ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb PADA AIR dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU PANGGANG-PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
AHMAD MUHTADI RANGKUTI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb PADA AIR dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU PANGGANG-PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Ahmad Muhtadi Rangkuti
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, dan Pb Pada Air dan Sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama Mahasiswa
: Ahmad Muhtadi Rangkuti
Nomor Pokok
: C24104037
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan
Menyetujui: I. Komisi Pembimbing Ketua
Anggota
Dr. Ir. Etty Riani H., M.S
Dr.Ir. Hefni Effendi, M.Phil
131 619 682
131 841 731
Mengetahui II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M. Sc 131 578 799
Tanggal Lulus : 31 Desember 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd, dan Pb PADA AIR dan SEDIMEN di PERAIRAN PULAU PANGGANG-PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Ahmad Muhtadi Rangkuti C24104037
Ahmad Muhtadi Rangkuti. C24104037. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, dan Pb Pada Air dan Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta (Dibimbing oleh Dr. Ir. Etty Riani H., MS, dan Dr. Ir. Hefni Effendi M.Phil). RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd, dan Pb pada air dan sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu, mengetahui apakah perairan Pulau Panggang-Pramuka sudah tercemar ataupun tidak berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah/lembaga yang berwenang, dan mengetahui hubungan kandungan logam berat pada air dan sedimen. Penelitian dilakukan di perairan pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu, Jakarta. Penelitian berlangsung mulai April sampai Oktober 2008. Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian didasarkan pada kegiatan masyarakat di sekitar Pulau Pramuka sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, lokasi konservasi dan juga sebagai lokasi usaha budidaya perikanan (budidaya ikan bandeng). Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air dan cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen. Pengukuran logam berat menggunakan AAS (atomic absorption spectrofotometry). Untuk mengetahui keeratan hubungan logam berat antara di air dan sedimen dibuat analisis regresi dan korelasi. Hasil analisa logam berat pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka dibandingkan dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Tahun 2004. Hasil analisa logam berat dalam sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997). Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0011-0,0019 ppm dengan rata-rata 0,0015 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,1957-1,8485 ppm dengan rata-rata 0,7817 ppm. Kadmium pada air berkisar antara 0,0014-0,0040 ppm dengan rata-rata 0,0017 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,1536-3,0244 ppm dengan rata-rata 0,6245 ppm. Timbal pada air berkisar antara 0,0062-0,0074 ppm dengan rata-rata 0,0067 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,4260-1,5770 ppm dengan rata-rata 0,7707 ppm. Berdarakan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada air di perairan Pulau Panggang-Pramuka telah tercemar oleh Merkuri dan kadmium. Pada sedimen telah tercemar ringan oleh logam berat merkuri.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbilalamin, puji dan syukur hanyalah patut disanjungkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Skripsi ini berjudul Analisis Kandungan Logam Berat Pada Air dan Sedimen di perairan Pulau PanggangPramuka Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjanana Perikanan (SPi) di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada Skripsi ini mencakup enam bagian utama ditambah satu bagian yaitu pendukung yaitu lampiran. Ke enam bagian tersebut adalah bagian pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani H., MS dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Januari 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahi rabbilalamin, puji dan syukur hanyalah patut disanjungkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan setingi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Etty Riani MS dan Dr. Ir. Hefni Effendi M.Phil sebagai pembimbing I dan II, atas segala bimbingan, arahan, dan motivasinya. 2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai penguji tamu, atas kritik dan saran serta diskusi dari bapak. 3. Dr. Ir. Yunizar Ernawati MS sebagai penguji dari komsisi pendidikan MSP atas kritik dan saran yang diberikan. 4. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik atas segala motivasi dan saran yang diberikan. 5. Keluarga Rangkuti tercinta (Ayah, Umak, B’ Landong, B’ Muktar, B’ Arman, Sanah, dan Syafii) atas segala dukungannya baik moril maupun materil yang tidak ternilai harganya 6. Keluarga Pak Harsono (Bapak, Ibu dan Reza/kakak) atas segala bantuannya dan, motivasinya 7. Harry Djouhari Sudrajat yang telah mengikutkan saya dalam penelitian di Kepulauan Seribu serta Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (Bu Helma, dkk segala atas bantuan analisisnya). 8. Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan/PROLING MSP (Bu Ana, Aryo, Aay, Ami, Ichel, Wai, dan Widia,) untuk pinjaman alat dan analisa contoh 9. Suku Dinas Perikanan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Ikatan Alumni MSP21, POM IPB, Ikatan Alumni FPIK; Yayasan ORBIT, Yayasan Goodwill International, rekan-rekan MSP’41, rekan-rekan Ikmamadina-Bogor, penghuni Wisma Byru, IPB, khususnya MSP (dosen, staf, dan pegawai lainnya) yang telah menerima dan mendidik serta membentuk kepribadian saya di kampus tercinta ini serta seluruh pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa disebutkan satu persatu.
Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari) Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan, Alllah mmpunyai karunia yang besar (QS. Ali Imran: 173-174).
Karya kecil ini kupersembahkan untuk kedua
orang tuaku tercinta
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
iii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan ....................................................................................................... 1.4 Manfaat ....................................................................................................
1 3 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam Berat ................................................................................................ 2.1.1 Pencemaran dan toksisitas logam berat ............................................. 2.1.2 Karakteristik logam berat Merkuri (Hg) ..................................................................................... Kadmium (Cd) ................................................................................... Timbal (Pb) ......................................................................................... 2.1.3 Logam berat di air ............................................................................... 2.1.4 Logam berat di sedimen ..................................................................... 2.2 Parameter fisika dan kimia perairan ............................................................ 2.2.1 Suhu .................................................................................................... 2.2.2 Kekeruhan ...................................................................................... 2.2.3 Salinitas .......................................................................................... 2.2.4 Derajat keasaman (pH) ................................................................... 2.2.5 Oksigen terlarut (DO) ..................................................................... 2.2.6 Kesadahan ...................................................................................... 2.3 Keadaan umum lokasi penelitian ............................................................
5 6 7 11 13 14 15 19 19 20 21 22 23 26 28
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian .................................................................... 3.2 Alat dan bahan ........................................................................................ 3.3 Metode pengambilan sampel .................................................................. 3.4 Prosedur kerja .......................................................................................... 3.4.1 Preparasi sampel ............................................................................. 3.4.2 Penentuan konsentrasi logam berat ................................................ 3.5 Analisis data ............................................................................................. 3.5.1 Koefesien korelasi (r) ...................................................................... 3.5.2 Analisa deskriptif ............................................................................
30 31 31 33 33 33 33 33 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter fisika dan kimia ....................................................................... 4.1.1 Suhu ................................................................................................
35 35
4.1.2 Kekeruhan ....................................................................................... 4.1.3 Salinitas ........................................................................................... 4.1.4 Derajat keasaman (pH) .................................................................... 4.1.5 Oksigen terlarut (DO) ..................................................................... 4.1.6 Kesadahan ....................................................................................... 4.2 Logam berat di air .................................................................................... 4.2.1 Merkuri (Hg) ................................................................................... 4.2.2 Kadmium (Cd) ................................................................................ 4.2.3 Timbal (Pb) ..................................................................................... 4.3 Logam berat di sedimen ........................................................................... 4.3.1 Merkuri (Hg) ................................................................................... 4.3.2 Kadmium (Cd) ................................................................................ 4.3.3 Timbal (Pb) ..................................................................................... 4.4 Korelasi logam berat antara air dan sedimen ...........................................
36 37 38 40 42 43 43 46 48 52 52 54 56 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 5.2 Saran .........................................................................................................
61 61
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
62
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman 1. Standar baku mutu air laut untuk biota laut terhadap logam berat .......
15
2. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen ..........................................
18
3. Baku mutu logam berat dalam sedimen ...............................................
18
4. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan klorida ...
24
5. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan salinitas (dalam µmol/kg)....................................................................................
24
6. Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan..................................
27
7. Stasiun pengambilan contoh pada perairan Pulau Panggang, Pramuka, dan Karya .................................................................................... 30 8. Parameter, metoda atau alat yang digunakan untuk analisa kualitas air perairan Pulau Panggang-Pramuka ...................................................... 32 9. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut Tahun 2004 (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004) .........................................
34
10. Baku mutu logam berat dalam sedimen menurut IADC/ CEDA (1997). ......................................................................................
34
11. Kualitas air di perairan Pulau Panggang-Pramuka ................................
42
12. Kandungan logam berat pada air di daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya ..............................................................................................
52
13. Kandungan logam berat dalam sedimen di daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya .......................................................................................
58
14. Korelasi logam berat anatara air dan sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka ..............................................................................
60
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ..........................................
4
2. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg .........
10
3. Distribusi vertikal O 2 terlarut (Chester, 1990 in Sanusi, 2006) ..........
25
4. Peta lokasi penelitian ..........................................................................
31
5. Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka .....
44
6. Rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
45
7. Kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka ...
47
8. Rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
48
9. Kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka ........
49
10. Rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
50
11. Kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
53
12. Rata-rata kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka ............................................................................
54
13. Kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
55
14. Rata-rata kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka ............................................................................
56
15. Kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau PanggangPramuka ..............................................................................................
57
16. Rata-rata kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka ............................................................................
57
17. Prinsip kerja spektrofotometrik ..........................................................
76
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman 1. Data logam berat pada air ................................................................
66
2. Data logam berat pada sedimen .......................................................
70
3. Grafik korelasi logam berat antara air dan sedimen ........................
72
4. Pengukuran kandungan logam berat ................................................
76
5. Baku mutu air laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk biota laut Nomor: 51 Tahun 2004) ........................................
78
6. Foto dokumentasi ............................................................................
80
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih luas dibanding daratannya, diperkirakan dua per tiga wilayah Indonesia adalah perairan laut yang terdiri dari perairan pesisir (continental shelf), teluk, selat, dan laut lepas. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau sekitar 17.508 pulau, akan tetapi hanya ada beberapa pulau besar yakni Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan Flores, sedangkan sisanya merupakan pulau-pulau kecil yang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Pulau-pulau kecil ini, secara individu ataupun gugusan memiliki potensi ekologi dan ekonomi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Mengingat keberadaan dan potensinya, pemerintah Indonesia akhir-akhir ini menggiatkan pembangunan ekonomi di pulau-pulau kecil. Salah satu pulau kecil yang banyak mendapat perhatian pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhir-akhir ini adalah gugusan Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu berdasarkan Undang-undang nomor 34 tahun 1999, ditetapkan sebagai salah satu kabupaten administrasi setingkat dengan wilayah tingkat II di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dari 110 pulau dan diantaranya 11 pulau yang berpenghuni. Kepulauan Seribu terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kepulauan Seribu Utara dengan jumlah penduduk 19.593 jiwa. Salah satu pulau yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak 70 mil dari Jakarta dan Pulau Untung Jawa paling selatan dengan jarak 37 mil dari Jakarta. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan 13 sungai yang bermuara ke dalamnya, yakni 3 sungai besar (Sungai Bekasi, Sungai Ciliwung, dan Sungai Citarum) dan 10 sungai kecil (Sungai Kamal, Sungai Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan). Sangat disayangkan ke-13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tersebut membawa air yang tercemar, terlihat dari warnanya yang hitam pekat dan bau yang sangat menyengat.
Adanya limbah dari kegiatan manusia akan mencemari perairan, baik limbah organik maupun anorganik. Pencemaran air oleh komponen anorganik, diantaranya adalah berbagai macam pencemaran logam berat yang berbahaya bagi sistem perairan, termasuk biota-biota yang terdapat di dalamnya. Beberapa logam berat banyak digunakan dalam berbagai keperluan, secara rutin diproduksi pada kegiatan industri. Penggunaan logam-logam berat tersebut secara langsung maupun tidak langsung atau sengaja maupun tidak sengaja telah mencemari lingkungan. Sebenarnya secara alamiah logam berat sudah terdapat di alam yang bersumber dari pelapukan secara kimiawi bebatuan, debu yang mengandung logam dari aktivitas gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah serta aerosol dan partikulat dari permukaan lautan (Connell dan Miller, 1995). Menurut Connell dan Miller (1995), logam merupakan konduktor listrik yang baik, memiliki konduktivitas panas, mudah ditempa serta memiliki keelektropositipan yang tinggi. Logam bereaksi sebagai penerima dan pemberi pasangan elektron untuk membentuk berbagai gugus kimia seperti pasangan ion, kompleks logam, senyawa koordinasi atau suatu kompleks donor-akseptor. Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam ditemukan dan menetap di alam, tetapi bentuk dan struktur kimianya berubah akibat pengaruh fisikakimia, biologis dan aktivitas manusia (Lu, 2006). Logam bermanfaat bagi manusia karena penggunaannya untuk bidang industri, pertanian atau kedokteran. Di lain pihak, logam berbahaya bagi manusia dan lingkungan bila terdapat dalam makanan, air atau udara. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit dihilangkan, dapat terakumulasi dalam organisme laut termasuk kerang, ikan dan sedimen, memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut serta memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Logam berat yang masuk ke perairan pada kadar di luar batas yang diperkenankan akan mencemari perairan laut. Logam berat, selain mencemari perairan juga akan mengendap pada sedimen yang
memilki waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun. Logam berat juga akan terkosentrasi dalam tubuh makhluk hidup melalui proses bioakumulasi (Darmono, 2001). Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme melalui tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi melalui permukaan kulit (Mendelli, 1976 in Hutagalung, 1984). Pencemaran logam berat akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan perairan, termasuk organisme yang terdapat di dalamnya. Logam berat yang terdapat pada bahan makanan, berbahaya bagi kesehatan. Logam berat yang sering ditemukan pada bahan makanan dari laut umumnya berasal dari perairan.
Informasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta
sebenarnya sudah banyak diteliti, namun penelitian tersebut masih terbatas di lokasi yang berdekatan dengan pantai utara Jakarta, sedangkan penelitian pencemaran logam berat di perairan Kepulauan Seribu masih jarang diteliti. Adapun jenis-jenis logam berat yang mencemari perairan tersebut diantaranya adalah merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb). Kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk pengelolaan perairan Kepulauan Seribu, khususnya perairan Pulau Panggang-Pramuka di masa yang akan datang, terkait dengan kandungan logam berat di perairan tersebut.
1.2 Perumusan masalah Pembuangan limbah yang mengandung logam berat akan menimbulkan dampak pencemaran bagi ekosistem perairan. Pencemaran ini akan menimbulkan penurunan kualitas perairan. Pada dasarnya suatu ekosistem memiliki kemampuan pulih diri (self purification) terhadap adanya masukan bahan pencemar ke perairan. Namun jika pembuangan limbah terus menerus tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan peningkatan bahan pencemar di perairan dan akan terakumulasi pada sedimen. Kejadian ini jika dibiarkan begitu saja akan menimbulkan perubahan ekosistem perairan bahkan biota-biota tertentu yang tidak dapat mentolerir pencemaran tersebut dapat terancam keberadaannya. Untuk lebih jelasnya kerangka pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.
Alamiah
Aktivitas manusia
Logam berat
Kualitas perairan
Pencemaran
Biota perairan
Ekosistem perairan Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd, dan Pb di perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu; 2. Mengetahui konsentrasi logam berat Hg, Cd, dan Pb pada sedimen; 3. Mengetahui apakah perairan Pulau Panggang-Pramuka sudah tercemar ataupun tidak berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah/lembaga yang berwenang; 4. Mengetahui hubungan kandungan logam berat di air dan sedimen.
1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi mengenai logam berat di perairan Pulau Panggang-Pramuka dan bagaimana hubungannya dengan pencemaran logam berat pada perairan. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan perairan Kepulauan Seribu, khususnya perairan Pulau Panggang-Pramuka, baik untuk kegiatan budidaya (marine culture) maupun kegiatan penangkapan, dalam rangka mewujudkan sumberdaya perikanan bebas logam berat.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam berat Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Menurut Vries et al (2002), logam berat termasuk ke dalam logam transisi dan umumnya bersifat trace element. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif (Baird, 1995). Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh sinergik antar logam, efek sub letal, bioakumulasi dan bahayanya terhadap orang yang mengkonsumsi ikan maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), emas (Ag), Nikel (Ni), timah hitam (Pb), arsen (Ar), selenium (Sn), seng (Zn) (Darmono, 1995). Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Moore dan Ramamoorthy, 1984) yaitu : 1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan); 2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan; 3) Memiliki EC 10 dan LC 50 - 96 jam yang rendah; 4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut; 5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut
pula koefisien bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh biota akuatik dan kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air. Kandungan kelompok anorganik logam di perairan alami sangat rendah (trace element). Kelompok logam berat yang termasuk bersifat esensial adalah Cr, Ni, Cu, Zn dan yang bersifat non esensial adalah As, Cd, Pb, Hg. Elemen yang bersifat esensial dibutuhkan dalam proses kehidupan biota akuatik. Kelompok elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi kehidupan biota akuatik, terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam perairan (Sanusi, 2006).
2.1.1 Pencemaran dan toksisitas logam berat Menurut Dahuri (2003), pencemaran laut didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia. GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), in Sanusi (2006) mendefenisikan pencemaran laut sebagai masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Karakteristik fisik dan kimia yang dimiliki suatu jenis bahan pencemar atau limbah menentukan sifat toksik dan persistensinya (mudah atau sulit terurai) dalam perairan laut. Lingkungan atau ekosistem laut yang mengalami gangguan kesetimbangan akibat polutan, dapat bersifat tetap (irreversible) atau sementara (reversible) bergantung pada faktor-faktor berikut (Sanusi, 2006):
1) Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya pengaruh perubahan; 2) Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk kelangsungan proses-proses normal ekosistem; 3) Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan terhadap gangguan eksternal; 4) Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan; 5) Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan dimana daya pulih (recovery) masih memungkinkan. Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984 in Darmono, 2001). Hutagalung (1984) menyatakan selain suhu dan pH, salinitas dan kesadahan juga mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya dengan suhu, toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu. Kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. Logam berat yang terdapat di lingkungan perairan dapat diketahui melalui media air, sedimen maupun organisme hidup.
2.1.2 Karakteristik logam berat Merkuri (Hg) Merkuri dalam bahasa latin dikenal dengan nama hydrargyrum, dalam bahasa yunani di kenal hydragyros atau liquid silver yang berarti cairan berwarna perak. Merkuri disingkat dengan Hg. Merkuri pada tabel periodik terdapat pada golongan XII D, periode VI, memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol (Cotton dan Wilkinson, 1989). Sifat-sifat merkuri, berdasarkan Darmono (1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005), adalah:
1) Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair pada suhu kamar (25oC) dan memiliki titik beku yang paling rendah dibanding logam lainnya, yaitu -39oC; 2) Memiliki kisaran suhu yang luas untuk kondisi merkuri dalam bentuk cair, yaitu 396 oC; 3) Memiliki volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya; 4) Merupakan konduktor yang baik karena memiliki ketahanan listrik yang rendah; 5) Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang disebut logam campuran (amalgam/alloy); 6) Merkuri dan komponen-komponennya bersifat toksik terhadap semua makhluk hidup. Berdasarkan Effendi (2003); Fardiaz (2005); Lu (2006); Sanusi (2006), menyebutkan bahwa merkuri di alam terdapat dalam bentuk: 1) Merkuri anorganik, termasuk logam merkuri (Hg2+) dan garam-garamnya seperti merkuri klorida (HgCl 2 ) dan merkuri oksida (HgO 2 ); 2) Komponen merkuri organik atau organomerkuri, terdiri dari: a) Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat b) Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri c) Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg). Senyawa merkuri banyak dipakai dalam pembuatan amalgam, cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird, 1995; Darmono, 1995; Effendi, 2003; Fardiaz, 2005). Logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Pada alat-alat pencatat suhu seperti termometer cairan yang dipakai pada umumnya adalah
logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu yang luas, uniform, pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz, 2005). Sumber alami merkuri adalah cinnabar (HgS), mineral sulfida, misalnya sphalerite (ZnS), chalcopyrite (cuFeS) dan galena (PbS). Pelapukan bermacammacam batuan dan erosi tanah dapat melepas merkuri ke dalam perairan (Effendi, 2003). Penambangan, peleburan, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi baja, semen dan fosfat juga merupakan sumber merkuri yang dapat menambah keberadaannya di alam (Lu, 2006). Di perairan alami logam berat Hg terdapat dalam bentuk Hg0, Hg+ dan Hg2+ yang ditentukan oleh kondisi reduksi atau oksidasi. Perairan dimana terdapat oksigen terlarut cukup baik, maka Hg2+ terlarut menjadi dominan. Dalam keadaan reduksi atau fakultatif akan terbentuk Hg0 dan Hg+, dan apabila terdapat sulfit akan terbentuk senyawa HgS. Di perairan yang tidak tercemar, kadar Hg2+ terlarut sekitar 0,02 – 0,1 mg/l (air tawar) dan < 0,01 – 0,03 mg/l (air laut) (Sanusi, 2006). Kadar merkuri yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,3 µg/liter (Moore, 1991 in Effendi, 2003). Senyawa organik-Hg yang membentuk ikatan dengan ligan anorganik (CH 3 -HgCl) memiliki sifat amphiphilic, yaitu larut dalam air (hydrophilic) maupun dalam lipida (lipophilic) yang merupakan senyawa bersifat larut dalam air dan tidak stabil. Sementara CH 3 -Hg+ dan (CH 3 ) 2 -Hg bersifat tidak larut dalam air, persisten dan mudah menguap. Dari beberapa senyawa organik-Hg, yang bersifat toksik adalah CH 3 -Hg+ yang terbentuk oleh proses metilasi dalam perairan, seperti ditampilkan dalam reaksi (Baird, 1995): HgS
Hg0
Hg2+
CH 3 -Hg+
(CH 3 ) 2 -Hg
C 2 H 5 Hg+ Spesiasi Hg dengan ligan anorganik selain HgS, terbentuk pula HgCl 2 dan Hg(OH) 2 . Pembentukan spesiasi tersebut ditentukan oleh kondisi pH, oksigen terlarut, kadar ligan dan kadar Hg itu sendiri. Sebagai contoh, perairan dengan pH 4,0 – 6,0 dan kadar Cl- <10-5 mole, Hg2+ terlarut akan mengalami hidrolisis membentuk Hg(OH) 2 (predominance), sedangkan pada pH > 6,0, kompleks
Hg(OH) 2 baru terbentuk apabila kadar Cl- ~0,01 mole. Semakin tinggi kadar Cldalam suatu perairan atau semakin tinggi salinitas maka Hg akan membentuk HgCl 4 2+. Hubungan antara pH dan kadar Cl- dalam pembentukan spesies Hg diperlihatkan pada Gambar 2.
0 HgCl4 2 -
pCl ~ log [Cl] mole
2 HgCl2
4
6 HgCl + Hg(OH)2
8 Hg2 +
2
4
6
8
10
12
14
pH
Gambar 2. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg ( Moore dan Ramamoorthy, 1984)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses atau produksi metilasi Hg di perairan alami termasuk sedimen. Faktor tersebut antara lain adalah terdapatnya bahan organik atau logam berat donor (grup alkyl) yang berfungsi sebagai ligan organik, ukuran partikel sedimen, kadar, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi (Єh–pH) dan aktivitas metabolik bakteri atau jasad renik (Clostridium, Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Aktivitas metabolik jasad renik tersebut ada yang melibatkan enzimatik (seperti: methionine synthetase, acetate synthetase dan methane synthetase) dan tidak melibatkan enzimatik. Perairan yang sudah tercemar oleh bahan organik dan Hg akan mempengaruhi kesuburan dan jenjang trofik (trophic level) suatu perairan (Sanusi, 2006).
Di dalam sedimen laut, pembentukan kompleks organik-Hg diperkirakan kurang dari 1% dari total Hg yang ada. Ukuran partikel dari sedimen, kandungan bahan organik, pH adalah merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+, dan efektifitas adsorpsi sedimen hanya terjadi di lapisan sedimen dengan ketebalan sekitar 1 mm. Permukaan partikel yang halus/kecil akan memiliki luas permukaan yang besar sehingga mengakibatkan semakin efektif proses adsorpsi logam berat oleh sedimen. Ukuran dari partikel sedimen juga akan mempengaruhi tingkat kelarutan oksigen dalam sedimen (air jebakan) (Sanusi, 2006).
Kadmium (Cd) Kadmium memiliki nomor atom 49, dengan berat atom 112,41 g/mol, memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 oC dan 320,9 oC. Kadmium disingkat dengan Cd (Cadmium). Pada tabel periodik terdapat pada golongan XIID, periode V (Cotton dan Wilkinson, 1989). Kadmium mempunyai sifat tahan panas sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan plastik, kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat besi dan baja (Darmono, 1995). Kadmium terdapat di alam terutama dalam bijih timbal dan zinc. Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995; Lu, 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai nicad (nikel cadmium). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padipadian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama kadmium. Melalui asap rokok juga meyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan (Baird, 1995; Lu, 2006). Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi, 2003; Lu, 2006). Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29 – 0,55 ppb dengan ratarata 0,42 ppb. Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam
lemak. Perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Kadmium pada perairan alami membentuk ikatan kompleks dengan ligan baik organik maupun inorganik, yaitu: Cd2+, Cd(OH)+, CdCl+, CdSO 4 , CdCO 3 dan Cd-organik. Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda: Cd2+ > CdSO 4 > CdCl+ > CdCO 3 > Cd(OH)+ (Sanusi, 2006). Pada perairan alami dimana tersedia anion klorida, maka Cd2+ terlarut akan membentuk ikatan kompleks CdCl+, CdCl 2 , CdCl 3 - dan CdCl 4
2-
terutama
pada suasana pH basa. Afinitas Cd terhadap anion klorida dibandingkan dengan logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb > Zn, dimana Cd menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje, 1973 in Moore dan Ramamoorthy, 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus asam amino, sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk ikatan kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik, asam humik akan membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd. Pada umumnya stabilitas ikatan kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving – Williams (Irving – Williams Order) sebagai berikut: Mg < Ca < Cd ~ Mn < Co < Zn ~ Ni < Cu < Hg Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam humus sekitar 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih rendah dari 1% daripada total Cd terlarut. Jadi, selain ditentukan oleh kadar asam humus dan Cd terlarut, parameter pH dan salinitas berperan dalam membentuk ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi, 2006). Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl 2 ), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk karbonat (CdCO 3 ). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang (Darmono, 1995).
Timbal (Pb) Timbal atau sering disebut juga timah hitam dalam bahasa latin dikenal dengan nama plumbum, disingkat dengan Pb. Timbal pada tabel periodik terdapat pada golongan XIV P, periode VI, memiliki nomor atom 82 dengan berat atom 207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson, 1989). Sifat-sifat timbal berdasarkan Darmono (1995) dan Fardiaz (2005) antara lain: 1) Memiliki titik cair rendah; 2) Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk; 3) Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni; 4) Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan merkuri, yaitu 11,34 g/cm3; 5) Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab. Penggunaan timah hitam terbesar adalah dalam produksi baterai, yang memakai timbal metalik dan komponen-komponennya. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz, 2005; Lu, 2006). Timah hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi, 2003). Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta depresi (Darmono, 1995).
Keberadaan ligan baik organik maupun anorganik dalam badan air akan membentuk ikatan kompleks dengan Pb. Ligan anorganik fosfat (PO 4 3-) dan sulfida (S2-), jika Pb akan membentuk senyawa Pb 3 (PO 4 ) 2 dan PbS yang bersifat tidak larut. Di perairan dengan pH > 6,0 senyawa tersebut akan mengalami proses hidrolisis membentuk Pb(OH)+ terlarut. Senyawa solid Pb(OH) 2 hanya terbentuk pada pH ≥ 10,0. Ikatan kompleks yang bersifat stabil dengan ligan organik, terutama terjadi terhadap ligan organik yang mengandung gugus S, N dan O. Selain itu padatan tersuspensi dalam kolom air akan mengadsorpsi Pb terlarut dalam air membentuk ikatan partikulat Pb. Dalam lingkungan air tawar atau sungai, besarnya adsorpsi mencapai 15 – 83% dari total Pb terlarut (Wilson, 1976 in Moore dan Ramamoorthy, 1984).
2.1.3 Logam berat di air Logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi bagi sistem kehidupan di perairan. Walaupun daya racun yang ditimbulkan oleh satu logam berat terhadap biota perairan tidak sama, namun kehancuran suatu kelompok dapat menjadikan terputusnya
satu
rantai
makanan.
Pada
tingkatan
selanjutnya
dapat
menghancurkan tatanan suatau ekosistem perairan (Palar, 1994). Secara alamiah, unsur logam berat terdapat di seluruh alam, namun dalam kadar yang sangat rendah (Hutagalung, 1984). Kadar logam meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian, dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke dalam perairan. Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi kehidupan organisme di perairan. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan industri selain bersumber dari alam itu sendiri (alamiah). Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun laut akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses yaitu : pengendapan, adsorbsi dan absorbsi oleh organisme perairan. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991). Berdasarkan peraturan
pemerintah kandungan logam berat yang boleh masuk ke perairan laut mempunyai batasan tertentu. Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.51 Tahun 2004 dan baku mutu berdasarkan EPA (1987) in Novotny dan Olem (1994) dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar baku mutu air laut untuk biota laut terhadap logam berat Logam Simbol Standar Baku (ppm) Kep Men LH 1
EPA 2
Merkuri
Hg
0,0010
0,0021*
0.000025**
Kadmium
Cd
0,0010
0,0430*
0,0093**
Timbal
Pb
0,0080
0,1400*
0,0056**
Sumber : 1 KepMen LH No 51 Tahun 2004; 2 Environmental Protection Agency, 1987 in Novotny dan Olem, 1994 ( * akut; **kronis)
2.1.4 Logam berat di sedimen Zat-zat yang masuk ke laut akan berakhir menjadi sedimen. Dalam prosesnya semua zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang-layang di kolom perairan. Setelah mencapai dasar lautpun, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut-dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang perjalanannya ke dasar laut dan reaksi tetap berlangsung setelah penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral (Supangat dan Muawanah). Sedimen yang penyebarannya mulai dari garis pantai sampai laut dalam dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sedimen laut dangkal (near shore sediment) dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) dengan karakteristik fisik, kimia dan biologi yang berbeda. Sedimen yang penyebarannya sampai batas paparan benua (continental shelf margin) dikelompokkan dalam sedimen laut dangkal. Dinamika interaksi dengan lingkungan yang terjadi pada pembentukan sedimen laut dangkal lebih dinamis dibandingkan dengan sedimen laut dalam. Sedimen laut dangkal
khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan ”storage system” berbagai unsur dan senyawa kimia. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di kolom air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen (Supangat dan Muawanah; Sanusi, 2006). Menurut Sanusi (2006) tekstur atau ukuran partikel sedimen terbentuk terutama disebabkan oleh adanya kekuatan arus. Dengan kata lain, faktor arus (hidrodinamika) merupakan energi sortasi sedimen. Perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis (high energy environment – dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan dimana kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment – sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus. Ukuran partikel sedimen laut dangkal sangat beragam, mulai dari batuan kerikil (> 1 mm), pasir (1/ 16 – 1 mm), lumpur (1/ 256 – 1/ 32 mm) dan lempung atau liat (> 1/ 4069 – 1/ 640 mm). Sedimen non pelagik termasuk laut dangkal pada umumnya terdiri atas campuran komponen lithogenous, hydrogenous dan biogenous dan mengandung C-organik tinggi, terutama karena pengaruh interaksi dengan daratan (Chester, 1990 in Sanusi, 2006). Sedimen lithogenous mengandung mineral hasil pelapukan di darat, terbawa aliran sungai (fluvial transport) dan angin (aeolian transport) masuk ke lingkungan laut. Sedimen hydrogenous merupakan sedimen yang terbentuk karena adanya proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia terlarut dalam laut. Bongkahan atau nodul-nodul mangan (Mn) dan besi (Fe) yang terbentuk di dasar laut adalah bentuk dari sedimen hydrogenous yang dihasilkan melalui reaksi kimia dalam kolom air laut (Libes, 1992 in Sanusi, 2006). -
2Fe2+ (aq) + 2O 2 + 2(OH)- → Fe 2 O 3 (s) + H 2 O
-
2Mn2+ (aq) + O 2 + 4(OH)- → 2MnO 2 (s) + 2H 2 O Sedimen biogenous terdiri atas cangkang (shell) atau hancuran kulit
organisme laut (seperti: Globigerinids, Pteropods, Coccoliths, Diatoms, Radiolarians) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous), selain mineral celesite (SrSO 4) dan barite (BaSO 4 ). Komposisi kimia daripada cangkang
organisme laut adalah Ca2+, Mg2+, CO 3 2-, SO 4 2-, PO 4 3-, SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , Sr2+, Ba2+ dan materi organik (Sanusi, 2006). Terbentuknya senyawa kimia dalam sedimen disebabkan oleh reaksi oksidasi-reduksi yang akan mempengaruhi habitat serta kehidupan organisme benthik. Selain oksidasi-reduksi, proses-proses fisik kimia lainnya yang terjadi dalam
sedimen,
seperti:
adsorpsi-desorpsi,
solidifikasi-disolusi
akan
mempengaruhi komposisi spesiasi kimia sedimen dan lapisan air di permukaan sedimen (sediment-water interface) melalui interaksi air-sedimen (Bryan, 1976 in Connell dan Miller 1995; Sanusi, 2006). Konsentrasi logam berat dalam substrat/sedimen secara alami menggambarkan logam berat tertentu/deposit mineral. Seringkali keberadaan logam berat dihubungkan dengan partikel tersuspensi dan sedimen karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile dibandingkan dengan kolom air. Kandungan logam berat di sedimen tergantung pada komposisi kimia dan mineral sedimen (Sanusi, 2006). Sanusi (2006) mengemukakan bahwa sifat fisik kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air, maka deposisi padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut selain material organik dalam sedimen. Makin tinggi kandungan polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Oleh karena itu kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Dilihat dari aspek kimia, akumulasi bahan organik dalam substrat halus akan menentukan status reduksi-oksidasi, bergantung ketersediaan O 2 terlarut dalam air jebakan dan pH sedimen. Pada kondisi oksigen rendah akan terjadi reduksi, sehingga senyawa kimia yang dominan terbentuk adalah S2-, CH 4 , NH 3 , N 2 , Fe2+ dan Mn2+ yang bereaksi membentuk endapan kompleks.
Pada kondisi oksidasi, senyawa kimia yang
dominan terbentuk adalah SO 4 2-, CO 2 , CO 3 2-, NO 3 -, Fe3+ dan Mn4+ yang bereaksi membentuk endapan kompleks, demikian pula dengan Ca2+ dan Mg2+. Ukuran partikel dan air jebakan sedimen juga berperan terhadap perubahan pH. Perubahan pH pada lapisan atas sedimen dikendalikan oleh sistem buffer (CO 2 system).
Sementara pada lapisan sedimen yang lebih dalam dikendalikan oleh pembentukan S2- (Parsons dan Takahashi, 1977 in Sanusi, 2006). Reseau National ’d Observation (RNO, 1981) in Razak (1986) mengemukakan suatu kadar alamiah logam berat di perairan. Selain RNO, EPA (1990) in Novotny dan Olem (1994) juga mengeluarkan kadar alamiah di perairan. Kadar alamiah logam berat menurut RNO (1981) in Razak (1986) dan EPA (1990) in Novotny dan Olem (1994) dapat dilihat pada Tabel 2. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapat Tabel 3.
Tabel 2. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Logam
Kadar alamiah (ppm)
Simbol
RNO1
EPA2
Merkuri
Hg
0,002-0.35
0,2
Kadmium
Cd
0,1-2
1
Timbal
Pb
10-70
5
Sumber: 1 RNO, 1981 in Razak, 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 in Novotny and Olem, 1994.
Tabel 3. Baku mutu logam berat dalam sedimen Simbol
Level target
Level limit
Level tes
Level intervensi
Level bahaya
Merkuri
Hg
0,3
0,5
1,6
10
15
Kadmium
Cd
0,8
2
7,5
12
30
Timbal
Pb
85
530
530
530
1000
Logam berat
Sumber: IADC/CEDA (1997) Keterangan : a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1984). Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktorfaktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia.Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan.
2.5 Parameter fisika dan kimia perairan 2.5.1 Suhu Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi perairan (Effendi, 2003). Perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas mikrobial, solubilitas gas dan viskositas (LPM-ITB, 1994 in Kodoatie dan Sjarief, 2005). Effendi (2003) menambahkan bahwa peningkatan suhu akan meningkatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi.
Menurut Ilahude (1999)
adanya arus dan upwelling dapat memperbesar amplitudo suhu tahunan perairan
laut. Amplitudo itu sendiri menunjukkan perbedaan suhu tahunan pada masingmasing tempat. Sebagian besar proses fisik, biologi dan karakter kimia pada air permukaan dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan suhu berkorelasi positif dengan proses kimia yang terjadi pada air. Peningkatan suhu juga dapat membahayakan biota air. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti gas O 2 , CO 2 , N 2 dan CH 4 (Haslam, 1995 in Effendi, 2003). Pengaruh suhu secara langsung menentukan kehadiran spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan, penetasan, aktivitas dan pertumbuhan organisme. Sedangkan secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan kimia. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan biota di dalam suatu perairan (Odum, 1996). Pada keadaan suhu yang normal ini, difusi oksigen berjalan dengan baik sehingga biota yang ada di dalam perairan tersebut dapat melakukan respirasi, metabolisme, makan dan kegiatan fisiologis lainnya berjalan dengan baik. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air serta peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen dalam air.
Peningkatan suhu yang disertai peningkatan konsumsi
oksigen, menyebabkan keberadaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Mukhtasor (2007) mengungkapkan suhu merupakan salah satu parameter untuk mempelajari transfortasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan laut. Sebagai contoh, suhu air di permukaan laut mempengaruhi sifat tumpahan minyak dan juga pengendaliannya. Birowo dan Uktolseja (1976) in Mukhtasor (2007), menyampaikan bahwa suhu yang rendah akan mengakibatkan viskositas minyak naik, kecepatan penguapan fraksi ringan turun dan fraksi berat cendrung membeku.
2.5.2 Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003). Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Misalnya, air laut memiliki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi tidak berarti memiliki kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernapasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003).
2.5.3 Salinitas Air laut merupakan larutan (solution) kompleks yang mengandung berbagai senyawa atau elemen-elemen kimia baik organik maupun anorganik. Kandungan elemen-elemen kimia terlarut dalam air laut dinyatakan sebagai salinitas atau klorinitas (Riley dan Skirrow, 1975 in Sanusi, 2006). Berdasarkan konsep dari Forch et al., (1902) in Sanusi (2006), salinitas adalah jumlah dalam gram zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut, dimana dianggap semua karbonat (CO 3 2-) telah diubah menjadi oksida, bromida dan iodida diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Menurut konsep Knudsen (1902) in Sanusi (2006), menyebutkan istilah lain yaitu klorinitas yang merupakan jumlah anion klor dalam gram yang terdapat dalam 1 kg air laut, dimana dianggap semua bromida dan iodida diganti oleh klorida. Hubungan antara salinitas (S) dan klorinitas (Cl) secara empiris dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut: S (psu) = 1,80655 x Cl (o/ oo ) + 0,030 Pada umumnya perairan laut lepas (off shore) memiliki salinitas sebesar 35 psu (ppt); yang berarti bahwa dalam 1 kg air laut terdapat elemen-elemen kimia terlarut (dissolved elements) seberat 35 gram. Dengan kata lain, komposisi air laut tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan sebesar 96,5% kandungan airnya (Sanusi, 2006).
Elemen-elemen kimia terlarut dalam air laut sebagian besar terdiri atas elemen makro (~95%) dan hanya sebagian kecil yang merupakan elemen mikro (~5%). Karena itu kandungan elemen makro (Na+, Mg2+, K+, Ca2+, Cl-, SO 4 2-) sangat menentukan salinitas suatu perairan. Menurut prinsip Forchhammer (1865) in Sanusi (2006), rasio (perbandingan) komposisi elemen makro terlarut dalam laut adalah tetap. Berdasarkan pada prinsip tersebut, maka elemen makro terlarut merupakan unsur kimia yang bersifat konservatif; dimana bila jenis elemen makro tertentu diketahui kadarnya secara kuantitatif, maka berdasarkan pada rasio tersebut, elemen makro lainnya dapat ditentukan kadarnya. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2007). Nybakken (1992), mengemukakan bahwa perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi (hujan).
2.5.4 Derajat Keasaman (pH) Effendi (2003); Sanusi (2006), menyebutkan pH adalah nilai yang menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam air (dalam kadar molar) dan dinyatakan sebagai: pH = log [1/H+] atau pH = - log [H+] Menurut Alaerts and Santika (1984), pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi ion hidrogen H+. Nilai pH digunakan untuk mengukur sifat asam dan basa suatu larutan (solution). Makin rendah pH suatu larutan makin besar sifat asamnya, sebaliknya makin tinggi pH suatu larutan makin besar sifat basanya. Larutan asam adalah dimana kadar ion H+ lebih besar daripada kadar ion OH-, dan sebaliknya. Suatu zat dikatakan asam apabila zat tersebut mengeluarkan (releasing) satu atau lebih proton, sementara dikatakan basa apabila zat tersebut mengikat (combining) satu atau lebih proton. Sifat asam atau basa suatu larutan ditunjukkan oleh nilai pH yang berkisar antara 0–14, dimana pH=7 merupakan larutan netral. Meningkatnya kadar ion H+ dicirikan oleh menurunnya nilai pH dan sebaliknya (Sanusi, 2006).
Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO 2
yang
terlarut dalam air. Kadar CO 2 akan berkurang oleh kegiatan fotosintesis dan akan bertambah karena respirasi. Derajat keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman dari suatu perairan. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5. Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973). Derajat keasaman (pH) juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta menyukai pH berkisar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003). Air laut yang dalam keadaan seimbang dengan CO 2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3. pH bertambah melalui penyerapan CO 2 yang cepat dari air permukaan pada saat fotosintesis. Akan tetapi, biasanya tidak sampai pH 8,4 kecuali dalam kolam pasut, lagoon dan estuari. Diketahui bahwa di bawah zona fotik, CO 2 yang diserap dalam fotosintesis lebih sedikit daripada CO 2 dari respirasi. Bila CO 2 bertambah, pH akan turun menjadi 7,7 atau 7,8. pH bahkan mencapai 7,5 atau kurang dalam air dengan salinitas rendah atau pada kondisi anaerobik (anoxic) dan bakteri menggunakan pengurangan sulfat sebagai sumber oksigen untuk penguraian bahan organik yang membebaskan H 2 S ke dalam larutan. Kondisi anaerobik melibatkan pengurangan CO 2 dan menyebabkan pembentukan hidrokarbon seperti metana, CH 4 . Pada kondisi tersebut, pH naik hingga 12 (Supangat dan Muawanah).
2.5.5 Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut/DO merupakan jumlah gas oksigen yang ditemukan terlarut di dalam air (mg/l). Jumlah oksigen yang terlarut ini tergantung pada suhu, salinitas, tekanan atmosfer dan turbelensi air. Kadar oksigen terlarut dapat berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran
(mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan (Effendi, 2003). Kelarutan O 2 dalam laut dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas atau kadar Clseperti dikemukakan dalam Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan klorida Kadar Cl- (mg/l) 5000 10000 15000 Kelarutan O 2 (mg/l) 7,8 7,4 7,0
Temperatur (oC)
0
26
8,2
27
8,1
7,7
7,3
6,9
6,5
28
7,9
7,5
7,1
6,8
6,4
29
7,8
7,4
7,0
6,6
6,3
30
7,6
7,3
6,9
6,5
6,1
20000 6,6
Sumber: APHA, AWWA, WPCF (1976) in Sanusi (2006)
Tabel 5. Kelarutan O 2 dalam laut sebagai fungsi dari temperatur dan salinitas (dalam µmol/kg) Temperatur Salinitas (psu) (oC) 12 16 20 24 28 31 33 35 20 262,4 255,5 248,8 242,3 235,9 231,2 228,2 225,2 22
252,7
246,1
239,7
233,5
227,5
223,0
220,1
217,3
24
243,6
237,3
231,3
225,4
219,6
215,4
212,6
209,9
26
235,1
229,2
223,4
217,7
212,2
208,2
205,6
202,9
28
227,1
221,5
215,9
210,6
205,3
201,5
198,9
196,4
30
219,7
214,2
209,0
203,8
198,8
195,1
192,7
190,3
32
212,6
207,5
202,4
197,5
192,7
189,2
186,9
184,6
Sumber: Chester (1990) in Sanusi (2006)
Kadar gas oksigen (O 2 ) di udara adalah sekitar 20.964%, nomor dua terbesar setelah N 2 (78.084%). Sebelum awal kehidupan di muka bumi dimulai, gas O 2 dihasilkan melalui proses fotosintesis: H 2 O (gas) + Ultra Violet
H 2 (gas) + O 2 (gas)
Gas O 2 tergolong reaktif dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan di muka bumi, termasuk yang terlarut dalam laut. Semakin tinggi temperatur dan salinitas perairan maka tingkat kelarutan O 2 dalam air semakin rendah.
Lapisan atas permukaan laut dalam keadaan
normal mengandung O 2 terlarut sebesar 4,5 – 9,0 mg/l. Untuk kehidupan biota laut secara layak kelarutan O 2 harus lebih besar daripada 5,0 mg/l (Kep.51/MENKLH/2004). Selain temperatur dan salilnitas, kelarutan O 2 juga dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut maka kelarutan O 2 semakin kecil. Pada kedalaman laut 1.000 m (tekanan hidrostatik 100 atm), maka tekanan parsial O 2 meningkat sebesar ± 13% dan kelarutannya menurun sebesar ± 0,1% (Klotz, 1963 in Riley dan Skirrow, 1975 in Sanusi, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi vertikal O 2 dalam laut adalah: temperatur, salinitas, tekanan hidrostatik, fotosintesis dan respirasi, biodegradasi dan tranpor massa air bawah laut (Gambar 3). Kadar O2 terlarut (a)
Kedalaman
(b) 200 - 800 m
(c)
Gambar 3. Distribusi vertikal O 2 terlarut (Chester, 1990 in Sanusi, 2006) Keterangan: a) Lapisan permukaan dimana kadar O 2 terlarut dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan gerakan massa air permukaan; b) Lapisan kedalaman 200 – 800 m dimana terjadi deplesi O 2 terlarut akibat adanya proses demineralisasi bahan organik dan respirasi. Lapisan kedalaman tersebut dikenal dengan lapisan OMZS (Oxygen Minima Zones). Jumlah atau banyaknya O 2 terlarut yang digunakan untuk proses demineralisasi bahan organik dan respirasi disebut dengan AOU (Apparent Oxygen Utilization). AOU merupakan selisih antara NAEC (Normal Atmospheric Equilibrium Concentration) dengan kadar O 2 insitu (Libes, 1992 in Sanusi, 2006)), atau: AOU = NAEC – [O 2 ] insitu
Dimana NAEC adalah kadar O 2 terlarut dalam air pada keadaan terjadi kesetimbangan dengan kadar O 2 di atmosfir. Nilai NAEC dipengaruhi oleh temperatur air, salinitas dan tekanan parsial gas O 2 di udara; c) Lapisan kedalaman > 800 m dimana terjadi peningkatan O 2 terlarut akibat adanya tranpor massa air bawah laut dari daerah lintang tinggi yang kaya akan O 2 . Diagram distribusi vertikal O 2 terlarut pada laut dalam dapat digunakan untuk menentukan karakteristik sirkulasi massa air, sementara distribusi horizontal O 2 pada umumnya dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, aktivitas fotosintesis dan respirasi serta gerakan massa air permukaan.
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen di perairan hingga mencapai nol (anaerob). Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi tiap jenis. Keberadaan limbah yang masuk ke suatu perairan akan menurunkam kadar oksigen di perairan. Hal tersebut terkait dengan pemanfaatan yang berlebih terhadap oksigen terutama pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai (Effendi, 2003). Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologi bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen dengan jumlah cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antarorganisme. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik sehinga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik lebih menderita (Tebbut, 1992 in Effendi, 2003). Kondisi anoxic dapat terjadi pada air pantai tempat aktivitas manusia menambah suplai nutrien dan bahan organik, sebagai contoh, tambak ikan dan pabrik pulp, serta juga run-off pupuk dari tanah pertanian. Jika air anoxic, agen pengoksida lain akan digunakan oleh bakteri untuk mengkonsumsi bahan organik. Sulfat adalah unsur terlarut utama dalam air laut dan bila oksigen habis digunakan, reaksi (dalam energi kimia) yang sering terjadi dalam penguraian bahan organik adalah : CH 2 O + SO 4 2- <= > H 2 S + HCO3- (Supangat dan Muawanah).
2.5.6 Kesadahan Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan
sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur, meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif tinggi. Larutnya ion-ion yang dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida (Effendi, 2003). Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk tebal dan bebatuan kapur. Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu berdasarkan ion logam (metal) dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam. Berdasarkan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan karbonat dan kesadahan nonkarbonat (Effendi, 2003). Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan Kesadahan (mg/liter CaCO 3 ) Klasifikasi Perairan <50 lunak (soft) 50-100 menengah (moderately hard) 150-300 sadah (hard) >300 sangat sadah (very hard) Sumber: Peavy et al., 1985 in Effendi, 2003.
1. Kesadahan Kalsium dan Magnesium Kesadahan kalsium dan magnesium diperlukan untuk menentukan jumlah kapur dan soda abu yang dibutuhkan dalam proses pelunakan air. Pada penentuan nilai kesadahan (baik kesadahan total, kesadahan kalsium, maupun kesadahan kesadahan magnesium), keberadaan besi dan mangan dianggap sebagai pengganggu karena dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan.
2. Kesadahan Karbonat dan Non-karbonat Kesadahan karbonat disebut juga kesadahan sementara. Pada kesadahan karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan CO 3 2- dan HCO 3 -.. Kesadahan karbonat sangat sensitif terhadap panas dan mengendap dengan mudah pada suhu tinggi. Sedangkan kesadahan non-karbonat disebut kesadahan permanen karena kalsium dan magnesium berikatan dengan sulfat dan klorida tidak mengendap dan nilai kesadahan tidak berubah meskipun pada suhu yang tinggi. Nilai kesadahan air diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk kepentingan domestik dan industri. Kadar maksimum kesadahan di perairan yaitu 500 mg/l CaCO 3 (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 in Effendi, 2003). Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut.
2.6 Keadaan umum lokasi penelitian Perairan Pulau Panggang-Pramuka termasuk dalam Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau yang terletak di utara kota Jakarta dan tercatat sebagai salah satu Kabupaten Administrasi di kawasan Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Kepulauan Seribu memiliki luas daratan sekitar 843,65 ha dan luas perairan sekitar 7.000 km2. Dari 106 pulau yang ada di kepualauan Seribu, hanya ada 11 pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Lancang Besar, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, dan Pulau Sabira. Adapun batas-batas wilayah Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut : Sebelah Utara
: berbatasan dengan Laut Jawa/Selat Sunda.
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Laut Jawa
Sebelah selatan
: berbatasan dengan Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan,
Tanjung
Priok,
Koja,
Tangerang. Sebelah barat
: berbatasan dengan Laut Jawa/Selat Sunda.
Cilincing
dan
Secara Administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu terbagi 2 kecamatan, yaitu ; 1 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan meliputi ; Kelurahan Pulau Untung Jawa, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Tidung. 2
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara meliputi ; Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau Harapan.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Karya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian berlangsung mulai April sampai Oktober 2008. Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian didasarkan pada kegiatan masyarakat di sekitar Pulau Pramuka sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, lokasi konservasi dan juga sebagai lokasi usaha budidaya perikanan (budidaya ikan bandeng). Lokasi pengambilan sampel terdiri dari sepuluh stasiun pengamatan. Lokasi pengambilan contoh dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Stasiun pengambilan contoh pada perairan Pulau Panggang, Pramuka, dan Karya Stasiun Lokasi Lintang Selatan Bujur Timur 1
Pelabuhan/TPI Pulau Pramuka
05º44'592"
106º36'833"
2
Inlet Hatchery
3
Sekitar buangan mesin diesel
05º44'297" 05º44'236"
106º36'539" 106º36'559"
4
Pintu masuk utara
5
Sekitar jaring sebelah utara
05º44'201" 05º44'185"
106º36'568" 106º36'547"
6
Dalam jaring apung
05º44'217"
106º36'532"
7
Sekitar jaring apung sebelah barat
05º44'207"
106º36'513"
8
Outlet Hatchery
05º44'232"
106º36'599"
9
Sebelah timur Pulau Karya
05º44'185"
106º36'310"
10
Sebelah timur Pulau Panggang
05º44'1228"
106º36'297"
Untuk lebih jelasnya lokasi penelitian berikut stasiun pengamatannya dapat dilihat pada Gambar 4.
9 10
Stasiun
7
5 4 6 3 2
8 1
BATAS LOKASI PENELITIAN
Skala 1:5000
Gambar 4. Peta lokasi penelitian (Suku dinas perikanan dan kelautan Kepulauan Seribu, Jakarta)
3.2 Alat dan bahan Pada penelitian ini digunakan alat dan bahan untuk pengambilan air contoh, pengukuran, penanganan, dan analisis sampel, serta alat dan bahan lain yang menunjang selama penelitian. Alat yang digunakan terdiri dari Ekman Grab, Vandorn water sample, botol contoh volume 1500 ml, dan 300 ml; pH meter merk Hanna Instrument tipe pHel 1; GPS merk Garmin GPSmap 60CSx; turbidimeter merk Hach tipe 2100P; refraktometer merek atago S/Mill.E; Coolbox; Oven; AAS merek ZEE nit 700. Bahan yang digunakan terdiri dari pengawet sampel (H 2 SO 4 , HCL, HNO 3 , Na-EDTA), larutan pH 7, larutan standar logam (Hg, Cd, dan Pb) larutan buffer (NH 4 Cl dan NH 4 OH), serta reagen untuk analisa oksigen terlarut.
3.3 Metode pengambilan sampel Pengambilan sampel air laut dilakukan di sepuluh stasiun sebanyak 3 kali yaitu bulan April, Juli, dan Oktober. Penetuan titik stasiun dilakukan dengan GPS. Jumlah sampel air laut ± 500 ml dimasukkan ke dalam botol yang sudah
disterilkan dan ditambahkan dengan asam nitrat sebagai pengawet dan dimasukkan ke dalam coolbox. Pengambilan contoh sedimen menggunakan Eickman Grab, kemudian sedimen diambil bagian tengahnya atau pada bagian yang tidak bersinggungan dengan dinding grab, kemudian sedimen diawetkan dengan disimpan di cool box. Pengukuran parameter fisik dan kimiawi dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung dan analisa laboratorium. Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan (insitu) dilakukan terhadap parameter suhu, salinitas, pH, DO. Analisa kesadahan dan destruksi sedimen dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisa logam berat dengan AAS dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Parameter fisik dan kimia, alat dan metoda disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Parameter, metoda atau alat yang digunakan untuk analisa kualitas air perairan Pulau Panggang-Pramuka Parameter Satuan Metoda/Alat Pengkuran Fisik Suhu
ºC
Termometer Air Raksa
In situ
Kekeruhan
NTU
Turbidity meter
In situ
Salinitas
psu
Refraktometer
In situ
pH
-
pH meter
In situ
DO
mg/l
DO meter/Titrasi winkler
In situ
Kesadahan
mg/l
Ethylene-diamine acid dan Na-
Laboratorium
Kimia
EDTA Logam Berat Merkuri
ppm
AAS
Laboratorium
Kadmium
ppm
AAS
Laboratorium
Timbal
ppm
AAS
Laboratorium
3.4 Prosedur kerja 3.4.1 Preparasi sampel Proses destruksi, penyaringan dan pengukuran logam berat serta analisa logam beram berat air dan sedimen dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu preparasi sedimen dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
3.4.2 Penentuan konsentarasi logam berat Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air dan cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen. Pengukuran logam berat dengan menggunakan AAS (atomic absorption spectrofotometry); selanjutnya dihitung dengan formula: Logam Berat (ppm) =
[( Ac − Ab ) − a]x100 bxW ( gr ) x1000
Keterangan : Ac : Absorban contoh Ab : Absorban blanko a : Intercept dari persamaan regresi standar b : Slope dari persamaan regresi standar W : Berat sampel (g)
3.5 Analisis data 3.5.1 Koefesien korelasi (r) Untuk mengetahui keeratan hubungan logam berat antara di air dan sedimen dibuat analisis regresi dan korelasi (Steel and Torie, 1989 in Mulyawan, 2005). Adapun Koefisien korelasi antara logam berat di air dan sedimen dapat dihitung dengan formula:
r=
Sxy
(Sxy )2 (Sy )2
Keterangan : r = koefisien rata-rata korelasi Sxy = Sebaran nilai pengamatan x dan y Sx² = Keragaman nilai x Sy² = Keragaman nilai y
3.5.2 Analisa deskriptif Hasil analisa logam berat pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka untuk melihat tingkat pencemaran logam berat, Hg, Cd, dan Pb dibandingkan dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut tahun 2004 pada Tabel 9.
Tabel 9. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut Tahun 2004 (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004). Logam Berat Satuan Baku Mutu Merkuri (Hg)
ppm
0,001
Kadmium (Cd)
ppm
0,001
Timbal (Pb)
ppm
0,008
Hasil analisa logam berat dalam sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) pada Tabel 10.
Tabel 10. Baku mutu logam berat dalam sedimen menurut IADC/CEDA (1997) Level Level Level Level Level Logam Satuan target limit tes intervensi bahaya berat Merkuri
ppm
0,3
0,5
1,6
10
15
Kadmium
ppm
0,8
2
7,5
12
30
Timbal
ppm
85
530
530
530
1000
Keterangan : b. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimia 4.1.1 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Parameter suhu atau temperatur, selain berpengaruh terhadap kehidupan organisme juga berpengaruh terhadap parameter lainnya (fisika dan kimia). Hasil pengukuran suhu di perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 28-340C. Suhu yang tinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan daerah pembuangan langsung dari mesin diesel. Mesin diesel membutuhkan air untuk mendinginkan mesinnya, air hasil pendinginan inilah yang membuat perairan di stasiun 3 tergolong tinggi yakni lebih dari 310C. Barus (2002) mengemukakan bahwa temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik (dalam hal ini mesin diesel).
Pada daerah selain stasiun 3 kisaran suhunya
termasuk kisaran normal untuk perairan Indonesia yaitu 28-31 0C (Nontji, 2007). Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 suhu di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih dalam kisaran alami (28-31 0C), terkecuali pada stasiun 3. Tingginya suhu perairan Pulau Panggang-Pramuka berhubungan dengan letak geografisnya yang berada pada daerah khatulistiwa, sehingga intensitas penyinaran matahari sangat tinggi. Tingginya intensitas penyinaran matahari, menyebabkan tingkat penyerapan panas ke dalam perairan menjadi lebih besar (Nontji, 2007). Nybakken (1992) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada setiap kenaikan temperatur 10 0
C. Selain itu, suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi
organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 20-30 0C (Effendi, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan di lokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di
dalamnya. Kenaikan suhu selain meningkatkan metabolisme juga dapat meningkatkan toksisitas logam berat (Hutagalung, 1984). Suhu juga mempengaruhi proses kelarutan logam-logam berat yang masuk ke perairan. Semakin tinggi suatu suhu perairan kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Perairan Pulau Panggang-Pramuka dengan kisaran suhu yang tinggi memungkinkan kelarutan logam berat menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2001) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara.
4.1.2 Kekeruhan Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan berkorelasi positif dengan nilai padatan tersuspensi. Nilai kekeruhan yang tinggi akan diikuti dengan nilai padatan tersupensi yang semakin tinggi. Nilai kekeruhan yang didapat pada penelitian di perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,934,60 NTU. Nilai ini menunjukkan bahwa kekeruhan perairan Pulau PanggangPramuka adalah rendah. Hal ini mengandung arti bahwa nilai padatan tersuspensinya rendah. Nilai kekeruhan yang rendah ini mengindikasikan bahwa daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat tinggi, karena sedikitnya zat/bahan yang menghalanginya. Hal ini juga akan berpengaruh pada fotosintesis di
perairan
Pulau
Panggang-Pramuka
yang
cukup
tinggi,
sehingga
produktivitasnya tinggi pula (Effendi, 2003). Nilai kekeruhan pada perairan ini juga berada dibawah kisaran baku mutu dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yaitu ≤5 NTU. Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 10. Hal ini disebabkan posisi dari stasiun 10 yang dekat pada lintasan jalur pelayaran antar pulau di Kepulauan Seribu. Kondisi ini menjadikan perairan tersebut selalu terjadi pergolakan/pengadukan sehingga sedimen/substrat dari dasar terangkat/teraduk. Demikian juga pada stasiun 1, posisinya berada pada daerah pelabuhan/pendaratan ikan (TPI), sehingga terjadi pengadukan air yang
memungkinkan sedimen akan terangkat dari dasar akibat adanya pengadukan air oleh pergerakan kapal. Pada stasiun 8 kekeruhannya tergolong tinggi dibanding daerah lainnya karena stasiun ini terdapat pada outlet dari kegiatan tambak ikan bandeng di dekat daerah perlindungan laut (DPL). Hal ini menjadikan air di sekitarnya teraduk terus-menerus oleh adanya semacam arus dari outlet. Sementara di daerah lain yang termasuk rendah karena daerahnya tenang, kalaupun ada pergolakan air,
itu terjadi secara alami. Sumawidjaja (1974)
menyebutkan bahwa perairan yang sering mengalami pergolakan air/turbelensi akan memiliki kekeruhan yang tinggi dibanding daerah yang lebih tenang.
4.1.3 Salinitas Salinitas adalah jumlah dalam gram zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut, dianggap semua karbonat (CO 3 2-) telah diubah menjadi oksida, bromida dan iodida diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Menurut konsep Knudsen (1902) in Sanusi (2006), terdapat istilah lain yaitu klorinitas yang merupakan jumlah anion klor dalam gram yang terdapat dalam 1 kg air laut, dianggap semua bromida dan iodida diganti oleh klorida. Nilai salinitas yang diperoleh dari hasil penelitian di perairan Pulau Panggang-Pramuka yaitu berkisar 23-31 psu. Salintas terendah terdapat pada stasiun 10 dan merupakan nilai salinitas dengan kisaran yang paling luas. Kondisi ini terjadi karena daerah stasiun 10 terletak dekat pantai Pulau Karya. Nilai salinitas rendah pada saat surut karena pengaruh daratan cukup besar sehingga salinitas menurun. Salinitasnya tinggi karena pada kondisi pasang sehingga pengaruh dari laut yang tinggi dibanding dengan pengaruh dari daratan. Pariwono et al., (1988) mengemukakan sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai, dan pengaruh pasang surut yang menyebabkan adanya gerakan vertikal massa air. Pada stasiun 1, 2, dan 3 memiliki kisaran salinitas yang sempit. Stasiun 1 walaupun dekat dengan Pulau Pramuka menunjukkan bahwa salinitas pada daerah TPI lebih dipengaruhi oleh laut dibanding daratannya, yang berarti masukan air tawar ke lokasi ini sangat rendah. Pada stasiun 2 dan 3 kisarannya sempit karena jauh dari daratan, sehingga pengaruh dari masukan air tawar sangat rendah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 suhu di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih dalam kisaran alami (daerah mangrove/pesisir). Secara umum nilai salinitas setiap tempat/stasiun berbeda hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2007). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi (hujan) sehingga hal ini juga membuat nilai salinitas di perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak sama. Salinitas juga dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan salinitas, maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar (Hutagalung, 1984).
4.1.4 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) berperan penting untuk mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam perairan. Selain itu, ikan dan organisme lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme perairan. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan air (Alaert dan Santika, 1984). Nilai derajat keasaman (pH) perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 7,34-7,61. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Panggang-Pramuka cenderung bersifat basa. Air laut yang dalam keadaan seimbang dengan CO 2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3. Derajat keasaman bertambah melalui penyerapan CO 2 yang cepat dari air permukaan pada saat fotosintesis. Akan tetapi, biasanya tidak sampai pH 8,4 kecuali dalam kolam pasut, lagoon, dan estuari. Diketahui bahwa di bawah zona fotik, CO 2 yang diserap dalam fotosintesis lebih sedikit daripada CO 2 dari respirasi. Bila CO 2 bertambah, pH akan turun menjadi 7,7 atau 7,8. pH bahkan mencapai 7,5 atau kurang (Supangat dan Muawanah). Hal ini yang membuat nilai pH sedikit lebih
rendah dibanding kondisi air laut normal/seimbang. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan CO 2 cukup tinggi. Kandungan CO 2 yang tinggi dapat dilihat dengan kandungan O 2 secara umum cukup rendah untuk kategori air laut (Tabel 11). Kisaran pH terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3. Nilai pH yang rendah ini disebabkan oleh CO 2 yang semakin besar, pada stasiun 1 dan 3 kandungan O 2 paling rendah (Tabel 11). Stasiun 1 dan 3 merupakan lokasi yang paling rentan terhadap polutan karena stasiun 1 yang terletak di daerah pendaratan ikan (TPI), sedangkan stasiun 3 sebagai lokasi pembuangan air mesin diesel. Pada lokasi tersebut (stasiun 3) dengan kondisi air yang hangat (suhu yang tinggi), kelarutan menjadi oksigen rendah dan kelarutan CO 2 lebih tinggi walaupun ada penurunan kelarutan gas dengan meningkatnya temperatur. Akan tetapi kelarutan gas CO 2 di perairan lebih tinggi dibanding gas lainnya (Cole, 1988 in Effendi, 2003). Secara umum daerah perairan Pulau Panggang-Pramuka tergolong pada kategori layak bagi organisme perairan karena berada pada kisaran 7-8,5 (Effendi, 2003). Berdasarkan baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 nilai pH masih dalam kisaran yang ditetapkan (7-8,5). Derajat keasaman (pH) >7, nilai ini menyatakan bahwa pH air lebih bersifat alkalis. pH alkalis sangat mendukung terjadinya laju dekomposisi pada suatu perairan (Effendi, 2003). Dengan adanya pH air yang bersifat alkalis akan terjadi peningkatan laju dekomposisi maka akan berdampak dengan menurunnya nilai oksigen terlarut (DO) suatu perairan (Kordi, 1996 in Rahman, 2006). Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda terhadap perubahan pH di perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah dibanding pH yang tinggi.
Batas toleransi organisme perairan
terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973). Derajat keasaman (pH) juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta menyukai pH berkisar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003). Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar (Hutagalung, 1984).
Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tersebut. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan. Lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur (Hutagalung, 1984).
4.1.5 Oksigen Terlarut (DO) Gas O 2 tergolong reaktif dan sangat dibutuhkan bagi kehidupan di muka bumi, termasuk yang terlarut dalam laut. Kelarutan O 2 dalam laut dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas atau kadar Cl-. Semakin tinggi temperatur dan salinitas perairan, maka tingkat kelarutan O 2 dalam air semakin rendah. Lapisan atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung O 2 terlarut sebesar 4,5 – 9,0 mg/l (Sanusi, 2006). Berdasarkan pengamatan, di peroleh kandungan oksigen terlarut di perairan Pulau Panggang-Pramuka antara 3,13 mg/l-7,28 mg/l (Tabel 11). Kisaran oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 3 dan 6 yaitu antara 3,13-4,17 mg/l (stasiun 1) dan 3,20-4,17 mg/l (stasiun 6). Kisaran oksigen terlarut yang rendah ini disebabkan oleh kandungan suhu yang tinggi di stasiun 3 dan lokasi tambak bandeng intensif di stasiun 6. Pada stasiun 3 temperatur tinggi, sehingga daya larut oksigen menjadi rendah. Hal ini menyebabkan kandungan oksigennya pun menjadi rendah (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Pada stasiun 6 (sekitar keramba ikan bandeng), memiliki nilai oksigen terlarut yang rendah karena oksigen dimanfaatkan oleh ikan bandeng dengan kondisi padat tebar (5.000 ekor/78,5 m2). Selain itu pemberian pakan yang tinggi (sekitar 200-280 kg/hari), dengan kondisi ini tidak semua pakan akan habis dimakan oleh ikan, sehingga akan terjadi dekomposisi oleh mikroorganisme dari sisa pakan yang mengakibatkan oksigen semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang
menyebutkan bahwa dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen di perairan hingga mencapai nol (anaerob). Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi tiap jenis. Keberadaan limbah yang masuk ke suatu perairan akan menurunkan kadar oksigen di perairan. Hal tersebut terkait dengan pemanfaatan yang berlebih terhadap oksigen terutama pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai (Effendi, 2003). Oksigen tertinggi pada stasiun 8, 9, dan 10 masing-masing sebesar 5,206,40 mg/l, 5,21-5,26 mg/l, dan 5,20-7,00 mg/l. Kandungan O 2 yang cukup tinggi karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling sering terjadi pergolakan air (turbulensi), stasiun 9 dan 10 merupakan dekat pantai Pulau Panggang dan karya serta daerah dekat jalur transfortasi antar pulau. Adanya turbulensi akibat pergerakan kapal memungkinkan terjadinya penyebaran oksigen di kolom perairan. Gelombang dan ombak juga memungkinkan terjadinya kontak udara antara permukaan air sehingga terjadi difusi yang menimbulkan O 2 semakin tinggi. Pada stasiun 8 yang merupakan outlet terdapat arus yang cukup kencang sehingga terjadi turbulensi yang mengakibatkan O 2 meningkat (semakin besar) (Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih diatas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004) yaitu >5 mg/l, kecuali stasiun 3. Kadar O 2 di perairan Pulau Panggang-Pramuka antar stasiun terjadi perbebedaan, tergantung pada lokasinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), yang menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut dapat berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan. Keberadaan O 2 dapat mempengaruhi keberadaan dan toksisitas logam berat. Semakin rendah O 2, maka daya racun logam berat umumnya semakin tinggi. Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984 in Darmono, 2001).
4.1.6 Kesadahan Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur, meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif tinggi. Nilai kesadahan di perairan P. Panggang-Pramuka berkisar antara 66,06-74,07 mg/l CaCO 3 (Tabel 11). Berdasarkan Peavy et al., (1985) in Effendi (2003) maka kesadahan di perairan
Pulau Panggang-Pramuka tergolong perairan yang memiliki kesadahan menengah (50-100 mg/l CaCO 3 ). Effendi (2003) mengemukakan bahwa perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk tebal dan bebatuan kapur. Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut.
Tabel 11. Kualitas air di perairan Pulau Panggang-Pramuka. Parameter Suhu Kekeruhan Salinitas
Satuan
Stasiun
Baku
1
2
3
5
6
7
8
9
10
Mutu1
ºC
29-30
28-31
32-34
29-31
28-30
29-30
28-30
29-30
28-29
alami
NTU
4,104,42 28-31
2,002,30 29-31
1,842,13 28-30
0,931,01 27-30
1,701,98 25-28
1,611,76 25-30
1,451,93 26-31
3,083,68 25-30
2,853,61 23-31
<5
psu
7,39- 7,39- 7,34- 7,48- 7,50- 7,40- 7,44- 7,47- 7,447,51 7,55 7,39 7,53 7,57 7,45 7,52 7,52 7,56 4,69- 5,21- 3,13- 5,00- 4,00- 3,20- 4,17- 5,20- 5,20DO mg/l 5,21 6,20 4,17 6,26 7,28 4,17 5,21 6,40 7,00 Kesadahan mg/l 72,07- 68,06- 74,07- 72,07- 70,07- 70,07- 70,07- 68,06- 70,0774,07 70,07 76,07 74,07 72,07 72,07 72,07 70,07 72,07 Ket: Baku Mutu Air Laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Untuk Biota Laut Nomor: 51 Tahun 2004)
pH
-
alami 7-8,5 >5 -
4.2 Logam Berat di Air 4.2.1 Merkuri (Hg) Pada dasarnya, merkuri/raksa (Hg) merupakan unsur logam yang sangat penting dalam teknologi di abad modern saat ini. Bentuk fisik dan kimianya sangat menguntungkan karena merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (25°C), titik bekunya paling rendah (-39°C), mempunyai kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain menjadi logam campuran (amalgam/alloy), juga dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor baik pada tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah (Alfian, 2006). Hasil analisa merkuri terhadap air di perairan Pulau Panggang-Pramuka menunjukkan kandungan merkuri berfluktuasi (Gambar 5). Pada bulan April kisaran merkuri pada perairan tersebut berkisar antara 0,0008-0,0014 ppm dengan rata-rata 0,0011 ppm. Pada bulan Juli mengalami kenaikan dengan nilai kisaran antara 0,0010-0,0024 ppm dengan rata-rata 0,0016 ppm. Pada bulan Oktober nilai Hg berkisar 0,0011-0,0022 ppm dengan rata-rata 0,0016 ppm. Pada bulan April kandungan Hg tertinggi pada stasiun 2 dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 1. Pada Juli merkuri tertinggi pada stasiun 6 dan terendah di stasiun 2. Pada bulan Oktober nilai Hg tertinggi pada stasiun 6 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3. Secara umum kandungan Hg tertinggi terletak pada stasiun 6, 9, dan 10. Letak stasiun 6 berada di dalam keramba jaring apung ikan bandeng. Tingginya Hg di sekitar keramba dapat diduga berasal dari bahan keramba yang dipakai (ada campuran plastik) dan cat yang dipakai (jaring keramba dan drum). Fardiaz (2005) menyebutkan logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Senyawa merkuri juga banyak dipakai dalam pembuatan amalgam, cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird, 1995; Darmono, 1995; Effendi, 2003;
Fardiaz, 2005). Pada stasiun 9 dan 10 yang merupakan daerah yang dekat dengan jalur transportasi dan Pulau Panggang serta Pulau Karya, sumber merkuri dapat berasal dari limpasan pulau (penduduk) maupun terbawa arus akibat adanya lalulintas pelayaran di daerah tersebut.
Hg (ppm)
0,0025
April
0,0020
Juli
0,0015
Oktober
0,0010 0,0005 0,0000 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9 10
Gambar 5. Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka
Penelitian yang dilakukan oleh Puspaningsih (2006) di sekitar perairan Kepulauan Seribu, yakni Pulau Rambut, Pulau Lancang, Pulau Bokor, dan Pulau Pari menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada sampel air laut di sekitar Pulau Rambut (stasiun 1) berkisar antara 6,086-28,64 ppb, di sekitar Pulau Lancang (stasiun 2) berkisar antara 0,0413-32,46 ppb, di sekitar Pulau Bokor (stasiun 3) berkisar antara 0,2106-4,147 ppb, dan di sekitar Pulau Pari berkisar antara 0,586821,06 ppb. Berdasarkan hal ini jelas terlihat bahwa merkuri di perairan Pulau Panggang-Pramuka sebagai pusat administrasi Kepulauan Seribu lebih tinggi. Walaupun waktu penelitian berselang 2 tahun daerah perairan Pulau PanggangPramuka memiliki kandungan merkuri yang cukup tinggi dibanding penelitian sebelumnya (sekitar perairan Pulau Rambut, Lancang, Bokor, dan Rambut). Berdasarkan grafik rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka (Gambar 6), dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu air laut untuk biota laut) sudah melewati ambang batas yang telah ditetapkan yaitu > 0,001 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perairan ini jika ditinjau dari pencemaran logam Hg sudah tergolong tercemar. Hal ini sangat memungkinkan karena pemakaian Hg hampir di setiap sektor kehidupan (sebagai bahan utama maupun campuran) baik bidang industri, pertanian maupun kedokteran (Alfian, 2006). Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987) untuk kategori akut, hasil yang diperoleh secara umum masih di bawah standar (<0,0021 ppm). Untuk kategori kronis bulan Oktober sudah melewati baku mutu yang ditetapkan (>0,000025 ppm). Penetapan baku mutu terhadap suatu bahan pencemar tergantung kebijakan dari pemerintah setempat (pemerintah RI dan EPA, USA).
0,0025 Merkuri
Hg (ppm)
0,0020
Baku Mutu RI EPA (akut) EPA (Kronis)
0,0015 0,0010 0,0005 0,0000 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9 10
Gambar 6. Rata-rata kandungan merkuri pada air perairan Pulau PanggangPramuka
Dampak merkuri (Hg) terhadap tubuh dapat bersifat akut atau kronis. Hal ini sangat bergantung pada kadar merkuri yang masuk. Masuknya merkuri ke dalam tubuh pada dosis tertentu, dalam waktu cepat dapat menimbulkan dampak yang bersifat akut seperti kerusakan paru-paru, mual, muntah, diare, peningkatan
tekanan darah, ruam pada kuku dan iritasi mata. Dampak yang bersifat kronik terjadi karena merkuri terutama senyawa metil merkuri dapat mengalami penumpukan (akumulasi) yang dapat mengganggu fungsi ginjal atau sering disebut nefrotoksik. Selain itu merkuri dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan daya ingat, kejang, dan tremor (gerakan tubuh yang tidak terkendali), hingga menyebabkan kematian seperti yang dialami warga Minamata, Jepang (Athena et al., 2004).
4.2.2 Kadmium (Cd) Berdasarkan hasil analisa kadmium dalam air di perairan Pulau PanggangPramuka mengalami peningkatan tiap bulan. Peningkatan Cd dari mulai bulan April-Juli tidak terlalu signifikan. Pada bulan Juli sampai Oktober terjadi peningkatan Cd yang sangat signifikan di seluruh stasiun pengamatan (Gambar 6). Pada bulan April Cd di perairan Pulau Panggang-Pamuka berkisar antara 0,00060,0009 ppm (rata-rata; 0,00074 ppm). Kadmium tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 1, 8, dan 9. Secara umum, perbedaan nilai Cd antar stasiun pada bulan April di Perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak terlalu besar (relative kecil). Pada bulan Juli kandungan logam berat kadmium berkisar antara 0,0005-0,0010 ppm (rata-rata; 0,00078 ppm). Kadmium tertinggi pada stasiun 2 dan 10, sedangkan terendah pada stasiun 9. Pada bulan Juli perbedaan antar stasiun lebih besar dibanding bulan April. Bulan Oktober yang merupakan bulan peralihan kedua di Indonesia dengan kondisi perairan Laut Jawa yang tidak stabil memperlihatkan nilai kadmium yang berbeda tiap stasiun dengan perbedaan yang cukup tinggi. Kisaran logam kadmium pada bulan Oktober antara 0,0003-0,004 ppm (rata-rata; 0,0036 ppm), dengan kandungan tertinggi pada stasiun 3, 4, 5, 6, 8, dan 10 sedangkan terendah pada stasiun 1, 2, 7, dan 9. Berdasarkan hasil pengamatan (April-Oktober) menunjukkan bahwa semakin lama kandungan kadmium meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Daerah bagian timur pantai Pulau Karya (Stasiun 10) merupakan daerah yang paling rentan terhadap pencemran logam berat. Peningkatan Cd yang tinggi pada bulan Oktober diduga bahwa pada bulan ini terjadi dorongan akibat adanya arus dari teluk Jakarta, sehingga polutan yang terdapat di Teluk Jakarta terbawa ke
perairan Pulau Panggang-Pramuka. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya sampah (terutama sampah plastik) yang terbawa ke daerah Kepulauan Seribu. Hal tersebut menurut penuturan masyarakat sekitar terjadi tiap tahun pada saat musim hujan (debit air sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tinggi/naik).
0,004 April
Cd (ppm)
0,003
Juli Oktober
0,002 0,001 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
Stasiun
Gambar 7. Kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka
Tingginya nilai kadmium di perairan Pulau Panggang-Pramuka walaupun sumber pencemaran berupa industri (point source) jauh di daerah Jakarta tidak terlepas dari salah satu pemakaian kadmium sebagai pigmen pada keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995; Lu, 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai nicad (nikel cadmium). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padipadian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama Cd. Asap rokok juga menyebabkan meningkatnya Cd di lingkungan. Kadmium terdapat juga di alam terdapat dalam bijih timbal dan zink (Baird, 1995; Lu, 2006). Berdasarkan grafik rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka (Gambar 8), dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu
air laut untuk biota laut) sudah melewati ambang batas yang telah ditetapkan yaitu > 0,001 ppm. Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987), baik kronis maupun akut masih jauh dibawah ambang batas yang ditetapakan (<0,0093 ppm dan <0,043 ppm).
0,010 Merkuri
0,008 Cd (ppm)
EPA (Kronis) Baku Mutu RI
0,006 0,004 0,002 0,000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Stasiun
Gambar 8. Rata-rata kandungan kadmium pada air perairan Pulau PanggangPramuka
Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi, 2003; Lu, 2006).
4.2.3 Timbal (Pb) Berdasarkan hasil analisa air, kandungan timbal di perairan Pulau Panggang-Pramuka mengalami fluktuasi. Perbedaan nilai Pb antara bulan April dengan Juli tidak terlalu signifikan, sedangkan pada bulan Oktober terjadi peningkatan yang drastis yaitu mencapai 10 kali lipat dari pengukuran bulan sebelumnya (Gambar 9). Pada bulan April kandungan Pb di perairan Pulau Panggang-Pamuka berkisar antara 0,0009-0,0022 ppm dengan rata-rata 0,0015
ppm). Pada bulan April timbal tertinggi terdapat di stasiun 9 dan 10, sedangkan terendah di stasiun 1. Secara umum, perbedaan kandungan Pb antar stasiun pada bulan April di perairan Pulau Panggang-Pramuka tidak terlalu besar (relative kecil). Pada bulan Juli kandungan logam berat timbal berkisar antara 0,00040,0021 ppm dengan rata-rata 0,00013 ppm. Pada bulan Juli timbal tertinggi pada stasiun 8, sedangkan terendah pada stasiun 4. Pada bulan Juli dan April, perbedaan Pb antar stasiun tidak terlalu tinggi dan cenderung turun walaupun penurunannya sangat kecil. Pada bulan Oktober seperti yang terjadi pada logam kadmium terjadi peningkatan yang sangat besar mencapai sepuluh kali lipat. Pada bulan Oktober kandungan Pb berkisar antara 0,017-0,018 ppm, rata-rata 0,0172 ppm. Kandungan Pb pada bulan Oktober hampir sama di setiap stasiun yaitu 0,017 ppm, kecuali pada stasiun 3 dan 10.
0,020 April
Pb (ppm)
0,015
Juli Oktober
0,010 0,005 0,000 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9 10
Gambar 9. Kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka
Timah hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Banyaknya kapal di perairan Pulau Panggang-Pramuka bisa jadi pemicu tingginya logam Pb akibat dari pemakaian bahan bakar yang mengandung timbal (lead gasoline) yang memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal
di perairan (Effendi, 2003). Laws (1981) mengemukakan keberadaan Pb dalam air laut permukaan banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia di sekitarnya. Selain itu, Tunekyan (1971) in Bryan (1976) in Razak (1986) menjelaskan bahwa logam berat di perairan dapat berasal dari aktivitas gunung berapi. Penggunaan timah hitam terbesar adalah dalam produksi baterai, yang memakai timbal metalik dan komponen-komponennya. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz, 2005; Lu, 2006). Berdasarkan grafik rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka (Gambar 10), dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah RI (KepMen LH No. 51 tahun 2004 tentang kriteria baku mutu air laut untuk biota laut) belum melewati ambang batas yang telah ditetapkan yaitu < 0,008 ppm. Berdasarkan baku mutu dari EPA (1987) untuk kategori kronis, hasil yang diperoleh telah melewati baku mutu yang ditetapkan yaitu >0,0056 ppm. Untuk kategori akut masih dibawah ambang batas yang ditetapkan (<0,1400 pmm).
0,008 0,007 Pb (ppm)
0,006 Merkuri
0,005 0,004 0,003
Baku Mutu RI EPA (Kronis)
0,002 0,001 0,000 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9 10
Gambar 10. Rata-rata kandungan timbal pada air perairan Pulau PanggangPramuka
Timbal (Pb) merusak sistem saraf, hemetologik, heme-totoxik dan mempengaruhi kerja ginjal. Timbal mempunyai dampak kesehatan yang luas dan berbahaya, karena Pb mempengaruhi hampir semua organ tubuh, seperti ginjal dan hati. Timbal juga mempengaruhi metabolisme sintesis darah merah, sehingga dapat menyebabkan anemia (kurang darah). Timbal ditimbun dalam tulang. Pada waktu orang mengalami stres, Pb diremobilisasi dari tulang dan masuk ke dalam peredaran darah serta menimbulkan risiko terjadinya keracunan. Pada perempuan yang mengandung, Pb yang tertimbun dalam tulang juga diremobilisasi dan masuk ke dalam peredaran darah. Dari peredaran darah ibu Pb masuk ke dalam janin dan menghambat perkem-bangan sistem syaraf, yang pada akhirya anak menghadapi risiko penyakit nerotik, sukar belajar dan penurunan tingkat IQ,
kesehatan dan pertumbuhan bayi juga terganggu (Athena et al., 2004). Secara umum kandungan logam berat (H, Cd, dan Pb) pada air di perairan Pulau Panggang-Pramuka masih lebih rendah dibanding daerah Teluk Jakarta (Muara Angke dan Kamal Muara), kecuali merkuri (Tabel 12). Hal ini dapat diduga karena Teluk Jakarta yang merupakan muara dari 13 sungai di Jabotabek. Ke 13 sungai tersebut membawa limbah yang berasal dari daratan baik limbah yang langsung dibuang ke sungai maupun hasil limpasan pada saat musim hujan. Limbah yang dibawa sedikit ataupun banyak mengandung logam berat. Apalagi banyaknya industri di daerah Jabotabek maupun di daerah Jakarta Utara. Limbah industri terutama industri di bidang kimia, elektronik yang banyak menggunakan logam berat baik sebagai bahan utama maupun tambahan dan sebagai katalis. Selain itu Dahuri (2003) mengungkapakan bahwa pencemaran di daerah pesisir dan laut juga dapat terjadi akibat frekuensi lalu lintas transfortasi yang sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena daerah Teluk Jakarta merupakan salah satu pelabuhan internasional. Lebih rendahnya logam berat di perairan Pulau Panggang-Pramuka, yang merupakan pulau kecil yang terpisah dari pulau induk, karena limbah yang masuk tidak sebanyak di Teluk Jakarta dan limbahnya sudah terencerkan sebelum sampai ke Kepulauan Seribu.
Tabel 12. Kandungan logam berat pada air di daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya. Logam berat Merkuri (Hg) Kadmium (Cd) Timbal (Pb)
Satuan ppm ppm ppm
PanggangPramuka 0,0008-
Muara angke1 1980 1981 -
-
0,0005-
0,093-
0,120-
0,004
0,196
0,140
0,0009-
0,120-
0,040-
0,0180
0,330
0,330
0,0024
Kamal Muara2 0,000080,000133
Baku Mutu3 0,001
0,006-0,046
0,001
0,009-0,035
0,008
Sumber : 1 Hutagalung and Razak, 1982; 2 Mulyawan, 2005; 3 KepMen LH No. 51 Tahun 2004.
4.3 Logam Berat di Sedimen 4.3.1 Merkuri (Hg) Hasil analisa merkuri pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka terjadi fluktuasi pada setiap pengamatan (Gambar 11). Pada bulan April kandungan Hg di sedimen perairan Pulau Panggang-Pamuka berkisar antara 0,0434-1,3750 ppm dengan rata-rata 0,5313 ppm. Konsentrasi merkuri tertinggi pada bulan April terdapat pada stasiun 4, sedangkan konsentrasi merkuri terendah terdapat pada stasiun 8. Pada bulan Juli kandungan merkuri di sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0634-1,0715 ppm dengan rata-rata 0,4284 ppm. Pada bulan Juli konsentrasi Hg tertinggi pada sedimen terdapat pada stasiun 9, sedangkan terendah pada stasiun 8. Selang perbedaan nilai Hg antara bulan April dengan Juli tidak terlalu besar, hanya terjadi perubahan nilai yang tidak tetap antar stasiun. Pada bulan Oktober terjadi peningkatan merkuri di dalam sedimen seperti halnya yang terjadi di air. Pada bulan Oktober kandungan merkuri berkisar antara 0,3080-3,8119 ppm dengan rata-rata 1,3854 ppm. Konsentrasi Hg tertinggi pada bulan Oktober terdapat pada stasiun 4, sedangkan terendah pada stasiun 10. Perbedaan merkuri tiap stasiun dan tiap waktu berbeda-beda tergantung pada ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik, dan pH sedimen. Permukaan partikel yang halus/kecil akan memiliki luas permukaan yang besar sehingga mengakibatkan semakin efektif proses adsorpsi logam berat oleh
sedimen. Ukuran dari partikel sedimen juga akan mempengaruhi tingkat kelarutan oksigen dalam sedimen (air jebakan). pH merupakan faktor yang mempengaruhi
Hg (ppm)
kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+ (Sanusi, 2006).
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
April Juli Oktober
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Stasiun
Gambar 11. Kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka
Hasil analisis merkuri terhadap sedimen di perairan Pulau PanggangPramuka dibandingkan dengan kadar alamiah dari Reseau Nationanal ‘d Observation (RNO, 1981), menunjukkan sedimen perairan Pulau PanggangPramuka telah diluar kisaran normal (>0,0020 ppm). Begitu juga dengan kisaran alamiah dari EPA (1990) hampir seluruhnya telah melewati batas yang ditetapkan (>0,200 ppm), kecuali stasiun 8. Hasil pengukuran merkuri pada sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997), secara keseluruhan sudah melewati level limit dan level target, kecuali stasiun 6 dan 8. Level limit merupakan; jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. Sedangkan level target merupakan; jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Rata-
rata hasil pengukuran merkuri berdasarkan IADC/CEDA (1997) tergolong tercemar ringan (kisaran nilai antara level limit dan level test adalah 0,5-2,0 ppm).
2,00 Merkuri
Hg (ppm)
1,50
Level limit Level target
1,00 0,50 0,00 1
2
3
4
5 6 Stasiun
7
8
9
10
Gambar 12. Rata-rata kandungan merkuri pada sedimen perairan Pulau PanggangPramuka
4.3.2 Kadmium (Cd) Kandungan kadmium pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka berdasarkan penelitian dari waktu ke waktu (April-Oktober) menunjukkan adanya peningkatan (Gambar 13). Pada bulan April kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0301-0,3508 ppm denga ratarata 0,1646 ppm. Pada bulan April kadmium tertinggi terdapat pada stasiun 5, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 1. Pada bulan Juli mengalami peningkatan hingga mencapai 3,9074 ppm, dengan rata-rata 0,5823 ppm. Pada bulan Oktober terjadi peningkatan kadmium yang cukup signifikan pada hampir seluruh stasiun kecuali stasiun 2, 7, dan 8. Peningkatan paling drastis terdapat pada stasiun 4 dan 10. Kisaran kadmium pada sedimen di bulan Oktober adalah antara 0,1810-5,0857 ppm, dengan rata-rata mencapai 1,1203 ppm. Pada bulan Oktober konsentrasi Cd tertinggi pada stasiun 10, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 2. Peningkatan kadmium yang cukup tinggi pada bulan Oktober mengikuti kondisi yang sama pada logam berat lainnya (merkuri).
Perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi, 2006). Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl 2 ). Kandungan logam berat di sedimen tergantung pada komposisi kimia dan mineral
Cd (ppm)
sedimen (Sanusi, 2006).
5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
April Juli Oktober
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Stasiun
Gambar 13. Kandungan kadmium di sedimen perairan Pulau PanggangPramuka
Hasil analisis kadmium terhadap sedimen di perairan Pulau PanggangPramuka dibandingkan dengan kadar alamiah dari Reseau National ‘d Observation (RNO, 1981) dan EPA (1990), menunjukkan sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka secara umum dalam kisaran normal masing-masing dibawah <2,0000 ppm (RNO, 1981) dan <1,0000 ppm (EPA, 1990), kecuali stasiun 4 dan stasiun 10. Hasil pengukuran merkuri pada sedimen dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997), secara keseluruhan masih
dibawah level limit (kecuali stasiun 10) dan level target (kecuali stasiun 4 dan 10) (Gambar 14).
3,50
Cd (ppm)
3,00 2,50
Kadmium
2,00
Level limit
1,50
Level target
1,00 0,50 0,00 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9
10
Gambar 14. Rata-rata kandungan kadmium pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka
4.3.3 Timbal (Pb) Hasil pengamatan logam berat timbal dalam sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka pada bulan April berkisar antara 0,0065-1,3589 ppm dengan rata-rata 0,7008 ppm. Kandungan timbal tertinggi pada bulan April terdapat pada stasiun 1 dan 3, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 7. Kandungan timbal pada Juli dalam sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,3481-1,6221 ppm dengan rata-rata 0,6172 ppm. Kandungan timbal tertinggi pada bulan Juli terdapat pada stasiun 3, sedangkan terndah pada stasiun 10. Pada bulan Oktober kandungan timbal dalam sedimen di perairan Pulau PanggangPramuka berkisar antara 0,0916-1,5774 ppm, dengan rata-rata 0,5479 ppm. Kandungan timbal tertinggi pada bulan Oktober terdapat pada stasiun 6, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 3. Secara umum berdasarkan rata-rata keseluruhan stasiun timbal mengalami penurunan (Gambar 15) . Hasil analisa logam berat timbal pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka dibanding hasil penelitian yang dilakukan Amin (2002) pada sedimen di perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau menunjukkan nilai yang lebih kecil di sedimen perairan Panggang-Pramuka. Berdasarkan
Korzeniewski & Neugabieuer (1991) in Amin (2002), mengemukakan bahwa tipe sedimen dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen, dengan kategori kandungan logam berat dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir. Dalam hal ini jenis sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka adalah pasir sedangkan sedimen di perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau adalah lumpur.
Pb (ppm)
2,00 April
1,50
Juli 1,00
Oktober
0,50 0,00 1
2
3
4
5 6 7 Stasiun
8
9 10
Pb (ppm)
Gambar 15. Kandungan timbal di sedimen perairan Pulau Panggang- Pramuka
1,20
550,00
1,00
450,00
0,80
350,00
0,60
250,00
0,40
150,00
0,20
50,00
0,00
-50,00 1
2
3
Timbal
4
5
6 7 Stasiun level limit
8
9
10
Level target
Gambar 16. Rata-rata kandungan timbal pada sedimen perairan Pulau PanggangPramuka
Hasil penelitian terhadap kandungan timbal pada sedimen dibandingkan dengan kadar alamiah yang ada masih di bawah ambang batas bawah yang ditetapkan yaitu dibawah 10,0000 ppm (RNO, 1981) dan dibawah 5,0000 ppm EPA (1990). Hasil pengukuran timbal dibandingkan dengan baku mutu dari IADC/CEDA (1997) masih jauh dibawah level limit (< 530,0000 ppm), bahkan jauh dibawah level target yaitu < 85,0000 ppm. Secara umum kandungan logam berat (H, Cd, dan Pb) pada sedimen di perairan Pulau Panggang-Pramuka lebih tinggi dibanding daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya, kecuali timbal (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa logam berat di perairan terutama sedimen, tidak saja tinggi/ada pada daerah dengan sumber pencemar yang jelas (point source). Akan tetapi logam berat di perairan/sedimen berasal dari sumber tertentu (non point source). Sumber non point source dalam hal ini (kasus logam berat pada sedimen Pulau PanggangPramuka) dapat berasal lalu lintas pelayaran dan dari rumah tangga (walaupun sangat kecil). Bahkan
Tunekyan (1971) in Bryan (1976) in Razak (1986)
menjelaskan bahwa logam berat di perairan dapat berasal dari aktivitas gunung berapi (dalam hal ini dapat berasal dari aktivitas gunung Krakatau).
Tabel 13. Kandungan logam berat dalam sedimen di daerah Teluk Jakarta dan sekitarnya. Logam berat
PanggangPramuka
Merkuri (Hg)
0,04343,8119
Kadmium (Cd)
0,0301-
Tanjung Priok1
Tanjung Priok2
0,0871,702
0,11
0,72-2,75
0,7
Kamal
Teluk
Jakarta1
Muara3
Banten1
0,143-
0,043-0,099
0,056-0,028
0,5
0,124-0,151
<0,53
2
1,018-3,342
3,2-104
530
1,63
5,0857 Timbal (Pb)
Baku Mutu4
Teluk
1,412,53
0,0062-
101,4-
0,0074
177,5
29,50
89,5176,5
Sumber: 1 Hutagalung,1994; 2 Fajri, 2001; 3 Mulyawan, 2005; 4KepMen LH No. 51 Tahun 2004
Tingginya logam berat pada sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka juga dapat diduga akibat tingginya logam berat di sekitar Teluk Jakarta. Hal ini terkait dengan adanya arus yang membawa pencemar/logam berat ke daerah Pulau Panggang-Pramuka. Kasus ini dapat dilihat pada saat musim hujan, adanya dorongan dari sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta sehingga sampah dan bahan-bahan terlarut terdorong ke arah Pulau Seribu (Pulau Panggang-Pramuka). Dahuri (2003) menyatakan bahwa pencemaran di daerah pesisir dan laut juga dapat terjadi akibat frekuensi lalu lintas transfortasi yang sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena daerah Kepulauan Seribu adalah lalu lintas pelayaran nasional dan tujuan wisata khusunya daerah Ibu Kota Jakarta.
4.5 Korelasi logam berat antara air dan sedimen Korelasi air dan sedimen merkuri (Hg) rata-rata 0,6131, dengan korelasi tertinggi 0,9933 pada stasiun 10 dan terendah 0,1694 pada stasiun 1. Kadmium memiliki korelasi rata-rata 0,8149, dengan korelasi tertinggi pada stasiun 4 yaitu mencapai 1,000. Hal ini berarti memiliki hubungan yang sangat erat antara kadmium di air dan sedimen (dengan koefisien determinasi mencapai rata-rata 72,41%). Korelasi terendah logam kadmium terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,1797. Korelasi timbal di air dan sedimen tertinggi pada stasiun 6 yaitu mencapai 0,9994, sedangkan terendah pada stasiun 3 yaitu hanya 0,2681. Korelasi rata-rata timbal mencapai 0,5655. Korelasi logam berat di air dan sedimen perairan Pulau Panggang-Pramuka dapat dilihat pada Tabel 14. Hubungan logam berat antara air dan sedimen di perairan Pulau PanggangPramuka adalah berkorelasi positif. Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara logam berat di air dan di sedimen. Hubungan tersebut tidak sama antar stasiun, hal ini terkait dengan kondisi air dan substrat yang tidak sama tiap tempat/lokasi. Hutagalung (1984) mengemukakan pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih
tinggi
dibanding
dalam
air
(Hutagalung,
1991).
Sanusi
(2006)
mengemukakan bahwa sifat fisik kimia material padatan tersuspensi yang
memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air, maka deposisi padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut selain material organik dalam sedimen. Makin tinggi kandungan polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen.
Tabel 14. Korelasi logam berat di air dan sedimen perairan Pulau Panggang Pramuka Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata Minimal Maksimal
Merkuri r R (%) 0,1694 2,8700 0,6875 47,2600 0,3780 14,2900 0,4107 16,8700 0,7178 51,5200 0,9068 82,2200 0,6576 43,2400 0,5347 28,5900 0,6755 45,6300 0,9933 98,6600 0,6131 43,1150 0,1694 2,8700 0,9933 98,6600
Logam Berat Kadmium r R (%) 0,9369 87,7700 0,1797 3,2300 0,7196 51,7800 1,0000 100,0000 0,9889 97,8000 0,9862 97,2500 0,6869 47,1800 0,9538 90,9800 0,9941 98,8300 0,7026 49,3700 0,8149 72,4190 0,1797 3,2300 1,0000 100,0000
Timbal r R (%) 0,2848 8,1100 0,8202 67,2800 0,2681 7,1900 0,9808 96,1900 0,5661 32,0500 0,9994 99,8900 0,5946 35,3500 0,3852 14,8400 0,3422 11,7100 0,4135 17,1000 0,5655 38,9710 0,2681 7,1900 0,9994 99,8900
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari hubungan logam berat di air dan sedimen (Tabel 14), kadmium memiliki korelasi yang paling kuat dibanding merkuri dan timbal. Pada kadmium korelasi antara air dan sedimen sangat kuat hingga mencapai 1 (rata-rata r mencapai 0,8149). Hal ini menandakan bahwa kadmium di sedimen sangat dipengaruhi oleh keberadaan kadmium di air (dengan koefisien determinsi mencapai 72,4190%). Korelasi air dan sedimen pada merkuri dan timbal adalah masing-masing 0,6131 dan 0,5655. Hubungan antara keberadaan merkuri dan timbal pada air dan sedimen cukup erat. Koefisien determinasi merkuri dan timbal masing-masing 43,1150% dan 38,9710%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kandungan merkuri pada air perairan Pulau Panggang-Pramuka berkisar antara 0,0011-0,0019 ppm dengan rata-rata 0,0015 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,1957-1,8485 ppm dengan rata-rata 0,7817 ppm. Kadmium pada air berkisar antara 0,0014-0,0040 ppm dengan rata-rata 0,0017 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,1536-3,0244 ppm dengan rata-rata 0,6245 ppm. Timbal pada air berkisar antara 0,0062-0,0074 ppm dengan rata-rata 0,0067 ppm, sedangkan pada sedimen berkisar antara 0,4260-1,5770 ppm dengan rata-rata 0,7707 ppm. Logam berat merkuri dan kadmium berdasarkan baku mutu KepMen LH No 51. Tahun 2004 pada air telah tercemar, sedangkan logam berat timbal masih dibawah baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada sedimen logam berat merkuri berdasarkan IADC/CEDA (1997) telah tercemar ringan. Secara umum logam berat kadmium, kecuali stasiun 10 belum tercemar. Logam berat timbal pada sedimen belum tercemar. Korelasi antara air dan sedimen memiliki korelasi yang positif. Korelasi kadmium air dan sedimen rata-rata mencapai 0,7242. Korelasi merkuri antara air dan sedimen rata-rata mencapai 0,4312. Korelasi timbal antara air dan sedimen rata-rata mencapai 0,3897.
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian terhadap arah pergerakan arus dari Teluk Jakarta dan sekitarnya serta konsentrasi logam berat di perairan sepanjang Teluk Jakarta menuju utara Kepulauan Seribu untuk mengetahui sejauh mana pengaruh logam berat di Teluk Jakarta terhadap konsentrasi logam berat di Perairan Pulau Panggang-Pramuka dan daerah lainnya di Kepulauan Seribu.
V. DAFTAR PUSTAKA Alaerts dan S. S. Santika. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya Alfian, Z. 2006. Merkuri: Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kimia Analitik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas SumateraUtara Amin, B. 2002. Distribusi Logam Berat Pb, Cu dan Zn pada Sedimen di Perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau. Natur Indonesia 5(1): 9-16. ISSN 1410-9379 Athena, D Anwar M. Hendro dan M. Muhasim. 2004. Kandungan Pb, Cd, Hg dalam Air Minum dari Depot Air Minum Isi Ulang Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan. Ekologi Kesehatan Vol3 No 3, Desember 2004: 148 - 152 Baird, C. 1995. Environmental Chemistry. W. H. Freeman and Company. New York Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta Connell, D. W dan G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah; Yanti Koestoer; pendamping, Sahati. UI-Press. Jakarta Cotton, F. Alert dan G. Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Penerjemah Sahati Suharto, Yarti A. Koestoer. UI Press. Jakarta Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Pembangunan
Darmono, 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan Dengan Toksikologi Logam Berat. Universitas Indonesia Press. Jakarta Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Fajri, N.E. 2001. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, Pb dalam Air Laut, Sedimen dan Tiram (Carassostrea cucullata) di Perairan Pesisir Kecamatan Pedes, Kabupaten karawang, Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB
Fardiaz, S. 2005. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta Harahap, S. 1991. Tingkat Pencemaran Air di Kali Cakung Ditinjau dari Sifat Fisika Kimia Khususnya Logam Berat dan Keanekaragaman Jenis Hewan Benthos. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana. IX No. 1 Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta. Hal 45-59. Hutagalung, H.P. 1994. Kandungan Logam Berat dalam Sedimen di Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian dan pengembangan Oseanologi , LIPI. Jakarta Hutagalung, H.P dan H. Razak. 1982. Pengamatan Pendahuluan Kadar Pb dan Cd dalam Air dan Biota Estuari Muara Angke. Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI. Jakarta. ISSN 0125-9830 IADC/CEDA. 1997. Convention, Codes, and Conditions: Marine Disposal. Environmental Aspects of Dredging 2a. 71 hal. Ilahude, A. G. 1999. Pengantar Ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi; Lembaga Ilmu Pngetahuan Indonesia. Jakarta Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Penerbit Andi. Yogyakarta Lu, F. C. 2006. Toksikologi Dasar: asas, organ sasaran, dan penilaian resiko. Penerjemah; Edi Nugroho; Pendamping Zunilda S. Bustami, Iwan Darmansyah. UI-Press. Jakarta Moore, J. W. dan S. Ramamoorthy. 1984. Heavy Metals in Neutral Water. Springer Verlag. New York. Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradnya Pramita. Jakarta Mulyawan, I. 2005. Korelasi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd dan Cr pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Kamal
Muara, Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut, suatu Pendekatan Ekologis (dari Marine Biology: An Ecological Approach. Penerjemah E. H. Muhammad et a,.l (edisi pertama). PT. Gramedia. Jakarta. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara (edisi revisi). Jembatan. Jakarta Novotny, V. dan H. Olem. 1994. Water Quality; Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand reinhold. New York. Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka cipta. Jakarta. Pariwono, J. I., M. Eidman, S. Raharjo, M. Purba, R. Widodo, U. Djuariah dan J.H. Hutapea. 1988. Studi Upwelling di Perairan selatan Pulau Jawa. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Pescod, N. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream for Tropical Countries, Asian Institute of Technology. Bangkok. Sgh. Puspaningsih, D. 2006. Analisa Kandungan Logam Berat Hg di Sekitar Perairan Kepulauan Seribu. Seminar Nasional Tahunan III Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 27 Juli 2006 Rahman, A. 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) Pada Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae Volume 3, Nomor 2, Juli 2006, http://www.unlam.ac.id/bioscientiae/ Razak, H. 1986. Kandungan Logam Berat di Perairan Ujung Watu dan Jepara. Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta. ISSN 0125-9830 Sanusi, H. S. 2006. Kimia Laut Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Sumawidjaja, K. 1974. Limnologi. Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Supangat, A dan U. Muawanah. No Annual. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar Laut. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 979 – 97572 – 5 – 8 Undang-undang Nomor 34 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara RI Jakarta Vries, W de, P. F A. M. Romkens, T. van Leeuwen, dan J. J. B. Bronswijk. 2002. Agricultural, Hydrology and Water Quality. The Netherlands National Institut of Public Health and Environment. Netherlands
Lampiran 1. Data logam berat pada air 1. Sampling I ( April 2008) 1.1 Merkuri (Hg) konsentrasi
Absorban
0 5 10 20 40 80
0,0011 0,0885 0,1686 0,3301 0,6502 1,1136
A B r Blanko c Blanko
0,0317 0,0139 0,9929 0,0085 -1,6596
Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0425 0,0511 0,0456 0,0488 0,0461 0,0458 0,0491 0,0466 0,0471 0,0471
0,7777 1,3942 0,9999 1,2293 1,0358 1,0014 1,2508 1,0716 1,1075 1,1075
0,0008 0,0014 0,0010 0,0012 0,0010 0,0010 0,0013 0,0011 0,0011 0,0011
1.2 Kadmium (Cd) konsentrasi
Absorban
0 1 2 4 6 8
0,0025 0,1225 0,2422 0,4815 0,7255 0,9411
A B r Blanko c Blanko
0,0058 0,1181 0,9996 0,0012 -0,0386
Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0811 0,1123 0,0915 0,1021 0,1003 0,1011 0,0901 0,0811 0,0759 0,1123
0,6276 0,8917 0,7156 0,8054 0,7901 0,7969 0,7038 0,6276 0,5836 0,8917
0,0006 0,0009 0,0007 0,0008 0,0008 0,0008 0,0007 0,0006 0,0006 0,0009
1.3 Timbal (Pb) konsentrasi
Absorban
0 5 10 20 30 40
0,0035 0,1205 0,2203 0,4125 0,6112 0,8054
A B r Blanko c Blanko
0,0148 0,0199 0,9995 0,0011 -0,6922
Stasiun
Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2. Sampling II ( Juli 2008) 2.1 Merkuri (Hg)
abs
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
C
0,0335 0,0458 0,0395 0,0411 0,0387 0,0499 0,0513 0,0566 0,0594 0,0594
Konsentrasi
Absorban
0 5 10 20 40 80
0,0002 0,0620 0,1320 0,2308 0,4439 0,9342
Kadar 0,8850 1,5041 1,1868 1,2674 1,1465 1,7107 1,7812 2,0482 2,1892 2,1892
A B r Blanko c Blanko
0,0009 0,0015 0,0012 0,0013 0,0011 0,0017 0,0018 0,0020 0,0022 0,0022
0,0025 0,0115 0,9988 0,0084 0,5139
Stasiun
Bobot
abs1
abs2
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0255 0,0222 0,0261 0,0298 0,0295 0,0384 0,0247 0,0294 0,0361 0,0361
0,0171 0,0138 0,0177 0,0214 0,0211 0,0300 0,0163 0,0210 0,0277 0,0277
1,2679 0,9819 1,3199 1,6407 1,6146 2,3861 1,1986 1,6060 2,1867 2,1867
0,0013 0,0010 0,0013 0,0016 0,0016 0,0024 0,0012 0,0016 0,0022 0,0022
2.2 Kadmium (Cd) Konsentrasi
Absorban
0 1 2 4 6 8
0,0011 0,1239 0,2515 0,4811 0,7254 0,9544
A B r Blanko c Blanko
0,0060 0,1191 0,9998 0,0001 -0,0495
Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0915 0,1225 0,0815 0,1133 0,1021 0,1112 0,0913 0,0855 0,0712 0,1225
0,7170 0,9772 0,6330 0,9000 0,8060 0,8824 0,7153 0,6666 0,5466 0,9772
0,0007 0,0010 0,0006 0,0009 0,0008 0,0009 0,0007 0,0007 0,0005 0,0010
2.3 Timbal Konsentrasi
Absorban
0 5 10 20 30 40
0,0011 0,1159 0,2115 0,4215 0,6139 0,8024
A B r Blanko c Blanko
0,0114 0,0200 0,9993 0,0005 -0,5448
Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0411 0,0351 0,0411 0,0199 0,0422 0,0301 0,0399 0,0544 0,0351 0,0544
1,4621 1,1618 1,4621 0,4011 1,5172 0,9116 1,4021 2,1278 1,1618 2,1278
0,0015 0,0012 0,0015 0,0004 0,0015 0,0009 0,0014 0,0021 0,0012 0,0021
3. Sampling III ( Oktober 2008) 3.1 Merkuri (Hg) Konsentrasi
Absorban
0 5 10 20 40 80
0,0002 0,0620 0,1320 0,2308 0,4439 0,9342
A B r Blanko c Blanko
0,0025 0,0115 0,9988 0,0084 0,5139
StaStasiun
Bobot
abs1
abs2
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0233 0,0251 0,0239 0,0302 0,0301 0,0367 0,0265 0,0291 0,0346 0,0346
0,0149 0,0167 0,0155 0,0218 0,0217 0,0283 0,0181 0,0210 0,0262 0,0262
1,0773 1,2333 1,1293 1,6753 1,6667 2,2387 1,3546 1,5800 2,0567 2,0567
0,0011 0,0012 0,0011 0,0017 0,0017 0,0022 0,0014 0,0016 0,0021 0,0021
3.2 Kadmium (Cd) Konsentrasi 0 1 2 4 6 8
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Absorban 0 0,2007 0,2874 0,6474 0,9621 1,2271
Bobot 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
abs 0,5455 0,4944 0,5582 0,6405 0,6556 0,6138 0,5369 0,5623 0,5076 0,5842
A B r Blanko C Blanko
C 3,4434 3,1117 3,5259 4,0600 4,1581 3,8867 3,3876 3,5525 3,1974 3,6946
0,0149 0,1541 0,9967 0,0001 -0,096
Kadar 0,0030 0,0030 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040 0,0030 0,0040 0,0030 0,0040
3.3 Timbal (Pb) Konsentrasi 0 5 10 20 40 60
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Absorban 0,0024 0,1143 0,2382 0,6478 1,2154 1,8155
Bobot 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
abs 0,5044 0,4990 0,5317 0,5098 0,5023 0,4991 0,5169 0,5141 0,5095 0,5281
A B r Blanko C Bla
-0,0201 0,0308 0,9976 0,0021 0,7215
C 16,9766 16,8011 17,8637 17,1520 16,9083 16,8043 17,3828 17,2918 17,1423 17,7467
Kadar 0,0170 0,0170 0,0180 0,0170 0,0170 0,0170 0,0170 0,0170 0,0170 0,0180
Lampiran 2. Data logam berat pada sedimen 1.4 Merkuri (Hg) Konsentrasi
Abs
0 2,5 5 10 20 40
0,0011 0,0393 0,0771 0,1548 0,3057 0,5889
A B r Abs Blanko C blanko
0,0044 0,0147 0,9996 0,003 -0,0975
Sampling I (April 2008) Stasiun
Bobot
abs1
abs2
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0894 0,3174 0,1192 0,4247 0,0856 0,0691 0,0746 0,1031 0,1794 0,3279
0,0380 0,1864 0,0498 0,2158 0,0437 0,0305 0,0305 0,0894 0,0890 0,1627
2,9904 8,4061 4,2198 13,7054 2,3490 2,1211 2,4959 0,4340 5,6476 10,7333
0,2990 0,8406 0,4220 1,3705 0,2349 0,2121 0,2496 0,0434 0,5648 1,0733
Sampling II (Juli 2008) Stasiun
Bobot
abs1
abs2
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,1201 0,0811 0,0663 0,6486 0,1793 0,1138 0,6786 0,0469 0,4315 0,1195
0,0585 0,0380 0,0350 0,5870 0,0849 0,0566 0,5610 0,0302 0,2666 0,0625
3,6864 2,4313 1,6231 3,6850 5,9170 3,3844 7,4959 0,6340 10,7150 3,3728
0,3686 0,2431 0,1623 0,3685 0,5917 0,3384 0,7496 0,0634 1,0715 0,3373
Stasiun
Bobot
abs1
abs2
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,4297 0,3324 0,3764 1,6245 0,7598 0,1278 0,5689 0,2908 0,1976 0,1088
0,2128 0,1650 0,1624 1,0567 0,3796 0,0625 0,3020 0,2128 0,0963 0,0561
14,2531 10,8850 14,0524 38,1190 25,3599 3,9401 17,6551 4,8034 6,3891 3,0796
1,4253 1,0885 1,4052 3,8119 2,5360 0,3940 1,7655 0,4803 0,6389 0,3080
Sampling III (Oktober 2008)
1.5 Kamium (Cd) Kosentrasi 0 1,6 3,2 4,8 6,4 8
Absorban 0,0036 0,0248 0,0427 0,0567 0,0698 0,0886
A B r Blanko C Blanko
0,0067 0,0102 0,9937 0,0051 -0,1577
Sampling I (April 2008) Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,01494 0,02486 0,01539 0,02544 0,04779 0,04668 0,04668 0,02523 0,01902 0,02005
0,30114 1,26958 0,34508 1,32620 3,50812 3,39975 3,39975 1,30570 0,69945 0,80001
0,03011 0,12696 0,03451 0,13262 0,35081 0,33998 0,33998 0,13057 0,06995 0,08000
Sampling II (Juli 2008) Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sampling III (Oktober 2008)
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0266 0,0431 0,0401 0,0342 0,0413 0,0336 0,0116 0,0206 0,0224 0,4121
1,4346 3,0512 2,7574 2,1765 2,8736 2,1209 -0,0298 0,8517 1,03333 39,0738
0,143 0,305 0,276 0,218 0,287 0,212 -0,003 0,085 0,103 3,907
Stasiun
Bobot
abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0449 0,0304 0,0511 0,2501 0,0821 0,1281 0,0484 0,0370 0,0613 0,5328
3,22793 1,81042 3,83126 23,2586 6,85274 11,3484 3,57157 2,44987 4,82508 50,8571
0,323 0,181 0,383 2,326 0,685 1,135 0,357 0,245 0,483 5,086
1.6 Timbal (Pb) Konsentrasi
Absorban
0 8 16 24 32 40
0,0164 0,0561 0,0927 0,1298 0,1643 0,1896
A B r Blanko c Blanko
0,0205 0,0044 0,9959 0,0053 -3,4652
Sampling I (Juli 2008) Stasiun
Bobot
Abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0853 0,0581 0,0848 0,0594 0,0591 0,0465 0,0260 0,0486 0,0476 0,0491
13,5892 7,3859 13,4752 7,6824 7,6049 4,7313 0,0652 5,2193 4,9913 5,3334
1,3589 0,7386 1,3475 0,7682 0,7605 0,4731 0,0065 0,5219 0,4991 0,5333
Stasiun
Bobot
Abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0512 0,0468 0,0968 0,0694 0,0522 0,0420 0,0460 0,0410 0,0413 0,0410
5,8046 4,8180 16,2210 9,9630 6,0447 3,7084 4,6264 3,4968 3,5556 3,4813
0,5805 0,4818 1,6221 0,9963 0,6045 0,3708 0,4626 0,3497 0,3556 0,3481
Sampling II
Sampling III (Oktober 2008) Stasiun
Bobot
Abs
C
Kadar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
0,0605 0,0380 0,0379 0,0297 0,0518 0,0949 0,0494 0,0421 0,0421 0,0510
7,9333 2,7973 2,7700 0,9158 5,9400 15,7740 5,4064 3,7454 3,7392 5,7669
0,793 0,280 0,277 0,092 0,594 1,577 0,541 0,375 0,374 0,577
Lampiran 3. Grafik korelasi logam berat antara air dan sedimen 1. Merkuri Konsentrasi Hg (ppm)
Konsentrasi Hg (ppm)
1,000
Sedimen
Sedimen
1,500 y = 424,6053x + 0,2447 2
R = 0,0287
0,500 0,000 0,000
0,001
0,001
0,002
1,200 1,000 y = 1.493,7500x ‐ 1,0684 2 0,800 R = 0,4726 0,600 0,400 0,200 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002
Air
Air
Konsentrasi Hg (ppm)
1,600 1,400 y = ‐1.623,5000x + 2,5024 1,200 2 R = 0,1429 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 0,000 0,001 0,001
Sedimen
Sedimen
Konsentrasi Hg (ppm) 5,000 4,000
y = 2.755,2143x ‐ 2,2844
3,000 2,000
2
R = 0,1687
1,000 0,000 0,000
0,001
0,002
Konsentrasi Hg (ppm)
Konsentrasi Hg (ppm) 3,000
0,500
2,500
0,400 0,300 0,200
y = 111,6221x + 0,1065
0,100
sedimen
Sedimen
0,002
Air
Air
0,001
0,002
2,000
y = 2.348,0000x ‐ 2,2446
1,500
2
R = 0,5152
1,000 0,500
2
R = 0,8222
0,000 0,000
0,000 0,000
0,003
0,001
0,001
0,002
Air
Air
Konsentrasi Hg (ppm)
Konsentrasi Hg (ppm)
1,500 1,000 y = 5.079,5000x ‐ 5,6818 0,500
2
R = 0,4324
0,000 0,0011 0,0012 0,0013 0,0014 0,0015
Air
Sedimen
2,000
Sedimen
0,001
0,002
0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
0,002
y = 456,9000x ‐ 0,4592 2
R = 0,2859
0,001
0,001
Air
0,002
0,002
1,500
y = 303,9324x + 0,2113
1,000
R = 0,4563
Konsentrasi Hg (ppm)
S edim en
Sedim en
Konsentrasi Hg (ppm)
2
0,500 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,002 0,003
1,200 1,000 0,800 0,600 y = ‐708,0946x + 1,8474 0,400 2 R = 0,9866 0,200 0,000 0,000 0,001 0,001 0,002 0,002 0,003
Air
Air
2. Kadmium Konsentrasi Cd (ppm)
Konsentrasi Cd (ppm)
0,300 0,200
y = 101,8299x + 0,0195
0,100
Sedimen
Sedimen
0,400
2
R = 0,8777
0,000 0,000 0,001 0,002 0,003 0,004
0,350 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 0,000
y = 66,4040x + 0,1138 2
R = 0,5178 0,004
0,006
2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 0,000
y = 682,8955x ‐ 0,4055 2
R = 1,0000 0,002
0,004
0,006
Konsentrasi Cd (ppm)
Konsentrasi Cd (ppm) 0,800
y = 269,7989x + 0,0530 2
R = 0,9725
0,002
0,004
Air
0,006
Sedimen
Sedimen
0,004
Air
Air
1,200 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 0,000
0,001 0,002 0,003
Konsentrasi Cd (ppm) Sedimen
Sedimen
Konsentrasi Cd (ppm)
0,002
2
R = 0,0323
Air
Air
0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
y = ‐13,8680x + 0,2270
0,600 0,400
y = 114,4345x + 0,2275
0,200
R = 0,9780
2
0,000 0,000 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005
Air
Konsentrasi Cd (ppm)
Sedimen
Sedimen
Konsentrasi Cd (ppm) 0,400 0,350 0,300 0,250 0,200 y = 19,1960x + 0,2996 0,150 2 R = 0,4718 0,100 0,050 0,000 0,0000 0,0010 0,0020 0,0030 0,0040
0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 0,000
y = 40,5990x + 0,0819 2
R = 0,9098 0,002
Konsentrasi Cd (ppm)
Konsentrasi Cd (ppm) 6,000
y = 160,9606x ‐ 0,0014 2
Sedimen
Sedimen
0,006
Air
Air
0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
0,004
R = 0,9883 0,001
0,002
0,003
4,000
y = 1.043,7932x + 0,9716 2
2,000
R = 0,4937
0,000 0,000 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005
0,004
Air
Air
3. Timbal Konsentrasi Pb (ppm)
Konsentrasi Pb (ppm) 0,800
Sedimen
Sedimen
1,500 1,000 0,500
y = ‐12,5517x + 0,9921 2
R = 0,0811 0,000 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
y = ‐20,8740x + 0,6371
0,600
2
R = 0,6728
0,400 0,200 0,000 0,000
0,005
Air
0,015
0,020
Air
Konsentrasi Pb (ppm)
Konsentrasi Pb (ppm) 1,200
1,500
y = ‐11,2213x + 0,9883 2
R = 0,0719
1,000
1,000
Sedimen
Sedimen
0,010
0,500
y = ‐49,4341x + 0,9268
0,800
2
R = 0,9619
0,600 0,400 0,200
0,000 0,000
0,005
0,010
Air
0,015
0,020
0,000 0,000
0,005
0,010
Air
0,015
0,020
Konsentrasi Pb (ppm)
2,000
0,800
1,500
0,600
1,000 y = 73,6988x + 0,3256
0,500
2
R = 0,9989
0,000 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020
sedimen
Sedimen
Konsentrasi Pb (ppm)
0,400
y = ‐5,8225x + 0,6910 2
R = 0,3205
0,200 0,000 0,000
0,005
0,010
Konsentrasi Pb (ppm)
0,600 0,500 0,400 y = 19,2872x + 0,2067 0,300 2 R = 0,3535 0,200 0,100 0,000 0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200
Sedim en
Sedimen
Konsentrasi Pb (ppm) 0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
y = ‐4,1559x + 0,4446 2
R = 0,1484 0,005
0,010
0,015
0,020
Air
Air
Konsentrasi Pb (ppm)
Konsentrasi Pb (ppm) Sedimen
0,020
Air
Air
0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 0,000
0,015
0,800
n e 0,600 m i 0,400 d eS 0,200
y = ‐3,0221x + 0,4301 2
R = 0,1171 0,005
0,010
Air
y = ‐82,5366x + 0,6346 R² = 0,1710
0,000 0,015
0,020
0,000
0,002
Air
0,004
Lampiran 4. Pengukuran kandungan logam berat 1. Prinsip pengukuran Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum LambertBeert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu 20000 C sehingga terjadi penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley, 1979 in Darmono, 1995). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja spektrofemetrik dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Prinsip kerja spektrofotometrik
2. Pengukuran kandungan logam berat dalam air 1. Contoh air laut 500 ml disaring dengan kertas saring 0,45 m. 2. pH diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan dengan HNO3 pekat. 3. Ditambahkan 1 ml larutan HNO3 pekat.
4. Ditambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat. 5. Ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc), dikocok sekitar 5 menit. 6. Ditambahkan 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk), dikocok sekitar 3 menit dan biarkan ke dua fasa terpisah. 7. Ditampung fasa airnya. Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko laboratorium dan standar. 8. Ditambahkan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dikocok sekitar 5 detik dan biarkan kedua fasa terpisah. Buang fasa airnya. 9. Ditambahkan 1 ml HNO3 pekat, dan dikocok sebentar dan dibiarkan sekitar 15 menit. 10. Ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok sekitar 2 menit serta ke dua fasa dibiarkan terpisah. 11. Ditampung fasa airnya dan siap diukur dengan AAS menggunakan nyala udara-asetilen. 3.3.4.3. Pengukuran kandungan logam berat dalam sedimen 1. Dimasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. 2. Kemudian dikeringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 1050 C selama 24 jam. 3. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus. 4. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan alat timbang digital. 5. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. 6. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 1300 C. 7. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke sentrifus polietilen. 8. Kedalamnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 30 ml dan dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Selanjutnya siap diukur dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen.
Lampiran 5. Baku mutu air laut (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk biota laut Nomor 51 Tahun 2004) No
Parameter Fisika
1
Kecerahana
2 3 4
Kebauan Kekeruhana Padatan tersuspensi totalb
5 6
Sampah Suhuc
7
Lapisan minyak 5 Kimia pHd Salinitase
8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kimia Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisidaf TBT (tributil tin)7 Logam Berat Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn)
Satuan
Baku Mutu
m
coral: >5 mangrove: lamun: >3 alami3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami3( c) coral: 28-30( c) mangrove: 28-32 ( c) lamun: 28-30( c) nihil 1(5
NTU mg/l
o
C
psu
7 - 8,5( d) alami3( e) coral: 33-34( e) mangrove: s/d 34 ( e) lamun: 33-34( e)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MBAS mg/l mg/l mg/l
>5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003 0.002 0.01 1 1 0,01 0,01
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,001 0,05 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05
31 32 33 34 35
Nikel (Ni) BIOLOGI Coliform (total)g Patogen Plankton RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui
mg/l
0,05
MPN/100 ml sel/100 ml sel/100 ml
1000( g) nihil1 tidak bloom6
Bq/l
4
Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Lampiran 6. Foto dokumentasi
Stasiun 1
Stasiun 4
Stasiun 2
Stasiun 5
Stasiun 7
Stasiun 8
Stasiun 10
Pengambilan Air
Stasiun 3
Stasiun 6
Stasiun 9
Pengambilan Sedimen
Pengukuran Suhu dan pH
Pengukuran Salinitas
Contoh untuk di analisa
Pengukuran Kekeruhan
Penentuan Titik dengan GPS
Larutan Standar
Penguran Oksigen
Penandaan
AAS ZEE Nit 700
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mandailing pada tanggal 4 Juni 1985 dari pasangan Muhammad Yunus Rangkuti dan Sarianun Pulungan (Almarhumah). Pada umur 4 tahun Ibunda penulis meninggal dunia dan dua tahun kemudian ayahanda menikah dengan Masdalima Pulungan. Penulis merupakan putra ke-empat dari 6 bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Panyabungan dan pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Usulan Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif pada berbagai organisasi kampus antara lain: DKM Al-Hurriyah (2004-2005), Forum Keluarga Muslim Perikanan (2004-2006), Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal-Bogor (2005-2008) serta beberapa kepanitian diantaranya: bedah buku The real Truth, masa perkenalan organisasi dan kampus, kepanitian pada filtrip mata kuliah: Ekologi Perairan, Biologi laut, Ekologi Laut Tropis, Produktivitas Perairan, Pengolahan air Limbah, dan Manajemen Sumberdaya Perikanan Laut. Penulis juga pernah menjadi asisten luar biasa pada mata kuliah Ekologi Perairan tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 (Koordinator asisten), dan 2008/2009, Asisten Mata Kuliah Limnologi tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, Asisten Sumberdaya Perikanan tahun ajaran 2007/2008 (Koordinator asisten), serta mata kuliah Ekologi Perairan tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008 pada program Diploma IPB. Penulis juga pernah ikut serta dalam beberapa penelitian diantaranya: Eksplorasi Flora dan Fauna di Telaga Warna kerja sama UKF dan PPLH IPB tahun 2006, Survey Kajian Tangkap Per Satuan Upaya Kepulauan Seribu tahun 2007, Survey Kajian Mangrove di Pesisir Kabupaten Bangka Selatan tahun 2008, dan Survey Konsepsi Rencana Pengembangan Kawasan Agro-Politan dan Mina Politan Kabupaten Bangka Selatan tahun 2008.