60 60 100 83 62 54
8 9 10 11 12 13
Abdullah Habibie Marzuki Rameli Alhakim M. Darip
10-May-07 10 May 07 10-Apr-07
152 120
67 38
1469
602
Total
Tahap III (Th. 2008-2009)
Tahap II (Th. 2007-2008) Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
24-Dec-07 25-Dec-08 15-Jul-08 10-Jun-08 10-Jul-08
Jumlah Jumlah Penjualan Ikan Penjualan Ikan (Ekor) (kg) 123 178 230 260
115,2 78 170 102,2
28 362 186
38,6 146,6 73,0
1367
724
Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
0
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
-
Tahap IV (Th. 2009-2010) Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
0
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
-
Nilai Penjualan (Rp)
Lampiran 7. (Lanjutan 1) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN II IKAN KERAPU MACAN Tahap II (Th. 2007-2008)
Tahap I (Th.2006 - 2007) No.
Nama
Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
Jumlah Jumlah Penjualan Ikan Penjualan Ikan (Ekor) (kg)
1 2
Abd.Syukur. R Junaedi
1-Mar-07 01-Mar-07
140 100
72 50
125 136
68 81,7
3 4 5
Fatahullah Abd.Syukur. M H. Sururi
22-Nop-07 01-Jun-07
217 170 120
80 47 53
21 22 35
6
Zakaria
01-Mei-07
140
57
47 70 140 96 76 74
7 8
Ja far Ja'far Asnadi
21-Mar-07 11-Jun-07
100 160
40 68
9
La kardi
1-Jun-07
180
60
10 Abd. Ghafar
1-Jun-07
183
98
11 Taslim 12 Iwan 13 Iskandar
14-May-07
123 180
50 70
14 15 16 17 18 19 20 21 22
11-May-07 10-Jun-07 20-May-07 16-Jul-10
Mardani Ubaidillah Jarwanto Sahrial Maman. S Hasan Basri Abdullah. U Abd.Syukur. S Ahmad Buang Total
Nilai Penjualan (Rp)
Tahap III (Th. 2008-2009) Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
Nilai Penjualan (Rp)
Tahap IV (Th. 2009-2010) Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
46 57 53
121 100 77 96 110 105 82
51 16,5 52,4 46,5 60,4 51 42
98 130
57 71
120 130 165 185
45 65 55 70
110 150
25 58
180
70
2673
1.063
1863
902
0
-
-
-
Nilai Penjualan (Rp)
Lampiran 7. (Lanjutan 2) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN III IKAN KERAPU MACAN Tahap I (Th. 2007-2008) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama
Rohimin M. Ali Sahril Rohman Mahyudin Tahir Sanwani/Aspuri Sadik Ahmad Jurni Hasim Basri Marhadi Samiun Wijaya Yakub Leman Mukhlis Muhajir Asep Suhari Subur Maliki Nurdin Ahyat Muhedar Hj.Siti Rohmah Gojali Herman Ishak Total
Tgl.
12-Agust-08
02-Mar-10 02-Mar-10
04-Mar-10
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
42 100
22,9 45
95 69 59 163 125 30 140 94 157 123 120
31,2 23,1 20,4 80,5 50,2 10 54 38 73 57 60
160
68
135
30
1612
663
Tahap II (Th. 2008-2009) Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
03-Jun-10
Jumlah Jumlah Penjualan Ikan Penjualan Ikan (Ekor) (kg)
84
68
84
68
Nilai Penjualan (Rp)
Tahap III (Th. 2009-2010) Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
-
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
-
Nilai Penjualan (Rp)
-
-
Lampiran 7. (Lanjutan 3) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN IV IKAN KERAPU MACAN Tahap I (Th. 2008-2009) No.
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sukma Rajiun Aldi Permana Mahiyin Nasru Asnawi Rosyid/Ashari Muslim Andi Amin Asad Nanang Total
Tgl.
23-Mei-10 25-Sep-09 23-Mei-10 12 Mei 200 22-Mei-10 23-Mei-10 29 Agst 2009 29-Agust-10
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
36
11
50
20,8
86
32
Tahap II (Th. 2009-2010) Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
Tahap IV (Th. 2009-2010)
Jumlah Jumlah Penjualan Ikan Penjualan Ikan (Ekor) (kg)
-
-
Nilai Penjualan (Rp)
Tgl.
Jumlah Penjualan Ikan (Ekor)
-
Jumlah Penjualan Ikan (kg)
-
Nilai Penjualan (Rp)
-
-
Lampiran 7. (Lanjutan 4) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN I IKAN KERAPU BEBEK
`
Tahap I (Th.2006 - 2007) No.
Nama Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
1
Fakhrudin
2
Teguh
30-Jul-08
86
34
3
Habibie
17-Jul-08
97
60
4
Suradi
25-Jul-08
95
63
5
Ruslan
12-Jul-08
45
18
6
Saepudin
23-Aug-08
51
21
7
Nawawi
20-Aug-08
84
40
458
236
Total
Tahap II (Th.2007 - 2008) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Tahap IV (Th. 2009-2010)
Tahap III (Th. 2008-2009) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Lampiran 7. (Lanjutan 5) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN II IKAN KERAPU BEBEK Tahap I (Th.2006 - 2007) No.
Nama
1
Abd.Syukur. R
2
Sahrial
3
Abd.Ghafar
4
Zakaria
5
H. Sururi
6
Taslim
7 8 9
La kardi
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
21-Jan-08
100
50
Junaedi
17-Des-10
82
26
Abd.Syukur. S
18-Feb-08
58
30
240
106
Total
Tahap II (Th. 2007-2008) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Tahap III (Th. 2008-2009) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Tahap IV (Th. 2009-2010) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jumlah penjualan ikan (ekor)
Jumlah penjualan ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Lampiran 7. (Lanjutan 6) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN III IKAN KERAPU BEBEK
No.
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Rohimin M. Ali Sahril Rohman Mahyudin Saini Sanwani Sadik Ahmad Jurni Hasim Basri Marhadi Samiun Wijaya Yakub Leman Mukhlis Muhajir Asep Suhari Subur Maliki Nurdin Ahyat Muhedar Hj.Siti Rohmah Gojali Herman Ishak Total
Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Nilai Jml Pen Jml Pen Penjualan Ikan (ekor) Ikan (kg) Ikan (Rp)
Tahap IV (Th. 2009-2010)
Tahap III (Th. 2008-2009)
Tahap II (Th. 2007-2008)
Tahap I (Th.2006 - 2007)
Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Lampiran 7. (Lanjutan 7) REKAPITULASI PRODUKSI DAN PANEN IKAN KERAPU ANGGOTA KELOMPOK SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU ANGKATAN IV : B. KERAPU BEBEK : Tahap II (Th. 2007-2008)
Tahap I (Th.2006 - 2007) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama
Sukma Rajiun Aldi Permana Mahiyin Nasru Asnawi Rosyid Muslim Andi Amin Asad Nanang Total
Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Nilai Jml Pen Jml Pen Penjualan Ikan (ekor) Ikan (kg) Ikan (Rp)
Tahap III (Th. 2008-2009) Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Tahap IV (Th. 2009-2010) Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Tgl.
Jml Pen Ikan (ekor)
Jml Pen Ikan (kg)
Nilai Penjualan Ikan (Rp)
Lampiran 8. Hasil Skor dalam Analisis Evaluasi Skenario Program SKENARIO A
Domain
Indikator
1
2
3
4
5
Responden 6 7
8
9
10
11
Skor Rata-rata
Lingkungan
Luas kegiatan Sea Farming yg dilaksanakan
7
1
1
1
3
1
6
3
5
7
9
4
Sosial Ekonomi
Jumlah RT yg tersosialisasi program Keterlibatan masyarakat
2 1
2 2
1 1
2 2
3 3
2 2
6 6
2 2
5 5
5 5
7 7
3 3
Kelembagaan
Tata kelembagaan program Peran institusi terkait dalam pencapaian tujuan program
1 1
2 3
2 2
7 7
9 9
7 7
1 6
2 7
2 5
2 2
1 1
3 5
Pengelolaan Program
Efisiensi & efektivitas anggaran Mekanisme koordinasi Kesesuaian dengan tujuan program Pengalaman berusaha SDM Kemampuan dan keterampilan SDM Perilaku SDM (kejujuran, tanggungjawab) Pengembalian dana pinjaman
1 1 9 5 8 3 1
2 2 2 2 1 2 2
2 2 3 1 1 1 1
2 7 2 2 2 2 9
2 9 9 2 2 2 8
2 6 7 1 1 1 7
1 1 7 2 2 2 1
2 6 2 1 1 1 1
1 5 2 1 1 1 1
1 1 2 5 2 2 2
1 1 1 2 1 1 1
2 4 4 2 2 2 3
Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11
Irzal Effendi (IPB) Luky Adrianto (IPB) Agus Rokhimat (Suku Dinas Kelautan & Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) Saefudin (Anggota & Sekretaris Kelompok Sea Farming) Surade (Anggota & Bendahara Kelompok Sea Farming) Nawawi (Anggota & Keamanan Kelompok Sea Farming) Abdul Syukur (Ketua RW 01) H. Mus (Ketua RW 02) Jayadi (Ketua RT 02) Ruslan (Supplier) Pupung (Supplier)
SKENARIO B
Domain
Indikator
1
2
3
4
5
Responden 6 7
8
9
10
11
Skor Rata-rata
Lingkungan
Luas kegiatan Sea Farming yg dilaksanakan
9
5
9
9
9
9
7
9
9
9
8
8
Sosial Ekonomi
Jumlah RT yg tersosialisasi program Keterlibatan masyarakat
9 9
5 3
9 9
9 9
7 7
9 9
9 9
9 9
9 9
5 5
7 7
8 8
Kelembagaan
Tata kelembagaan program Peran institusi terkait dalam pencapaian tujuan program
9 9
3 4
7 9
9 9
7 7
9 9
7 7
5 9
7 9
5 5
4 4
7 7
Pengelolaan Program
Efisiensi & efektivitas anggaran Mekanisme koordinasi Kesesuaian dengan tujuan program Pengalaman berusaha SDM Kemampuan dan keterampilan SDM Perilaku SDM (kejujuran, tanggungjawab) Pengembalian dana pinjaman
9 9 1 5 5 9 9
4 3 4 5 4 3 4
3 9 4 4 5 9 4
5 9 7 5 5 5 9
7 7 8 7 7 7 7
9 9 9 9 9 9 9
5 5 5 5 5 5 5
5 5 4 4 4 4 4
7 7 7 7 7 7 7
3 3 2 5 5 5 5
2 2 2 7 5 3 2
5 6 5 6 6 6 6
Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11
Irzal Effendi (IPB) Luky Adrianto (IPB) Agus Rokhimat (Suku Dinas Kelautan & Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) Saefudin (Anggota & Sekretaris Kelompok Sea Farming) Surade (Anggota & Bendahara Kelompok Sea Farming) Nawawi (Anggota & Keamanan Kelompok Sea Farming) Abdul Syukur (Ketua RW 01) H. Mus (Ketua RW 02) Jayadi (Ketua RT 02) Ruslan (Supplier) Pupung (Supplier)
SKENARIO C
Domain
Indikator
1
2
3
4
5
Responden 6 7
8
9
10
11
Skor Rata-rata
Lingkungan
Luas kegiatan Sea Farming yg dilaksanakan
1
1
1
1
2
1
1
2
1
3
2
1
Sosial Ekonomi
Jumlah RT yg tersosialisasi program Keterlibatan masyarakat
1 1
1 1
1 1
1 1
2 2
2 2
1 1
2 2
1 1
2 2
1 1
1 1
Kelembagaan
Tata kelembagaan program Peran institusi terkait dalam pencapaian tujuan program
1 1
1 1
1 1
1 1
2 2
1 1
1 1
1 1
1 1
2 2
1 1
1 1
Pengelolaan Program
Efisiensi & efektivitas anggaran Mekanisme koordinasi Kesesuaian dengan tujuan program Pengalaman berusaha SDM Kemampuan dan keterampilan SDM Perilaku SDM (kejujuran, tanggungjawab) Pengembalian dana pinjaman
1 1 1 2 2 2 1
1 2 1 1 1 2 1
1 1 1 1 1 1 1
1 2 1 2 2 2 1
2 2 1 1 1 1 1
1 1 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1
1 1 2 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11
Irzal Effendi (IPB) Luky Adrianto (IPB) Agus Rokhimat (Suku Dinas Kelautan & Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) Saefudin (Anggota & Sekretaris Kelompok Sea Farming) Surade (Anggota & Bendahara Kelompok Sea Farming) Nawawi (Anggota & Keamanan Kelompok Sea Farming) Abdul Syukur (Ketua RW 01) H. Mus (Ketua RW 02) Jayadi (Ketua RT 02) Ruslan (Supplier) Pupung (Supplier)